• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN DALIHAN NATOLU DALAM HUKUM PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERANAN DALIHAN NATOLU DALAM HUKUM PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN DALIHAN NATOLU DALAM HUKUM PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA

Eric Evonsus Simbolon1, Aprilianti2, Dianne Eka Rusmawati3.

ABSTRAK

Hukum perkawinan masyarakat adat Batak Toba mengatur tentang peranan Dalihan Natolu. Peranan Dalihan Natolu ini merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bermasyarakat di dalam masyarakat adat Batak Toba. Dalam suatu perkawinan yang sah, Dalihan Natolu telah menggariskan dan menetapkan aturan dan ketentuan rinci mengenai berbagai hubungan sosial baik antara suami dengan istri, antara orang tua dengan saudara-saudara kandung dari masing-masing pihak pengantin, maupun dengan boru serta

hula-hula dari masing-masing pihak. Permasalahan yang akan dibahas dalam

skripsi ini adalah mengenai penerapan prinsip Dalihan Natolu dalam hukum adat Batak Toba, serta peranan Dalihan Natolu dalam proses penyelesaian permasalahan perkawinan masyarakat adat Batak Toba.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian empiris, pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan secara historis (Historical Approach) dengan tipe penelitian deskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier serta pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Pengolahan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, rekonstruksi data dan sistematisasi data.

Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam kehidupan masyarakat adat Batak Toba, prinsip Dalihan Natolu sangat mementingkan kerjasama antar peran dari unsur Dalihan Natolu sendiri yaitu dongan tubu, hula-hula, dan boru. Hal ini juga tidak bisa dipisahkan dari makna pepatah Dalihan Natolu yang mengatakan

somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru karena

mengandung sebuah arti yang mendalam dan mutlak harus dilakukan bila ingin sejahtera hidupnya. Pada masyarakat adat Batak Toba, ketua adat dalam perkumpulan atau organisasi masyarakat Adat Batak Toba yang menganut prinsip

Dalihan Natolu dapat dikatakan sebagai mediator dalam penyelesaian suatu

masalah perkawinan, karena ketua adat tersebut menjadi pihak yang terlibat diantara pihak-pihak yang sedang mengalami konflik untuk kemudian menyelesaikan persoalan diantara dua pihak yang bermasalah tersebut, dimana solusi damai sangat diutamakan agar tidak berlarut-larut dalam permasalahan yang berakibat timbulnya suatu perceraian.

Kata Kunci : Dalihan Natolu, Masyarakat Adat Batak Toba, Hukum Perkawinan Adat.

▸ Baca selengkapnya: jambar juhut adat batak toba

(2)

I. PENDAHULUAN

Hukum adalah segala aturan yang menjadi pedoman perilaku setiap orang dalam hubungan hidup bermasyarakat atau bernegara disertai sanksi yang tegas apabila dilanggar.4 Hukum bertujuan untuk mengatur tata kehidupan dari suatu masyarakat dimana hukum itu berlaku. Demikian juga hukum adat Batak bertujuan mengatur masyarakat adat Batak dalam bertingkah laku, serta mengatur segenap segi kehidupannya. Dalam kehidupannya sehari-hari, selalu didasari oleh kaidah-kaidah yang terdapat dalam Hukum Adat.5 Namun di era sekarang ini, seringkali masyarakat melupakan pentingnya aturan dalam Hukum Adat, salah satunya yaitu Hukum Adat Batak. Penyebabnya adalah era globalisasi yang lambat laun semakin menggeser nilai-nilai kebudayaan yang telah melekat dalam masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, dari sekian banyak segi-segi kehidupan masyarakat Batak, penulis mencoba menelaah salah satu dari segi kehidupan yaitu masalah hukum perkawinan.

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam hidup masyarakat karena perkawinan merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan atau melanjutkan keturunan dalam suatu keluarga. Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak.6 Masalah hukum perkawinan dalam Adat Batak ini perlu dipahami karena ini merupakan suatu peristiwa yang besar dan rumit terutama pada pelaksanaan perkawinan dalam Adat Batak itu sendiri. Hal ini mengakibatkan banyak orang yang bertanggung jawab dan terlibat di dalamnya. Perkawinan harus dilakukan melalui proses-proses tertentu yang telah ditentukan dalam hukum adatnya. Dalam masyarakat adat Batak sendiri, proses-proses ini harus dilalui apabila seseorang yang bersuku Batak ingin melakukan perkawinan. Jadi, Hukum Adat Batak yang ditaati oleh semua orang Batak telah menetapkan bagaimana proses yang harus dilakukan serta tindakan-tindakan apa yang harus dilaksanakan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi apabila masyarakat adat Batak ingin melaksanakan perkawinan.7

Perkawinan merupakan suatu kegiatan yang erat kaitannya dengan hukum adat sesuai dengan suku yang dianut masing-masing. Masyarakat adat Batak yang dibagi menjadi lima sub suku mempunyai masing-masing hukum dan aturan perkawinan yang berbeda. Salah satu hukum dan aturan perkawinan yang akan dibahas di sini yaitu perkawinan dalam Adat Batak Toba. Suatu kegiatan adat yang berlangsung akan melibatkan beberapa kelompok sosial masyarakat dalam menjalankannya. Oleh karena itu, masyarakat akan membentuk suatu perkumpulan atau kelompok untuk saling bekerjasama. Yang dimaksud dengan perkumpulan itu sendiri adalah suatu kelompok sosial yang sering ditemui pada lapisan masyarakat guna membina hubungan sosial. Masyarakat adat Batak Toba juga memiliki suatu perkumpulan yang mengatur segala urusan dan kegiatan Adat Batak. Perkumpulan tersebut berguna untuk melaksanakan urusan dan kegiatan

4 Muhammad, Abdulkadir. 2014. Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

hlm. 1.

5 Hutauruk, Edwar B. 2001. Adat Batak, Tarutung: Kotapos, hlm 23.

6 Hilman, Hadikusuma, 2007. Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum

Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, hlm 1.

(3)

adat yang tidak lepas dari suatu aturan dan prinsip. Aturan atau prinsip tersebut dinamakan dengan Dalihan Natolu.

Dalihan Natolu adalah tungku masak berkaki tiga. Dimana tungku masak

berkaki tiga tersebut diibaratkan sebagai simbol dari tatanan sosial kemasyarakatan orang batak. Ketiga kaki itu sama tinggi dan sama besar supaya ada keseimbangan dan menunjukkan bahwa adanya ketiga unsur Dalihan Natolu yaitu Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru.8 Dalihan Natolu ini juga sekaligus dianggap sebagai simbol di dalam Adat Batak Toba. Semua masyarakat adat Batak Toba yang ingin melakukan perkawinan,wajib mengikuti semua aturan yang ada dalam prinsip Dalihan Natolu. Selain itu, Dalihan Natolu juga dapat berperan sebagai wadah untuk masyarakat adat Batak Toba menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan perkawinan melalui unsur-unsur di dalamnya.

Hal ini dikarenakan dalam kehidupan perkawinan masyarakat Batak Toba tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai masalah yang kerap mengakibatkan kehidupan perkawinan tersebut berjalan tidak harmonis bahkan sampai berujung pada perceraian. Dalam hal ini, terdapat satu pihak dalam unsur

Dalihan Natolu yang berperan membantu menyelesaikan permasalahan dalam

kehidupan perkawinan, yaitu ketua adat dalam suatu perkumpulan masyarakat adat Batak Toba tersebut. Peran ketua adat ini bisa dikatakan seperti mediator karena berperan sebagai unsur dan motor penggerak dari proses penyelesaian permasalahan itu sendiri bila terjadi konflik dalam kehidupan anggota masyarakatnya. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti dengan menjabarkan dalam beberapa rumusan permasalahan yang ada terkait Dalihan

Natolu dalam Hukum Perkawinan Adat Batak Toba.

Permasalahan yang akan dijabarkan dalam penelitian ini yaitu penerapan prinsip Dalihan Natolu dalam hukum adat Batak Toba, karena dalam hukum adat Batak Toba sendiri prinsip Dalihan Natolu terdapat sebuah aturan yang perlu diketahui tentang cara penerapannya dalam kehidupan khususnya untuk penyelesaian suatu masalah. Selain itu, dikarenakan dalam pengkajian membahas aturan serta peranan dari unsur Dalihan Natolu yaitu dongan tubu, boru dan hula-hula, maka perlu dicermati lagi tentang peranan Dalihan Natolu dalam penyelesaian permasalahan perkawinan masyarakat adat Batak Toba agar dapat diketahui secara jelas tentang implementasinya ke dalam kehidupan nyata.

II.PEMBAHASAN

1. Penerapan Prinsip Dalihan Natolu dalam Hukum Adat Batak Toba

a. Sikap dan Perilaku terhadap Dongan Sabutuha atau Kawan Semarga Sikap manat atau hati-hati terhadap dongan sabutuha dapat disejajarkan dengan ungkapan yang berbunyi “benang jangan terputus, tepung jangan terserak”. Dongan sabutuha adalah orang-orang yang satu marga, diikat kesatuan hubungan darah dan merupakan kesatuan keturunan dari satu luhur yang mewariskan marga kepada mereka. Karena mereka menganggap diri satu darah, satu keturunan dan satu marga. Orang Batak mengatakan perdebatan tersebut sebagai perbantahan yang sifatnya marsisoitan atau berargumentasi. Dengan kata

8 Gultom, Rajamarpodang. 1995. Dalihan Natolu dan Prinsip Dasar Nilai Budaya Batak, Medan:

(4)

lain yaitu dasar, alasan dan acuan melakukan perbuatan dan bentuk perbuatan yang dimaksud adalah benar. Prinsip kesatuan dan kebersamaan orang semarga harus dijaga ke dalam dan keluar terhadap marga lain atau yang bukan orang Batak dalam berbagai pertemuan atau perhelatan.

b. Sikap dan Perilaku terhadap Hula-Hula atau Marga Istri

Sikap somba atau hormat yang ditetapkan terhadap hula-hula didasarkan kepada pemikiran bahwa putri hula-hula adalah ibu yang melahirkan keturunan dan disebut hagabeon dalam bahasa Batak. Hagabeon merupakan cita-cita utama dan paling didambakan orang Batak. Oleh sebab itu, salah besar apabila ada orang mensejajarkan keturunan (hagabeon) dengan kekayaan (hamoraon) dan kedudukan (hasangapon) sebagai cita-cita utama orang Batak. Hagabeon sudah dianggap tercapai apabila si Ibu sudah melahirkan keturunan bagi suaminya. Namun, hagabeon tersebut baru dianggap lengkap apabila si ibu melahirkan putra dan putri. Kelahiran putri saja masih dianggap belum sempurna karena mereka tidak memiliki hak melanjutkan garis keturunan ayahnya.

Adanya pewaris garis keturunan, juga akan memberi jaminan berlangsungnya garis kekerabatan dengan hula-hula. Hal ini dikarenakan hula-hula telah dianggap sebagai pangkal atau sumber hagabeon yang akan meneruskan garis keturunan. Maka sikap bersembah atau berhormat terhadap mereka merupakan sikap yang mutlak dilakukan.9

Tua-tua pendahulu telah mendudukkan kelompok Hula-hula ditempat

teratas dan terhormat dalam struktur sosial masyarakat Batak. Dengan demikian, ikatan sosial garis kekerabatan dengan kelompok hula-hula harus dicatat dengan sempurna. Lazimnya dibatasi hingga tingkat bona ni ari atau marga ibu yang melahirkan kakek. Pembatasan ini konsisten dengan prinsip batasan hasuhuton atau yang hanya dibatasi dalam lingkaran keturunan kakek kandung bersaudara.

c. Sikap dan Perilaku terhadap Boru atau Marga asal Suami

Tua-tua pendahulu telah menetapkan sikap elek atau lemah lembut dan

bujuk rayu sebagai kepatutan menghadapi boru. Selain sikap, tutur kata terhadap mereka hendaknya dijaga agar selalu menyenangkan hati, apalagi terhadap suaminya. Sebagai pajangan di tengah marga lain, boru bertanggung jawab menjaga nama baik hula-hula nya. Apabila boru mendapat pujian dan sanjungan dari warga marga suaminya karena mengutamakan dan memperdulikan warga semarganya, maka orang tuanya (hula-hula) akan mendapat kehormatan dan pujian.10 Demikianlah boru itu dipuji dan disayang karena banyak diantara boru yang berperilaku demikian. Seandainya boru meminta sesuatu dan dapat dipenuhi, lebih baik dikabulkan dan kalau sekiranya tidak dapat dipenuhi, ibunya dapat merayu boru nya supaya mempertimbangkan ulang permintaannya karena ibulah yang paling dekat dengan putrinya. Ketentuan umum tentang sikap dan perilaku antar unsur Dalihan Natolu sangat vital untuk menjaga kehormatan dari masing-masing peran dalam kehidupan masyarakat adat Batak Toba, karena hal ini dapat mempengaruhi berlangsungnya pola kehidupan di masa depan dalam

9

Ibid,. hlm. 124.

10

(5)

menyelesaikan permasalahan perkawinan yang terjadi dalam masyarakat adat Batak Toba.

Ketiga unsur tersebut yakni dongan tubu, parboru, dan hula-hula akan duduk bersama membicarakan sengketa yang dialami pasangan rumah tangga tersebut. Apabila ternyata juga tak membuahkan hasil, maka disinilah pihak mediator sebagai penengahnya berperan untuk mendamaikan konflik atau sengketa tersebut. Mediator tersebut dapat dipilih dari Ketua Adat, Raja Hata atau orang yang dituakan dan cukup disegani karena wibawanya di masyarakat.

Dongan tubu, parboru, dan hula-hula kemudian duduk bersama dengan mediator

yang telah dipercayai oleh para pihak. Kemudian mereka bermusyawarah dan bermufakat, lalu mencari jalan keluar terbaik untuk seluruh pihak dan sebisa mungkin jalan perceraian harus dihindari. Hal ini dikarenakan dalam adat Batak tidak dikenal adanya perceraian. Jika sampai terjadinya perceraian, maka seluruh hak sebagai istri baik terhadap anak dan harta selama mereka berumah tangga akan menjadi hapus dan hak tersebut jatuh pada suami.

Bila ternyata perceraian tidak dapat dihindari, maka keputusan yang diambil harus keputusan yang terbaik bagi seluruh pihak untuk dilakukan perpisahan atau perceraian (parsirangan) melalui proses hukum, dan diselesaikan di pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang isinya sebagai berikut : “Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Adapun tentang tata cara perceraian yang diatur PP No.9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut :

a. Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975

Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

b. Pasal 15 PP Nomor 9 Tahun 1975

Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi Surat yang dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim Surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.

c. Pasal 16 PP Nomor 9 Tahun 1975

Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Melalui proses hukum, dibicarakan mengenai beberapa masalah antara lain : 1. Pengasuhan anak-anak (jika dalam pernikahan tersebut telah dikaruniai anak

atau keturunan)

(6)

3. Hubungan antara anak-anak dan orang tuanya setelah kedua orang tuanya berpisah (baik berpisah atau bercerai melalui pengadilan maupun tidak melalui pengadilan, masalah ini harus tetap turut dibicarakan)

4. Kepemilikan harta bersama selama pernikahan berlangsung dan lain sebagainya.

Hal kepemilikan harta bersama selama pernikahan berlangsung harus dibicarakan lewat pengadilan apabila tidak berhasil menggunakan penerapan prinsip Dalihan Natolu. Hasil tersebut didasarkan pada dasar Hukum Undang-undang Perkawinan dan Jurisprudensi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, yaitu Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35 ayat 1 jo. Jurisprudensi Mahkamah Agung No.100 K/Sip/1967, yang isinya sebagai berikut :

a. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 35 ayat 1 : “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”

b. Keputusan Mahkamah Agung No.100 K/Sip/1967: “tidak dipersoalkan siapapun yang menghasilkan harta tersebut, maka harta tersebut adalah harta bersama, kecuali diperjanjikan sebelumnya”

Sehingga dalam hal perceraian, yang menjadi tujuan utama pembicaraan dalam musyawarah lewat mediator adalah kepentingan anak-anak di atas segalanya (bila dalam perkawinan telah dikaruniai anak) dan perihal kepemilikan harta bersama yang dibagi secara adil. Hal tersebut diutamakan demi perkembangan psikologis atau kejiwaan anak-anak dan psikis si istri karena dalam hal ini si perempuan yang umumnya menjadi pihak yang paling dirugikan bila terjadi perceraian dalam masyarakat Batak Toba. Apabila hal ini diabaikan, bukan tidak mungkin akan mengakibatkan trauma psikologis dan terbeban mental pada anak-anak nya akibat perceraian kedua orang tuanya, dan juga si istri akan terganggu jiwanya akibat perceraian yang dialaminya.

Oleh karena itu pula dalam perceraian harus diupayakan proses perceraian secara damai, maksudnya bahwa dalam proses perceraian tersebut tidak ada perebutan hak asuh anak serta dilakukan pembagian harta bersama secara adil dan kedua orang tua juga harus rukun dan damai walau telah hidup berpisah serta tetap melakukan pengasuhan anak-anak dengan bersama-sama, walaupun mereka telah hidup berpisah setelah proses perceraian selesai. Masyarakat adat Batak Toba sangat mementingkan kerjasama antar peran dari unsur Dalihan Natolu sendiri yaitu dongan tubu, hula-hula, dan boru. Hal ini juga berhubungan dengan makna dari pepatah somba marhula-hula, manat mardongan tubu, dan elek marboru karena mengandung sebuah arti yang mendalam dan mutlak harus dilakukan bila ingin sejahtera hidupnya.

2. Peranan Dalihan Natolu dalam Penyelesaian Permasalahan Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba

Prinsip Dalihan Natolu yang memiliki unsur-unsur diantaranya Dongan

Tubu, Boru, dan Hula-hula dapat dikatakan sebagai pihak yang memiliki peran

(7)

peran di dalam tatanan sosial kemasyarakatan dari masyarakat Batak Toba, sehingga di dalam penyelesaian permasalahan semua bagian dari Dalihan Natolu ini yaitu Dongan Tubu, Boru, dan Hula-hula berperan sebagai unsur dan motor penggerak dari proses penyelesaian permasalahan itu sendiri bila terjadi konflik dalam kehidupan anggota masyarakatnya.

a. Perselisihan Suami - Istri

Perselisihan dalam hal ini dapat timbul dalam kehidupan masyarakat adat Batak Toba karena hal-hal yang dapat memicu terjadinya perselisihan, contohnya yaitu terjadinya kesalahpahaman antara suami dan istri yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat diantara mereka. Sering juga perselisihan dalam rumah tangga timbul karena salah satu pihak melalaikan tugas dan tanggung jawabnya di dalam rumah tangga.

Langkah pertama yang diambil dalam proses penyelesaian sengketa adalah salah satu pihak beserta dongan tubunya (biasanya pihak yang dirugikan) mendatangi pihak yang lainnya, duduk bersama dan bermusyawarah. Langkah berikutnya bila proses di atas tidak berhasil, maka dapat diikutsertakan mediator yang dipilih dari Ketua/Penatua Adat, Raja Hata atau Ketua Kelompok masyarakat yang disegani karena wibawa dalam perilaku keseharian hingga dinilai cakap dan mampu menyelesaikan sengketa. Jalan keluar terbaik yang dilakukan mediator adalah menasehati pihak yang bersalah dahulu (baik suami/istri) secara intern atau pribadi dan tertutup antara mediator dan pihak bersangkutan, lalu kemudian kedua belah pihak tadi kembali dan bermufakat dan menasehati agar berdamai dan menghindar dari perceraian.

b. Masalah yang Mengakibatkan Perceraian (Parsirangan – padao-dao) Hal ini dapat timbul karena beberapa hal, antara lain:

1) Dalam pernikahan tersebut tidak dikaruniai anak-anak atau keturunan (anak laki-laki atau perempuan). Yang banyak terjadi pada masyarakat Batak adalah ketiadaan anak laki-laki (putera) sebagai generasi penerus/keturunan marga, sehingga si suami ingin menikah lagi dengan perempuan lain tanpa menceraikan isteri sebelumnya, sementara si istri tersebut tidak bersedia diperlakukan demikian karena ia tidak bersedia untuk dimadu oleh suaminya dengan alasan apapun.

2) Dalam pernikahan tersebut sudah tidak ditemukan lagi kesamaan visi dan misi, serta kesamaan persepsi dan tujuan berumah tangga. Hal ini menimbulkan perbedaan prinsip yang amat radikal diantara keduanya sehingga mempengaruhi kestabilan rumah tangga mereka tersebut.

3) Terdapatnya campur tangan dari pihak ketiga (keluarga besar pasangan suami istri tersebut, baik dari pihak si suami tersebut maupun si istri) yang membuat hubungan suami istri tersebut menjadi renggang dan rusak, sehingga mempengaruhi kestabilan rumah tangga tersebut.

4) Salah satu pihak atau bahkan keduanya selingkuh baik berakhir dengan perzinahan atau tidak dan pasangannya tidak mampu untuk memaafkan perilaku pasangannya yang berselingkuh tersebut.

(8)

6) Suami tidak menafkahi keluarga dan tidak mau berusaha bekerja karena dalam hal ini, memenuhi kebutuhan rumah tangga memang telah menjadi tanggung jawab suami sebagai kepala keluarga.

7) Suami melalaikan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga.

8) Suami melakukan tindak kejahatan dalam rumah tangga (kekerasan dalam rumah tangga/KDRT).

9) Suami suka mabuk, berjudi, berzinah dengan perempuan lain. 10) Istri melalaikan kewajibannya dalam rumah tangga.

11) Salah satu pihak mengalami penyakit menular yang mematikan atau membahayakan sekelilingnya.

12) Terjadi pertengkaran terus menerus antara mereka yang tak kunjung selesai, yang akhirnya merusak atau mengganggu keharmonisan hubungan dan menggoyahkan hubungan rumah tangga mereka dan lain sebagainya.

Unsur Dalihan Natolu pada dasarnya memiliki peran di dalam tatanan sosial kemasyarakatan dari masyarakat Batak Toba. Sehingga di dalam penyelesaian sengketa ketiga peran dari hula-hula, dongan tubu, dan boru ini berfungsi sebagai unsur dan motor penggerak dari proses penyelesaian sengketa alternatif itu sendiri bila terjadi konflik dalam anggota masyarakatnya. Hal ini dikarenakan unsur dalam prinsip Dalihan Natolu yaitu hula-hula, dongan tubu,

dan boru inilah yang bergerak melalui proses penyelesaian sengketa alternatif,

dimana unsur tersebut baik hula-hula, dongan tubu, dan boru dari pihak yang bersengketa tersebutlah yang beraktifitas dan secara langsung bekerja dalam hal melakukan pertemuan demi pertemuan untuk bermusyawarah untuk membicarakan permasalahan atau sengketa yang dialami.

Hubungan antara prinsip Dalihan Natolu terhadap penyelesaian permasalahan kehidupan pada masyarakat adat Batak Toba ini sangat erat. Hal ini dikarenakan unsur dari prinsip Dalihan Natolu yang terdiri dari hula-hula, dongan

tubu dan boru tersebut memiliki peran sebagai unsur penggerak utama dari

terwujudnya praktek proses penyelesaian sengketa alternatif tersebut.

Untuk itu, prinsip Dalihan Natolu yang telah melekat dan diterapkan/diimplementasikan oleh perkumpulan/organisasi dalam masyarakat adat Batak Toba bisa digunakan sebagai suatu wadah alternatif untuk melakukan suatu mediasi dalam penyelesaian terhadap sengketa yang terjadi pada masyarakat Batak Toba yang berkonflik. Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral (sebagai Mediator atau penengah) yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, membantu pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak kerugian pun ditanggung bersama.

III. PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan di atas, maka penulis dalam penelitian ini menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Bagi masyarakat adat Batak Toba, prinsip Dalihan Natolu sangat mementingkan kerjasama antar peran dari unsur Dalihan Natolu sendiri yaitu

(9)

makna pepatah Dalihan Natolu yang mengatakan somba marhula-hula, manat

mardongan tubu, dan elek marboru. Hal ini dikarenakan jika kita

menghormati hula-hula, menjaga perasaan dongan tubu, dan bersikap lemah lembut terhadap boru, maka akan terciptanya suatu kehidupan yang sejahtera dalam masyarakat adat Batak Toba.

2. Peranan Dalihan Natolu yaitu dongan tubu, boru dan hula-hula dalam penyelesaian permasalahan perkawinan masyarakat adat Batak Toba sangat penting pada setiap prosesnya agar masalah tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Seorang suami atau istri yang mempunyai masalah akan mengadukan permasalahan tersebut kepada organisasi atau perkumpulan marga (ketua adat) dari pihak suami atau istri yang sedang bermasalah. Ketua adat itu mempunyai wewenang untuk menyelesaikan permasalahan sebagai mediator. Ketua adat akan memanggil Dalihan Natolu dari pihak suami atau istri yang sedang bermasalah untuk kemudian diadakan musyawarah bersama atau mediasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku-buku

Gultom, Rajamarpodang. 1995. Dalihan Natolu dan Prinsip Dasar Nilai Budaya

Batak. Medan: Phorus Media

Hadikusuma, Hilman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Hutauruk, Edwar B. 2001. Adat Batak. Tarutung: Kotapos.

JC.Vergouwen. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

---. 2014. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. P.L. Situmean, Doangsa. 2007. Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan

Batak Toba. Jakarta: Kerabat.

Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rato, Dominikus. 2011. Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem

Kekerabatan, Bentuk Perkawinan dan Pola Pewarisan Adat di Indonesia).

Surabaya: Laksbang Justitia.

Saragih Djaren,dkk. 1980. Hukum Perkawinan Adat Batak, khususnya Simalungusn, Toba, Karo, dan UU Tentang Perkawianan (UU. No

1/1974). Bandung: Tarsito.

Siahaan Nalom. 1982. Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta: Tulus Jaya.

Sihombing. T.M. 1989. Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat. Medan: Tulus Jaya. Sinaga, Drs. Richard. 2008. Kamus Batak Toba – Indonesia. Jakarta: Dian Utama. ---. 2012. Perkawinan Adat Dalihan Natolu. Jakarta: Dian Utama.

(10)

Sudarsono. 1994. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Zainuddin, Ali. 2011. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

2. Peraturan Perundang-Undangan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan perubahan/kerusakan yang terjadi pada hati maupun ginjal kemungkinan disebabkan oleh proses dari pembuatan gelatin tulang ayam tersebut,

Pendapatan rata-rata responden dari hasil hutan bukan kayu yang dimanfaatkan oleh responden yang diambil dari TNLL pada kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada

pembelajaran masih bersifat satu arah; 2) kurangnya interaksi antara guru dengan siswa sehingga siswa cendurung pasif ketika pembelajaran berlangsung; 3) kurangnya

Pembelajaran dikatakan efektif jika setelah mengalami proses pembelajaran dengan perangkat yang dikembangkan menggunakan model Group Investigation berbasis RME jika (1)

The mechanism of protein re-methylation inhibition is supported by results of studies that have indicated that successful treatment regimen could lower its concentration

Hasil uji t memperlihatkan bahwa hasil per pohon, karakter jumlah malai per tanaman, panjang malai, jumlah biji per malai, bobot malai dan panjang tangkai malai

Evaluasi lahan pada suatu daerah memiliki peran penting dalam rangka penataan kembali penggunaan lahan yang telah ada, serta membantu dalam pengambilan keputusan

Mikrotik merupakan perangkat router sekaligus sistem operasi yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai fungsi routing serta mengatur lalu lintas data internet serta melakukan