• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERANAN DALIHAN NATOLU DALAM PELAKSANAAN PERKAWINAN A. Pengertian dan Unsur-unsur Dalihan Natolu 1. Pengertian Dalihan Natolu - Peranan Dalihan Natolu Dalam Hukum Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Mengenai Hukum Perkawinan Adat Batak Di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERANAN DALIHAN NATOLU DALAM PELAKSANAAN PERKAWINAN A. Pengertian dan Unsur-unsur Dalihan Natolu 1. Pengertian Dalihan Natolu - Peranan Dalihan Natolu Dalam Hukum Perkawinan Masyarakat Adat Batak Toba (Studi Mengenai Hukum Perkawinan Adat Batak Di "

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERANAN DALIHAN NATOLU DALAM PELAKSANAAN PERKAWINAN

A. Pengertian dan Unsur-unsur Dalihan Natolu

1. Pengertian Dalihan Natolu

Pengertian Dalihan adalah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan Dalihan natolu ialah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Ketiga dalihan yang ditanam berdekatan ini berfungsi sebagai tungku tempat memasak. Dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain serta tingginya sama dan harmonis.

Pada zamannya, kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.

(2)

digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal. Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.

Dalihan Natolu merupakan pemilihan tungku masak berkaki tiga sebagai lambang pengibaratan tatanan sosial kemasyarakatan orang batak. Ketiga kaki tungku melambangkan struktur sosial masyarakat batak, yaitu kelompok Dongan Sabutuha, kelompok Hula-Hula dan kelompok Boru. Nama setiap kelompok juga mengisyaratkan fungsi sosial setiap kelompok. Dengan demikian, satu dari kaki tungku merepresentasikan kelompok dan fungsi dongan sabutuha yaitu orang yang satu marga dengan fungsi kepada sesama. Kaki kedua merepresentasikan kelompok dan fungsi Hula-Hula, yaitu kumpulan beragam marga asal para istri dari orang semarga. Kaki ketiga merepresentasikan kelompok dan fungsi Boru, yaitu kumpulan beragam marga asal suami dari perempuan semarga. Ketiga struktur dan fungsi sosial tersebut adalah dasar berpijak dan tonggak penopang ( pilar ) dari pergaulan hidup masyarakat Batak atau dengan kata lain sebagai suatu tatann sosial kemasyarakatan.

(3)

Tonggo Raja, Ria Raja, Rapot (forum musyawarah), dan sebagainya. Demikianlah tua-tua pendahulu melakukan rekayasa sosial (sosial engineering) pranata masyarakat Batak dengan rinci agar impiannya tewujud, yaitu menciptakan

keteraturan dan ketertiban (Rue and Order) bermasyarakat bagi keturunannya.

Ketiga kelompok tesebut selalu dijumpai ber-inter-relasi dan ber-inter-aksi, selaras, seimbang dan kokoh dengan Marga sebagai perekat dan Hukum Marga

sebagai pengikat. Orang yang satu marga tetap menganggap dirinya satu darah karena berasal dari satu leluhur pemersatu yang mewariskan marga mereka. Tidak dipermsalahkan bentangan generasi pemisah diantara mereka. Fakta tersebut telah membuktikan bahwa marga itu memiliki daya rekat yang luar biasa kepada warganya. Hukum Marga menetapkan Papangan so jadi pusung, artinya tidak boleh makan sendiri atau harus mengutamakan kebersamaan, kepedulian, gotong royong. Hukum Marga menetapkan Bongbong yaitu larangan menikah dengan kawan semarga.

Akibat atau implikasi hukum Bongbong mengharuskan pernikahan antar marga atau eksogami. Pernikahan antar marga tersebut telah menciptakan

(4)

setiap pribadi Batak memiliki tiga fungsi. Dongan sabutuha atau kawan semarga merupakan kelompok yang bersifat tetap (hot), permanen sementara hula-hula dan Boru bersifat tidak tetap atau berubah pada waktunya. Masyarakat Batak telah menganut faham patrilineal atau garis ayah karena leluhur pemersatu yang mewariskan marga adalah laki-laki, Ayah dari keturunannya.

Demikianlah garis besar konsep Dalihan Natolu sebagai tatanan sosial kemasyarakatan Batak Toba. Kapan waktunya, pada generasi keberapa keturunan Si Raja Batak konsep ini direkayasa dan diberlakukan, agak sulit untuk ditelusuri. Fakta atau kenyataan membuktikan bahwa tatanan Dalihan Natolu telah dihayati dan diramalkan ratusan tahun yang lalu dan masih terus dihayati dan diamalkan mayoritas masyarakat batak hingga sekarang.7

Apakah yang disebut dengan Dalihan Natolu paopat sihal-sihal itu. Dari umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa Dalihan Natolu itu diuraikan sebagai berikut : ”Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom

ma adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna.”

Ompunta naparjolo martungkot sialagundi. Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu sangat relevan dengan falsafah Dalihan Natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak.

7

P.L.Situmeang Doangsa, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, (Jakarta, : Kerabat,

(5)

Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.

1. Somba marhula-hula

Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki, sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.

(6)

Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua

(meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulang rorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.

Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo).

Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isi nya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.

Dalam adat Batak, pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula.

2. Manat Mardongan Tubu

(7)

Mangaloksa menjadi Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). Atau Toga Sihombing yakni Lumbantoruan, Silaban, Nababan dan Hutasoit.

Dongan Tubu dalam adat batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kimpoi.

Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian. seperti umpama “Angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna’. Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik.

Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kimpoi atau kematian) namardongan tubu

(8)

3. Elek Marboru

Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat(pasu-pasu). Istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat batak karena posisinya saat itu sebagai boru.

Pada hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai 3 status yang berbeda pada tempat atau adat yg diselenggarakan misalnya: waktu anak dari saudara perempuannya menikah maka posisinya sebagai Hula-hula, dan sebaliknya jika marga dari istrinya mengadakan pesta adat, maka posisinya sebagai boru dan sebagai dongan tubu saat teman semarganya melakukan pesta.

2. Unsur-unsur Dalihan Natolu

Adapun unsur-unsur Dalihan Natolu dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Dongan Tubu

(9)

2. Hula-hula

Secara garis besar adalah keluarga pihak perempuan dalam sebuah keluarga. Perempuan ini dalam konteks keluarga besar (extended family) termasuk isteri, ibu, nenek, nenek moyang (nenek bapak kita sendiri), nenek, ibu, isteri, anak menantu wanita, cucu menantu wanita. Hula-hula dikelompokkan sesuai jenjang generasi tersebut. Artinya ada hula-hula dari pihak nenek, ada dari pihak ibu, ada dari pihak anak, dst.,

3. Boru

Secara sederhana ‘boru’ artinya adalah anak perempuan.

Arti lain dari ‘boru’ menggambarkan peran dalam tatanan kekerabatan keluarga besar yaitu keluaraga yang isterinya berasal dari marga tertentu. Kalau satu keluarga beristeri boru Hutabarat, maka keluarga tersebut berkedudukan sebagai boru di kalangan keluarga Hutabarat. Sebaliknya, keluarga Hutabarat adalah hula-hula keluarga tersebut.

Adapun landasan filosofis interaksi dari unsur-unsur Dalihan Natolu dalam pelaksanaan perkawinan Adat Batak dapat ditemukan Empat Peran Utama (Suhi Ni Ampang Naopat).

(10)

1. Suhut.

Dalam satu upacara perkawinan dimana satu keluarga mengawinkan seorang putri, sementara satu keluarga lain mengawinkan seorang putra, substansi upacara ini bukan hanya mengawinkan dua insan menjadi satu keluarga tetapi sekaligus menjalin hubungan baru dua keluarga besar menjadi hula-hula disatu pihak (keluarga pengantin wanita) dan menjadi boru disatu pihak (keluarga laki-laki). Dalam upacara seperti ini jelas ada dua keluarga yang menjadi suhut yaitu orangtua pengantin laki-laki dan orangtua pengantin wanita. Masing-masing suhut menghadirkan dongan tubu, hula-hula, maupun boru masing-masing. Cakupan siapa saja yang berperan sebagai suhut tergantung pada luasnya cakupan hula-hula dan dongan tubu yang dilibatkan. Kalau satu keluarga mengundang hula-hulanya mulai dari marga nenek, ibu, isteri, mantu, maka semua keturunan satu nenek tersebut dianggap berperan sebagai suhut. Yang tergolong suhut dari masing-masing pihak adalah inti pemikul kewajiban dan penerima hak adat sesuai kedudukan masing-masing apakah sebagai hula-hula atau sebagai boru dalam satu upacara adat yang dilaksanakan.

2. Dongan tubu.

(11)

adat karena dipihak pengantin pria mempunyai kewajiban adat untuk ikut berpartisipasi menunjukkan rasa hormat dan menunaikan kewajiban adat kepada hula-hula sebagai wujud dukungan kepada suhut. Disisi lain dongan tubu pihak keluarga pengantin juga ikut berpartisipasi memberi berkat melalui doa dan simpul-simpul budaya berupa penyerahan ulos kepada pengantin dan kerabat keluarga pengantin pria, dan sebaliknya ikut memperoleh hak adat yang diberikan keluarga pengantin laki-laki.

3. Hula-hula:

Dalam satu upacara perkawinan, peran hula-hula dapat digolongkan menjadi dua.

Pertama: Hula-hula dalam kedudukan sebagai keluarga asal pengantin

perempuan. Dalam hal ini, kedudukan itu merupakan kedudukan baru karena baru resmi dalam upacara tersebut. Setelah semua kewajiban adat ditunaikan keluarga pengantin laki-laki, maka keluarga pihak perempuan yang mulai saat itu telah berperan sebagai hula-hula keluarga pengantin memberikan restu baik berupa wejangan, doa, atau/dan simpul-simpul budaya. Pemberian restu ini kemudian diikuti oleh hula-hula keluarga suhut marga pengantin wanita.

(12)

kesempatan memberi restu, dan merupakan penutup dari rangkaian pemberian restu dari pihak hula-hula.

Hula-hula ini dapat dikelompokkan sbb:

1. Hula-hula tangkas

2. Tulang.

3. Boaniari

4. Bonatulang.

5. Tulang Rorobot.

Ad 1: Hula-hula tangkas terdiri dari :

1. Keluarga marga asal seorang isteri, Misalnya, kalau isteri dalam satu keluarga Simbolon adalah boru (putri) dari keluarga Napitupulu maka keluarga Napitupulu khususnya kerabat dekat orangtua boru Napitupulu tersebut adalah hula-hula tangkas keluarga Simbolon tersebut.

2. Keluarga marga asal ibu. Kalau seorang suami adalah putra seorang boru Simanjuntak, maka keluarga Simanjuntak darimana ibunya berasal adalah hulahula keluarga suami tersebut, yang disebut juga "tulang"

(13)

4. Keluarga marga asal nenek buyut. Kalau nenek buyut dari pihak laki-laki satu keluarga adalah marga Siregar, maka keluarga marga Siregar darimana sang nenek buyut berada adalah hula-hula dan dikelompokkan "bona tulang"

5. Keluarga marga asal ibu seorang isteri, atau kalau ibu yang melahirkan isteri adalah marga Simatupang, maka semua kerabat dekat yang semarga dengan keluarga Simatupang tersebut adalah hula-hula keluarga si isteri tersebut, yang disebut "tulang rorobot"

4. Boru.

Dalam pelaksanaan perkawinan, boru dapat digolongkan menjadi dua.

1. Keluarga yang isterinya semarga dengan pengantin pria merupakan kelompok boru yang berperan membantu suhut keluarga pengantin laki-laki. Bantuan boru ini dapat berupa tenaga dalam merencanakan dan melaksanakan jalanya upacara adat dan ada juga berupa materi yang disebut tumpak . Disamping kewajiban adat tersebut, boru juga mendapat hak adat dari hual-hula baru (keluarga pengantin perempuan) berupa restu, doa, maupun simpul-simpul budaya.

2. Kedua: Kelompok kedua adalah boru dari keluarga pengantin perempuan. Mereka juga mempunyai kewjiban dan hak adat .

(14)

1. Keluarga yang isterinya adalah putri dari keluarga yang menjadi suhut satu perhelatan adat. Kelompok ini disebut "boru tubu"

2. Keluarga yang isterinya adalan saudari perempuan sang suami keluar suhut. Sehari-hari disebut "iboto" atau "ito"

3. Keluarga yang isterinya adalah saudari perempuan ayah sang suami keluarga suhut. Panggilan sehari-hari adalan "namboru"

4. Keluarga yang isterinya adalah saudari perempuan kakek suami keluar suhut. Disebut "iboto mangulahi"

5. Keluarga dongan tubu boru (a,b,c,d), khususnya para orangtua dalam kedudukan adat disebut "boru matua" (besan atau orangtua menantu laki-laki)

6. Putra-putra keluarga boru (a,b,c,d) yang kedudukan adatnya disebut

"bere”

7. Putri~putri keluarga boru (a,b,c,d) yang kedudukan adatnya disebut

“ibebere”

(15)

B. Peranan Dalihan Natolu dalam Pelaksanaan Perkawinan Menurut Hukum Adat Batak Toba

Bagi masyarakat adat Batak Toba, perkawinan itu adalah dimana seorang laki-laki mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga dengan melalui prosedur yang ditentukan dalam ketentuan-ketentuan hukum adat batak. Laki-laki yang mengikatkan diri ini disebut dengan

Tunggane Doli ( suami ) dan wanita yang mengikatkan diri dengan laki-laki disebut dengan Tunggane Boru ( istri ).

Pada masyarakat batak toba, seorang laki-laki di dalam menentukan siapa yang pantas menjadi Tunggane Boru-nya bukanlah hanya masalah laki-laki itu saja, melainkan pihak keluarga dan orang tua si laki-laki ikut menentukan. Karena seorang laki-laki pada masyarakat Batak Toba, adalah menjadi penerus marga, maka suatu marga tidak menghendaki marganya diturunkan dari seorang

Tunggane Boru yang tidak berperilaku baik. Demikian juga pihak si wanita yang mau menentukan siapa yang menjadi Tunggane Doli, bukan hanya masalahnya sendiri, tetapi juga menjadi andil dari keluarga orang tuanya yang sangat menentukan.

Walaupun wanita itu nantinya tidak akan menurunkan marga dari Bapaknya, tetapi dengan suatu perkawinan berarti bertambahnya keluarga, bagi puhak keluarga si wanita. Pihak keluarga dari yang menjadi suami ( Tunggane Doli ) si wanita itu nantinya adalah menjadi boru, bagi kelompok marga ayah si wanita itu. Setiap keluarga masyarakat Batak Toba, menghendaki agar Boru ( hela

(16)

Dengan demikian perkawinan bagi masyarakat Batak Toba, berarti pula menentukan siapa menjadi tunggane doli seorang wanita, dan siapa yang menjadi

tunggane boru seorang laki-laki. Penentuan ini bukan hanya urusan para pihak, tetapi juga menjadi urusan para keluarga mereka, karena dengan cara ini, nantinya diharapkan terbentuklah suatu rumah tangga baru yang rukun dan harmonis, dan dapat menurunkan marga dengan baik.8

Pesta perkawinan adalah upacara yang terpenting bagi orang Batak, oleh karena hanya orang yang sudah kawin berhak mengadakan upacara adat, dan upacara-upacara adat lainnya seperti menyambut lahirnya seorang anak, pemberian nama kepadanya dan lain sebagainya adalah sesudah pesta kawin itu. Tambahan lagi adapun pesta perkawinan dari sepasang pengantin merupakan semacam jembatan yang mempertemukan Dalihan Natolu dari orang tua penganten lelaki dengan Dalihan Natolu dari orang tua penganten perempuan. Artinya karena perkawinan itulah maka Dalihan Natolu dari penganten pria merasa dirinya berkerabat dengan Dalihan Natolu pengantin wanita, demikian pula sebaliknya. Segala istilah sapaan dan acuan yang digunakan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain, demikian pula sebaliknya, adalah istilahistilah kekerabatan berdasarkan Dalihan Natolu. Hal ini dikarenakan bahwa pada perkawinan orang Batak bukanlah persoalan suami istri saja, termasuk orang tua serta saudara kandung masing-masing, akan tetapi merupakan ikatan juga dari marga orang tua si suami dengan marga orang tua siistri, ditambah lagi dengan

8

Saragih Djaren,dkk. Hukum Perkawinan Adat Batak, khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan UU Tentang

(17)

boru serta hula-hula masing-masing pihak. Akibatnya ialah kalau cerai perkawinan sepasang suami istri maka putus pulalah ikatan antara dua kelompok tadi. Kesimpulannya ialah perkawinan orang Batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Natolu, dan upacara agama serta catatan sipil hanyalah perlengkapan belaka.

Perkawinan orang Batak yang hanya diabsahkan dengan upacara agama serta catatan sipil boleh dikatakan masih dianggap perkawinan gelapoleh masyarakat Batak dilihat dari sudut adat Dalihan Natolu. Buktinya ialah apabila timbul keretakan di dalam suatu rumah tangga demikian maka sudah pasti marga dari masing-masing pihak tidak merasa ada hak dan kewajiban untuk mencampurinya.

Di daerah Balige pada khususnya masih diteruskan tradisi tentang pembagian jambar-jambar yang masih istilah seperti jambar Pamarai dan lain sebagainya, supaya jelas, perlu kita sorot dulu latar belakang di bona pasogit di zaman dulu sehubungan dengan perkawinan.

Sudah disinggung dalam bab sebelumnya mengenai besarnya peranan

(18)

tempat tinggal orang tua si putri. Untuk itu pembicara ialah para pengetua adat dari kedua pihak, yaitu pihak orang tua sipemuda dan pihak orang tua si putri tadi.

Sesudah ada kesepakatan mengenai besarnya mahar, maka beberapa utusan dari parboru, yaitu orang tua dari si putri pergi “maningkir lobu”, artinya mengunjungi rumah orang tua si pemuda sambil melihat ternak yang akan menjadi mahar itu didalam lobu (kandang). Disepakatilah harinya kapan ternak tadi, atau ternak-ternak kalau lebih dari satu akan dihantarkan ke kampung parboru. Pada hari yang ditentukan itu sudah bersedia para penghuni kampung tersebut menantinya lalu membuka gerbang kampung itu yang memasukkan ternak atau ternak-ternak itu ke kandangnya ialah salah seorang saudara lelaki dari ayah si putri; oleh karena itulah ia dinamai “pamarai” artinya yang memasukkan ke kandang (bara).

Menurut seorang sarjana hukum adat yang terkenal bernama Terhaar, yang mengambil hukum perkawinan adat batak sebagai contoh mengenai pindahnya seorang wanita ke klen suaminya, mahar ialah “alat magis yang melepaskan ikatan seseorang wanita dari klen ayahnya ke klen suaminya sehingga tidak menimbulkan gangguan di dalam keseimbangan sosial dan kosmos”.9

Menurut alam pikiran para leluhur orang batak sesuai dengan prinsip Dalihan Natolu, yang mengasuh calon pengantin perempuan tersebut tidak hanya orang tuanya tetapi turut juga Dalihan Natolu yang kandung dari ayah sigadis. Pertama-tama ialah saudara-saudara lelaki dari sang ayah, kedua ialah boru yang

9

(19)

meliputi para putri dan saudara perempuan dari si ayah tersebut, ketiga ialah hula-hula yang meliputi saudara lelaki dari ibu si putri. Orang tua dari calon pengantin wanita bersama tiga unsur yang disebut tadi merupakan empat dalam jumlah, kesemuanya merupakan catur garis tunggal, yang dalam bahasa Batak dinamai

“Suhi Ampang Ni Opat”, artinya “ Empat Persegi dari bukul”. Masing-masing mereka yang sudah kawin ini menerima jambar nagok, artinya jambar yang penuh. Orang tua dari calon pengantin perempuan itu mendapat upah suhut, yang jauh lebih bernilai dari pada yang diterima oleh tiga pihak lainnya. Biasanya dari tiga pihak lainnya ini ada kesepakatan dikalangan masing-masing pihak untuk menerima secara bergilir, misalnya kalau ada beberapa saudara lelaki dari ayah si putri maka salah seorang diantara mereka yang menerima upah pamarai tersebut secara bergilir.

Yang diterima oleh boru kandung ialah upah pariban dan yang diterima oleh hula-hula ialah upah tulang. Yang diterima itu biasanya sebagian dari ternak hidup; kalau setengah dinamai sambariba horbo, kalau seperempat dinamai

sanghae (sepaha) dan kalau seperdelapan dinamai santambirik. 10

Lama kelamaan peranan domu-domu berkurang di Tanah Batak, demikian pula mahar yang berwujud kerbau sudah biasa diganti dengan uang demi praktisnya, tetapi istilah-istilah sebagaimana dipaparkan diatas masih tetap

10

Sebagai tambahan kalau pihak paranak sanggup memberikan ada lagi jambar siungkap bahal untuk para

tetangga di kampung itu yang telah membuka gerbang kampung untuk kerbau (atau kerbau-kerbau) tersebut. Maknanya yang dalam adalah mereka turut juga sebagai tetangga membesarkan siputeri sejak kecil sebelum menjadi penganten. Selain itu ada lagi jambar simandokhon untuk salah satu saudara lelaki dari penganten itu

, yang telah bersusah payah turut membantu orangtuanya mengundang para tamu ke pesta itu. dua

(20)

terpakai. Upa pamarai, upa pariban, dan upa tulang di luar mahar (upa suhu)

sudah berupa uang juga. Menerima secara bergilir tidak lagi dipertahankan; diperantauan yang hadir si pesta perkawinan itulah yang menerima, sesuai dengan prinsip bahwa yang berhak turut ke bagian jambar ialah orang yang hadir.

Jambar berupa daging khusus yang disajikan kepada Dalihan Natolu yang tidak kandung tetap bertahan dari dulu sampai kini, baik di bonani pasogit maupun didaerah perantauan. Untuk memahami arti yang dalam dari daging namargoar

(yang bermakna) dari binatang tersebut, marilah kita sorot dulu alam pikiran para leluhur di zaman animism yang telah menciptakannya sewaktu seekor binatang kerbau dipotong secara beramai-ramai dan bagian-bagian tertentu disisihkan , tidak ikut dicincang, diantaranya rusuk-rusuk, kepala,laher, dan ekor (bagian akhir) dari binatang tersebut. Punggung, mulai dari tengkuk, mendukung beban , jadi sudah cocok menjadi jambar untuk dongan sabutuha (dongan tubu) yang mendukung secara ramai-ramai tugas sebagai penanggung jawab dalam pesta. Punggung beserta kira-kira 5 rusuk dari depan dinamai jambar panamboli; arti harifiahnya “ bagian untuk pemotong hewan”. Kepala adalah untuk hula-hula yang harus disembah, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Diantara kepala ini dan tengkuk ialah leher kerbau, yang diperuntukkan menjadi jambar untuk boru karena boru adalah penguhubung diantara dongan tubu dan hula-hula.

(21)

sebagian atau seluruhnya dari ihur-ihur (ekor serta pantat) tersebut sebagaimana balasan dari ikan mas yang disodorkan kepadanya oleh pihak mertua.

Empat macam tersebut diatas dapat kita sebut jambar-jambar sekunder sebagai pelengkap untuk golongan-golongan lain yang berfungsi dalam pesta adat.

Mengenai jambar-jambar dari tubuh kerbau sebagaimana tercantum diatas, boleh dikatakan sudah standar di bona pasogit, oleh karena sering dilakukan dilapangan terbuka dan dihalaman kampung. Akan tetapi mengenai jambar-jambar dari “kerbau pendek” ada perbedaan tafsiran oleh karena lehernya tidak mempunyai fungsi sebagai jambar boru, tetapi kepalanya dibagi diantara hula-hula dan boru.

Di bona pasogit dipotong “kerbau pendek” hanya untuk pesta-pesta adat di rumah, sedang didaerah rantauan untuk praktisnya selain untuk pesta-pesta adat di rumah, juga untuk pesta perkawinan di gedung pertemuan umum.11

11

Siahaan Nalom, Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Tulus Jaya, 1982), h.50

(22)

1. Sebelum Upacara Perkawinan

Dalam masyarakat Adat Toba, sebelum upacara perkawinan, terdapat tahap-tahap tertentu, yang merupakan rangkaian proses yang kait mengkait di dalam menuju suatu perkawinan. Tahap-tahap ini juga hanya kita lihat dari segi pihak laki-laki.

Adapun tahap-tahap tersebut adalah : A. Martandang

Kata martandang artinya berkunjung ke rumah orang lain.Dalam martandang ini si laki-laki ke luar dari rumahnya dan berkunjung ke rumah si gadis untuk berkenalan. Pada martandang inilah sering disebut dengan mangaririt – boru oleh si laki-laki. Mangaririt berasal dari kata ririt yang artinya pilih. Oleh karena itu pada martandang ini, termasuk juga dari tujuan si laki-laki untuk memilih si gadis untuk menjadi bakal istrinya.

Acara martandang ini biasanya dilakukan pada malam hari. Kalau seorang laki-laki susuah untuk memilih gais untuk calon istrinya, biasanya si laki-laki tersebut akan mencari boru tulang ( anak paman ) nya.

(23)

B. Mangalehon Tanda

Mangalehon Tanda artinya adalah memberikan tanda. Pemberian tanda ini terjadi, apabila, si laki-laki itu sudah menemukan gadis sebagai calon istrinya, dan si gadis itu sudah menyetujui si laki-laki itu menjadi calon suaminya. Kedua belah pihak yaitu laki-laki maupun perempuan saling memberikan tanda. Dari pihak laki-laki biasanya menyerahkan uang kepada wanita itu sebagai tanda, sedang dari pihak anak wanita menyerahkan kain sarung, ataupun ulos sitoluntuho kepada si laki-laki.

Setelah pemberian tanda dilakukan maka si laki-laki dan si wanita itu sudah mempunyai ikatan, dan si laki-laki ini akan memberitahukan hal ini kepada orangtuanya. Kemudian orang tua si laki-laki menyuruh perantara yang disebut

domu-domu untuk memberitahukan kepada ayah si wanita bahwa anak laki-laki mereka yelah mengikat janji dengan puteri yang empunya rumah. Apabila ayah si gadis menyetujui, maka dia memberitahukan kepada perantara tersebut, untuk diteruskan kepada orang tua si laki-laki.

C. Patuahon Hata

(24)

perantauan. Seorang pemuda tidak boleh langsung mengajukan lamaran kepada orang tua kekasihnya, ia hanya boleh melamar wanita itu sendiri. Kalau mereka berdua telah sepakat membentuk rumah tangga dan orang tua masing-masing juga telah merestuinya, maka pada hari yang ditentukan berangkatlah suatu perutusan dari pihak orang tua sipemuda ke rumah orang tua sipemudi. Perutusan ini terdiri dari beberapa kerabat dekat pihak pemuda, biasanya lebih banyakboru daripada dongan sabutuha. Orang tua si pemuda serta saudara-saudaranya lelaki yang masih kandung tidak ikut serta.

(25)

Boru dari pihak orang tua pemuda dan pihak orang tua sipemudi biasanya menjadi semcam domu-domu mengenai besarnya mahar serta hal-hal lain sehubungan dengan perencanaan menuju ke pesta perkawinan. Mengenai upacara marhata sinamot adalah wewenang dari desa di bona pasogit. 12

Arti harafiah marhusip adalah berbisik-bisik. Adat marhusip dilaksanakan setelah patua hata. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, tugas tersebut pada mulanya diperankan oleh kelompok boru dari kedua belahpihak. Mereka dapat bertemju dimana saja secara informal. Mereka akan membicarakan-negosiasi – segala sesuatu berdasarkan mandate yang diterima dari hula-hulanya. Mereka tidak akan menyimpang dari pesan yang diterima sehingga mereka dijuluki sebagai suruhan haposan (pesuruh terpercaya). Segala sesuatu akan dirundingkan seperti tempat pesta diselenggarakan. Pilihan akan tempat pesta akan menimbulkan dampak tersendiri. Apabila pesta ditempat oroan, semua perlakuan adat yang sudah dibakukan akan dilaksanakan berurutan sebagaimana mestinya. Jika pesta diselenggarakan ditempat pihak pangoli, maka hak dan kewajiban akan berubah. Pihak pangoli tidak diharuskan marsibuha-buhai (sajian pagi berupa makanan tradisional – babi – sebagai petanda pembukaan atau permulaan kekerabatan – partondongan – mereka ). Jual beras (boras si pir ni tondi) dan D. Marhusip – Perundingan diam-diam

12

(26)

dengke siuk (ikan arsik-pepes) sebagai bawaan kerabat pihak oroan akan beralih hak kepada pihak pangoli sebagai bolahan ama atau tuan rumah .

Selanjutnya mereka akan membicarakan jumlah dan bentuk sinamot (uang mahar) yang akan diberikan pihak pangoli. Panjuhuti (jenis ternak yang akan dipotong yang kini ditetapkan oleh pihak oroan. Dahulu, ternak panjuhuti

disediakan oleh pihak pangoli dan merupakan bagian dari sinamot.

Kemudian paulak une, yang dilaksanakan satu dua minggu kemudian oleh keluarga pengantin laki-laki. Bawaan berupa makanan tradisional (babi) dan lampet atau tepung beras. Mayoritas anggota rombongan terdiri dari orang tua laki-laki, kerabat dekat dan boru. Menjelang kampung sang istri, orang-orang yang berpapasan dengan mereka berhak meminta lampet dan harus diberikan. Sewaktu rombongan pangoli pulang, mereka dilengkapi dengan bawaan suguhan berupa ikan (dengke).

Belakangan ini, praktek pataru boru dan paulak une sudah dilangsungkan secara simultan di tempat pesta dilangsungkan dengan tetap mengindahkan persyaratan yang telah dibakukan.pelaksanaan simultan tersebut dinamai ulaon sadari (semua adat pernikahan diselesaikan pada hari itu juga) yang tidak dijumpai dalam terminology adat. Yang tempat adalah mangihut di ampang.

Paulak une seperti dahulu sudah jarang diselenggarakan belakangan ini mengingat waktu yang tidak memungkinkan.

(27)

menunjukkan keakraban dan kerukunan yang mempunyai pengaruh positif terhadap keluarga baru. Pelaksanaan tingkir tangga dan paulak une di gedung pesta menunjukkan penyerobotan hak eksklusif menjadi hak inklusif. Raja-raja adat Jakarta sudah lupa makna indah dari amsal yang berbunyi : “molo ripe-ripe ndang jadi pamunjungan, molo pamunjungan ndang jadi ripe ripe”. Artinya, milik bersama tidak boleh dijadikan menjadi milik bersama tidak boleh dijadikan menjadi milik pribadi dan milik pribadi tidak boleh dijadikan milik bersama.

Tingkir tangga dan Paulak Une bersifat eksklusif.13

Pada acara marhusip ini yang masing-masing pihak masih diwakili oleh perantara, yang dilakukan acara diam-diam, pihak laki-laki menanyakan pada pihak si wanita, berapa kira-kira jumlah uang sinamot, yang harus disediakan oleh pihak keluarga si laki-laki, dan juga memberitahukan kepada pihak si wanita kira-kira kemampuan pihak si laki-laki.

Hal ini dilakukan agar kedua belah pihak mengerti bagaimana keadaan masing-masing pihak. Marhusip ini dilakukan di rumah si wanita , dan dalam hal ini orang tua kedua belah pihak belum ikut campur. Dalam waktu marhusip ini lah juga ditentukan kapan orang tua si laki-laki datang ke rumah orang tua si wanita untuk membicarakan keinginan orang tua si laki-laki itu kepada orang tua si wanita secara resmi.

13

(28)

E. Marhata Sinamot - Merundingkan mas kawin (uang mahar)

Marhata sinamot adalah peristiwa adat untuk merundingkan Sinamot atau

uang mahar atau maas kawin. Setelah patua hata dan marhusip dilaksanakan maka tahap berikutnya adalah Marhata Sinamot. Rombongan Pangoli yang terdiri dari Orang tua Pangoli dan kawan semarga. Boru dan Tulang Pangoli, jika diperlukan mendatangi rumah pihak Oroan yang disambut dengan komposisi yang sama, termasuk Tulang Oroan yang kehadirannya wajib.

Inilah representasi yang baku dan memenuhi persyaratan Marhata Sinamot. Kecenderungan mengikutsertakan aras Hula-hula lain diluar Tulang,

bukan lah keharusan adat. Mereka bukan parjambar na gok atau perjambar di jabu (fungsionaris penerima berkat utama atau penerima berkat di rumah), melainkan diserahkan di halaman (pesta pernikahan) sama dengan undangan lainnya.

Marhata sinamot merupakan tahap penentu dalam pernikahan. Disinilah pihak Pangoli dan pihak Oroan menjalin kesepakatan tentang tata cara pernikahan yang akan dilaksanakan serta wujud dari hak dan kewajiban masing-masing. Oleh karena simpul-simpul kesepakatan telah dirumuskan ketika marhusip, maka proses marhata sinamot akan berjalan mulus karena perbedaan-perbedaan antara pihak-pihak telah diselesaikan terlebih dahulu oleh Boru yang bertugas sebagai medioator (domu-domu). Tidak salah mengatakan bahwa Marhata Sinamot

(29)

pasituak na tonggi (uang pembeli tuak) kepada semua anggota rombongan pihak

Oroan.14

14

P.L.Situmeang Doangsa, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, (Jakarta, : Kerabat,

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada waktu marhusip dibicarakan kapan keluarga si laki-laki secara resmi datang ke keluarga si wanita, untuk membicarakan keinginan dari anaknya, sekaligus membicarakan berapa jujur (

sinamot ) yang mereka harus serahkan.

Pada waktu yang telah ditetapkan rombongan pihak laki-laki datang kerumah orang tua si perempuan, dengan membawa makanan adat. Pada Masyarakat Batak Toba, pembicaraaan baru akan diadakan setelah makan bersama makanan yang dibawa oleh pihak si laki-laki. Setelah makan barulah diadakan acara Marhata Sinamot artinya membicarakan jumlah besarnya jujur yang harus diserahkan oleh pihak si laki-laki, biasanya dalam pembicaraan ini, terjadi tawar menawar yang gesit, yang nantinya jatuh pada jumlah yang telah ditetapkan pada waktu marhusip. Walaupun tidak persis sama, tetapi tidak seberapa jauh bedanya.

Sinamot pada masyarakat Batak Toba biasanya terdiri dari uang dan hewan. Sinamot yang terdiri dari uang biassanya diserahkan pada orang tua si wanita pada saat marhata sinamot. Oleh karena itu untuk pihak orang tua si wanita disebut manjalo sinamot (menerima sinamot). Sedangkan sinamot yang terdiri dari hewan diserahkan kemudian.

(30)

Marhata Sinamot juga adalah saat perkenalan resmi antara orang tua si laki-laki dengan orang tua si wanita.

F. Maningkir Lobu

Seperti telah dikemukakan diatas bahwa Sinamot itu disamping uang ada juga hewan. Oleh karena itu pada saat yang ditentukan keluarga si wanita yang biasanya diwakili oleh adik atau kakak dari ayah si gadis, datang maningkir ( melihat ) lobu ( Hewan Piaraan ) yang telah dijanjikan, ketempat keluarga si laki-laki.

Kemudian setelah acara makan bersama, perutusan keluarga si wanita itu akan membawa hewan itu ke tempat keluarga si wanita. Hewan yang biasanya digunakan sebagai Sinamot adalah kerbau dan lembu.

G. Martonggo Raja

(31)

perkawinan. Jadi Martonggo Raja ini adalah merupakan suatu rapat untuk mengadakan pembagian tugas.15

2. Pada saat pelaksanaan Perkawinan

Yang dimaksudkan disini pengertian upacara perkawinan adalah sejak dipertemukannya calon pengantin pria dan calon pengantin wanita, menurut hukum adat dan sejak adanya pemberitahuan calon mempelai kepada pegawai pencatat perkawinan sampai terlaksananya perkawinan menurut agamanya masing-masing.

Proses-proses yang dijumpai dalam hukum adat, sebelum sampai kepada upacara perkawinan, seperti yang telah dikemukakan adalahdimulai dari Martandang, Mangalehon Tanda, Marhusip, Marhata Sinamot, Maningkir Lobu, dan Martonggo Raja. Setelah selesai semua acara ini, maka pada waktu yang telah ditetapkan pihak keluarga laki-laki datang ke rumah orang tua si wanita dengan membawakan makanan adat. Makanan adat ini ditaruh di dalam bakul yang disebut Ampang, dan dibawa oleh seseorang boru yang disebut Boru Sihunti Ampang. Rombongan ini sudah ditunggu oleh keluarga si wanita di rumah orang tua si wanita tersebut. Setelah makan maka secara bersama-sama mereka mengantarkan kedua calon pengantin ini, untuk melakukan perkawinan secara agama. Perkawinan secara agama ini, bagi yang beragama Kristen diberkati di

15

(32)

gereja dan bagi yang beragama Islam melakukan akad nikah di depan penghulu atau tuan kadi.

Seusai upacara menurut agama ini, maka semua keluarga bersama pengantin pergi ke tempat pesta yang telah ditentukan. Bagi masyarakat adat Batak Toba peresmian perkawinan biasanya harus dilakukan dalam suatu pesta. Besar kecilnya pesta ini dengan sendirinya disesuaikan dengan kemampuan kedua belah pihak. Pesta peresmian perkawinan ini dapat dilakukan di tempat pihak keluarga laki-laki dan dapat dilakukan di tempat keluarga perempuan. Kalau pesta upacara perkawinan dilakukan di tempat keluarga laki-laki maka, setelah upacara perkawinan di Gereja atau akad nikah di Penghulu, maka si wanita itu dibawa ke rumah keluarga si laki-laki, pesta dilakukan disana. Upacara perkawinan seperti ini disebut Ditaruhon Jual. Semua pembagian Jambar bagi yang berhak diserahkan pada saat pesta tersebut. Kalau pesta perkawinan dilakukan di tempat si wanita maka, setelah upacara perkawinan di gereja atau di kantor Urusan Agama maka kedua pengantin dibawa dulu ke rumah orang tua si wanita atau langsung ke tempat pesta. Acara perkawinan seperti ini dinamakan Dialap Jual. Kemudian setelah pesta baru si wanita dibawa ke rumah keluarga si laki-laki. Pada pesta ini jugalah diserahkan pembagian jambar bagi pihak-pihak yang berhak.16

3. Setelah Upacara Perkawinan

Seperti telah dikemukakan terlebih dahulu bahwa pada orang batak Toba, setelah upacara perkawinan anak perempuan itu akan dibawa ke lingkungan si

16

Saragih Djaren,dkk. Hukum Perkawinan Adat Batak, khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan UU Tentang

(33)

laki-laki. Walaupun si perempuan itu dibawa ke lingkungan si laki-laki, bukan berarti sudah selesai proses-proses yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, di dalam rangka perkawinan mereka. Acara-acara tertentu yang harus dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Dengan kata lain bahwa acara-acara itu masih merupakan bagian dari proses perkawinan, yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak.

Acara-acara yang terjadi setelah upacara perkawinan tidak ditentukan di dalam Undang-undang tentang perkawinan maupun peraturan pelaksanaannya. Acara-acara setelah perkawinan pada masyarakat Batak Toba :

a. Mebat ( Paulak Une )

Artinya bahwa kira-kira setelah satu minggu, maka kedua pengantin dengan beberapa orang keluarganya datang kerumah orang tua si wanita. Sebelum Mebat ini maka si wanita dan suaminya belum boleh berkunjung ke rumah orang tua si wanita tersebut. Pada acara ini biasanya adalah untuk kesempatan bagi kedua orang tua untuk memberikan nasehat-nasehat kepada kedua suami istri yang baru itu.

b. Maningkir Tangga

(34)

c. Manjae

Setelah semua upacara selesai maka orang tua si laki-laki akan memberi peralatan dan makanan secukupnya sambil menunggu panen dari sawah mereka. Dengan demikian suami istri yang baru itu akan berdiri sendiri sebagai rumah tangga yang mempunyai hak dan kewajiban penuh menurut adat.17

Hak dan kewajiban suami isteri sebagai orang tua terhadap anak-anak mereka adalah seimbang menurut kedudukan dan tanggung jawabnya masing-masing dalam kekeluargaan atau rumah tangga. Rasa cinta, saling hormat menghormati, kesetiaan dan saling bantu membantu dalam kehidupan harus C. Akibat Hukum yang timbul dari perkawinan adat Batak Toba

1. Kedudukan Orang Tua

Dilihat dari sistem hukum adat Batak Toba maka masyarakat Batak menarik keturunan dari pihak laki-laki (ayah) atau disebut dengan Patrilineal, yang artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir maupun laki-laki ataupun perempuan dengan sendirinya mengikuti klan atau marga dari ayahnya. Disamping itu, yang dapat meneruskan marga dan silsilah seorang ayah, hanyalah anak laki-laki, sedang anak perempuan bukanlah penerus marga dan silsilah dari ayahnya, apabila seorang wanita kawin, maka anak-anak yang dilahirkannya akan mengikuti marga daripada suaminya.

17

Saragih Djaren,dkk. Hukum Perkawinan Adat Batak, khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan UU Tentang

(35)

terjalin sedemikian rupa, tidak saja antara suami dan isteri serta anak-anak, tetapi juga terhadap semua anggota kerabat bersangkutan. Bahkan dalam masyarakat kekerabatan yang masih kuat ikatannya, kedudukan dan tempat kediaman (rumah)

Orang tua tidak semata-mata ditentukan oleh suami-isteri tetapi juga ditentukan oleh anggota-anggota kerabat yang lain.18

18

Sesungguhnya kewajiban orang tua sebagai suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (pasal 30 UU No. 1/1974).

Demikian seterusnya sehingga dalam lingkungan masyarakat adat kekerabatan , selama rasa tanngngjawab kekerabatan itu masih kuat berlaku, maka selama itu akan kecil sekali kemungkinan terjadinya anak-anak yang tidak terurus.

Jika orang tua tidak dapat mengurus kehidupan anak-anaknya atau melalaikan tanggungjawabnya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka tanggungjawab beralih dengan sendirinya kepada pama-paman, saudara lelaki dari ayah; apabila ini tidak mampu untuk bertanggung jawab maka pertanggungjawaban dapat beralih kepada paman-paman saudara lelaki sekakek (dongan tubu) atau beralih kepada saudara lelaki ibu (hula-hula), atau beralih kepada saudara-saudara wanita ayah dan suaminya (namboru).

(36)

2. Kedudukan anak

Sedangkan kedudukan anak angkat sama halnya dengan kedudukan anak kandung yang akan menjadi penerus dan pewaris selanjutnya dari orang tua angkatnya.

Pada masyarakat Batak Toba yang menganut prinsip patrilineal dengan sistem Dalihan Natolu maka setiap anak harus jelas usulnya secara biologis menurut garis ayah. Hal ini dikarenakan bahwa orang Batak mempunyai prinsip rap paranak, rap parboru, seorang anak yatim piatu dari perkawinan yang abash menurut adat Dalihan Natolu sepanjang diketahui tidak ada satu keluarga luas orang Batak yang bersedia menyerahkannya kepada seorang pria yang bukan semarga dengan sianak untuk diangkat, oleh karena setiap yatim piatu ada saja walinya berdasarkan hubungan darah. Dalamn hal ini berlaku prinsip “Marnata na Sumolhot”, yaitu yang lebih dekat hubungan darahnya lebih besar hak serta tanggungjawabnya menjadi wali dari si anak tersebut.

Bagi keluarga Batak di daerah rantau, yang sudah menunggu bertahun-tahun lamanya tetapi tidak dikaruniai anak, ada kesempatan baik mengadopsi anak dari penduduk setempat yang bukan orang Batak. Syarat pokok yang harus dipenuhi adalah anak yang diadopsi itu tidak bolah laki-laki tetapi harus perempuan. Kalau lelaki yang diadopsi sudah pasti tidak sesuai dengan hukum adat Batak karena lelaki mewariskan marga, sedangkan kalau perempuan tidak menjadi soal. Biasanya anak yang diadopsi itu seorang anak yang masih bayi.19

19

(37)

D. Ketentuan umum tentang sikap dan perilaku antar unsur Dalihan Natolu Bila diteliti dan diamati seksama, sikap dan perilaku yang ditampilkan seseorang menghadapi atau berhubungan dengan orang lain tampaknya tidak sama. Seandainya orang tersebut berhadapan dengan Doli Situmeang sebagai

Dongan Sabutuha , dia akan menampilkan sikap dan perilaku yang berbeda dibandingkan dengan menghadapi Edward Lumban Tobing dari pihak Hula-hula

atau Daulat Aritonang dari pihak Boru. Perlakuan terhadap Dalihan Natolu

tersebut sangat berbeda dan reaksi yang ditampilkan lawan bicara juga berbeda. Perbedaan sikap dan perilaku tersebut tekag dibakukan tua-tua pendahulu sebagai ketetapan atau petuah agung melestarikan masyarakat Dalihan Natolu agar bergaul dalam keteraturan dan ketertiban. Kerinduan akan kesempurnaan telah menjadi cita-cita tua-tua pendahulu. Petuah tersebut berbunyi sebagai berikut:

“Manat mardongan tubu, Elek marboru, Somba Marhula-hula”.

Ketetapan diatas menasehatkan agar setiap orang hendaknya bersikap

manat atau hati-hati terhadap Dongan sabutuha, bersikap Somba atau hormat terhadap Hula-hula dan bersikap Elek atau lemah lembut terhadap Boru. Petuah ini merupakan panduan dasar yang wajib dipegang dan dipedomani. Sikap itulah yang menandakan posisi setiap warga Dalihan Natolu tanpa kecuali dalam pertemuan atau perhelatan. Mengenai tata sikap tersebut, sedikit banyak telah dipaparkan semula.

(38)

dahulu dan memastikan posisi atau fungsi sosialnya. Apakah dia berfungsi sebagai Dongan sabutuha,Hula-hula atau Boru dalam pertemuan atau perhelatan yang dihadapi. Kemungkinan selalu ada, bahwa seseorang dapat berfungsi ganda karena ikatan pernikahan. Namun, yang bersangkutan hendaknya memilih fungsi atau posisi yang paling tepat dengan memperhatikan garis keturunan dan garis kekerabatan (kedekatan atau hasolhotan) dengan orang yang berhajat atau berpesta. Dengan mengetahui fungsi atau posisinya, maka orang yang bersangkutan sudah dapat memastikan pilihan sikap yang akan ditampilkan serta konsekuensinya akan hak dan kewajiban yang dihadapi.

1. Sikap dan perilaku terhadap Dongan Sabutuha atau kawan semarga

Sikap manat atau hati-hati terhadap Dongan sabutuha dapat disejajarkan dengan ungkapan yang berbunyi “Benang jangan terputus, tepung jangan terserak”. Dongan sabutuha adalah orang-orang yang satu marga, diikat kesatuan hubungan darah dan merupakan kesatuan keturunan dari satu luhur yang mewariskan marga kepada mereka. Karena mereka menganggap diri satu darah, satu keturunan dan satu marga yang namanya perdebatan (marpollung) dengan suara keras dan kedengarannya seperti orang berkelahi,adalah soal biasa. Perdebatan berkisar tentang benar tidaknya (hasintongan) akan sesuatu uhum

(39)

bongkol dimasukkan, harus dapat pas masuk ke dalam mangkoknya. Demikianlah umumnya inti perdebatan yang berkisar tentang tulang bongkol dan mangkok

yang dipakai. Dengan kata lain, apakah dasar, alasan dan acuan melakukan uhum

dan ugari yang dimaksud benar.

Sebagai contoh pernikahan anak perempuan Batak dengan orang pernikahan anak perempuan kawan semarga mempunyai konsekuensi adat terhadap Dongan sabutuha atau kawan semarga. Kawan semarga berhak menerima jambar hepeng (berkat uang) dari boli (tuho ni oro) atau mas kawin dari orang tua pengantin perempuan. Selanjutnya adalah kewajiban semarga memberikan ulos holong kepada si pengantin. Resepsi tidak memenuhi kedua unsur atau persyaratan tersebut. Dari segi adat dan tatanan Dalihan Natolu, anak perempuan tersebut belum dapat dianggap menikah. Terhadap perhelatan yang dilakukan keluarga baru tersebut, orang tuanya tidak berhak “marhara” atau mengajak dongan sabutuha atau boru. Anak-anaknya pun tidak, karena mereka tidak memperoleh haknya sesuai dengan adat (Jambar,berkat dalam posisi (tohonon) Simandokkon atau Simolohon atau sauadara kandung laki-laki. Itulah konsekuensinya dari sudut adat Batak.

(40)

pengantin pria). Jangan tanyakan silsilah marga si Hela sebab dia tidak punya seperti orang batak. Masa si pengantin tidak punya orang tua, saudara kandung orang tua, saudara kandung perempuan dan sebagainya. Siapa saja keluarga atau teman dekatnya cukuplah itu menjadi fungsionaris Suhi ni ampang ni opat.Berikanlah Ulos Hela sebab itulah perlambang dan pembuktian bahwa suami sang putri telah diterima sebagai anggota keluarga. Sebagian kecil biaya resepsi dapat disisihkan untuk jambar (berkat uang) dongan sabutuha, boru dan tulang

pengantin perempuan sebagai representasi kelompok Hula-hula. Tidak klop menurut takaran orang batak? Memang tidak! Buat apa amsal tua-tua pendahulu yang berkata :”mumpat talutuk, sesa gadu-gadu, salpu uhum na buruk, ro uhum na imbaru”. Artinya, patok dapat dicabut, pembatas dapat terhapus, perbuatan cara lama tidak berlaku karena hukum baru telah datang. Prinsip tidak berobah, pelaksanaan dapat disesuaikan.

(41)

Untuk mengingatkan dan menguatkan sikap kehati-hatian tersebut, tua-tua pendahulu telah menciptakan amsal berikut untuk dipedomani: “Siadapari gogo, sisoli-soli uhum” artinya “berikan tenagamu, kerelaanmu dan kebaikanmu terlebih dahulu, karena perbuatan atau beramal baik itu datangnya silih berganti..”. pemilik amsal menghendaki hidup yang proaktif, mendahulukan perbuatan baik (Manholoani na denggan) dan baru kemudian mengharapkan perlakuan yang baik. Amsal yang lebih tajam dan keras yang isinya sama tetapi terus terang seperti watak orang batak berbunyi :”Molo adong sinuan,adong sigotilan” artinya “jika ada yang ditanam, ada yang dipanen”.

Karena itu, seseorang hendaknya selalu waspada dan tanggap terhadap berbagai peristiwa adat atau kejadian diantara orang yang satu marga, apabila undangan diterima, jangan tidak dipenuhi. Suami isteri bisa berbagi siapa yang akan menghadiri. Tetapi, tidak tepat hanya membiarkan sang istri karena suamia adalah kepala rumah tangga dan menjadi sesama saudara semarga. Kesatuan, kepedulian, dan kebersamaan dalam naungan satu marga perlu dijaga dengan hati-hati. Friksi dan salah pengertian dengan kawan semarga tidak selamanya dapat dihindarkan. Hal itu hanya berlangsung sementara karena mereka percaya atas perumpamaan yang berbunyi “tampulon aek do na marsabutuha” yang artinya bahwa mereka yang semarga hanya berpisah sementara bagaikan air dibelah yang menyatu kembali dengan cepat. Kawan semarga hendaknya mengingat amsal berikut “antik do mula ni rimba,riha dalan ni baji, baji mambaen mabola”,

(42)

dan kayu akan terbelah”. Hendaknya waspada terhadap provokator agar kawan semarga tidak pecah.

Sikap kehati-hatian terkait juga dengan jambar hata (hak bersuara). Tidak perlu di daftar atau tunjuk tangan seperti persidangan umum. Aturan main sudah ada yang didasarkan atas urutan kelahiran (partubu). Sebagai suhut bolon (keluarga yang berhajat) tidak diperbolehkan membuka dan memandu pembicaraan. Fungsi itu harus diberikan dan diperankan orang kedua dari keluarga berhajat. Demikian juga dalam lpesta pernikahan. Kawan semarga yang ditunjuk sebagai parsinabul (pengacara), orang yang dikuasakan tidak boleh diintervensi. Mandatnya telah ditetapkan dalam Tonggo raja (temu wicara) bersama kawan semarga dan beberapa keluarga Boru. Demikianlah sikap manat

(kehati-hatian) tersebut diindahkan dan dilaksanakan. Kawan semarga yang sudah diberikan kuasa tidak boleh diganti sesuka hati oleh siapapun, termasuk yang punya hajat, apabila sudah diputuskan dalam Tonggo Raja yang dapat disamakan dengan DPR, pemegang mandate juga tidak boleh menyimpang dari keputusan bersama yang disepakati. Tidak boleh sesuka hati walaupun mandate ditangan sebagai parsinabul. Harus konsisten dan konsekuen.

(43)

tempat dalam kebersamaan, lambat laun akan terpinggirkan. Mereka yang satu marga adalah pewaris dan pemilik pustaha yang berisi tatanan sosial, tata tertib pergaulan hidup termasuk ketentuan dan ketetapan (uhum dan ugari)di bidang adat. Semua anggota marga dianggap sudah mengetahui dan mengusai isi Pustaha

sebagai pegangan dan rujukan.20

Hagabeon telah dianggap tercapai bilamana si Ibu sudah melahirkan keturunan bagi suaminya. Namun, hagabeon tersebut bafru dianggap lengkap dan 2. Sikap dan Perilaku terhadap Hula-hula atau marga isteri

Sikap somba atau hormat yang ditetapkan terhadap hula-hula didasarkan kepada pemikiran bahwa putrid Hula-hula adalah ibu yang melahirkan keturunan disebut Hagabeon dalam bahasa Batak. Hagabeon merupakan cita-cita utama dan paling didambakan orang Batak. Sangat bertolak belakang dengan berbagai masyarakat di dunia ini yang menganggapnya sebagai beban dan mengganggu hidupnya. Bagi mereka, tanpa anak merupakan life style modern . Walaupun seseorang memiliki kekayaan (hamoraon, bahasa Batak) yang luar biasa atau pangkat (hasangapon,dalam bahasa Batak) yang tinggi, semuanya tidak berarti (sisoada) apabila yang bersangkutan tidak mempunyai keturunan (hagabeon). Oleh sebab itu, adalah salah besar apabila ada orang mensejajarkan keturunan (hagabeon) dengan kekayaan (hamoraon) dan kedudukan (hasangapon) sebagai cita-cita utama orang Batak yang biasa disebut dengan tiga H. Yang benar (sintong) adalah hagabeon.

(44)

sempurna (gok bahasa Batak ) apabila si Ibu melahirkan putra dan putri. Kelahiran putrid saja masih dianggap belum sempurna karena mereka tidak memiliki hak melanjutkan garis keturunan ayahnya. Adanya pewaris garis keturunan, juga akan memberi jaminan berlangsungnya garis kekerabatan dengan hula-hula. Amsal berikut membuktikannya : “Ndang tutu sihupi, ianggo somarsuga-suga, ndang tutu nauli ianggo so marhula-hula”. Artinya, putri yang tidak mempunyai saudara laki-laki, tidak akan dianggap cantik (Uli, bahasa Batak) jika tidak memiliki saudara laki-laki.

Karena hula-hula telah dianggap sebagai pangkal atau sumber hagabeon

yang akan meneruskan garis keturunan, maka sikap bersembah atau berhormat terhadap mereka merupakan sikap yang mutlak dilakukan. Seorang ibu yang melahirkan putra merupakan jaminan atas kesinambungan garis keturunan. Lahirnya seorang Putra akan disambut dengan ucapan “Taho ma I “

artinya”Syukurlah” dan kalau yang dilahirkan seorang putri maka sambutannya berbunyi “Mangolu ma” artinya “semoga hidup (selamat)”. Apakah ini perlakuan diskriminatif? Memang begitu adanya, tetapi perlakuan orang tua terhadap putra putrid tidak berbeda. Si Ucok atau Si Butet.

(45)

ditempat teratas dan terhormat dalam struktur sosial masyarakat Batak. Dengan demikian, ikatan sosial garis kekerabatan dengan kelompok Hula-hula harus dicatat dengan sempurna. Lazimnya dibatasi hingga tingkat bona ni ari atau marga ibu yang melahirkan kakek. Pembatasan ini konsisten dan konkruen dengan prinsip batasan hasuhuton atau yang hanya dibatasi dalam lingkaran keturunan kakek kandung bersaudara.

Belakangan ini, ada sebagian kecil orang Batak Kristen yang menolak sikap dan pemakaian kata Somba (sembah) tehadap Hula-hula. Mereka berkilah bahwa kata somba hanya patut dipakai untuk Tuhan. Bila aksennya pada suku kata kedua berarti menundukkan kepala. Yang dimaksud tua-tua pendahulu adalah yang kedua, tunduk kepala dalam arti hormat. Tunduk kepala pun tidak sampai membungkuk. Tua-tua pendahulu tidak pernah mengatakan supaya hula-hula disembah, diperlakukan sama seperti Tuhan. Bahasa ibu hendaknya dipelajari baik-baik dengan seksama agar memperoleh pengertian dan pemahaman yang benar. Apa pula jawaban mereka kalau orang Batak mengatakan :”Marsomba pisang”, yang artinya jantung pisang sudah keluar. Asbun mendongeng boleh saja. Apa pula arti “bagas” dalam bahasa Batak bila asksennya di suku pertama dan kedua. Aksen pertama berarti rumah dan aksen kedua berarti dalam. Somba

(46)

3. Sikap dan perilaku terhadap Boru atau marga asal suami

Sikap Elek atau lemah lembut dan bujuk rayu terhadap boru didasarkan kepada suasana kasih sayang yang biasa diterima seorang putri dari orang tua sebelum menikah dengan marga lain. Selama tinggal bersama orang tua, si putrid biasanya menikmati keleluasaan dan kebebasan. Dengan sadar mereka dimanja, karena satu waktu kelak, sang putri akan menikah meninggalkan orang tua,sudah pasti tidak akan ditemukan lagi di tempat suaminya. Budaya dan kebiasaan keluarga sesuatu akan timbul di hatinya.

(47)

dapat dipenuhi ibunya dapat merayu borunya supaya mempertimbangkan ulang permintaannya. Ibulah yang paling dekat dengan putrinya. Kasih sayang ibu dapat melunakkan hati si anak. 21

21

P.L.Situmeang Doangsa, Dalihan Natolu Sistem Sosial Kemasyarakatan Batak Toba, (Jakarta, : Kerabat,

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Penelitian terhadap Sinamot Sebagai Mahar Dalam Perkawinan Adat Batak akan menunjukkan bahwa Sinamot memiliki kedudukan yang sangat penting dalam perkawinan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan hula – hula dalam pelaksanaan perkawinan menurut adat Batak Toba di Desa Lumban Purba Saitnihuta Kecamatan Doloksanggul

Simbol yang dimaksud dalam upacara perkawinan adat Batak Toba.. ialah pada saat

Dikatakan sakral karena dalam adat perkawinan Batak , ada makna pengorbanan bagi parboru (pihak penganten perempuan) karena ia “berkorban” memberikan satu nyawa

“Mangain Marga (Pemberian marga kepada Orang Non Batak Perkawinan Adat Batak Toba di Kota Dumai)’’. Penelitian ini perlu dilakukan mengingat pada saat ini sudah

Marhata dalam upacara adat Batak Toba adalah membicarakan serta mewujudkan tujuan suatu upacara adat perkawinan Batak Toba dengan menggunakan bahasa tutur

marunjuk pada upacara adat perkawinan Batak Toba. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang menerapkan kerangka pikir pragmatik. Lokasi penelitian ini adalah

Menambahkan pemahaman tentang pengaruh Kristiani yang masuk pada bagian tertentu dari perkawinan adat Batak Toba, khususnya mengenai kedudukan sinamot, BB menjelaskan bahwa