• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seperti telah dikemukakan terlebih dahulu bahwa pada orang batak Toba, setelah upacara perkawinan anak perempuan itu akan dibawa ke lingkungan si

16

Saragih Djaren,dkk. Hukum Perkawinan Adat Batak, khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan UU Tentang

laki-laki. Walaupun si perempuan itu dibawa ke lingkungan si laki-laki, bukan berarti sudah selesai proses-proses yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, di dalam rangka perkawinan mereka. Acara-acara tertentu yang harus dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Dengan kata lain bahwa acara-acara itu masih merupakan bagian dari proses perkawinan, yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak.

Acara-acara yang terjadi setelah upacara perkawinan tidak ditentukan di dalam Undang-undang tentang perkawinan maupun peraturan pelaksanaannya. Acara-acara setelah perkawinan pada masyarakat Batak Toba :

a. Mebat ( Paulak Une )

Artinya bahwa kira-kira setelah satu minggu, maka kedua pengantin dengan beberapa orang keluarganya datang kerumah orang tua si wanita. Sebelum Mebat ini maka si wanita dan suaminya belum boleh berkunjung ke rumah orang tua si wanita tersebut. Pada acara ini biasanya adalah untuk kesempatan bagi kedua orang tua untuk memberikan nasehat-nasehat kepada kedua suami istri yang baru itu.

b. Maningkir Tangga

Maningkir artinya melihat. Berarti dalam hal ini kedua orang tua si wanita beserta beberapa orang keluarganya datang ke rumah orang tua si laki-laki untuk melihat rumah tangga anaknya. Kedatangan mereka ini selalu membawa makanan adat.

c. Manjae

Setelah semua upacara selesai maka orang tua si laki-laki akan memberi peralatan dan makanan secukupnya sambil menunggu panen dari sawah mereka. Dengan demikian suami istri yang baru itu akan berdiri sendiri sebagai rumah tangga yang mempunyai hak dan kewajiban penuh menurut adat.17

Hak dan kewajiban suami isteri sebagai orang tua terhadap anak-anak mereka adalah seimbang menurut kedudukan dan tanggung jawabnya masing-masing dalam kekeluargaan atau rumah tangga. Rasa cinta, saling hormat menghormati, kesetiaan dan saling bantu membantu dalam kehidupan harus C. Akibat Hukum yang timbul dari perkawinan adat Batak Toba

1. Kedudukan Orang Tua

Dilihat dari sistem hukum adat Batak Toba maka masyarakat Batak menarik keturunan dari pihak laki-laki (ayah) atau disebut dengan Patrilineal, yang artinya bahwa setiap anak-anak yang lahir maupun laki-laki ataupun perempuan dengan sendirinya mengikuti klan atau marga dari ayahnya. Disamping itu, yang dapat meneruskan marga dan silsilah seorang ayah, hanyalah anak laki-laki, sedang anak perempuan bukanlah penerus marga dan silsilah dari ayahnya, apabila seorang wanita kawin, maka anak-anak yang dilahirkannya akan mengikuti marga daripada suaminya.

17

Saragih Djaren,dkk. Hukum Perkawinan Adat Batak, khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan UU Tentang

terjalin sedemikian rupa, tidak saja antara suami dan isteri serta anak-anak, tetapi juga terhadap semua anggota kerabat bersangkutan. Bahkan dalam masyarakat kekerabatan yang masih kuat ikatannya, kedudukan dan tempat kediaman (rumah)

Orang tua tidak semata-mata ditentukan oleh suami-isteri tetapi juga ditentukan oleh anggota-anggota kerabat yang lain.18

18

Sesungguhnya kewajiban orang tua sebagai suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (pasal 30 UU No. 1/1974).

Demikian seterusnya sehingga dalam lingkungan masyarakat adat kekerabatan , selama rasa tanngngjawab kekerabatan itu masih kuat berlaku, maka selama itu akan kecil sekali kemungkinan terjadinya anak-anak yang tidak terurus.

Jika orang tua tidak dapat mengurus kehidupan anak-anaknya atau melalaikan tanggungjawabnya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka tanggungjawab beralih dengan sendirinya kepada pama-paman, saudara lelaki dari ayah; apabila ini tidak mampu untuk bertanggung jawab maka pertanggungjawaban dapat beralih kepada paman-paman saudara lelaki sekakek (dongan tubu) atau beralih kepada saudara lelaki ibu (hula-hula), atau beralih kepada saudara-saudara wanita ayah dan suaminya (namboru).

Demikian seterusnya sehingga dalam lingkungan masyarakat adat kekerabatan , selama rasa tanngngjawab kekerabatan itu masih kuat berlaku, maka selama itu akan kecil sekali kemungkinan terjadinya anak-anak yang tidak terurus.

2. Kedudukan anak

Sedangkan kedudukan anak angkat sama halnya dengan kedudukan anak kandung yang akan menjadi penerus dan pewaris selanjutnya dari orang tua angkatnya.

Pada masyarakat Batak Toba yang menganut prinsip patrilineal dengan sistem Dalihan Natolu maka setiap anak harus jelas usulnya secara biologis menurut garis ayah. Hal ini dikarenakan bahwa orang Batak mempunyai prinsip rap paranak, rap parboru, seorang anak yatim piatu dari perkawinan yang abash menurut adat Dalihan Natolu sepanjang diketahui tidak ada satu keluarga luas orang Batak yang bersedia menyerahkannya kepada seorang pria yang bukan semarga dengan sianak untuk diangkat, oleh karena setiap yatim piatu ada saja walinya berdasarkan hubungan darah. Dalamn hal ini berlaku prinsip “Marnata na Sumolhot”, yaitu yang lebih dekat hubungan darahnya lebih besar hak serta tanggungjawabnya menjadi wali dari si anak tersebut.

Bagi keluarga Batak di daerah rantau, yang sudah menunggu bertahun-tahun lamanya tetapi tidak dikaruniai anak, ada kesempatan baik mengadopsi anak dari penduduk setempat yang bukan orang Batak. Syarat pokok yang harus dipenuhi adalah anak yang diadopsi itu tidak bolah laki-laki tetapi harus perempuan. Kalau lelaki yang diadopsi sudah pasti tidak sesuai dengan hukum adat Batak karena lelaki mewariskan marga, sedangkan kalau perempuan tidak menjadi soal. Biasanya anak yang diadopsi itu seorang anak yang masih bayi.19

19

D. Ketentuan umum tentang sikap dan perilaku antar unsur Dalihan Natolu

Dokumen terkait