• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan Semarga dalam Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Sipahutar, Kab. Tapanuli Utara. Oleh: Sartika Simatupang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perkawinan Semarga dalam Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Sipahutar, Kab. Tapanuli Utara. Oleh: Sartika Simatupang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Perkawinan Semarga dalam Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan

Sipahutar, Kab. Tapanuli Utara

Oleh:

Sartika Simatupang

Program Studi Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Medan

ABSTRAK

Pernikahan/Perkawinan adalah moment yang sangat penting dalam hidup seseorang karena akan dikenang sepanjang hidup. Pernikahan menyatukan dua manusia menjadi satu keluarga. Pernikahan juga menyatukan dua keluarga besar dalam jalinan persaudaraan. Dalam pernikahan, dilakukan beberapa acara mulai dari ritual pernikahan atau acara –acara adat sampai dengan resepsi pernikahan. Resepsi pernikahan yang identik dengan pesta pernikahan, baik itu secara sederhana maupun pesta besar –besaran.

Dengan adanya kemajuan teknologi ini maka konteks kehidupan pada jaman dahulu dengan sekarang sudah tentu berbeda jauh. Untuk membuat suatu peraturan atau tata-tertib perkawinan, sudah pasti para nenek moyang dulu juga telah memperhatikan konteks pada waktu itu sehingga tata-tertib yang dibuat itu nantinya mampu untuk menjawab kebutuhan masyarakat atau kelompok tertentu pada waktu itu. Setiap peraturan yang dibuat juga pasti mempunyai suatu tujuan yang baik yaitu untuk terciptanya keharmonisan dan kesejahteraan dalam kelompok tersebut. Di negara kita juga ada peraturan perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Apabila terjadi suatu perkawinan semarga dalam batak Toba maka hal itu dianggap sebagai yang tabu dan pasangan yang menikah itu akan dikucilkan dari masyarakat di mana ia berada. Ini berarti terjadi penolakan terhadap pasangan yang melakukan perkawinan ini, dan yang lebih parahnya lagi, ia tidak akan pernah memperoleh pengakuan dari adat Batak Toba,masyarakat Batak Toba menolak perkawinan semarga alasannya karena masih satu darah atau masih keluarga.

(2)

A.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari beragam budaya dan ragam bahasa daerah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Dengan adanya keberagaman ini sudah barang tentu setiap budaya akan mempunyai suatu aturan atau adatnya sendiri-sendiri, termasuk juga dalam hal ini hukum adat perkawinan. Hukum adat perkawinan atau perkawinan yang berbeda ini menjadi ciri khas dan keunikan tersendiri di setiap budaya yang ada. Hukum adat perkawinan adalah hukum masyarakat (hukum rakyat) yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan negara, yang mengatur tata-tertib perkawinan.

Berdasarkan pengertian tersebut dapatlah penyusun katakan bahwa hukum atau peraturan terhadap adat perkawinan itu dibuat sendiri oleh suatu kelompok budaya tertentu yang disepakati bersama oleh kelompok tersebut, yang bertujuan untuk menciptakan keharmonisan dari pada kelompok tersebut. Suku Batak Toba merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia yang beragam tadi. Suku Batak Toba juga mempunyai peraturan atau adatnya sendiri mengenai tatatertib perkawinan. Di dalam tata-tertib itu juga terdapat aturan-aturan mengenai siapa saja yang boleh untuk dinikahi dan siapa yang tidak boleh untuk dinikahi. Penyusun mengambil salah satu contoh perkawinan Incest yang tidak boleh dilakukan yaitu apabila menikah dengan orang yang semarga. Ada anggapan bahwa apabila kita bertemu dengan semarga kita itu berarti dia adalah saudara kita dan dianggap masih mempunyai hubungan darah berdasarkan keturunan dari marga yang ada. Pada intinya secara umum, hukum adat Batak yang hubungan kekerabatannya bersifat asymmetrisch connubium, melarang terjadinya

(3)

perkawinan antara pria dan wanita yang satu marga. Adapun latar belakang penulis mengangkat permasalahan “ Perkawinan Semarga dalam Masyarakat Batak Toba di sipahutar, Kab. Tapanuli Utara”. adalah ingin melihat dan mengetahui bagaimana sebenarnya perkawinan Semarga dalam adat Toba tersebut karena selama ini sepengetahuan penulis belum ada yang menyinggung perkawinan semarga ini.

B. PEMBAHASAN

Etnografi merupakan tulisan mengenai sesuatu yang liyan (other), gambaran deskriptif perihal segala hal yang ada di luar diri (self) etnografer itu sendiri. Segala hal yang digambarkan sebagai sesuatu yang liyan tersebut identik disebut “budaya” dalam arti yang luas. Berarti penyajian dalam bentuk tulisan mengenai budaya lain yang ada di sekeliling etnografer yang sama sekali berbeda dengan budayanya sendiri, atau mungkin juga dia menjadi bagian dari budaya itu sendiri tapi tidak sepenuhnya (total).

Etnografi merupakan cikal bakal dari ilmu antropologi, yang bersumber dari catatan-catatan para etnografer mengenai sesuatu yang liyan. Dan etnografer awal yang melahirkan antropologi ini adalah para kolonial (penjajah) yang dengan catatan-catatan etnografinya menggambarkan keliyanan yang didapat di tanah koloni tersebut. Para antropolog awal ini membuat catatan-catatan etnografi setelah mereka “bergaul” dan menjadi bagian dari budaya liyan itu melalui serangkaian proses observasi partisipatoris.

1. Perkawinan Semarga dalam Masyarakat Batak Toba

Marga adalah identitas, selama kita mementingkan identitas berarti kita menjaga agar tetap menggunakan marga. Secara adat, menikah satu marga diperbolehkan dengan catatan sudah melewati keturunan ketujuh. Tentang setelah 7 turunan, hal ini sesuai dengan ilmu biologi, di mana makluk hidup setelah keturunan ke-7 ini tidak membawa gen yang sama dengan nenek moyangnya. Kalau kawin silang pada hewan secara teliti, misalnya yang sering dilakukan pada burung, burung setelah keturunan ketujuh, merupakan jenis yang baru dan bila dikawinkan dengan sejenis maka sifat dan

(4)

penampilannya sama. Perkawinan dengan hubungan keturunan yang jauh akan mengasilkan keturunan yang unggul secara biologi.

Pernikahan/Perkawinan adalah moment yang sangat penting dalam hidup seseorang karena akan dikenang sepanjang hidup. Pernikahan menyatukan dua manusia menjadi satu keluarga. Pernikahan juga menyatukan dua keluarga besar dalam jalinan persaudaraan. Dalam pernikahan, dilakukan beberapa acara mulai dari ritual pernikahan atau acara –acara adat sampai dengan resepsi pernikahan. Resepsi pernikahan yang identik dengan pesta pernikahan, baik itu secara sederhana maupun pesta besar –besaran.

Perkawinan pada masyarakat Batak yang bersistem kekerabatan patrilienal adalah sistem perkawinan eksogami yang bersifat assymetrisch connubium yaitu harus mencari pasangan hidup dari luar marganya dan tidak boleh timbal balik. Bentuk perkawinannya adalah jujur yaitu dengan pemberian jujuran (mas kawin) yang bersifat religio magis kepada pihak perempuan menyebabkan perempuan keluar dari klannya dan pindah ke dalam klan suaminya.

Metode penulisan menggunakan penelitian yuridis empris dan bersifat deskriptif analitis yaitu hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh dan sistematis tentang perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo di Kelurahan Tiga Binanga, Kecamatan Tiga Binanga, Kabupaten Karo, yang kemudian dianalisa sehingga dapat diambil kesimpulan secara umum. Penulisan ini didasarkan atas hasil wawancara dengan masyarakat Karo di Kelurahan Tiga Binanga.

Lokasi penelitian umumnya masih di dalam lingkup Kelurahan Tiga Binanga. Namun, ternyata perkawinan eksogami tidak sepenuhnya berlaku pada masyarakakat Batak yaitu pada masyarakat Karo, khususnya untuk Marga Sembiring dan Perangin-angin. Sebab, walaupun bentuk perkawinannya jujur tapi sistem perkawinannya adalah eleutherogami terbatas yaitu seorang dari marga tertentu pada Marga Sembiring dan Perangin-angin diperbolehkan menikah dengan orang tertentu dari marga yang sama asal klannya berbeda.

Dari hasil penelitian menunjukkan perkawinan semarga yang terjadi dalam klan Sembiring terjadi karena dipengaruhi faktor agama, faktor ekonomi dan faktor budaya. Pelaksanaan perkawinan semarga dinyatakan sah apabila telah melewati tahap Maba Belo

(5)

Selambar (pelamaran), Nganting Manuk (musyawah untuk membicarakan hal-hal yang mendetil mengenai perkawinan), Kerja Nereh i Empo (pelaksanaan perkawinan), dan Mukul (sebagai syarat sahnya suatu perkawinan menurut hukum adat Karo). Akibat hukum dari perkawinan semarga adalah sama seperti perkawinan pada umumnya apabila telah dilakukan sesuai dengan agama, adat, dan peraturan yang

Pada dasarnya, perkawinan adat Batak Toba mengandung nilai sakral. Dikatakan sakral karena dalam adat perkawinan Batak , ada makna pengorbanan bagi parboru (pihak penganten perempuan) karena ia “berkorban” memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang lain pihak paranak (pihak penganten pria), yang menjadi besarnya nanti, sehingga pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan/ mempersembahkan satu nyawa juga yaitu menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau), yang kemudian menjadi santapan (makanan adat) dalam ulaon

unjuk itu.

Sebagai bukti bahwa santapan /makanan adat itu adalah hewan yang utuh, pihak pria harus menyerahkan bagian-bagian tertentu hewan itu (kepala, leher, rusuk melingkar, pangkal paha, bagian bokong dengan ekornya masih melekat, hatu, jantung ). Bagian-bagian tersebut disebut tudu-tudu sipanganon (tanda makanan adat) yang menjadi jambar yang nanti dibagi-bagikan kepada para pihak yang berhak, sebagai tanda penghormatan atau legitimasi sesuai fungsi-fungsi (tatanan adat) keberadaan/kehadira n mereka didalam acara adat tersebut, yang disebut parjuhut.

Sebelum misi/zending datang dan orang Batak masih menganut agama tradisi lama, lembu atau kerbau yang dipotong ini ( waktu itu belum ada pinahan lobu) tidak sembarang harus yang terbaik dan dipilih oleh datu. Barangkali ini menggambarkan hewan yang dipersembahkan itu adalah hewan pilihan sebagai tanda/simbol penghargaan atas pengorbanan pihak perempuan tersebut. Cara memotongnya juga tidak sembarangan, harus sekali potong/sekali sayat leher sapi/kerbau dan disakasikan parboru (biasanya borunya) jika pemotongan dilakukan ditempat paranak (ditaruhon jual). Kalau pemotongan ditempat parboru (dialap jual). paranak sendiri yang menggiring lembu/kerbau itu hidup-hidup ketempat parboru.

Daging hewan inilah yang menjadi makanan pokok “ parjuhut” dalam acara adat perkawinan (unjuk itu). Baik acara adat diadakan di tempat paranak atau parboru,

(6)

makanan/juhut itu tetap paranak yang membawa /mempersembahkan Kalau makanan tanpa namargoar bukan makanan adat tetapi makanan rambingan biar bagaimanpun enak dan banyaknya jenis makananannya itu. Sebaliknya namargoar/tudu- tudu sipananganon” tanpa “juhutnya bukannamargoar tetapi namargoar rambingan yang dibeli dari pasar.

Kalau hal ini terjadi di tempat paranak bermakna “paranaktelah melecehkan parboru, dana kalau ditempat parboru (dialap jual=jemput lalu jual) parboru sendiri yang melecehkan dirinya sendiri. Anggapan acara perkawinan adat Batak rumit dan bertele-tele adalah keliru, sepanjang ia diselenggarakan sesuai pemahaman dan nilai luhur adat itu sendiri. Ia menjadi rumit dan bertele-tele karena diselenggarakan sesuai pamaham atau seleranya.

Sebelumnya kita harus mengetahui latar belakang dari larangan pernikahan semarga di masa lalu yaitu besar kemungkinan dalam satu marga masih ada hubungan darah dari leluhur yang sama. Hal ini dikarenakan di masa lalu, jumlah populasi di Tiongkok belumlah begitu besar. Kini, jumlah populasi orang Tionghoa di seluruh dunia lebih dari 1.3 milyar jiwa, orang2 yang semarga juga sangatlah banyak kecuali marga2 kecil yang tidak umum. Memang tidak tertutup kemungkinan untuk bertemu pasangan hidup semarga yang masih ada hubungan darah dan bisa menurunkan sifat –sifat negatif pada keturunan mereka, namun kemungkinan ini sangatlah kecil dibanding kemungkinan yang sama di masa lalu.

C.

PENUTUP

Menurut keyakinan masyarakat di Sipahutar, Kab. Tapanuli Utara. yang sudah turun-temurun dalam beberapa generasi, Perkawinan semarga dalam Masyarakat Batak Toba itu berarti arang bukan hanya mencoreng kening keluarga, tapi juga di wajah masyarakatnya. Sikap hormat pada warisan leluhur itu membuat hukum adat yang bicara, yaitu pasangan pelaku dijatuhi sanksi berat. Caranya, ya, dibuang atau dikucilkan dari lingkungan asal, sebelum mereka mengadakan pesta adat dengan menyembelih beberapa kerbau sebagai tanda minta maaf kepada masyarakat. Bahkan, sempat pula jatuh korban jiwa, misalnya, pelaku incest kemudian terbunuh.

(7)

Suku Batak Toba juga mempunyai peraturan atau adatnya sendiri mengenai tatatertib perkawinan. Di dalam tata-tertib itu juga terdapat aturan-aturan mengenai siapa saja yang boleh untuk dinikahi dan siapa yang tidak boleh untuk dinikahi. Penyusun mengambil salah satu contoh perkawinan Incest yang tidak boleh dilakukan yaitu apabila menikah dengan orang yang semarga. Ada anggapan bahwa apabila kita bertemu dengan semarga kita itu berarti dia adalah saudara kita dan dianggap masih mempunyai hubungan darah berdasarkan keturunan dari marga yang ada. Pada intinya secara umum, hukum adat Batak yang hubungan kekerabatannya bersifat asymmetrisch connubium, melarang terjadinya perkawinan antara pria dan wanita yang satu marga.

DAFTAR PUSTAKA

Hilman Hadikusuma S.H, Hukum Perkawinan Adat, Penerbit Alumni /1977/ Bandung, Cetakan I, hal 141

Pandangan Generasi Muda Terhadap Upacara Perkawinan Adat di Kota Medan, Dep P&K, Jakarta,1998, hal 42

http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/5136 http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=3954

Referensi

Dokumen terkait

Makna simbol pemberian ulos pada saat upacara adat perkawinan Batak Toba adalah sebagai “materai” agar permohonan yang disampaikan kepada Tuhan Yang Mahaesa menjadi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh modernisasi dalam pelaksanaan pesta perkawinan pada masyarakat Batak Toba di Desa Sipultak Rurajulu Kecamatan Pagaran

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pergeseran fungsi uang jujur (sinamot) pada perkawinan adat masyarakat Batak Toba dan untuk mengetahui tindakan yang

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul MAKNA SIMBOLIK DALAM PEMBERIAN ULOS PADA PERKAWINAN ADAT BATAK TOBA: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK.. Penulis

Dari Hasil Penelitian diketahui bahwa Tarian Tortor dalam Upacara Perkawinan Sub Etnis Batak Toba di Kecamatan Balige mengandung banyak makna yang disampaikan

Dari Hasil Penelitian diketahui bahwa Tarian Tortor dalam Upacara Perkawinan Sub Etnis Batak Toba di Kecamatan Balige mengandung banyak makna yang disampaikan

Dalam hal pewarisan, sesuai dengan adat batak yang diberikan harta warisan adalah anak laki-laki, perempuan tidak mendapat warisan meskipun ia kawin dengan pria suku

Makna simbol pemberian ulos pada saat upacara adat perkawinan Batak Toba adalah sebagai “materai” agar permohonan yang disampaikan kepada Tuhan Yang Mahaesa menjadi