• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eufemisme Pada Tuturan Perkawinan Masyarakat Batak Toba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Eufemisme Pada Tuturan Perkawinan Masyarakat Batak Toba"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH:

YANTI FRISKA PURBA

NIM 090701029

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

OLEH:

YANTI FRISKA PURBA

NIM 090701029

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra

dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Mulyadi, M.Hum. Dra. Salliyanti, M.Hum.

NIP 196407311989031004 NIP 130284308

Departemen Sastra Indonesia

Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si.

(3)

Penulis menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi. Sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang penulis perbuat ini tidak benar, penulis bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar sarjana yang penulis peroleh.

Medan, Agustus 2013

Penulis,

Yanti Friska Purba

(4)

(Fakultas Ilmu Budaya USU)

ABSTRAK

(5)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena

penulis diberi kesehatan dan kekuatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Pada

kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Syahron Lubis, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara, yang telah menyediakan fasilitas pendidikan bagi penulis.

2. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., Ketua Departemen Sastra

Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah

mengarahkan penulis dalam menjalani perkuliahan dan membantu penulis

dalam hal administrasi.

3. Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P., Sekretaris Departemen Sastra Indonesia,

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan motivasi serta memberikan informasi terkait perkuliahan

kepada penulis.

4. Dr. Mulyadi, M.Hum., dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan

waktu untuk membimbing penulis dengan penuh tanggung jawab,

memberikan saran dan ide kepada penulis, serta mengarahkan penulis

dalam proses penulisan skripsi. Terima kasih juga karena telah bersedia

memeriksa keseluruhan skripsi ini sampai bagian-bagian terkecil dan telah

(6)

6. Drs. Asrul Siregar, M. Hum., dosen Penasihat Akademik, yang telah

memberikan bimbingan serta perhatian kepada penulis selama menjalani

perkuliahan.

7. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan

dan pengajaran selama penulis menjalani perkuliahan.

8. Kak Tika yang telah membantu penulis dalam hal administrasi di

Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara.

9. Kedua orang tua tersayang, Ayahanda W. Purba dan Ibunda R. Br. Sinaga,

yang telah memberikan dukungan moral, material, dan kasih sayang tanpa

batas kepada penulis dan doa yang tidak pernah berhenti untuk penulis.

10.Saudara-saudara yang terkasih, Bang Vika, Kak Rajin, Bang Lastri, Kak

Aldi, Kak Carly, Kak Nita, ipar, serta keponakan-keponakan yang luar

biasa. Terima kasih atas doa dan dorongan yang diberikan kepada penulis

selama perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.

11.Informan yang telah membantu penulis dalam menyediakan data

penelitian.

12.Ibu D. Sinaga atas izin yang diberikan sehingga penulis boleh melakukan

(7)

Merlyn, Tiur, Desi, Tio, Mays, Yoyo, Cris, Cloe, Intan, Supri, Norton,

Andi) dan semua teman yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.

Terima kasih atas kebersamaan yang selama ini terjalin sangat baik.

15.Senior-senior 2007 dan 2008, khususnya kak Pesta yang selalu

mengingatkan penulis untuk serius dalam menjalani kuliah.

16.Teman-teman tercinta (Septi Sinaga, Hermanto Marbun, dan Ardianto

Marbun) yang bersedia membantu penulis selama penulis mengadakan

penelitian di Desa Hutajulu.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga berkat Tuhan melimpah

bagi kita semua.

Medan, Agustus 2013

Yanti Friska Purba

(8)

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Manfaat Praktis ... 5

1.4.2 Manfaat Teoretis ... 5

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 6

2.2 Landasan Teori ... 7

2.3 Tinjauan Pustaka ... 14

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 19

(9)

4.1 Tipe-tipe Eufemisme ... 27

4.1.1 Ekspresi Figuratif ... 27

4.1.2 Metafora ... 33

4.1.3 Sirkumlokusi ... 39

4.1.4 Pelesapan ... 44

4.1.5 Jargon ... 46

4.1.6 Sebagian untuk keseluruhan ... 50

4.1.7 Metafora ... 54

4.2 Fungsi Eufemisme... 57

4.2.1 Sapaan atau Penamaan kepada Tuhan ... 57

4.2.2 Sapaan atau Penamaan kepada Orang ... 59

4.3 Makna Eufemisme ... 61

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 65

5.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

LAMPIRAN 1: DATA PENELITIAN ... 69

LAMPIRAN 2: DATA INFORMAN... 101

(10)
(11)
(12)

‘ bar/palang

→ mendominasi

[] batas konstituen

DAFTAR SINGKATAN

AKT aktif

DEM demonstrativa

HG huhuasi di gareja

Jm jamak

KK kepala keluarga

Konj konjungsi

M mangulosi

Mis misalnya

PART partikel

PP patortor parumaen

Pos posesif

PPU pardalan ni pesta unjuk

PREP preposisi

PS panganon sibuha-buhai

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kajian mengenai makna (semantik) adalah kajian yang tidak pernah ada

habisnya, khususnya di kalangan akademisi yang bergelut di bidang linguistik.

Terlihat makin banyak tulisan ataupun buku-buku yang mengkaji masalah makna,

termasuk masalah eufemisme (penghalusan bahasa) (lihat Djajasudarma, 1993:27;

Pateda, 2001:238; dan Chaer, 2007:284). Hal ini dapat dimengerti karena makna

atau maksud yang termuat dalam tuturan manusia, baik yang disampaikan secara

eksplisit maupun yang disampaikan secara implisit, merupakan bagian dari

aktivitas berkomunikasi manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam menyampaikan maksud, setiap orang berusaha menggunakan

kosakata yang baik supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman orang lain. Tidak

jarang digunakan juga istilah-istilah lain yang semakna agar terdengar lebih

santun sesuai dengan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat yang

bersangkutan. Dalam literatur, istilah-istilah ini dinamakan eufemisme

(Kridalaksana, 1984:48; Tarigan, 1985:143, Chaer, 1994:144; dan Ohoiwutun,

2007: 21) yang digunakan untuk ‘melembutkan’ arti suatu ungkapan/tuturan agar

penuturnya dipandang lebih sopan dan berbudaya.

Penggunaan eufemisme dalam kehidupan masyarakat Batak Toba

merupakan suatu gejala umum. Dalam masyarakat Batak Toba terdapat sistem

(14)

teman lahir’ atau ‘saudara yang semarga’, dan boru ‘anak perempuan’ atau

‘saudara perempuan ayah dan suami’, yang membatasi hubungan antarpenutur

dan yang membatasi pilihan tutur dalam berkomunikasi, baik dalam situasi formal

(misalnya di kantor) maupun dalam situasi nonformal (misalnya, di rumah).

Sistem dalihan na tolu bahkan berperan penting dalam upacara adat, seperti pada

peristiwa kematian dan peristiwa perkawinan, pada masyarakat Batak Toba.

Setiap penutur bahasa Batak Toba yang menghadiri upacara adat harus

dapat menempatkan diri dengan baik pada situasi yang dihadapinya. Mereka juga

mesti mampu memilih tuturan yang tepat untuk menghindari terjadinya salah

pengertian. Bisa dipastikan bahwa pelaksanaan acara adat dalam masyarakat

Batak Toba tidak terlepas dari penggunaan kata-kata eufemisme. Pertimbangkan

tuturan perkawinan di bawah ini.

(1) […]; dengke si-mudurudur

[…]; ikan si-mudurmudur PART DEM Konj, Konj semoga bersama do i huhut, asa sai rap

mudurudur ma hamu nian ma- nuju tu na uli dohot na serentak PART 2.Jm AKT-nuju PREP yang indah Konj yang

denggan [….] (PS.210) baik [….]

‘inilah ikan simudurudur, biarlah kalian senantiasa bersama/serentak menuju hal-hal yang baik’

(2) Hamu angka na - pinar- sangap-an, angka aman- ta raja 2.jm para yang- 1.Tg - mulia-kan, para bapak-1.Jm raja

dohot angka inan-ta

Konj para ibu- 1.Jm permaisuri

soripada. (HG.211)

‘Para tamu yang saya muliakan, bapak raja dan ibu permaisuri’.

(3) Bosur mangan na godang mokmok mangan na otik. (PPU.222)

kenyang makan yang banyak gemuk makan yang sedikit.

(15)

Ungkapan dengke simudurudur pada contoh (1) di atas merupakan

eufemisme dari sifat manusia yang digambarkan melalui karakter sekelompok

ikan. Orangtua pengantin perempuan yang mengungkapkan kalimat tersebut

berharap kedua pengantin senantiasa bersama-sama untuk hal-hal yang baik.

Kehidupan berumah tangga yang akur dan serasi dikiaskan dengan ungkapan

dengke simudurudur, yaitu sekelompok ikan yang berenang bersama-sama

(searah).

Pada contoh (2), ungkapan angka amanta raja dohot inanta soripada

merupakan sebuah eufemisme. Penggunaan kata raja ‘raja’ dan soripada

‘permaisuri’ biasanya tidak digunakan oleh masyarakat Batak Toba dalam

kehidupan sehari-hari (hanya digunakan pada berbagai upacara adat). Para tamu

yang diundang, khususnya hula-hula (keluarga dari istri), pada suatu acara adat

sangat dihormati. Tuan rumah menyebutnya raja dan permaisuri. Di antara ketiga

elemen dalihan na tolu (hula-hula, dongan tubu, dan boru), hula-hula memiliki

status sosial tertinggi dalam pergaulan dan adat istiadat Batak. Ini berarti bahwa

penggunaan eufemisme dalam upacara perkawinan memiliki fungsi sosial yang

dipahami oleh partisipan yang terlibat dalam tuturan.

Pada contoh (3), ungkapan Bosur mangan na godang mokmok mangan na

otik, mengandung eufemisme sebab menyiratkan makna tertentu di luar makna

harfiahnya. Dengan mengatakan mokmok mangan na otik ‘gemuk jika makan

sedikit’, jelas bahwa tidak mungkin orang menjadi gemuk kalau makanan yang

(16)

Penggunaan eufemisme pada setiap tuturan tidak semata-mata untuk

menghindari kesan kasar atau tabu. Dalam budaya masyarakat Batak Toba,

eufemisme yang digunakan juga mempunyai fungsi tertentu. Misalnya sebagai

sapaan atau penamaan terhadap seseorang ataupun Tuhan.

Dari beberapa contoh di atas terlihat jelas bahwa eufemisme digunakan

dalam berbagai tuturan perkawinan. Pemakaian eufemisme ini sangat menarik

untuk dikaji sebab terdapat dalam tuturan perkawinan, yang merupakan salah satu

bentuk upacara adat yang masih dipertahankan oleh masyarakat Batak Toba.

Penelitian eufemisme sudah pernah dikerjakan; misalnya Faridah (2002)

dalam tesisnya Eufemisme dalam Bahasa Melayu Serdang, Andayani (2005)

dalam tesisnya “Eufemisme dalam Upacara Perkawinan Adat Jawa Nemokke di

Medan”, Rubby dan Dardanila (2008) dalam artikel yang berjudul Eufemisme

pada Harian Seputar Indonesia. Sejauh yang diamati, eufemisme dalam bahasa

Batak Toba belum pernah diteliti, khususnya eufemisme pada tuturan perkawinan.

Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan berbagai aspek

eufemisme dalam bahasa Batak Toba.

1.2Masalah

Masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Tipe-tipe eufemisme apa sajakah yang terdapat dalam tuturan perkawinan

masyarakat Batak Toba?

2. Bagaimanakah fungsi eufemisme dalam tuturan perkawinan masyarakat

(17)

3. Apakah makna eufemisme dalam tuturan perkawinan masyarakat Batak

Toba?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi tipe-tipe eufemisme pada tuturan perkawinan

masyarakat Batak Toba;

2. Menjelaskan fungsi eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat

Batak Toba; dan

3. Mendeskripsikan makna eufemisme pada tuturan perkawinan

masyarakat Batak Toba.

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dalam penelitian ini ialah:

1. Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca tentang penggunaan

eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba.

2. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain dalam mengkaji eufemisme

dalam masyarakat Batak Toba.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dalam penelitian ini ialah:

1 Sebagai sumber informasi bagi pemerintah daerah mengenai penggunaan

eufemisme dalam bahasa Batak Toba.

2 Sebagai upaya pelestarian tuturan perkawinan dalam masyarakat Batak

(18)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1Konsep

Ada tiga konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu eufemisme,

tuturan, dan perkawinan. Ketiga konsep itu perlu dibatasi untuk menghindari

salah tafsir bagi pembaca.

Allan dan Burridge (1991:14) mengatakan bahwa eufemisme adalah

bentuk pilihan dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak berkenan dan digunakan

untuk menghindarkan rasa malu (kehilangan muka). Bentuk ungkapan yang tidak

berkenaan tersebut dapat berupa tabu, ketakutan, tidak disenangi, atau

alasan-alasan lain yang berkonotasi negatif untuk dipakai (dipilih) dengan tujuan

berkomunikasi oleh penutur pada situasi tertentu (bdk Kridalaksana, 1984:48;

Chaer, 1994:27; Pateda, 2001:238).

Eufemisme dibagi atas tiga kategori, yakni baik, buruk, dan manipulasi

kenyataan (Sutarno dalam Andayani, 1988:15). Kategori baik berhubungan

dengan sopan santun. Misalnya, jika seseorang kencing atau berak, lebih sopan

jika dikatakan hendak ke belakang. Kategori buruk digunakan untuk

memanipulasi makna sebenarnya dan bersifat politis. Contohnya, ungkapan harga

naik diganti dengan disesuaikan atau kelaparan diganti dengan rawan gizi.

Kategori lain ialah manipulasi kenyataan. Kategori ini biasanya digunakan

(19)

nakal dikatakan bahwa anak itu hiperaktif. Kesan orang lain lebih positif terhadap

istilah hiperaktif daripada langsung mengatakan bahwa si anak tersebut nakal.

Tuturan atau sering disebut peristiwa tutur adalah terjadinya interaksi

linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan penutur dan mitra

tutur, dengan satu pokok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu

(Kridalaksana, 1984:200; Leech, 1993:20; Chaer dan Leonie Agustina, 1995:47).

Perkawinan merupakan saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat

hidup berkeluarga (Koentjaraningrat, 1985:90). Perkawinan termasuk masa

peralihan hidup yang terpenting dari semua manusia di seluruh dunia. Hampir

semua kelompok etnis mengakuinya dengan berpedoman kepada nilai, aturan dan

kegiatan yang berhubungan dengan tahap tersebut. Pada beberapa etnis, masa ini

ditandai dengan berbagai jenis upacara untuk mematangkan kepribadian si

individu.

2.1Landasan Teori

Allan dan Burridge (1991) mengemukakan bahwa eufemisme mempunyai

beberapa tipe. Tipe-tipe eufemisme itu adalah sebagai berikut:

1. Ekspresi figuratif, yaitu bersifat perlambangan, ibarat, atau kiasan.

Contoh: go to the happy huntinggrounds ‘pergi ke tanah pekuburan

yang menyenangkan’ → die ‘meninggal’

2. Metafora, yaitu perbandingan yang implisit di antara dua hal yang

(20)

Contoh: the miraculous pitcher that holds water with the mouth

downwards ‘tempat air yang menakjubkan dengan mulut yang

menghadap ke bawah’ → vagina ‘vagina’

3. Flipansi (Flippancy), yaitu makna di luar pernyataan.

Contoh: kick the bucket ‘menendang ember’ → die ‘meninggal’

4. Pemodelan ulang (Remodeling), yaitu pembentuk ulang.

Contoh: basket ‘keranjang’ → bastard ‘bajingan’

5. Sirkumlokusi (Cirkumlocutions), yaitu penggunaan beberapa kata

yang lebih panjang atau bersifat tidak langsung.

Contoh: little girl’s room ‘ruang gadis kecil’ → toilet ‘toilet’

6. Kliping (Clipping), yaitu pemotongan atau pemenggalan.

Contoh: brassiere ‘bh’ → bra ‘bh’

7. Akronim, yaitu penyingkatan atas beberapa kata menjadi satu.

Contoh: commfu ‘commfu’ → complete monumental military fuck up

‘monumen kemiliteran’

8. Abreviasi, yaitu penyingkatan kata-kata menjadi beberapa huruf.

Contoh: S.O.B → son of bitch ‘anak seorang pelacur’

9. Pelesapan (Omission), yaitu penghilangan sebagian kecil.

Contoh: I need to go ‘saya mau pergi’ → I need to go to the lavatory

‘saya mau pergi ke kamar mandi’

10.Penggantian kata per kata (one for one substitutions).

(21)

11.Hipernim (general for specific), kata yang umum menjadi kata yang

khusus.

Contoh: go to bed ‘pergi tidur’ → fuck ‘bersenggama’

12.Hiponim (part for whole eupheisms), yaitu kata yang khusus menjadi

kata yang umum.

Contoh: stuffed up nose, postnasal drip running eyes ‘hidung

tersumbat, ingusan, mata berair’→ I’ve got cough ‘saya demam’

13.Hiperbola, yaitu ungkapan yang berlebihan.

Contoh: flight to glory ‘terbang ke tempat yang nyaman (surga)’

death ‘meninggal’

14.Makna di luar pernyataan (understatement), yaitu satu makna kata

yang terlepas dari makna kata tersebut.

Contoh: genitals, bulogate etc ‘alat kelamin, kasus, dll’ → thing

‘sesuatu’

15.Jargon, yaitu kata yang memiliki makna yang sama tetapi berbeda

bentuk.

Contoh: feces ‘kotoran (istilah medis)’ →shit ‘tahi’

16.Kolokial, yaitu ungkapan yang dipakai sehari-hari.

Contoh: period ‘periode’ → menstruation ‘menstruasi’

Selanjutnya, Allan dan Burridge (1991) menyebutkan empat fungsi

eufemisme, yaitu:

(22)

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu berhubungan dengan kata

sapaan. Kata sapaan yang digunakan bergantung pada usia dan kedudukan

penyapa dan pesapa. Kata sapaan yang lazim digunakan ditujukan untuk

menyebutkan: nama Tuhan (mis: Adonai ‘Adonai’ → lord ‘Tuhan’), nama

binatang buas (mis: bear ‘beruang’ → the honey eater ‘pemakan madu’), dan

nama yang berhubungan dengan kegiatan berisiko (hazardous persuits) (mis: pro

vovka pomovka a vovk u khatu

(2) Menghindari tabu

, “one speaks of the wolf and it runs into the

house”).

Kata tabu merujuk pada tindakan yang dilarang atau dihindari. Dalam

masyarakat kata-kata yang berkonotasi seks dianggap tabu sehingga tidak boleh

digunakan di tengah-tengah masyarakat. Kata-kata tabu juga terdapat pada bagian

tubuh(body-parts), bagian tubuh khusus (bodily effluvia), haid, penyakit, cacat

mental dan tubuh, yang dikeluarkan tubuh (body’s waste products), kematian, dan

seni.

(3) Pemarkah identitas (gender)

Kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari status sosial. Setiap

masyarakat mempunyai kedudukan (jabatan) dan kemampuan ekonomi yang

berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam komunikasi sehari-hari juga ditemukan

sebutan yang berbeda kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya

masing-masing. Contohnya terdapat pada ungkapan di bawah ini.

underprivileged sounds much better than “poor and needy

(23)

senior citizens rather than “old people

“warga negara yang paling tua” kedengaran lebih baik daripada “orang

tua”

Selain berbicara mengenai tipe dan fungsi eufemisme, Allan dan Burridge

(1991) juga menyinggung makna eufemisme. Adapun makna eufemisme yang

dikemukakan oleh Allan dan Burridge berhubungan dengan makna atau tujuan

sebuah tuturan. Di dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang (penutur) tidak

semata-mata mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam

pengucapan kalimat, ia (penutur) juga “menginginkan” sesuatu. Oleh karena itu,

makna suatu ucapan atau kalimat tergantung pada pemakaiannya.

Searle (dalam Wijana, 1996) mengemukakan bahwa secara pragmatis

setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang

penutur, yaitu:

a. Lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan atau menginformasikan

sesuatu.

b. Ilokusi adalah tindak tutur yang tidak hanya digunakan untuk

menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu.

c. Perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk

mempengaruhi lawan tutur.

Tindak tutur lokusi memiliki makna secara harfiah, seperti yang dimiliki

oleh komponen-komponen kalimat itu. Tindak tutur dengan kalimat yang sama

mungkin dipahami secara berbeda oleh pendengar. Makna sebagaimana ditangkap

(24)

mempunyai harapan bagaimana pendengar akan menangkap makna sebagaimana

yang dimaksudkannya. Makna ini disebut tindak tutur perlokusi (Chaer dan

Leonie Agustina, 1995: 54)

Dari ketiga jenis tindak tutur di atas, ilokusi adalah tindak tutur yang

paling dekat dengan eufemisme. Dalam penelitian ini makna eufemisme

difokuskan pada tindak ilokusi. Pada ilokusi, pendengar sering tidak memahami

makna yang terkandung dalam tuturan yang diutarakan penutur. Hal ini terjadi

karena makna kalimat yang diujarkan tergantung dari konteksnya. Makna kalimat

tersebut berbeda dengan makna harfiah seperti yang dimiliki oleh

komponen-komponen kalimat itu.

Kalau dilihat dari konteks situasinya ada dua macam tindak tutur, yaitu

tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung

mudah dipahami oleh pendengar karena ujarannya bermakna lugas. Misalnya,

kalimat berita difungsikan untuk memberitakan sesuatu, kalimat tanya untuk

bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dsb. Dalam

tindak tutur tidak langsung, kalimat perintah dapat digunakan dengan kalimat

berita atau kalimat tanya untuk melembutkan tuturan. Tuturan yang diutarakan

secara tidak langsung (mis, dengan kalimat tanya) biasanya tidak dapat dijawab

secara langsung, tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang terimplikasi di

dalamnya (Wijana, 1996:31)

Berbicara mengenai kalimat terdapat tiga jenis kalimat berdasarkan

tatabahasa tradisional, yaitu (1) kalimat deklaratif (kalimat berita), (2) kalimat

(25)

Selanjutnya, Austin (dalam Chaer dan Agustina, 1995) membedakan kalimat

deklaratif menjadi kalimat konstatif dan kalimat performatif. Kalimat konstatif

adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka, misalnya, “Kepala sekolah kami

tampan sekali”. Kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan.

Misalnya, kalau seorang menteri perhubungan mengatakan, “Saya umumkan

bahwa tarif angkutan lebaran tidak mengalami kenaikan”, makna kalimat itu

adalah apa yang diucapkannya.

Selanjutnya, kalimat performatif dibagi atas lima kategori, yaitu (1)

kalimat verdiktif adalah kalimat yang menyatakan keputusan atau penilaian,

misalnya, Kami menyatakan terdakwa bersalah; (2) kalimat eksersitif adalah

kalimat yang menyatakan perjanjian, nasihat, peringatan, dan sebagainya,

misalnya, Kami harap kalian datang tepat waktu; (3) kalimat komisif adalah

kalimat yang dicirikan dengan perjanjian, misalnya, Besok kita pergi berenang;

(4) kalimat behatitif adalah kalimat yang berhubungan dengan tingkah laku sosial

karena seseorang mendapat keberuntungan atau kemalangan, misalnya, Saya

mengucapkan selamat atas kelahiran anak Anda; (5) kalimat ekspositif adalah

kalimat yang memberi penjelasan, keterangan atau perincian kepada seseorang,

misalnya, Saya jelaskan kepada Anda bahwa mereka bukan pencuri.

Kalimat seperti

(4a) “Saya kemarin tidak dapat hadir”,

apabila dipandang dari aspek lokusinya, memberitahukan bahwa kemarin ia tidak

dapat menghadiri acara temannya tersebut. Kalau dipandang dari aspek

(26)

tetapi ia tidak dapat hadir pada saat yang sudah ditentukan. Perlokusidari ucapan

itu dapat membuat pendengarnya memaafkannya (dengan berkata, “Ya, tidak

apa-apa”) atau bersikap tak peduli (diam dan tidak menunjukkan ekspresi

memaafkan).

Dari segi konteksnya kalimat di atas merupakan tindak tutur tidak

langsung. Hal ini terlihat dari penggunaan kalimat tersebut (kalimat berita) yang

seolah-olah hanya memberitahukan temannya bahwa kemarin ia tidak dapat hadir.

Padahal, si penutur hendak memohon maaf dan seharusnya ia menggunakan

kalimat perintah (imperatif). Untuk membuktikan kebenarannya, perhatikan

contoh di bawah ini sebagai perluasan dari kalimat tersebut:

(4b) “Saya minta maaf, karena kemarin tidak dapat hadir.”

atau seperti kalimat berikut.

(4c) “Saya kemarin tidak dapat hadir, ada urusan mendadak. Oleh karena itu, saya

mohon maaf.”

2.3 Tinjauan Pustaka

Beberapa hasil penelitian yang ditinjau dalam penelitian ini diterangkan

sebagai berikut. Faridah (2002) dalam tesisnya Eufemisme dalam Bahasa Melayu

Serdang menjelaskan bentuk, fungsi, dan makna eufemisme. Faridah

menggunakan pandangan Allan dan Burridge (1991) dalam menjawab

permasalahan penelitiannya. Dalam penelitiannya, Faridah menggunakan data

tulis dan data lisan. Data tulis diperoleh dari buku-buku pantun bahasa Melayu,

sedangkan data lisan diperoleh dari percakapan penutur jati. Untuk mendapatkan

(27)

teknik pancing dan teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat.

Selanjutnya, dalam menganalisis data digunakan metode agih, metode padan dan

metode pragmatik. Dalam menganalisis makna digunakan metode pragmatik,

dengan alat penentu mitra wicara.

Menurut Faridah, bentuk-bentuk eufemisme dalam bahasa Melayu

Serdang terdiri atas (1) ekspresi figuratif (mis: hujanlah hari rintik-rintik, tumbuh

cendawan gelang kaki, kami seumpama telor itik, kasih ayam maka menjadi), (2)

metafora (mis: angin lalu membawa berita), (3) satu kata untuk menggantikan

kata yang lain (mis: penganten ‘lipan’) , (4) umum ke khusus (mis: burung salah

name ‘burung punai), (5) hiperbola (mis: akan kubawe ke liang kubor ‘akan

kubawa sampai ke liang kubur’), dan (6) kolokial (mis: bawe bulan ‘haid’).

Fungsi-fungsi eufemisme dalam bahasa Melayu Serdang berupa (1)

sapaan dan penamaan (mis: Pakcik bapak’), (2) penghindaran tabu (mis: punai

‘alat kelamin laki-laki’), (3) menyatakan cara eufemisme digunakan (mis: awak

udah haus kali ne, bagilah minom ‘seorang tamu minta minum dengan cara

halus’, dan (4) menyatakan situasi (mis: nenek/datuk ‘harimau’). Makna

eufemisme berkaitan dengan (1) penutur dan lawan tutur (mis: sireh besusun

pinang belonggok, tepak bebaris memanggu sape, anak beru menunggu izin, dari

keluarga Datok Husny mulie ‘sirih bersusun pinang berlonggok, tepak berbaris

menunggu sapa, anak beru menunggu izin, dari keluarga Datuk Husny mulia), (2)

konteks tuturan (mis: kalau rumah tide berpintu, dimane arah boleh disingkap,

kalau puan kate begitu, inilah kunci due serangkap ‘kalau rumah tidak berpintu,

(28)

serangkap’), (3) tujuan tuturan (mis: same umor dah setahun jagung ‘sama umur

sudah setahun jagung’, sama darah setampok pinang ‘sama darah setampuk

pinang’, same akal tumboh ke luar ‘sama akal tumbuh ke luar’), (4) tuturan

sebagai bentuk tindak atau aktivitas (mis: lancang kuning berlasyar malam, arus

deras karangnye tajam, jika mualem kurang paham, alamat kapal akan

tenggelam ‘lancang kuning berlayar malam, arus deras karangnya tajam, jika

mualim kurang paham, alamat kapal akan tenggelam’), dan (5) tuturan sebagai

bentuk tindak verbal (mis: Teruna sudah lelah ‘Teruna sudah lelah’).

Andayani (2005) dalam tesisnya “Eufemisme dalam Upacara Perkawinan

Adat Jawa Nemokke di Medan” mengkaji tipe-tipe eufemisme, fungsi eufemisme,

makna eufemisme, serta pola sosiolinguistik penggunaan eufemisme dalam

prosesi Nemokke. Ia menggunakan pandangan Allan dan Burridge (1991) untuk

menjelaskan masalah penelitian. Data dikumpulkan dengan metode wawancara

yang didukung teknik rekam dan teknik catat, tetapi kurang jelas berapa jumlah

desa yang dijadikan sebagai daerah pengamatan.

Menurut Andayani, tipe-tipe eufemisme dalam upacara perkawinan Jawa

Nemokke terdiri atas (1) metafora (mis: golek sandang lan pangan ‘mencari

pakaian dan makanan’ atau ‘nafkah’), (2) satu kata menggantikan kata yang lain

(mis: wal lang ‘lepas hitungan’ atau ‘segala sesuatu harus diperhitungkan’), (3)

hiperbola (mis: satrio bagus ‘ksatria baik’ atau ‘suami’), dan (4) ekspresi figuratif

(mis: wes ngentok ake kembar mayang ponco worno ‘sudah bertemu dengan

(29)

sapaan (mis: guru laki ‘suami’) dan menghindari tabu (mis: kembar sekar mayang

ponco worno ‘perawan’.

Perlu dicatat bahwa Andayani tidak menetapkan satu teori yang pasti

untuk mencari makna eufemisme. Makna metaforis dari setiap ungkapan dia

jadikan sebagai makna eufemisme. Pola sosiolinguistik meliputi bentuk-bentuk

keteraturan dalam penggunaan bahasa yang berhubungan dengan faktor-faktor

seperti jenis kelamin, usia, dan pengalaman. Penggunaan eufemisme berdasarkan

jenis kelamin tidak menghasilkan pola tertentu (perbedaan). Dari segi usia dan

pengalaman, ahli nemokke yang tua (di atas 60 tahun) cenderung lebih

berpengalaman daripada mereka yang masih muda dan ahli nemokke yang

berpengalaman itu lebih banyak memberikan nasihat daripada yang belum

berpengalaman.

Selanjutnya, Rubby dan Dardanila (2008) dalam artikel yang berjudul

“Eufemisme pada Harian Seputar Indonesia” membahas bentuk-bentuk

eufemisme dan frekuensi pemakaiannya. Rubby dan Dardanila juga menggunakan

pandangan Allan dan Burridge (1991). Data penelitiannya bersumber dari harian

Seputar Indonesia edisi Juni-Juli 2007, yang dikumpulkan dengan menggunakan

metode simak. Selanjutnya, data dianalisis dengan menggunakan metode agih dan

metode deskripsi.

Menurut Rubby dan Dardanila, ada tujuh bentuk eufemisme pada harian

Seputar Indonesia, yaitu (1) ekspresi figuratif (mis: Nasib Mpseda di PSMS

berada di ujung tanduk ‘berada dalam situasi yang kritis atau keadaan genting’),

(30)

menaati peraturan yang telah ditetapkan’), (3) sirkumlokusi (mis: Pemain Timnas

Indonesia tak boleh terperangkap dalam permainan dan perang kata yang

dilontarkan Arab Saudi ‘terprovokasi atau terpancing emosi’), (4) singkatan (mis:

PSK (Pekerja Seks Komersial) ‘pelacur’), (5) satu kata untuk menggantikan satu

kata yang lain (mis: Lembaga Permasyarakat (LP) ‘penjara’, ‘bui’, atau ‘rumah

tahanan’) , (6) umum ke khusus (mis: gugur ‘mati’, ‘meninggal’), dan (7)

hiperbola (mis: Barna belum juga puas, kembali menghujani tubuh pria malang

itu bertubi-tubi

Penelitian tentang jenis-jenis tuturan pada upacara adat perkawinan

dilakukan oleh Hutapea (2007) dalam skripsinya Tuturan pada Upacara Adat

Perkawinan Masyarakat Batak Toba. Data penelitiannya bersumber dari penutur

jati bahasa Batak Toba dan sejumlah data tulis. Data dikumpulkan dengan metode

simak dan dianalisis dengan metode padan pragmatik dengan alat penentu mitra

wicara. Hutapea menyimpulkan bahwa tuturan yang paling dominan dalam

upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba adalah tuturan direktif. ‘ditikam’ atau ‘dibacok’.

Penelitian di atas memberikan kontribusi dalam metode dan data bahasa

Batak Toba. Metode wawancara atau metode simak juga diterapkan dalam

penelitian ini. Data bahasa Batak Toba yang mengandung eufemisme misalnya,

nunga ojak parsaripeon i marhite ugamo, hot ma antong sipanganon na

hupasahat hami, uli ma roha muna manjalo” ‘sudah sah rumah tangga itu

(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan sejak 25 Mei hingga 25 Juni 2013 di Desa

Hutajulu, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. Desa Hutajulu

merupakan salah satu desa dari sepuluh desa yang terdapat di Kecamatan Pollung,

Kabupaten Humbang Hasundutan. Desa lain di Kecamatan Pollung adalah Desa

Ria-ria, Desa Parsingguran I,Desa Parsingguran II, Desa Pollung, Desa Huta

Paung, Desa Pansur Batu, Desa Sipitu Huta, Desa Pandumaan, Desa Aek Nauli I,

dan Desa Aek Nauli II. Desa Hutajulu berbatasan dengan Desa Hutagalung,

Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir di sebelah Utara, di sebelah Timur

berbatasan dengan Desa Ria-ria, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Huta

Paung Utara, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parlilitan. Desa

Hutajulu dibagi menjadi tiga dusun yang dihuni oleh 185 KK (dusun I), 90 KK

(dusun II), dan 189 KK (dusun III) (BPS, 2011). Sampai saat ini penduduk Desa

Hutajulu masih menggunakan bahasa Batak Toba sebagai sarana komunikasi.

Bahasa yang digunakan masih murni dan belum terkontaminasi. Hal inilah yang

melatarbelakangi peneliti untuk menetapkan desa tersebut sebagai lokasi dalam

penelitian ini.

Desa Hutajulu memiliki luas 4.025,5 ha (termasuk pertanian, perkebunan,

pemukiman, dan pekuburan). Jarak Desa Hutajulu ke ibu kota kecamatan adalah 4

(32)

ibu kota kabupaten dan ibu kota kecamatan ke Hutajulu dapat ditempuh dengan

transportasi darat, seperti angkutan umum, mobil, sepeda motor, dan kendaraan

roda tiga. Waktu tempuh dari ibu kota kabupaten ke Desa Hutajulu adalah 50

menit dan dari ibu kota kecamatan adalah 20 menit (BPS, 2011). Letak Desa

Hutajulu dapat dilihat pada peta di bawah ini.

PETA KECAMATAN POLLUNG KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

(33)

Gambar 3.2 Desa Hutajulu

Penduduk Desa Hutajulu berjumlah 2.217 orang atau sekitar 454 KK,

1.072 perempuan dan 1.145 laki-laki. Pekerjaan dan tingkat pendidikan penduduk

Desa Hutajulu dapat dilihat dalam tabel berikut (BPS, 2011).

Tabel 3.1 Pekerjaan Penduduk

Pekerjaan Jumlah/jiwa

Petani 878

PNS 35

Montir 3

Bidan Swasta 3

Pensiunan 8

(34)

Penduduk Desa Hutajulu menjunjung tinggi nilai budaya. Hal ini dapat

dilihat dari berbagai acara adat yang diselenggarakan mulai dari acara pernikahan,

memasuki rumah baru, kelahiran anak, dan acara penguburan yang masih

diadakan hingga saat ini. Desa Hutajulu termasuk desa yang belum maju.

Penduduk desa Hutajulu belum mampu mengolah sumber daya alam yang ada

dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pendapatan penduduknya yang

hanya berjumlah sekitar Rp12.000.000 per tahun. Namun, meskipun Desa

Hutajulu belum begitu maju, desa ini sudah menggunakan listrik. Selain itu, di

desa ini juga telah terdapat sekolah dan Puskesmas atau Polindes.

Penelitian ini menggunakan data lisan dan data tulisan. Data lisan

dikumpulkan dari penutur jati bahasa Batak Toba. Untuk mengumpulkan data

lisan digunakan metode cakap dan teknik dasar berupa teknik pancing. Teknik ini

dilanjutkan dengan teknik cakap semuka. Dalam teknik ini dipersiapkan sejumlah

daftar pertanyaan sebagai panduan dalam pengumpulan data. Teknik cakap

semuka didukung oleh teknik rekam, dan teknik catat, yakni mencatat segala data

yang dianggap perlu untuk menjadi data penelitian (Sudaryanto, 1993:135).

Informan dalam penelitian ini dipilih dari keluarga kedua belah pihak yang

mengadakan upacara perkawinan khususnya mereka yang sering ditunjuk sebagai

raja parhata ‘juru bicara’ dari pihak pengantin laki-laki maupun dari pihak

pengantin perempuan dalam setiap upacara perkawinan masyarakat Batak Toba.

Para tamu/undangan juga dapat dijadikan sebagai informan asalkan orang yang

(35)

informasi seperti yang diharapkan oleh peneliti. Informan dalam penelitian ini

dipilih berdasarkan syarat-syarat berikut ini.

1. Berjenis kelamin pria atau wanita;

2. Berusia antara 25-65 tahun;

3. Jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya;

4. Berpendidikan minimal tamat pendidikan dasar (SD-SLTP);

5. Menguasai bahasa dan budaya Batak Toba dengan baik;

6. Memiliki kebanggaan terhadap isolek dan masyarakat isoleknya;

7. Sehat jasmani dan rohani (Mahsun, 1995:106).

Informan dalam penelitian ini berjumlah tiga orang, dua laki-laki dan satu

perempuan (lihat lampiran 2). Rumah informan berdekatan dengan rumah penulis

hal ini bertujuan untuk mempermudah proses wawancara sebab wawancara tidak

dapat diadakan tiap saat.

Data tulis diperoleh dari buku Jambar Hata Dongan tu Ulaon Adat

(Sihombing, 1989) dan buku Sintaksis Bahasa Batak Toba (Sibarani, 1997).

Untuk memperoleh data digunakan metode simak yang didukung oleh teknik catat

(Sudaryanto, 1993: 133, 135).

3.2Metode dan Teknik Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan metode agih, yang alat penentunya

bagian dari bahasa. Teknik dasarnya berupa teknik bagi unsur langsung dan

teknik lanjutan berupa teknik lesap, teknik ganti, dan teknik perluas (Sudaryanto,

(36)

fungsi, dan makna eufemisme. Salah satu cara untuk mengidentifikasi tipe

eufemisme tampak pada contoh berikut:

(5a) Laos songon i do pangidoan nami mulai sadari on :

‘dan begitulah permintaan kami mulai hari ini: hendaklah kalian satu hati, satu tujuan, dan satu pendapat di setiap pekerjaan dan rencana kalian’

Kalimat di atas digolongkan ke dalam tipe sirkumlokusi, yaitu penggunaan

beberapa kata yang lebih panjang atau bersifat tidak langsung. Pada contoh (5a)

ungkapan sisada roha ma hamu, sisada tahi sisada oloan di saluhut siulaon dohot

sibahenonmuna bermakna pasangan pengantin senantiasa seia sekata dalam

segala keadaan. Apabila ungkapan itu diganti dengan maksud yang sebenarnya

akan dihasilkan bentuk yang lebih singkat. Lihatlah perubahan berikut ini.

(5b) Laos songon i do pangidoan nami mulai sadari on : Konj seperti DEM PART permintaan 1.Tg mulai hari DEM

sada ma roha muna

satu PART hati 2.Jm PREP semua pekerjaan Konj si-buat- an-2.Jm. di saluhut siulaon dohot si-bahen-on-muna.

‘dan begitulah permintaan kami mulai hari ini: hendaklah kalian satu hati dalam setiap pekerjaan dan rencana kalian’.

Bandingkan dengan contoh di bawah ini!

(37)

‘biarlah Tuhan kita yang Mahakasih itu membalas berlipat ganda kepada kalian yang kami muliakan’.

Ungkapan Tuhanta parasi roha ‘Tuhan kita yang murah hati’ pada (6a)

berfungsi sebagai sapaan dan penamaan. Ungkapan itu digunakan untuk menyapa

Sang Pencipta (Tuhan). Bila ungkapan tersebut diganti bentuknya terlihat seperti

di bawah ini.

(6b) […] sai Tuhan

[…] semoga Tuhan DEM PART AKT-balas DEM berlipat i ma ma- malos i marlipat

ganda tu hamu sude na hu- parsangap-i hami. ganda PREP 2.Jm semua yang 1.Tg mulia- kan 2.Tg.

‘biarlah Tuhan membalas berlipat ganda kepada kalian yang kami muliakan’

Contoh lain seperti di bawah ini.

(7a) […] sai mar-neang ni langka dope hamu rap udur dohot hami […] semoga ber-ringan Pos langkah lagi 2.Jm bersama sejalan Konj 1.Jm

tu inganan parpestaan naung pi-narade ni hula-hulan-ta PREP tempat pesta sudah di-sediakan Pos hula-hula- kita

di [….] (HG.214) PREP [….]

‘dengan senang hati ikut bersama-sama dengan kami ke tempat pesta diadakan’

Ungkapan sai mar-neang ni langka dope hamu rap udur

dohot hami tu….’(setelah acara dari gereja) masih ikut bersama-sama dengan

kami ke tempat acara pesta diadakan’ pada contoh di atas termasuk tindak tutur

tidak langsung. Kalimat tersebut seolah-olah tidak bermaksud mengajak, tetapi

hanya memberi tahu undangan bahwa setelah acara pemberkatan di gereja, masih

ada acara selanjutnya yang akan dilaksanakan di rumah hula-hula ‘orangtua

(38)

mengharapkan kesediaan para undangan, mengajak, bahkan menyuruh mereka

untuk tetap mengikuti setiap acara. Oleh karena itu, seharusnya penutur

menggunakan kalimat eksersitif (kalimat yang menyatakan perjanjian, nasihat,

peringatan, dan sebagainya). Jelasnya, perhatikanlah contoh di bawah ini sebagai

perluasan dari kalimat di atas!

(7b) […] harap situtu roha-nami

[…] harap betul hati-1.Jm semoga ber-ringan Pos langkah lagi sai mar-neang ni langka dope

hamu rap udur dohot hami

2.Jm bersama sejalan Konj 1.Jm PREP tempat pesta tu inganan parpestaan

naung pi-narade ni hula-hulan-tadi [….]

sudah di-sediakan Pos hula-hula- kita PREP [….]

kami sangat berharap kesediaan kalian (undangan) untuk tetap ikut bersama dengan kami mengikuti acara selanjutnya’

3.3Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Metode dan teknik penyajian hasil analisis data dilakukan dengan dua

cara, yakni metode formal dan metode informal. Metode informal adalah

perumusan dengan kata-kata biasa, sedangkan metode formal adalah perumusan

dengan tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993:145). Penyajian secara

formal tampak dalam penggunaan tanda di antaranya: tanda panah (→ ), tanda

kurung biasa (()), dan tanda kurung siku ([]). Adapun lambang yang dimaksud di

antaranya lambang huruf sebagai singkatan kata (AKT, DEM, PS, HHG), dan

(39)

BAB IV

EUFEMISME PADA TUTURAN PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA

4.1 Tipe Eufemisme

Tipe-tipe eufemisme dalam bahasa Batak Toba dalam tulisan ini mengacu

pada pandangan Allan dan Burridge (1991). Berikut dijelaskan tipe-tipe

eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba.

4.1.1 Ekspresi Figuratif

Pada saat bertutur dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu

berusaha menanamkan kesan yang baik di mata orang lain (pendengar). Hal ini

mendorong setiap orang untuk menggunakan kosakata yang baik dan tidak

menyinggung perasaan pihak lain. Untuk itu, dalam menyampaikan

gagasan/pendapatnya banyak orang sengaja menggunakan lambang-lambang atau

kiasan agar lebih santun. Perhatikan contoh-contoh berikut.

(8a) Tangan ma- nomba ma dohot soara marhuhuasi

tangan AKT-sembah PART PREP suara bertutur PREP makanan di sipanganon

na saotik na hu- boan hami on.(PS.204) yang sedikit yang 1.Tg-bawa 1.Jm DEM.

‘berbicara dengan sangat hormat (menyembah) untuk menyampaikan makanan yang kami bawa ini’.

Pada contoh (8a) di atas, ungkapan tangan manomba ma dohot soara

marhuhuasi ‘tangan menyembah sambil berucap’ merupakan suatu lambang yang

digunakan untuk menyatakan bahwa paranak (pihak laki-laki) menyampaikan

makanan kepada hulahula (pihak perempuan) dengan penuh hormat. Pada saat

(40)

digunakan sebagai gambaran kerendahan hati dan ketulusan penutur dalam

menyampaikan makanan yang telah mereka sediakan sebelumnya. Apabila

ungkapan tersebut diganti akan terlihat seperti bentuk berikut.

(8b) Dohot hormat

Atau bisa juga disampaikan seperti bentuk berikut.

(8c) Dohot tangan manomba

Contoh lain dapat kita lihat seperti berikut ini.

(9a) […] siala haroro muna tu bagas na badia

‘atas kedatangan kalian ke rumah ibadah ini untuk menghadiri pemberkatan anak dan menantu kami.’

Pada contoh di atas bagas na badia ‘rumah yang kudus’ digunakan untuk

menggambarkan/menyebutkan gereja. Ungkapan ini tidak hanya digunakan pada

acara perkawinan, dalam kehidupan sehari-hari juga sering digunakan oleh

masyarakat Batak Toba. Oleh karena itu, ketika seseorang menggunakan frasa itu

untuk menyebut gereja, pendengar telah mengerti maksud penuturnya. Apabila

(41)

(9b) […] siala haroro muna tu gareja

[…] sebab kedatangan 2.Jm PREP gereja DEM menghadiri on mangadopi

pamasumasuon ni anak dohot parumaen- nami. pemberkatan DEM anak Konj menantu perempuan-1.Jm.

‘atas kedatangan kalian ke gereja ini untuk menghadiri pemberkatan anak dan menantu kami.’

Selain ungkapan bagas na badia masyarakat Batak Toba juga sering

menggunakan ungkapan bagas joro ni Tuhan ‘rumah Tuhan’ untuk menyebutkan

gereja. Hal ini tampak pada contoh berikut.

(9c) […] siala haroro muna tu bagas joro ni Tuhan

[…] sebab kedatangan 2.Jm PREP rumah Pos Tuhan DEM menghadiri on mangadopi

pamasumasuon ni anak dohot parumaen- nami. pemberkatan Pos anak Konj menantu perempuan-1.Jm.

‘atas kedatangan kalian ke rumah Tuhan ini untuk menghadiri pemberkatan anak dan menantu kami’

Selanjutnya pada contoh (10a) berikut, ungkapan masiaminaminan songon

lampak ni gaol jala masitungkoltungkolan songon suhat di robean ‘saling

melengkapi seperti pelepah pisang dan saling menopang seperti keladi di

pinggang bukit’ merupakan suatu perumpamaan yang digunakan hampir di setiap

acara adat yang diselenggarakan oleh masyarakat Batak Toba. Dengan

menyampaikan ungkapan ini, si penutur berharap di masa yang akan datang

mereka (pendengar) berlaku seperti pokok pisang yang mampu tumbuh dan

berdiri kokoh karena pelepahnya yang saling menutupi/berlapis-lapis (saling

mendukung) dan seperti akar keladi yang mampu bertahan hidup di pinggang

bukit karena akarnya tumbuh sambung menyambung (saling menopang).

(10a) […] tongtong ma hita sai

[…] selalu PART 1.Jm semoga saling memaafkan seperti pelepah Pos masiaminaminan songon lampak ni

(42)

di robean PREP tepi bukit

.(MS.331)

‘hendaklah kita senantiasa saling mendukung dan saling menopang’

Apabila diganti dengan makna yang sebenarnya akan terlihat seperti

konstruksi di bawah ini.

(10b) […] tontong ma hita sai

[…] selalu PART 1.Jm semoga saling membujuk, saling menolong, masianjuan, masiurupan,

Konj saling mendoakan PREP setiap saat. jala masitangiangan di ganup tikki.

‘hendaklah kita senantiasa saling mendukung, saling menopang, dan saling mendoakan’

Masyarakat Batak Toba meyakini bahwa setiap pengantin baru yang telah

resmi menjadi pasangan suami istri sesungguhnya telah menjadi satu. Mereka

tidak lagi dua melainkan satu dalam segala hal dan satu untuk selamanya. Oleh

karena itu, pada (11a) sada ma rohamuna songon daion aek unang mardua

songon daion pola ‘hendaklah kalian sehati seperti rasa air tidak bermacam rasa

seperti nira’ digunakan untuk melambangkan kehidupan pasangan pengantin baru

agar tetap sehati dan sepikir seperti air yang hanya memiliki satu rasa yaitu tawar.

(11a) […] asa

‘supaya kalian satu hati seperti rasa air tidak bermacam rasa seperti nira’

Apabila ungkapan tersebut diganti dengan makna yang sebenarnya, akan

terlihat seperti pada (11b) berikut.

(11b) […] asa

[…] Konj satu hati-2.Jm sada roha-muna

(43)

Upacara adat pada hampir setiap suku di Indonesia mengalami

perkembangan yang sangat pesat, tak terkecuali pada masyarakat Batak Toba.

Hampir setiap upacara perkawinan yang diadakan menggunakan alat musik, baik

itu alat musik tradisional maupun modern. Dalam masyarakat Batak Toba alat

musik biasanya digunakan untuk mengiringi tortor ‘tarian’ selama upacara

berlangsung. Para tamu yang manortor ‘menari’ pada umumnya diberi

bunga-bunga ni tangan ‘bunga tangan’ oleh pihak penyelenggara pesta sebagai ucapan

terima kasih, begitu juga sebaliknya.

(12a) […] dipatupa hamu rongam marhitehon di angka […] disediakan 2.Jm tepat melalui Prep para

bungabunga ni

tangan-bungabunga Pos tangan-1.Jm.

nami.(PP.46)

‘kalian telah menyediakan bunga tangan bagi kami’

Ungkapan bunga-bunga ni tangan pada (12a) di atas menyatakan uang

yang dalam bahasa Batak Toba sering juga disebut sihumisik seperti tampak pada

(12b) di bawah ini.

(12b) […] dipatupa hamu marhitehon di angka sihumisik

[…] disediakan 2.Jm melalui Prep para uang yang diberi-2.Jm. na nilehon-muna.

‘kalian telah memberikan uang kepada kami’

Seperti pernah disinggung sebelumnya, bahwa dalam masyarakat Batak

Toba hulahula ‘orangtua istri’ menduduki posisi tertinggi dalam dalihan na tolu

‘tungku yang tiga’. Hulahula dianggap orang yang paling berpengaruh,

pelindung, dan sebagai saluran berkat bagi para boru ‘anak perempuan’.

(44)

tinongos ni tondi ni hulahula ‘titipan roh hulahula’ seperti terlihat pada contoh

(13a) di bawah ini.

(13a) Di hami saluhutna

Prep 1.Jm semuanya para yang dikirim Pos angka na tinongos ni

tondi-muna

roh-2.Jm DEM [….] on [….] (PP.157)

‘bagi kami semua anak-anak kalian ini’

Tinongos ni tondi pada contoh di atas juga lazim disebut dengan

pargellengon ‘anak-anak/keturunan’ dari hulahula seperti pada (13b) berikut.

(13b) Di hami saluhutna pargellengon-muna

Prep 1.Jm semuanya anak-anak-2.Jm DEM [….] on [….]

‘bagi kami anak-anak kalian ini’

Seseorang yang diundang pada suatu acara biasanya akan

mempertimbangkan banyak hal, baik itu dari segi waktu, materi maupun ha-hal

lainnya sebelum ia memutuskan untuk hadir atau tidak dalam acara tersebut. Oleh

karena itu, bisa dipastikan bahwa mereka yang hadir dalam suatu acara dianggap

hadir dengan senang hati/ikhlas dan tidak ada unsur paksaan dari siapa pun.

Demikian juga halnya pada (14a) marneang ni langka dohot las ni roha ‘ringan

langkah dan senang hati’ berikut ini.

(14a) […] i ma na marneang ni langka dohot las ni roha […] DEM PART yang beringan Pos langkah Konj hangat Pos hati kita

hita

di pesta perkawinan ni pahompu on.(PP.8)

Prep pesta perkawinan Pos cucu DEM

‘dengan senang hati kita telah hadir di acara perkawinan cucu ini’

Ungkapan di atas sesungguhnya menyatakan bahwa mereka (si penutur

dan kawan-kawan) menghadiri pesta tersebut dengan penuh sukacita dan tidak

(45)

(14b) […] i ma na marlas ni roha hita

[…] DEM PART yang bersukacita 1.Jm

di pesta perkawinan ni pahompu on.

Prep pesta perkawinan Pos cucu DEM

‘kita bersukacita pada acara perkawinan cucu ini’

Seperti telah kita ketahui, masyarakat Batak Toba mengenal tiga silsilah

sebagai dasar sistem kekerabatan, yaitu hulahula ‘orangtua istri’, dongan tubu

‘saudara/semarga’, dan boru ‘anak perempuan beserta keluarga dari pihak suami’.

(15a) […] i ma pangidoan-nami di hita na mardongan tubu […] DEM PART permohonan-1.Jm Prep 1.Jm yang berteman lahir

di pestan-ta sadari on. (PP.124)

Prep pesta-1.Jm hari DEM.

‘itulah permintaan kami untuk kita yang bersaudara’

Pada (15a) di atas na mardongan tubu ‘yang berteman lahir’ memiliki

makna yang sebenarnya, yaitu menyatakan bersaudara atau kakak beradik yang

sudah tentu mempunyai marga yang sama bukan mengatakan teman waktu

dilahirkan seperti makna harfiahnya. Hubungan abang dan adik dalam masyarakat

Batak Toba disebut na marhamaranggi ‘yang bersaudara’ seperti berikut ini.

(15b) […] i ma pangidoan-nami di hita na marhamaranggi […] DEM PART permohonan-1.Jm Prep 1.Jm yang bersaudara

di pestan-ta sadari on. Prep pesta-1.Jm hari DEM.

‘itulah permintaan kami untuk kita yang bersaudara’

4.1.2 Metafora

Saat berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, kadang-kadang terdapat

suatu kata atau istilah yang mungkin lebih mudah dipahami orang lain

(pendengar) apabila dijelaskan dengan kata-kata lain atau digambarkan dengan

(46)

dimaksud. Selain itu, penggunaan keterangan lain untuk menggambarkan suatu

istilah juga bertujuan agar kalimat yang diujarkan lebih eufemis.

Contoh :

(16a) Ima da raja-nami sipanganon sibuhabuhai ni pesta begitu PART raja-1.Jm makanan sibukabukai Pos pesta

sadari on [….] (PS.205)

hari DEM [….]

‘Begitulah raja kami makanan pembuka pesta hari ini’

Frasa sipanganon sibuhabuhai ni pesta ‘makanan sibuhabuhai pesta’ pada

kalimat di atas merupakan nama makanan yang disajikan sebelum acara adat

dimulai. Makanan yang disajikan pada saat makan sipanganon sibuhabuhai

sebenarnya sama saja dengan makanan lainnya, namun karena makanan ini

disajikan saat sebelum upacara perkawinan dimulai maka makanan ini dinamai

sipanganon sibuhabuhai. Makna sebenarnya yang terkandung dalam ungkapan

tersebut, yaitu makanan pembuka atau makanan yang disajikan pertama kali

sebelum acara pemberkatan di gereja dimulai sebagai simbol doa dari kedua belah

pihak (pihak pengantin laki-laki dan perempuan). Pada saat makan sipanganon

sibuhabuhai kedua pengantin dihadirkan untuk didoakan agar acara pemberkatan

yang akan diadakan berjalan lancar. Dengan memperluas kalimat di atas, akan

tampak makna sebenarnya yang terkandung dalam ungkapan tersebut seperti

terlihat pada (16b) berikut.

(16b) Ima da raja-nami

begitu PART raja-1.Jm makanan sibukabukai jalan pergi sipanganon sibuhabuhai dalan lao

manangiakkon asa tulus ulaon-ta

(47)

‘Begitulah makanan pembuka sekaligus sebagai doa supaya acara pemberkatan dan upacara adat yang akan kita selenggarakan hari ini berjalan lancar.’

Pada setiap acara, baik itu acara adat maupun acara keagamaan, pasti

terdapat interaksi ataupun dialog didalamnya. Demikian juga halnya pada acara

perkawinan masyarakat Batak Toba. Pada saat acara berlangsung, apabila

paranak ‘pihak pengantin laki-laki’ mengatakan suatu hal, sudah tentu parboru

‘pihak pengantin perempuan’ ingin tahu apa yang hendak disampaikan oleh si

penutur (paranak) sehingga mereka bersedia mendengar/ memperhatikan dengan

baik sebagai tanda bahwa mereka menghormati lawan tuturnya, demikian juga

sebaliknya. Untuk lebih jelas, perhatikanlah konstruksi berikut!

(17a) […] jadi tangkas ma paboa hamu

[…] jadi jelas PART beri tahu 2.Jm sidengar Pos telinga sibegeon ni pinggol

sipeopon ni roha sipegangan Pos hati [….]

[….] (PPU.255)

‘jadi, dengan jelas beritahulah amanat itu’

Pada bentuk (17a) di atas, sibegeon ni pinggol sipeopon ni roha

‘yang hendak didengar dan disimpan di dalam hati’ digunakan untuk

menyebutkan “bahan pembicaraan” atau topik yang akan dibahas. Ungkapan

tersebut digunakan karena penutur belum mengetahui persis apa yang hendak

disampaikan oleh lawan tuturnya.

(17b) […] jadi tangkas ma paboa hamu

[…] jadi jelas PART beri tahu 2.Jm para apa PART akka aha ma

na naeng sidohonon-muna yang hendak katakana- 2.Jm [….]

[….]

(48)

Selanjutnya, di bawah ini terdapat frasa napuran sirata bulung ‘sirih

sihijau daun’. Frasa tersebut digunakan untuk menyebutkan sehelai daun sirih

yang dinamai sesuai dengan ciri-cirinya, yaitu berwarna hijau. Daun sirih yang

berwarna hijau dimetaforakan dengan ungkapan sirata bulung ‘sihijau daun’

seperti berikut ini.

(18a) Peak di atasna napuran sirata bulung

terletak PREP atasnya sirih sihijau daun kesukaan hasoloan

ni boru ni raja [….] (PPU.242)

Pos anak perempuan Pos raja [….]

‘Terdapat di atasnya sirih si hijau daun kesukaan putri raja’

Apabila ungkapan (sirata bulung) tersebut dilesapkan akan terbentuk makna

sebenarnya seperti tampak pada kalimat di bawah ini.

(18b) Peak di atasna napuran

terletak PREP atasnya sirih kesukaan Pos anak perempuan hasoloan ni boru

ni raja [….] Pos raja [….]

‘Terdapat di atasnya sirih kesukaan putri raja’

Masyarakat Batak Toba, khususnya yang tinggal di daerah pedesaan,

mayoritas berprofesi sebagai petani. Mereka membudidayakan berbagai macam

tanaman tidak terkecuali padi. Hampir semua masyarakat Batak Toba yang

tinggal di pedesaan menanam padi sebagai tanaman utama tiap tahunnya. Oleh

karena itu, tidak heran kalau setiap upacara adat masyarakat Batak Toba selalu

menggunakan beras. Pemberian beras bertujuan agar mereka (yang menerima)

mampu menjalani hidup dengan jiwa yang teguh dan tidak mudah dipengaruhi

hal-hal buruk sama seperti beras yang berbiji lebat dan keras walaupun ukurannya

(49)

(19a) Adong do huhut di- son

‘Terdapat juga di sini biji beras’

Pada (19a) di atas parbue santi, siriburribur, parbue sipir ni tondi ‘biji yang

lebat dan keras’ ditujukan untuk menyebutkan beras. Agar makna yang dikandung

tampak lebih jelas, kalimat di atas dapat diganti menjadi seperti berikut ini.

(19b) Adong do huhut di- son boras ada PART juga PREP-sini beras [….]

[….]

‘Terdapat juga di sini biji beras’

Hal yang sama tampak pada (20a) berikut, ungkapan ringgit na marmata

tinongos ni negaranta ‘ringgit bermata kiriman negara kita’ adalah metafora

untuk kata sihumisik ‘uang’ atau sering juga disebut hepeng ‘uang’.

(20a) Laos adong do di- son

‘Dan adapun di sini ringgit yang bermata, kiriman negara kita’

Ungkapan pada (20a) di atas menggambarkan dengan jelas ciri-ciri uang.

Ringgit na marmata ‘ringgit yang bermata’ mengatakan mata uang sedangkan

tinongos ni negaranta ‘kiriman negara kita’ mengatakan bahwa uang merupakan

buatan/ciptaan suatu negara bukan milik atau hasil karya perseorangan. Untuk

lebih jelas perhatikanlah bentuk berikut!

(20b) Laos adong do di-son sihumisik

Konj ada PART PREP-sini uang [….] [….]

(50)

Seperti telah dibicarakan sebelumnya, bahwa pada umumnya masyarakat

Batak Toba selalu membawa beras pada setiap acara adat yang dihadirinya. Beras

dibawa dengan cara dihutti ‘dijinjing’.

(21a) Molo pe humurang di angka huttihuttian

bila PART kurang Prep para jinjingan Pos para ni angka

nantulang-muna [….] (PP.41)

tante-2.Jm [….]

‘kalaupun beras yang mereka bawa sedikit’

Tradisi (membawa beras dengan cara dijinjing) ini berlangsung turun

temurun hingga sekarang. Oleh karena itu, apabila seseorang membawa sesuatu

dengan cara dijinjing, tamu-tamu yang lain sudah tahu benar apa yang dibawa

orang tersebut, yaitu beras. Dengan demikian, dengan makna yang sama, kalimat

di atas dapat diubah seperti contoh (21b) berikut.

(21b) Molo pe humurang di angka boras

bila PART kurang Prep para beras yang dibawa na binoan

ni angka nantulang-muna [….] Pos para tante-2.Jm [….]

‘kalaupun beras yang mereka bawa sedikit’

Setiap manusia membutuhkan banyak hal untuk bisa bertahan hidup. Sifat

manusia yang tidak pernah merasa puas akan apa yang dimilikinya juga menuntut

setiap orang untuk mencari lebih dan lebih banyak lagi. Untuk memenuhi

kebutuhan manusia yang sangat banyak dan beragam tersebut dibutuhkan

penghasilan/rejeki yang banyak juga. Dalam masyarakat Batak Toba, manusia

digambarkan seperti domba yang akan hidup dan tumbuh dengan baik apabila

hidup di padang rumput yang hijau (ampapaga na lomak). Semakin lebat rumput

(51)

(22a) […] anggiat dapot-nami ampapaga na lomak

[…] semoga peroleh-1.Jm ampapaga (sejenis rumput) yang lebat Prep di

tano parserahan i tu joloan ni ari on.(PP.132)

tanah rantau DEM Prep depan Pos hari DEM.

‘semoga di rantau sana kami memperoleh rejeki yang banyak di masa mendatang’

Dengan kata lain, dalam kehidupan masyarakat Batak Toba ampapaga na

lomak digunakan untuk menyebutkan penghasilan yang banyak seperti terlihat

pada (22b) berikut.

(22b) […] anggiat dapot-nami pandapotan na godang […] semoga dapat-1.Jm pendapatan yang banyak Prep

di

tano parserahan i tu joloan ni ari on. tanah rantau DEM Prep depan Pos hari DEM.

‘semoga di rantau sana kami memperoleh rejeki yang banyak di masa mendatang’

4.1.3 Sirkumlokusi

Berbicara dengan singkat dan jelas sesungguhnya sudah cukup efektif

untuk menyampaikan suatu hal kepada lawan tutur. Namun, kadang-kadang

dibutuhkan penggunaan kosakata yang lebih untuk menjelaskan suatu maksud

agar si pendengar mudah memahaminya. Seseorang yang mampu berbicara

dengan kosakata yang banyak sering dianggap pintar dan berbakat, apalagi kalau

berbicara di depan khalayak ramai. Akan tetapi, tak jarang juga orang tersebut

dianggap berbicara terlalu panjang/bertele-tele sehingga maksud yang

disampaikan menjadi kabur. Berikut beberapa tuturan yang disampaikan dengan

kalimat yang cukup panjang yang seharusnya bisa disampaikan dengan bentuk

yang lebih singkat.

(23a) […]

(52)

laos man- jalo adat sian parboruon- ta [….] (HG.220)

Konj AKT-terima adat dari anak perempuan-1.Jm [….]

‘makan sekaligus menerima adat dari mertua anak kita.’

Pada (23a) mangan indahan na las dohot minum aek si-tiotio

‘makan nasi yang hangat dan minum air sijernihjernih’ sesungguhnya hanya

mengatakan kata “makan”. Oleh karena itu, beberapa unsur dari kalimat yang

cukup panjang tersebut dapat dilesapkan sehingga membentuk kalimat yang lebih

singkat tetapi mempunyai maksud yang sama seperti berikut.

(23b) […] mangan

[…] makan Konj AKT-terima adat dari anak perempuan-1.Jm [….] laos man- jalo adat sian parboruon- ta [….]

‘makan sekaligus menerima adat dari mertua anak kita.

Demikian juga pada (24a) di bawah ini. Frasa mauliate malambok pusu

‘terima kasih melembut jantung’ sebenarnya mempunyai maksud yang sama

dengan kata mauliate ‘terima kasih’, yaitu untuk menyatakan rasa terima kasih.

Dalam kehidupan sehari-hari kedua bentuk tersebut bisa digunakan dan tetap

berterima di tengah-tengah masyarakat.

(24a) Jumolo ma hu- dok hami

Pertama PART 1.Tg-katakan 1.Jm terima kasih melembut jantung mauliate malambok pusu

siala haroro- muna tu pestan-ta on. (PPU.227)

atas kedatangan-2.Jm PREP pesta- 1.Jm DEM.

‘Pertama-tama kami ucapkan terima kasih atas kesediaan saudara untuk menghadiri pesta kita ini.’

Namun, di antara kedua bentuk tersebut penggunaan frasa mauliate

malambok pusu dianggap lebih santun dan kualitas rasa terima kasihnya lebih

besar daripada hanya mengatakan mauliate seperti pada kalimat (24b) berikut.

(24b) Jumolo ma hu- dok hami

(53)

siala haroro- muna tu pestan-ta on. atas kedatangan-2.Jm PREP pesta- 1.Jm DEM.

‘Pertama-tama kami ucapkan terima kasih atas kesediaan saudara untuk menghadiri pesta kita ini.’

Contoh lain tampak seperti berikut ini.

(25a) […] tung pe songon i na boi tarpasahat hami

[…] walaupun seperti DEM yang bisa berikan 1.Jm hangat PART hati las ma roha

ni badan-mu las nang roha ni tondi-mu Pos badan-2.Jm hangat Konj hati Pos roh-2.Jm [….]

[….] (M.103)

‘walaupun hanya itu yang dapat kami berikan, biarlah hati dan jiwamu ikhlas/senang menerimanya’

Pada (25a) di atas las ma roha ni badanmu las nang roha ni tondimu

‘biarlah hati dan jiwamu ikhlas/senang menerimanya’ sebenarnya dapat

disampaikan dengan singkat seperti pada (25b) di bawah ini tanpa mengubah

makna yang terkandung di dalamnya.

(25b) […] tung pe songon i na boi tarpasahat hami las ma […] walaupun seperti DEM yang bisa berikan 1.Jm hangat PART

rohamunamanjalo i

hati-2.Jm menerima DEM [….] [….]

‘walaupun hanya itu yang dapat kami berikan, semoga kalian senang menerimanya’

Bentuk (26a) jabumuna sibaganding tua na martua na marsangap

sigomgom nasa tondi nasida ‘rumah sibaganding tua pelindung setiap jiwa’ di

atas hanya menyatakan kata “rumah”. Ungkapan yang panjang ini digunakan

untuk menggambarkan fungsi rumah, yaitu sebagai pelindung bagi penghuninya.

(26a) […] i ma apala di

[…] DEM PART tepatnya Prep rumah-2.Jm sibaganding tua yang mulia jabu-muna sibaganding tua na martua

na marsangap sigomgom nasa tondi nasida yang berwibawa pelindung segala roh 3.Jm.

. (PP.37)

Referensi

Dokumen terkait

Melebih-Iebihkan (hyperbole).. Eufemisme Tipe dan Makna FiguratifPada Upacara Perkawinan adat Melayu Langkat Ungkapan figuratif adalah cara berkomunikasi dengan mengunakan

Makna simbol pemberian ulos pada saat upacara adat perkawinan Batak Toba adalah sebagai “materai” agar permohonan yang disampaikan kepada Tuhan Yang Mahaesa menjadi

Persepsi Masyarakat Terhadap Fungsi Dalihan Na Tolu Dalam Pelaksanaan Upacara Perkawinan Batak Toba Di Desa Sibarani Nasampulu Kecamatan Laguboti Kabupaten Toba

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pergeseran fungsi uang jujur (sinamot) pada perkawinan adat masyarakat Batak Toba dan untuk mengetahui tindakan yang

Sebagai salah satu tradisi lisan masyarakat Batak Toba yang sangat penting untuk dikaji dan dilestarikan, andung (nyanyian ratapan) juga termasuk dalam sastra masyarakat Batak

4.1.2 Bentuk Eufemisme pada Tindak Tutur Direktif dalam Bahasa Batak Toba dengan Bahasa Pakpak.. Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang

Dalam masyarakat Batak Toba unsur nasab yang dilarang dalam perkawinan aitu ”semarga”. masyarakat adat Batak Toba, perkawinan semarga dilarang, karena masyarakat adat Batak

Makna simbol pemberian ulos pada saat upacara adat perkawinan Batak Toba adalah sebagai “materai” agar permohonan yang disampaikan kepada Tuhan Yang Mahaesa menjadi