SKRIPSI
OLEH:
YANTI FRISKA PURBA
NIM 090701029
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
OLEH:
YANTI FRISKA PURBA
NIM 090701029
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra
dan telah disetujui oleh:
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Mulyadi, M.Hum. Dra. Salliyanti, M.Hum.
NIP 196407311989031004 NIP 130284308
Departemen Sastra Indonesia
Ketua,
Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si.
Penulis menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar sarjana di suatu perguruan tinggi. Sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang penulis perbuat ini tidak benar, penulis bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar sarjana yang penulis peroleh.
Medan, Agustus 2013
Penulis,
Yanti Friska Purba
(Fakultas Ilmu Budaya USU)
ABSTRAK
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
penulis diberi kesehatan dan kekuatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Pada
kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Syahron Lubis, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara, yang telah menyediakan fasilitas pendidikan bagi penulis.
2. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., Ketua Departemen Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah
mengarahkan penulis dalam menjalani perkuliahan dan membantu penulis
dalam hal administrasi.
3. Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P., Sekretaris Departemen Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan motivasi serta memberikan informasi terkait perkuliahan
kepada penulis.
4. Dr. Mulyadi, M.Hum., dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan
waktu untuk membimbing penulis dengan penuh tanggung jawab,
memberikan saran dan ide kepada penulis, serta mengarahkan penulis
dalam proses penulisan skripsi. Terima kasih juga karena telah bersedia
memeriksa keseluruhan skripsi ini sampai bagian-bagian terkecil dan telah
6. Drs. Asrul Siregar, M. Hum., dosen Penasihat Akademik, yang telah
memberikan bimbingan serta perhatian kepada penulis selama menjalani
perkuliahan.
7. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan
dan pengajaran selama penulis menjalani perkuliahan.
8. Kak Tika yang telah membantu penulis dalam hal administrasi di
Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara.
9. Kedua orang tua tersayang, Ayahanda W. Purba dan Ibunda R. Br. Sinaga,
yang telah memberikan dukungan moral, material, dan kasih sayang tanpa
batas kepada penulis dan doa yang tidak pernah berhenti untuk penulis.
10.Saudara-saudara yang terkasih, Bang Vika, Kak Rajin, Bang Lastri, Kak
Aldi, Kak Carly, Kak Nita, ipar, serta keponakan-keponakan yang luar
biasa. Terima kasih atas doa dan dorongan yang diberikan kepada penulis
selama perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.
11.Informan yang telah membantu penulis dalam menyediakan data
penelitian.
12.Ibu D. Sinaga atas izin yang diberikan sehingga penulis boleh melakukan
Merlyn, Tiur, Desi, Tio, Mays, Yoyo, Cris, Cloe, Intan, Supri, Norton,
Andi) dan semua teman yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.
Terima kasih atas kebersamaan yang selama ini terjalin sangat baik.
15.Senior-senior 2007 dan 2008, khususnya kak Pesta yang selalu
mengingatkan penulis untuk serius dalam menjalani kuliah.
16.Teman-teman tercinta (Septi Sinaga, Hermanto Marbun, dan Ardianto
Marbun) yang bersedia membantu penulis selama penulis mengadakan
penelitian di Desa Hutajulu.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga berkat Tuhan melimpah
bagi kita semua.
Medan, Agustus 2013
Yanti Friska Purba
PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
PRAKATA ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1
1.2Masalah ... 4
1.3Tujuan Penelitian ... 5
1.4Manfaat Penelitian ... 5
1.4.1 Manfaat Praktis ... 5
1.4.2 Manfaat Teoretis ... 5
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 6
2.2 Landasan Teori ... 7
2.3 Tinjauan Pustaka ... 14
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 19
4.1 Tipe-tipe Eufemisme ... 27
4.1.1 Ekspresi Figuratif ... 27
4.1.2 Metafora ... 33
4.1.3 Sirkumlokusi ... 39
4.1.4 Pelesapan ... 44
4.1.5 Jargon ... 46
4.1.6 Sebagian untuk keseluruhan ... 50
4.1.7 Metafora ... 54
4.2 Fungsi Eufemisme... 57
4.2.1 Sapaan atau Penamaan kepada Tuhan ... 57
4.2.2 Sapaan atau Penamaan kepada Orang ... 59
4.3 Makna Eufemisme ... 61
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 65
5.2 Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 67
LAMPIRAN 1: DATA PENELITIAN ... 69
LAMPIRAN 2: DATA INFORMAN... 101
‘ bar/palang
→ mendominasi
[] batas konstituen
DAFTAR SINGKATAN
AKT aktif
DEM demonstrativa
HG huhuasi di gareja
Jm jamak
KK kepala keluarga
Konj konjungsi
M mangulosi
Mis misalnya
PART partikel
PP patortor parumaen
Pos posesif
PPU pardalan ni pesta unjuk
PREP preposisi
PS panganon sibuha-buhai
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Kajian mengenai makna (semantik) adalah kajian yang tidak pernah ada
habisnya, khususnya di kalangan akademisi yang bergelut di bidang linguistik.
Terlihat makin banyak tulisan ataupun buku-buku yang mengkaji masalah makna,
termasuk masalah eufemisme (penghalusan bahasa) (lihat Djajasudarma, 1993:27;
Pateda, 2001:238; dan Chaer, 2007:284). Hal ini dapat dimengerti karena makna
atau maksud yang termuat dalam tuturan manusia, baik yang disampaikan secara
eksplisit maupun yang disampaikan secara implisit, merupakan bagian dari
aktivitas berkomunikasi manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menyampaikan maksud, setiap orang berusaha menggunakan
kosakata yang baik supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman orang lain. Tidak
jarang digunakan juga istilah-istilah lain yang semakna agar terdengar lebih
santun sesuai dengan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat yang
bersangkutan. Dalam literatur, istilah-istilah ini dinamakan eufemisme
(Kridalaksana, 1984:48; Tarigan, 1985:143, Chaer, 1994:144; dan Ohoiwutun,
2007: 21) yang digunakan untuk ‘melembutkan’ arti suatu ungkapan/tuturan agar
penuturnya dipandang lebih sopan dan berbudaya.
Penggunaan eufemisme dalam kehidupan masyarakat Batak Toba
merupakan suatu gejala umum. Dalam masyarakat Batak Toba terdapat sistem
‘teman lahir’ atau ‘saudara yang semarga’, dan boru ‘anak perempuan’ atau
‘saudara perempuan ayah dan suami’, yang membatasi hubungan antarpenutur
dan yang membatasi pilihan tutur dalam berkomunikasi, baik dalam situasi formal
(misalnya di kantor) maupun dalam situasi nonformal (misalnya, di rumah).
Sistem dalihan na tolu bahkan berperan penting dalam upacara adat, seperti pada
peristiwa kematian dan peristiwa perkawinan, pada masyarakat Batak Toba.
Setiap penutur bahasa Batak Toba yang menghadiri upacara adat harus
dapat menempatkan diri dengan baik pada situasi yang dihadapinya. Mereka juga
mesti mampu memilih tuturan yang tepat untuk menghindari terjadinya salah
pengertian. Bisa dipastikan bahwa pelaksanaan acara adat dalam masyarakat
Batak Toba tidak terlepas dari penggunaan kata-kata eufemisme. Pertimbangkan
tuturan perkawinan di bawah ini.
(1) […]; dengke si-mudurudur
[…]; ikan si-mudurmudur PART DEM Konj, Konj semoga bersama do i huhut, asa sai rap
mudurudur ma hamu nian ma- nuju tu na uli dohot na serentak PART 2.Jm AKT-nuju PREP yang indah Konj yang
denggan [….] (PS.210) baik [….]
‘inilah ikan simudurudur, biarlah kalian senantiasa bersama/serentak menuju hal-hal yang baik’
(2) Hamu angka na - pinar- sangap-an, angka aman- ta raja 2.jm para yang- 1.Tg - mulia-kan, para bapak-1.Jm raja
dohot angka inan-ta
Konj para ibu- 1.Jm permaisuri
soripada. (HG.211)
‘Para tamu yang saya muliakan, bapak raja dan ibu permaisuri’.
(3) Bosur mangan na godang mokmok mangan na otik. (PPU.222)
kenyang makan yang banyak gemuk makan yang sedikit.
Ungkapan dengke simudurudur pada contoh (1) di atas merupakan
eufemisme dari sifat manusia yang digambarkan melalui karakter sekelompok
ikan. Orangtua pengantin perempuan yang mengungkapkan kalimat tersebut
berharap kedua pengantin senantiasa bersama-sama untuk hal-hal yang baik.
Kehidupan berumah tangga yang akur dan serasi dikiaskan dengan ungkapan
dengke simudurudur, yaitu sekelompok ikan yang berenang bersama-sama
(searah).
Pada contoh (2), ungkapan angka amanta raja dohot inanta soripada
merupakan sebuah eufemisme. Penggunaan kata raja ‘raja’ dan soripada
‘permaisuri’ biasanya tidak digunakan oleh masyarakat Batak Toba dalam
kehidupan sehari-hari (hanya digunakan pada berbagai upacara adat). Para tamu
yang diundang, khususnya hula-hula (keluarga dari istri), pada suatu acara adat
sangat dihormati. Tuan rumah menyebutnya raja dan permaisuri. Di antara ketiga
elemen dalihan na tolu (hula-hula, dongan tubu, dan boru), hula-hula memiliki
status sosial tertinggi dalam pergaulan dan adat istiadat Batak. Ini berarti bahwa
penggunaan eufemisme dalam upacara perkawinan memiliki fungsi sosial yang
dipahami oleh partisipan yang terlibat dalam tuturan.
Pada contoh (3), ungkapan Bosur mangan na godang mokmok mangan na
otik, mengandung eufemisme sebab menyiratkan makna tertentu di luar makna
harfiahnya. Dengan mengatakan mokmok mangan na otik ‘gemuk jika makan
sedikit’, jelas bahwa tidak mungkin orang menjadi gemuk kalau makanan yang
Penggunaan eufemisme pada setiap tuturan tidak semata-mata untuk
menghindari kesan kasar atau tabu. Dalam budaya masyarakat Batak Toba,
eufemisme yang digunakan juga mempunyai fungsi tertentu. Misalnya sebagai
sapaan atau penamaan terhadap seseorang ataupun Tuhan.
Dari beberapa contoh di atas terlihat jelas bahwa eufemisme digunakan
dalam berbagai tuturan perkawinan. Pemakaian eufemisme ini sangat menarik
untuk dikaji sebab terdapat dalam tuturan perkawinan, yang merupakan salah satu
bentuk upacara adat yang masih dipertahankan oleh masyarakat Batak Toba.
Penelitian eufemisme sudah pernah dikerjakan; misalnya Faridah (2002)
dalam tesisnya Eufemisme dalam Bahasa Melayu Serdang, Andayani (2005)
dalam tesisnya “Eufemisme dalam Upacara Perkawinan Adat Jawa Nemokke di
Medan”, Rubby dan Dardanila (2008) dalam artikel yang berjudul Eufemisme
pada Harian Seputar Indonesia. Sejauh yang diamati, eufemisme dalam bahasa
Batak Toba belum pernah diteliti, khususnya eufemisme pada tuturan perkawinan.
Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan berbagai aspek
eufemisme dalam bahasa Batak Toba.
1.2Masalah
Masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Tipe-tipe eufemisme apa sajakah yang terdapat dalam tuturan perkawinan
masyarakat Batak Toba?
2. Bagaimanakah fungsi eufemisme dalam tuturan perkawinan masyarakat
3. Apakah makna eufemisme dalam tuturan perkawinan masyarakat Batak
Toba?
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi tipe-tipe eufemisme pada tuturan perkawinan
masyarakat Batak Toba;
2. Menjelaskan fungsi eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat
Batak Toba; dan
3. Mendeskripsikan makna eufemisme pada tuturan perkawinan
masyarakat Batak Toba.
1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dalam penelitian ini ialah:
1. Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca tentang penggunaan
eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba.
2. Menjadi sumber masukan bagi peneliti lain dalam mengkaji eufemisme
dalam masyarakat Batak Toba.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dalam penelitian ini ialah:
1 Sebagai sumber informasi bagi pemerintah daerah mengenai penggunaan
eufemisme dalam bahasa Batak Toba.
2 Sebagai upaya pelestarian tuturan perkawinan dalam masyarakat Batak
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1Konsep
Ada tiga konsep yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu eufemisme,
tuturan, dan perkawinan. Ketiga konsep itu perlu dibatasi untuk menghindari
salah tafsir bagi pembaca.
Allan dan Burridge (1991:14) mengatakan bahwa eufemisme adalah
bentuk pilihan dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak berkenan dan digunakan
untuk menghindarkan rasa malu (kehilangan muka). Bentuk ungkapan yang tidak
berkenaan tersebut dapat berupa tabu, ketakutan, tidak disenangi, atau
alasan-alasan lain yang berkonotasi negatif untuk dipakai (dipilih) dengan tujuan
berkomunikasi oleh penutur pada situasi tertentu (bdk Kridalaksana, 1984:48;
Chaer, 1994:27; Pateda, 2001:238).
Eufemisme dibagi atas tiga kategori, yakni baik, buruk, dan manipulasi
kenyataan (Sutarno dalam Andayani, 1988:15). Kategori baik berhubungan
dengan sopan santun. Misalnya, jika seseorang kencing atau berak, lebih sopan
jika dikatakan hendak ke belakang. Kategori buruk digunakan untuk
memanipulasi makna sebenarnya dan bersifat politis. Contohnya, ungkapan harga
naik diganti dengan disesuaikan atau kelaparan diganti dengan rawan gizi.
Kategori lain ialah manipulasi kenyataan. Kategori ini biasanya digunakan
nakal dikatakan bahwa anak itu hiperaktif. Kesan orang lain lebih positif terhadap
istilah hiperaktif daripada langsung mengatakan bahwa si anak tersebut nakal.
Tuturan atau sering disebut peristiwa tutur adalah terjadinya interaksi
linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan penutur dan mitra
tutur, dengan satu pokok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu
(Kridalaksana, 1984:200; Leech, 1993:20; Chaer dan Leonie Agustina, 1995:47).
Perkawinan merupakan saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat
hidup berkeluarga (Koentjaraningrat, 1985:90). Perkawinan termasuk masa
peralihan hidup yang terpenting dari semua manusia di seluruh dunia. Hampir
semua kelompok etnis mengakuinya dengan berpedoman kepada nilai, aturan dan
kegiatan yang berhubungan dengan tahap tersebut. Pada beberapa etnis, masa ini
ditandai dengan berbagai jenis upacara untuk mematangkan kepribadian si
individu.
2.1Landasan Teori
Allan dan Burridge (1991) mengemukakan bahwa eufemisme mempunyai
beberapa tipe. Tipe-tipe eufemisme itu adalah sebagai berikut:
1. Ekspresi figuratif, yaitu bersifat perlambangan, ibarat, atau kiasan.
Contoh: go to the happy huntinggrounds ‘pergi ke tanah pekuburan
yang menyenangkan’ → die ‘meninggal’
2. Metafora, yaitu perbandingan yang implisit di antara dua hal yang
Contoh: the miraculous pitcher that holds water with the mouth
downwards ‘tempat air yang menakjubkan dengan mulut yang
menghadap ke bawah’ → vagina ‘vagina’
3. Flipansi (Flippancy), yaitu makna di luar pernyataan.
Contoh: kick the bucket ‘menendang ember’ → die ‘meninggal’
4. Pemodelan ulang (Remodeling), yaitu pembentuk ulang.
Contoh: basket ‘keranjang’ → bastard ‘bajingan’
5. Sirkumlokusi (Cirkumlocutions), yaitu penggunaan beberapa kata
yang lebih panjang atau bersifat tidak langsung.
Contoh: little girl’s room ‘ruang gadis kecil’ → toilet ‘toilet’
6. Kliping (Clipping), yaitu pemotongan atau pemenggalan.
Contoh: brassiere ‘bh’ → bra ‘bh’
7. Akronim, yaitu penyingkatan atas beberapa kata menjadi satu.
Contoh: commfu ‘commfu’ → complete monumental military fuck up
‘monumen kemiliteran’
8. Abreviasi, yaitu penyingkatan kata-kata menjadi beberapa huruf.
Contoh: S.O.B → son of bitch ‘anak seorang pelacur’
9. Pelesapan (Omission), yaitu penghilangan sebagian kecil.
Contoh: I need to go ‘saya mau pergi’ → I need to go to the lavatory
‘saya mau pergi ke kamar mandi’
10.Penggantian kata per kata (one for one substitutions).
11.Hipernim (general for specific), kata yang umum menjadi kata yang
khusus.
Contoh: go to bed ‘pergi tidur’ → fuck ‘bersenggama’
12.Hiponim (part for whole eupheisms), yaitu kata yang khusus menjadi
kata yang umum.
Contoh: stuffed up nose, postnasal drip running eyes ‘hidung
tersumbat, ingusan, mata berair’→ I’ve got cough ‘saya demam’
13.Hiperbola, yaitu ungkapan yang berlebihan.
Contoh: flight to glory ‘terbang ke tempat yang nyaman (surga)’ →
death ‘meninggal’
14.Makna di luar pernyataan (understatement), yaitu satu makna kata
yang terlepas dari makna kata tersebut.
Contoh: genitals, bulogate etc ‘alat kelamin, kasus, dll’ → thing
‘sesuatu’
15.Jargon, yaitu kata yang memiliki makna yang sama tetapi berbeda
bentuk.
Contoh: feces ‘kotoran (istilah medis)’ →shit ‘tahi’
16.Kolokial, yaitu ungkapan yang dipakai sehari-hari.
Contoh: period ‘periode’ → menstruation ‘menstruasi’
Selanjutnya, Allan dan Burridge (1991) menyebutkan empat fungsi
eufemisme, yaitu:
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu berhubungan dengan kata
sapaan. Kata sapaan yang digunakan bergantung pada usia dan kedudukan
penyapa dan pesapa. Kata sapaan yang lazim digunakan ditujukan untuk
menyebutkan: nama Tuhan (mis: Adonai ‘Adonai’ → lord ‘Tuhan’), nama
binatang buas (mis: bear ‘beruang’ → the honey eater ‘pemakan madu’), dan
nama yang berhubungan dengan kegiatan berisiko (hazardous persuits) (mis: pro
vovka pomovka a vovk u khatu
(2) Menghindari tabu
, “one speaks of the wolf and it runs into the
house”).
Kata tabu merujuk pada tindakan yang dilarang atau dihindari. Dalam
masyarakat kata-kata yang berkonotasi seks dianggap tabu sehingga tidak boleh
digunakan di tengah-tengah masyarakat. Kata-kata tabu juga terdapat pada bagian
tubuh(body-parts), bagian tubuh khusus (bodily effluvia), haid, penyakit, cacat
mental dan tubuh, yang dikeluarkan tubuh (body’s waste products), kematian, dan
seni.
(3) Pemarkah identitas (gender)
Kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari status sosial. Setiap
masyarakat mempunyai kedudukan (jabatan) dan kemampuan ekonomi yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam komunikasi sehari-hari juga ditemukan
sebutan yang berbeda kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya
masing-masing. Contohnya terdapat pada ungkapan di bawah ini.
underprivileged sounds much better than “poor and needy
senior citizens rather than “old people
“warga negara yang paling tua” kedengaran lebih baik daripada “orang
tua”
”
Selain berbicara mengenai tipe dan fungsi eufemisme, Allan dan Burridge
(1991) juga menyinggung makna eufemisme. Adapun makna eufemisme yang
dikemukakan oleh Allan dan Burridge berhubungan dengan makna atau tujuan
sebuah tuturan. Di dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang (penutur) tidak
semata-mata mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam
pengucapan kalimat, ia (penutur) juga “menginginkan” sesuatu. Oleh karena itu,
makna suatu ucapan atau kalimat tergantung pada pemakaiannya.
Searle (dalam Wijana, 1996) mengemukakan bahwa secara pragmatis
setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang
penutur, yaitu:
a. Lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan atau menginformasikan
sesuatu.
b. Ilokusi adalah tindak tutur yang tidak hanya digunakan untuk
menginformasikan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu.
c. Perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk
mempengaruhi lawan tutur.
Tindak tutur lokusi memiliki makna secara harfiah, seperti yang dimiliki
oleh komponen-komponen kalimat itu. Tindak tutur dengan kalimat yang sama
mungkin dipahami secara berbeda oleh pendengar. Makna sebagaimana ditangkap
mempunyai harapan bagaimana pendengar akan menangkap makna sebagaimana
yang dimaksudkannya. Makna ini disebut tindak tutur perlokusi (Chaer dan
Leonie Agustina, 1995: 54)
Dari ketiga jenis tindak tutur di atas, ilokusi adalah tindak tutur yang
paling dekat dengan eufemisme. Dalam penelitian ini makna eufemisme
difokuskan pada tindak ilokusi. Pada ilokusi, pendengar sering tidak memahami
makna yang terkandung dalam tuturan yang diutarakan penutur. Hal ini terjadi
karena makna kalimat yang diujarkan tergantung dari konteksnya. Makna kalimat
tersebut berbeda dengan makna harfiah seperti yang dimiliki oleh
komponen-komponen kalimat itu.
Kalau dilihat dari konteks situasinya ada dua macam tindak tutur, yaitu
tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung
mudah dipahami oleh pendengar karena ujarannya bermakna lugas. Misalnya,
kalimat berita difungsikan untuk memberitakan sesuatu, kalimat tanya untuk
bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dsb. Dalam
tindak tutur tidak langsung, kalimat perintah dapat digunakan dengan kalimat
berita atau kalimat tanya untuk melembutkan tuturan. Tuturan yang diutarakan
secara tidak langsung (mis, dengan kalimat tanya) biasanya tidak dapat dijawab
secara langsung, tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang terimplikasi di
dalamnya (Wijana, 1996:31)
Berbicara mengenai kalimat terdapat tiga jenis kalimat berdasarkan
tatabahasa tradisional, yaitu (1) kalimat deklaratif (kalimat berita), (2) kalimat
Selanjutnya, Austin (dalam Chaer dan Agustina, 1995) membedakan kalimat
deklaratif menjadi kalimat konstatif dan kalimat performatif. Kalimat konstatif
adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka, misalnya, “Kepala sekolah kami
tampan sekali”. Kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan.
Misalnya, kalau seorang menteri perhubungan mengatakan, “Saya umumkan
bahwa tarif angkutan lebaran tidak mengalami kenaikan”, makna kalimat itu
adalah apa yang diucapkannya.
Selanjutnya, kalimat performatif dibagi atas lima kategori, yaitu (1)
kalimat verdiktif adalah kalimat yang menyatakan keputusan atau penilaian,
misalnya, Kami menyatakan terdakwa bersalah; (2) kalimat eksersitif adalah
kalimat yang menyatakan perjanjian, nasihat, peringatan, dan sebagainya,
misalnya, Kami harap kalian datang tepat waktu; (3) kalimat komisif adalah
kalimat yang dicirikan dengan perjanjian, misalnya, Besok kita pergi berenang;
(4) kalimat behatitif adalah kalimat yang berhubungan dengan tingkah laku sosial
karena seseorang mendapat keberuntungan atau kemalangan, misalnya, Saya
mengucapkan selamat atas kelahiran anak Anda; (5) kalimat ekspositif adalah
kalimat yang memberi penjelasan, keterangan atau perincian kepada seseorang,
misalnya, Saya jelaskan kepada Anda bahwa mereka bukan pencuri.
Kalimat seperti
(4a) “Saya kemarin tidak dapat hadir”,
apabila dipandang dari aspek lokusinya, memberitahukan bahwa kemarin ia tidak
dapat menghadiri acara temannya tersebut. Kalau dipandang dari aspek
tetapi ia tidak dapat hadir pada saat yang sudah ditentukan. Perlokusidari ucapan
itu dapat membuat pendengarnya memaafkannya (dengan berkata, “Ya, tidak
apa-apa”) atau bersikap tak peduli (diam dan tidak menunjukkan ekspresi
memaafkan).
Dari segi konteksnya kalimat di atas merupakan tindak tutur tidak
langsung. Hal ini terlihat dari penggunaan kalimat tersebut (kalimat berita) yang
seolah-olah hanya memberitahukan temannya bahwa kemarin ia tidak dapat hadir.
Padahal, si penutur hendak memohon maaf dan seharusnya ia menggunakan
kalimat perintah (imperatif). Untuk membuktikan kebenarannya, perhatikan
contoh di bawah ini sebagai perluasan dari kalimat tersebut:
(4b) “Saya minta maaf, karena kemarin tidak dapat hadir.”
atau seperti kalimat berikut.
(4c) “Saya kemarin tidak dapat hadir, ada urusan mendadak. Oleh karena itu, saya
mohon maaf.”
2.3 Tinjauan Pustaka
Beberapa hasil penelitian yang ditinjau dalam penelitian ini diterangkan
sebagai berikut. Faridah (2002) dalam tesisnya Eufemisme dalam Bahasa Melayu
Serdang menjelaskan bentuk, fungsi, dan makna eufemisme. Faridah
menggunakan pandangan Allan dan Burridge (1991) dalam menjawab
permasalahan penelitiannya. Dalam penelitiannya, Faridah menggunakan data
tulis dan data lisan. Data tulis diperoleh dari buku-buku pantun bahasa Melayu,
sedangkan data lisan diperoleh dari percakapan penutur jati. Untuk mendapatkan
teknik pancing dan teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat.
Selanjutnya, dalam menganalisis data digunakan metode agih, metode padan dan
metode pragmatik. Dalam menganalisis makna digunakan metode pragmatik,
dengan alat penentu mitra wicara.
Menurut Faridah, bentuk-bentuk eufemisme dalam bahasa Melayu
Serdang terdiri atas (1) ekspresi figuratif (mis: hujanlah hari rintik-rintik, tumbuh
cendawan gelang kaki, kami seumpama telor itik, kasih ayam maka menjadi), (2)
metafora (mis: angin lalu membawa berita), (3) satu kata untuk menggantikan
kata yang lain (mis: penganten ‘lipan’) , (4) umum ke khusus (mis: burung salah
name ‘burung punai’), (5) hiperbola (mis: akan kubawe ke liang kubor ‘akan
kubawa sampai ke liang kubur’), dan (6) kolokial (mis: bawe bulan ‘haid’).
Fungsi-fungsi eufemisme dalam bahasa Melayu Serdang berupa (1)
sapaan dan penamaan (mis: Pakcik ‘bapak’), (2) penghindaran tabu (mis: punai
‘alat kelamin laki-laki’), (3) menyatakan cara eufemisme digunakan (mis: awak
udah haus kali ne, bagilah minom ‘seorang tamu minta minum dengan cara
halus’, dan (4) menyatakan situasi (mis: nenek/datuk ‘harimau’). Makna
eufemisme berkaitan dengan (1) penutur dan lawan tutur (mis: sireh besusun
pinang belonggok, tepak bebaris memanggu sape, anak beru menunggu izin, dari
keluarga Datok Husny mulie ‘sirih bersusun pinang berlonggok, tepak berbaris
menunggu sapa, anak beru menunggu izin, dari keluarga Datuk Husny mulia), (2)
konteks tuturan (mis: kalau rumah tide berpintu, dimane arah boleh disingkap,
kalau puan kate begitu, inilah kunci due serangkap ‘kalau rumah tidak berpintu,
serangkap’), (3) tujuan tuturan (mis: same umor dah setahun jagung ‘sama umur
sudah setahun jagung’, sama darah setampok pinang ‘sama darah setampuk
pinang’, same akal tumboh ke luar ‘sama akal tumbuh ke luar’), (4) tuturan
sebagai bentuk tindak atau aktivitas (mis: lancang kuning berlasyar malam, arus
deras karangnye tajam, jika mualem kurang paham, alamat kapal akan
tenggelam ‘lancang kuning berlayar malam, arus deras karangnya tajam, jika
mualim kurang paham, alamat kapal akan tenggelam’), dan (5) tuturan sebagai
bentuk tindak verbal (mis: Teruna sudah lelah ‘Teruna sudah lelah’).
Andayani (2005) dalam tesisnya “Eufemisme dalam Upacara Perkawinan
Adat Jawa Nemokke di Medan” mengkaji tipe-tipe eufemisme, fungsi eufemisme,
makna eufemisme, serta pola sosiolinguistik penggunaan eufemisme dalam
prosesi Nemokke. Ia menggunakan pandangan Allan dan Burridge (1991) untuk
menjelaskan masalah penelitian. Data dikumpulkan dengan metode wawancara
yang didukung teknik rekam dan teknik catat, tetapi kurang jelas berapa jumlah
desa yang dijadikan sebagai daerah pengamatan.
Menurut Andayani, tipe-tipe eufemisme dalam upacara perkawinan Jawa
Nemokke terdiri atas (1) metafora (mis: golek sandang lan pangan ‘mencari
pakaian dan makanan’ atau ‘nafkah’), (2) satu kata menggantikan kata yang lain
(mis: wal lang ‘lepas hitungan’ atau ‘segala sesuatu harus diperhitungkan’), (3)
hiperbola (mis: satrio bagus ‘ksatria baik’ atau ‘suami’), dan (4) ekspresi figuratif
(mis: wes ngentok ake kembar mayang ponco worno ‘sudah bertemu dengan
sapaan (mis: guru laki ‘suami’) dan menghindari tabu (mis: kembar sekar mayang
ponco worno ‘perawan’.
Perlu dicatat bahwa Andayani tidak menetapkan satu teori yang pasti
untuk mencari makna eufemisme. Makna metaforis dari setiap ungkapan dia
jadikan sebagai makna eufemisme. Pola sosiolinguistik meliputi bentuk-bentuk
keteraturan dalam penggunaan bahasa yang berhubungan dengan faktor-faktor
seperti jenis kelamin, usia, dan pengalaman. Penggunaan eufemisme berdasarkan
jenis kelamin tidak menghasilkan pola tertentu (perbedaan). Dari segi usia dan
pengalaman, ahli nemokke yang tua (di atas 60 tahun) cenderung lebih
berpengalaman daripada mereka yang masih muda dan ahli nemokke yang
berpengalaman itu lebih banyak memberikan nasihat daripada yang belum
berpengalaman.
Selanjutnya, Rubby dan Dardanila (2008) dalam artikel yang berjudul
“Eufemisme pada Harian Seputar Indonesia” membahas bentuk-bentuk
eufemisme dan frekuensi pemakaiannya. Rubby dan Dardanila juga menggunakan
pandangan Allan dan Burridge (1991). Data penelitiannya bersumber dari harian
Seputar Indonesia edisi Juni-Juli 2007, yang dikumpulkan dengan menggunakan
metode simak. Selanjutnya, data dianalisis dengan menggunakan metode agih dan
metode deskripsi.
Menurut Rubby dan Dardanila, ada tujuh bentuk eufemisme pada harian
Seputar Indonesia, yaitu (1) ekspresi figuratif (mis: Nasib Mpseda di PSMS
berada di ujung tanduk ‘berada dalam situasi yang kritis atau keadaan genting’),
menaati peraturan yang telah ditetapkan’), (3) sirkumlokusi (mis: Pemain Timnas
Indonesia tak boleh terperangkap dalam permainan dan perang kata yang
dilontarkan Arab Saudi ‘terprovokasi atau terpancing emosi’), (4) singkatan (mis:
PSK (Pekerja Seks Komersial) ‘pelacur’), (5) satu kata untuk menggantikan satu
kata yang lain (mis: Lembaga Permasyarakat (LP) ‘penjara’, ‘bui’, atau ‘rumah
tahanan’) , (6) umum ke khusus (mis: gugur ‘mati’, ‘meninggal’), dan (7)
hiperbola (mis: Barna belum juga puas, kembali menghujani tubuh pria malang
itu bertubi-tubi
Penelitian tentang jenis-jenis tuturan pada upacara adat perkawinan
dilakukan oleh Hutapea (2007) dalam skripsinya Tuturan pada Upacara Adat
Perkawinan Masyarakat Batak Toba. Data penelitiannya bersumber dari penutur
jati bahasa Batak Toba dan sejumlah data tulis. Data dikumpulkan dengan metode
simak dan dianalisis dengan metode padan pragmatik dengan alat penentu mitra
wicara. Hutapea menyimpulkan bahwa tuturan yang paling dominan dalam
upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba adalah tuturan direktif. ‘ditikam’ atau ‘dibacok’.
Penelitian di atas memberikan kontribusi dalam metode dan data bahasa
Batak Toba. Metode wawancara atau metode simak juga diterapkan dalam
penelitian ini. Data bahasa Batak Toba yang mengandung eufemisme misalnya,
“nunga ojak parsaripeon i marhite ugamo, hot ma antong sipanganon na
hupasahat hami, uli ma roha muna manjalo” ‘sudah sah rumah tangga itu
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan sejak 25 Mei hingga 25 Juni 2013 di Desa
Hutajulu, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan. Desa Hutajulu
merupakan salah satu desa dari sepuluh desa yang terdapat di Kecamatan Pollung,
Kabupaten Humbang Hasundutan. Desa lain di Kecamatan Pollung adalah Desa
Ria-ria, Desa Parsingguran I,Desa Parsingguran II, Desa Pollung, Desa Huta
Paung, Desa Pansur Batu, Desa Sipitu Huta, Desa Pandumaan, Desa Aek Nauli I,
dan Desa Aek Nauli II. Desa Hutajulu berbatasan dengan Desa Hutagalung,
Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir di sebelah Utara, di sebelah Timur
berbatasan dengan Desa Ria-ria, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Huta
Paung Utara, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Parlilitan. Desa
Hutajulu dibagi menjadi tiga dusun yang dihuni oleh 185 KK (dusun I), 90 KK
(dusun II), dan 189 KK (dusun III) (BPS, 2011). Sampai saat ini penduduk Desa
Hutajulu masih menggunakan bahasa Batak Toba sebagai sarana komunikasi.
Bahasa yang digunakan masih murni dan belum terkontaminasi. Hal inilah yang
melatarbelakangi peneliti untuk menetapkan desa tersebut sebagai lokasi dalam
penelitian ini.
Desa Hutajulu memiliki luas 4.025,5 ha (termasuk pertanian, perkebunan,
pemukiman, dan pekuburan). Jarak Desa Hutajulu ke ibu kota kecamatan adalah 4
ibu kota kabupaten dan ibu kota kecamatan ke Hutajulu dapat ditempuh dengan
transportasi darat, seperti angkutan umum, mobil, sepeda motor, dan kendaraan
roda tiga. Waktu tempuh dari ibu kota kabupaten ke Desa Hutajulu adalah 50
menit dan dari ibu kota kecamatan adalah 20 menit (BPS, 2011). Letak Desa
Hutajulu dapat dilihat pada peta di bawah ini.
PETA KECAMATAN POLLUNG KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
Gambar 3.2 Desa Hutajulu
Penduduk Desa Hutajulu berjumlah 2.217 orang atau sekitar 454 KK,
1.072 perempuan dan 1.145 laki-laki. Pekerjaan dan tingkat pendidikan penduduk
Desa Hutajulu dapat dilihat dalam tabel berikut (BPS, 2011).
Tabel 3.1 Pekerjaan Penduduk
Pekerjaan Jumlah/jiwa
Petani 878
PNS 35
Montir 3
Bidan Swasta 3
Pensiunan 8
Penduduk Desa Hutajulu menjunjung tinggi nilai budaya. Hal ini dapat
dilihat dari berbagai acara adat yang diselenggarakan mulai dari acara pernikahan,
memasuki rumah baru, kelahiran anak, dan acara penguburan yang masih
diadakan hingga saat ini. Desa Hutajulu termasuk desa yang belum maju.
Penduduk desa Hutajulu belum mampu mengolah sumber daya alam yang ada
dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pendapatan penduduknya yang
hanya berjumlah sekitar Rp12.000.000 per tahun. Namun, meskipun Desa
Hutajulu belum begitu maju, desa ini sudah menggunakan listrik. Selain itu, di
desa ini juga telah terdapat sekolah dan Puskesmas atau Polindes.
Penelitian ini menggunakan data lisan dan data tulisan. Data lisan
dikumpulkan dari penutur jati bahasa Batak Toba. Untuk mengumpulkan data
lisan digunakan metode cakap dan teknik dasar berupa teknik pancing. Teknik ini
dilanjutkan dengan teknik cakap semuka. Dalam teknik ini dipersiapkan sejumlah
daftar pertanyaan sebagai panduan dalam pengumpulan data. Teknik cakap
semuka didukung oleh teknik rekam, dan teknik catat, yakni mencatat segala data
yang dianggap perlu untuk menjadi data penelitian (Sudaryanto, 1993:135).
Informan dalam penelitian ini dipilih dari keluarga kedua belah pihak yang
mengadakan upacara perkawinan khususnya mereka yang sering ditunjuk sebagai
raja parhata ‘juru bicara’ dari pihak pengantin laki-laki maupun dari pihak
pengantin perempuan dalam setiap upacara perkawinan masyarakat Batak Toba.
Para tamu/undangan juga dapat dijadikan sebagai informan asalkan orang yang
informasi seperti yang diharapkan oleh peneliti. Informan dalam penelitian ini
dipilih berdasarkan syarat-syarat berikut ini.
1. Berjenis kelamin pria atau wanita;
2. Berusia antara 25-65 tahun;
3. Jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya;
4. Berpendidikan minimal tamat pendidikan dasar (SD-SLTP);
5. Menguasai bahasa dan budaya Batak Toba dengan baik;
6. Memiliki kebanggaan terhadap isolek dan masyarakat isoleknya;
7. Sehat jasmani dan rohani (Mahsun, 1995:106).
Informan dalam penelitian ini berjumlah tiga orang, dua laki-laki dan satu
perempuan (lihat lampiran 2). Rumah informan berdekatan dengan rumah penulis
hal ini bertujuan untuk mempermudah proses wawancara sebab wawancara tidak
dapat diadakan tiap saat.
Data tulis diperoleh dari buku Jambar Hata Dongan tu Ulaon Adat
(Sihombing, 1989) dan buku Sintaksis Bahasa Batak Toba (Sibarani, 1997).
Untuk memperoleh data digunakan metode simak yang didukung oleh teknik catat
(Sudaryanto, 1993: 133, 135).
3.2Metode dan Teknik Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan metode agih, yang alat penentunya
bagian dari bahasa. Teknik dasarnya berupa teknik bagi unsur langsung dan
teknik lanjutan berupa teknik lesap, teknik ganti, dan teknik perluas (Sudaryanto,
fungsi, dan makna eufemisme. Salah satu cara untuk mengidentifikasi tipe
eufemisme tampak pada contoh berikut:
(5a) Laos songon i do pangidoan nami mulai sadari on :
‘dan begitulah permintaan kami mulai hari ini: hendaklah kalian satu hati, satu tujuan, dan satu pendapat di setiap pekerjaan dan rencana kalian’
Kalimat di atas digolongkan ke dalam tipe sirkumlokusi, yaitu penggunaan
beberapa kata yang lebih panjang atau bersifat tidak langsung. Pada contoh (5a)
ungkapan sisada roha ma hamu, sisada tahi sisada oloan di saluhut siulaon dohot
sibahenonmuna bermakna pasangan pengantin senantiasa seia sekata dalam
segala keadaan. Apabila ungkapan itu diganti dengan maksud yang sebenarnya
akan dihasilkan bentuk yang lebih singkat. Lihatlah perubahan berikut ini.
(5b) Laos songon i do pangidoan nami mulai sadari on : Konj seperti DEM PART permintaan 1.Tg mulai hari DEM
sada ma roha muna
satu PART hati 2.Jm PREP semua pekerjaan Konj si-buat- an-2.Jm. di saluhut siulaon dohot si-bahen-on-muna.
‘dan begitulah permintaan kami mulai hari ini: hendaklah kalian satu hati dalam setiap pekerjaan dan rencana kalian’.
Bandingkan dengan contoh di bawah ini!
‘biarlah Tuhan kita yang Mahakasih itu membalas berlipat ganda kepada kalian yang kami muliakan’.
Ungkapan Tuhanta parasi roha ‘Tuhan kita yang murah hati’ pada (6a)
berfungsi sebagai sapaan dan penamaan. Ungkapan itu digunakan untuk menyapa
Sang Pencipta (Tuhan). Bila ungkapan tersebut diganti bentuknya terlihat seperti
di bawah ini.
(6b) […] sai Tuhan
[…] semoga Tuhan DEM PART AKT-balas DEM berlipat i ma ma- malos i marlipat
ganda tu hamu sude na hu- parsangap-i hami. ganda PREP 2.Jm semua yang 1.Tg mulia- kan 2.Tg.
‘biarlah Tuhan membalas berlipat ganda kepada kalian yang kami muliakan’
Contoh lain seperti di bawah ini.
(7a) […] sai mar-neang ni langka dope hamu rap udur dohot hami […] semoga ber-ringan Pos langkah lagi 2.Jm bersama sejalan Konj 1.Jm
tu inganan parpestaan naung pi-narade ni hula-hulan-ta PREP tempat pesta sudah di-sediakan Pos hula-hula- kita
di [….] (HG.214) PREP [….]
‘dengan senang hati ikut bersama-sama dengan kami ke tempat pesta diadakan’
Ungkapan sai mar-neang ni langka dope hamu rap udur
dohot hami tu….’(setelah acara dari gereja) masih ikut bersama-sama dengan
kami ke tempat acara pesta diadakan’ pada contoh di atas termasuk tindak tutur
tidak langsung. Kalimat tersebut seolah-olah tidak bermaksud mengajak, tetapi
hanya memberi tahu undangan bahwa setelah acara pemberkatan di gereja, masih
ada acara selanjutnya yang akan dilaksanakan di rumah hula-hula ‘orangtua
mengharapkan kesediaan para undangan, mengajak, bahkan menyuruh mereka
untuk tetap mengikuti setiap acara. Oleh karena itu, seharusnya penutur
menggunakan kalimat eksersitif (kalimat yang menyatakan perjanjian, nasihat,
peringatan, dan sebagainya). Jelasnya, perhatikanlah contoh di bawah ini sebagai
perluasan dari kalimat di atas!
(7b) […] harap situtu roha-nami
[…] harap betul hati-1.Jm semoga ber-ringan Pos langkah lagi sai mar-neang ni langka dope
hamu rap udur dohot hami
2.Jm bersama sejalan Konj 1.Jm PREP tempat pesta tu inganan parpestaan
naung pi-narade ni hula-hulan-tadi [….]
sudah di-sediakan Pos hula-hula- kita PREP [….]
‘kami sangat berharap kesediaan kalian (undangan) untuk tetap ikut bersama dengan kami mengikuti acara selanjutnya’
3.3Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Metode dan teknik penyajian hasil analisis data dilakukan dengan dua
cara, yakni metode formal dan metode informal. Metode informal adalah
perumusan dengan kata-kata biasa, sedangkan metode formal adalah perumusan
dengan tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993:145). Penyajian secara
formal tampak dalam penggunaan tanda di antaranya: tanda panah (→ ), tanda
kurung biasa (()), dan tanda kurung siku ([]). Adapun lambang yang dimaksud di
antaranya lambang huruf sebagai singkatan kata (AKT, DEM, PS, HHG), dan
BAB IV
EUFEMISME PADA TUTURAN PERKAWINAN MASYARAKAT BATAK TOBA
4.1 Tipe Eufemisme
Tipe-tipe eufemisme dalam bahasa Batak Toba dalam tulisan ini mengacu
pada pandangan Allan dan Burridge (1991). Berikut dijelaskan tipe-tipe
eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba.
4.1.1 Ekspresi Figuratif
Pada saat bertutur dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu
berusaha menanamkan kesan yang baik di mata orang lain (pendengar). Hal ini
mendorong setiap orang untuk menggunakan kosakata yang baik dan tidak
menyinggung perasaan pihak lain. Untuk itu, dalam menyampaikan
gagasan/pendapatnya banyak orang sengaja menggunakan lambang-lambang atau
kiasan agar lebih santun. Perhatikan contoh-contoh berikut.
(8a) Tangan ma- nomba ma dohot soara marhuhuasi
tangan AKT-sembah PART PREP suara bertutur PREP makanan di sipanganon
na saotik na hu- boan hami on.(PS.204) yang sedikit yang 1.Tg-bawa 1.Jm DEM.
‘berbicara dengan sangat hormat (menyembah) untuk menyampaikan makanan yang kami bawa ini’.
Pada contoh (8a) di atas, ungkapan tangan manomba ma dohot soara
marhuhuasi ‘tangan menyembah sambil berucap’ merupakan suatu lambang yang
digunakan untuk menyatakan bahwa paranak (pihak laki-laki) menyampaikan
makanan kepada hulahula (pihak perempuan) dengan penuh hormat. Pada saat
digunakan sebagai gambaran kerendahan hati dan ketulusan penutur dalam
menyampaikan makanan yang telah mereka sediakan sebelumnya. Apabila
ungkapan tersebut diganti akan terlihat seperti bentuk berikut.
(8b) Dohot hormat
Atau bisa juga disampaikan seperti bentuk berikut.
(8c) Dohot tangan manomba
Contoh lain dapat kita lihat seperti berikut ini.
(9a) […] siala haroro muna tu bagas na badia
‘atas kedatangan kalian ke rumah ibadah ini untuk menghadiri pemberkatan anak dan menantu kami.’
Pada contoh di atas bagas na badia ‘rumah yang kudus’ digunakan untuk
menggambarkan/menyebutkan gereja. Ungkapan ini tidak hanya digunakan pada
acara perkawinan, dalam kehidupan sehari-hari juga sering digunakan oleh
masyarakat Batak Toba. Oleh karena itu, ketika seseorang menggunakan frasa itu
untuk menyebut gereja, pendengar telah mengerti maksud penuturnya. Apabila
(9b) […] siala haroro muna tu gareja
[…] sebab kedatangan 2.Jm PREP gereja DEM menghadiri on mangadopi
pamasumasuon ni anak dohot parumaen- nami. pemberkatan DEM anak Konj menantu perempuan-1.Jm.
‘atas kedatangan kalian ke gereja ini untuk menghadiri pemberkatan anak dan menantu kami.’
Selain ungkapan bagas na badia masyarakat Batak Toba juga sering
menggunakan ungkapan bagas joro ni Tuhan ‘rumah Tuhan’ untuk menyebutkan
gereja. Hal ini tampak pada contoh berikut.
(9c) […] siala haroro muna tu bagas joro ni Tuhan
[…] sebab kedatangan 2.Jm PREP rumah Pos Tuhan DEM menghadiri on mangadopi
pamasumasuon ni anak dohot parumaen- nami. pemberkatan Pos anak Konj menantu perempuan-1.Jm.
‘atas kedatangan kalian ke rumah Tuhan ini untuk menghadiri pemberkatan anak dan menantu kami’
Selanjutnya pada contoh (10a) berikut, ungkapan masiaminaminan songon
lampak ni gaol jala masitungkoltungkolan songon suhat di robean ‘saling
melengkapi seperti pelepah pisang dan saling menopang seperti keladi di
pinggang bukit’ merupakan suatu perumpamaan yang digunakan hampir di setiap
acara adat yang diselenggarakan oleh masyarakat Batak Toba. Dengan
menyampaikan ungkapan ini, si penutur berharap di masa yang akan datang
mereka (pendengar) berlaku seperti pokok pisang yang mampu tumbuh dan
berdiri kokoh karena pelepahnya yang saling menutupi/berlapis-lapis (saling
mendukung) dan seperti akar keladi yang mampu bertahan hidup di pinggang
bukit karena akarnya tumbuh sambung menyambung (saling menopang).
(10a) […] tongtong ma hita sai
[…] selalu PART 1.Jm semoga saling memaafkan seperti pelepah Pos masiaminaminan songon lampak ni
di robean PREP tepi bukit
.(MS.331)
‘hendaklah kita senantiasa saling mendukung dan saling menopang’
Apabila diganti dengan makna yang sebenarnya akan terlihat seperti
konstruksi di bawah ini.
(10b) […] tontong ma hita sai
[…] selalu PART 1.Jm semoga saling membujuk, saling menolong, masianjuan, masiurupan,
Konj saling mendoakan PREP setiap saat. jala masitangiangan di ganup tikki.
‘hendaklah kita senantiasa saling mendukung, saling menopang, dan saling mendoakan’
Masyarakat Batak Toba meyakini bahwa setiap pengantin baru yang telah
resmi menjadi pasangan suami istri sesungguhnya telah menjadi satu. Mereka
tidak lagi dua melainkan satu dalam segala hal dan satu untuk selamanya. Oleh
karena itu, pada (11a) sada ma rohamuna songon daion aek unang mardua
songon daion pola ‘hendaklah kalian sehati seperti rasa air tidak bermacam rasa
seperti nira’ digunakan untuk melambangkan kehidupan pasangan pengantin baru
agar tetap sehati dan sepikir seperti air yang hanya memiliki satu rasa yaitu tawar.
(11a) […] asa
‘supaya kalian satu hati seperti rasa air tidak bermacam rasa seperti nira’
Apabila ungkapan tersebut diganti dengan makna yang sebenarnya, akan
terlihat seperti pada (11b) berikut.
(11b) […] asa
[…] Konj satu hati-2.Jm sada roha-muna
Upacara adat pada hampir setiap suku di Indonesia mengalami
perkembangan yang sangat pesat, tak terkecuali pada masyarakat Batak Toba.
Hampir setiap upacara perkawinan yang diadakan menggunakan alat musik, baik
itu alat musik tradisional maupun modern. Dalam masyarakat Batak Toba alat
musik biasanya digunakan untuk mengiringi tortor ‘tarian’ selama upacara
berlangsung. Para tamu yang manortor ‘menari’ pada umumnya diberi
bunga-bunga ni tangan ‘bunga tangan’ oleh pihak penyelenggara pesta sebagai ucapan
terima kasih, begitu juga sebaliknya.
(12a) […] dipatupa hamu rongam marhitehon di angka […] disediakan 2.Jm tepat melalui Prep para
bungabunga ni
tangan-bungabunga Pos tangan-1.Jm.
nami.(PP.46)
‘kalian telah menyediakan bunga tangan bagi kami’
Ungkapan bunga-bunga ni tangan pada (12a) di atas menyatakan uang
yang dalam bahasa Batak Toba sering juga disebut sihumisik seperti tampak pada
(12b) di bawah ini.
(12b) […] dipatupa hamu marhitehon di angka sihumisik
[…] disediakan 2.Jm melalui Prep para uang yang diberi-2.Jm. na nilehon-muna.
‘kalian telah memberikan uang kepada kami’
Seperti pernah disinggung sebelumnya, bahwa dalam masyarakat Batak
Toba hulahula ‘orangtua istri’ menduduki posisi tertinggi dalam dalihan na tolu
‘tungku yang tiga’. Hulahula dianggap orang yang paling berpengaruh,
pelindung, dan sebagai saluran berkat bagi para boru ‘anak perempuan’.
tinongos ni tondi ni hulahula ‘titipan roh hulahula’ seperti terlihat pada contoh
(13a) di bawah ini.
(13a) Di hami saluhutna
Prep 1.Jm semuanya para yang dikirim Pos angka na tinongos ni
tondi-muna
roh-2.Jm DEM [….] on [….] (PP.157)
‘bagi kami semua anak-anak kalian ini’
Tinongos ni tondi pada contoh di atas juga lazim disebut dengan
pargellengon ‘anak-anak/keturunan’ dari hulahula seperti pada (13b) berikut.
(13b) Di hami saluhutna pargellengon-muna
Prep 1.Jm semuanya anak-anak-2.Jm DEM [….] on [….]
‘bagi kami anak-anak kalian ini’
Seseorang yang diundang pada suatu acara biasanya akan
mempertimbangkan banyak hal, baik itu dari segi waktu, materi maupun ha-hal
lainnya sebelum ia memutuskan untuk hadir atau tidak dalam acara tersebut. Oleh
karena itu, bisa dipastikan bahwa mereka yang hadir dalam suatu acara dianggap
hadir dengan senang hati/ikhlas dan tidak ada unsur paksaan dari siapa pun.
Demikian juga halnya pada (14a) marneang ni langka dohot las ni roha ‘ringan
langkah dan senang hati’ berikut ini.
(14a) […] i ma na marneang ni langka dohot las ni roha […] DEM PART yang beringan Pos langkah Konj hangat Pos hati kita
hita
di pesta perkawinan ni pahompu on.(PP.8)
Prep pesta perkawinan Pos cucu DEM
‘dengan senang hati kita telah hadir di acara perkawinan cucu ini’
Ungkapan di atas sesungguhnya menyatakan bahwa mereka (si penutur
dan kawan-kawan) menghadiri pesta tersebut dengan penuh sukacita dan tidak
(14b) […] i ma na marlas ni roha hita
[…] DEM PART yang bersukacita 1.Jm
di pesta perkawinan ni pahompu on.
Prep pesta perkawinan Pos cucu DEM
‘kita bersukacita pada acara perkawinan cucu ini’
Seperti telah kita ketahui, masyarakat Batak Toba mengenal tiga silsilah
sebagai dasar sistem kekerabatan, yaitu hulahula ‘orangtua istri’, dongan tubu
‘saudara/semarga’, dan boru ‘anak perempuan beserta keluarga dari pihak suami’.
(15a) […] i ma pangidoan-nami di hita na mardongan tubu […] DEM PART permohonan-1.Jm Prep 1.Jm yang berteman lahir
di pestan-ta sadari on. (PP.124)
Prep pesta-1.Jm hari DEM.
‘itulah permintaan kami untuk kita yang bersaudara’
Pada (15a) di atas na mardongan tubu ‘yang berteman lahir’ memiliki
makna yang sebenarnya, yaitu menyatakan bersaudara atau kakak beradik yang
sudah tentu mempunyai marga yang sama bukan mengatakan teman waktu
dilahirkan seperti makna harfiahnya. Hubungan abang dan adik dalam masyarakat
Batak Toba disebut na marhamaranggi ‘yang bersaudara’ seperti berikut ini.
(15b) […] i ma pangidoan-nami di hita na marhamaranggi […] DEM PART permohonan-1.Jm Prep 1.Jm yang bersaudara
di pestan-ta sadari on. Prep pesta-1.Jm hari DEM.
‘itulah permintaan kami untuk kita yang bersaudara’
4.1.2 Metafora
Saat berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, kadang-kadang terdapat
suatu kata atau istilah yang mungkin lebih mudah dipahami orang lain
(pendengar) apabila dijelaskan dengan kata-kata lain atau digambarkan dengan
dimaksud. Selain itu, penggunaan keterangan lain untuk menggambarkan suatu
istilah juga bertujuan agar kalimat yang diujarkan lebih eufemis.
Contoh :
(16a) Ima da raja-nami sipanganon sibuhabuhai ni pesta begitu PART raja-1.Jm makanan sibukabukai Pos pesta
sadari on [….] (PS.205)
hari DEM [….]
‘Begitulah raja kami makanan pembuka pesta hari ini’
Frasa sipanganon sibuhabuhai ni pesta ‘makanan sibuhabuhai pesta’ pada
kalimat di atas merupakan nama makanan yang disajikan sebelum acara adat
dimulai. Makanan yang disajikan pada saat makan sipanganon sibuhabuhai
sebenarnya sama saja dengan makanan lainnya, namun karena makanan ini
disajikan saat sebelum upacara perkawinan dimulai maka makanan ini dinamai
sipanganon sibuhabuhai. Makna sebenarnya yang terkandung dalam ungkapan
tersebut, yaitu makanan pembuka atau makanan yang disajikan pertama kali
sebelum acara pemberkatan di gereja dimulai sebagai simbol doa dari kedua belah
pihak (pihak pengantin laki-laki dan perempuan). Pada saat makan sipanganon
sibuhabuhai kedua pengantin dihadirkan untuk didoakan agar acara pemberkatan
yang akan diadakan berjalan lancar. Dengan memperluas kalimat di atas, akan
tampak makna sebenarnya yang terkandung dalam ungkapan tersebut seperti
terlihat pada (16b) berikut.
(16b) Ima da raja-nami
begitu PART raja-1.Jm makanan sibukabukai jalan pergi sipanganon sibuhabuhai dalan lao
manangiakkon asa tulus ulaon-ta
‘Begitulah makanan pembuka sekaligus sebagai doa supaya acara pemberkatan dan upacara adat yang akan kita selenggarakan hari ini berjalan lancar.’
Pada setiap acara, baik itu acara adat maupun acara keagamaan, pasti
terdapat interaksi ataupun dialog didalamnya. Demikian juga halnya pada acara
perkawinan masyarakat Batak Toba. Pada saat acara berlangsung, apabila
paranak ‘pihak pengantin laki-laki’ mengatakan suatu hal, sudah tentu parboru
‘pihak pengantin perempuan’ ingin tahu apa yang hendak disampaikan oleh si
penutur (paranak) sehingga mereka bersedia mendengar/ memperhatikan dengan
baik sebagai tanda bahwa mereka menghormati lawan tuturnya, demikian juga
sebaliknya. Untuk lebih jelas, perhatikanlah konstruksi berikut!
(17a) […] jadi tangkas ma paboa hamu
[…] jadi jelas PART beri tahu 2.Jm sidengar Pos telinga sibegeon ni pinggol
sipeopon ni roha sipegangan Pos hati [….]
[….] (PPU.255)
‘jadi, dengan jelas beritahulah amanat itu’
Pada bentuk (17a) di atas, sibegeon ni pinggol sipeopon ni roha
‘yang hendak didengar dan disimpan di dalam hati’ digunakan untuk
menyebutkan “bahan pembicaraan” atau topik yang akan dibahas. Ungkapan
tersebut digunakan karena penutur belum mengetahui persis apa yang hendak
disampaikan oleh lawan tuturnya.
(17b) […] jadi tangkas ma paboa hamu
[…] jadi jelas PART beri tahu 2.Jm para apa PART akka aha ma
na naeng sidohonon-muna yang hendak katakana- 2.Jm [….]
[….]
Selanjutnya, di bawah ini terdapat frasa napuran sirata bulung ‘sirih
sihijau daun’. Frasa tersebut digunakan untuk menyebutkan sehelai daun sirih
yang dinamai sesuai dengan ciri-cirinya, yaitu berwarna hijau. Daun sirih yang
berwarna hijau dimetaforakan dengan ungkapan sirata bulung ‘sihijau daun’
seperti berikut ini.
(18a) Peak di atasna napuran sirata bulung
terletak PREP atasnya sirih sihijau daun kesukaan hasoloan
ni boru ni raja [….] (PPU.242)
Pos anak perempuan Pos raja [….]
‘Terdapat di atasnya sirih si hijau daun kesukaan putri raja’
Apabila ungkapan (sirata bulung) tersebut dilesapkan akan terbentuk makna
sebenarnya seperti tampak pada kalimat di bawah ini.
(18b) Peak di atasna napuran
terletak PREP atasnya sirih kesukaan Pos anak perempuan hasoloan ni boru
ni raja [….] Pos raja [….]
‘Terdapat di atasnya sirih kesukaan putri raja’
Masyarakat Batak Toba, khususnya yang tinggal di daerah pedesaan,
mayoritas berprofesi sebagai petani. Mereka membudidayakan berbagai macam
tanaman tidak terkecuali padi. Hampir semua masyarakat Batak Toba yang
tinggal di pedesaan menanam padi sebagai tanaman utama tiap tahunnya. Oleh
karena itu, tidak heran kalau setiap upacara adat masyarakat Batak Toba selalu
menggunakan beras. Pemberian beras bertujuan agar mereka (yang menerima)
mampu menjalani hidup dengan jiwa yang teguh dan tidak mudah dipengaruhi
hal-hal buruk sama seperti beras yang berbiji lebat dan keras walaupun ukurannya
(19a) Adong do huhut di- son
‘Terdapat juga di sini biji beras’
Pada (19a) di atas parbue santi, siriburribur, parbue sipir ni tondi ‘biji yang
lebat dan keras’ ditujukan untuk menyebutkan beras. Agar makna yang dikandung
tampak lebih jelas, kalimat di atas dapat diganti menjadi seperti berikut ini.
(19b) Adong do huhut di- son boras ada PART juga PREP-sini beras [….]
[….]
‘Terdapat juga di sini biji beras’
Hal yang sama tampak pada (20a) berikut, ungkapan ringgit na marmata
tinongos ni negaranta ‘ringgit bermata kiriman negara kita’ adalah metafora
untuk kata sihumisik ‘uang’ atau sering juga disebut hepeng ‘uang’.
(20a) Laos adong do di- son
‘Dan adapun di sini ringgit yang bermata, kiriman negara kita’
Ungkapan pada (20a) di atas menggambarkan dengan jelas ciri-ciri uang.
Ringgit na marmata ‘ringgit yang bermata’ mengatakan mata uang sedangkan
tinongos ni negaranta ‘kiriman negara kita’ mengatakan bahwa uang merupakan
buatan/ciptaan suatu negara bukan milik atau hasil karya perseorangan. Untuk
lebih jelas perhatikanlah bentuk berikut!
(20b) Laos adong do di-son sihumisik
Konj ada PART PREP-sini uang [….] [….]
Seperti telah dibicarakan sebelumnya, bahwa pada umumnya masyarakat
Batak Toba selalu membawa beras pada setiap acara adat yang dihadirinya. Beras
dibawa dengan cara dihutti ‘dijinjing’.
(21a) Molo pe humurang di angka huttihuttian
bila PART kurang Prep para jinjingan Pos para ni angka
nantulang-muna [….] (PP.41)
tante-2.Jm [….]
‘kalaupun beras yang mereka bawa sedikit’
Tradisi (membawa beras dengan cara dijinjing) ini berlangsung turun
temurun hingga sekarang. Oleh karena itu, apabila seseorang membawa sesuatu
dengan cara dijinjing, tamu-tamu yang lain sudah tahu benar apa yang dibawa
orang tersebut, yaitu beras. Dengan demikian, dengan makna yang sama, kalimat
di atas dapat diubah seperti contoh (21b) berikut.
(21b) Molo pe humurang di angka boras
bila PART kurang Prep para beras yang dibawa na binoan
ni angka nantulang-muna [….] Pos para tante-2.Jm [….]
‘kalaupun beras yang mereka bawa sedikit’
Setiap manusia membutuhkan banyak hal untuk bisa bertahan hidup. Sifat
manusia yang tidak pernah merasa puas akan apa yang dimilikinya juga menuntut
setiap orang untuk mencari lebih dan lebih banyak lagi. Untuk memenuhi
kebutuhan manusia yang sangat banyak dan beragam tersebut dibutuhkan
penghasilan/rejeki yang banyak juga. Dalam masyarakat Batak Toba, manusia
digambarkan seperti domba yang akan hidup dan tumbuh dengan baik apabila
hidup di padang rumput yang hijau (ampapaga na lomak). Semakin lebat rumput
(22a) […] anggiat dapot-nami ampapaga na lomak
[…] semoga peroleh-1.Jm ampapaga (sejenis rumput) yang lebat Prep di
tano parserahan i tu joloan ni ari on.(PP.132)
tanah rantau DEM Prep depan Pos hari DEM.
‘semoga di rantau sana kami memperoleh rejeki yang banyak di masa mendatang’
Dengan kata lain, dalam kehidupan masyarakat Batak Toba ampapaga na
lomak digunakan untuk menyebutkan penghasilan yang banyak seperti terlihat
pada (22b) berikut.
(22b) […] anggiat dapot-nami pandapotan na godang […] semoga dapat-1.Jm pendapatan yang banyak Prep
di
tano parserahan i tu joloan ni ari on. tanah rantau DEM Prep depan Pos hari DEM.
‘semoga di rantau sana kami memperoleh rejeki yang banyak di masa mendatang’
4.1.3 Sirkumlokusi
Berbicara dengan singkat dan jelas sesungguhnya sudah cukup efektif
untuk menyampaikan suatu hal kepada lawan tutur. Namun, kadang-kadang
dibutuhkan penggunaan kosakata yang lebih untuk menjelaskan suatu maksud
agar si pendengar mudah memahaminya. Seseorang yang mampu berbicara
dengan kosakata yang banyak sering dianggap pintar dan berbakat, apalagi kalau
berbicara di depan khalayak ramai. Akan tetapi, tak jarang juga orang tersebut
dianggap berbicara terlalu panjang/bertele-tele sehingga maksud yang
disampaikan menjadi kabur. Berikut beberapa tuturan yang disampaikan dengan
kalimat yang cukup panjang yang seharusnya bisa disampaikan dengan bentuk
yang lebih singkat.
(23a) […]
laos man- jalo adat sian parboruon- ta [….] (HG.220)
Konj AKT-terima adat dari anak perempuan-1.Jm [….]
‘makan sekaligus menerima adat dari mertua anak kita.’
Pada (23a) mangan indahan na las dohot minum aek si-tiotio
‘makan nasi yang hangat dan minum air sijernihjernih’ sesungguhnya hanya
mengatakan kata “makan”. Oleh karena itu, beberapa unsur dari kalimat yang
cukup panjang tersebut dapat dilesapkan sehingga membentuk kalimat yang lebih
singkat tetapi mempunyai maksud yang sama seperti berikut.
(23b) […] mangan
[…] makan Konj AKT-terima adat dari anak perempuan-1.Jm [….] laos man- jalo adat sian parboruon- ta [….]
‘makan sekaligus menerima adat dari mertua anak kita.
Demikian juga pada (24a) di bawah ini. Frasa mauliate malambok pusu
‘terima kasih melembut jantung’ sebenarnya mempunyai maksud yang sama
dengan kata mauliate ‘terima kasih’, yaitu untuk menyatakan rasa terima kasih.
Dalam kehidupan sehari-hari kedua bentuk tersebut bisa digunakan dan tetap
berterima di tengah-tengah masyarakat.
(24a) Jumolo ma hu- dok hami
Pertama PART 1.Tg-katakan 1.Jm terima kasih melembut jantung mauliate malambok pusu
siala haroro- muna tu pestan-ta on. (PPU.227)
atas kedatangan-2.Jm PREP pesta- 1.Jm DEM.
‘Pertama-tama kami ucapkan terima kasih atas kesediaan saudara untuk menghadiri pesta kita ini.’
Namun, di antara kedua bentuk tersebut penggunaan frasa mauliate
malambok pusu dianggap lebih santun dan kualitas rasa terima kasihnya lebih
besar daripada hanya mengatakan mauliate seperti pada kalimat (24b) berikut.
(24b) Jumolo ma hu- dok hami
siala haroro- muna tu pestan-ta on. atas kedatangan-2.Jm PREP pesta- 1.Jm DEM.
‘Pertama-tama kami ucapkan terima kasih atas kesediaan saudara untuk menghadiri pesta kita ini.’
Contoh lain tampak seperti berikut ini.
(25a) […] tung pe songon i na boi tarpasahat hami
[…] walaupun seperti DEM yang bisa berikan 1.Jm hangat PART hati las ma roha
ni badan-mu las nang roha ni tondi-mu Pos badan-2.Jm hangat Konj hati Pos roh-2.Jm [….]
[….] (M.103)
‘walaupun hanya itu yang dapat kami berikan, biarlah hati dan jiwamu ikhlas/senang menerimanya’
Pada (25a) di atas las ma roha ni badanmu las nang roha ni tondimu
‘biarlah hati dan jiwamu ikhlas/senang menerimanya’ sebenarnya dapat
disampaikan dengan singkat seperti pada (25b) di bawah ini tanpa mengubah
makna yang terkandung di dalamnya.
(25b) […] tung pe songon i na boi tarpasahat hami las ma […] walaupun seperti DEM yang bisa berikan 1.Jm hangat PART
rohamunamanjalo i
hati-2.Jm menerima DEM [….] [….]
‘walaupun hanya itu yang dapat kami berikan, semoga kalian senang menerimanya’
Bentuk (26a) jabumuna sibaganding tua na martua na marsangap
sigomgom nasa tondi nasida ‘rumah sibaganding tua pelindung setiap jiwa’ di
atas hanya menyatakan kata “rumah”. Ungkapan yang panjang ini digunakan
untuk menggambarkan fungsi rumah, yaitu sebagai pelindung bagi penghuninya.
(26a) […] i ma apala di
[…] DEM PART tepatnya Prep rumah-2.Jm sibaganding tua yang mulia jabu-muna sibaganding tua na martua
na marsangap sigomgom nasa tondi nasida yang berwibawa pelindung segala roh 3.Jm.
. (PP.37)