EUFEMISME DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN
PADA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT
TESIS
Oleh
A N T O N I
117009035/LNG
117009008/LN
TESIS
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
EUFEMISME DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN
PADA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Program Pascasarjana Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Oleh:
A N T O N I
117009035/LNG
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : EUFEMISME DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN PADA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT
Nama Mahasiswa : Antoni Nomor Pokok : 117009035 Program Studi : Linguistik
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Dr. Nurlela, M.Hum.)
Ketua Anggota
(Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M. Ling.)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof.T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D.) (Dr. Syahron Lubis, M.A.)
Telah diuji pada
Tanggal : 28 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Nurlela, M.Hum.
Anggota : 1. Dr. Namsyah Hot, M. Ling.
2. Prof. Tengku Silvana Sinar, M.A., Ph.D. 3. Dr. Mahriyuni, M.Hum.
PERNYATAAN
Judul Tesis
EUFEMISME DALAM UPACARA ADAT
PERKAWINAN PADA MASYARAKAT MELAYU
LANGKAT
Dengan ini Penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian
teertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis
cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan penulisan
ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan
hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,
penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang
dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, Agustus 2013 Penulis,
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Eufemisme dalam Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Melayu Langkat yang bertujuan mengkaji tipe-tipe dan makna eufemisme. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi tipe-tipe dan makna eufemisme dalam proses Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat, (2) menjelaskan kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat. Metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini mengambil data berupa data lisan yang diperoleh dengan melakukan observasi dan wawancara dengan informan (penghulu telangkai) pada saat pelaksanaan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat. Data lisan juga diperoleh melalui wawancara dengan para informan. Tipe-tipe eufemisme yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: (1) ungkapan figuratif (figurative expression), (2) satu kata menggantikan kata yang lain (one for substitution), (3) melebih-lebihkan (hyperbole), (4) sirkumlokusi (circumlocution), dan (5) metapora (metaphor). Secara umum makna yang ditemukan dalam penelitian ini berupa nasihat. Kearifan lokal yang dapat digali, yaitu: (1) sikap menghormati tamu, (2) sikap menepati janji, (3) sikap menghormati orang tua.
ABSTRACT
This thesis’s entitled Eufemisme dalam Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Melayu Langkat studies the types and the meaning of the euphemism. This study uses cognitive semantic approach which syudies meaning based on human mind. The objectives of this study were: (1) to identify the typesand the meaning of euphemism in the Malay Community Marriage Ceremony in Langkat, (2) to explain the wisdom contained in the euphemism in the Marriage Ceremony of Malay in Langkat. Qualitative research methods were used in this study that is used to collect the data obtained with oral observation and interviews with informants of the Marriage Ceremony of Malay in Langkat. Data were also obtained through oral interviews with informants. Euphemism types found in this study are: (1) the expression figurative (figurative expression), (2) one word replaces another word (one for substitution), (3) exaggerating (hyperbole), (4) circumlocution, and (5) metaphor. In general, the meaning of which was found in this study in the form of advice or suggestion to the bride and the groom. Local wisdom that can be extracted, namely: (1) respect for guests, (2) the attitude of keeping promises, (3) the attitude of respect for the elderly.
Keywords: euphemism, marriage ceremonies of Malay in Langkat, local knowledge, cognitive semantics.
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan karunia-Nya yang tidak terhinggga banyaknya sehinggga penulis
dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak
memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A (K),
Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Syahron Lubis, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D, selaku ketua Program Studi
Linguistik Sekolah Pascasarjana sekaligus juga sebagai Dosen penguji I,
yang telah memberikan banyak masukan dan koreksian dalam
penyempurnaan tesis ini.
4. Ibu Dr. Nurlela, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Linguistik
Sekolah Pascasarjana dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang
telah memberikan bimbingan, saran, motivasi, arahan dalam penyusunan
tesis ini.
5. Bapak Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M.Ling, selaku pembimbingan II, yang
telah banyak membantu penulis dalam penulisan tesis ini, khususnya
tentang tata cara penulisan yang baik dan benar.
6. Ibu Dr. Mahriyuni, M.Hum dan Ibu Dr. Dwi Widayati, M. Hum, selaku
penguji II dan III, yang telah banyak memberikan masukan dan kritikan
yang sangat berguna bagi pernyempurnaan tesis ini.
7. Seluruh dosen pada Progam Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu
pengetahuan selama masa perkuliahan.
8. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) atas beasiswa yang
dalam usaha peningkatan kualitas guru di daerah Sumatera Utara.
9. Orang tua penulis, Suriadi dan Karsini serta saudara-saudara penulis yang
telah memberikan dukungan dan kasih sayang.
10.Istri tercinta Gandayani Siregar, yang sama-sama berjuang dalam
menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Sumatera Utara, terima kasih
atas kasih sayang, kerjasama, dan saling berbagi dalam keadaan suka dan
duka.
11.Ananda tercinta Nabila Hafidz Salwa yang telah berkorban kehilangan
banyak waktu, perhatian dan kasih sayang dari ayah dan bunda selama
dalam masa pendidikan.
12.Rekan-rekan angkatan 2011 yang namanya tidak bisa disebut satu persatu
yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama menuntut ilmu
bersama-sama.
13.Rekan-rekan guru di MTs Ar Rahman Air Tenang atas kerjasama yang baik
dan semangat kekeluargaan yang senantiasa kita bina selama ini.
14.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk
penyempurnaan tesis ini. Semoga kiranya Allah SWT memberi rahmat dan
hidayah-Nya untuk kita semua. Amin.
Medan, Agustus 2013
Penulis,
A N T O N I
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR. ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
1.4.1 Manfaat Teoritis ... 8
1.4.2 Manfaat Praktis ... 9
BAB II KONSEP, TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1 Konsep ... 10
2.1.1 Jati Diri Orang Melayu. ... 10
2.1.2 Kearifan Lokal ... 12
2.1.3 Nilai-nilai Agama yang Melatarbelakangi Kearifan Lokal Masyarakat Melayu Langkat ... 14
2.1.4 Konsep Adat Perkawinan Masyarakat Melayu ... 16
2.2 Kajian Teoretis ... 25
2.2.1 Semantik Kognitif ... 25
2.2.2 Eufemisme ... 27
2.2.3 Tipe Eufemisme ... 31
2.2.4 Kerangka Teori yang Diterapkan ... 33
2.3 Tinjauan Pustaka ... 34
2.3.1 Penelitian Terdahulu ... 34
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 39
3.1 Sejarah Ringkas Pemerintahan Kabupaten Langkat ... 39
3.2 Sosial Budaya Masyarakat Melayu Langkat ... 45
3.3 Kondisi Daerah Kabupaten Langkat ... 46
3.4 Gambaran Umum Kecamatan Selesai ... 49
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 52
4.1 Metode Penelitian ... 52
4.2 Lokasi Penelitian ... 52
4.3 Data dan Sumber data ... 53
4.4 Teknik Pengumpulan Data ... 54
4.5 Teknik Analisis Data ... 54
4.5.1 Reduksi Data ... 55
4.5.2 Penyajian Data ... 55
4.5.3 Verifikasi/ Penarikan Kesimpulan ... 56
BAB V TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 59
5.1 Pendahuluan ... 59
5.2 Temuan Penelitian ... 59
5.2.1 Eufemisme dalam Upacara Mengantar Pengantin Laki-laki 59 5.2.2 Eufemisme dalam Upacara Hempang Pintu ... 61
5.2.3 Eufemisme dalam Upacara Bersanding ... 64
5.2.4 Eufemism dalam Upacara Tepung Tawar ... 67
5.2.5 Eufemisme dalam Upacara Makan Nasi Hadap-Hadapan ... 72
5.2.6 Eufemisme dalam Upacara Serah Terima Pengantin Laki-laki Kepada Keluarga Pengantin Perempuan ... 74
5.3 Tipe-tipe Eufemisme yang di proleh dari Rangkian Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat ... 78
5.4 Makna Eufemisme ... 82
5.4.1 Eufemisme Tipe dan Makna Figuratif Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 83
5.4.2 Eufemisme Tipe Satu Kata Menggantikan Kata Yang lain (one for subtitution) Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 85
5.4.3 Eufemisme Tipe Sirkumlokasi (circumlocutions) Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 89
5.4.4 Eufemisme Tipe Hiperbola (hyperbole) Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 92
5.4.5 Eufemisme Tipe Metafora ( metaphor ) Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 95
5.5 Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Eufemisme Pada Upacara Adat Perkawinan Melayu Langkat ... 99
5.5.1 Sikap Menghormati Tamu ... 104
5.5.2 Sikap Menepati Janji ... 105
5.5.3 Sikap Menghormati Orang Tua ... 107
5.5.2 Sikap Menghindari Perselisihan ... 108
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 110
6.1 Simpulan ... 110
6.2 Saran ... 111
DAFTAR PUSTAKA ... 113
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
4.1 Tipe Eufemisme ... 56
4.2 Makna Eufemisme ... 56
5.1 Tipe Eufemisme dalam Upacara Mengantar Pengantin Laki-laki ... 60
5.2 Tipe Eufemisme dalam Upacara Hempang Pintu ... 62
5.3 Tipe Eufemisme dalam Upacara Bersanding ... 64
5.4 Tipe Eufemisme dalam Upacara Tepung Tawar ... 67
5.5 Tipe Eufemisme dalam Upacara Nasi Berhadap-Hadapan ... 73
5.6 Tipe Eufemisme dalam Upacara Serah Terima Pengantin Laki-laki Kepada Keluarga Pengantin Perempuan ... 74
5.7 Tipe Eufemisme Dari Rangkaian Upacar Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat ... 78
5.8 Ungkapan Figuratif ... 84
5.9 Satu Kata Menggantikan Kata yang Lain(One For Substitution) ... 86
5.10 Ungkapan yang Berkategori Sirkum Lokasi ... 90
5.11 Hiperbola pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat ... 92
5.12 Metapora pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat ... 96
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1 Malam Berinai Pada Pengantin Adat Melayu Langkat ... 20
2.2 Hempang Pintu Pada Adat Perkawinan Melayu Langkat ... 21
2.3 Tepung Tawar ... 22
2.4 Hidangan Pada Upacara Makan Nasi Hadap-Hadapan ... 23
3.1 Lambang Daerah Kabupaten Langkat ... 42
3.2 Rumah Adat Masyarakat Masyarakat Melayu Kabupaten Langkat ... 46
3.3 Peta Kabupaten Langkat ... 47
3.4 Lokasi Wisata Bukit Lawang Kabupaten Langkat ... 49
3.5 Mesjid Raya Pekan Selesai ... 51
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1. Ungkapan (Pantun Dalam Upacara Mengantar Pengantin Laki-laki
yang Mengandung Unsur Eufemisme ... 115
2. Gambar Wawancara Terhadap Dua Informan ... 118
3. Transkrip ... 119
4. Biodata Informan ... 126
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Eufemisme dalam Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Melayu Langkat yang bertujuan mengkaji tipe-tipe dan makna eufemisme. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi tipe-tipe dan makna eufemisme dalam proses Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat, (2) menjelaskan kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat. Metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini mengambil data berupa data lisan yang diperoleh dengan melakukan observasi dan wawancara dengan informan (penghulu telangkai) pada saat pelaksanaan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat. Data lisan juga diperoleh melalui wawancara dengan para informan. Tipe-tipe eufemisme yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: (1) ungkapan figuratif (figurative expression), (2) satu kata menggantikan kata yang lain (one for substitution), (3) melebih-lebihkan (hyperbole), (4) sirkumlokusi (circumlocution), dan (5) metapora (metaphor). Secara umum makna yang ditemukan dalam penelitian ini berupa nasihat. Kearifan lokal yang dapat digali, yaitu: (1) sikap menghormati tamu, (2) sikap menepati janji, (3) sikap menghormati orang tua.
ABSTRACT
This thesis’s entitled Eufemisme dalam Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Melayu Langkat studies the types and the meaning of the euphemism. This study uses cognitive semantic approach which syudies meaning based on human mind. The objectives of this study were: (1) to identify the typesand the meaning of euphemism in the Malay Community Marriage Ceremony in Langkat, (2) to explain the wisdom contained in the euphemism in the Marriage Ceremony of Malay in Langkat. Qualitative research methods were used in this study that is used to collect the data obtained with oral observation and interviews with informants of the Marriage Ceremony of Malay in Langkat. Data were also obtained through oral interviews with informants. Euphemism types found in this study are: (1) the expression figurative (figurative expression), (2) one word replaces another word (one for substitution), (3) exaggerating (hyperbole), (4) circumlocution, and (5) metaphor. In general, the meaning of which was found in this study in the form of advice or suggestion to the bride and the groom. Local wisdom that can be extracted, namely: (1) respect for guests, (2) the attitude of keeping promises, (3) the attitude of respect for the elderly.
Keywords: euphemism, marriage ceremonies of Malay in Langkat, local knowledge, cognitive semantics.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Eufemisme merupakan usaha seseorang dalam bertutur agar bahasa
yang dituturkan tidak dianggap melanggar konsep tabu yang telah ditetapkan
oleh masyarakat.
Penggunaan eufemisme semakin tumbuh subur sejak orang Melayu
memeluk agama Islam sebab dalam Islam diajarkan keutamakan akhlak dan
sopan santun. Akhlak yang terpuji seperti yang diajarkan oleh Rasulullah
Eufemisme telah dikenal atau dipakai oleh masyarakat
Melayu sejak zaman dahulu. Bahkan mereka telah menggunakannya sebelum
mereka mengenal agama, khususnya agama Islam. Pada saat itu, mereka
meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam memiliki roh atau kekuatan
yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Jika mereka berbuat sesuatu
yang dilarang atau melanggar pantangan, mereka akan mengalami sesuatu yang
negatif. Sebagai contoh, ketika mereka memasuki hutan, mereka harus minta
izin terlebih dahulu dengan mengucapkan kata ‘nenek’ pada ‘penunggu’ yang diyakini mendiami hutan tersebut atau kata ‘cucu’ untuk menyebutkan dirinya, sebagai tanda merendahkan diri atas ‘penunggu’ hutan tersebut. Ketika para petani mendapati sawah mereka dimakan tikus, mereka harus menghindari kata
‘tikus’ untuk menyebutkan hewan tersebut. Dengan demikian, mereka harus mengganti kata tikus dengan ‘cik siti,’ agar tidak semua padi mereka yang sedang berbuah, dimakan oleh tikus sampai habis.
S.A.W begitu mempengaruhi masyarakat Melayu Islam, bukan saja dalam
perbuatan, melainkan juga dalam bertutur sehari-hari. Ajaran agama ini
akhirnya membudaya di tengah-tengah masyarakat Melayu, sehingga konsep
kesantunan atau eufemisme terus berkembang hingga saat ini.
Eufemisme adalah bagian dari semantik kognitif. Eufemisme memiliki
enam belas tipe (Allan dan Burridge, 1991: 14). Dari keenam belas tipe yang
ditemukan oleh Allan dan Burridge tersebut akan dicermati tipe-tipe mana saja
yang terdapat pada proses upacara perkawinan adat masyarakat Melayu
Langkat. Selain tipe, tesis ini juga akan meneliti makna eufemisme yang ada
dalam upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat.
Cara mengungkapkan perasaan orang-orang tua dahulu pada
masyarakat Melayu berbeda dengan anak muda sekarang. Orang tua pada
masa lalu mengungkapkan perasaaan atau keinginannya, baik ungkapan rasa
senang, sedih, marah, bimbang, takut, malu, bosan, dan benci, mereka lazim menggunakan perumpamaan yang banyak mengandung eufemisme. Hal ini
dimaksudkan agar apa yang disampaikan tetap terdengar sopan, tidak kasar,
bermartabat, dan dipahami lebih dalam oleh lawan bicara (pendengar).
Sementara itu, masyarakat sekarang ini dalam mengungkapakan pikiran dan
perasaannya lebih senang berbicara langsung dari pada menggunakan
perumpamaan atau pribahasa. Masyarakat sekarang enggan menggunakan
ungkapan yang bermakna eufemisme karena dianggap ortodoks, lambat, dan
bertele-tele. Hal ini senada dengan temuan Juairi Hikmah (2011:2) bahwa masyarakat khususnya generasi muda sekarang jarang sekali menggunakan
bermakna eufemisme yang saat ini, dengan penuh kesadaran atau tidak telah
mulai ditinggalkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peranan bahasa
sangat penting dalam memahami kebudayaan, demikian sebaliknya, peranan
budaya juga sangat penting untuk memahami bahasa. Kekeliruan dan
kesalahan kerap terjadi sehingga menyebabkan perselisihan karena orang tidak
mampu menggunakan bahasa sesuai kebudayaan di suatu daerah tertentu. Akibatnya, di tengah-tengah masyarakat atau di media kerap kita
jumpai atau dengar orang-orang berbicara sesuka hatinya, tanpa merasa malu
apalagi merasa bersalah telah melanggar norma atau sopan-santun di dalam
masyarakat, yang kadang kala menimbulkan konflik di dalam masyarakat.
Apabila hal ini terus terjadi, tidak mustahil suatu saat nanti, eufemisme dalam
bahasa Melayu Langkat dan adat masyarakat Melayu Langkat yang sarat
dengan nilai-nilai luhur, perlahan-lahan akan hilang, ditinggalkan oleh
pemiliknya.
Bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Bahasa sama halnya dengan
budaya, keduanya dapat dipelajari, dikembangkan, dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Bahasa sangat memainkan peran penting bagi
pelestarian suatu budaya atau adat-istiadat yang hidup dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat.
Demikian juga halnya dengan bahasa Melayu Langkat, bahasa Melayu
Langkat, selain berfungsi sebagai media untuk menyampaikan hal-hal yang
berhubungan dengan budaya, bahasa Melayu Langkat adalah bagian dari
mentransmisikan, mengembangkan, dan juga mewariskan suatu budaya, yang telah menjadi bagian dari masyarakat Melayu Langkat, sejak dahulu hingga
sekarang ini.
Perkawinan merupakan cara untuk memelihara dan melestarikan
keturunan yang sah sesuai dengan hukum agama dan norma masyarakat.
Perkawinan yang sah, selain untuk melestarikan keturunan, juga
mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu memberikan kepastian hukum
atas status anak yang dilahirkannya, siapa yang menjadi ayah dan ibu,
sekaligus yang berhak dan berkewajiban mengasuh, memelihara, memenuhi
kebutuhan, dan lain sebagainya.
Menurut BAB I pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Akad nikah merupakan peristiwa sangat penting yang tidak terlupakan
dalam perjalanan hidup manusia. Akad nikah adalah ibadah dan lambang
kesucian hubungan antara dua jenis manusia berdasarkan perintah Allah dan
Rasul-Nya. Karena itu, perkawinan perlu didasari dengan niat yang suci,
mendapat persetujuan kedua orang tua dan kebulatan tekad kedua mempelai
untuk hidup bersama secara rukun, harmonis dan bertanggung jawab.
Setiap etnis memandang upacara perkawinan merupakan suatu
tahapan yang dianggap sangat sakral, baik bagi calon pengantin itu sendiri
pihak. Proses pelaksanaan upacara perkawinan ini umumnya memperhatikan
serangkaian aturan atau tata cara yang sudah ditentukan secara hukum agama
dan hukum adat yang tidak tertulis yang dianut dan dilaksanakan oleh setiap
etnis, terlebih etnis yang ada di provinsi Sumatera Utara, khususnya etnis
Melayu.
Dalam pandangan adat Melayu, kehadiran keluarga, kaum famili,
tetangga, dan masyarakat pada acara perkawinan bertujuan untuk mempererat
silaturahim, memberikan kesaksian atas perkawinan kedua pengantin dan
untuk merestui sekaligus mendoakan kebaikan untuk kedua pengantin.
Perkawinan yang dilakukan dengan menggunakan adat secara lengkap
memberikan kesan yang baik di masyarakat, dan dapat menghindari anggapan
bahwa kedua pengantin sudah melakukan hubungan ‘terlarang’ sebelum
menikah.
Adat perkawinan Melayu sesungguhnya bersesuaian dengan ajaran
agama Islam. Meski tidak masuk dalam rukun nikah, merayakan perkawinan
atau pesta perkawinan yang dimaksudkan untuk mengumumkan atau
mengabarkan kepada masyarakat luas sebuah perkawinan merupakan hal yang
dianjurkan (walimatul urus). Mengabarkan atau menumumkan sebuah perkawinan penting dilakukan, untuk menjagah terjadinya fitnah dan
kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian kedua
pengantin dapat menjagah kesucian perkawinannya dan dapat menjalankan
kehidupan rumah tangganya dengan baik.
Upacara adat perkawinan pada masyarakat Melayu Langkat pada
yang berpegang teguh dengan adat. Mereka mempercayai bahwa adat yang
mereka pegang mempunyai makna dan kebaikan dalam kehidupan, oleh
sebab itu bagi masyarakat Melayu adat perkawinan begitu diutamakan.
Upacara adat perkawinan biasanya dilaksanakan dengan cukup
meriah, namun, sesuai fenomena yang diamati dan hasil wawancara dengan
Bapak Abu Samah (informan), upacara perkawinan Melayu Langkat dewasa
ini tidak dilaksanakan secara utuh lagi. Sebagian masyarakat Melayu Langkat
menganggap upacara adat perkawinan tersebut merepotkan keluarga, karena
tidak praktis dan efisien. Umumnya upacara adat perkawinan yang masih
dilaksanakan dengan baik saat ini antara lain penyambutan pengantin beserta
rombongan dengan acara: hempang batang, silat berlaga, tukar tepak di tengah halaman, disambut tari persembahan, hempang pintu, hempang kipas di pelaminan, dan bersanding. Selanjutnya acara marhaban (doa), tepung tawar, makan nasi hadap-hadapan, mandi berdimbar, dan serah terima pengantin (acara penyerahan pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan).
Masyarakat Melayu Langkat umumnya masih memegang teguh adat
istiadat yang menunjukkan kesantunan berbahasa. Kebiasaan santun
berbahasa dapat dilihat dari tuturan-tuturan orang Melayu, yang sedapat
mungkin menghindari ungkapan secara berterus terang, dalam menyatakan
sesuatu hal yang ingin dikatakannya. Sebagai contoh, begitu di lidah, begitu di hati. Artinya: apa yang dijanjikan itulah yang menjadi maksud sesungguhnya. Contoh lain, ketika ada seseorang yang membutuhkan bantuan
Arti atau makna yang terkandung dalam kalimat tersebut sesungguhnya
adalah mengharapkan bantuan kepada orang yang dimaksud. Pada upacara
adat perkawinan juga terdapat banyak contoh ungkapan yang menggunakaan
eufemisme dalam menyampaikan maksudnya. Beberapa contoh di antaranya:
pucuk dicinta ulampun tiba ‘apa yang dicita-citakan atau diidam-idamkan datang tanpa diduga’ kalau berjalan pelihara kaki, kalau melihat pelihara mata, kalau berkata pelihara lidah ‘dalam mengarungi bahtera rumah tangga harus menjaga semua rambu atau peraturan dan tetap menjaga kedamaian di
dalam rumah maupun masyarakat’ dan ungkapan yang menyatakan piring tak retak, nasi tak dingin makna dari ungkapan tersebut adalah apabila pinangan ternyata ditolak, tidak mengapa, pihak laki-lakipun tidak akan memaksa.
Berdasarkan contoh di atas, dapat diketahui bahwa dalam bertutur
orang Melayu banyak menggunakan eufemisme. Eufemisme merupakan
bentuk penghalusan bahasa yang bertujuan untuk menghindari tabu atau kata
tidak sopan pada saat berkomunikasi.
1.2 Perumusan Masalah
Dari uraian di atas penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Tipe dan makna eufemisme apa sajakah yang digunakan pada saat upacara
adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat?
2. Bagaimanakah kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan tipe-tipe dan makna eufemisme dalam proses
upacara adat perkawinan Masyarakat Melayu Langkat
2. Menemukan kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada
upacara adat perkawinan masyarakat Langkat.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoretis:
1. Memperkaya khasanah budaya, termasuk linguistik, khususnya yang
berkaitan dengan adat Masyarakat Melayu.
2. Membantu pelestarian kebudayaan Masyarakat Melayu, khususnya
Melayu Langkat.
3. Sebagai rujukan dalam penelitian sejenis, khususnya yang berhubungan
dengan eufemisme.
4. Sebagai pemacu semangat bagi peneliti berikutnya untuk melakukan
penelitian yang lebih luas dan mendalam agar bahasa dan kebudayaan
Melayu Langkat dapat tetap lestari.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah,
sebagai masukan dalam mengembangkan budaya daerah (lokal).
2. Bagi para guru yang mengajar di sekolah, penelitian ini diharapkan dapat
menjadi referensi dalam membuat rencana pembelajaran, khususnya mata
BAB II
KONSEP, TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep
Penelitian ini berhubungan dengan penggunaan bahasa oleh
masyarakat Melayu Langkat, yakni penggunaan bahasa untuk memperhalus
makna menghindari tabu atau tidak sopan. Kajian ini disebut dengan
eufemisme. Di bawah ini dijelaskan hal-hal yang terkait dengan penelitian ini,
yaitu: (1) Jati Diri Orang Melayu, (2) Kearifan Lokal, (3) Konsep Adat
Perkawinan Masyarakat Melayu
2.1.1 Jati Diri Orang Melayu
Banyak orang memiliki pamahaman yang berbeda-beda tentang
pengertian “Melayu”. Hal ini terjadi karena pengertian Melayu didasarkan atas
hal yang berbeda pula. Ada sebagian orang yang memandang Melayu dari
pengertian “ras”, ada pula pengertian Melayu berdasarkan kepercayaan atau
religi, yaitu “sesama agama Islam”. Pengertian berbeda ini terjadi karena orang
Melayu banyak mendiami wilayah yang berbeda-beda. Wilayah yang didiami
orang Melayu meliputi: Thailand Selatan, Malaysia Barat dan Timur,
Singapura, Brunei, Kalimantan Barat, Tamiang (Aceh Timur), pesisir Timur
Sumatera Utara, Riau, Jambi dan pesisir Palembang (Sinar, 2002: 1)
Pada abad ke-18 orang Barat, khususnya orang Belanda dan orang
disebut “Bangsa Melayu”. Hal ini terjadi karena mereka melihat persamaan
warna kulit, postur tubuh yang relatif sama, dan menguasai atau memahami
bahasa Melayu secara bersama.
Pada tahun 1400 M, pusat imperium Melayu berada di Malaka. Pada
saat itu terbentuklah suatu wadah baru bagi orang Islam untuk dapat lebih
berkembang. Perkembaangan Melayu dimulai dari Malaka hingga ke penjuru
nusantara. Penyebaran Melayu dilakukan dengan cara perdagaan dan dengan
cara perkawinan dengan putri raja setempat. Dengan demikian, selain
membentuk masyarakat Islam di tempat tersebut juga sekaligus membentuk
budaya Melayu. Sejak saat itu defenisi jati diri Melayu dipersatukan oleh faktor
cultural (budaya) yang sama, yaitu kesamaan agama Islam, bahasa, dan
adat-istiadat Melayu (Sinar, 2002: 6)
Di bawah ini dituliskan beberapa pendapat ahli dari dalam dan luar
negeri mengenai siapa sesungguhnya orang Melayu itu, dikutip dari
- Syed Husin Ali mengatakan, “Orang melayu dari segi lahiriah biasanya
berkulit sawo matang, berbadab sederhana dan tegap, selaku berlemah
lembut serta berbudi bahasa.”
(diunduh
tanggal 11-04-2012 pukul 15.00 WIB), yaitu:
- Werndly, kata “melayu” berasal dari kata “melaju” dasar katanya laju
bermakna cepat, deras dan tangkas, dengan pengertian bahwa orang melayu
- Van der Tuuk berpendapat bahwa perkataan melayu berarti penyeberang,
pengertiannya bahwa orang melayu menyeberang atau menukar agamanya
dari Hindu- Budha kepada Islam.
Beberapa pendapat ahli tentang siapa sesungguhnya orang Melayu itu juga terdapat dalam Sinar (2002: 7-10), yaitu:
- Pendeta Simon mengatakan, “Banyak orang Batak naik haji ke Mekah
menyatakan dirinya sebagai Melayu”.
- Windstedt mengatakan bahwa orang Melayu Islam tidak menyukai cara
seluk pawang masa kini yang dianggap tahyul.
- Judiht A. Nagata, mengatakan bahwa orang melayu beragama Islam,
berbahasa Melayu, dan menganut adat Melayu.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang orang Melayu dapat dipahami
bahwa orang Melayu sejak mereka memeluk agama Islam di abad ke-5 M
adalah sebagai berikut:
Seseorang disebut Melayu apabila orang tersebut beragama Islam, sehari-hari
berbahasa Melayu dalam berkomunikasi, dan berbudaya atau beradat-istiadat
Melayu. Adapun konsep adat Melayu itu adalah adat bersendikan hukum syarak, syarak bersendikan kitabullah. Jadi orang Melayu adalah suku atau etnis escara kultural dan bukan harus secara persamaan darah keturunan.
Sistem kekeluargaan orang Melayu menganut adalah Parental (kedudukan
2.1.2 Kearifan Lokal
Penggalian kearifan lokal suatu kebudayaan merupakan hal yang
penting dalam usaha untuk tetap melestarikan kebudayaan tersebut. Di tengah
arus moderenisasi yang terjadi saat ini yang meliputi hampir di setiap bidang
kehidupan, memberi pengaruh yang luar biasa pada pola fikir dan budaya
masyarakatnya. Moderenisasi yang mengglobal menyebabkan terjadinya
pergeseran nilai budaya. Kebudayaan lokal yang dulu menjadi pandangan dan
pegangan hidup masyarakat, perlahan-lahan terpinggirkan oleh pengaruh
budaya asing yang berkembang begitu pesat. Pengaruh budaya asing tersebut
masuk dan terus merongrong di dalam kehidupan masyarakat, baik di daerah
perkotaan maupun di pedesaan.
Menurut Balitbangsos Depsos RI (2005), kearifan lokal merupakan
kematangan masyarakat ditingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap,
prilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam mengembangkan
potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang dapat dijadikan
sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik
atau positif. Dari penyataan di atas dapat diartikan bahwa kearifan lokal adalah
nilai budaya yang bersifat positif yang berasal dari kebudayaan masa lalu yang
dapat dijadikan modal yang cukup potensial, untuk membentuk karakter
bangsa yang pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk menciptakan perdamaian
dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kearifan lokal (local wisdom) adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk
digali dari nilai-nilai luhur budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kedamaian
dan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pemilik nilai budaya
tersebut.
Pemertahanan nilai-nilai budaya di Indonesia biasanya dilakukan
dengan cara konvensional yaitu diwariskan hanya secara lisan. Dengan menggunakan bahasa daerah masyarakat pemilik kebudayaan tersebut oleh
orang-orang tua kepada anak-anak sampai kepada cucu mereka. Membangun
kembali nilai-nilai budaya, etika dan agama perlu dilakukan dengan usaha
membangun moral bangsa, kepribadian, karakter bangsa, intlektual, sosial,
emosi, etis, dan banyak faktor pendukung lainnya (Sinar, 2011:6). Berdasarkan
pernyataan di atas, dapat diartikan bahwa, untuk membangun kembali
nilai-nilai budaya harus dengan pendidikan dan pembelajaran yang bernuansa agama
dan budaya. Karena dengan cara demikian pemertahanan nilai budaya yang
mengandung kearifan lokal akan dapat dipertahankan dan sekaligus
dikembangkan secara berkelanjutan.
2.1.3 Nilai-nilai Agama yang Melatarbelakangai Kearifan Lokal Masyarakat Melayu Langkat
Nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat Melayu Langkat
sesungguhnya berasal dari budaya mereka sendiri yang disesuaikan dengan
ajaran agama Islam. Ajaran Islam berperan besar terhadap cara pandang,
berpikir, dan bertindak bagi masyarakat Melayu Langkat. Kebudayaan Melayu
Langkat tidak terlepas dari ajaran Islam yang meliputi akidah, akhal, dan ilmu
dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Beberapa kearifan budaya Melayu
1. Masyarakat atau orang Melayu mengutamakan “budi dan bahasa”, yang
menunjukan sopan santun dan tingginya peradapan Melayu, seperti pada
pantun:
Jangan suka mencabut padi Kalau dicabut hilang buahnya Jangan suka menyebut budi Kalau disebut hilang tuahnya
Dari pantun diatas dapat tergambar dengan jelas bahwa orang Melayu
dilarang mengingat-ingat budi atau kebaikan yang telah dilakukannya,
apalagi sampai menyebut-nyebutnya atau mengatakannya kepada orang lain
Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang melarang umatnya berlaku riya
atau suka menyebut-nyebut kebaikan yang pernah dilakukannya karena
akan merusak nilai dari kebaikannya tersebut.
2. Masyarakat atau Orang Melayu mengutamakan sifat Melayu, seperti terlihat
pada ungkapan berikut ini:
- Yang disebut sifat malu,
malu membuka aib orang malu menyingkap baju di badan malu mencoreng syarak
malu dilanda adat
malu tertarung pada lembaga (Sinar, 2002: 22).
Masyarakat melayu menurut adat kebiasannya sangat menjaga dan
menjunjung tinggi rasa malu. Ada konsep di tengah-tengah Masyarakat Melayu
yang mengatakan bahwa lebih baik mati dari pada menanggung malu. Menjaga
atau menjunjung tinggi rasa malu sesungguhnya bersesuaian dengan ajaran
Islam yang mengharuskan umatnya menjaga kehormatannya, seperti dikutip
dalam hadits nabi “Jika engkau tidak malu maka berbuatlah sekehendak
3. Masyarakat Melayu ramah dan menghormati tamu, seperti tergambar pada
ungkapan sebagai berikut:
selamat datang kami ucapkan
mohon serta keberkahan dan keampunan kehadirat Allah kita tujukan
semoga pertemuan mendapat kesyukuran
Makna yang terdapat di dalam pantun tersebut adalah ucapan selamat
datang dari tuan rumah kepada tamu yang telah sampai dengan selamat sampai
ketujuan, tidak lupa pula mereka mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah
SWT serta memanjatkan doa agar pertemuan yang mereka selenggarakan
mendapatkan ridho dan berkahNya. Selain ungkapan-ungkapan yang disajikan
di atas, masih terdapat banyak lagi kearifan yang dimiliki oleh masyarakat
Melayu Langkat yang isinya selalu berlandaskankan ajaran agama Islam.
2.1.4 Konsep Adat Perkawinan Masyarakat Melayu
Perkawinan merupakan tahap kehidupan manusia yang bernilai sakral
dan amat penting. Dibandingkan dengan fase kehidupan lainnya, fase
perkawinan boleh dikatakan terasa sangat spesial. Perhatian pihak-pihak yang
berkepentingan dengan acara tersebut tentu akan banyak tertuju kepadanya.
Mulai dari memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara pada hari
perkawinan, hingga setelah upacara usai digelar.
Dalam proses upacara perkawinan pada masyarakat Melayu Deli
Serdang terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui oleh calon pengantin
(Damanik repository.usu.ac.id). Tahapan-tahapan yang dimaksud adalah:
Merisik kecil adalah mengutus seorang atau dua orang datang ke keluarga gadis dengan maksud untuk ‘memata-matai’ keadaan seorang gadis.
Merisik biasanya dilakukan oleh orang dekat keluarga lelaki, seperti abang ayah kandungnya, atau paman pemuda tersebut. Merisik dilakukan secara tidak resmi, merisik dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi untuk
menghindari rasa malu bila pinangan dari pihak lelaki ditolak.
2. Jamu Sukat
Jamu sukat atau jamu sukut adalah pemberian sejumlah upah kepada penghulu telangkai atas jerih payahnya dalam melaksanakan tugasnya untuk
menyukseskan proses upacara perkawinan mulai dari awal hingga akhir.
3. Risik Besar
Tujuan merisik besar adalah untuk memastikan bahwa gadis yang diminati oleh seorang lelaki atau pemuda masih ‘sendiri’. Ini penting, karena
dalam Islam seseorang dilarang meminang tunangan orang lain. Di samping
itu, adat ini juga bertujuan untuk menyelidiki latar belakang si gadis, baik
yang berkaitan kemahiran dalam mengurus rumah tangga, adab, sopan-santun,
tingkah laku, paras rupa serta pengetahuan agamanya.
4. Meminang
Setelah diketahui bahwa gadis tersebut masih sendiri, pihak keluarga
lelaki akan menetapkan hari peminangan. Urusan peminangan akan dilakukan
menyatakan tujuan mereka yang sebenarnya secara resmi. Pihak calon
pengantin laki-laki dipimpin oleh orang-orang tua yang berpengalaman dan
telah berumah tangga. (Sinar, 1994: 65) Pada acara tersebut kedua belah
pihak keluarga akan berunding untuk menetapkan tanggal pertunangan. Di
samping itu, perbincangan juga membahas hantaran dan jumlah rombongan
yang akan datang untuk upacara bertunangan. Hal ini dilakukan untuk
mempermudah persiapan yang akan dilakukan oleh pihak perempuan.
5. Ikat Janji
Ikat janji adalah acara pengambilan keputusan untuk dibuat sebagai
pengikat janji. Isi dari ikat janji itu antara lain :
a. Berapa besar uang antaran,
b. Berapa besarnya untuk biaya peralatan pengantin perempuan,
c. Ikat tanda (biasanya rantai atau cincin),
d. Pada hari pernikahan berlangsung, sejumlah uang harus disiapkan,
seperti untuk uang buka hempang pintu, dan sebagainya.
6. Akad Nikah
Akad nikah merupakan satu acara paling penting dalam perkawinan
masyarakat Melayu yang rata-ratanya beragama Islam. Akad nikah bukanlah
merupakan adat, tetapi, lebih kepada ajaran agama dan merupakan puncak
kesahihan perkawinan. Akad nikah dijalankan setelah semua perjanjian yang
disepakati telah dilaksanakan oleh pihak lelaki. Perjanjian yang dimaksud
nikah, ayah si gadislah yang paling utama untuk menikahkan anaknya.
Namun, akad nikah ini dapat diwakilkan kepada wali.
7. MalamBerinai Curi
Malam sebelum nikah dilakukan berinai, yaitu pada ujung jari tangan,
kuku-kuku dan kaki dibungkus dengan inai (pacar). Inai adalah daun dari
sejenis tumbuhan, ditumbuk halus dan dapat mengeluarkan warna merah.
8. Malam Berinai Kecil
Di dalam berinai ini calon pengantin dihiasi sesuai menurut pakaian perkawinan yaitu laki-laki pakai tengkuluk dan sebagainya, sedangkan
pengantin perempuan memakai tudung, semuanya di atas pelaminan
masing-masing dan dihadapan sanak famili. Setiap orang yang menepung tawari
mencalitkan sedikit inai ke tapak tangan calon pengantin dan nanti jika di
kamar barulah diadakan inai yang sebenarnya.
9. Malam Berinai Besar,
Sebelum berinai besar pihak perempuan mengantar inai kepada pihak pengantin laki-laki. Di dalam berinai besar itu oleh pihak calon pengantin, dipanggilah seluruh keluarga. Biasanya pada malam berinai besar
juga diadakan pesta berinai, dimeriahkan dengan bunyi-bunyian dan
tari-tarian. Dewasa ini demi efisiensi biaya, upacara berinai yang dilaksanakan
Gambar 2.1 Malam Berinai Pada Pengantin Adat Melayu Langkat
10.Mengantar Pengantin Laki-laki,
Mengantar pengantin laki-laki adalah upacara mengiringi pengantin laki-laki dari rumahnya menuju rumah pengantin perempuan. Orang yang
mengantar pengantin laki-laki adalah orang tua dan keluarga dekat si
pengantin laki-laki.
11.Hempang Pintu,
Hempang pintu adalah dua pria (pemuda) berdiri di kiri dan kanan pintu, masing-masing memegang ujung kain panjang yang direntangkan.
Maksud dan tujuan pihak keluarga pengantin perempuan menghadang
pengantin laki-laki di depan pintu adalah untuk meminta sesuatu sebagai
Gambar 2.2 Hempang Pintu pada adat perkawinan Melayu Langkat
12.Bersanding,
Bersanding adalah acara dimana pengantin laki-laki dan perempuan duduk bersanding dipelaminan. Pada acara ini kedua pengantin duduk
dipelaminan ibarat seorang pangeran dan permaisuri sehari. Kedua pengantin
dihias sehingga tampak gagah dan cantik mempesona.
13.Tepung Tawar
Makna tepung tawar adalah memberikan doa restu bagi kedua
pengantin dan seluruh keluarganya agar mendapat kebahagiaan, keselamatan,
dan kesejahteraan, di samping itu tepung tawar juga dimaksudkan sebagai simbol penolakan terhadap segala bala dan gangguan yang mungkin
diterimanya kelak. Jadi, upacara tepung tawar bermakna sebagai doa dan
pengharapan. Tepung tawar juga dimaknai sebagai penawar, supaya hidup
tidak bertengkar, wabah penyakit tidak menular, semua urusan jadi lancar.
Gambar 2.3 Tepung Tawar pada adat perkawinan Melayu Langkat
14.Makan Nasi Hadap-hadapan,
Upacara makan nasi hadap-hadapan dihadiri oleh perempuan saja dari kedua belah pihak keluarga pengantin, sedangkan laki-laki tidak boleh
ikut serta. Kedua pengantin dibawa ke suatu ruangan atau di depan pelaminan
yang sudah terhidang nasi hadap-hadapan lengkap dengan lauk-pauk, dan
kue.
Apabila suami mendapat kepala ayam panggang melambangkan
seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan apabila istrinya mendapat
paha ayam melambangkan sebagai seorang ibu yang akan memberikan
keturunan. Acara makan nasi hadaphadapan mengandung arti cinta kasih
Gambar 2.4 Hidangan pada Upacara Makan Nasi Hadap-hadapan
15.SerahTerima Pengantin Laki-laki Kepada Keluarga Pengantin Perempuan,
Serah terima pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan adalah acara yang diadakan untuk melepaskan pengantin laki-laki dari keluarganya sendiri dan diantar untuk menjadi bagian dari keluarga
pengantin perempuan. Acara ini biasanya juga diisi dengan nasehat- nasehat
kepada kedua pengantin, dan sekaligus menyampaikan harapan kepada
keluarga pengantin perempuan agar dapat menerima si pengantin laki-laki
dengan baik.
16.Mandi Berdimbar,
Mandi berdimbar adalah mandi yang dilakukan pengantin dengan menggunakan campuran air, bunga, dan beberapa bahan lainnya. Pada mandi
berdimbar ini kadang-kadang terlebih dahulu dilakukan upacara memukul
pelepah mayang, memecah telur, kelapa muda, dan mandi bersembur-
siraman air mandi berdibar, bagi para pemuda atau gadis, dipercaya akan
cepat mendapat jodoh. (Hariani, informan).
17.Sembah Keliling,
Acara sembah keliling adalah acara bersalaman dengan orang- orang tua dan segenap keluarga, baik keluarga pria maupaun keluarga wanita atau
dalam adat Jawa acara ini disebut dengan istilah sungkeman yang bertujuan untuk mohon restu dan doa dari segenap keluarga yang ada.
18.Naik Halangan(Lepas Pantang),
Beberapa hari setelah malam bersatu diedarkanlah dalam kain putih
bersih “tanda kegadisan”(perawan) sang istri kepada mertua perempuan dan
wanita-wanita lain sebagai bukti.
19.Meminjam Kedua Pengantin oleh Pihak Keluarga Laki-Laki Kepada Pihak Keluarga Perempuan,
Meminjam kedua pengantin oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan adalah upacara ditentukannya hari dimana kedua pengantin dipinjamkan kepada keluarga anak beru laki-laki untuk diadakan perayaan di rumah keluarga laki-laki. Kedua pengantin dijemput oleh anak beru (baik pria maupun wanita).
Memulangkan Kedua Pengantin Kembali Oleh Pihak Keluarga Laki-laki Kepada Pihak Keluarga Pengantin Perempuan adalah setelah tiga malam atau lamanya sesuai menurut perjanjian, maka kedua mempelai, baru
diantarkan kembali ke rumah orang tua pengantin perempuan, diiringi para
anak beru sebagai mana mereka menjemput dahulu. Pengantin perempuan biasanya menerima hadiah dari mertua berupa pakaian lengkap, piring, dan
mangkuk.
21.Pengantin Pindah Ke Rumah Sendiri.
Pengantin Pindah Ke Rumah Sendiri adalah acara dimana seorang laki-laki atau seorang suami membawa istri atau keluarganya ke rumah
mereka sendiri. Menurut adat dahulu, pengantin laki-laki berdiam diri atau
tinggal menetap di rumah mertuanya kira-kira selama dua tahun lamanya.
Setelah itu baru laki-laki tersebut dapat membawa istrinya pindah ke
rumahnya sendiri.
2.2. Kajian Teoretis
2.2.1. Semantik Kognitif
Kognitivisme merupakan bagian dari linguistik yang berdasar pada
pandangan tradisional tentang arah hubungan sebab akibat antara bahasa dan
pikiran (Lyons 1995: 97) dikutip dari
(tanggal 21-03-2013 pukul 14.25). Dapat dikatakan bahwa semantik kognitif
merupakan istilah yang mengacu pada studi tentang makna yang dikaitkan
Semantik (Inggris: semantic) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang bermakna “tanda” “atau lambang”. Para ahli bahasa memberikan
pengertian semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan
antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang
ditandainya (makna) (lihat Hikmah, 2011:33). Chaer (1995:2) mengatakan “
semantik adalah sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu
dari tiga tatanan analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.” Dari
pengertian di atas, semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara
tanda lingustik dengan hal yang ditandainya atau ilmu yang mempelajari
makna atau arti dalam setiap bahasa atau kalimat yang diucapkan oleh
manusia.
Dalam tesis ini, semantik yang berhubungan erat dengan eufemisme
Bahasa Melayu Langkat diteliti maknanya. Karena semantik kognitif
membahas makna kata atau kalimat berdasarkan pada pikiran manusia.
Eufemisme berhubungan dengan ungkapan kata atau kalimat, sehingga
eufemisme tidak dapat dipisahkan dengan semantik kognitif karena terdapat
struktur kognitif dalam eufemisme. Makna eufemisme akan didapat setelah
melalui penafsiran terhadap suatu ujaran yang diucapkan. Berdasarkan
penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa semantik adalah subdisiplin
linguistik yang membicarakan makna. Dengan kata lain semantik
berobjekkan makna.
Penganut semantik kognitif berpendapat bahwa kita tidak memiliki
akses langsung terhadap realitas, dan oleh karena itu, realitas sebagaimana
pengalaman dan tingkah laku mereka yang berkembang. Makna juga
merupakan struktur konseptual yang konvensionalisasi. Menurut penganut
semantik kognitif proses konseptualisasi sangat dipengaruhi oleh metafora
sebagai cara manusia dalam memahami dan membicarakan dunia. Semantik
kognitif menguraikan makna dengan berpadukan kepada sistem kognitif
menyamakan makna dengan konsep.
2.2.2 Eufemisme
Untuk menjawab masalah penelitian ini digunakan teori eufemisme
yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge, dalam buku mereka yang
berjudul Euphemism and Dysphemism, Language Used as Shield and Weapon
(1991: 14). Allan dan Burridge menjelaskan eufemisme sebagai berikut:
In short Euphemism are alternatives to disprefered, and are used in order to avoid possible loss of face. The disprefered expression may be taboo, fearsome, distasteful or for some other reason have too many negative connotations to felicitously execute speaker’s communicative intention on given occasion.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa eufemisme
adalah cara lain dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak berkenan dan
digunakan untuk menghindari rasa malu. Bentuk ungkapan yang tidak
berkenan itu dapat berupa tabu, rasa takut, tidak disenangi, atau alasan lain
yang berkonotasi negatif untuk dipergunakan dengan tujuan berkomunikasi
oleh penutur dalam situasi tertentu. Selain teori yang disampaikan oleh Allan
dan Burridge, beberapa pendapat dari para ahli tentang eufemisme
1. Eufemisme berasal dari kata Yunani, eu yang berarti bagus dan phemeoo yang berarti berbicara. Eufemisme adalah semacam acuan berupa
ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang atau
ungkapan-ungkapan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau
menyugesti sesuatu yang tidak menyenangkan.
Contoh : Para pahlawan telah gugur di medan juang (mati) Maaf saya hendak ke belakang sebentar (ke toilet)
Wanita itu adalah teman hidupnya selama ini (istri) (Keraf,
996:132).
2. Eufemisme atau eufemia adalah suatu gejala bahasa yang bersifat
memperhalus atau mempersopan. Kata tertentu diganti dengan kata lain
yang dianggap lebih mengacu kepada makna kata yang lebih halus atau
sopan (Badudu, 1991:96).
3. Eufemisme adalah pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari
bentuk larangan atau tabu (Kridalaksana, 1982:42).
4. Eufemisme kata atau frasa yang menggantikan satu kata tabu atau yang
digunakan sebagai upaya menghindari hal-hal yang menakutkan dan
kurang menyenangkan (Fromkin dan Rodman dalam Ohuiwuton, 1997:
96).
Penggunaan eufemisme lazim dipakai dalam komunikasi sehari-hari
oleh masyarakat Melayu Langkat. Eufemisme juga kerap digunakan pada
upacara adat, baik dalam tuturan, pepatah, maupun pantun. (Sutarno dalam
Faridah: 2002) membagi tiga jenis eufemisme, yakni kategori baik, buruk,
Eufemisme berkategori baik, berhubungan dengan sopan-santun,
misalnya, untuk menyatakan orang cerdik-pandai, digunakan tuturan, kami dengar datuk orang arif orang bijaksana , tahu dikias diumpama. Ungkapan ini biasanya digunakan pada acara adat perkawinan masyarakat Melayu
Langkat, mungkin juga dipakai daerah lain. Eufemisme berkategori buruk
yaitu eufemisme yang memanipulasi makna sebenarnya dan bersifat politis.
Contoh :
rakyat miskin rakyat prasejahtera rakyat kelaparan rakyat rawan pangan
Kategori yang ketiga yaitu, manipulasi kenyataan. Contoh orang yang mencuri
uang negara dengan jumlah yang sangat banyak, tidak disebut pencuri atau
perampok tetapi disebut koruptor.
Berdasarkan uraian di atas penggunaan eufemisme pada upacara adat
Melayu Langkat sesuai dengan teori para ahli eufemisme, yaitu untuk
memperhalus bahasa dan menghindari kata yang tidak sopan. Penggunaan
eufemisme pada upacara adat Melayu Langkat, apabila merujuk pendapat
Sutarno dikategorikan sebagai eufemisme baik.
Pada pembahasan di awal telah disinggung beberapa pengertian
eufemisme berdasarkan beberapa ahli. Berdasarkan definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa eufemisme adalah perkataan yang baik yang dapat
menyenangkan orang lain dan memberi kesan santun, tidak terdengar kasar.
Penggunaan eufemisme sendiri sesungguhnya untuk menghindari tabu atau
tidak santun. Memang kerap terjadi kerancuan di masyarakat berkaitan batasan
dianggap tidak sopan atau tabu, namun di masyarakat lain, kata itu bisa tidak
memiliki makna tabu. Namun, kebanyakan kata yang berbau seks atau bagian
anggota tubuh yang biasanya ditutupi dianggap tabu bila diucapkan di tempat
umum.
Eufemisme belum tentu untuk menggantikan kata yang bermakna
tabu. Namun, eufemisme lebih berhubungan dengan konsep budaya yang
dianut oleh sekelompok masyarakat. Allan dan Burridge (1991:12) membagi
eufemisme ke dalam hal- hal berikut:
1. bagian tubuh (body parts);
2. fungsi tubuh (bodily function); 3. seks (sex);
4. ketidakberterimaan (Disapproval);
5. kemarahan (anger); 6. kebencian ( hate);
7. penyakit (desease); 8. kematian (death);
9. ketakutan (fear);
10.ihwal Tuhan (God);
11.nafsu (lust).
2.2.3 Tipe Eufemisme
Allan dan Burridge (1991:14), memberikan beberapa tipe eufemisme,
NO TIPE EUFEMISME CONTOH
1 ungkapan figuratif (figurative expressions)
B.Ind : ‘Tempat air yang menakjupkan dengan mulutnya menghadap ke bawah = kemaluan wanita’
3 plipansi (Flippancy) B.Ing : Kick the bucket = die
B.Ind : ‘Menendang ember = meninggal’
4 memodelkan kembali
(remodeling)
B.Ing : Basket = bastard
B.Ind : ‘Keranjang = bajingan’
5 sirkumlokasi (circumlocutions) B.Ing : Solid human waste = feces.
B.Ind : ‘Kotoran manusia padat = tahi’
6 memendekkan (clipping) B.Ing : jeeze = jesus
10 satu kata menggantikan kata yang lain (one for substitutions)
B.Ing : bottom = ass
12 sebagian untuk keseluruhan (a part for whole)
B.Ind : ‘Menghabiskan uang satu sen = ke kamar kecil’
13 melebih-lebihkan (hyperbole) B.Ing : Personal assistant to the Secretary = cook
B.Ind : ’Pembantu pribadi sekretaris = Koki’
4 makna di luar pernyataan
(understatement)
B.Ing : genital, bulogate = thing
B.Ind : bisa apa saja seperti alat kelamin, kasus = sesuatu
15 Jargon B.Ing : Feces = shit
B.Ind :’ Kotoran (istilah medis)= tahi’
16 kolokial (colloquial) B.Ing : Period = menstruation
B.Ind : Periode = ‘menstruasi’
Berikut ini contoh penggunaan eufemisme yang terdapat pada tuturan
masyarakat Melayu di Kabupaten Langkat.
1. Terimalah jike ade lelaki yang ingin mengambilmu sebagai teman hidup!
2. Berape tebal amplop engko siapkan untuk test PNS?
Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa, kata teman hidup
bermakna perempuan yang telah dinikahi oleh lelaki. Teman hidup ini digunakan untuk memperhalus kata yang bermakna istri atau bini. Kata
amplop bermakna tempat atau kemasan untuk di isi surat atau uang untuk dikirim kepada orang lain. Kata amplop pada kalimat di atas, digunakan
untuk memperhalus makna kata yang maksudnya sebagai “uang suap”. Kata
Eufemisme dalam masyarakat fungsi utamanya adalah untuk
menghindari tabu atau tidak santun pada saat berkomunikasi. Tabu adalah
suatu bentuk larangan yang tidak tertulis, untuk tidak menggunakan kata
tertentu yang dianggap tidak pantas di tengah-tengah masyarakat. Kata yang
termasuk tabu biasanya sesuatu yang berbau seks, yang berhubungan dengan
bagian tubuh yang harus ditutupi, menujukkan sesusatu yang menjijikkan,
kotor atau kasar. Kebiasaan masyarakat Melayu dalam menyampaikan
sesuatu yang berhubungan dengan rasa suka, benci, kaya, pintar, dan penyakit,
juga tidak disampaikan secara terus terang, tetapi menggunakan kata kiasan
untuk menghindari tabu.
2.2.4 Kerangka Teori yang Digunakan
Penelitian ini berpijak pada kajian semantik kognitif. Semantik
kognitif membahas makna kata atau kalimat berdasarkan pikiran manusia.
Eufemisme merupakan bagian dari semantik kognitif karena makna
eufemisme didapat setelah melalui penafsiran terhadap suatu ujaran sehingga
eufemisme tidak dapat dipisahkan dengan semantik kognitif.
Teori eufemisme dipakai untuk menentukan jenis tipe eufemisme
yang terkandung dalam isi ungkapan pada upacara adat perkawinan
masyarakat Melayu Langkat. Pendekatan kajian eufemisme memberi
sumbangan terhadap kajian kearifan lokal pada upacara adat perkawinan
2.3. Tinjauan Pustaka
2.3.1. Penelitian Terdahulu
Kajian eufemisme telah diteliti sebelumnya oleh Faridah (2002),
dalam penelitiannya yang berjudul Eufemisme dalam Bahasa Melayu Deli Serdang. Teori yang digunakan pada penelitiannya adalah teori eufemisme oleh Allan dan Burridge. Pada kajiannya Farida mengkaji berbagai tipe, fungsi,
dan makna eufemisme, untuk penyajian data penelitiannya menggunakan
metode cakap atau wawancara. Dalam mengidentifikasi dan mengelompokan
tipe-tipe eufemisme digunakan metode agih. Sedangkan untuk menganalisis
fungsi dan makna digunakan metode padan. Sumber data dalam penelitiannya
menggunakan data tulis dan data lisan. Hasil dari penelitiannya, ditemukan
enam tipe eufemisme dan empat fungsi eufemisme dalam bahasa Melayu Deli
Serdang. Tipe eufemisme yang ditemukannya antara lain: (1) ekspresi figuratif,
(2) Metafora, (3) Satu kata untuk menggantikan kata lain, (4) Umum ke
khusus, (5) Hiperbola, (6) Kolokial. Sedangkan fungsi eufemisme yang beliau
temukan antara lain: (a) sapaan, (b) menghindari tabu, (c) menyatakan cara,
dan (d) menyatakan situasi. Penelitian beliau memberi kontribusi terhadap
penelitian ini adalah dalam hal penggunaan teori. Pada penelitian ini juga
digunakan teori eufemisme yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge, untuk
menemukan tipe eufemisme dalam upacara adat perkawinan masyarakat
Melayu Langkat.
Anita Purba (dalam Tia dan Dardannila 2008), dalam penelitiannya
Allan dan Burridge (1991) sebagai sumber acuan untuk mencari bentuk dan
fungsi eufemisme, tetapi tidak membicarakan makna eufemisme. Ada dua
belas bentuk dan fungsi eufemisme dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Anita Purba antara lain: (1) ekspresi figuratif, (2) metafora, (3) sirkumlokusi,
(4) kliping, (5) pelesapan, (6) satu kata untuk menggantikan kata yang lain, (7)
umum ke khusus, (8) hiperbola, (9) pernyataan yang tidak lengkap, (10)
kolokial, (11) remodel, dan (12) sebagian untuk semua. Fungsi eufemisme
dalam bahasa Simalungun, berhubungan dengan sapaan atau penamaan dan
menghindari tabu. Penelitian beliau memberi kontribusi terutama sekali pada
bagaimana menentukan tipe yang termasuk dalam kelompok tertentu, dari
tipe-tipe yang dikemukakan oleh Allan dan Buridge.
Widya Andayani (2005), tesisnya berjudul Upacara PerkawinanAdat Jawa Nemokke di Medan : Suatu Kajian Sosiolinguistik. Nemokke adalah upacara perkawinana adat Jawa yang berisi nasihat terhadap pengantin.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan tipe-tipe dan fungsi
eufemisme, dalam kalimat dan ungkapan beserta pola sosiolinguistik yang
tergambar pada upacara nemokke. Dalam penelitiannya, data diperoleh melalui
wawancara dengan informan yang merupakan ahli dalam adat Jawa, khususnya
ahli nemokke dalam upacara adat perkawinan Jawa. Dari hasil penelitiannya ditemukan 4 tipe eufemisme, antara lain: (1) metapora, (2) satu kata
menggantikan kata yang lain, (3) hiperbola, (4) ungkapan figurative. Selain
tipe, dalam penelitiannya ditemukan juga fungsi eufemisme yaitu sebagai
sapaan dan menghindari tabu. Berdasarkan pola sosiolinguistiknya, ahli
lebih bervariasi dalam menyampaikan nasihat. Penelitiannya memberi inspirasi
dalam menentukan kriteria informan yang akan dijadikan nara sumber. Pada
Penelitiannya, perbedaan usia ternyata menentukan frekwensi penggunaan
eufemisme. Nara sumber yang usianya lebih tua ternyata menggunakan lebih
banyak dan lebih bervariasi dari nara sumber yang berusia lebih muda.
Selain itu Tia Rubby dan Dardanila (2007), dalam Penelitian mereka
yang berjudul Eufemisme pada Harian Seputar Indonesia Penelitian ini membicarakan bentuk eufemisme dan frekwensi penggunaannya pada surat
kabar Harian Seputar Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode observasi,
yang dilakukan mulai bulan Juli sampai dengan Agustus 2007. Untuk
menganalisis data, digunakan metode deskriptif dengan teknik membaca. Dalam
penelitian Tia dan Dardanila tersebut, ditemukan tujuh bentuk eufemisme yang
muncul, yaitu: (1) ekspresi figuratif (2) Flipasi, (3) kata yang satu menggantikan
kata yang lain (4) singkatan (5) satu kata menggantikan kata yang lain, (6)
umum ke khusus, (7) hiperbola. Bentuk yang sering muncul (dominan) pada
penelitaian mereka adalah satu kata menggantikan kata yang lain sebanyak 40%.
Pada penelitian mereka memberikan masukan dalam hal penggunaan teori.
Mereka menggunakan teori yang sama dengan penelitian ini, yaitu
menggunakan teori eufemisme yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge.
Teori Allan dan Buridge membantu dalam mengklasifikasi jenis atau tipe
eufemisme yang ditemukan dalam penelitian.
(BMS), yaitu bagaimana makna emotif yang terdapat dalam pepatah
berdasarkan pada emosi dasar Melayu, menemukan makan tersirat dalam
pepatah, dan menelaah makna emotif BMS yang dituturkan oleh
Masyarakat Melayu Serdang (MMS) di daerah Pantai Cermin.
Teori yang digunakan adalah teori semantik kognitif. Teori ini
berhubungan dengan emosi dan pikiran. Teori semantik yang digunakan untuk
menelaah emosi digunakan perangkat fonetik, perangkat leksikal, dan
perangkat sintaksis. Sumber data yang digunakan adalah emosi dasar Melayu
Serdang, dan pepatah BMS. Data diambil melalui instrumen penelitian dan
rekaman suara informan. Data diolah dan dianlisis dengan metode kualitataif
deskriptif.
Hasil analisis makna emotif berdasarkan pada emosi dasar Melayu
dan perangkat emotif, diperoleh makna emotif senang ada 39, sedeh ada 13,
marah ada 22, benci ada 4,malu ada 6, takut ada 5, dan bosan ada 6 pepatah.
Perangkat emotif fonetik ada 16, perangkat leksikal ada 93, dan perangkat
sintaksis ada 29 pepatah. Makna emotif dalam pepatah BMS mempengaruhi
sikap, karakter, dan cara berbicara seseorang dalam kehidupan.
Dari uraian hasil penelitian terdahulu tentang eufemisme, maupun hal
yang berhubungan dengan bahasa Melayu di atas dapat dilihat bahwa, kajian
tersebut sangat relevan untuk melengkapi tesis ini karena banyak mengulas
tentang tipe maupun makna kata, kelompok kata, atau kalimat yang berkaitan
dengan eufemisme. Sedangkan tesis ini sendiri mengkaji tentang eufemisme
Perbedaan penelitian ini dari penelitian sebelumnya adalah bahwa
penelitian ini mengkhususkan kajian pada penggunaan eufemisme dalam
upacara perkawinan masyarakat Melayu di kabupaten Langkat. Pada penelitian
ini juga digali dan diupayakan untuk menenemukan kearifan lokal yang pada
gilirannya dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentukan karakter bangsa,
sehingga cita-cita bangsa untuk menjadi bangsa yang aman dan sejahtetra dapat
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. Sejarah Ringkas Pemerintahan Kabupaten Langkat
A.Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang
Pada masa pemerintahan Belanda, Kabupaten Langkat berstatus
keresidenan dan kesultanan (kerajaan) dengan pimpinan pemerintahan yang
disebut residen dan berkedudukan di Binjai. Residen mempunyai wewenang
mendampingi Sultan Langkat di bidang penanganan orang-orang asing saja,
sedangkan orang-orang asli (pribumi) berada di bawah penangan pemerintah
Kesultanan Langkat. Kesultanan Langkat berturut-turut dijabat oleh:
1. Sultan Haji Musa Almahadamsyah (1805-1892)
2. Sultan Tengku Abdul Aziz Abdul Jalik Rakhmatsyah (1893-1927)
3. Sultan Mahmud (1927-1945/46)
(Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat 2011)
Di bawah pemerintahan kesultanan dan assisten residen struktur
pemerintahan disebut Luhak, di bawah luhak disebut Kejuruan (raja kecil) dan
distrik, secara berjenjang disebut Penghulu Balai (raja kecil karo) yang berada
di desa. Pemerintahan luhak dipimpin oleh seorang pangeran atau anak raja,
pemerintahan kejuruan dipimpin oleh seorang Datuk, Pemerintahan Distrik
dipimpin oleh seorang kepala distrik, dan untuk jabatan kepala kejuruan/datuk
harus dipegang oleh penduduk asli yang pernah menjadi raja di daerahnya.
1. Luhak Langkat Hulu, yang berkedudukan di Binjai dipimpin oleh Tengku
Pangeran Adil. Wilayah ini terdiri dari 3 kejuruan (sekarang dikenal
dengan sebutan kecamatan) dan dua distrik yaitu :
1.1 Kejuruan Selesai
1.2 Kejuruan Bahorok
1.3 Kejuruan Sei Bingai
1.4 Distrik Kwala
1.5 Distrik Salapian
2. Luhak Langkat Hilir, yang berkedudukan di Tanjung Pura, dipimpin oleh
Pangeran Tengku Jambak/Tengku Pangeran Ahmad. Wilayah ini
mempunyai 2 (dua) kejuruan dan 4 (empat) distrik yaitu:
2.1 Kejuruan Stabat
2.2 Kejuruan Bingei
2.3 Kejuruan Secanggang
2.4 Kejuruan Padang Tualang
2.5 Distrik Cempa
2.6 Distrik Pantai Cermin
3. Luhak Teluk Haru, berkedudukan di Pangkalan Brandan dipimpin oleh
Pangeran Tumenggung (Tengku Jakfar). Wilayah ini terdiri dari satu
kejuruan dan dua distrik.
3.1 Kejuruan Besitang meliputi Langkat Tamiang dan Salahaji.
3.2 Distrik Pulau Kampai
3.3 Distrik Sei Lepan