• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eufemisme Dalam Upacara Adat Perkawinan Pada Masyarakat Melayu Langkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Eufemisme Dalam Upacara Adat Perkawinan Pada Masyarakat Melayu Langkat"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

EUFEMISME DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN

PADA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT

TESIS

Oleh

A N T O N I

117009035/LNG

117009008/LN

TESIS

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

EUFEMISME DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN

PADA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Program Pascasarjana Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh:

A N T O N I

117009035/LNG

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : EUFEMISME DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN PADA MASYARAKAT MELAYU LANGKAT

Nama Mahasiswa : Antoni Nomor Pokok : 117009035 Program Studi : Linguistik

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Dr. Nurlela, M.Hum.)

Ketua Anggota

(Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M. Ling.)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D.) (Dr. Syahron Lubis, M.A.)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 28 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Nurlela, M.Hum.

Anggota : 1. Dr. Namsyah Hot, M. Ling.

2. Prof. Tengku Silvana Sinar, M.A., Ph.D. 3. Dr. Mahriyuni, M.Hum.

(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

EUFEMISME DALAM UPACARA ADAT

PERKAWINAN PADA MASYARAKAT MELAYU

LANGKAT

Dengan ini Penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat

untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian

teertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis

cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan penulisan

ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan

hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,

penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang

dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Agustus 2013 Penulis,

(6)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Eufemisme dalam Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Melayu Langkat yang bertujuan mengkaji tipe-tipe dan makna eufemisme. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi tipe-tipe dan makna eufemisme dalam proses Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat, (2) menjelaskan kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat. Metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini mengambil data berupa data lisan yang diperoleh dengan melakukan observasi dan wawancara dengan informan (penghulu telangkai) pada saat pelaksanaan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat. Data lisan juga diperoleh melalui wawancara dengan para informan. Tipe-tipe eufemisme yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: (1) ungkapan figuratif (figurative expression), (2) satu kata menggantikan kata yang lain (one for substitution), (3) melebih-lebihkan (hyperbole), (4) sirkumlokusi (circumlocution), dan (5) metapora (metaphor). Secara umum makna yang ditemukan dalam penelitian ini berupa nasihat. Kearifan lokal yang dapat digali, yaitu: (1) sikap menghormati tamu, (2) sikap menepati janji, (3) sikap menghormati orang tua.

(7)

ABSTRACT

This thesis’s entitled Eufemisme dalam Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Melayu Langkat studies the types and the meaning of the euphemism. This study uses cognitive semantic approach which syudies meaning based on human mind. The objectives of this study were: (1) to identify the typesand the meaning of euphemism in the Malay Community Marriage Ceremony in Langkat, (2) to explain the wisdom contained in the euphemism in the Marriage Ceremony of Malay in Langkat. Qualitative research methods were used in this study that is used to collect the data obtained with oral observation and interviews with informants of the Marriage Ceremony of Malay in Langkat. Data were also obtained through oral interviews with informants. Euphemism types found in this study are: (1) the expression figurative (figurative expression), (2) one word replaces another word (one for substitution), (3) exaggerating (hyperbole), (4) circumlocution, and (5) metaphor. In general, the meaning of which was found in this study in the form of advice or suggestion to the bride and the groom. Local wisdom that can be extracted, namely: (1) respect for guests, (2) the attitude of keeping promises, (3) the attitude of respect for the elderly.

Keywords: euphemism, marriage ceremonies of Malay in Langkat, local knowledge, cognitive semantics.

(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan karunia-Nya yang tidak terhinggga banyaknya sehinggga penulis

dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak

memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A (K),

Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D, selaku ketua Program Studi

Linguistik Sekolah Pascasarjana sekaligus juga sebagai Dosen penguji I,

yang telah memberikan banyak masukan dan koreksian dalam

penyempurnaan tesis ini.

4. Ibu Dr. Nurlela, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Linguistik

Sekolah Pascasarjana dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang

telah memberikan bimbingan, saran, motivasi, arahan dalam penyusunan

tesis ini.

5. Bapak Dr. Namsyah Hot Hasibuan, M.Ling, selaku pembimbingan II, yang

telah banyak membantu penulis dalam penulisan tesis ini, khususnya

tentang tata cara penulisan yang baik dan benar.

6. Ibu Dr. Mahriyuni, M.Hum dan Ibu Dr. Dwi Widayati, M. Hum, selaku

penguji II dan III, yang telah banyak memberikan masukan dan kritikan

yang sangat berguna bagi pernyempurnaan tesis ini.

7. Seluruh dosen pada Progam Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu

pengetahuan selama masa perkuliahan.

8. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) atas beasiswa yang

dalam usaha peningkatan kualitas guru di daerah Sumatera Utara.

(9)

9. Orang tua penulis, Suriadi dan Karsini serta saudara-saudara penulis yang

telah memberikan dukungan dan kasih sayang.

10.Istri tercinta Gandayani Siregar, yang sama-sama berjuang dalam

menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Sumatera Utara, terima kasih

atas kasih sayang, kerjasama, dan saling berbagi dalam keadaan suka dan

duka.

11.Ananda tercinta Nabila Hafidz Salwa yang telah berkorban kehilangan

banyak waktu, perhatian dan kasih sayang dari ayah dan bunda selama

dalam masa pendidikan.

12.Rekan-rekan angkatan 2011 yang namanya tidak bisa disebut satu persatu

yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama menuntut ilmu

bersama-sama.

13.Rekan-rekan guru di MTs Ar Rahman Air Tenang atas kerjasama yang baik

dan semangat kekeluargaan yang senantiasa kita bina selama ini.

14.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu

penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat konstruktif untuk

penyempurnaan tesis ini. Semoga kiranya Allah SWT memberi rahmat dan

hidayah-Nya untuk kita semua. Amin.

Medan, Agustus 2013

Penulis,

A N T O N I

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR. ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.4.2 Manfaat Praktis ... 9

BAB II KONSEP, TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Konsep ... 10

2.1.1 Jati Diri Orang Melayu. ... 10

2.1.2 Kearifan Lokal ... 12

2.1.3 Nilai-nilai Agama yang Melatarbelakangi Kearifan Lokal Masyarakat Melayu Langkat ... 14

2.1.4 Konsep Adat Perkawinan Masyarakat Melayu ... 16

2.2 Kajian Teoretis ... 25

2.2.1 Semantik Kognitif ... 25

2.2.2 Eufemisme ... 27

2.2.3 Tipe Eufemisme ... 31

2.2.4 Kerangka Teori yang Diterapkan ... 33

2.3 Tinjauan Pustaka ... 34

2.3.1 Penelitian Terdahulu ... 34

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 39

3.1 Sejarah Ringkas Pemerintahan Kabupaten Langkat ... 39

3.2 Sosial Budaya Masyarakat Melayu Langkat ... 45

3.3 Kondisi Daerah Kabupaten Langkat ... 46

3.4 Gambaran Umum Kecamatan Selesai ... 49

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 52

4.1 Metode Penelitian ... 52

4.2 Lokasi Penelitian ... 52

4.3 Data dan Sumber data ... 53

4.4 Teknik Pengumpulan Data ... 54

4.5 Teknik Analisis Data ... 54

4.5.1 Reduksi Data ... 55

(11)

4.5.2 Penyajian Data ... 55

4.5.3 Verifikasi/ Penarikan Kesimpulan ... 56

BAB V TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 59

5.1 Pendahuluan ... 59

5.2 Temuan Penelitian ... 59

5.2.1 Eufemisme dalam Upacara Mengantar Pengantin Laki-laki 59 5.2.2 Eufemisme dalam Upacara Hempang Pintu ... 61

5.2.3 Eufemisme dalam Upacara Bersanding ... 64

5.2.4 Eufemism dalam Upacara Tepung Tawar ... 67

5.2.5 Eufemisme dalam Upacara Makan Nasi Hadap-Hadapan ... 72

5.2.6 Eufemisme dalam Upacara Serah Terima Pengantin Laki-laki Kepada Keluarga Pengantin Perempuan ... 74

5.3 Tipe-tipe Eufemisme yang di proleh dari Rangkian Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat ... 78

5.4 Makna Eufemisme ... 82

5.4.1 Eufemisme Tipe dan Makna Figuratif Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 83

5.4.2 Eufemisme Tipe Satu Kata Menggantikan Kata Yang lain (one for subtitution) Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 85

5.4.3 Eufemisme Tipe Sirkumlokasi (circumlocutions) Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 89

5.4.4 Eufemisme Tipe Hiperbola (hyperbole) Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 92

5.4.5 Eufemisme Tipe Metafora ( metaphor ) Pada Upacara Perkawinan Adat Melayu Langkat ... 95

5.5 Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Eufemisme Pada Upacara Adat Perkawinan Melayu Langkat ... 99

5.5.1 Sikap Menghormati Tamu ... 104

5.5.2 Sikap Menepati Janji ... 105

5.5.3 Sikap Menghormati Orang Tua ... 107

5.5.2 Sikap Menghindari Perselisihan ... 108

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 110

6.1 Simpulan ... 110

6.2 Saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113

(12)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

4.1 Tipe Eufemisme ... 56

4.2 Makna Eufemisme ... 56

5.1 Tipe Eufemisme dalam Upacara Mengantar Pengantin Laki-laki ... 60

5.2 Tipe Eufemisme dalam Upacara Hempang Pintu ... 62

5.3 Tipe Eufemisme dalam Upacara Bersanding ... 64

5.4 Tipe Eufemisme dalam Upacara Tepung Tawar ... 67

5.5 Tipe Eufemisme dalam Upacara Nasi Berhadap-Hadapan ... 73

5.6 Tipe Eufemisme dalam Upacara Serah Terima Pengantin Laki-laki Kepada Keluarga Pengantin Perempuan ... 74

5.7 Tipe Eufemisme Dari Rangkaian Upacar Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat ... 78

5.8 Ungkapan Figuratif ... 84

5.9 Satu Kata Menggantikan Kata yang Lain(One For Substitution) ... 86

5.10 Ungkapan yang Berkategori Sirkum Lokasi ... 90

5.11 Hiperbola pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat ... 92

5.12 Metapora pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat ... 96

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Malam Berinai Pada Pengantin Adat Melayu Langkat ... 20

2.2 Hempang Pintu Pada Adat Perkawinan Melayu Langkat ... 21

2.3 Tepung Tawar ... 22

2.4 Hidangan Pada Upacara Makan Nasi Hadap-Hadapan ... 23

3.1 Lambang Daerah Kabupaten Langkat ... 42

3.2 Rumah Adat Masyarakat Masyarakat Melayu Kabupaten Langkat ... 46

3.3 Peta Kabupaten Langkat ... 47

3.4 Lokasi Wisata Bukit Lawang Kabupaten Langkat ... 49

3.5 Mesjid Raya Pekan Selesai ... 51

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Ungkapan (Pantun Dalam Upacara Mengantar Pengantin Laki-laki

yang Mengandung Unsur Eufemisme ... 115

2. Gambar Wawancara Terhadap Dua Informan ... 118

3. Transkrip ... 119

4. Biodata Informan ... 126

(15)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Eufemisme dalam Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Melayu Langkat yang bertujuan mengkaji tipe-tipe dan makna eufemisme. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi tipe-tipe dan makna eufemisme dalam proses Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat, (2) menjelaskan kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat. Metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini mengambil data berupa data lisan yang diperoleh dengan melakukan observasi dan wawancara dengan informan (penghulu telangkai) pada saat pelaksanaan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Melayu Langkat. Data lisan juga diperoleh melalui wawancara dengan para informan. Tipe-tipe eufemisme yang ditemukan dalam penelitian ini adalah: (1) ungkapan figuratif (figurative expression), (2) satu kata menggantikan kata yang lain (one for substitution), (3) melebih-lebihkan (hyperbole), (4) sirkumlokusi (circumlocution), dan (5) metapora (metaphor). Secara umum makna yang ditemukan dalam penelitian ini berupa nasihat. Kearifan lokal yang dapat digali, yaitu: (1) sikap menghormati tamu, (2) sikap menepati janji, (3) sikap menghormati orang tua.

(16)

ABSTRACT

This thesis’s entitled Eufemisme dalam Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Melayu Langkat studies the types and the meaning of the euphemism. This study uses cognitive semantic approach which syudies meaning based on human mind. The objectives of this study were: (1) to identify the typesand the meaning of euphemism in the Malay Community Marriage Ceremony in Langkat, (2) to explain the wisdom contained in the euphemism in the Marriage Ceremony of Malay in Langkat. Qualitative research methods were used in this study that is used to collect the data obtained with oral observation and interviews with informants of the Marriage Ceremony of Malay in Langkat. Data were also obtained through oral interviews with informants. Euphemism types found in this study are: (1) the expression figurative (figurative expression), (2) one word replaces another word (one for substitution), (3) exaggerating (hyperbole), (4) circumlocution, and (5) metaphor. In general, the meaning of which was found in this study in the form of advice or suggestion to the bride and the groom. Local wisdom that can be extracted, namely: (1) respect for guests, (2) the attitude of keeping promises, (3) the attitude of respect for the elderly.

Keywords: euphemism, marriage ceremonies of Malay in Langkat, local knowledge, cognitive semantics.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Eufemisme merupakan usaha seseorang dalam bertutur agar bahasa

yang dituturkan tidak dianggap melanggar konsep tabu yang telah ditetapkan

oleh masyarakat.

Penggunaan eufemisme semakin tumbuh subur sejak orang Melayu

memeluk agama Islam sebab dalam Islam diajarkan keutamakan akhlak dan

sopan santun. Akhlak yang terpuji seperti yang diajarkan oleh Rasulullah

Eufemisme telah dikenal atau dipakai oleh masyarakat

Melayu sejak zaman dahulu. Bahkan mereka telah menggunakannya sebelum

mereka mengenal agama, khususnya agama Islam. Pada saat itu, mereka

meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam memiliki roh atau kekuatan

yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Jika mereka berbuat sesuatu

yang dilarang atau melanggar pantangan, mereka akan mengalami sesuatu yang

negatif. Sebagai contoh, ketika mereka memasuki hutan, mereka harus minta

izin terlebih dahulu dengan mengucapkan kata ‘nenek’ pada ‘penunggu’ yang diyakini mendiami hutan tersebut atau kata ‘cucu’ untuk menyebutkan dirinya, sebagai tanda merendahkan diri atas ‘penunggu’ hutan tersebut. Ketika para petani mendapati sawah mereka dimakan tikus, mereka harus menghindari kata

tikus’ untuk menyebutkan hewan tersebut. Dengan demikian, mereka harus mengganti kata tikus dengan ‘cik siti,’ agar tidak semua padi mereka yang sedang berbuah, dimakan oleh tikus sampai habis.

(18)

S.A.W begitu mempengaruhi masyarakat Melayu Islam, bukan saja dalam

perbuatan, melainkan juga dalam bertutur sehari-hari. Ajaran agama ini

akhirnya membudaya di tengah-tengah masyarakat Melayu, sehingga konsep

kesantunan atau eufemisme terus berkembang hingga saat ini.

Eufemisme adalah bagian dari semantik kognitif. Eufemisme memiliki

enam belas tipe (Allan dan Burridge, 1991: 14). Dari keenam belas tipe yang

ditemukan oleh Allan dan Burridge tersebut akan dicermati tipe-tipe mana saja

yang terdapat pada proses upacara perkawinan adat masyarakat Melayu

Langkat. Selain tipe, tesis ini juga akan meneliti makna eufemisme yang ada

dalam upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat.

Cara mengungkapkan perasaan orang-orang tua dahulu pada

masyarakat Melayu berbeda dengan anak muda sekarang. Orang tua pada

masa lalu mengungkapkan perasaaan atau keinginannya, baik ungkapan rasa

senang, sedih, marah, bimbang, takut, malu, bosan, dan benci, mereka lazim menggunakan perumpamaan yang banyak mengandung eufemisme. Hal ini

dimaksudkan agar apa yang disampaikan tetap terdengar sopan, tidak kasar,

bermartabat, dan dipahami lebih dalam oleh lawan bicara (pendengar).

Sementara itu, masyarakat sekarang ini dalam mengungkapakan pikiran dan

perasaannya lebih senang berbicara langsung dari pada menggunakan

perumpamaan atau pribahasa. Masyarakat sekarang enggan menggunakan

ungkapan yang bermakna eufemisme karena dianggap ortodoks, lambat, dan

bertele-tele. Hal ini senada dengan temuan Juairi Hikmah (2011:2) bahwa masyarakat khususnya generasi muda sekarang jarang sekali menggunakan

(19)

bermakna eufemisme yang saat ini, dengan penuh kesadaran atau tidak telah

mulai ditinggalkan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peranan bahasa

sangat penting dalam memahami kebudayaan, demikian sebaliknya, peranan

budaya juga sangat penting untuk memahami bahasa. Kekeliruan dan

kesalahan kerap terjadi sehingga menyebabkan perselisihan karena orang tidak

mampu menggunakan bahasa sesuai kebudayaan di suatu daerah tertentu. Akibatnya, di tengah-tengah masyarakat atau di media kerap kita

jumpai atau dengar orang-orang berbicara sesuka hatinya, tanpa merasa malu

apalagi merasa bersalah telah melanggar norma atau sopan-santun di dalam

masyarakat, yang kadang kala menimbulkan konflik di dalam masyarakat.

Apabila hal ini terus terjadi, tidak mustahil suatu saat nanti, eufemisme dalam

bahasa Melayu Langkat dan adat masyarakat Melayu Langkat yang sarat

dengan nilai-nilai luhur, perlahan-lahan akan hilang, ditinggalkan oleh

pemiliknya.

Bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Bahasa sama halnya dengan

budaya, keduanya dapat dipelajari, dikembangkan, dan diwariskan dari satu

generasi ke generasi berikutnya. Bahasa sangat memainkan peran penting bagi

pelestarian suatu budaya atau adat-istiadat yang hidup dan berkembang di

tengah-tengah masyarakat.

Demikian juga halnya dengan bahasa Melayu Langkat, bahasa Melayu

Langkat, selain berfungsi sebagai media untuk menyampaikan hal-hal yang

berhubungan dengan budaya, bahasa Melayu Langkat adalah bagian dari

(20)

mentransmisikan, mengembangkan, dan juga mewariskan suatu budaya, yang telah menjadi bagian dari masyarakat Melayu Langkat, sejak dahulu hingga

sekarang ini.

Perkawinan merupakan cara untuk memelihara dan melestarikan

keturunan yang sah sesuai dengan hukum agama dan norma masyarakat.

Perkawinan yang sah, selain untuk melestarikan keturunan, juga

mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu memberikan kepastian hukum

atas status anak yang dilahirkannya, siapa yang menjadi ayah dan ibu,

sekaligus yang berhak dan berkewajiban mengasuh, memelihara, memenuhi

kebutuhan, dan lain sebagainya.

Menurut BAB I pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.

Akad nikah merupakan peristiwa sangat penting yang tidak terlupakan

dalam perjalanan hidup manusia. Akad nikah adalah ibadah dan lambang

kesucian hubungan antara dua jenis manusia berdasarkan perintah Allah dan

Rasul-Nya. Karena itu, perkawinan perlu didasari dengan niat yang suci,

mendapat persetujuan kedua orang tua dan kebulatan tekad kedua mempelai

untuk hidup bersama secara rukun, harmonis dan bertanggung jawab.

Setiap etnis memandang upacara perkawinan merupakan suatu

tahapan yang dianggap sangat sakral, baik bagi calon pengantin itu sendiri

(21)

pihak. Proses pelaksanaan upacara perkawinan ini umumnya memperhatikan

serangkaian aturan atau tata cara yang sudah ditentukan secara hukum agama

dan hukum adat yang tidak tertulis yang dianut dan dilaksanakan oleh setiap

etnis, terlebih etnis yang ada di provinsi Sumatera Utara, khususnya etnis

Melayu.

Dalam pandangan adat Melayu, kehadiran keluarga, kaum famili,

tetangga, dan masyarakat pada acara perkawinan bertujuan untuk mempererat

silaturahim, memberikan kesaksian atas perkawinan kedua pengantin dan

untuk merestui sekaligus mendoakan kebaikan untuk kedua pengantin.

Perkawinan yang dilakukan dengan menggunakan adat secara lengkap

memberikan kesan yang baik di masyarakat, dan dapat menghindari anggapan

bahwa kedua pengantin sudah melakukan hubungan ‘terlarang’ sebelum

menikah.

Adat perkawinan Melayu sesungguhnya bersesuaian dengan ajaran

agama Islam. Meski tidak masuk dalam rukun nikah, merayakan perkawinan

atau pesta perkawinan yang dimaksudkan untuk mengumumkan atau

mengabarkan kepada masyarakat luas sebuah perkawinan merupakan hal yang

dianjurkan (walimatul urus). Mengabarkan atau menumumkan sebuah perkawinan penting dilakukan, untuk menjagah terjadinya fitnah dan

kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian kedua

pengantin dapat menjagah kesucian perkawinannya dan dapat menjalankan

kehidupan rumah tangganya dengan baik.

Upacara adat perkawinan pada masyarakat Melayu Langkat pada

(22)

yang berpegang teguh dengan adat. Mereka mempercayai bahwa adat yang

mereka pegang mempunyai makna dan kebaikan dalam kehidupan, oleh

sebab itu bagi masyarakat Melayu adat perkawinan begitu diutamakan.

Upacara adat perkawinan biasanya dilaksanakan dengan cukup

meriah, namun, sesuai fenomena yang diamati dan hasil wawancara dengan

Bapak Abu Samah (informan), upacara perkawinan Melayu Langkat dewasa

ini tidak dilaksanakan secara utuh lagi. Sebagian masyarakat Melayu Langkat

menganggap upacara adat perkawinan tersebut merepotkan keluarga, karena

tidak praktis dan efisien. Umumnya upacara adat perkawinan yang masih

dilaksanakan dengan baik saat ini antara lain penyambutan pengantin beserta

rombongan dengan acara: hempang batang, silat berlaga, tukar tepak di tengah halaman, disambut tari persembahan, hempang pintu, hempang kipas di pelaminan, dan bersanding. Selanjutnya acara marhaban (doa), tepung tawar, makan nasi hadap-hadapan, mandi berdimbar, dan serah terima pengantin (acara penyerahan pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan).

Masyarakat Melayu Langkat umumnya masih memegang teguh adat

istiadat yang menunjukkan kesantunan berbahasa. Kebiasaan santun

berbahasa dapat dilihat dari tuturan-tuturan orang Melayu, yang sedapat

mungkin menghindari ungkapan secara berterus terang, dalam menyatakan

sesuatu hal yang ingin dikatakannya. Sebagai contoh, begitu di lidah, begitu di hati. Artinya: apa yang dijanjikan itulah yang menjadi maksud sesungguhnya. Contoh lain, ketika ada seseorang yang membutuhkan bantuan

(23)

Arti atau makna yang terkandung dalam kalimat tersebut sesungguhnya

adalah mengharapkan bantuan kepada orang yang dimaksud. Pada upacara

adat perkawinan juga terdapat banyak contoh ungkapan yang menggunakaan

eufemisme dalam menyampaikan maksudnya. Beberapa contoh di antaranya:

pucuk dicinta ulampun tiba ‘apa yang dicita-citakan atau diidam-idamkan datang tanpa diduga’ kalau berjalan pelihara kaki, kalau melihat pelihara mata, kalau berkata pelihara lidah ‘dalam mengarungi bahtera rumah tangga harus menjaga semua rambu atau peraturan dan tetap menjaga kedamaian di

dalam rumah maupun masyarakat’ dan ungkapan yang menyatakan piring tak retak, nasi tak dingin makna dari ungkapan tersebut adalah apabila pinangan ternyata ditolak, tidak mengapa, pihak laki-lakipun tidak akan memaksa.

Berdasarkan contoh di atas, dapat diketahui bahwa dalam bertutur

orang Melayu banyak menggunakan eufemisme. Eufemisme merupakan

bentuk penghalusan bahasa yang bertujuan untuk menghindari tabu atau kata

tidak sopan pada saat berkomunikasi.

1.2 Perumusan Masalah

Dari uraian di atas penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini

sebagai berikut:

1. Tipe dan makna eufemisme apa sajakah yang digunakan pada saat upacara

adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat?

2. Bagaimanakah kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada

(24)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan tipe-tipe dan makna eufemisme dalam proses

upacara adat perkawinan Masyarakat Melayu Langkat

2. Menemukan kearifan lokal yang terkandung dalam eufemisme pada

upacara adat perkawinan masyarakat Langkat.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoretis:

1. Memperkaya khasanah budaya, termasuk linguistik, khususnya yang

berkaitan dengan adat Masyarakat Melayu.

2. Membantu pelestarian kebudayaan Masyarakat Melayu, khususnya

Melayu Langkat.

3. Sebagai rujukan dalam penelitian sejenis, khususnya yang berhubungan

dengan eufemisme.

4. Sebagai pemacu semangat bagi peneliti berikutnya untuk melakukan

penelitian yang lebih luas dan mendalam agar bahasa dan kebudayaan

Melayu Langkat dapat tetap lestari.

1.4.2 Manfaat Praktis

(25)

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah,

sebagai masukan dalam mengembangkan budaya daerah (lokal).

2. Bagi para guru yang mengajar di sekolah, penelitian ini diharapkan dapat

menjadi referensi dalam membuat rencana pembelajaran, khususnya mata

(26)

BAB II

KONSEP, TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep

Penelitian ini berhubungan dengan penggunaan bahasa oleh

masyarakat Melayu Langkat, yakni penggunaan bahasa untuk memperhalus

makna menghindari tabu atau tidak sopan. Kajian ini disebut dengan

eufemisme. Di bawah ini dijelaskan hal-hal yang terkait dengan penelitian ini,

yaitu: (1) Jati Diri Orang Melayu, (2) Kearifan Lokal, (3) Konsep Adat

Perkawinan Masyarakat Melayu

2.1.1 Jati Diri Orang Melayu

Banyak orang memiliki pamahaman yang berbeda-beda tentang

pengertian “Melayu”. Hal ini terjadi karena pengertian Melayu didasarkan atas

hal yang berbeda pula. Ada sebagian orang yang memandang Melayu dari

pengertian “ras”, ada pula pengertian Melayu berdasarkan kepercayaan atau

religi, yaitu “sesama agama Islam”. Pengertian berbeda ini terjadi karena orang

Melayu banyak mendiami wilayah yang berbeda-beda. Wilayah yang didiami

orang Melayu meliputi: Thailand Selatan, Malaysia Barat dan Timur,

Singapura, Brunei, Kalimantan Barat, Tamiang (Aceh Timur), pesisir Timur

Sumatera Utara, Riau, Jambi dan pesisir Palembang (Sinar, 2002: 1)

Pada abad ke-18 orang Barat, khususnya orang Belanda dan orang

(27)

disebut “Bangsa Melayu”. Hal ini terjadi karena mereka melihat persamaan

warna kulit, postur tubuh yang relatif sama, dan menguasai atau memahami

bahasa Melayu secara bersama.

Pada tahun 1400 M, pusat imperium Melayu berada di Malaka. Pada

saat itu terbentuklah suatu wadah baru bagi orang Islam untuk dapat lebih

berkembang. Perkembaangan Melayu dimulai dari Malaka hingga ke penjuru

nusantara. Penyebaran Melayu dilakukan dengan cara perdagaan dan dengan

cara perkawinan dengan putri raja setempat. Dengan demikian, selain

membentuk masyarakat Islam di tempat tersebut juga sekaligus membentuk

budaya Melayu. Sejak saat itu defenisi jati diri Melayu dipersatukan oleh faktor

cultural (budaya) yang sama, yaitu kesamaan agama Islam, bahasa, dan

adat-istiadat Melayu (Sinar, 2002: 6)

Di bawah ini dituliskan beberapa pendapat ahli dari dalam dan luar

negeri mengenai siapa sesungguhnya orang Melayu itu, dikutip dari

- Syed Husin Ali mengatakan, “Orang melayu dari segi lahiriah biasanya

berkulit sawo matang, berbadab sederhana dan tegap, selaku berlemah

lembut serta berbudi bahasa.”

(diunduh

tanggal 11-04-2012 pukul 15.00 WIB), yaitu:

- Werndly, kata “melayu” berasal dari kata “melaju” dasar katanya laju

bermakna cepat, deras dan tangkas, dengan pengertian bahwa orang melayu

(28)

- Van der Tuuk berpendapat bahwa perkataan melayu berarti penyeberang,

pengertiannya bahwa orang melayu menyeberang atau menukar agamanya

dari Hindu- Budha kepada Islam.

Beberapa pendapat ahli tentang siapa sesungguhnya orang Melayu itu juga terdapat dalam Sinar (2002: 7-10), yaitu:

- Pendeta Simon mengatakan, “Banyak orang Batak naik haji ke Mekah

menyatakan dirinya sebagai Melayu”.

- Windstedt mengatakan bahwa orang Melayu Islam tidak menyukai cara

seluk pawang masa kini yang dianggap tahyul.

- Judiht A. Nagata, mengatakan bahwa orang melayu beragama Islam,

berbahasa Melayu, dan menganut adat Melayu.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang orang Melayu dapat dipahami

bahwa orang Melayu sejak mereka memeluk agama Islam di abad ke-5 M

adalah sebagai berikut:

Seseorang disebut Melayu apabila orang tersebut beragama Islam, sehari-hari

berbahasa Melayu dalam berkomunikasi, dan berbudaya atau beradat-istiadat

Melayu. Adapun konsep adat Melayu itu adalah adat bersendikan hukum syarak, syarak bersendikan kitabullah. Jadi orang Melayu adalah suku atau etnis escara kultural dan bukan harus secara persamaan darah keturunan.

Sistem kekeluargaan orang Melayu menganut adalah Parental (kedudukan

(29)

2.1.2 Kearifan Lokal

Penggalian kearifan lokal suatu kebudayaan merupakan hal yang

penting dalam usaha untuk tetap melestarikan kebudayaan tersebut. Di tengah

arus moderenisasi yang terjadi saat ini yang meliputi hampir di setiap bidang

kehidupan, memberi pengaruh yang luar biasa pada pola fikir dan budaya

masyarakatnya. Moderenisasi yang mengglobal menyebabkan terjadinya

pergeseran nilai budaya. Kebudayaan lokal yang dulu menjadi pandangan dan

pegangan hidup masyarakat, perlahan-lahan terpinggirkan oleh pengaruh

budaya asing yang berkembang begitu pesat. Pengaruh budaya asing tersebut

masuk dan terus merongrong di dalam kehidupan masyarakat, baik di daerah

perkotaan maupun di pedesaan.

Menurut Balitbangsos Depsos RI (2005), kearifan lokal merupakan

kematangan masyarakat ditingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap,

prilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam mengembangkan

potensi dan sumber lokal (material maupun nonmaterial) yang dapat dijadikan

sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik

atau positif. Dari penyataan di atas dapat diartikan bahwa kearifan lokal adalah

nilai budaya yang bersifat positif yang berasal dari kebudayaan masa lalu yang

dapat dijadikan modal yang cukup potensial, untuk membentuk karakter

bangsa yang pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk menciptakan perdamaian

dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Kearifan lokal (local wisdom) adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk

(30)

digali dari nilai-nilai luhur budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kedamaian

dan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pemilik nilai budaya

tersebut.

Pemertahanan nilai-nilai budaya di Indonesia biasanya dilakukan

dengan cara konvensional yaitu diwariskan hanya secara lisan. Dengan menggunakan bahasa daerah masyarakat pemilik kebudayaan tersebut oleh

orang-orang tua kepada anak-anak sampai kepada cucu mereka. Membangun

kembali nilai-nilai budaya, etika dan agama perlu dilakukan dengan usaha

membangun moral bangsa, kepribadian, karakter bangsa, intlektual, sosial,

emosi, etis, dan banyak faktor pendukung lainnya (Sinar, 2011:6). Berdasarkan

pernyataan di atas, dapat diartikan bahwa, untuk membangun kembali

nilai-nilai budaya harus dengan pendidikan dan pembelajaran yang bernuansa agama

dan budaya. Karena dengan cara demikian pemertahanan nilai budaya yang

mengandung kearifan lokal akan dapat dipertahankan dan sekaligus

dikembangkan secara berkelanjutan.

2.1.3 Nilai-nilai Agama yang Melatarbelakangai Kearifan Lokal Masyarakat Melayu Langkat

Nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat Melayu Langkat

sesungguhnya berasal dari budaya mereka sendiri yang disesuaikan dengan

ajaran agama Islam. Ajaran Islam berperan besar terhadap cara pandang,

berpikir, dan bertindak bagi masyarakat Melayu Langkat. Kebudayaan Melayu

Langkat tidak terlepas dari ajaran Islam yang meliputi akidah, akhal, dan ilmu

dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Beberapa kearifan budaya Melayu

(31)

1. Masyarakat atau orang Melayu mengutamakan “budi dan bahasa”, yang

menunjukan sopan santun dan tingginya peradapan Melayu, seperti pada

pantun:

Jangan suka mencabut padi Kalau dicabut hilang buahnya Jangan suka menyebut budi Kalau disebut hilang tuahnya

Dari pantun diatas dapat tergambar dengan jelas bahwa orang Melayu

dilarang mengingat-ingat budi atau kebaikan yang telah dilakukannya,

apalagi sampai menyebut-nyebutnya atau mengatakannya kepada orang lain

Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang melarang umatnya berlaku riya

atau suka menyebut-nyebut kebaikan yang pernah dilakukannya karena

akan merusak nilai dari kebaikannya tersebut.

2. Masyarakat atau Orang Melayu mengutamakan sifat Melayu, seperti terlihat

pada ungkapan berikut ini:

- Yang disebut sifat malu,

malu membuka aib orang malu menyingkap baju di badan malu mencoreng syarak

malu dilanda adat

malu tertarung pada lembaga (Sinar, 2002: 22).

Masyarakat melayu menurut adat kebiasannya sangat menjaga dan

menjunjung tinggi rasa malu. Ada konsep di tengah-tengah Masyarakat Melayu

yang mengatakan bahwa lebih baik mati dari pada menanggung malu. Menjaga

atau menjunjung tinggi rasa malu sesungguhnya bersesuaian dengan ajaran

Islam yang mengharuskan umatnya menjaga kehormatannya, seperti dikutip

dalam hadits nabi “Jika engkau tidak malu maka berbuatlah sekehendak

(32)

3. Masyarakat Melayu ramah dan menghormati tamu, seperti tergambar pada

ungkapan sebagai berikut:

selamat datang kami ucapkan

mohon serta keberkahan dan keampunan kehadirat Allah kita tujukan

semoga pertemuan mendapat kesyukuran

Makna yang terdapat di dalam pantun tersebut adalah ucapan selamat

datang dari tuan rumah kepada tamu yang telah sampai dengan selamat sampai

ketujuan, tidak lupa pula mereka mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah

SWT serta memanjatkan doa agar pertemuan yang mereka selenggarakan

mendapatkan ridho dan berkahNya. Selain ungkapan-ungkapan yang disajikan

di atas, masih terdapat banyak lagi kearifan yang dimiliki oleh masyarakat

Melayu Langkat yang isinya selalu berlandaskankan ajaran agama Islam.

2.1.4 Konsep Adat Perkawinan Masyarakat Melayu

Perkawinan merupakan tahap kehidupan manusia yang bernilai sakral

dan amat penting. Dibandingkan dengan fase kehidupan lainnya, fase

perkawinan boleh dikatakan terasa sangat spesial. Perhatian pihak-pihak yang

berkepentingan dengan acara tersebut tentu akan banyak tertuju kepadanya.

Mulai dari memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara pada hari

perkawinan, hingga setelah upacara usai digelar.

Dalam proses upacara perkawinan pada masyarakat Melayu Deli

Serdang terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui oleh calon pengantin

(Damanik repository.usu.ac.id). Tahapan-tahapan yang dimaksud adalah:

(33)

Merisik kecil adalah mengutus seorang atau dua orang datang ke keluarga gadis dengan maksud untuk ‘memata-matai’ keadaan seorang gadis.

Merisik biasanya dilakukan oleh orang dekat keluarga lelaki, seperti abang ayah kandungnya, atau paman pemuda tersebut. Merisik dilakukan secara tidak resmi, merisik dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi untuk

menghindari rasa malu bila pinangan dari pihak lelaki ditolak.

2. Jamu Sukat

Jamu sukat atau jamu sukut adalah pemberian sejumlah upah kepada penghulu telangkai atas jerih payahnya dalam melaksanakan tugasnya untuk

menyukseskan proses upacara perkawinan mulai dari awal hingga akhir.

3. Risik Besar

Tujuan merisik besar adalah untuk memastikan bahwa gadis yang diminati oleh seorang lelaki atau pemuda masih ‘sendiri’. Ini penting, karena

dalam Islam seseorang dilarang meminang tunangan orang lain. Di samping

itu, adat ini juga bertujuan untuk menyelidiki latar belakang si gadis, baik

yang berkaitan kemahiran dalam mengurus rumah tangga, adab, sopan-santun,

tingkah laku, paras rupa serta pengetahuan agamanya.

4. Meminang

Setelah diketahui bahwa gadis tersebut masih sendiri, pihak keluarga

lelaki akan menetapkan hari peminangan. Urusan peminangan akan dilakukan

(34)

menyatakan tujuan mereka yang sebenarnya secara resmi. Pihak calon

pengantin laki-laki dipimpin oleh orang-orang tua yang berpengalaman dan

telah berumah tangga. (Sinar, 1994: 65) Pada acara tersebut kedua belah

pihak keluarga akan berunding untuk menetapkan tanggal pertunangan. Di

samping itu, perbincangan juga membahas hantaran dan jumlah rombongan

yang akan datang untuk upacara bertunangan. Hal ini dilakukan untuk

mempermudah persiapan yang akan dilakukan oleh pihak perempuan.

5. Ikat Janji

Ikat janji adalah acara pengambilan keputusan untuk dibuat sebagai

pengikat janji. Isi dari ikat janji itu antara lain :

a. Berapa besar uang antaran,

b. Berapa besarnya untuk biaya peralatan pengantin perempuan,

c. Ikat tanda (biasanya rantai atau cincin),

d. Pada hari pernikahan berlangsung, sejumlah uang harus disiapkan,

seperti untuk uang buka hempang pintu, dan sebagainya.

6. Akad Nikah

Akad nikah merupakan satu acara paling penting dalam perkawinan

masyarakat Melayu yang rata-ratanya beragama Islam. Akad nikah bukanlah

merupakan adat, tetapi, lebih kepada ajaran agama dan merupakan puncak

kesahihan perkawinan. Akad nikah dijalankan setelah semua perjanjian yang

disepakati telah dilaksanakan oleh pihak lelaki. Perjanjian yang dimaksud

(35)

nikah, ayah si gadislah yang paling utama untuk menikahkan anaknya.

Namun, akad nikah ini dapat diwakilkan kepada wali.

7. MalamBerinai Curi

Malam sebelum nikah dilakukan berinai, yaitu pada ujung jari tangan,

kuku-kuku dan kaki dibungkus dengan inai (pacar). Inai adalah daun dari

sejenis tumbuhan, ditumbuk halus dan dapat mengeluarkan warna merah.

8. Malam Berinai Kecil

Di dalam berinai ini calon pengantin dihiasi sesuai menurut pakaian perkawinan yaitu laki-laki pakai tengkuluk dan sebagainya, sedangkan

pengantin perempuan memakai tudung, semuanya di atas pelaminan

masing-masing dan dihadapan sanak famili. Setiap orang yang menepung tawari

mencalitkan sedikit inai ke tapak tangan calon pengantin dan nanti jika di

kamar barulah diadakan inai yang sebenarnya.

9. Malam Berinai Besar,

Sebelum berinai besar pihak perempuan mengantar inai kepada pihak pengantin laki-laki. Di dalam berinai besar itu oleh pihak calon pengantin, dipanggilah seluruh keluarga. Biasanya pada malam berinai besar

juga diadakan pesta berinai, dimeriahkan dengan bunyi-bunyian dan

tari-tarian. Dewasa ini demi efisiensi biaya, upacara berinai yang dilaksanakan

(36)

Gambar 2.1 Malam Berinai Pada Pengantin Adat Melayu Langkat

10.Mengantar Pengantin Laki-laki,

Mengantar pengantin laki-laki adalah upacara mengiringi pengantin laki-laki dari rumahnya menuju rumah pengantin perempuan. Orang yang

mengantar pengantin laki-laki adalah orang tua dan keluarga dekat si

pengantin laki-laki.

11.Hempang Pintu,

Hempang pintu adalah dua pria (pemuda) berdiri di kiri dan kanan pintu, masing-masing memegang ujung kain panjang yang direntangkan.

Maksud dan tujuan pihak keluarga pengantin perempuan menghadang

pengantin laki-laki di depan pintu adalah untuk meminta sesuatu sebagai

(37)

Gambar 2.2 Hempang Pintu pada adat perkawinan Melayu Langkat

12.Bersanding,

Bersanding adalah acara dimana pengantin laki-laki dan perempuan duduk bersanding dipelaminan. Pada acara ini kedua pengantin duduk

dipelaminan ibarat seorang pangeran dan permaisuri sehari. Kedua pengantin

dihias sehingga tampak gagah dan cantik mempesona.

13.Tepung Tawar

Makna tepung tawar adalah memberikan doa restu bagi kedua

pengantin dan seluruh keluarganya agar mendapat kebahagiaan, keselamatan,

dan kesejahteraan, di samping itu tepung tawar juga dimaksudkan sebagai simbol penolakan terhadap segala bala dan gangguan yang mungkin

diterimanya kelak. Jadi, upacara tepung tawar bermakna sebagai doa dan

pengharapan. Tepung tawar juga dimaknai sebagai penawar, supaya hidup

tidak bertengkar, wabah penyakit tidak menular, semua urusan jadi lancar.

(38)

Gambar 2.3 Tepung Tawar pada adat perkawinan Melayu Langkat

14.Makan Nasi Hadap-hadapan,

Upacara makan nasi hadap-hadapan dihadiri oleh perempuan saja dari kedua belah pihak keluarga pengantin, sedangkan laki-laki tidak boleh

ikut serta. Kedua pengantin dibawa ke suatu ruangan atau di depan pelaminan

yang sudah terhidang nasi hadap-hadapan lengkap dengan lauk-pauk, dan

kue.

Apabila suami mendapat kepala ayam panggang melambangkan

seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan apabila istrinya mendapat

paha ayam melambangkan sebagai seorang ibu yang akan memberikan

keturunan. Acara makan nasi hadaphadapan mengandung arti cinta kasih

(39)

Gambar 2.4 Hidangan pada Upacara Makan Nasi Hadap-hadapan

15.SerahTerima Pengantin Laki-laki Kepada Keluarga Pengantin Perempuan,

Serah terima pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan adalah acara yang diadakan untuk melepaskan pengantin laki-laki dari keluarganya sendiri dan diantar untuk menjadi bagian dari keluarga

pengantin perempuan. Acara ini biasanya juga diisi dengan nasehat- nasehat

kepada kedua pengantin, dan sekaligus menyampaikan harapan kepada

keluarga pengantin perempuan agar dapat menerima si pengantin laki-laki

dengan baik.

16.Mandi Berdimbar,

Mandi berdimbar adalah mandi yang dilakukan pengantin dengan menggunakan campuran air, bunga, dan beberapa bahan lainnya. Pada mandi

berdimbar ini kadang-kadang terlebih dahulu dilakukan upacara memukul

pelepah mayang, memecah telur, kelapa muda, dan mandi bersembur-

(40)

siraman air mandi berdibar, bagi para pemuda atau gadis, dipercaya akan

cepat mendapat jodoh. (Hariani, informan).

17.Sembah Keliling,

Acara sembah keliling adalah acara bersalaman dengan orang- orang tua dan segenap keluarga, baik keluarga pria maupaun keluarga wanita atau

dalam adat Jawa acara ini disebut dengan istilah sungkeman yang bertujuan untuk mohon restu dan doa dari segenap keluarga yang ada.

18.Naik Halangan(Lepas Pantang),

Beberapa hari setelah malam bersatu diedarkanlah dalam kain putih

bersih “tanda kegadisan”(perawan) sang istri kepada mertua perempuan dan

wanita-wanita lain sebagai bukti.

19.Meminjam Kedua Pengantin oleh Pihak Keluarga Laki-Laki Kepada Pihak Keluarga Perempuan,

Meminjam kedua pengantin oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan adalah upacara ditentukannya hari dimana kedua pengantin dipinjamkan kepada keluarga anak beru laki-laki untuk diadakan perayaan di rumah keluarga laki-laki. Kedua pengantin dijemput oleh anak beru (baik pria maupun wanita).

(41)

Memulangkan Kedua Pengantin Kembali Oleh Pihak Keluarga Laki-laki Kepada Pihak Keluarga Pengantin Perempuan adalah setelah tiga malam atau lamanya sesuai menurut perjanjian, maka kedua mempelai, baru

diantarkan kembali ke rumah orang tua pengantin perempuan, diiringi para

anak beru sebagai mana mereka menjemput dahulu. Pengantin perempuan biasanya menerima hadiah dari mertua berupa pakaian lengkap, piring, dan

mangkuk.

21.Pengantin Pindah Ke Rumah Sendiri.

Pengantin Pindah Ke Rumah Sendiri adalah acara dimana seorang laki-laki atau seorang suami membawa istri atau keluarganya ke rumah

mereka sendiri. Menurut adat dahulu, pengantin laki-laki berdiam diri atau

tinggal menetap di rumah mertuanya kira-kira selama dua tahun lamanya.

Setelah itu baru laki-laki tersebut dapat membawa istrinya pindah ke

rumahnya sendiri.

2.2. Kajian Teoretis

2.2.1. Semantik Kognitif

Kognitivisme merupakan bagian dari linguistik yang berdasar pada

pandangan tradisional tentang arah hubungan sebab akibat antara bahasa dan

pikiran (Lyons 1995: 97) dikutip dari

(tanggal 21-03-2013 pukul 14.25). Dapat dikatakan bahwa semantik kognitif

merupakan istilah yang mengacu pada studi tentang makna yang dikaitkan

(42)

Semantik (Inggris: semantic) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang bermakna “tanda” “atau lambang”. Para ahli bahasa memberikan

pengertian semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan

antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang

ditandainya (makna) (lihat Hikmah, 2011:33). Chaer (1995:2) mengatakan “

semantik adalah sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu

dari tiga tatanan analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.” Dari

pengertian di atas, semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara

tanda lingustik dengan hal yang ditandainya atau ilmu yang mempelajari

makna atau arti dalam setiap bahasa atau kalimat yang diucapkan oleh

manusia.

Dalam tesis ini, semantik yang berhubungan erat dengan eufemisme

Bahasa Melayu Langkat diteliti maknanya. Karena semantik kognitif

membahas makna kata atau kalimat berdasarkan pada pikiran manusia.

Eufemisme berhubungan dengan ungkapan kata atau kalimat, sehingga

eufemisme tidak dapat dipisahkan dengan semantik kognitif karena terdapat

struktur kognitif dalam eufemisme. Makna eufemisme akan didapat setelah

melalui penafsiran terhadap suatu ujaran yang diucapkan. Berdasarkan

penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa semantik adalah subdisiplin

linguistik yang membicarakan makna. Dengan kata lain semantik

berobjekkan makna.

Penganut semantik kognitif berpendapat bahwa kita tidak memiliki

akses langsung terhadap realitas, dan oleh karena itu, realitas sebagaimana

(43)

pengalaman dan tingkah laku mereka yang berkembang. Makna juga

merupakan struktur konseptual yang konvensionalisasi. Menurut penganut

semantik kognitif proses konseptualisasi sangat dipengaruhi oleh metafora

sebagai cara manusia dalam memahami dan membicarakan dunia. Semantik

kognitif menguraikan makna dengan berpadukan kepada sistem kognitif

menyamakan makna dengan konsep.

2.2.2 Eufemisme

Untuk menjawab masalah penelitian ini digunakan teori eufemisme

yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge, dalam buku mereka yang

berjudul Euphemism and Dysphemism, Language Used as Shield and Weapon

(1991: 14). Allan dan Burridge menjelaskan eufemisme sebagai berikut:

In short Euphemism are alternatives to disprefered, and are used in order to avoid possible loss of face. The disprefered expression may be taboo, fearsome, distasteful or for some other reason have too many negative connotations to felicitously execute speaker’s communicative intention on given occasion.

Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa eufemisme

adalah cara lain dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak berkenan dan

digunakan untuk menghindari rasa malu. Bentuk ungkapan yang tidak

berkenan itu dapat berupa tabu, rasa takut, tidak disenangi, atau alasan lain

yang berkonotasi negatif untuk dipergunakan dengan tujuan berkomunikasi

oleh penutur dalam situasi tertentu. Selain teori yang disampaikan oleh Allan

dan Burridge, beberapa pendapat dari para ahli tentang eufemisme

(44)

1. Eufemisme berasal dari kata Yunani, eu yang berarti bagus dan phemeoo yang berarti berbicara. Eufemisme adalah semacam acuan berupa

ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang atau

ungkapan-ungkapan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau

menyugesti sesuatu yang tidak menyenangkan.

Contoh : Para pahlawan telah gugur di medan juang (mati) Maaf saya hendak ke belakang sebentar (ke toilet)

Wanita itu adalah teman hidupnya selama ini (istri) (Keraf,

996:132).

2. Eufemisme atau eufemia adalah suatu gejala bahasa yang bersifat

memperhalus atau mempersopan. Kata tertentu diganti dengan kata lain

yang dianggap lebih mengacu kepada makna kata yang lebih halus atau

sopan (Badudu, 1991:96).

3. Eufemisme adalah pemakaian kata atau bentuk lain untuk menghindari

bentuk larangan atau tabu (Kridalaksana, 1982:42).

4. Eufemisme kata atau frasa yang menggantikan satu kata tabu atau yang

digunakan sebagai upaya menghindari hal-hal yang menakutkan dan

kurang menyenangkan (Fromkin dan Rodman dalam Ohuiwuton, 1997:

96).

Penggunaan eufemisme lazim dipakai dalam komunikasi sehari-hari

oleh masyarakat Melayu Langkat. Eufemisme juga kerap digunakan pada

upacara adat, baik dalam tuturan, pepatah, maupun pantun. (Sutarno dalam

Faridah: 2002) membagi tiga jenis eufemisme, yakni kategori baik, buruk,

(45)

Eufemisme berkategori baik, berhubungan dengan sopan-santun,

misalnya, untuk menyatakan orang cerdik-pandai, digunakan tuturan, kami dengar datuk orang arif orang bijaksana , tahu dikias diumpama. Ungkapan ini biasanya digunakan pada acara adat perkawinan masyarakat Melayu

Langkat, mungkin juga dipakai daerah lain. Eufemisme berkategori buruk

yaitu eufemisme yang memanipulasi makna sebenarnya dan bersifat politis.

Contoh :

rakyat miskin rakyat prasejahtera rakyat kelaparan rakyat rawan pangan

Kategori yang ketiga yaitu, manipulasi kenyataan. Contoh orang yang mencuri

uang negara dengan jumlah yang sangat banyak, tidak disebut pencuri atau

perampok tetapi disebut koruptor.

Berdasarkan uraian di atas penggunaan eufemisme pada upacara adat

Melayu Langkat sesuai dengan teori para ahli eufemisme, yaitu untuk

memperhalus bahasa dan menghindari kata yang tidak sopan. Penggunaan

eufemisme pada upacara adat Melayu Langkat, apabila merujuk pendapat

Sutarno dikategorikan sebagai eufemisme baik.

Pada pembahasan di awal telah disinggung beberapa pengertian

eufemisme berdasarkan beberapa ahli. Berdasarkan definisi tersebut dapat

disimpulkan bahwa eufemisme adalah perkataan yang baik yang dapat

menyenangkan orang lain dan memberi kesan santun, tidak terdengar kasar.

Penggunaan eufemisme sendiri sesungguhnya untuk menghindari tabu atau

tidak santun. Memang kerap terjadi kerancuan di masyarakat berkaitan batasan

(46)

dianggap tidak sopan atau tabu, namun di masyarakat lain, kata itu bisa tidak

memiliki makna tabu. Namun, kebanyakan kata yang berbau seks atau bagian

anggota tubuh yang biasanya ditutupi dianggap tabu bila diucapkan di tempat

umum.

Eufemisme belum tentu untuk menggantikan kata yang bermakna

tabu. Namun, eufemisme lebih berhubungan dengan konsep budaya yang

dianut oleh sekelompok masyarakat. Allan dan Burridge (1991:12) membagi

eufemisme ke dalam hal- hal berikut:

1. bagian tubuh (body parts);

2. fungsi tubuh (bodily function); 3. seks (sex);

4. ketidakberterimaan (Disapproval);

5. kemarahan (anger); 6. kebencian ( hate);

7. penyakit (desease); 8. kematian (death);

9. ketakutan (fear);

10.ihwal Tuhan (God);

11.nafsu (lust).

2.2.3 Tipe Eufemisme

Allan dan Burridge (1991:14), memberikan beberapa tipe eufemisme,

(47)

NO TIPE EUFEMISME CONTOH

1 ungkapan figuratif (figurative expressions)

B.Ind : ‘Tempat air yang menakjupkan dengan mulutnya menghadap ke bawah = kemaluan wanita’

3 plipansi (Flippancy) B.Ing : Kick the bucket = die

B.Ind : ‘Menendang ember = meninggal’

4 memodelkan kembali

(remodeling)

B.Ing : Basket = bastard

B.Ind : ‘Keranjang = bajingan’

5 sirkumlokasi (circumlocutions) B.Ing : Solid human waste = feces.

B.Ind : ‘Kotoran manusia padat = tahi’

6 memendekkan (clipping) B.Ing : jeeze = jesus

10 satu kata menggantikan kata yang lain (one for substitutions)

B.Ing : bottom = ass

12 sebagian untuk keseluruhan (a part for whole)

(48)

B.Ind : ‘Menghabiskan uang satu sen = ke kamar kecil’

13 melebih-lebihkan (hyperbole) B.Ing : Personal assistant to the Secretary = cook

B.Ind : ’Pembantu pribadi sekretaris = Koki’

4 makna di luar pernyataan

(understatement)

B.Ing : genital, bulogate = thing

B.Ind : bisa apa saja seperti alat kelamin, kasus = sesuatu

15 Jargon B.Ing : Feces = shit

B.Ind :’ Kotoran (istilah medis)= tahi’

16 kolokial (colloquial) B.Ing : Period = menstruation

B.Ind : Periode = ‘menstruasi’

Berikut ini contoh penggunaan eufemisme yang terdapat pada tuturan

masyarakat Melayu di Kabupaten Langkat.

1. Terimalah jike ade lelaki yang ingin mengambilmu sebagai teman hidup!

2. Berape tebal amplop engko siapkan untuk test PNS?

Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa, kata teman hidup

bermakna perempuan yang telah dinikahi oleh lelaki. Teman hidup ini digunakan untuk memperhalus kata yang bermakna istri atau bini. Kata

amplop bermakna tempat atau kemasan untuk di isi surat atau uang untuk dikirim kepada orang lain. Kata amplop pada kalimat di atas, digunakan

untuk memperhalus makna kata yang maksudnya sebagaiuang suap”. Kata

(49)

Eufemisme dalam masyarakat fungsi utamanya adalah untuk

menghindari tabu atau tidak santun pada saat berkomunikasi. Tabu adalah

suatu bentuk larangan yang tidak tertulis, untuk tidak menggunakan kata

tertentu yang dianggap tidak pantas di tengah-tengah masyarakat. Kata yang

termasuk tabu biasanya sesuatu yang berbau seks, yang berhubungan dengan

bagian tubuh yang harus ditutupi, menujukkan sesusatu yang menjijikkan,

kotor atau kasar. Kebiasaan masyarakat Melayu dalam menyampaikan

sesuatu yang berhubungan dengan rasa suka, benci, kaya, pintar, dan penyakit,

juga tidak disampaikan secara terus terang, tetapi menggunakan kata kiasan

untuk menghindari tabu.

2.2.4 Kerangka Teori yang Digunakan

Penelitian ini berpijak pada kajian semantik kognitif. Semantik

kognitif membahas makna kata atau kalimat berdasarkan pikiran manusia.

Eufemisme merupakan bagian dari semantik kognitif karena makna

eufemisme didapat setelah melalui penafsiran terhadap suatu ujaran sehingga

eufemisme tidak dapat dipisahkan dengan semantik kognitif.

Teori eufemisme dipakai untuk menentukan jenis tipe eufemisme

yang terkandung dalam isi ungkapan pada upacara adat perkawinan

masyarakat Melayu Langkat. Pendekatan kajian eufemisme memberi

sumbangan terhadap kajian kearifan lokal pada upacara adat perkawinan

(50)

2.3. Tinjauan Pustaka

2.3.1. Penelitian Terdahulu

Kajian eufemisme telah diteliti sebelumnya oleh Faridah (2002),

dalam penelitiannya yang berjudul Eufemisme dalam Bahasa Melayu Deli Serdang. Teori yang digunakan pada penelitiannya adalah teori eufemisme oleh Allan dan Burridge. Pada kajiannya Farida mengkaji berbagai tipe, fungsi,

dan makna eufemisme, untuk penyajian data penelitiannya menggunakan

metode cakap atau wawancara. Dalam mengidentifikasi dan mengelompokan

tipe-tipe eufemisme digunakan metode agih. Sedangkan untuk menganalisis

fungsi dan makna digunakan metode padan. Sumber data dalam penelitiannya

menggunakan data tulis dan data lisan. Hasil dari penelitiannya, ditemukan

enam tipe eufemisme dan empat fungsi eufemisme dalam bahasa Melayu Deli

Serdang. Tipe eufemisme yang ditemukannya antara lain: (1) ekspresi figuratif,

(2) Metafora, (3) Satu kata untuk menggantikan kata lain, (4) Umum ke

khusus, (5) Hiperbola, (6) Kolokial. Sedangkan fungsi eufemisme yang beliau

temukan antara lain: (a) sapaan, (b) menghindari tabu, (c) menyatakan cara,

dan (d) menyatakan situasi. Penelitian beliau memberi kontribusi terhadap

penelitian ini adalah dalam hal penggunaan teori. Pada penelitian ini juga

digunakan teori eufemisme yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge, untuk

menemukan tipe eufemisme dalam upacara adat perkawinan masyarakat

Melayu Langkat.

Anita Purba (dalam Tia dan Dardannila 2008), dalam penelitiannya

(51)

Allan dan Burridge (1991) sebagai sumber acuan untuk mencari bentuk dan

fungsi eufemisme, tetapi tidak membicarakan makna eufemisme. Ada dua

belas bentuk dan fungsi eufemisme dari hasil penelitian yang dilakukan oleh

Anita Purba antara lain: (1) ekspresi figuratif, (2) metafora, (3) sirkumlokusi,

(4) kliping, (5) pelesapan, (6) satu kata untuk menggantikan kata yang lain, (7)

umum ke khusus, (8) hiperbola, (9) pernyataan yang tidak lengkap, (10)

kolokial, (11) remodel, dan (12) sebagian untuk semua. Fungsi eufemisme

dalam bahasa Simalungun, berhubungan dengan sapaan atau penamaan dan

menghindari tabu. Penelitian beliau memberi kontribusi terutama sekali pada

bagaimana menentukan tipe yang termasuk dalam kelompok tertentu, dari

tipe-tipe yang dikemukakan oleh Allan dan Buridge.

Widya Andayani (2005), tesisnya berjudul Upacara PerkawinanAdat Jawa Nemokke di Medan : Suatu Kajian Sosiolinguistik. Nemokke adalah upacara perkawinana adat Jawa yang berisi nasihat terhadap pengantin.

Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan tipe-tipe dan fungsi

eufemisme, dalam kalimat dan ungkapan beserta pola sosiolinguistik yang

tergambar pada upacara nemokke. Dalam penelitiannya, data diperoleh melalui

wawancara dengan informan yang merupakan ahli dalam adat Jawa, khususnya

ahli nemokke dalam upacara adat perkawinan Jawa. Dari hasil penelitiannya ditemukan 4 tipe eufemisme, antara lain: (1) metapora, (2) satu kata

menggantikan kata yang lain, (3) hiperbola, (4) ungkapan figurative. Selain

tipe, dalam penelitiannya ditemukan juga fungsi eufemisme yaitu sebagai

sapaan dan menghindari tabu. Berdasarkan pola sosiolinguistiknya, ahli

(52)

lebih bervariasi dalam menyampaikan nasihat. Penelitiannya memberi inspirasi

dalam menentukan kriteria informan yang akan dijadikan nara sumber. Pada

Penelitiannya, perbedaan usia ternyata menentukan frekwensi penggunaan

eufemisme. Nara sumber yang usianya lebih tua ternyata menggunakan lebih

banyak dan lebih bervariasi dari nara sumber yang berusia lebih muda.

Selain itu Tia Rubby dan Dardanila (2007), dalam Penelitian mereka

yang berjudul Eufemisme pada Harian Seputar Indonesia Penelitian ini membicarakan bentuk eufemisme dan frekwensi penggunaannya pada surat

kabar Harian Seputar Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode observasi,

yang dilakukan mulai bulan Juli sampai dengan Agustus 2007. Untuk

menganalisis data, digunakan metode deskriptif dengan teknik membaca. Dalam

penelitian Tia dan Dardanila tersebut, ditemukan tujuh bentuk eufemisme yang

muncul, yaitu: (1) ekspresi figuratif (2) Flipasi, (3) kata yang satu menggantikan

kata yang lain (4) singkatan (5) satu kata menggantikan kata yang lain, (6)

umum ke khusus, (7) hiperbola. Bentuk yang sering muncul (dominan) pada

penelitaian mereka adalah satu kata menggantikan kata yang lain sebanyak 40%.

Pada penelitian mereka memberikan masukan dalam hal penggunaan teori.

Mereka menggunakan teori yang sama dengan penelitian ini, yaitu

menggunakan teori eufemisme yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge.

Teori Allan dan Buridge membantu dalam mengklasifikasi jenis atau tipe

eufemisme yang ditemukan dalam penelitian.

(53)

(BMS), yaitu bagaimana makna emotif yang terdapat dalam pepatah

berdasarkan pada emosi dasar Melayu, menemukan makan tersirat dalam

pepatah, dan menelaah makna emotif BMS yang dituturkan oleh

Masyarakat Melayu Serdang (MMS) di daerah Pantai Cermin.

Teori yang digunakan adalah teori semantik kognitif. Teori ini

berhubungan dengan emosi dan pikiran. Teori semantik yang digunakan untuk

menelaah emosi digunakan perangkat fonetik, perangkat leksikal, dan

perangkat sintaksis. Sumber data yang digunakan adalah emosi dasar Melayu

Serdang, dan pepatah BMS. Data diambil melalui instrumen penelitian dan

rekaman suara informan. Data diolah dan dianlisis dengan metode kualitataif

deskriptif.

Hasil analisis makna emotif berdasarkan pada emosi dasar Melayu

dan perangkat emotif, diperoleh makna emotif senang ada 39, sedeh ada 13,

marah ada 22, benci ada 4,malu ada 6, takut ada 5, dan bosan ada 6 pepatah.

Perangkat emotif fonetik ada 16, perangkat leksikal ada 93, dan perangkat

sintaksis ada 29 pepatah. Makna emotif dalam pepatah BMS mempengaruhi

sikap, karakter, dan cara berbicara seseorang dalam kehidupan.

Dari uraian hasil penelitian terdahulu tentang eufemisme, maupun hal

yang berhubungan dengan bahasa Melayu di atas dapat dilihat bahwa, kajian

tersebut sangat relevan untuk melengkapi tesis ini karena banyak mengulas

tentang tipe maupun makna kata, kelompok kata, atau kalimat yang berkaitan

dengan eufemisme. Sedangkan tesis ini sendiri mengkaji tentang eufemisme

(54)

Perbedaan penelitian ini dari penelitian sebelumnya adalah bahwa

penelitian ini mengkhususkan kajian pada penggunaan eufemisme dalam

upacara perkawinan masyarakat Melayu di kabupaten Langkat. Pada penelitian

ini juga digali dan diupayakan untuk menenemukan kearifan lokal yang pada

gilirannya dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembentukan karakter bangsa,

sehingga cita-cita bangsa untuk menjadi bangsa yang aman dan sejahtetra dapat

(55)

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1. Sejarah Ringkas Pemerintahan Kabupaten Langkat

A.Masa Pemerintahan Belanda dan Jepang

Pada masa pemerintahan Belanda, Kabupaten Langkat berstatus

keresidenan dan kesultanan (kerajaan) dengan pimpinan pemerintahan yang

disebut residen dan berkedudukan di Binjai. Residen mempunyai wewenang

mendampingi Sultan Langkat di bidang penanganan orang-orang asing saja,

sedangkan orang-orang asli (pribumi) berada di bawah penangan pemerintah

Kesultanan Langkat. Kesultanan Langkat berturut-turut dijabat oleh:

1. Sultan Haji Musa Almahadamsyah (1805-1892)

2. Sultan Tengku Abdul Aziz Abdul Jalik Rakhmatsyah (1893-1927)

3. Sultan Mahmud (1927-1945/46)

(Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat 2011)

Di bawah pemerintahan kesultanan dan assisten residen struktur

pemerintahan disebut Luhak, di bawah luhak disebut Kejuruan (raja kecil) dan

distrik, secara berjenjang disebut Penghulu Balai (raja kecil karo) yang berada

di desa. Pemerintahan luhak dipimpin oleh seorang pangeran atau anak raja,

pemerintahan kejuruan dipimpin oleh seorang Datuk, Pemerintahan Distrik

dipimpin oleh seorang kepala distrik, dan untuk jabatan kepala kejuruan/datuk

harus dipegang oleh penduduk asli yang pernah menjadi raja di daerahnya.

(56)

1. Luhak Langkat Hulu, yang berkedudukan di Binjai dipimpin oleh Tengku

Pangeran Adil. Wilayah ini terdiri dari 3 kejuruan (sekarang dikenal

dengan sebutan kecamatan) dan dua distrik yaitu :

1.1 Kejuruan Selesai

1.2 Kejuruan Bahorok

1.3 Kejuruan Sei Bingai

1.4 Distrik Kwala

1.5 Distrik Salapian

2. Luhak Langkat Hilir, yang berkedudukan di Tanjung Pura, dipimpin oleh

Pangeran Tengku Jambak/Tengku Pangeran Ahmad. Wilayah ini

mempunyai 2 (dua) kejuruan dan 4 (empat) distrik yaitu:

2.1 Kejuruan Stabat

2.2 Kejuruan Bingei

2.3 Kejuruan Secanggang

2.4 Kejuruan Padang Tualang

2.5 Distrik Cempa

2.6 Distrik Pantai Cermin

3. Luhak Teluk Haru, berkedudukan di Pangkalan Brandan dipimpin oleh

Pangeran Tumenggung (Tengku Jakfar). Wilayah ini terdiri dari satu

kejuruan dan dua distrik.

3.1 Kejuruan Besitang meliputi Langkat Tamiang dan Salahaji.

3.2 Distrik Pulau Kampai

3.3 Distrik Sei Lepan

Gambar

Gambar 2.1   Malam Berinai Pada Pengantin Adat Melayu Langkat
Gambar 2.2  Hempang Pintu pada adat perkawinan Melayu Langkat
Gambar 2.3  Tepung Tawar pada adat perkawinan Melayu Langkat
Gambar 2.4 Hidangan pada Upacara Makan Nasi Hadap-hadapan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mendeskripsikan tipe-tipe, fungsi, dan makna eufemisme pada tuturan perkawinan masyarakat Batak Toba.. Data yang digunakan adalah data lisan dan

Widya Andayani : Eufemisme dalam upacara perkawainan adat jawa nemokke di Medan, 2005 USU e-Repository © 2008... Widya Andayani : Eufemisme dalam upacara perkawainan adat jawa

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan makna simbolik tari Andun dalam upacara adat perkawinan pada masyarakat kecamatan Kota Manna Kabupaten Bengkulu

Hal ini yang membuat penulis tergerak untuk meneliti makna-makna yang terkandung pada upacara adat perkawinan masyarakat Mandailing agar kebudayaan tersebut dapat di

“Makna Kelong Salonreng Pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Ara Kabupaten Bulukumba : Kajian Semiotika.” Penelitian ini bertujuan menganalisis makna kelong Salonreng dalam

Wawancara dengan Bapak Abu Samah (telangkai) di kediaman beliau (di Desa Sei Limbat kecamatan Selesai kabupaten Langkat Sumatera utara) Tentang Eufemisme dalam Upacara Adat

Pada penelitian ini juga digunakan teori eufemisme yang dikemukakan oleh Allan dan Burridge, untuk menemukan tipe eufemisme dalam upacara adat perkawinan masyarakat Melayu

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan bahwa dalam upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Desa Pekaka, Kecamatan Lingga Timur, Kabupaten Lingga, tradisi