• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Eufemisme Pada

BAB V TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.5 Kearifan Lokal yang Terkandung Dalam Eufemisme Pada

Kearifan lokal (local wisdom) akhir-akhir ini menjadi pokok

perbincangan yang menarik di kalangan akademisi maupun pengamat karena eksistensinya yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan lokal

merupakan perwujudan dari nilai lokal (local value) dan norma budaya yang

dapat dimanfaatkan dalam menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat. Di samping itu, kearifan lokal juga terbukti mampu menjamin harmonisasi dan solidaritas sosial serta dipandang efektif dalam transformasi sosial. Kearifan

sosial tentu saja harus digali maknanya yang paling substansial dari tradisi

lokal (local tradition) dan kemudian secara selektif ditarik ke dalam nilai-nilai

keadaban. Dengan kata lain, tidak semua tradisi yang ada dapat dijadikan nilai keberadaban. Oleh karena itu, tidak semua tradisi lokal dapat dijadikan sumber kearifan lokal.

Masyarakat Melayu lekat dengan tradisi lisan. Pada setiap acara

hampir selalu dibuka dan ditutup dengan ungkapan berupa pepatah, gurindam, atau pantun. Salah satu acara adat Melayu yang di dalamnya banyak digunakan ungkapan adalah upacara adat perkawinan. Ungkapan digunakan untuk menyampaikan sesuatu secara tidak langsung karena budaya Melayu yang memang dikenal tidak suka berterus terang, lebih suka menahan diri dalam banyak hal. Secara umum orang Melayu menyukai perdamaian dan mempunyai sifat toleransi yang cukup tinggi.

Berdasarkan temuan penelitian bahwa konsep orang melayu yang digambarkan tidak suka berterus terang, mempunyai toleransi yang tinggi, lebih suka menahan diri ternyata memang dapat dibuktikan. Konsep tersebut dapat terlihat pada lima jenis tipe eufemisme yang ditemukan dari enam situasi penelitian. Kelima tipe eufemisme tersebut adalah: (1) ungkapan figuratif, (2) satu kata menggantikan kata yang lain, (3) hiperbola, (4) sirkumlokasi, (5), metafora.

Ungkapan figuratif sesungguhnya adalah penyimpangan bahasa atau bahasa yang tidak standar, namun digunakan untuk mendapatkan efek tertentu, contohnya pengantin bersanding bagaikan raja. Pengantin pada ungkapan

diatas diibaratkan sebagai raja. Ungkapan ini dimaksudkan untuk memberikan penghargaan dan sekaligus marwa bagi kedua pengantin.

Satu kata menggantikan kata yang lain adalah suatu cara yang digunakan untuk menyampaikan ungkapan dengan menggunakan alternatif lain. Dengan menggunakan ungkapan alternatif yang lain diharapkan akan memberi kesan yang berbeda pula. Contoh ungkapan tersebut inilah kunci dua serangkap kunci dua serangkap pada ungkapan tersebut digunakan untuk menggantikan kata syarat.

Hiperbola merupakan bagian dari eufemisme yang memiliki ciri khas tersendiri. Suatu ungkapan dikategorikan hiperbola apabila makna kata atau kalimat dirasa berlebih-lebihan atau terlalu dibesar-besarkan. Makna yang dibesar-besarkan dapat dilihat pada contoh, ke atas tercium harum langit. Pada ungkapan tersebut dapat dirasakan bahwa ungkapan tersebut memiliki makna yang terlalu dibesar-besarkan.

Sirkumlokasi merupakan ungkapan yang dianggap bertele-tele dalam menyampaikan maksudnya. Ungkapan ini meskipun dianggap bertele-tele namun seungguhnya ungkapan ini dimaksudkan untuk memberi kesan yang dalam kepada pendengar atau lawan bicaranya. Contoh ungkapan ini atas berkenan bapak-bapak/ibu-ibu/tuan-tuan/dan puan-puan yang telah datang meringankan langkah memenuhi jemputan majelis ini.

Metafora merupakan ungkapan kebahasaan yang menyatakan satu hal, tetapi yang dimakud hal lain. Maksud ungkapan metafora sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan jenis tipe eufemisme yang lain, yaitu menghendaki agar bahasa atau ungkapan yang digunakan memiliki nilai rasa yang berbeda

sehingga dapat diterima lebih dalam oleh lawan bicara. Contoh ungkapan metafora yaitu darah baru setampuk pinang. Ungkapan ini digunakan untuk menggambarkan bahwa orang yang dimaksud masih muda dan belum banyak pengalaman dalam hidup.

Nilai-nilai dan sikap kearifan lokal baik yang berasal dari upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat, maupun dalam tradisi bertutur yang mengandung eufemisme pada upacara adat perkawinan pada dasarnya merupakan bagian dari ajaran agama, khususnya agama Islam. Masyarakat Melayu Langkat yang berpedoman dengan agama dan adat hampir tidak dapat dipisahkan dengan ajaran Islam. Eufemime yang digunakan merupakan bagian dari sopan santun berbahasa. Sopan santun berbahasa atau akhlak dalam berbahasa merupakan hal yang mendapat perhatian penting dalam ajaran Islam. Seperti larangan berbicara kasar atau bersuara keras terhadap orang tua adalah sesuatu yang dilarang.

Eufemisme bukanlah milik dari etnis tertentu, namun eufemisme kerap dijumpai di dalam ungkapan pada bahasa Melayu. Eufemisme pada Bahasa Melayu memiliki makna, nilai dan kearifan lokal, tertetu terutama pada upacara kawinan Melayu Langkat. Nilai dan kearifan lokal yang dapat diambil diantaranya adalah sikap menghormati tamu, sikap menepati janji, sikap menghormati orang tua, dan sikap menghindari perselisihan.

5.51 Sikap Menghormati Tamu

Adat dalam upacara perkawinan masyarakat Melayu Langkat tidak dapat dipisahkan dengan interaksi antara keluarga kedua calon pasangan

pengantin. Interaksi atau silaturahmi terjadi antara kedua keluarga terjadi beberapa kali hingga upacara adat perkawinan berlangsung. Umumnya pihak yang datang bersilaturahmi berasal dari keluarga calon pengantin laki-laki. Sedangkan keluarga calon pengantin perempuan bertindak sebagai tuan rumah. Dalam silaturahmi tentu saja ada yang menjadi tamu dan ada yang menerima tamu. Dalam hal ini, tuan rumah biasanya menyambut tamu dengan suka cita dan penuh hormat menerima tamu mereka. Sesuai ungkapan masyarakat Melayu yang berbunyi “tamu adalah raja” merupakan bukti bahwa masyarakat Melayu sangat menghormati tamu. Menghormati tamu dalam ajaran Islam merupakan keutamaan.

Pada teks ungkapan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat, ditemukan sikap menghormati tamu yang datang, di antaranya:

Kami haturkan terima kasih yang tiade hingganya Atas berkenan Bapak-bapak/ Ibu-ibu/Tuan-tuan dan Puan-puan yang telah datang meringankan langkah Memenuhi jemputan majelis ini.

Berdasarkan teks di atas, terlihat dengan jelas betapa masyarakat Melayu Langkat sangat memuliakan tamu yang datang ke rumahnya. Hal ini dapat terlihat dari ungkapan “kami haturkan terima kasih yang tiade hingganya” yang memiliki makna bahwa tuan rumah sangat bahagia bahkan tersanjung atas kedatangan para tamunya. Di samping ungkapan di atas, di

temukan juga ungkapan yang memilki makna senada dengan ungkapan di atas, yaitu:

Kami terima dengan muka yang jernih Kami sambut dengan hati yang suci Kami tunggu dengan dada yang lapang

Pada ungkapan teks tersebut sangat jelas tergambar bahwa tuan rumah sungguh-sungguh ingin memperlihatkan kepada tamu yang datang, bahwa tuan rumah merasa iklas, terhormat, dan bahkan sangat berbahagia atas kedatangan tamunya.

5.5.2 Sikap Menepati Janji

Janji adalah utang. Ungkapan tersebut terasa tiak asing di telinga kita. Jika kita berjanji, maka harus membayar atau menepatinya. Masyarakat Melayu termasuk Melayu Langkat sangat memegang teguh konsep menepati janji. Orang yang suka ingkar janji atau tidak menepati janji biasanya akan mendapat sanksi sosial di dalam masyarakat. Orang tersebut akan akan dicap sebagai pendusta dan akan sulit mendapatkan kepercayaan lagi dari orang lain.

Dalam upacara adat perkawinan Melayu Langkat, konsep menepati janji bahkan menjadi bagian dari tahapan upacara pernikahan. Tahapan ini yang disebut ikat janji. Ikat janji yaitu suatu upacara yang diadakan di rumah calon pengantin wanita untuk menyepakati beberapa hal dengan keluarga calon pengantin laki-laki. Apabila salah satu pihak keluarga megingkari janji atau tidak menepati janji, maka kepada keluarga tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan kesepakatan. Biasanya bagi keluarga wanita bila melangar

maka harus mengembalikan semua pemberian dari keluarga laki-laki bahkan menurut informan, kadang ada juga yang dikenakan denda. Begitu juga sebaliknya, hal ini juga berlaku bagi pihak keluarga laki-laki bila mengingkari janji.

Di dalam teks ungkapan yang merupakan konsep menepati janji dapat dilihat sebagai berikut:

Hutang wajib dibayar, janji wajib ditepati Maka pada hari ini kami datang menepati janji Mengantar anak kami pengantin laki-laki

Untuk dipersandingkan dengan anak menantu kami

Berdasarkan teks ungkapan di atas hutang wajib dibayar, janji wajib ditepati merupakan sebuah pernyataan kesungguhan dalam menepati janji dari pihak keluarga laki-laki. Hutang wajib dibayar, janji wajib ditepati

adalah juga bukti ketegasan bagi pihak calon keluarga laki-laki karena kehormatan keluarga menjadi taruhannya. Apabila janji yang telah disepakati tidak dapat dipenuhi oleh keluarga laki-laki atau sebaliknya maka akan menjadi aib bagi keluarga masing-masing pihak. Di sisi lain, ungkapan maka pada hari ini kami datang menepati janji merupakan bukti dari kesungguhan keluarga calon mempelai laki-laki dalam menepati janjinya. Janji yang dulu diucapkan pada saat ikat janji telah dipenuhi hari ini.

Hutang tak boleh dianjak-anjak Hutang tak boleh dialih-alih Bila dianjak dia layu

Bila dialih dia mati

Hampir sama dengan ungkapan pada teks di atas, bahwa utang hendaknya harus segera dibayar atau ditepati. Ungkapan bila dianjak dia layu

maksudnya adalah utang jangan ditunda-tunda. Apabila ditunda dia layu

artinya secara metafosis tidak baik, apalagi sampai melupakan janji, hal ini lebih buruk lagi. Seperti pada ungkapan di atas bila dialih dia mati. Dialih

secara metafosis bermakna dilupakan, sedangkan mati dimaknai sesuatu yang lebih buruk atau lebih rendah dari layu.

5.5.3 Sikap Menghormati Orang Tua

Orang tua adalah orang yang paling utama sekali kita hormati. Bagi masyarakat Melayu Langkat orang tua bukan hanya sekedar orang yang telah melahirkan dan membesarkan anaknya, tetapi adalah orang yang sarat dengan ilmu dan pengalaman. Terlebih lagi masyarakat Melayu Langkat yang identik dengan agama Islam, ajaran Islam sangat menekankan sikap menghormati orang tua.

Sikap menghormati orang tua dapat dilihat pada upacara adat perkawinan masyarakat Melayu Langkat. Orang tua biasanya diberi tempat istimewa pada saat pelaksanaan upacara pernikahan. Sebelum pengantin duduk di pelaminan biasanya kedua pengantin harus ‘sujud’ sambil mencium tangan kedua orang tua dan juga kedua mertua pengantin. Selain itu, menghormati orang tua juga dapat dilihat pada acara tepung tawar. Tepung tawar biasanya dimulai dari orang tua terlebih dahulu, kemudian disusul oleh orang-orang yang lebih muda usianya.

Teks berikut menggambarkan konsep dalam menghormati orang tua kehidupan.

Minta nasehat kepada yang berpengalaman Yang banyak memakan asam dan garam Yang sudah menempuh onak dan duri

Ungkapan banyak memakan asam dan garam memiliki makna orang yang banyak pengalaman dalam kehidupan. Pengalaman adalah guru yang paling baik. Seseorang yang akan menempuh hidup baru atau akan menikah sepantasnya banyak menggali pengetahuan dan pengalaman kepada para orang tua yang sudah banyak diterpah gelombang laut kehidupan. Hal ini perlu dilakukan sebagai modal bagi calon pengantin untuk mengharungi bahtera rumah tangganya kelak.

5.5.4 Sikap Menghindari Perselisihan

Orang Melayu secara umum mempunyai sifat toleransi yang cukup tinggi dan lebih suka menghindari perselisihan. Oleh sebab itu, adakalanya kita lihat orang Melayu suka mengalah untuk mendapatkan nilai yang lebih tinggi yaitu perdamaian, persahabatan, keharmonisan, dan menghindari konflik. Sikap cinta damai dan menghindari konflik tergambar dalam ungkapan dalam upacara adat perkawinan Melayu Laangkat sebagai berikut.

Tepung tawar sudah dirinjis Sudah dibilas pula dengn do’a

Semoga berkekalan persaudaraan dua keluarga

Pada ungkapan teks di atas, dapat dilihat bahwa masyarakat Melayu lebih mendambakan kehidupan yang penuh dengan suasana relegius dan penuh kekeluargaan. Ungkapan semoga berkekalan persaudaraan dua keluarga ini menggambarkan cita-cita yang luhur atau harapan yang sangat mulia. Pernikahan atau perkawinaan selain menyatukan dua insan yang berlainan jenis, juga menyatukan dua keluarga hingga menjadi keluarga.

Dari ungkapan tersebut di atas tercermin sikap yang mulia, yaitu sikap ingin tetap menyatukan keluarga, agar utuh selamanya.

Dokumen terkait