• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN SINAMOT (UANG JUJUR) DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK TOBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEDUDUKAN SINAMOT (UANG JUJUR) DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK TOBA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN SINAMOT (UANG JUJUR) DALAM PERKAWINAN

MENURUT HUKUM ADAT BATAK TOBA

Maria Grace Delima, Afdol, Meliyana Yustikarini

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424 E-mail: gracesiagian@yahoo.com

Abstrak

Skripsi ini membahas tentang konsep sinamot (uang jujur) sebagai tuhor ni boru (“alat beli” anak perempuan) dalam perkawinan adat Batak Toba yang merupakan bentuk perkawinan jujur. Sejak zaman Si Jolo-jolo Tubu (nenek moyang) hingga masa kini, sinamot masih bersifat kontroversial. Bentuk sinamot yang dahulu merupakan benda yang magis dan bersifat kekal, kemudian seiring berjalannya waktu berubah menjadi bentuk binatang yang bernyawa, dan kini semua orang memaknai sinamot dengan sejumlah uang demi “membeli” seorang perempuan Batak. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-empiris dengan metode analisis data deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian menyarankan bahwa sinamot sebaiknya dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan (dan parboru/keluarga perempuan) yang akan menjadi milik paranak/keluarga laki-laki.

THE STATUS OF SINAMOT (BRIDE-PRICE) IN MARRIAGE UNDER

TOBA-BATAKNESE ADAT LAW

Abstract

This thesis discusses the concept of sinamot (bride-price) as tuhor ni boru (a symbolic act of “purchasing away” a Bataknese woman from her family) in Toba-Bataknese marriage custom which is a form of bride-price marriage. Sinamot has been a controversial issue since the time of Si Jolo-jolo Tubu (ancestors). In ancient times, sinamot took the form of a magical and eternal item; over time, it has also been interpreted into the form of animals and in modern times as a sum of money to symbolically “purchase” a Bataknese woman away from her family. This study uses a juridical-empirical approach with qualitative-descriptive data analysis method. The results of the study suggest that sinamot should be considered as a form to honor a woman (and parboru/woman family) that will be “owned” by paranak/man family.

Keywords: Sinamot; Adat Marriage; Toba-Bataknese Adat Law

Pendahuluan

Perkawinan bagi tiap-tiap orang atau kelompok orang memiliki makna dan tujuannya sendiri. Kebanyakan dari mereka sepakat bahwa Perkawinan adalah peristiwa yang esensial dan hakiki sebagai bagian dari perjalanan kehidupan. Bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk atau pluralistik1 dengan ragam etnis, budaya, dan agama; yang

  1 Masyarakat majemuk atau masyarakat plural atau pluralistik adalah masyarakat yang terdiri dari

pelbagai suku bangsa atau masyarakat yang berbhinneka, lihat Soerjono Soekanto (a), Hukum Adat Indonesia, cet.2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1983), hal. 12.

(2)

juga merefleksikan macam bentuk-bentuk perkawinan berikut nilai-nilai didalamnya secara berbeda.

Bangsa Indonesia yang merdeka didalam wadah Negara Republik Indonesia sudah berumur lebih dari setengah abad, namun demikian hingga kini Hukum Nasional Indonesia yang mengatur hubungan keluarga hanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dinyatakan berlaku bagi semua golongan dalam masyarakat Indonesia2. Menurut pasal 1 Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa:

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3

Undang-Undang tersebut tidak hanya menampung unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan dari hukum agama dan kepercayaan, tetapi juga memasukkan unsur-unsur Hukum Adat. Hukum Nasional Indonesia yang baru adalah hukum yang landasannya berpijak dari Hukum Adat, yaitu hukum rakyat Indonesia yang hidup, yang disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman dan tetap mempertahankan kepribadian bangsa dalam rangka menegakkan dan mewujudkan keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila.4

Unsur-unsur kejiwaan dalam Hukum Adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu untuk dimasukkan ke dalam lembaga-lembaga hukum baru, agar kiranya sesuai dengan prinsip keadilan dan rasa kesadaran hukum bangsa Indonesia. Salah satu sifat masyarakat adat yang sangat kental yaitu bahwa adanya prinsip kekerabatan yang sangat kuat diantara golongan mereka dan berdasarkan ikatan keturunan. Maka perkawinan merupakan suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah, dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Dengan demikian urusan perkawinan bukan hanya urusan pihak yang akan kawin tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak suami dan dari pihak isteri5. Oleh karena perkawinan merupakan urusan kerabat—dan sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat kita

  2  Ferthy Manurung, S.H., Kedudukan Hak Mewaris Janda Pada Masyarakat Perantauan di Kabupaten Cilacap Ditinjau Dari Hukum Waris Adat Batak, (Skripsi Magister Universitas Diponegoro, Semarang, 2006), hal. 1.

 

  3 Indonesia (a), Undang-Undang Perkawinan, UUP No. 1 Tahun 1974, Ps. 1.

4 Hilman Hadikusuma (a), Hukum Adat Dalam Yurisprudensi (Hukum Kekeluargaan, Perkawinan,

Pewarisan), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 5.  

(3)

beda—maka bentuk-bentuk perkawinan yang ada pada masyarakat berbeda-beda pula pada setiap sistem kekerabatan yang ada itu. Di kalangan masyarakat adat yang susunannya patrilineal,6 misalnya dianut bentuk perkawinan jujur, yaitu suatu bentuk perkawinan yang bertujuan secara konsekuen meneruskan keturunan dari pihak laki-laki7 yang dilakukan dengan pembayaran “jujur” dari pihak pria kepada pihak wanita. Dengan diterimanya uang atau barang jujur oleh pihak wanita, maka setelah perkawinan, si wanita akan mengalihkan kedudukannya dari keanggotaan kerabatnya menjadi masuk ke dalam keanggotaan kerabat suaminya.

Adapun sinamot diatas disebut sebagai tuhor atau “uang jujur”, namun berbeda bagi pemikiran Dr. Sabam Huldrick Wesley Sianipar, DL. (selanjutnya disebut SHW). Dalam bukunya Tuho Parngoluon Ruhut Ni Adat Poda Ni Uhum Pangalaho Ni Padan Dalihan Na Tolu, SHW memaparkan sejarah lahirnya sinamot dan makna sesungguhnya yang telah digariskan oleh Si Jolo-jolo Tubu (nenek moyang) untuk kehidupan masyarakat adat batak. Sinamot, menurut SHW, merupakan barang pegangan yang tidak akan hilang sepanjang zaman atau tanda telah terjadi parbagason (rumah tangga).8 Kata sinamot terdiri dari tiga bagian kata yaitu “si”, “na”, dan “mot”. “Si” sebagai awalan kata yang membuat kata sambungannya menjadi kata benda. Sedang kata “na” adalah kata penguat terhadap kata dasar yang menunjukkan sifat kata dasar itu. Kata “mot” artinya bertahan sampai akhir jaman atau tidak akan hilang baik oleh panas atau hujan atau oleh apapun. Karena itu, dahulu sinamot haruslah berupa barang atau benda, seperti hauma (sawah), perhiasan emas, atau

horbo (kerbau).9 Disamping itu, “mot” sendiri dalam bahasa Batak memiliki definisi yang

berarti baik atau kebaikan yang bertahan atau sifat baik yang bertahan lama. Jika ditambah akhiran –an; menjadi “motan”, artinya kepercayaan karena sifatnya yang baik itu. SHW melalui pengalamannya dalam sejarah adat batak, meyakini bahwa sesungguhnya sinamot dalam adat batak seharusnya bukanlah uang, akan tetapi barang atau benda (yang berharga dan dapat bertahan lama). SHW memaparkan bahwasannya hakekat sinamot sesuai adat Dalihan Na Tolu, haruslah berupa suatu barang atau benda yang berharga dan bersifat kekal,

  6 Masyarakat Patrilineal (kebapakan) yaitu masyarakat yang menarik garis keturunan dari pihak

laki-laki (ayah) saja, lihat Djaren Saragih, Hukum Perkawinan Adat dan Undang-Undang Tentang Perkawinan Serta Peraturan Pelaksanaanya, (Bandung: Penerbit Trasito, 1992), hal 2.    

   

  7 Ibid., hal. 3.

  8 Dr. Sabam Huldrick Wesley Sianipar, Tuho Parngoluon Ruhut Ni Adat Poda Ni Uhum Pangalaho Ni

Padan Dalihan Na Tolu, ed. 2, (Medan, 2001), hal. 288.

(4)

dan bukan merupakan uang yang dalam sedetik bisa hilang, karena dewasa ini masyarakat hukum adat Batak Toba dianggap tidak lagi mengerti makna sinamot secara mendalam dan yang kerap terjadi dalam era modern ini adalah sinamot selalu dikaitkan dengan tuhor atau uang jujur sebagai bagian dari perkawinan adat Batak. Bahkan, dalam praktiknya untuk menentukan jumlah sinamot dilakukan tawar menawar oleh pihak paranak (pihak kerabat pria) dengan parboru (pihak kerabat wanita), dimana sesuai kutipan diatas, SHW meyakini bahwa sesungguhnya berdasar adat Dalihan Na Tolu, sinamot tidak mengenal tawar-menawar, karena pada saat marpudun saut, kedua belah pihak hanya tinggal mengesahkan apa yang sudah didiskusikan dalam marhusip dan marhata sinamot10.

Bertolak belakang dari sudut pandang SHW, Helga Septiani Manik (selanjutnya disebut HSM) memaparkan hasil penelitiannya terkait sinamot dalam masyarakat adat Batak Toba. Dalam jurnalnya yang berjudul “Makna dan Fungsi Tradisi Sinamot dalam Adat Perkawinan Suku Bangsa Batak Toba di Perantauan Surabaya” oleh HSM dinyatakan bahwa pada umumnya masyarakat Batak Toba meyakini bahwa acara marhata sinamot adalah suatu transaksi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, tetapi harus diartikan sebagai biaya atau harga (cost) yang diperlukan untuk menciptakan sukacita bersama dalam mewujudkan suatu pesta perkawinan. Mereka akan membicarakan pertimbangan jumlah sinamot tadi kepada pihak perempuan. Batak Toba membuat interaksi dengan sesama kerabatnya untuk membangun hubungan sosial yang baik. Maka, berdasarkan penelitian HSM sinamot merupakan alat pembayaran sebagai biaya perkawinan yang diberikan dari pihak kerabat pria kepada pihak kerabat wanita, oleh karena menurutnya dalam adat Batak, untuk mendapatkan isteri memerlukan biaya (dalam konteks ini adalah uang).

Dengan demikian, jika ditarik garis merahnya bahwa bagaimanapun keyakinan dalam masyarakat adat Batak Toba akan bentuk sinamot itu sendiri, ada suatu paham yang sama dan seirama, dimana dalam suatu perkawinan adat Batak haruslah melalui satu tahapan penyerahan sinamot, yang memiliki akibat tertentu dalam perkawinan itu sendiri.

Menurut Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang Hukum Perdata) dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, akibat perkawinan terdapat pada masalah hubungan antara suami dan isteri; hubungan suami-isteri atau orangtua terhadap anak; dan hubungan suami-isteri terhadap harta kekayaan perkawinan, serta hubungan suami-isteri terhadap pihak ketiga atau masyarakat.

  10 Ibid.  

(5)

Hukum Adat juga mengatur demikian, termasuk akibat dengan adanya penyerahan sinamot. Melalui penyerahan sinamot oleh paranak (pihak kerabat laki-laki) terhadap parboru (pihak kerabat perempuan), maka berpindahlah si perempuan dari golongan kekerabatannya dan masuk ke dalam golongan kekerabatan si laki-laki. Sebab, dengan penyerahan sinamot tersebut sebagai uang jujur atau tuhor (uang beli), memiliki arti bahwa si perempuan tersebut telah “dibeli” dan secara sah masuk ke dalam golongan kekerabatan si laki-laki.11

Fenomena ini bagi Penulis sangat menarik untuk diteliti demi mendukung perkembangan Hukum Adat di Indonesia, khususnya Hukum Adat Batak Toba. Selain itu demi memberikan sikap yang lebih bijak dalam memandang sinamot sebagai akibat dari adanya ikatan perkawinan dalam masyarakat adat Batak Toba; secara khusus dalam konteks hukum. Lebih jauh lagi tentunya untuk melihat perkembangan bentuk sinamot sejak zaman Si Jolo-jolo Tubu (nenek moyang) hingga pada masa sekarang dan pengaruhnya terhadap perkawinan masyarakat adat Batak Toba.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka terdapat beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian, yaitu: 1) Bagaimanakah akibat penyerahan sinamot dalam hukum perkawinan adat Batak Toba?; dan 2) Bagaimanakah perkembangan bentuk sinamot dalam perkawinan adat Batak Toba pada masa Si Jolo-jolo Tubu (nenek moyang) hingga pada masa sekarang (modern)?

Tinjauan Teoritis

Dalam tulisan ini, Penulis memberikan pengertian terhadap istilah-istilah penting yang digunakan sebagai berikut:

1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.12

2. Hukum Adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan, dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenai sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat (mereka yang mempunyai

11 Ferthy Manurung, S.H., Op. Cit., hal. 57. 12 Indonesia (a), Op. Cit., pasal 1.

(6)

kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu), yaitu dalam keputusan lurah, penghulu, pembantu lurah, wali tanah, kepala adat, hakim.13 3. Perkawinan Jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran jujur,

dimana dengan diterimanya uang jujur maka setelah upacara perkawinan si wanita akan mengalihkan kedudukannya dari keanggotaan kerabat suami selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu.

4. Uang Jujur adalah sejumlah uang yang diberikan oleh keluarga mempelai pria kepada keluarga mempelai wanita sebagai bentuk bahwa mempelai wanita tersebut telah putus kekerabatan dengan keluarganya dan memasuki kekerabatan suaminya.14

5. Sinamot adalah barang pegangan yang tidak akan hilang sepanjang zaman atau tanda telah terjadi parbagason (rumah tangga). Sinamot juga berarti tuhor ni boru atau uang beli anak perempuan dalam perkawinan adat Batak Toba yang dibayarkan paranak (keluarga kerabat laki-laki) kepada parboru (keluarga kerabat anak perempuan).

6. Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga atau tiga tiang tungku sejajar) adalah sistem bermasyarakat (sistem kekerabatan) Bangso Batak yang mencakup tiga hal (setelah mengalami perubahan karena sileban (pengaruh asing), yakni Dongan Tubu (kebenaran), Boru (kekuatan), Hula-hula (hikmat kebijaksanaan). Ini adalah filsafat masyarakat adat Batak.15

7. Adat Na Gok adalah tata cara perkawinan dengan acara peminangan atau upacara adat yang dilakukan oleh orang tua-tua dari kerabat pria disertai upacara

terpasu-pasu (pemberkatan) yang diadakan di gereja.16

8. Tuhor ni boru adalah (pihak pria) “membeli” wanita yang akan jadi istrinya dari calon mertua.17

13 Hazairin, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1975)

14 Andi Akhirah Khairunnisa dan Rizki Ridha Damayanti, "Panai" dalam perkawinan adat Sulawesi

Selatan, (Surabaya: Penerbit Fakultas Hukum Univeristas Airlangga, Juni 2012)  

15 Op. Faustin Panjaitan, Memahami Istilah Adat – Istiadat dan Simbol Kehidupan Orang Batak dan

Pandohan na Marlapatan, (Depok: Untuk Kalangan Sendiri, 2010), hal. 7. Penjelasan lebih lanjut pada analisis Penulis dalam Bab IV, buka hal. 138.

16 Ibid.

 

(7)

9. Marhusip adalah membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat (ruhut adat di huta i) dan sesuai dengan keinginan parboru.18

10. Marhata sinamot adalah suatu transaksi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, tetapi harus diartikan sebagai (transaksi) biaya atau harga (cost) yang diperlukan untuk mencipta-kan sukacita bersama dalam mewujudkan suatu pesta perkawinan.19

11. Marpudun saut adalah merealisasikan apa yang dikatakan dalam marhusip dan

marhata sinamot.20

12. Si Jolo-jolo Tubu adalah nenek moyang yang terdahulu.21 13. Paranak adalah golongan kekerabatan pihak perempuan.22 14. Parboru adalah golongan kekerabatan pihak laki-laki.23 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum yuridis-empiris, yaitu cara prosedur yang dipergunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan.24 Namun untuk melengkapi hasil kajian normatif tersebut, Penulis juga melakukan penelitian lapangan dengan melakukan serangkaian wawancara dengan beberapa orang dalam masyarakat adat Batak di Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi), Indonesia, yakni seorang Raja Parhata (Raja Adat Batak) yaitu Washington Saut Marodjahan Sibarani; kemudian Ketua Divisi Hukum atau Kepaala Penasehat Hukum pada Punguan Pomparan Raja Ompu Bolon Siagian Dohot Boruna Se Jabodetabek (Perkumpuan Marga Siagian se-Jabodetabek) serta sebagai Ketua Punguan Parsahutaon Dos No Roha (Paguyuban golongan orang Batak pada suatu huta (kampung)

18 Arnold van Gennep, The Rites of Passage, (London & Henley: Routledge & Kegan Paul, 1965), hal.

116.

19 Manik, Op. Cit., hal. 28. 20 Gennep, Loc. Cit. 21 Sianipar, Op. Cit., hal. V. 22 Manik., Op. Cit., hal. 20. 23 Ibid.

(8)

atau daerah/area) Kemang Pratama Bekasi, yaitu Saor Siagian, S.H., M.Hum; dan yang terakhir seorang pria Batak yang baru saja melaksanakan perkawinan adat Batak yakni Batara Benhard Sibarani, S.T.; yang berfungsi untuk memberikan deskripsi dan/atau eksplorasi terkait topik yang akan diteliti.

Dalam penulisan skripsi ini Penulis melakukan analisa menggunakan pendekatan kualitatif. Selanjutnya apabila dilihat dari sudut bentuk penelitiannya, skripsi ini merupakan penelitian deskripstif.25

Dalam penulisan skripsi ini data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka.26 Sedangkan data primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat,27 yang dalam skripsi ini ialah masyarakat adat Batak Toba. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dengan menganalisa peraturan dan konsep-konsep hukum yang dikaitkan dengan permasalahan pokok dari pembuatan skripsi ini, selain itu alat pengumpulan data lainnya adalah melalui wawancara dengan narasumber yang berkaitan dengan topik dalam penulisan skripsi ini. Wawancara akan dilakukan dengan golongan adat Batak di Jabodetabek yang nama-namanya sudah disebutkan dimuka.

Sumber data sekunder/pustaka hukum yang digunakan antara lain:

a. Bahan hukum primer yang digunakan adalah Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Hukum Adat Batak Toba sebagai hukum kebiasaan (adat istiadat) yang dihidupi oleh masyarakat hukum adat Batak Toba.

b. Bahan hukum sekunder meliputi literatur-literatur yang berkaitan dengan penyerahan sinamot dan upacara perkawinan secara adat Batak Toba, seperti laporan penelitian, makalah, artikel, jurnal, majalah, serta data-data yang didapat dari internet.

c. Bahan hukum tersier, yaitu seperti kamus dan ensiklopedia.

Pengumpulan data primer yang berupa hasil wawancara dan data sekunder dilakukan dengan analisis data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis kualitatif yang kemudian diperoleh kesimpulan induktif, yaitu cara berpikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus.28

25Ibid., hal. 4.

26 Soekanto, Soerjono (c), Op. Cit., hal. 51. 27 Ibid., hal. 11.

(9)

Hasil Penelitian

Satu nilai yang begitu menonjol, menjadi suatu impresi Penulis setelah melakukan penulisan mulai dari Bab I hingga Bab IV skripsi ini, yaitu bahwa perkawinan adat Batak Toba adalah suatu hal yang kompleks. Dalam hal ini, kompleks tidak diartikan sekadar rumit dan bermakna negatif, tapi lebih kepada sifatnya yang majemuk dan berseni. Majemuk maksudnya bahwa rupanya banyak perbedaan paham mengenai tradisi perkawinan adat Batak Toba, khususnya sinamot. Misalkan pada Bab I, terdapat tulisan mengenai perbedaan konsep sinamot yang dipandang oleh Benyaris Pardosi, dalam artikelnya yang berjudul “Rumitnya Perkawinan Orang Batak”, dinyatakan bahwa sinamot oleh masyarakat adat Batak Toba adalah tuhor ni boru, yang artinya “membeli” wanita yang akan jadi istrinya dari calon mertua. Kata tuhor sendiri secara harafiah artinya membeli. Makna sinamot sebagai tuhor ini sepaham dengan pendapat Washington Saut Marodjahan Sibarani (WSM) dalam wawancara yang dilakukan Penulis dengan beliau. WSM juga memandang bahwa sungguhlah sinamot merupakan alat beli, sebab perempuan sejatinya adalah “jualan”, namun berulang kali diterangkan oleh WSM, bahwa jualan disini bukan seperti barang jualan, dengan kiasan WSM “bukan jualan kacang goreng.” Pardosi menyatakan bahwa tuhor disebut juga “uang jujur” yang lahir dari perkawinan jujur. Ini seirama dengan substansi yang digariskan Hukum Adat secara umum. Sebab, Batak merupakan suku yang menganut patriakis, artinya menarik garis keturunan dari clan kebapakan, sehingga konsisten melaksanakan perkawinan jujur.

Namun berbeda dengan apa yang dituliskan oleh Sabam Huldrick Wesley Sianipar (SHW) dalam bukunya Tuho Parngoluon Ruhut Ni Adat Poda Ni Uhum Pangalaho Ni Padan Dalihan Na Tolu, yang memaparkan bahwa sinamot sesungguhnya merupakan barang pegangan yang tidak akan hilang sepanjang zaman atau tanda telah terjadi parbagason (rumah tangga). SHW berdasarkan pengalaman dan keyakinannya memaparkan pula sejarah sinamot. Dalam bukunya, ia menyatakan bahwa berdasar hakekat sinamot sesuai adat Dalihan Na Tolu, haruslah berupa suatu barang atau benda yang berharga dan bersifat kekal, dan bukan merupakan uang yang dalam sedetik bisa hilang, karena dewasa ini masyarakat hukum adat batak dianggap tidak lagi mengerti makna sinamot secara mendalam dan yang kerap terjadi dalam era modern ini adalah sinamot selalu dikaitkan dengan tuhor atau uang jujur sebagai bagian dari perkawinan adat Batak. Kemudian SHW tidak membenarkan adanya tawar-menawar sinamot dalam tahapan marhata sinamot sebagai bagian dalam tahapan pra-perkawinan adat Batak, sebab menurutnya sinamot seyogyanya sudah merupakan kepastian yang ada pada tahap sebelumnya, yaitu tahap marhusip, marhata sinamot, dan marpudun

(10)

saut, sehingga pada saat marpudun saut, seharusnya hanya mengesahkan apa yang sudah didiskusikan kedua belah pihak.

Perspektif yang dipaparkan SHW mengenai sinamot ini, cukup berbeda dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Helga Septiani Manik (HSM). Ia memaparkan hasil penelitiannya terkait sinamot dalam jurnalnya yang berjudul “Makna dan Fungsi Tradisi Sinamot dalam Adat Perkawinan Suku Bangsa Batak Toba di Perantauan Surabaya”. HSM menyatakan bahwa pada hakekatnya marhata sinamot adalah suatu transaksi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, sehingga sinamot ini harus diartikan sebagai biaya atau harga (cost) yang diperlukan untuk menciptakan sukacita bersama dalam mewujudkan suatu pesta perkawinan. Dalam marhata sinamot, kedua keluarga, yakni antara paranak dengan parboru membicarakan mengenai pertimbangan jumlah sinamot. Penulis menilai bahwa dengan diksi “pertimbangan” maka ada hal-hal yang diukur, yang dirasa layak, seperti adanya “harga yang seimbang” untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Bahkan, SHW juga menyatakan bahwa sinamot sejatinya adalah harga (cost) yang cenderung mengarah kepada sejumlah uang. Dengan demikian, cukup jelas corak perbedaan yang menjadi paham terhadap konsepsi sinamot milik HSM dengan SHW yang terang-terangan menolak adanya kegiatan tawar-menawar dalam marhata sinamot, SHW pula tidak setuju terhadap pandangan orang-orang memandang konsep sinamot dalam bentuk satuan uang.

Dengan perbedaan paham ini, maka Penulis mencoba mensejajarkan juga konsep-konsep diatas dengan pendapat Datuk Usman, seorang Dosen mata kuliah Hukum Adat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang menyatakan bahwa sejatinya uang jujur itu sangatlah bergantung pada keadaan-keadaan setempat yang disebabkan oleh perbedaan kelas sosial, strata ekonomi, pangkat atau jabatan orangtua yang mengenai hal ini diterangkan oleh WSM lebih spesifik. Perbedaan kelas tersebut berkiblat kepada ideologi masyarakat adat Batak, yaitu hamoraon (kekayaan), hagabeon (keturunan), dan hasangapon (kehormatan). Menurut Datuk Usman, selain perbedaan kelas tersebut, juga terdapat perbedaan cara pemberiannya atau pengumpulannya, cara membagi jujur tadi, dan lain-lain.

Acapkali jujur ini terdiri dari benda-benda yang mempunyai nilai magisch, misalnya tengkorak manusia dari hasil pengayakan, budak, tanah, emas, dan seringkali dinilai dengan uang. Oleh karena dinilai dengan uang, maka jujur tadi mendapat sifat yang lain, yaitu seolah-olah jujur tadi dapat disamakan dengan barang atau alat membeli. Jadi, menurut pandangan yang masih kolot, maka seakan-akan perempuan sebagai barang jualan atau barang yang dapat dibeli dengan uang melalui perkawinan jujur itu. Inilah yang menjadi suatu poros dimana dengan eksistensi uang sebagai bentuk sinamot menjadi sebab perempuan dipandang

(11)

mempunyai kedudukan rendah di dalam masyarakat. Penulis berasumsi bahwa inilah sesungguhnya yang dihindarkan oleh SHW, sebab ia meyakini bahwa adapun baiknya sinamot tidak diganti dengan unsur sejumlah uang sehingga sinamot mendapat pandangan seperti demikian. Itu wajar, sebab SHW menghidupi tradisi adat pada masa Si Jolo-jolo Tubu, dimana sinamot saat itu hanyalah merupakan barang-barang jujur yang bersifat magis. Menyeimbangkan juga dengan argumentasi HSM, agar tidak terang-terangan bertolak belakang dengan SHW, sesungguhnya jurnal yang ditulis oleh HSM berjudul “Makna dan Fungsi Tradisi Sinamot dalam Adat Perkawinan Suku Bangsa Batak Toba di Perantauan Surabaya” memiliki latar belakang waktu dan tempat yang berbeda dengan SHW. Surabaya merupakan salah satu kota besar di Indonesia dan penelitian dilakukan oleh HSM di tahun 2009 yang merupakan era modern. Itulah sebabnya, HSM berdasarkan penelitiannya mengatakan bahwa sinamot harus diartikan sebagai biaya atau harga (cost) yang diperlukan untuk menciptakan sukacita bersama dalam mewujudkan suatu pesta perkawinan, sebab baginya ini adalah “transaksi”. Penulis yakin bahwa hal tersebut semata-mata dipengaruhi oleh perkembangan tradisi adat Batak, khususnya dalam perkawinan adat, yang terjadi di kota besar (dalam penelitian tersebut adalah kota Surabaya).

Mengenai perkembangan bentuk sinamot, Penulis juga mengangkat perihal tersebut pada saat wawancara dengan WSM. Beliau memahami pada masa Si Jolo-jolo Tubu dulu, sinamot haruslah berupa barang, bahkan seyogyanya merupakan barang yang bernyawa, sebab dengan sinamot, si perempuan yang bernyawa ini akan pindah status (hukumnya) ke keluarga laki-laki. Oleh karena itu, bentuk sinamot di masa itu adalah binatang-binatang, seperi horbo (kerbau), sapi, kuda, babi, dan sebagainya yang bernyawa, yang pula cukup berharga untuk diberikan. Sebab pada masa itu masih bersifat agraris, sehingga pangan bersumber dari pertanian dan peternakan. Dengan demikian, pendapat WSM seirama dengan yang dinyatakan oleh Saor Siagian (SS) yang menyatakan bahwa pada masa agraris di zaman Si Jolo-jolo Tubu, masyarakat adat Batak memberikan binatang-binatang sebagai sinamot, maka ini juga sependapat dengan tulisan HSW. Namun, WSM juga menambahkan pada masa sekarang, sinamot dipandang sebagai suatu alat dalam tradisi prosesi perkawinan adat Batak; alat untuk “membeli” (alat tuhor) perempuan, sebab dalam perkawinan adat Batak, perempuan adalah “jualan”. Sinamot juga merupakan harta. Harta disini maksudnya adalah alat bayar untuk “membeli” perempuan, karena WSM meyakini bahwa perempuan itu sungguh dijual dan akan menjadi miliki orang lain, yaitu keluarga suaminya. Opini WSM ini seirama pula dengan HSM tentang sinamot sebagai alat beli pada masa sekarang, tetapi tidak dapat diartikan “membeli” secara harafiah, sehingga pendapat WSM dan HSM beriring

(12)

sepaham dengan Usman. Jadi, Penulis telah mendapatkan benang merah diantara paham-paham mengenai konsep sinamot yang dilihat dari beberapa kacamata, baik dari Raja Parhata (WSM), Dosen Mata Kuliah Hukum Adat (Usman), Peneliti (HSM), Ketua Divisi Praktisi Hukum Paguyuban Masyarakat Adat Batak (SS), Dan Penulis Buku (SHW). Pada dasarnya semua pendapat mereka bukanlah berbeda maknanya, namun hanya beragam, yang perlu dilihat lagi mengenai waktu pemberiannya. Sebab, tradisi adat Batak Toba, secara khusus mengenai pemberian sinamot, sungguh mengalami perkembangan sejak zaman Si Jolo-jolo Tubu hingga zaman sekarang dengan latar belakang yang telah dijabarkan diatas.

Berbicara tentang masa perkembangan tradisi adat Batak, menurut WSM ada 2 masa pada zaman Si Jolo-jolo Tubu, yakni Masa Sebelum Kekristenan dan Masa Kekristenan, yakni saat masuknya pengaruh Kristen ke Tanah Batak. Sehingga diyakini bahwa ada suatu pengaruh Kekristenan dalam perjalanan tradisi adat Batak, yakni sejak kedatangan Nommensen ke Tanah Batak. Pada Bab I terdapat kutipan HSM yang menyatakan bahwa acara marhata sinamot harus dilakukan sebelum menerima pemberkatan pernikahan di Gereja nanti. Artinya memang betul bahwa ada faktor Kekristenan yang mempengaruhi perkawinan dalam masyarakat adat Batak. Mengenai hal ini, juga diungkapkan, baik oleh WSM, maupun BB, bahwasannya adapun dua pemberkatan dalam perkawinan adat Batak, yakni yang pertama pemberkatan di Gereja oleh Pendeta (diberkati oleh Tuhan melalui Pendeta) dan yang kedua ialah pemberkatan di pesta ulaon unjuk (upacara adat) oleh Raja Parhata. Dengan demikian menurut BB, perkawinan seperti itu dapat disebut sebagai perkawinan yang adat na gok, yaitu tata cara perkawinan dengan acara peminangan atau upacar adat yang dilakukan oleh orang tua-tua dari kerabat pria disertai upacara terpasu-pasu (pemberkatan) yang diadakan di gereja, demikian dinyatakan oleh kutipan Tamsil Siregar dalam bukunya “Perkawinan di Tapanuli Utara (Batak Toba)” pada Bab I skripsi ini. Menambahkan pemahaman tentang pengaruh Kristiani yang masuk pada bagian tertentu dari perkawinan adat Batak Toba, khususnya mengenai kedudukan sinamot, BB menjelaskan bahwa dengan adanya prinsip Kekristenan dalam perkawinan, maka laki-laki dan perempuan tersebut menjadi suami-isteri yang telah dipersatukan Tuhan dan tidak dapat diceraikan atau dipisahkan oleh apapun, termasuk dalam hal situasi finansial apapun, serta hutang-hutang apapun. Jikalau sinamot yang diberikan paranak kepada parboru berasal dari uang yang dibebankan hutang oleh paranak kepada parboru, (artinya pihak keluarga laki-laki katakanlah berhutang kepada saudara atau kerabatnya atau orang lain demi mempunyai uang yang cukup untuk membayar sinamot) maka menurut BB itu tidak lantas menciptakan perbedaan kedudukan atau derajat

(13)

antara suami dan isteri tersebut, sebab mereka telah dipersatukan Tuhan di Gereja (melalui Pendeta), maka kedudukan mereka adalah sama di hadapan Tuhan dan sesama manusia.

Berangkat dari klausa diatas mengenai “sinamot yang berhutang”, ada beberapa hipotesa yang didapat Penulis berdasarkan substansi dalam skripsi ini. Di muka telah disisipkan mengenai adanya catatan sejarah yang mengatakan bahwa pada abad 18, pemerintah Inggris dan juga pemerintah Belanda, pada masa pemerintahan Van Den Bosch, berusaha untuk menghapuskan uang jujur salah satunya dengan alasan bahwa uang jujur ini pada umumnya sangat besar, sehingga banyak laki-laki yang tidak bisa kawin karena tak punya uang. Kalaupun juga dia mau kawin, terpaksa lebih dahulu berhutang. Oleh sebab itu, kawin dengan “uang jujur” pada waktu itu dinyatakan perlu dilarang. Namun, memang Mahkamah Agung menyatakan bahwasannya peraturan tersebut bukanlah peraturan hukum adat dan perkawinan jujur tetap diadakan. Dengan penjelasan tersebut terlihat lahirnya suatu pandangan negatif mengenai orang yang berhutang demi pembayaran sinamot agar bisa kawin. Tetapi ada pandangan yang sangat bertolak belakang dari alasan pemerintah Belanda tersebut. SS dan BB mengungkapkan dalam wawancara, bahwa bilamana seorang laki-laki atau pihak keluarga laki-laki berhutang demi sinamot, maka itu merupakan suatu penghargaan terhadap kedudukan sinamot yang begitu sakral, terlebih lagi sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan dan keluarga perempuan itu. BB juga memiliki sudut pandang dari karakter masyarakat Batak yang luar biasanya cara pandang mereka terhadap sinamot. Oleh sebab itu, sinamot ini sama seperti perjanjian yang tidak dapat diingkarkan. Bagi BB, hal tersebut memiliki akibat hukum (adat) sehingga tidak dapat diwanprestasikan, artinya tidak mungkin dalam upacara perkawinan adat Batak, tidak diberikan sinamot sebagai alat tuhor (alat beli) boru (anak perempuan) tersebut. Maka menurut BB lebih baik untuk meminjam uang atau berhutang kepada saudaranya atau orang lain demi mendapatkan sinamot dan menyerahkannya kepada keluarga perempuan (parboru) itu, daripada berhutang kepada parboru. Ini sama saja beli barang tapi tidak bayar. “Merampas” atau roof huwelijk sebagai diksi yang dipakai Wilken dalam bukunya Opstellen Over Adattrecht. Roof huwelijk merupakan bentuk perkawinan yang pertama dalam hukum kebapakan. Dengan jalan demikian, keluarga dari si perempuan tidak dapat menerima begitu saja apabila seorang dari golongannya “dirampas” dan oleh sebab itu perlu diadakan “pembalasan”. Lama kelamaan “pembalasan” ini tidak lagi begitu kejam dan akhirnya bisa diadakan dengan jalan damai. Uang perdamaian inilah yang kemudian menjadi “uang jujur”. Demikian jelas dapat dimaknai pandangan terhadap uang jujur atau sinamot itu.

(14)

Selain berhutang, dipaparkan oleh WSM dan BB ada yang dinamakan dengan tupak, yaitu uang pemberian yang dimasukkan ke dalam amplop yang diberikan dari kerabat atau tamu undangan kepada paranak (keluarga pihak laki-laki) pada saat ulaon unjuk (upacara adat perkawinan). Pemberian tupak in, menurut BB, merupakan kesempatan kepada kerabat untuk memberikan “bagiannya” dalam pesta perkawinan. Sebetulnya pemberian tupak ini bukanlah kewajiban, tetapi hak. Tupak ini juga sejatinya boleh saja diberikan sebelum pesta perkawinan, sehingga dapat membantu apabila terdapat kekurangan biaya dalam pemenuhan kebutuhan pesta perkawinan, termasuk untuk menambahkan sinamot. Oleh karena itu, tidak dilarang apabila ada bagian dari tupak yang menjadi bagian dari sinamot itu sendiri, sebab tupak sifatnya adalah pemberian, maka pemberian tersebut telah berpindah kepemilikannya dari milik si pemberi kepada si penerima. Jadi, tupak tersebut pada saat diberikan secara otomatis menjadi milik paranak.

Tupak biasanya diberikan ke tangan ayahnya si laki-laki atau bisa juga ayah perempuan dari kerabatnya masing-masing. Bagi hula-hula dan keluarga parboru tidak perlu memberikan tupak kepada orangtua pengantin ataupun kepada pengantin, karena hula-hula dan parboru selalu memberikan kain ulos kepada kedua mempelai dan itu sudah merupakan pemberian yang berharga dari hula-hula.

Dahulu pada zaman Si Jolo-jolo Tubu, ulos dipercaya sebagai bahan sandang atau pakaian masyarakat adat Batak, baik laki-laki, maupun perempuan, termasuk juga sebagai selimut untuk tidur. Lebih dari itu, ulos dipakai sebagai media doa (tangiang), maksudnya sebagai alat untuk memberkati atau mempasu-pasu seseorang atau sepasang pengantin pada upacara perkawinan adat Batak. Sekarang ulos dianggap sebagai benda pusaka peninggalan budaya. BB menilai bahwa ulos yang diberikan pada upacara perkawinan adat, misalnya oleh hula-hula, boleh saja dijual jika mau oleh suami-isteri tersebut, jika urgensinya adalah untuk menyambung hidup atau kebutuhan pangan, meskipun kain ulos itu sangat berharga. Sebab, apabila ulos itu dijual dengan motivasi untuk menyambung hidup, maka ulos itu secara tidak langsung telah “memberikan berkat” kepada rumah tangga atau keluarga tersebut. Hal ini tidak melanggar hukum Dalihan Na Tolu dan pula tidak berakibat sosial, sebab perbuatan menjual ulos tidaklah perlu diberitahukan kepada hula-hula atau orang-orang yang memberinya.

Dalihan Na Tolu adalah sistem bermasyarakat (sistem kekerabatan) Bangso Batak yang mencakup tiga hal, yang apabila diartikan secara harafiah artinya ialah tungku nan tiga. Dalihan Na Tolu terdiri dari Dongan Tubu (manat mardongan tubu), yaitu suatu sikap berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah salah paham dalam pelaksanaan acara

(15)

adat. Agar hati-hati dengan semarga. Sebab, kata orang tua-tua “hau na jonok do na boi marsiogoson”, yang berarti kayu yang dekatlah yang dapat bergesekan. Ini mengggambarkan begitu dekat dan seringnya hubungan terjadi, hingga dimungkinkan terjadi konflik. Kemudian yang kedua adalah Boru (elek marboru), yang artinya anak perempuan, akan tetapi dalam sistem kekerabatan ini berarti kelompok marga yang mengambil isteri dari anak perempuan seorang laki-laki Batak. Dan yang ketiga yaitu Hula-hula (somba marhula-hula), yang bila diartikan secara harafiah berarti menyembah (somba) hula-hula atau golongan kekerabatan keluarga isteri. Hula-hula ditengarai sebagai sumber berkat. Keturunan diperoleh dari seorang isteri yang berasal dari hula-hula. Sehingga, tidak ada hula-hula, tidak ada isteri. Tidak ada isteri, tidak ada keturunan. Inilah prinsip Dalihan Na Tolu yang merupakan filsafat masyarakat adat Batak, termasuk dalam perkawinan adat Batak, yang menjadi asas hukum yang objektif. Demikianlah makna Dalihan Na Tolu yang selalu disebut-sebut oleh narasumber dalam skripsi ini, baik WSM, SS, maupun BB.

Perkawinan adat Batak sejatinya memiliki tahapan-tahapan atau biasa kita kenal dengan prosesi adat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan merangkum tahapan-tahapan tersebut sejak masa pra-perkawinan sampai dengan upacara pesta perkawinan dalam buku “Perkawinan Adat Batak di Kota Besar” pada Bab III penulisan skripsi ini. Tahapan yang pertama ialah martandang, yakni perkenalan muda-mudi. Pada tahap ini orangtua dari masing-masing pihak mengirimkan utusan atau domu-domu untuk membicarakan tentang hasrat si laki-laki yang hendak meminang si boru perempuan itu. Biasanya domu-domu ini ialah Bapaktua/Bapakuda (paman dari laki-laki) si laki-laki atau Tulangna (pamannya dari perempuan) si perempuan. Beberapa hari kemudian, pihak perempuan akan memberikan jawaban mengenai maksud pihak laki-laki. Jika lampu hijau menyala, maka dilanjutkan dengan mangalo tundo, yakni kedua belah pihak memberikan tanda pengikat satu dengan yang lain. Tahapan ini maknanya sama dengan marhori-hori dinding yang diterangkan oleh WSM dan BB dalam wawancaranya. Tanda pengikat yang dimaksud dalam buku tersebut adalah hauma/tanah yang biasanya diberikan dari parboru kepada calon pengantin tersebut untuk bekal berumah tangga, sebagaimana diterangkan WSM. Dalam marhori-hori dinding ini bisa juga pemberiannya adalah ulos, atau juga dalam bentuk uang dari paranak kepada parboru, misalnya dalam perkembangan tradisi adat Batak diadakan pembayaran panjer sebagai pengikat atau tanda jadi. Panjer ini digambarkan sebagai uang muka atau pembayaran sebagian dari sinamot. Panjer hanya ada dalam fenomena perkembangan sinamot pada masa yang lebih modern. Dalam marhori-hori dinding juga dibahas mengenai sistem perkawinan, alap jual (pesta di parboru) atau taruhon jual (pesta di paranak).

(16)

Tahapan selanjutnya yaitu marhusip, secara harafiah artinya berbisik-bisik, namun gambaran aktivitas pada waktu marhusip ialah pada intinya merealisasikan apa yang sudah dibahas pada saat marhori-hori dinding, misalnya membicarakan atau memastikan jumlah sinamot, jumlah ulos yang akan diberikan, dan lain-lain. Biasanya pada masa sekarang, marhusip dibarengi dengan kegiatan marhata sinamot, yang artinya berbicara tentang sinamot. di marhata sinamot biasanya terjadi tawar-menawar sinamot, namun sekarang sudah jarang terjadi. Hal ini disebabkan karena pengaruh era modern. Misalnya BB yang melangsungkan perkawinan pada zaman modern mengaku bahwa dalam pra-perkawinan yang ia jalani bersama MF tidaklah ada marhata sinamot dan tidak ada lagi tawar-menawar, sebab mereka telah melalui masa penjajakan. Masa penjajakan ini tidak terdapat dalam teori kronologis tahapan perkawinan adat Batak, tetapi inilah yang terjadi pada masa modern. Pada masa penjajakan itu intinya ialah membahas mengenai berapa jumlah uang yang menjadi kesanggupan paranak dalam menyediakan sinamot dan berapa jumlah yang uang yang diekspektasikan oleh parboru. Ini dilakukan BB dan MF agar kiranya pada saat marhori-hori dinding maupun marhusip tidak deadlock atau mengantisipasi terjadinya penolakan terhadap jumlah sinamot. Karena bagaimanapun juga, penolakan terhadap jumlah sinamot ini dapat mengakibatkan hal yang paling tidak diharapkan, yakni pembatalan rencana perkawinan. Penulis berasumsi bahwa masa penjajakan yang dilakukan oleh BB dan MF sesungguhnya adalah bagian dari martandang, sebagai masa perkenalan muda-mudi. Menurut WSM martandang dapat dilakukan berulang kali, demikian juga yang dikatakan BB, bahwa berulang kali juga masa penjajakan yang ia lakukan bersama MF.

Setelah marhusip ataupun marhata sinamot, kemudian dilaksanakanlah puncak dan sekaligus akhir dari seluruh tahapan perkawinan adat Batak, yaitu ulaon unjuk, yakni upacara perkawinan adat. sebagaimana telah diungkapkan dimuka, upacara adat bisa dialap jual, pesta dipihak perempuan, atau sebaliknya ditaruhon jual, pesta dipihak paranak. Bagi masyarakat adat Batak yang beragama Kristen, akan melaksanakan pemberkatan di Gereja melalui Pendeta terlebih dahulu, kemudian barulah acara di gedung perkawinan, seperti ulaon unjuk BB dan MF yang dilangsungkan di Gedung Graha Girsang, Bekasi. Berbeda ulaon unjuk pada masa Si Jolo-jolo Tubu, yang hanya dilangsungkan di halaman rumah milik salah satu pihak, sebab halaman rumah-rumah di kampung dulu masih luas dan bisa menampung kerabat dan tamu-tamu undangan yang datang.

Perbedaan yang lain dari pesta upacara perkawinan adat pada masa sekarang, selain dilakukan di gedung pertemuan, juga dapat ditemukan adanya musik tradisional (band) yang lebih besar dan maju, fotografer, videografer, dekorasi yang lebih mewah, dan konsumsi yang

(17)

tentunya berbeda dengan apa yang disajikan pada pesta perkawinan masa Si Jolo-jolo Tubu. Itulah sebabnya sangat berbeda pesta upacara perkawinan di kampung dengan di kota besar yang membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Ini juga faktor timbulnya fenomena “berhutang demi kawin”.

Sebetulnya ada solusi dalam permasalahan tersebut, seperti pembayaran pesta dengan cara kolektif atau patungan antara paranak dengan parboru, sebagaimana perkawinan BB dengan MF. BB mengaku bahwa pesta dibiayai oleh paranak sebab upacara adatnya secara taruhon jual (pesta dipihak laki-laki), tetapi memang ada pembayaran yang juga dilakukan oleh parboru, meskipun hanya minim, oleh karena biaya pesta yang tinggi di kota besar. Bertolak belakang dengan pendapat WSM yang terang-terangan menyatakan bahwasannya dalam perkawinan upacara adat tidak dibenarkan untuk mengadakan pembayaran pesta secara kolektif, dengan alasan agar konsisten apakah pesta di taruhon jual atau alap jual. Mengenai aspek ini, Penulis memiliki hipotesis bahwa sesungguhnya bisa jadi yang dilakukan oleh BB dan MF bukanlah pembayaran kolektif antara pihak-pihak calon pengantin, tetapi lebih kepada sukarela apakah pihak parboru juga ingin ikut membantu dalam bentuk sumbangan dana untuk membayar perlengkapan atau kebutuhan pesta upacara perkawinan. Misalnya, biaya konsumsi pesta perkawinan dari parboru, artinya dibayarkan oleh parboru, dan sebagainya, seperti yang diterangkan oleh BB. Dengan demikian, BB tidak melanggar Hukum Adat Batak melalui upacara perkawinan adatnya dengan MF.

Ulaon unjuk atau upacara perkawinan adat Batak Toba menjadi momentum berpindahnya kedudukan seorang anak perempuan dari golongan kekerabatannya dan masuk menjadi bagian dalam keluarga suaminya (si laki-laki). Menjadi bagian keluarga suaminya artinya perempuan ini tidak kehilangan borunya (clan ayahnya), pula tidak putus hubungan biologis atau hubungan darah dengan orangtua dan keluarganya, tetapi ia demi hukum telah lunas “terbeli” melalui penyerahan sinamot dan masuk menjadi bagian keluarga suaminya secara utuh, termasuk kedudukan hukumnya, yaitu hak dan kewajiban yang dimilikinya telah menjadi milik keluarga suaminya. Kedudukan sinamot yang diberikan kepada parboru tersebut menggantikan vakumnya sifat magis perempuan tersebut di keluarganya. Misalnya, melalui ulaon unjuk pada perkawinan BB Sibarani dan MF Gaja, pada saat pelunasan sinamot di ulaon unjuk, MF secara otomatis berpindah statusnya atau magisnya dari keluarga Gaja menjadi keluarga Sibarani secara utuh. Ia sudah “dibeli” dengan lunas oleh Sibarani dan menjadi milik Sibarani, akan tetapi hubungan darahnya dengan orangtua dan keluarganya tidak lantas putus. Kemudian, ada yang berubah dari nama MF. Sekarang namanya ialah Ny. MF Sibarani br. Gaja (baca: Nyonya MF boru Gaja). Dengan demikian, sesungguhnya MF

(18)

seratus persen atau sepenuhnya telah menjadi bagian keluarga Sibarani. Bahkan, menurut Ter Haar, jikalau dikemudian hari si suami meninggal, maka sang isteri tidak berhak atas anak-anaknya, sebab ia harus tetap tinggal dalam lingkungan suaminya. Wilken juga menambahkan bahwa perempuan ini tidak berhak juga atas ahli waris dari mendiang suaminya, malahan dia adalah warisan itu sendiri. Sebab, sekali lagi, si isteri tidak dapat begitu saja meninggalkan keluarga mendiang suaminya. Perihal inilah yang menjadi akibat dari penyerahan sinamot, yakni berpindahnya kedudukan isteri dari keluarganya ke keluarga suaminya.

Akibat penyerahan sinamot pada dasarnya juga merupakan bagian dari akibat perkawinan adat Batak. Akibat perkawinan dalam masyarakat adat Batak dalam hubungan antara suami dengan isteri yaitu bahwa dalam suatu rumah tangga, suami sebagai pardongan saripeon atau kepala keluarga, sementara isteri sebagai ihanta saripada atau raja rumah yang dimuliakan. Seorang suami berkuasa terhadap isteri dan anak-anaknya, termasuk harta kekayaan dalam keluarga. Jika ada hal-hal yang harus dipertanggungjawabkan di muka pengadilan, maka suamilah yang akan tampil menangani perkara di pengadilan. Namun, seiring adat Batak yang menyesuaikan dengan zaman, seorang isteri Batak sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Akan tetapi, dalam hal-hal yang memiliki aspek nilai-nilai adat, misalnya si isteri ingin membeli tanah adat ataupun mengurus harta kekayaan adat, maka si isteri tidak berhak dalam melakukan perbuatannya itu tanpa ada persetujuan dari suami dan/atau keluarga dari clan suaminya. Ihanta saripada secara filosofis berarti pusat rumah dan pembawa keselamatan, artinya sang isterilah yang mengatur segala keperluan dan penataan dalam rumah tangga, tetapi pada dasarnya ia tetaplah sebagai pembantu suaminya dalam membangun sebuah keluarga/rumah tangga.

Disamping hubungan suami-isteri, suatu perkawinan adat Batak juga memiliki akibat mengenai hubungan suami-isteri tersebut terhadap anak. Perkawinan adat Batak Toba yang menganut paham patrilineal membuat anak-anak yang lahir dari suami-isteri tersebut memiliki marga bapaknya dan masuk ke dalam golongan kekerabatan bapaknya. Sementara itu, hubungan anak terhadap keluarga dari clan ibunya memang tidak begitu menonjol, tetapi jugalah penting, terutama bagi seorang pemuda, sebab dia akan mengambil calon isterinya dari golongan tersebut (disebut pariban) dan dari segi sosialnya terletak pada hubungan hula-hula yang harus selalu dihormati dalam Hukum Dalihan Na Tolu. Dengan demikian, hubungan anak dan keluarga ayahnya lebih kental ketimbang hubungan dengan sanak saudara ibunya.

Membandingkan perkawinan menurut Hukum Adat Batak dengan Hukum Perdata Barat berdasarkan Burgerlijke Wetboek, SS sebagai praktisi hukum memberikan pendapat

(19)

bahwa perkawinan menurut Hukum Adat Batak menganut konsep yang berbeda dengan konsep perkawinan menurut Hukum Perdata Barat. Hukum Perdata Barat mengatur bahwasannya perkawinan yang sah adalah perkawinan yang berasaskan kesepakatan kedua belah pihak, yakni laki-laki dan perempuan yang ingin kawin tersebut. Namun, dalam Hukum Adat Batak, masing-masing pihak, baik si laki-laki, maupun si perempuan, haruslah datang ke keluarga mereka, untuk meminta persetujuan dan restu, lantaran perkawinan adat Batak membutuhkan tidak hanya kesepakatan dua orang yang mau menikah tersebut, namun juga seluruh kesepakatan keluarga kerabat dari kedua belah pihak. Oleh sebab perkawinan adat Batak, bukan lagi tentang dua orang yang kawin, tetapi “dua keluarga yang kawin”. Hal ini disebut SS dengan sifat kolektivitas.

Selain Burgerlijk Wetboek, Hukum Nasional Indonesia yang secara khusus mengatur tentang perkawinan di Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang hendak Penulis bandingkan dengan Hukum Adat Batak. Berdasarkan hasil wawancara dengan SS, sesungguhnya penyerahan sinamot tidak diatur dalam UUP, akan tetapi merupakan suatu formula untuk mewujudkan tujuan perkawinan yang diatur dalam UUP tersebut. Tujuan perkawinan dalam UUP ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Atas klausa “keluarga yang kekal”, menurut SS, melalui penyerahan sinamot, maka akan mendorong suatu keluarga agar langgeng, tidak sembarangan dalam berumah tangga, dan sebagainya, karena perkawinan merupakan sesuatu yang harus dipertahankan untuk menjadi kekal atau abadi. Hal itu juga sebagai momentum untuk menciptakan keluarga yang kuat dan bahagia oleh karena tidak mudahnya melangsungkan perkawinan secara adat, khususnya perkawinan adat Batak. Ini merupakan nilai yang tidak hanya diatur dalam UUP, tetapi juga Hukum Adat Batak. Oleh sebab itu, UUP sebagai cermin hukum perkawinan yang sesuai dengan ideologi bangsa Indonesia, artinya dibuat dan untuk bangsa Indonesia sendiri, seirama dengan Hukum Perkawinan Adat Batak yang dibuat dan untuk bangso Batak sebagai bagian dari kebudayaan Bangsa Indonesia.

Demikianlah makna yang terkandung dari kata “kompleks” yang digunakan Penulis dalam menggambarkan perkawinan adat Batak; majemuk namun berseni.

Kesimpulan

Dari keseluruhan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab dimuka yang kemudian dihubungkan dengan pokok permasalahan yang telah dirumuskan, maka Penulis menemukan 2 (dua) pokok kesimpulan, yaitu sebagai berikut:

(20)

1. Konsepsi sinamot yang ada pada masa Si Jolo-jolo Tubu lebih diidentikkan pada hal-hal atau benda yang mempunyai nilai tinggi dalam arti magis. Kemudian, seiring berjalannya waktu konsep sinamot diganti dengan hal yang sifatnya bernyawa, dengan alasan agar kedudukan magis perempuan bernyawa yang vakum dari keluarga biologisnya itu digantikan dengan sesuatu yang bernyawa juga. Dengan konsepsi demikian, maka bentuk sinamot berkembang dari benda-benda magis menjadi bentuk binatang-binatang yang bernyawa. Penentuan jumlah sinamot biasanya dilakukan dalam tahapan marhori-hori dinding, marhusip, ataupun marhata sinamot, dan biasanya terdapat bentuk negosiasi-negosiasi tertentu antara paranak dengan parboru. Adat Batak Toba yang menyesuaikan dengan zaman, membuat konsepsi sinamot kian berkembang dan bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh adanya pengaruh globalisasi. Alasan yang paling fundamental ialah bahwa bentuk ulaon unjuk atau puncak acara perkawinan adat Batak sendiri juga telah berkembang. Awalnya, upacara perkawinan adat dilaksanakan dikampung dan diadakan dirumah milik paranak (taruhon jual) atau parboru (alap jual). Namun sekarang, khususnya dikota-kota besar, upacara perkawinan adat Batak kebanyakan dilangsungkan di gedung pertemuan. Berdasarkan hal-hal tersebut tentulah berkembang juga bentuk dan pengertian sinamot dalam mengikuti kebutuhan pesta perkawinan adat.

2. Melalui tahapan ulaon unjuk, menjadi suatu momentum bahwa telah berpindahnya kedudukan perempuan tersebut dari golongan kekerabatannya masuk ke dalam kekerabatan keluarga suaminya. Fenomena ini dapat terjadi oleh karena perempuan itu telah “dibeli” dan telah digantikan kedudukan magisnya yang telah vakum dalam kekerabatannya, melalui penyerahan sinamot tersebut. Perempuan tersebut tidak lagi menjadi bagian dari keluarga ayah dan ibunya, artinya kedudukan hukumnya sudah terputus dengan oraqngtua dan keluarganya, tetapi tidaklah hubungan biologisnya. Dengan adanya sinamot yang diserahkan dari paranak kepada parboru, maka demi hukum (adat Batak), perempuan tersebut telah menjadi bagian clan atau marga suaminya secara utuh, bahkan ia dapat menyandang marga suaminya. Di dalam rumah, suami menjadi pardongan saripeon atau kepala keluarga dan isteri menjadi ihanta saripada atau raja dalam membangun rumah suaminya. Perempuan yang telah dituhor itu menjadi bagian keluarga suaminya selamanya. Apabila dikemudian hari suami itu meninggal dunia, maka perempuan ini tidak dapat meninggalkan keluarga suaminya begitu saja dan tidak berhak atas anak-anaknya. Bahkan, ia tidak berhak menjadi ahli waris suaminya, sebab dirinya sendiri adalah juga warisan tersebut.

(21)

Saran

Dari kesimpulan diatas, terdapat bebrapa saran yang dapat dikemukakan sebagai masukan, antara lain:

1. Sebagaimana masukan dari Saor Siagian, S.H., M.Hum., bagi masyarakat adat Batak seyogyanya kembali kepada nilai-nilai fundamental dari sinamot itu sendiri yang sejatinya menekankan nilai penghormatan kepada keluarga perempuan. Sehingga bukan lagi tentang jumlahnya, tetapi lebih kepada perilaku daripada motivasi dalam menyerahkan sinamot itu sendiri.

2. Kiranya ada cara-cara yang lebih bijaksana, yang dapat dilakukan oleh masyarakat adat Batak, yang lebih efektif dan efisien, daripada memaksakan berhutang demi sinamot. 3. Semoga melalui penulisan skripsi ini, mendorong semakin banyak masyarakat adat Batak,

khususnya muda-mudi Batak, untuk menggali secara lebih mendalam mengenai Hukum Adat Batak Toba. Selain digali, diharapkan juga diterapkan sebagai bagian dari tatanan kehidupan sehari-hari, agar menjadi nilai dasar bertingkah laku masyarakat adat Batak Toba sebagai suatu kearifan lokal. Sehingga sesuai dengan filosofi Bangsa Indonesia, yakni “Bhinneka Tunggal Ika”.

Daftar Referensi

Buku

Gennep, Arnold van. The Rites of Passage. London & Henley: Routledge & Kegan Paul, 1965).  

Hadikusuma, Hilman (a). Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluargaan, Perkawinan, Pewarisan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1993.

Hadikusuma, Hilman (b), Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni, 1989. Hazairin (b). Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1975.

Khairunnisa, Andi Akhirah dan Rizki Ridha Damayanti. "Panai" dalam Perkawinan Adat Sulawesi Selatan. Surabaya: Penerbit Fakultas Hukum Univeristas Airlangga, 2012. Panjaitan, Op. Faustin. Memahami Istilah Adat – Istiadat dan Simbol Kehidupan Orang Batak

dan Pandohan na Marlapatan. Depok: Untuk Kalangan Sendiri, 2010.

Saragih, Djaren. Hukum Perkawinan Adat dan Undang-Undang Tentang Perkawinan Serta Peraruran Pelaksanaannya. Bandung: Penerbit Tarsito, 1992.

Sianipar, Sabam Huldrick Wesley. Tuho Parngoluon Ruhut Ni Adat Poda Ni Uhum Pangalaho Ni Padan Dalihan Na Tolu. ed. 2. Medan, 2001.

(22)

Soekanto, Soerjono (a). Hukum Adat Indonesia. cet.2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1983.

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia (a). Undang-Undang Perkawinan. UUP No. 1 Tahun 1974. Tesis

Manurung, Ferthy. “Kedudukan Hak Mewaris Janda Pada Masyarakat Perantauan di Kabupaten Cilacap Ditinjau Dari Hukum Waris Adat Batak”. Tesis Magister Universitas Diponegoro. Semarang. 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Hukum adat Batak Toba, khususnya perkawinan sangat memperhatikan prinsip dasar yaitu dalihan na tolu (artinya tungku nan tiga), yang merupakan suatu ungkapan yang menyatakan

Perkawinan pada masyarakat Batak Toba pada hakekatnya adalah sakral, dikatakan sakral karena dalam pemahaman adat Batak bermakna pengorbanan bagi parboru (pihak pengantin

Pada hukum adat yaag mempunyai sistem hukum kekeluargaan yang bersifat patrilineal (adat Batak Toba dan Batak Kara), kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung, anak angkat

Hasil Penelitian terhadap Sinamot Sebagai Mahar Dalam Perkawinan Adat Batak akan menunjukkan bahwa Sinamot memiliki kedudukan yang sangat penting dalam perkawinan

Simbol yang dimaksud dalam upacara perkawinan adat Batak Toba.. ialah pada saat

Identitas masyarakat Batak Toba yang dibentuk oleh pola komunikasi pada marhata sinamot dapat ditunjukkan dengan penggunaan komunikasi verbal maupun nonverbal (yang merupakan

marunjuk pada upacara adat perkawinan Batak Toba. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang menerapkan kerangka pikir pragmatik. Lokasi penelitian ini adalah

Pada hukum adat yaag mempunyai sistem hukum kekeluargaan yang bersifat patrilineal (adat Batak Toba dan Batak Kara), kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung, anak angkat