• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Masyarakat Batak Toba Dalam Upacara Pernikahan Adat (Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Antarbudaya Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba Pada Masyarakat di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Komunikasi Masyarakat Batak Toba Dalam Upacara Pernikahan Adat (Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Antarbudaya Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba Pada Masyarakat di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara)"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI MASYARAKAT BATAK TOBA DALAM UPACARA PERNIKAHAN ADAT

(Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Antarbudaya Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba Pada Masyarakat di Kelurahan Lestari

Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh :

SYLVIANA ULI FRANSISCA SIHITE 080904039

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR ... i

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Pembatasan Masalah ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

1.6 Kerangka Teori ... 8

1.7 Kerangka Konsep ... 13

1.8 Operasional Konsep ... 14

1.9 Definisi Operasional ... 14

BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi Antarbudaya ... 16

II.1.1 Pengertian Komunikasi Antarbudaya ... 16

II.1.2 Hakikat Proses Komunikasi Antarbudaya ... 18

II.1.3 Unsur-Unsur Proses Komunikasi Antarbudaya ... 18

II.1.4 Asumsi-Asumsi Komunikasi Antarbudaya ... 21

(3)

II.2 Identitas Etnis ... 23

II.2.1 Pengertian Identitas Etnis ... 23

II.2.2 Pendekatan Objektif dan Subjektif terhadap Identitas Etnis ... 25

II.3 Interaksi Simbolik ... 25

II.3.1 Pengertian Teori Interaksi Simbolik ... 25

II.3.2 Pesan Verbal, Perilaku Non Verbal dan Bahasa ... 27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metode Penelitian ... 31

III.1.1 Metode Penelitian Kualitatif ... 31

III.1.2 Studi Kasus ... 32

III.2 Lokasi Penelitian ... 36

III.3 Subjek Penelitian ... 37

III.4 Teknik Pengumpulan Data ... 38

III.5 Teknik Analisis Data ... 40

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Hasil dan Pengamatan Penelitian ... 41

IV.2 Pembahasan ... 67

BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan ... 75

V.2 Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA

(4)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Komunikasi Masyarakat Batak Toba dalam Upacara Pernikahan Adat (Proses Komunikasi Antarbudaya Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba Pada Masyarakat di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses komunikasi antarbudaya upacara pernikahan adat Batak Toba di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara dan mengetahui pergeseran simbol yang mungkin terjadi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, yaitu penelitian yang dilakukan secara terperinci tentang seseorang (individu) atau suatu unit sosial selama kurun waktu tertentu. Metode ini menggunakan analisis deskriptif dan pendekatan induktif dalam menganalisa datanya serta dilengkapi oleh teknik triangulasi untuk mengembangkan validitas data. Lokasi penelitian ini berada di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara dan Medan.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas segala karunia dan hikmat yang senantiasa diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan Skripsi dengan judul ‘’Komunikasi Masyarakat Batak Toba dalam Upacara Pernikahan Adat ‘’ ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya merupakan hasil pelajaran yang diterima oleh penulis selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan data yang didapatkan melalui riset, perpustakaan, internet, dan buku-buku literatur lainnya.

Secara khusus, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orangtua dan keluarga penulis, bapak Hotman Sihite, mama Rosdiana Sinaga untuk doa dan kasih sayang tiada tara serta dukungan yang besar yang diberikan selama ini, juga untuk adik penulis yang menjadi semangat penulis Andres Sihite. Tidak lupa juga kepada opung, tante, uda, tulang, nantulang dan adik-adik sepupu lainnya yang selalu memberikan motivasi kepada penulis.

(6)

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU serta Ibu Dra. Dayana, Msi selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU atas segala bantuannya yang sangat berharga bagi penulis.

3. Ibu Lusiana A. Lubis, M.A.,Ph. D selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan banyak masukan, arahan, bimbingan serta motivasi dalam pengerjaan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen dan Staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing mulai dari semester awal hingga penulis menyelesaikan perkuliahan di kampus.

5. Laboratorium Departemen Ilmu Komunikasi, Kak Yovita Sabarina Sitepu, SSos, MSi selaku ketua serta Kak Hanim dan Kak Puan yang telah mengijinkan penulis menjadi bagian dari LDiK sehingga penulis memperoleh banyak ilmu yang bermanfaat.

6. Sahabat-sahabat tercinta, Bintang Octavia Simamora, Dama Paundra Falletehan, Kariza Siahaan, Ika Damayanti Saragih, Melisa Angelina Pangaribuan, Sondang Mariana, Dedi Syahputra, Caroline Ulinta yang telah mewarnai hari-hari penulis selama kuliah. Terima kasih untuk doa, dukungan dan persahabatan selama ini. 7. IMAJINASI FISIP USU terutama pengurus periode 2010-2011, Kak Inda

(7)

8. Kak Ros, Kak Icut dan Kak Maya yang selalu membantu penulis dalam memperoleh informasi tentang perkuliahan.

9. Seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi dari berbagai stambuk, terutama stambuk 2008 yang telah berjuang bersama-sama dengan penulis sampai akhir perkuliahan.

10. Seluruh informan yang bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas kebaikan, dukungan dan doa yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa penulisan ini jauh dari sempurna. Untuk itu saran dan kritik dibutuhkan penulis demi perbaikan skripsi ini. Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2012 Penulis

(8)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Komunikasi Masyarakat Batak Toba dalam Upacara Pernikahan Adat (Proses Komunikasi Antarbudaya Dalam Upacara Pernikahan Adat Batak Toba Pada Masyarakat di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses komunikasi antarbudaya upacara pernikahan adat Batak Toba di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara dan mengetahui pergeseran simbol yang mungkin terjadi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, yaitu penelitian yang dilakukan secara terperinci tentang seseorang (individu) atau suatu unit sosial selama kurun waktu tertentu. Metode ini menggunakan analisis deskriptif dan pendekatan induktif dalam menganalisa datanya serta dilengkapi oleh teknik triangulasi untuk mengembangkan validitas data. Lokasi penelitian ini berada di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara dan Medan.

(9)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial dan tidak dapat hidup sendiri. Oleh karenanya, manusia selalu membangun interaksi atau hubungan dengan orang-orang yang berada di lingkungannya. Upaya manusia dalam membangun interaksi atau hubungan dengan lingkungannya tersebut yaitu dengan melakukan komunikasi dan membentuk kelompok yang berpengaruh didalam kehidupannya. Manusia juga hidup untuk saling melengkapi satu dengan yang lainnya untuk bertahan hidup.

Dengan komunikasi, manusia dapat saling menukar informasi dan membangun hubungan dengan orang lain. Deddy Mulyana (Mulyana, 2004:5-6) berpendapat bahwa manusia didalam membangun konsep diri, aktualisasi diri, mempertahankan kelangsungan hidup, terhindar dari tekanan dan berinteraksi sosial, komunikasi berperan dan dibutuhkan didalamnya.

(10)

Budaya berkaitan erat dengan komunikasi, karena komunikasi yang mengembangkan dan mewariskan budaya tersebut. Dalam mempertahankan keberlangsungan hidupnya, manusia menjalankan budaya yang diwariskan. Salah satu perwujudan budaya tersebut adalah membangun hubungan dengan orang lain lewat pernikahan. Pernikahan merupakan dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan

Setiap negara yang ada di dunia memiliki hukum dan ketentuan tentang pernikahan yang dapat dilaksanakan. Di negara Indonesia, suatu pernikahan dinyatakan sah dan dapat dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 1, yang berbunyi : Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernikahan yang dilakukan oleh manusia tidak hanya melibatkan pasangan yang menikah saja, namun seluruh keluarga, saudara-saudara dan kerabat dari masing-masing pasangan. Pernikahan yang terjadi menghasilkan suatu keluarga yang akan meneruskan budaya yang akan diteruskan kembali kepada keturunannya. Hal ini terjadi terus menerus seiring berjalannya waktu.

(11)

Sabang hingga Merauke. Salah satu dari puluhan suku bangsa yang ada di Indonesia adalah suku bangsa Batak. Suku Bangsa Batak terletak di Sumatera bagian Utara. Suku bangsa ini menggunakan marga (klan) sebagai penanda asal usul keluarga. Keturunan dari suku bangsa Batak sudah memiliki marga sejak lahir. Marga merupakan lambang adat bagi suku bangsa Batak (Simanjuntak, 2006:90-91)

Suku bangsa Batak ini masih terbagi ke dalam 6 subsuku, antara lain Batak Karo, Batak Pakpak atau Dairi, Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Mandailing dan Batak Angkola. Enam subsuku bangsa Batak ini terletak di berbagai daerah di Sumatera Utara dan memiliki budaya yang berbeda satu dengan yang lainnya (Pasaribu, 1995:11).

Batak Toba merupakan salah satu subsuku bangsa Batak yang berlokasi di Tapanuli bagian Utara. Batak Toba memiliki budaya dalam upacara pernikahan adat yang berbeda dengan subsuku bangsa Batak lainnya. Pernikahan pada masyarakat Batak Toba terjadi diluar marganya. Pernikahan Batak Toba yang dilarang adalah pernikahan yang terjadi karena semarga, karena hal tersebut dianggap sebagai suatu pernikahan sedarah atau incest (Simanjuntak, 2006:108).

(12)

Suatu pernikahan bertujuan untuk mewujudkan suatu keluarga yang utuh, harmonis dan terdapat kesesuaian sebagai unit yang terkecil dalam suatu masyarakat. Tidak mengherankan bahwa latar belakang yang sama dari kedua belah pihak yang menikah menjadi hal yang penting. Seperti yang terjadi dalam masyarakat Batak Toba, dianjurkan untuk menikah dengan sesama suku Batak Toba. Namun apabila terjadi pernikahan dengan orang yang berasal diluar suku Batak Toba, maka harus terlebih dahulu menjadi orang Batak Toba dengan pemberian marga kepada laki-laki yang disebut manampe marga dan pemberian marga kepada perempuan yang disebut marboruhon (Brudner, 2006:159).

Didalam suatu suku bangsa pasti memiliki langkah-langkah yang harus dilakukan dalam upacara pernikahan adatnya, begitu juga halnya dengan Batak Toba. Kedua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan harus mengikuti aturan didalam adat istiadat sebelum memasuki proses pernikahan adat yang telah ditetapkan sejak dahulu. Pada daerah asal masyarakat Batak Toba yang berada di Tapanuli Utara, kebudayaannya masih kental dan proses pernikahan adat tentunya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku didalam adat istiadat.

(13)

Melihat fenomena ini, maka penting untuk memahami apakah simbol-simbol komunikasi yang ada pada upacara pernikahan adat Batak Toba mengalami pergeseran atau tidak. Hal ini dikarenakan berpindahnya masyarakat Batak Toba ke daerah yang baru tentunya harus menyesuaikan dengan lingkungan barunya.

Kabupaten Asahan merupakan salah satu tempat menyebarnya masyarakat Batak Toba di Sumatera Utara dan beribukota di Kisaran. Kisaran memiliki 25 Kecamatan dan salah satunya adalah Kecamatan Kisaran Timur. Lestari merupakan salah satu Kelurahan di Kecamatan Kisaran Timur. Di daerah Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara ini juga terdapat suku bangsa lainnya seperti Jawa, Melayu, Minang, dan lain sebagainya

(14)

Ketertarikan penelitian ini didasari terhadap kemungkinan hilangnya nilai budaya suatu suku bangsa sehingga akan berkurangnya pengetahuan budaya yang biasanya diwariskan secara turun menurun lewat komunikasi. Dengan menggunakan analisis studi kasus, maka diharapkan berbagai pertanyaan seputar masalah proses komunikasi budaya upacara pernikahan adat Batak Toba di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara dapat terjawab.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :

“Bagaimanakah proses komunikasi antarbudaya pada upacara pernikahan adat Batak Toba di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara ?”

1.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari lingkup penelitian yang terlalu luas maka perlu dibuat pembatasan masalah. Dan adapun pembatasan masalah dari penelitian ini adalah :

(15)

2. Subjek penelitian dikhususkan pada pengantin adat Batak Toba, keluarga pengantin adat Batak Toba dan pemuka adat Batak Toba yang berada di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara.

I.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui proses komunikasi antarbudaya upacara pernikahan adat Batak Toba di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui pergeseran simbol-simbol asli yang mungkin terjadi dalam proses komunikasi antarbudaya upacara pernikahan adat Batak Toba di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara.

I.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

(16)

2. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bersama dalam memahami proses komunikasi budaya dalam suatu upacara adat yang terjadi di lingkungan kita.

I.6 Kerangka Teori

Pada suatu penelitian, peneliti harus memiliki landasan teori yang sesuai dengan masalah yang akan ditelitinya. Teori memberikan pemahaman dan penjelasan terhadap sesuatu yang sulit untuk dimengerti. Teori memberikan dasar dalam suatu penelitan untuk memprediksi dan merumuskan pernyataan-pernyataan yang menyangkut pemahaman pemikiran (Severin & Tankard, 2008:12-13).

Teori merupakan proposisi yang memberikan penjelasan atas suatu gejala. Teori memberikan suatu jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana. Teori merupakan penjelasan atau rumusan yang pada umumnya benar (Soehartono, 2008:6). Teori dapat digunakan sebagai dasar penelitian karena dapat menyimpulkan pengetahuan tentang suatu hal, memfokuskan suatu hal, dapat menjelaskan hal yang diamati, memberikan petunjuk untuk melakukan pengamatan membuat prediksi terhadap keadaan yang akan terjadi (Senjaya, 2001:1.12).

(17)

I.6.1 Komunikasi Antarbudaya dan Komunikasi Intrabudaya

Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpetif, transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang yang memiliki perbedaan derajat kepentingan. Komunikasi antarbudaya juga diartikan sebagai interaksi antarpribadi antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayaan (Liliweri, 2004:11). Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggungjawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki oleh setiap orang (Mulyana dan Rahmat, 2005: 21).

(18)

Setiap hubungan antarmanusia dalam satu budaya selalu diatur dengan sosialisasi indoktrinasi dan instruksi-instruksi nilai. Perlu diketahui bahwa komunikasi intrabudaya merupakan suatu gejala yang selalu ada dalam konteks kebudayaan tertentu. Hubungan intrabudaya selalu didasarkan pada sikap diskriminasi geopolitik dan lain-lain (Liliweri, 2001:11-13).

I.6.2 Identitas Etnis

Menurut Phinney dan Alipora (1990) identitas etnis adalah sebuah konstruksi yang kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnik, evaluasi positif pada kelompok, berminat didalam dan berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang berhubungan dengan etnisitas. Weinreich (1985) menyebutkan bahwa identitas sosial, termasuk identitas etnis merupakan penggabungan ide-ide, perilaku, sikap, dan simbol-simbol bahasa yang ditransfer dari generasi ke generasi melalui sosialisasi. Jadi, identitas etnis seseorang tidak berhenti ketika orang ditasbihkan sebagai anggota etnis tertentu melalui bukti ‘darah’. Akan tetapi identitas itu terbentuk melalui sosialisasi dalam keluarga dan masyarakat lingkungannya

(19)

etnik lain sebagai komparasi dan penegas identitas tersebut. Identitas etnis merupakan hasil dari interaksi sosial. Kelompok yang tidak berinteraksi dengan kelompok lain mungkin tidak akan menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan-kesamaan yang besar. Hanya dengan interaksi dengan kelompok lain identitas etnik mereka terbangun, dan semakin intens interaksi itu, semakin berkembang pula identitas etnisny

Identitas Etnik berhubungan pada latar belakang etnis mereka yang dianggap sebagai inti diri mereka. Diri yang berkonteks etnis inilah yang disebut identitas etnis (Mulyana & Rahmat, 2005:152). Menurut Keefe (1992) identitas etnis terdiri dari dua elemen, yaitu: 1) Identifikasi etnik sendiri vs kelompok etnik lain melalui proses kognitif, 2) Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya yang merupakan elemen afektif. Tatkala seseorang merasa memiliki identitas etnis, maka ia mengidentifikasi siapa yang menjadi anggota kelompok etnik sendiri dan siapa yang menjadi anggota kelompok etnik lain. Ia pun mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada antara kelompok etnik sendiri dan kelompok lain. Ia juga memiliki keterikatan emosional tertentu terhadap etniknya. Elemen diatas menggambarkan bahwa identitas etnik merupakan fenomena objektif dan subjektif (Hocoy, 1996). Fenomena objektif manakala seseorang menegaskan identitas etniknya melalui kriteria-kriteria tertentu yang pasti

I.6.3 Interaksi Simbolik

(20)

berdasarkan kesepakatan bersama. Pesan diwujudkan dalam bentuk lambang berupa kata-kata, gambar dan tulisan (pesan verbal), dan perilaku nonverbal. Komunikasi disebut sistem simbolik karena penggunaan simbol-simbol yang terorganisasi dan disepakati secara umum sebagai wahana pertukaran gagasan. Proses komunikasi berada dalam sistem simbolik, oleh karena itu komunikasi juga disebut sebagai interaksi simbolik (Purwasito, 2003:206-207).

Dalam tataran konsep komunikasi, komunikasi hakikatnya adalah suatu proses interaksi simbolik antara pelaku komunikasi. Terjadi pertukaran pesan kepada pihak lain yang diajak berkomunikasi tersebut. Pertukaran pesan ini tidak hanya dilihat dalam rangka transmisi pesan, tapi juga dilihat pertukaran cara pikir, dan lebih dari itu demi tercapainya suatu proses pemaknaan. Komunikasi adalah proses interaksi simbolik dalam bahasa tertentu dengan cara berpikir tertentu untuk pencapaian pemaknaan tertentu pula, dimana kesemuanya terkonstruksikan secara sosial. Mungkin kontribusi terbesar Mead terhadap bagaimana kita memahami cara kita berpikir adalah konsepsi Mead tentang ‘seni berperan’ (take the role of the other). Konsep diri menurut Mead sebenarnya kita melihat diri kita

lebih kepada bagaimana orang lain melihat diri kita (imagining how we look to another person). Kaum interaksionisme simbolik melihat gambaran mental ini

sebagai the looking-glass self dan bahwa hal tersebut dikonstruksikan secara sosial (http://interaksisimbolik.blogspot.com/).

(21)

mencoba melihat bagaimanakah perspektif orang tersebut ketika memandang dirinya. Konsep diri adalah fungsi secara bahasa. Tanpa pembicaraan maka tidak akan ada konsep diri. Nah, konsep diri ini sendiri pada nantinya terbentuk atau dikonstruksikan melalui konsep pembicaraan itu sendiri, melalui bahasa (language

I.7 Kerangka Konsep

Konsep adalah satu kata atau lebih yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, misalnya benda, ide, atau gejala tertentu. Konsep ini dapat menunjukkan hal-hal yang nyata atau konkret (Soehartono, 2008:28). Kerangka konsep adalah sebagai hasil pemikiran yang rasional, merupakan uraian yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai, dapat mengantarkan penelitian pada rumusan hipotesis (Nawawi & Martini, 1995:40).

Maka konsep operasional yang akan diteliti adalah

A. Identitas Etnis

(22)

I.8 Operasional Konsep

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka konsep operasional dijadikan sebagai indikator dalam memecahkan masalah. Agar konsep operasional sesuai dengan penelitian, maka dioperasionalkan sebagai berikut:

Konsep Operasional Operasionalisasi Konsep

A. Identitas Etnis Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya :

1. Komitmen

2. Sense of belonging

3. Evaluasi positif pada kelompok etnis 4. Aspirasi masa depan yang

berhubungan dengan etnisitas

5. Berminat didalam dan

berpengetahuan tentang kelompok etnis

6. Turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok etnis

B. Interaksi Simbolik 1. Pesan verbal 2. Perilaku nonverbal

I.9 Definisi Operasional

(23)

Maka variabel yang terdapat didalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut :

A. Identitas Etnis

1. Komitmen: kesadaran dan tanggung jawab terhadap kelompok etnisnya. 2. Sense of belonging: rasa kepemilikan terhadap kelompok etnisnya.

3. Evaluasi positif pada kelompok etnis: penilaian positif didalam kelompok etnisnya.

4. Aspirasi masa depan yang berhubungan dengan etnisitas: harapan yang dibangun terkait etnisnya.

5. Berminat didalam dan berpengetahuan tentang kelompok etnis: tertarik dan mengetahui segala sesuatu tentang yang berada pada kelompok etnisnya.

6. Turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok etnis: turut berperan dalam kegiatan yang dilakukan kelompok etnisnya.

B. Interaksi Simbolik

1. Pesan verbal: pesan yang diwujudkan dalam bentuk lambang, berupa kata-kata, gambar dan tulisan.

(24)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1 Komunikasi Antarbudaya

II.1.1 Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Terdapat beberapa pengertian komunikasi antarbudaya yang telah diuraikan oleh beberapa ahli, diantaranya Fred. E. Jandt yang mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara orang yang berbeda-beda budaya. Komunikasi antarbudaya merupakan bagian dari komunikasi multikultural. Colliers dan Thomas mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai komunikasi yang terjadi diantara orang yang memiliki perbedaan budaya. Stephen Dahl sendiri mengartikan komunikasi antarbudaya secara spesifik, yaitu komunikasi yang terjadi didalam masyarakat yang berasal dari dua ataupun lebih kebangsaan yang berbeda, seperti perbedaan rasial dan latar belakang etnik. Definisi lain tentang komunikasi antarbudaya dikemukakan oleh Stuward L. Tubbs. Beliau mendefinisikan komunikasi antarbudaya sebagai komunikasi yang terjadi diantara dua anggota yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda baik secara rasial, etnik maupun sosial-ekonomi. Dari definisi yang telah diuraikan oleh beberapa ahli, maka dikemukakan kesimpulan definisi komunikasi antarbudaya, yaitu suatu tindak komunikasi dimana para partisipan berbeda latar belakang budayanya (Purwasito, 2003:122-124).

(25)

antara pelaku komunikasi menjadi permasalahan yang inheren dalam proses komunikasi manusia. Komunikasi antarbudaya memiliki dua aspek, yaitu komunikasi intrabudaya dan komunikasi lintas budaya (Senjaya. 2007: 7.10-7.11).

Sitaram dan Cogdell (1976) mengidentifikasi komunikasi intrabudaya sebagai komunikasi yang berlangsung antara para anggota kebudayaan yang sama namun tetap menekankan pada sejauh mana perbedaan pemahaman dan penerapan nilai-nilai budaya yang mereka miliki bersama. Analisis komunikasi intrabudaya selalu dimulai dengan mengulas keberadaan kelompok/subbudaya dalam satu kebudayaan, juga tentang nilai subbudaya yang dianut. Jadi, studi intrabudaya memusatkan perhatian pada komunikasi antara para anggota subbudaya dalam satu kebudayaan. Komunikasi intrabudaya pun dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengukur tingkat efektivitas pengiriman, penerimaan dan pemahaman bersama atas nilai yang ditukar diantara partisipan komunikasi yang kebudayaannya homogeny (Liliweri, 2001:9).

Setiap hubungan antarmanusia dalam satu budaya selalu diatur dengan sosialisasi indoktrinasi dan instruksi-instruksi nilai. Perlu diketahui bahwa komunikasi intrabudaya merupakan suatu gejala yang selalu ada dalam konteks kebudayaan tertentu. Hubungan intrabudaya selalu didasarkan pada sikap diskriminasi geopolitik dan lain-lain (Liliweri. 2001:11-13).

(26)

Pada penelitian ini, penulis menggunakan komunikasi intrabudaya sebagai teori dasar pada penelitian, karena sesuai dengan permasalahan penelitian.

II.1.2 Hakikat Proses Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi merupakan proses yang menghubungkan manusia melalui sekumpulan tindakan yang terus menerus diperbaharui. Komunikasi melibatkan pertukaran tanda-tanda melalui suara, kata-kata, atau suara dan kata-kata. Pada hakikatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan proses komunikasi lainnya, yakni suatu proses yang interaktif, transaksional dan dinamis. Komunikasi antarbudaya yang interaktif yaitu dilakukan oleh komunikator dengan komunikan dalam dua arah/timbal balik (two ways communication). Komunikasi transaksional meliputi 3 unsur, yaitu keterlibatan emosi yang tinggi yang berkesinambungan atas pertukaran pesan, berkatitan dengan masa lalu, kini dan yang akan datang dan berpartisipasi dalam komunikasi antarbudaya untuk menjalankan suatu peranan (Liliweri, 2004:24-25).

II.1.3 Unsur-Unsur Proses Komunikasi Antarbudaya

(27)

percakapan dalam konteks budaya, orientasi terhadap konsep individualitas dan kolektivitas dari suatu masyarakat, orientasi terhadap ruang dan waktu. Sedangkan faktor mikronya adalah komunikasi dalam konteks yang segera, masalah subjektivitas dan objektivitas dalam komunikasi antarbudaya, kebiasaan percakapan dalam bentuk dialek dan aksen, dan nilai serta sikap yang menjadi identitas sebuah etnik (Liliweri, 2004: 25-26).

Unsur kedua dalam proses komunikasi antarbudaya adalah komunikan. Komunikan merupakan penerima pesan yang disampaikan oleh komunikator. Dalam komunikasi antarbudaya, komunikan merupakan seorang yang berbeda latar belakang dengan komunikator. Tujuan komunikasi yang diharapkan ketika komunikan menerima pesan dari komunikator adalah memperhatikan dan menerima secara menyeluruh. Ketika komunikan memperhatikan dan memahami isi pesan, tergantung oleh tiga bentuk pemahaman, yaitu kognitif, afektif dan overt action. Kognitif yaitu penerimaan pesan oleh komunikan sebagai sesuatu yang

benar, kemudian afektif merupakan kepercayaan komunikan bahwa pesan tidak hanya benar namun baik dan disukai, sedangkan overt action merupakan tindakan yang nyata, yaitu kepercayaan terhadap pesan yang benar dan baik sehingga mendorong suatu tindakan yang tepat (Liliweri, 2004:26-27).

(28)

keterampilan komunikasi, sikap, tingkat pengetahuan, posisi dalam sistem sosial dan kebudayaan (Liliweri, 2004: 27-28).

Unsur keempat yaitu media. Dalam proses komunikasi antarbudaya, media merupakan saluran yang dilalui oleh pesan atau simbol. Terdapat dua tipe saluran yang disepakati para ilmuwan sosial, yaitu sory channel, yakni saluran yang memindahkan pesan sehingga akan ditangkap oleh lima indera manusia. Lima saluran dalam channel ini yaitu cahaya, bunyi, tangan, hidung dan lidah. Saluran kedua yaitu institutionalized channel yaitu saluran yang sudah sangat dikenal manusia seperti percakapan tatap muka, material percetakan dan media elektronik. Para ilmuwan sosial menyimpulkan bahwa komunikan akan lebih menyukai pesan yang disampaikan melalui kombinasi dua atau lebuh saluran sensoris (Liliweri, 2004:28-29).

(29)

Unsur ketujuh dalam proses komunikasi antarbudaya adalah gangguan. Gangguan didalam komunikasi antarbudaya merupakan segala sesuatu yang menghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dan komunikan dan dapat juga mengurangi makna pesan antarbudaya. Gangguan tersebut menghambat penerimaan pesan dan sumber pesan. Gangguan yang berasal dari komunikator bersumber akibat perbedaan status sosial dan budaya, latar belakang pendidikan dan keterampilan berkomunikasi. Gangguan yang berasal dari pesan disebabkan oleh perbedaan pemberian makna pesan yang disampaikan secara verbal dan perbedaan tafsir atas pesan non verbal. Sedangkan gangguan yang berasal dari media, yaitu karena kesalahan pemilihan media yang tidak sesuai dengan konteks komunikasi sehingga kurang mendukung komunikasi antarbudaya. De Vito (1997) menggolongkan tiga macam gangguan, yaitu fisik, psikologis dan semantik. Gangguan fisik berupa interfensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain, gangguan psikologis berupa interfensi kognitif atau mental, sedangkan gangguan semantik berupa pembicara dan pendengar memiliki arti yang berlainan (Liliweri, 2004:30-31).

II.1.4 Asumsi-Asumsi Komunikasi Antarbudaya

(30)

1. secara teoritis memindahkan fokus dari satu kebudayaan kepada kebudayaan yang dibandingkan.

2. membawa konsep aras makro kebudayaan ke aras mikro kebudayaan. 3. menghubungkan kebudayaan dengan proses komunikasi.

4. membawa perhatian kita kepada peranan kebudayaan yang mempengaruhi perilaku (Liliweri, 2004:14).

Asumsi teori komunikasi antarbudaya merupakan seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan tempat yang valid dimana teori-teori komunikasi antarbudaya itu dapat diterapkan. Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka dikenal beberapa asumsi, yaitu :

1. komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.

2. dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi. 3. gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi.

4. komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian. 5. komunikasi berpusat pada kebudayaan.

6. efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2004:15).

II.1.5 Dimensi-Dimensi Komunikasi Antarbudaya

(31)

dalam unsur-unsur dasar dan proses komunikasi, namun dengan pengaruh kebudayaan yang tercakup dalam latar belakang pengalaman individu membentuk pola persepsi, pemikiran, penggunaan pesan verbal dan perilaku nonverbal dan hubungan yang ada didalamnya. Pada dimensi ketiga berkaitan dengan saluran komunikasi. Saluran tersebut dibagi atas saluran antarpribadi/perorangan dan media massa. Bersama dengan dua dimensi sebelumnya, dimensi ketiga ini mempengaruhi proses dari hasil keseluruhan proses komunikasi antarbudaya. Ketiga dimensi ini dapat digunakan secara terpisah maupun bersamaan (Senjaya, 2007:7.12-7.14).

II.2. Identitas Etnis

II.2.1 Pengertian Identitas Etnis

Alasan utama manusia cenderung untuk bereaksi daripada merespon adalah karena melihat kesamaan absolut atau disebut juga dengan identitas. Identitas berkaitan dengan dua konstruk didalam teori general semanticsi, yaitu nonallness yang berarti bahwa manusia tidak dapat mengatakan sesuatu secara

tentang segala hal dan nonadditivity memberikan gambaran bahwa terdapat hal-hal yang tidak diketahui tentang sesuatu pada saat berbicara (Senjaya, 2007:6.43-6.44).

(32)

kepercayaan dan sikap. Ting Tomey beranggapan bahwa identitas merupakan gambaran seorang individu atau konsep diri individu yang direfleksikan. Pada dasarnya identitas merujuk kepada pandangan refletif tentang diri sendiri maupun persepsi orang lain tentang gambara diri kita. Bagi Matthews, identitas didefinisikan sebagai bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Fong menjelaskan identitas budaya sebagai berikut :

“Identitas komunikasi dari sistem perilaku simbolis verbal dan non-verbal yang memiliki arti dan yang dibagikan di antara anggota kelompok yang memiliki rasa saling memiliki dan yang membagi tradisi, warisan, bahasa, dan norma-norma yang sama. Identitas budaya merupakan konstruksi sosial” (Samovar,dkk , 2010:184).

(33)

II.2.2 Pendekatan Objektif dan Subjektif terhadap Identitas Etnis

Terdapat dua pendekatan didalam identitas etnis, yaitu pendekatan objektif (struktural) dan pendekatan subjektif (fenomenologis). Pendekatan objektif melihat sebuah kelompok etnis sebagai kelompok yang dapat dibedakan dari kelompok lainnya berasarkan ciri-ciri budaya seperti bahasa, agama maupun asal usul kebangsaan. Sedangkan pendekatan subjektif merumuskan identitas etnis sebagai proses orang-orang menjadi bagian dari suatu kelompok etnis dan memusatkan perhatiannya kepada kelompok etnis yang diteliti (Mulyana & Jalaludin, 2005:152).

Pendekatan subjektif (fenomenologis) mengkritik pendekatan positivistik dalam arti bahwa ia membatasi kemungkinan perilaku manusia dapat dipelajari. Menurut Barth, ciri-ciri penting dari suatu kelompok etnis adalah atribusi yang diberikan oleh kelompok internal dan kelompok eksternal (Mulyana & Jalaludin, 2005:156). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan subjektif sebagai dasar teori karena sesuai dengan penelitian.

II.3 Interaksi Simbolik

II.3.1 Pengertian Teori Interaksi Simbolik

(34)

digunakan dalam menyampaikan suatu budaya dari generasi ke generasi. Menurut Gudykunst dan Kim, hal yang penting yang harus diingat yaitu simbol dijadikan ketika orang sepakat untuk menjadikannya suatu simbol (Samovar, dkk: 2010:18-20).

Partisipan komunikasi menyampaikan pesan dengan menggunakan simbol-simbol dan lambang-lambang yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama. Pesan diartikan sebagai isi, pikiran, idea tau gagasan yang dikirim kepada penerima dengan tujuan mempengaruhi pikiran dan gagasan orang lain. Pesan diwujudkan dalam bentuk pesan verbal dan perilaku nonverbal. Komunikasi juga merupakan suatu sistem simbolik, karena disepakati bersama sebagai wahana pertukaran pesan. Bahasa merupakan alat utama berkomunikasi dalam mengungkapkan pikiran, idea tau gagasan, pengalaman-pengalaman, tujuan agar komunikasi berjalan secara alami. De Saussure menyatakan bahasa sebagai simbol-simbol komunikasi dengan sebuah tanda. Tanda merupakan representasi abstrak yang berubah-ubah, bersifat bebas dan didefinisikan sebagai sesuatu yang ambigu dan memiliki makna sesuai latar budaya. Bahasa tidak saja berinteraksi antarsesama sebagai alat komunikasi, tetapi digunakan juga sebagai alat untuk menggalang kekuasaan, ideologi, hegemoni dan imperialisme (Purwasito, 2003:206-208).

(35)

hal itu. Premis kedua, mengutip Blumer (1969), adalah interaksionisme simbolik yang mengatakan bahwa “makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain”. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan dan didefinisikan dalam konteks orang yang berkomunikasi. Premis ketiga, dari interaksionisme simbolik tersebut “makna digunakan dan dimodifikasi melalui proses penafsiran yang dirangsang oleh persoalan yang dihadapi” (Purwasito, 2003:208,210).

Proses dimana manusia secara arbiter menjadikan hal-hal tertentu untuk mewakili hal-hal lainnya disebut dengan proses simbolik. Kebebasan untuk menciptakan simbol dengan nilai-nilai tertentu menciptakan simbol-simbol bagi simbol-simbol-simbol-simbol lainnya penting bagi proses simbol-simbolik. Proses simbol-simbolik menembus kehidupan manusia dalam tingkatan paling primitif dan tingkat paling beradab (Mulyana dan Rahmat, 2005:101-102).

II.3.2 Pesan Verbal, Perilaku Non Verbal dan Bahasa II.3.2.1 Pesan Verbal

Komunikasi verbal yaitu penyampaian pesan yang disampaikan secara oral/ lisan serta dalam bentuk tertulis. Terdapat beberapa teori didalam komunikasi verbal, yaitu pendekatan natural (nature approach), pendekatan nurtural (nurture approach) dan teori fungsional tentang bahasa (general semantics). Pada teori pendekatan natural terdapat tiga struktur dalam sebuah

(36)

dengan objek yang mengekspresikan hubungan sebab akibat dan modifikasi yang menunjukan pertautan kelas. Pada teori pendekatan nurtural, Edward Sapir dan Benyamin Whorf mengemukakan bahwa teori ini menentang teori pendekatan alamiah. Pusat kajian teori ini adalah makna dari kata suatu teori kultural mengenai bahasa. Sedangkan pada teori fungsional tentang bahasa hanya difokuskan pada makna dari kata dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku manusia. Dalam teori ini, harus dipahami sifat-sifat dari simbol dan bagaimana menggunakan simbol tersebut (Senjaya, 2007:6.38-6.41).

II.3.2.2 Perilaku Non Verbal

Yang dimaksud dengan komunikasi non verbal, yaitu :

1. Komunikasi non verbal merupakan tindakan dan atribusi (lebih dari penggunaan kata-kata) yang dilakukan seseorang kepada orang lain bagi pertukaran makna, yang selalu dikirimkan dan diterima secara sadar oleh dan untuk mencapai umpan balik atau tujuan tertentu. (Burgoon and Saine 1978).

2. Komunikasi non verbal meliputi ekspresi wajah, nada suara, gerakkan anggota tubuh, kontak mata, rancangan ruangan, pola-pola peradaban, gerakan ekspresif, perbedaan budaya dan tindakan tindakan non verbal lain yang tak menggunakan kata-kata. Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa komunikasi non verbal itu sangat penting untuk memahami perilaku antarmanusia daripada memahami kata-kata verbal yang diucapkan atau yang ditulis, pesan-pesan non verbal memperkuat apa yang disampaikan secara verbal.

3. Studi tersendiri untuk menggambarkan bagaimana orang berkomunikasi melalui perilaku fisik, tanda-tanda vokal dan relasi ruang atau jarak. Akibatnya penelitian tentang komunikasi non verbal acapkali menekankan pada dimensi beberapa aspek tertentu dari bahasa. (Terrence A.

(37)

5. Komunikasi non verbal meliputi semua stimuli non verbal dalam setting komunikatif digeneralisasikan oleh individu dan lingkungan yang memakainya.

6. Komunikasi non verbal meliputi pesan non verbal yang memiliki tujuan ataupun tidak memiliki tujuan tertentu (Purwasito, 2003:138-139).

Dari definisi diatas disimpulkan bahwa komunikasi non verbal merupakan cara berkomuikasi melalui pernyataan wajah, nada suara, isyarat-isyarat, kontak mata, dan lain-lain (Purwasito, 2003:140). Menyangkut kepada interaksi non verbal, Beamer dan Varnet menyatakan bahwa komunikasi non verbal dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah latar belakang budaya, latar belakang sosial ekonomi, pendidikan, gender, usia, kecenderungan pribadi dan indionkrasi. Banyak perilaku non verbal manusia dilaksanakan secara tidak sadar dan spontan. Kesamaan budaya dan perilaku non verbal yaitu keduanya dikerjakan melalui naluri dan dipelajari. Dengan memahami budaya dalam perilau non verbal, manusia dapat memahami pesan dalam proses interaksi dan mengumpulkan petunjuk mengenai tindakan serta nilai yang disadarinya. Komunikasi non verbal terkadang menunjukkan sifat dasar suatu budaya (Samovar, dkk, 2010:296-298).

III.3.2.3 Bahasa

(38)

2010:268). Bahasa merupakan medium untuk menyatakan kesadaran dalam suatu konteks sosial. Dalam komunikasi antarmanusia sehari-hari kita diperkenalkan oleh istilah-istilah seperti bahasa lisan, bahasa tulisan, bahasa isyarat, bahasa jarak dan lain sebagainya (Liliweri, 2004:130).

Ohoiwutun (1997) menulis dalam bukunya yang berjudul Sosio-Linguistik, Memahami Bahasa dalam Konteks Masyarakat dan Kebudayaan, bahwa bahasa

(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Metode Penelitian

III.1.1 Metode Penelitian Kualitatif

Metode penelitian didalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Secara luas, metodologi merujuk kepada proses, prinsip, dan prosedur yang digunakan peneliti dalam mencari jawaban atas masalah yang akan diteliti atau disebut juga cara seseorang melakukan penelitian. Metode penelitian merupakan strategi menyeluruh untuk menemukan dan memperoleh data yang ditentukan (Soehartono, 2008:9).

(40)

Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur atau cara dalam melakukan sebuah penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Metode ini digunakan untuk meneliti subjek penelitian dengan dipengaruhi cara peneliti memandang subjeknya. Dengan metode ini, peneliti mengenal subjek penelitian secara pribadi dan melihat subjek penelitian dalam mengembangkan definisi mereka tentang dunia ini. Peneliti dapat merasakan apa yang dirasakan oleh respondennya, mempelajari suatu kelompok dan pengalaman-pengalaman yang belum diketahui sebelumnya. Aliran utama didalam metode ini adalah pengamatan peserta (participant observation), dokumen pribadi (personal document) dan wawancara tak berstuktur (unstructured interviewing) (Furchan,

1992:21-22).

III.1.2 Studi Kasus

(41)

empiris yang menyelidiki fenomena didalam suatu konteks kehidupan yang nyata, dimana batas-batas fenomena dan konteks tidak terlihat secara tegas dan dimana sumber bukti dimanfaatkan (Bungin, 2003:19-20).

Studi kasus dilihat dari dimensi tertentu dapat disebut studi longitudinal yang dikontraskan dengan studi cross sectional. Studi longitudinal mengobservasi objeknya dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus. Studi longitudinal ini menggambarkan suatu kecenderungan atau serangkaian sebelum dan sesudah kegiatan observasi dengan beberapa tahapan. Studi kasus dalam pengertian longitudinal bersifat retrospektif yaitu bekerja mundur, mempergunakan data yang

telah dicatat didalam suatu bentuk dokumen dan prospektif yaitu berupaya melakukan telaah terhadap data yang ada saat ini untuk kemudian dilanjutkan dengan pengamatan jauh ke depan dalam jangka waktu yang cukup lama dengan biaya yang mahal. Studi kasus dapat dibedakan menjadi studi kasus tunggal, studi multi kasus dan studi kasus perbandingan (Bungin, 2003:20-21).

Robert K. Yin yang merupakan seorang pakar metodologi penelitian mengintrodusir studi kasus sebagai kegiatan penelitian yang banyak berkutat dengan pertanyaan seperti bagaimanakah, mengapa dan apa atau apakah.Robert K. Yin juga berpendapat bahwa didalam setiap penelitian memiliki tahapan yang penting, yaitu menentukan tahapan pertanyaan penelitian. Bentuk pertanyaan menentukan strategi penelitian yang akan digunakan (Bungin, 2003:20-21).

(42)

sosial yang diteliti. Keunggu lan-keunggulan studi kasus dirincikan sebagai berikut:

1. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar-variabel serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman yang lebih luas.

2. Studi kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia. Melalui penyelidikan intensif peneliti dapat menemukan karakteristik dan hubungan-hubungan yang (mungkin) tidak diharapkan/diduga sebelumnya.

3. Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan lebih mendalam dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu sosial (Bungin, 2003:23).

Selain 3 keunggulan yang telah dirincikan diatas, studi kasus memiliki keunggulan lainnya menurut Black dan Champion (1992), yaitu :

1. Bersifat luwes berkenaan dengan metode pengumpulan data yang digunakan.

2. Keluwesan studi kasus menjangkau dimensi yang sesungguhnya dari topik yang diteliti.

3. Dapat dilaksanakan secara praktis di dalam banyak lingkungan sosial. 4. Studi kasus menawarkan kesempatan menguji teori

5. Studi kasus bisa sangat murah, bergantung pada jangkauan penyelidikan dan tipe teknik pengumpulan data yang digunakan (Bungin, 2003:23). Selain keunggulan-keunggulan yang telah diuraikan diatas, studi kasus juga tidak lepas dari sejumlah kelemahan. Kelemahan pertama yaitu studi kasus kurang memberikan dasar yang kuat dalam memberikan suatu generasi ilmiah. Kelemahan kedua dari studi kasus yaitu studi yang dilakukan secara mendalam mengorbankan tingkat keharusan yang seharusnya dilakukan. Sedangkan kelemahan yang ketiga yaitu studi kasus kurang mampu mengendalikan bias subjektivitas peneliti (Bungin, 2003:23-24).

(43)

kasus harus signifikan, artinya bahwa kasus yang diangkat mengandung keunikan, kekhasan dan menyangkut kepentingan public dan masyarakat umum. Terobosan berikutnya yaitu studi kasus harus lengkap, artinya studi kasus memiliki batas yang jelas, memiliki bukti-bukti yang relevan dan meyakinkan dan mempersalahkan ketiadaan kondisi buatan sendiri. Terobosan yang ketiga yaitu studi kasus mempertimbangkan alternativ perspektif, artinya munculnya bukti-bukti yang berbeda dari perspektif yang berbeda harus dapat diantisipasi dengan baik dan memberikan tempat kepada pandangan dari teori-teori yang berlainan. Terobosan kelima yaitu studi kasus harus dapat menampilkan bukti yang secara bijak mendukung penelitian. Terobosan yang terakhir adalah laporan hasil studi kasus ditulis dengan menarik dan menggugah minat membaca. Terobosan-terobosan tersebut menunjukkan, walaupun studi kasus memiliki kelemahan tetapi harus tetao diselesaikan secara tuntas (Bungin, 2003:24-25).

(44)

dinamika dan lika-liku kehidupannya. Seseorang yang dimaksud memiliki keunikan yang menonjol didalam konteks kehidupan masyarakat. Studi kasus ini bersandar pada dokumen-dokumen pribadi dan melakukan wawancara kepada sumber utama. Keempat, studi kasus komunitas sosial atau kemasyarakatan yaitu peneliti mampu melihat sisi-sisi yang unik dan menarik dari suatu lingkungan sosial dimana suatu komunitas hidup dan bergaul. Kelima, studi kasus analisa situasional yaitu peneliti meneliti sebuah situasi sosial yang tengah berlangsung maupun telah berlangsung. Keenam, studi kasus mikroetnografi yaitu penelitian yang dilakukan terhadap suatu unit sosial terkecil atau sisi tertentu dalam kehidupan sebuah komunitas, organisasi maupun individu (Bungin, 2003:26-27).

Terdapat tiga macam rasionalitas yang harus diperhatikan dalam mendesain penelitian studi kasus-tunggal, yaitu:

1. Bahwa kasus-tunggal pada dasarnya analog dengan eksperimen tunggal (dalam penelitian kuantitatif). Dalam konteks ini sebuah rasional muncul ketika kasus itu tampak sebagai kasus penting dan relevan untuk menguji suatu teori yang diletakkan sebelumnya oleh perspektif. Hasil penelitian yang diumumkan oleh Neil Gross dkk. (1971);

2. Sebuah kasus merefleksikan sesuatu yang ekstrim atau penuh keunikan sehingga menarik dan bermakna untuk ditelusuri;

3. Sebuah studi kasus yang dapat dikatakan sebagai kasus-penyingkapan. Kasus semacam ini dapat ditemui seseorang peneliti manakala ia

berkesempatan memasuki suatu ranah sosial atau fenomena yang kurang diizinkan untuk diteliti secara ilmiah (Bungin, 2003:30).

III.2 Lokasi Penelitian

(45)

kesediaan waktu dan tempat informan, sehingga peneliti mengikuti kehendak informan dalam menentukan tempat untuk melakukan wawancara. Tempat untuk melakukan wawancara juga terjadi di rumah dan lokasi lain yang disepakati oleh peneliti dan informan untuk bertemu.

III.3 Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan sumber utama data penelitian, yaitu yang memiliki data mengenai variabel-variabel yang di teliti. Pada dasarnya, subjek penelitian yang akan dikenai kesimpulan hasil penelitian. Apabila subjek penelitiannya terbatas dan masih dalam jangkauan sumber daya maka dapat dilakukan studi populasi, yaitu mempelajari seluruh subjek secara langsung. Sebaliknya apabila subjek penelitian sangat banyak dan berada di luar jangkauan sumber daya peneliti, atau batasan populasinya tidak mudan untuk didefinisikan, maka dapat dilakukan studi sampel (Azwar, 2004:34-35).

Dalam penelitian studi kasus, jumlah responden atau informan disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan penelitian. Yang dapat dijadikan responden yaitu yang memiliki pengalaman sesuai dengan penelitian. Melalui metode penelitian kualitatif, peneliti dapat mengenal subjek penelitian secara lebih pribadi dan merasakan apa yang subjek penelitian alami. (Bogdan, 1992:5).

(46)

pemuka adat yang berada di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara.

III.4 Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Penelitian Lapangan (Field Research)

1. Metode Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam (indepth interview) merupakan salah satu teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh pewawancara atau pengumpul data kepada responden atau informan, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat perekam. Dalam wawancara, peranan pewawancara untuk memperoleh kerja sama dengan responden sangat penting. Responden perlu diberi penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian dan responden mempunyai hak untuk tidak bersedia menjadi responden sebelum wawancara dilakukan. Daftar pertanyaan untuk wawancara disebut dengan interview schedule, sedangkan catatan garis besar tentang pokok-pokok yang akan ditanyakan disebut dengan pedoman wawancara (interview guide). (Soehartono, 2008:67-68).

(47)

Secara luas, observasi atau pengamatan berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran. Dalam arti yang lebih sempit, observasi atau pengamatan diartikan sebagai kegiatan pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan.Berdasarkan keterlibatan pengamatan dalam kegiatan-kegiatan subjek yang diamati, observasi dibedakan menjadi observasi partisipan dan non-partisipan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan observasi partisipan, yaitu pengamatan yang dilakukan degan ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek yang diteliti atau diamati, seolah-olah bagian dari mereka. (Soehartono, 2008:69-70).

b. Studi Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Dokumen yang diteliti dapat berupa buku harian, surat pribadi, laporan, notulen rapat, catatan kasus (case records) dalam pekerjaan sosial, dan dokumen lainnya.

(48)

III. 5 Teknik Analisis Data

Analisis data yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian. Analisis data menurut Moleong yaitu proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesanya (Krisyantono, 2008:163). Penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif yang disajikan dalam bentuk analisis deskriptif dan pendekatan induktif. Analisis deskriptif bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subjek penelitian berdasarkan data dari variabel yang diperoleh dari subjek yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis (Azwar, 2004:126).

(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil dan Pengamatan Penelitian

Peneliti menentukan tiga pasangan pengantin Batak Toba, keluarga dari pengantin Batak Toba, dan pemuka adat Batak Toba sebagai subjek penelitian. Pelaksanaan dan pengumpulan data (pendekatan subjek) dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi dan studi dokumenter. Penelitian ini berlangsung dari bulan November 2011 hingga Januari 2012.

Setelah mendapatkan persetujuan judul skripsi ini, maka peneliti terlebih dahulu mengunjungi lokasi penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti untuk mendapatkan informasi dari pemuka adat Batak Toba dan warga sekitar tentang pesta pernikahan yang akan berlangsung bulan Oktober hingga Desember 2011. Setelah itu peneliti melewati proses seminar proposal skripsi, barulah kemudian peneliti memulai rangkaian pelaksanaan skripsi.

(50)

Memasuki bulan Desember 2011, peneliti belum mendapatkan informasi tentang tertutupnya pesta pernikahan adat Batak Toba yang dilangsungkan 16 November 2011 lalu. Untuk mengisi kekosongan penelitian, peneliti melanjutkan perbaikan pada bab-bab sebelumnya sembari mencari informasi pernikahan adat Batak Toba lainnya. Kemudian pada 25 Desember 2011 peneliti mendapatkan informasi tentang akan diadakannya pesta pernikahan adat Batak Toba yang akan dilangsungkan di Kel. Lestari Kec. Kisaran Timur Kab. Asahan Sumatera Utara pada 27 Desember 2011.

(51)

bersama, foto bersama dan berdoa bersama dilakukan sebelum menuju gereja. Pada pukul 10.00 WIB pengantin tiba di GKPI dan terlebih dahulu menjalani pernikahan secara hukum negara di kantor gereja yang disaksikan oleh orangtua dan para saksi, kemudian pemberkatan pernikahan berlangsung pada pukul 11.00 setelah acara kebaktian rohani dilaksanakan. Keluarga dari pihak perempuan terlihat terharu ketika pasangan yang menikah diresmikan menjadi suami istri oleh pendeta. Setelah pemberkatan dan kebaktian selesai, pasangan pengantin beserta keluarga dan undangan memasuki Sopo Godang yang berada tepat di samping GKPI. Acara yang pertama dilakukan tarian untuk penyambutan pengantin, kemudian pengantin beserta keluarga menyalami tamu yang hadir pada acara tersebut. Suasana terlihat sangat ramai dan para tamu terlihat membawa hadiah dan beras yang dikemas didalam tandok untuk diberikan kepada pengantin. Kemudian acara dilanjutkan dengan makan bersama yang diawali dengan doa bersama. Acara pernikahan adat Batak Toba ini dilanjutkan dengan acara menyerahkan kado atau uang sumbangan dari para undangan laki-laki dan pemuka adat mengatakan bahwa kegiatan ini dinamakan manjalo tumpak. Kemudian dilanjutkan dengan membagikan jambar atau bagian, yang dibagikan yaitu bagian-bagian khusus dari hewan yang dipotong kepada saudara dari pihak pengantin laki-laki maupun perempuan, yaitu hula-hula (saudara laki-laki pengantin perempuan, terdiri dari bona ni ari, bona tulang, ompu bao, tulang, nantulang, lae, bao, dan paraman (tulang na poso), pihak boru (atau parboru,

(52)

menurut jenjang turunan, terdiri dari ompu suhut, ama suhut, haha, anggi) beserta pihak dari marga yang berhubungan dengan keluarga pengantin laki-laki dan perempuan. Acara yang dilakukan berikutnya yaitu merundingkan uang mahar atau sinamot, setelah penyepakatan dilakukan maka pembayaran sinamot pun dilakukan. Acara dilanjutkan dengan pembagian uang atau tumpak kepada undangan pihak perempuan oleh laki-laki dan menyerahkan ulos oleh pihak perempuan kepada laki-laki dan pengantin beserta keluarga dan seluruh undangan terlihat gembira. Namun suasana terlihat haru ketika orangtua perempuan memberikan ulos kepada pasangan, disini pengantin dan orangtua terlihat meneteskan air mata. Acara ini pada akhirnya selesai pada pukul 19.30 WIB. Namun penulis tidak dapat mendokumentasikan pesta adat Toba ini karena pihak keluarga tidak mengizinkan walaupun observasi tetap dapat dilaksanakan. Pemuka adat Batak Toba tidak senantiasa menemani peneliti dikarenakan beliau berperan dalam upacara pernikahan adat Batak Toba tersebut.

(53)

Bahasa Indonesia sehingga peneliti dapat melaksanakan dengan baik proses wawancara pertama. Dua hari kemudian, yaitu 5 Januari 2012 peneliti mengunjungi rumah keluarga dari Lia Nababan untuk melakukan wawancara. Wawancara hanya dilakukan kepada ibunda Lia Nababan, karena ayahanda Lia Nababan sedang sakit dan menolak untuk diwawancarai, sedangkan keluarga lainnya menolak untuk diwawancari dengan alasan tidak mengerti tentang pernikahan adat Batak Toba tersebut. Dikarenakan pasangan pengantin telah kembali ke Jakarta pada 30 Desember 2011 lalu, maka peneliti melakukan wawancara kepada pengantin melalui telepon. Peneliti hanya dapat menghubungi Lia Nababan untuk diwawancarai, sedangkan suaminya menolak untuk diwawancarai. Wawancara yang berlangsung kepada Lia Nababan tidak berlangsung lama, karena beliau sedang sibuk bekerja.

(54)

perempuan, namun pengantin perempuan menolak untuk diwawancarai dengan alasan sibuk.

Pada tanggal 7 Januari 2012 pagi, peneliti kembali ke Medan untuk melakukan wawancara kepada pasangan pengantin adat Batak Toba yang menikah 17 September 2011. Hal ini dilakukan peneliti untuk membandingkan proses pernikahan adat Batak Toba yang terjadi di Kelurahan Lestari Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan Sumatera Utara dengan proses pernikahan adat Batak Toba yang terjadi di Medan. Pada pukul 15.00 peneliti mengunjungi rumah keluarga pengantin perempuan untuk melakukan wawancara dan meminjam dokumentasi pernikahan adat Batak Toba tersebut. Wawancara hanya dilakukan kepada ibunda pengantin perempuan dikarenakan ayahanda pengantin perempuan sedang mengalami sakit stroke ringan sehingga menolak untuk diwawancarai. Setelah wawancara selesai, peneliti diijinkan untuk meminjam vcd pernikahan adat Batak Toba. Peneliti melanjutkan wawancara ke rumah keluarga pengantin laki, karena pasangan pengantin masih tinggal di keluarga pengantin laki-laki. Keluarga dari pihak laki-laki tidak dapat diwawancarai dikarenakan ayahanda pengantin laki-laki sedang mengidap sakit stroke dan baru saja opname, sehingga wawancara hanya dilakukan kepada pengantin laki-laki. Pengantin perempuan tidak bersedia untuk diwawancarai dikarenakan kurang sehat akibat kondisi kehamilan dan mengaku tidak mengerti upacara pernikahan adat yang telah dilangsungkan.

(55)

1. Pemuka Adat Batak Toba

Pemuka adat Batak Toba ini merupakan informan pertama yang diwawancarai sehingga peneliti berusaha menanyakan tentang gambaran awal suku Batak Toba dan identitas yang dimiliki beliau barulah kemudian ditanyakan tentang pernikahan adat Batak Toba. Pemuka adat Batak Toba ini bernama Bapak Beruel Sinaga dan berusia 70 tahun. Beliau telah dipercaya menjadi pemuka adat sejak beliau berusia 50 tahun. Beliau tidak hanya dipercaya sebagai pemuka adat di Kisaran, namun juga beberapa kali di daerah asal Batak Toba. Beliau mengatakan bahwa sebagai seorang bersuku Batak perlu memiliki dalihan na tolu, hal ini yang menyebabkan darah batak akan terus mengalir kepada

penerusnya dan tidak akan terputus sampai kapanpun.

“Jadi, orang Batak tak terlepas dari dalihan na tolu. Menurutku batak toba itu adalah darah yang mengalir dan tidak akan terputus sampai kapanpun.”

Bapak Beruel Sinaga mengatakan bahwa sebagai seseorang yang bersuku Batak Toba dilarang melanggar dalihan na tolu. Sebagai seorang pemuka adat, beliau sering mengikuti berbagai upacara adat yang diadakan. Saat ditanyakan tentang masa depan suku Batak Toba, beliau mengatakan bahwa dalihan na tolu yang akan membuat adat Batak Toba tidak akan hilang sampai kapanpun.

“Sebetulnya lantaran batak toba ini tidak akan hilang adatnya, yang buat itu ya dalihan na tolu . Gak akan hilang itu sampai kapanpun.”

(56)

adat bagi orang Batak Toba merupakan sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan adat yang tidak dapat dilaksanakan dengan sembarangan. Bapak Beruel Sinaga lebih menyepakati apabila pernikahan adat Batak Toba dilangsungkan oleh pasangan yang sama-sama berasal dari suku Batak Toba. Hal ini dikarenakan suku lainnya tidak mengetahui bagaimana adat Batak Toba itu sedangkan apabila berasal dari suku yang sama tentunya saling memahami.

Bapak Beruel Sinaga menjabarkan proses adat Batak Toba yang dilewati oleh pasangan pengantin. Acara adat dapat dimulai ketika pasangan pengantin telah resmi dipasu-pasu menjadi suami istri, kemudian dilanjutkan dengan pembagian daging kepada keluarga, teman sekampung, dan marga-marga yang berhubungan dengan keluarga pengantin lalu dilanjutkan dengan acara makan bersama. Setelah makan bersama dilangsungkan dimulailah acara pembicaraan tentang mahar dan apabila pembicaraan selesai, mahar diberikan bagi orangtua perempuan dan pihak hula-hula yaitu saudara laki-laki dari ibu pihak perempuan dan kepada pihak yang berhak menerima mahar pengantin. Lalu pemberian ulos dilakukan kepada pengantin dan pihak-pihak yang berhak menerimanya. Beliau mengatakan apabila pesta pernikahan dilangsungkan di rumah pihak perempuan, maka setelah pesta pengantin perempuan harus dibawa ke rumah pihak laki-laki.

(57)

untuk ulos hatoropan, holong namanya. Umpamanya yang diundang orangtua si perempuan tadi mengasi ulos lah ini semua. Sesudah itu hata gabe-gabe terus manukir tangga. Tapi kalau ini pesta di muka paranak, sesudah hata gabe-gabe ya terus pulang lah parboru ke kampungnya. Jadi kalau pestanya di rumah si parboru ya langsung dibawa si perempuan ke rumah si laki-laki ini. Ya itu lah pelaksanaan adatnya.”

Bapak Beruel ini mengatakan bahwa persiapan pertama yang harus dipersiapkan yaitu sinamot, yaitu uang mahar yang diberikan kepada pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Hal lain yang perlu dipersiapkan yaitu makanan yang akan disajikan dalam pesta pernikahan adat Batak Toba, seperti daging yang akan dihidangkan pada acara berlangsung apakah menggunakan kerbau, lembu atau daging ternak yang lainnya. Beliau berpendapat bahwa persiapan yang dibutuhkan untuk membentuk pesta adat Batak ini dua minggu.

“Persiapannya satu, mengenai sinamot, kedua, mengenai soal makanan yang mau dibuat untuk acara, ntah horbo (kerbau), pinahan lombu (daging lembu), ya itulah persiapannya. Jadi kalau menurut adat bataknya mesti ada dua minggu.”

Pemuka adat yang juga berprofesi sebagai kepala lingkungan ini mengatakan bahwa pernikahan adat Batak Toba terkadang tidak bisa sama dengan pernikahan adat Batak Toba yang lainnya, hal ini dikarenakan letak perkampungan yang berbeda dan marga atau klan yang berbeda. Sehingga dibutuhkan musyawarah untuk menyatukan pendapat terhadap pesta adat agar pesta ini dapat berlangsung.

(58)

“Gimanapun sama saja perannya itu. Kalau dulu banyak dijodohkan, jadi keluarganya yang banyak menyiapkan. Tapi sekarang jarang dijodohkan, jadi sama-sama menyiapkan.”

Bapak Beruel Sinaga mengatakan bahwa dalam upacara pernikahan adat Batak Toba seharusnya tidak dihilangkan prosesnya, karena apabila dihilangkan maka menjadi kurang baik. Hal yang menyebabkan hilangnya suatu hal dari proses pernikahan adat Batak Toba sehingga tidak dilaksanakan disebabkan oleh peraturan dari suatu agama, seperti Katholik dan Pantekosta tidak melaksanakan proses martupol. Menurut pemuka adat ini, proses pernikahan adat Batak Toba harus melalui suatu kesepakatan, sehingga tidak dilaksanakannya suatu hal di dalam upacara adat tidak menjadi masalah. Namun keluarga dari pengantin adat Batak Toba patut bertanggungjawab atas sesuatu yang hilang didalam proses pernikahan adat Batak Toba. Menurut Bapak Beruel Sinaga, kendala yang dialami dalam proses pernikahan adat Batak Toba yaitu salah satu pengantin ternyata telah bertunangan kepada orang lain. Hal ini menyebabkan pernikahan adat Batak Toba menjadi batal. Untuk mengatasi kendala yang terjadi tersebut, Bapak Beruel mengatakan bahwa martupol hendaknya dilaksanakan, karena didalam acara martupol ini masing-masing calon pasangan yang hendak menikah ditanyakan

apakah masih menjalani hubungan kepada orang lain dan apabila masih maka harus diselesaikan agar pernikahan dapat laksanakan dengan baik.

“Itulah maka untuk seperti sekarang ini dibuat dulu martupol, martupol ini ada perjanjian. Pada perjanjian itu dikatakan apakah kamu menjalin hubungan kepada perempuan atau laki-laki lain, kalau ada mesti diselesaikan dulu supaya bisa diberkati perkawinan kamu.”

(59)

harus dilakukan untuk mempertahankan nilai-nilai dalam upacara pernikahan adat Batak toba yaitu mengingat bagian-bagian dari suatu hewan ternak yang harus dibagikan kepada pihak-pihak yang berhak didalam tutur keluarga. Pembagian ini juga dapat mengingat anggota keluarga lainnya yang masih terdapat didalam adat orang Batak.

2. Keluarga Pengantin Adat Batak Toba

Informan terdiri dari :

1. DAMAI ANA SINAGA (Ibunda Lia Nababan) 2. BORU PANJAITAN

3. SINORITA SEMBIRING

Subjek penelitian ini merupakan orangtua dari tiga pasangan pengantin Batak Toba yang dipilih peneliti sebagai informan. Semua keluarga pengantin adat Batak Toba yang menjadi informan merupakan ibunda dari salah satu pasangan pengantin adat Batak Toba. Hal ini dikarenakan anggota keluarga lainnya sedang sakit, kemudian ada yang menolak untuk diwawancarai akibat pengetahuan yang kurang terhadap pesta pernikahan adat Batak Toba dan juga sedang berada diluar kota. Namun ketiga informan ini cukup memenuhi informasi yang dibutuhkan oleh peneliti tentang pernikahan adat Batak Toba, karena ketiga informan berperan aktif didalam segala proses pernikahan adat Batak Toba yang dilangsungkan oleh putra maupun putrinya.

(60)

Batak Toba. Sedangkan kedua informan lain tidak memberikan jawaban atas pertanyaan yang sama, hal ini dikarenakan Ibu Boru Panjaitan kesulitan dalam merangkaikan jawaban yang tepat, sedangkan Ibu Sinorita Sembiring berasal dari suku Batak Karo, sehingga tidak memahami bagaimana nilai sebagai seorang Batak Toba walaupun beliau memiliki suami bersuku Batak Toba.

Ketiga informan ini pernah mengikuti kegiatan pernikahan adat Batak Toba. Ibu Ana Sinaga mengaku bahwa beliau mengikuti tarian tor-tor dalam upacara pernikahan adat Batak Toba dan mengikuti upacara adat orang meninggal. Ibu Ana Sinaga berpendapat bahwa pesta pernikahan adat Batak Toba merupakan hal yang bagus, karena dalam upacara pernikahan adat Batak Toba ditampilkan tradisi orang Batak Toba dan orang Batak Toba menjadi mengerti bagaimana proses upacara adat pernikahan itu. Beliau berpendapat bahwa pernikahan adat Batak Toba bukanlah sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan, karena tidak semua pengantin dan keluarganya mampu melaksanakan pesta adat akibat ketidakmampuan dalam hal ekonomi. Beliau menambahkan bahwa apabila pelaksanaan upacara pernikahan adat Batak Toba tidak dilaksanakan oleh pengantin, maka keturunan dari pengantin tersebut tidak dapat juga mengikuti proses pernikahan adat Batak Toba yang seharusnya dilakukan.

“Kalo menurutku, tak pala wajib pun tak apa. Karna sebagian ada gak mampu ada yang mampu (dalam ekonomi), karna yang mampu itulah makanya dilaksanakan upacara adat, kalau tak mampu ya macam mana dibuat, ya diberkati saja di gereja, jadi kan gak pala wajib itu. Tapi memang, kalau orang batak itu ya apalagi kalau tak diadati nanti anaknya tak bisa diadati katanya.”

(61)

dilangsungkan, kegiatan yang pernah beliau ikuti yaitu pesta pernikahan adat Batak Toba, upacara adat orang meninggal, kelahiran anak, martupol, dan kegiatan lainnya. Sedangkan Ibu Sinorita Sembiring mengaku bahwa beliau sering mengikuti pesta pernikahan adat Batak Toba dan berpendapat bahwa pernikahan adat Batak Toba dalam melaksanakannya sangat sulit, namun karena mengingat adat maka kesulitan yang terjadi harus tetap dapat dilakukan. Menurut beliau, pernikahan ini wajib dilaksanakan, hal ini dikarenakan adat yang mengikat. Ibu Sembiring ini menuturkan bahwa pernikahan adat Batak Toba lebih sulit pelaksanaanya daripada pernikahan adat Batak Karo.

“Pernikahan batak ini pernikahan yang bisa dibilang repot dan susah, tapi ya namanya juga adat, memang garisnya seperti itu harus dilakukan. Lebih repot dibandingkan adat karo.”

(62)

anak pertama dan menantu ibu Ana Sinaga pada bulan Juli 2011 lalu. Beliau mengaku cukup memahami pesta pernikahan adat Batak Toba. Ibu Boru Panjaitan tidak menuturkan secara jelas proses pernikahan adat putranya yang menikah bulan November 2011 lalu. Beliau hanya mengatakan proses yang dilewati yaitu martupol dan hula-hula memberikan ulos. Namun ibu Boru Panjaitan mengatakan

bahwa beliau memahami pesta penikahan adat Batak Toba, karena sering mengikuti pesta pernikahan adat yang dilakukan oleh saudara, keluarganya dan tetangga. Ibu Senorita Sembiring memberikan penjelasan yang lebih banyak pada proses pernikahan adat putrinya walaupun beliau merupakan seorang beridentitas Batak Karo. Rangkaian kegiatan yang dilewati dalam proses pernikahan adat Batak Toba tersebut dimulai dengan marhori-hori dinding, yaitu pihak dari laki-laki menyampaikan maksud kepada keluarga pihak perempuan untuk melamar putri ibu Ana Sinaga. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan marhusip, kegiatan yang berlangsung yaitu menentukan tanggal martupol dan pada saat itu pihak laki-laki membisikkan sinamot yang mereka sanggup bayarkan. Martupol dilaksanakan setelahnya, kemudian acara pernikahan adat Batak Toba pun dimulai. Pada saat pernikahan adat Batak Toba berlangsung, pemberian ulos dilangsungkan. Beliau menyatakan bahwa beliau tidak terlalu memahami pesta pernikahan adat Batak Toba, namun beliau belajar memahaminya melalui penuntun dalam pesta tersebut.

(63)

orang yang bermarga/klan sama dengan menantunya di kampung keluarga mereka dan mereka mempersiapkan untuk pernikahan adat Batak Toba ini kurang dari dua minggu. Sedangkan ibu Sinorita Sembiring mengatakan persiapan yang dilakukan untuk pesta pernikahan adat putrinya membutuhkan waktu berbulan-bulan dan persiapan yang banyak. Beliau mengatakan proses marhusip sampai martupol hanya berbeda beberapa hari, sedangkan proses martupol sampai kepada

pesta pernikahan adat membutuhkan waktu dua minggu. Ketiga informan ini mengaku baik calon pengantin dan keluarga mempersiapkan bersama-sama pesta pernikahan adat, terutama putra dan calon menantu serta keluarga ibu Boru Panjaitan yang mempersiapkan pernikahan adat ini yang dengan lebih cepat karena diadakan secara mendadak.

“Ya harus berperan semuanya, apalagi mempersiapkan ini mesti cepat. Apalagi pesta ini kan mendadak bisa dibilang. Tak bisa harus keluarga saja.”

Dalam pesta pernikahan adat yang dilangsungkan oleh putri ibu Ana Sinaga mengaku tidak menghilangkan proses dari yang seharusnya terjadi. Namun apabila melihat pernyataan sebelumnya tentang proses upacara pernikahan adat yang berlangsung, beliau mengatakan bahwa keluarga beliau tidak mengikuti tor-tor dan tidak memberikan uang dikarenakan keluarga yang masih berduka. Hal ini

mengakibatkan jawaban yang diberikan ibu Ana Sinaga tidak sesuai dengan pernyataan sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

sukunya. Namun saat ini banyak suku Batak Toba yang menikah dengan suku lain. “Ya kalau memang sudah tekad menikah, harus dilaksanakan adat bataknya. Mau tidak mau harus pakai

Permasalahan yang akan dijabarkan dalam penelitian ini yaitu penerapan prinsip Dalihan Natolu dalam hukum adat Batak Toba, karena dalam hukum adat Batak Toba sendiri

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa bentuk pergeseran dalam pernikahan adat Batak Samosir di Kuantan Singingi yaitu : Mebat atau Paulak Une atau merupakan

Manfaat yang diperoleh dari website adat istiadat pernikahan suku Batak Toba ini.

Fokus pada penelitian ini adalah Aktivitas Komunikasi Dalam Upacara Adat Pernikahan Batak Karo di Kota Bandung, dimana dalam pelaksanaanya menjadi suatu aktivitas khas yang

Marhata dalam upacara adat Batak Toba adalah membicarakan serta mewujudkan tujuan suatu upacara adat perkawinan Batak Toba dengan menggunakan bahasa tutur

Hasil analisis data yang diperoleh dari umpasa dalam upacara adat pernikahan Batak Toba serikat tolong menolong dosroha terdapat beberapa aspek yang terdiri dari peran, makna, dan

Tinjauan Pustaka Jurnal Musik Tiup dan Upacara Adat: Kasus Pengayaan Identitas Kebudayaan Musikal pada Masyarakat Batak Toba di Kota Medan dalam Jurnal Panggung Vol... Tinjauan