• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran (Studi Kasus Tentang Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran (Studi Kasus Tentang Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan)"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI

PADA PERNIKAHAN CAMPURAN

(Studi Kasus Tentang Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan )

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh :

BINTANG OCTAVIA SIMAMORA 080904051

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

Lembar Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Bintang Octavia Simamora NIM : 080904051

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran (Studi Kasus Tentang Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan).

Medan, 02 Maret 2012

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Dra. Lusiana A. Lubis,M.A..Ph.D

NIP. 196704051990032002 NIP.195102191987011001 Dra. Fatma Wardy Lubis.M.A

Dekan FISIP USU

(3)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam proses asimilasi pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan.

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yakni metode analisis data kualitatif yang menekankan pada kasus-kasus tertentu yang terjadi pada objek analisis. Metode ini menggunakan analisis deskriptif dan pendekatan indukt if dalam menganalisa datanya serta dilengkapi oleh teknik triangulasi untuk mengembangkan validitas data. Subjek penelitiannya adalah lima pasangan pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa yang ada di kota Medan. Dan jika diperlukan akan diteliti juga anggota keluarga, pemuka agama, dan pemuka adat masing-masing suku untuk memperkuat hasil penelitian.

(4)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulisan skripsi yang berjudul “Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Asimilasi pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan” ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya merupakan hasil pelajaran yang penulis terima selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Dalam menyusun skripsi ini, penulis mendapat banyak saran, bimbingan dan arahan baik dari segi moril maupun materi serta dorongan semangat dari berbagai pihak yang sangat berguna bagi penulis.

Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua penulis, ayahanda (Alm) Marihot Simamora dan ibunda Sumihar Roulina Sianturi yang senantiasa mendoakan, memberikan dukungan dan nasehat yang bijaksana bagi penulis. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada nenek

penulis, Lomina Sihombing atas doa beliau yang senantiasa dipanjatkan bagi penulis dan seluruh keluarga penulis yang selalu mendukung penulis. Ucapan terima kasih lainnya penulis ingin sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis, MA selaku ketua Departemen Ilmu Komunikasi. 3. Ibu Dra. Dayana, Msi selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi atas segala

(5)

4. Ibu Lusiana A. Lubis, M.A.,Ph. D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, nasehat, dan saran bagi penulis selama pengerjaan skripsi ini.

5. selaku Ketua Penguji yang telah banyak memberikan saran, kritik, serta masukan pada skripsi ni hingga menjadi lebih baik.

6. selaku Penguji Utama yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini hingga akhirnya bisa menjadi lebih baik lagi.

7. Seluruh Dosen dan Staf pengajar yang telah mendidik dan membimbing mulai dari semester awal hingga penulis menyelesaikan perkuliahan di kampus. 8. Laboratorium Departemen Ilmu Komunikasi, Kak Yovita Sabarina Sitepu, SSos,

MSi selaku ketua serta Kak Hanim dan Kak Puan yang telah membantu penulis sehingga penulis memperoleh banyak ilmu yang bermanfaat.

9. Kak Maya, Kak Icut dan Kak Ros yang telah membantu penulis dalam memperoleh informasi tentang perkuliahan.

10. IMAJINASI FISIP USU terutama pengurus periode 2010-2011, Kak Inda Sari selaku ketua dan teman-teman pengurus lainnya yang telah memberikan wadah bagi penulis dan teman-teman yang lainnya untuk berkreatifitas dan

belajar untuk berorganisasi.

11. Teman-teman Vizabinka (Sylviana Sihite, Kariza Siahaan, Bintang, dan Ika Saragih), D Princess Batak, Melisa Pangaribuan, Sondang Marpaung, Dama Paundra, Firman Silalahi, dan Dedy Syahputra yang telah memberikan persahabatan, dukungan dan semangat kepada penulis selama masa perkuliahan dan mudah-mudahan akan berlangsung selamanya.

12. Teman-teman Ilmu Komunikasi berbagai stambuk terutama teman seperjuangan stambuk 2008 yang senantiasa menjadi teman terbaik bagi penulis.

13. Teman-teman masa SMA penulis (Kokain Boemsa) yang senantiasa menyemangati penulis dan menjadi teman terbaik bagi penulis

14. Seluruh informan yang bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

(6)

Untuk itu saran dan kritik dibutuhkan penulis demi perbaikan skripsi ini.

Akhirnya semoga tulisan yang sederhana ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2012 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

I.1 Latar Belakang Masalah... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 8

I.3 Pembatasan Masalah ... 8

I.4 Tujuan Penelitian ... 8

I.5 Manfaat Penelitian ...9

I.6 Kerangka Teori ... 9

I.7 Kerangka Konsep ... 17

I.8 Konseptualisasi ... 18

I.9 Defenisi Operasional... 19

BAB II URAIAN TEORITIS ... 21

II.1 Komunikasi ... 21

II.1.1 Pengertian Komunikasi ... 21

II.1.2 Prinsip Komunikasi ... 22

II.2 Komunikasi Antarbudaya ... 24

II.2.1 Pengertian Komunikasi Antarbudaya ... 24

II.2.2 Tujuan Komunikasi Antarbudaya ... 25

II.2.3 Unsur-Unsur Proses Komunikasi Antarbudaya ... 27

II.2.4 Pandangan Dunia (World View) ... 30

II.3 Akulturasi dalam Pernikahan Campuran ... 32

II.3.1 Komunikasi dan Akulturasi... 33

II.3.2 Variabel-Variabel Komunikasi Dalam Akulturasi ... 35

II.3.3 Potensi Akulturasi ... 36

II.4 Asimilasi dalam Pernikahan Campuran ... 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

III.1 Metode Penelitian ... 46

III.2 Lokasi Penelitian ... 48

III.3 Subjek Penelitian ... 48

III.4 Teknik Pengumpulan Data ... 50

(8)

III.4.2 Observasi ... 52

III.4.3 Penelitian Dokumenter ... 53

III.5 Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 57

IV.1 Deskripsi Subjek Penelitian ... 57

IV. 2 Hasil Pengamatan dan Wawancara ... 62

IV. 3 Pembahasan ... 114

BAB V PENUTUP ... 132

V.1 Kesimpulan ... 132

V.2 Saran ... 133

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

(10)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam proses asimilasi pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan.

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus yakni metode analisis data kualitatif yang menekankan pada kasus-kasus tertentu yang terjadi pada objek analisis. Metode ini menggunakan analisis deskriptif dan pendekatan indukt if dalam menganalisa datanya serta dilengkapi oleh teknik triangulasi untuk mengembangkan validitas data. Subjek penelitiannya adalah lima pasangan pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa yang ada di kota Medan. Dan jika diperlukan akan diteliti juga anggota keluarga, pemuka agama, dan pemuka adat masing-masing suku untuk memperkuat hasil penelitian.

(11)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain dan kebutuhan

ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai alat untuk

mempersatukan manusia-manusia yang jika tidak berkomunikasi maka akan

terisolasi. Pesan-pesan itu mengemuka lewat perilaku-perilaku manusia. Bila

seseorang memperhatikan perilaku kita dan memberi pemaknaan terhadap perilaku

kita, maka komunikasi telah terjadi meskipun kita tidak menyadari perilaku kita

tersebut. Setiap perilaku manusia memiliki potensi komunikasi. Hubungan antara

individu dan kebudayaan saling mempengaruhi dan saling menentukan. Kebudayaan

diciptakan dan dipertahankan melalui aktivitas komunikasi para individu anggotanya.

Perilaku mereka secara bersama-sama menciptakan kebudayaan yang mengikat dan

harus dipatuhi oleh individu agar dapat menjadi bagian dari kebudayaan (Djuarsa,

2007: 342). Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa kita tidak dapat hidup jika

tidak berkomunikasi/ berinteraksi dengan orang lain.

Budaya berkaitan dengan cara manusia hidup. Manusia berpikir dan bertindak

sesuai dengan pola budaya yang telah melekat pada dirinya. Budaya menampakkan

diri dalam setiap pola bahasa, bentuk-bentuk kegiatan, dan perilaku yang

memungkinkan setiap inidvidu di dalamnya bertindak dan berkomunikasi sesuai

(12)

karena seluruh perilaku seseorang sangat bergantung pada budaya tempat ia

dibesarkan. Budaya merupakan landasan komunikasi. Semakin beraneka ragam

budaya, maka semakin beraneka ragam pula praktik komunikasi.

Komunikasi dan budaya seperti dua sisi mata uang, dimana budaya menjadi

bagian dari perilaku komunikasi dan komunikasi juga turut menentukan,

mengembangkan, dan mewariskan suatu budaya (Andriani, 2009: 11). Situasi ini

tidak dapat dihindarkan, karena sebetulnya, setiap kali seseorang melakukan

komunikasi dengan orang lain mengandung potensi komunikasi antarbudaya. Hal ini

dikarenakan setiap orang selalu berbeda budaya dengan orang lain, sekecil apa pun

perbedaan tersebut. Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-sistem nilai yang

berbeda dan karenanya dapat menjadi salah satu penentu tujuan hidup yang berbeda

pula. Cara setiap orang berkomunikasi sangat bergantung pada budayanya; bahasa,

aturan dan norma masing-masing. Budaya memiliki tanggung jawab atas seluruh

perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Hal ini dapat dilihat dari

banyaknya suku bangsa di Indonesia yang mendiami berbagai pulau yang ada.

Mereka tersebar di kepulauan nusantara yang berjumlah sekitar 13.677 pulau, terdiri

dari 300 suku bangsa atau kelompok etnis dengan bahasa komunikasi berbeda-beda

yang jumlahnya lebih dari 250 bahasa. Indonesia sebagai negara yang multietnik

dengan derajat keberagaman yang tinggi mempunyai peluang besar dalam

berlangsungnya pernikahan antar etnis atau antar budaya. Salah satu dampak dari

bertemunya individu-individu dengan berbagai latar belakang etnik memungkinkan

(13)

Fenomena pernikahan campuran di Indonesia bukan merupakan hal baru.

Sejak jaman dahulu pernikahan campuran antar etnis merupakan sarana asimilasi

yang efektif. Fenomena itu dapat dijumpai pada masyarakat Betawi, dimana secara

historis etnis Betawi merupakan hasil dari proses asimilasi yang berlangsung terus

menerus. Secara biologis mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah

keturunan campuran dari aneka suku dan bangsa seperti etnis Jawa, Bali, dan

Tionghoa (http://community.gunadarma.ac.id/).

Berdasarkan fenomena tersebut dapat diketahui bahwa pernikahan campuran

bukan hal asing di Indonesia. Seiring dengan perkembangan pembangunan di

Indonesia, terutama di kota Medan Sumatera Utara, semakin banyak orang-orang dari

kota lain seperti dari Aceh, Padang bahkan etnis non pribumi, yaitu etnis Tionghoa

merantau ke kota Medan dan menetap di kota Medan. Hal ini memberikan peluang

terjadinya pernikahan antar etnis Batak dengan etnis Melayu ataupun dengan etnis

Tionghoa di kota Medan. Pernikahan tersebut menjadi hal biasa karena merupakan

proses alamiah yang terjadi pada masyarakat multietnis.

Sumatera Utara adalah salah satu daerah yang terdiri dari ragam etnis yang

saling hidup berdampingan. Kerukunan umat beragama dan antar etnis di Sumatera

Utara dapat terlihat dari kekondusifan kota Medan yang tetap terjaga di saat kota-kota

lain mengalami konflik antar agama dan antar suku. Sumatera Utara menawarkan

keberagaman antar budaya karena memiliki berbagai etnis seperti Aceh, Batak,

Melayu, dan etnis non pribumi seperti Cina dan India. Keberagaman antar budaya

(14)

cara orang Sumatera Utara bertutur dan berkomunikasi menjadi istimewa

Salah satu konsep yang dipakai untuk menelusuri komunikasi antar budaya

masyarakat Sumatera Utara adalah konsep stereotip. Stereotip adalah pandangan

umum dari suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain

(Purwasito, 2003: 228). Stereotip berkaitan dengan pencitraan (image) yang telah ada

dan terbentuk secara turun-temurun berdasarkan sugesti, baik positif maupun negatif.

Hal ini bisa dilihat dari stereotip yang dibangun secara turun-temurun oleh

masyarakat Sumatera Utara misalnya, masyarakat Batak memiliki stereotip yang

kasar dan tegas, masyarakat Aceh sebagai kelompok masyarakat yang susah diatur

dan etnis Tionghoa sebagai etnis yang cukup tertutup dengan suku lain

Perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki orang-orang yang berbeda

budaya akan berbeda pula. Hal ini dapat menimbulkan berbagai macam kesulitan.

Kesulitan-kesulitan komunikasi yang dihadapi oleh individu-individu yang terlibat

diakibatkan oleh perbedaan ekspektasi kultural masing-masing. Salah satu contoh

kesalahpahaman komunikasi misalnya, ketika seorang Tionghoa berbicara dalam

bahasa Mandarin kepada temannya, seorang pribumi yang berada di dekat mereka

tersinggung karena menyangka bahwa si etnis Tionghoa membicarakan hal-hal yang

negatif mengenai si pribumi. Perbedaan-perbedaan ekspektasi budaya tersebut dapat

menimbulkan resiko yang fatal. Perbedaan ekspektasi dalam komunikasi Batak

Toba-Tionghoa di atas dapat menyebabkan komunikasi tidak lancar, timbul perasaan

(15)

seseorang sering berinteraksi dengan orang dari kelompok budaya yang berbeda.

Mereka akan menggunakan budayanya sebagai standarisasi untuk mengukur

budaya-budaya lain.

Salah satu bentuk aktivitas komunikasi antarbudaya yang nyata terlihat dalam

kehidupan pernikahan campuran. Dalam hal ini, peneliti lebih menspesifikkan

kehidupan keluarga pernikahan campuran antara Batak Toba-Tionghoa. Persoalan

paling mendasar dalam pernikahan campuran itu adalah latar belakang personal atau

individu pelaku pernikahan berbeda etnis. Etnis Batak Toba identik dengan tutur kata

kasar dan tegas namun terbuka pada siapa saja. Berbanding terbalik dengan etnis

Tionghoa yang agak tertutup dan kurang mau bergaul dengan suku lain. Pasangan

yang memutuskan melakukan pernikahan beda etnis harus memiliki pola pikir

terbuka terhadap budaya yang dibawa oleh pasangannya, termasuk kepercayaan, nilai

dan norma. Jika kedua pihak tidak memiliki pola pikir terbuka, akan terjadi

pemaksaan kehendak untuk mempraktikkan kepercayaan, nilai dan norma yang

dianut oleh pasangannya, sehingga kemungkinan langgengnya sebuah pernikahan

ibarat jauh panggangan dari api. Semestinya setiap pasangan harus berusaha

mengambil keputusan dalam pemecahan masalahnya tidak berlandaskan keputusan

emosional pribadi berlatar budaya masing-masing pihak, melainkan keputusan

rasional bersama yang dapat digunakan sebagai jalan keluar.

Dalam kehidupan keluarga pernikahan berbeda suku Batak Toba-Tionghoa

akan terjadi suatu komunikasi antarbudaya, yang melibatkan seluruh anggota

(16)

dalam satu rumah tersebut. Situasi ini dapat mengakibatkan munculnya kesepakatan

untuk mengakui salah satu budaya yang akan mendominasi atau berkembangnya

budaya lain yang merupakan peleburan dari dua budaya tersebut atau bahkan kedua

budaya dapat sama-sama berjalan seiring dalam satu keluarga (proses asimilasi).

Meskipun suatu keluarga pernikahan berbeda suku seringkali saling melakukan

interaksi, bahkan dengan bahasa yang sama sekalipun, tidak berarti komunikasi akan

berjalan mulus atau dengan sendirinya akan tercipta saling pengertian. Hal ini

dikarenakan sebagian di antara individu tersebut masih memiliki prasangka terhadap

kelompok budaya lain dan enggan bergaul dengan mereka (http://ums.ac.id/).

Dalam suatu pernikahan diperlukan saling pengertian dan saling menerima

pasangan masing-masing dengan latar belakang keluarga dan kebiasaan yang

berbeda. Hal inilah yang menjadi daya tarik peneliti untuk meneliti komunikasi

antarbudaya dalam kehidupan pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa,

karena dengan berkomitmen sebagai pasangan suami-istri berarti mereka harus

bersedia menerima dan memasuki lingkungan sosial budaya pasangannya, sehingga

diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat tinggi. Orang menikah bukan hanya

mempersatukan diri, tetapi juga seluruh keluarga besarnya. Penyesuaian diri

merupakan suatu proses dan bukanlah keadaan yang statis, sehingga efektifitas

penyesuaian diri itu sendiri ditandai dengan seberapa mampu individu dalam

menghadapi situasi serta kondisi yang selalu berubah. Pada dasarnya penyesuaian diri

dalam pernikahan berlangsung dan patut diusahakan secara terus-menerus sepanjang

usia pernikahan. Kebanyakan orang berada dalam dua keluarga selama hidupnya:

(17)

pasangan. Oleh karena itu, setiap pasangan dituntut untuk dapat menyesuaikan diri

dengan pasangannya (Samovar, dkk, 2010: 64-65 )

Pada saat seseorang masuk ke lembaga pernikahan maka orang tersebut tidak

hanya terlibat dengan pasangannya saja. Secara otomatis ia juga memperoleh

sekelompok keluarga baru yaitu anggota keluarga pasangan, dimana hal ini

memungkinkan adanya perbedaan usia, minat, nilai, pendidikan, tradisi, sikap, gaya

hidup dan latar belakang sosial. Variasi budaya terjadi yaitu keluarga di mana ia lahir

dan keluarga yang terbentuk ketika ia punya pasangan. Seseorang yang baru menikah

menjadikan keluarga barunya sebagai tempat belajar dan menyatakan diri sebagai

manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompok barunya tersebut. Di

dalam kehidupan keluarga baru tersebut terdapat norma-norma dan peraturan yang

harus dipatuhi bersama untuk menjamin berlangsungnya interaksi yang wajar demi

tercapainya tujuan bersama keluarga itu. Kekeluargaan mengikat dua keluarga

menjadi sistem keluarga yang lebih kompleks. Ada dua bentuk umum keluarga yang

ditemukan, yaitu keluarga inti, biasanya terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak serta

keluarga besar, biasanya terdiri atas kakek-nenek dan kerabat (Samovar, dkk, 2010:

65-66).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana

komunikasi antarbudaya dalam proses asimilasi pada pernikahan campuran suku

Batak Toba-Tionghoa di kota Medan.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan

(18)

“Bagaimanakah komunikasi antarbudaya dalam proses asimilasi pada

pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan?”

I.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah bertujuan untuk menetapkan batasan dari masalah

penelitian yang akan diteliti agar ruang lingkup penelitian menjadi lebih sempit dan

jelas. Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka pembatasan masalah dalam

penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi

kasus.

2. Subjek penelitian dikhususkan pada pasangan pernikahan campuran suku

Batak Toba-Tionghoa di kota Medan. Jika diperlukan akan diteliti juga

anggota keluarga dalam pernikahan campuran tersebut, pemuka adat, dan

pemuka agama dari masing-masing suku.

I.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang masing-masing pasangan pada pernikahan

campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan.

2. Untuk mengetahui pandangan dunia (agama/kepercayaan, nilai, dan sikap)

yang dianut pasangan pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa di

(19)

3. Untuk mengetahui komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam proses

asimilasi pada pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota

Medan.

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif

terhadap khasanah keilmuan Ilmu Komunikasi, khususnya mengenai

Komunikasi antarbudaya dalam pernikahan campuran.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan menambah

pengetahuan serta wawasan bagi pembaca, khususnya departemen Ilmu

Komunikasi.

3. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan

referensi bagi mahasiswa yang membutuhkan informasi yang lebih mendalam

mengenai komunikasi antarabudaya dalam pernikahan campuran.

I.6 Kerangka Teori

Teori adalah abstraksi dari realitas. Teori merupakan konseptualisasi atau

penjelasan logis dan empiris tentang suatu fenomena (Djuarsa, 2007). Sedangkan

kerangka teori adalah penjelasan sementara terhadap gejala yang menjadi objek

permasalahan (Usman, 2008: 34). Kerangka teori disusun berdasarkan tinjauan

(20)

Setiap penelitian mempunyai titik tolak atau landasan berpikir dalam

memecahkan atau menyoroti sebuah masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori

yang memuat pokok - pokok yang menggambarkan diri dari sudut mana masalah

penelitian akan disoroti.

Adapun teori yang dianggap relevan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

I.6.1 Komunikasi

Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin, communis yang artinya sama.

Maksudnya adalah bila seseorang menyampaikan pesan komunikasi kepada orang

lain maka terlebih dahulu harus menyadari persamaan lambang dengan orang yang

dituju sebagai sasaran komunikasi (Suwardi, 2007: 11). Komunikasi adalah proses

berbagi makna melalui perilaku verbal dan non verbal. Bagi Everett Rogers,

komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu

penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.

Sedangkan menurut Carl I. Hovland, ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis

untuk merumuskan secara tegar asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan

pendapat dan sikap (Uchjana, 2006: 10).

Komunikasi terjadi jika setidaknya suatu sumber membangkitkan respons

pada penerima melalui penyampaian suatu pesan dalam bentuk tanda atau simbol,

tanpa harus memastikan terlebih dahulu bahwa kedua pihak yang berkomunikasi

punya sistem simbol yang sama. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang mewakili

sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Menurut Geert Hofstede, simbol

(21)

makna tertentu yang hanya dikenali oleh mereka yang menganut suatu budaya

(Mulyana, 2005: 3).

Dari pengertian komunikasi yang telah dikemukakan, maka jelas bahwa

komunikasi antarmanusia hanya bisa terjadi jika ada seseorang yang menyampaikan

pesan kepada orang lain dengan tujuan tertentu, artinya komunikasi hanya bisa terjadi

kalau didukung oleh adanya elemen komunikasi, yaitu sebagai berikut:

1. Sumber

Dalam komunikasi antarmanusia, sumber bisa terdiri dari satu orang tetapi

bisa juga dalam bentuk kelompok misalnya organisasi atau lembaga. Sumber

disebut juga sebagai pengirim atau komunikator.

2. Pesan

Pesan dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan pengirim

kepada penerima. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau

melalui media komunikasi.

3. Media adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber

kepada penerima. Media bisa bermacam-macam bentuknya yaitu, indera

manusia, saluran komunikasi berupa media cetak dan elektronik, dan media

komunikasi sosial seperti balai desa, kesenian rakyat, dan pesta rakyat.

4. Penerima

Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber.

Penerima bisa terdiri dari satu orang atau lebih. Penerima adalah elemen

penting dalam proses komunikasi, karena dialah yang menjadi sasaran

(22)

5. Efek

Efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan

oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan. Efek bisa juga diartikan

sebagai perubahan pada pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang sebagai

akibat penerimaan pesan (Cangara, 1998: 23-25).

I.6.2 Komunikasi Antarbudaya

a. Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi antarbudaya adalah kegiatan komunikasi antarpribadi yang

dilangsungkan di antara para anggota kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2001: 13).

Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya dengan contoh yaitu,

keterlibatan suatu konferensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai

negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan Fred E. Jandt

mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara

orang-orang yang berbeda budayanya. Komunikasi antarbudaya itu dilakukan sebagai

berikut:

1. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan.

2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama.

3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita; Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan berbagai cara.

(23)

Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu

budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Budaya

mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggungjawab atas seluruh

perbendaharaan perilaku komunikatif dan maksud yang dimiliki oleh setiap orang.

Perbendaharaan yang dimiliki oleh dua orang yang berbeda budaya dapat

menimbulkan kesulitan. Melalui pemahaman komunikasi antarbudaya, kita dapat

menghilangkan kesulitan-kesulitan itu. Komunikasi antarbudaya dapat dipahami

sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi objek-objek sosial dan

kejadian-kejadian (Mulyana, 2007: 218).

Menurut Samovar dan Porter, untuk mengkaji komunikasi antarbudaya perlu

dipahami hubungan antar kebudayaan dengan komunikasi. Melalui pengaruh

budayalah manusia belajar berkomunikasi dan memandang dunia mereka melalui

kategori-kategori dan label-label yang dihasilkan kebudayaan. Kemiripan budaya

dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu

objek atau peristiwa. Cara-cara manusia berkomunikasi, keadaan komunikasi, bahkan

bahasa dan gaya bahasa yang digunakan, perilaku-perilaku non verbal merupakan

respons terhadap fungsi budaya itu sendiri (dalam Liliweri, 2001: 160).

b. Pandangan Dunia dalam Komunikasi Antarbudaya

Pandangan dunia adalah orientasi budaya terhadap Tuhan, kehidupan,

kematian, alam semesta, kebenaran, materi, dan isu-isu filosofis lainnya yang

berkaitan dengan kehidupan. Pandangan dunia mencakup agama dan ideologi.

(24)

Pandangan dunia merupakan unsur penting yang mempengaruhi persepsi seseorang

ketika berkomunikasi dengan orang lain, khususnya yang berbeda budaya (Mulyana,

2007: 219-220).

Menurut Mulyana, kepercayaan sebagai unsur pandangan dunia secara umum

dapat dipandang sebagai kemungkinan-kemungkinan subjektif yang diyakini individu

bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik-karakteristik tertentu.

Terdapat berbagai sistem kepercayaan dan sistem nilai yang lebih spesifik yang

dianut seseorang mengenai berbagai aspek realitas baik yang nyata ataupun yang

abstrak. Kepercayaan pada dasarnya adalah suatu persepsi pribadi. Kepercayaan

merujuk kepada keyakinan bahwa sesuatu memiliki ciri-ciri tertentu, terlepas dari

apakah hal tersebut dapat dibuktikan secara logika atau tidak (Mulyana, 2007: 221).

Nilai merujuk kepada keyakinan yang relatif bertahan lama akan suatu hal,

tindakan, peristiwa, dan fenomena berdasarkan kriteria tertentu. Sistem nilai budaya

merupakan tingkatan paling tinggi dan paling abstrak dari suatu adat istiadat. Hal ini

disebabkan karena nilai-nilai budaya adalah konsep mengenai apa yang ada dalam

pikiran manusia, apa yang mereka anggap berharga, yang penting dan tidak penting

sehingga sistem nilai tersebut berguna sebagai pedoman berperilaku, memberi arah,

dan orientasi kepada setiap masyarakat untuk menjalankan kehidupan (Purwasito,

2003: 229). Ketika kita sudah menyerap nilai-nilai dari lingkungan kita, nilai dan

norma itu menjadi standar dan kriteria untuk memandu tindakan, mengembangkan

sikap terhadap objek dan situasi yang relevan, dan untuk untuk menilai tindakan dan

sikap diri sendiri dan orang lain. Dengan demikian, nilai bersifat normatif karena

(25)

Keyakinan dan nilai yang kita anut mempengaruhi cara kita berperilaku yang

jika berulang-ulang akan disebut sikap, adat-istiadat atau tradisi. Sikap adalah suatu

kecenderungan yang diperoleh dengan cara belajar untuk merespons suatu objek

secara konsisten Tidak semua orang atau komunitas budaya menganut seperangkat

kepercayaan yang sama.. Semua pesan berawal dari konteks budaya yang unik dan

spesifik, dan konteks tersebut akan mempengaruhi isi dan bentuk komunikasi

(Mulyana, 2005: 44-45). Budaya akan mempengaruhi setiap aspek pengalaman

manusia dalam berkomunikasi. Seseorang melakukan komunikasi dengan cara-cara

seperti yang dilakukan oleh budayanya.

Budaya memainkan peranan penting dalam pembentukan

kepercayaan/keyakinan, nilai, dan sikap. Dalam komunikasi antarbudaya tidak ada

hal benar atau hal yang salah sejauh hal-hal tersebut berkaitan dengan kepercayaan.

Sedangkan nilai-nilai dalam suatu budaya terdapat dalam perilaku anggota budaya

yang dituntut oleh budaya tersebut. Kepercayaan dan nilai memberi kontribusi bagi

pengembangan sikap. Sikap dipelajari dalam suatu konteks budaya. Lingkungan turut

membentuk sikap individu, kesiapan merespon, dan akhirnya menjadi perilaku

individu tersebut (Mulyana, 2005: 26-27).

I.6.3 Akulturasi dalam Pernikahan Campuran

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia

dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu

kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing

(26)

hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat, 2002: 248). Tidak

pernah terjadi difusi dari satu unsur kebudayaan. Unsur-unsur itu berpindah-pindah

sebagai suatu gabungan yang tidak mudah dipisahkan. Lagipula sejak dulu kala,

selalu ada migrasi suku-suku bangsa yang menyebabkan terjadinya pertemuan dengan

kelompok kebudayaan yang lain.

Proses komunikasi mendasari proses akulturasi. Akulturasi terjadi melalui

identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat asli. Kemiripan antara

budaya asli dan budaya asing adalah faktor terpenting dalam potensi akulturasi.

Diantara sekian banyak faktor, usia dan latar belakang pendidikan terbukti

berhubungan dengan akulturasi. Pendidikan, terlepas dari konteks budaya, ternyata

memperbesar kapasitas seseorang untuk menghadapi pengalaman baru dan mengatasi

tantangan hidup.

I.6.4 Asimilasi dalam Pernikahan Campuran

Asimilasi adalah suatu proses sosial yang terjadi pada golongan manusia

dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah bergaul secara intensif dan

saling bertoleransi, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan

golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran

(Koentjaraningrat, 2002: 255). Dalam peristiwa itu biasanya golongan minoritas

berubah mengikuti golongan mayoritas, sehingga lambat laun sifat khas dari

kebudayaannya akan berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan mayoritas.

Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya asimilasi, antara lain:

(27)

2. Kesempatan yang sama dalam bidang ekonomi

3. Suatu sikap yang menghargai suatu kebudayaan lain

4. Sikap yang terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat.

5. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan

6. Adanya pernikahan campuran

7. Adanya musuh bersama dari luar.

Menurut para ahli, proses asimilasi belum tentu terjadi hanya dengan

pergaulan antarkelompok saja, tetapi harus ada sikap toleransi dan simpati satu

terhadap yang lain. Toleransi dan simpati sering terhalang oleh berbagai faktor, yaitu:

1. Kurang pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi.

2. Sifat takut terhadap kekuatan dari kebudayaan lain.

3. Perasaan superioritas pada individu-individu dari satu kebudayaan terhadap

yang lain (Koentjaraningrat, 2002: 255)

Asimilasi ditandai dengan perubahan pada pola-pola budaya kelompok

minoritas seperti bahasa, nilai, pakaian, makanan, dll. Adaptasi kaum imigran dengan

lingkungan baru dapat menyebabkan “gegar budaya” sebagai akibat tak terhindarkan

dari kontak antarbudaya kaum imigran dengan masyarakat asli (Mulyana, 2005:

163-164).

I.7 Kerangka Konsep

Konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat

dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Bungin, 2001: 73).

(28)

memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Kerangka konsep

dalam penelitian ini adalah :

1. Komunikasi antarbudaya

2. Proses asimilasi dalam pernikahan campuran

Komunikasi Antarbudaya

Proses Asimilasi

I.8 Konseptulisasi

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka konsep

operasional dijadikan sebagai indikator dalam memecahkan masalah. Agar konsep

operasional sesuai dengan penelitian, maka dioperasionalkan sebagai berikut:

KONSEP OPERASIONAL KONSEPTUALISASI

a. Komunikasi Antarbudaya 1. Pertukaran pesan antarbudaya

2.Masalah dalam komunikasi

antarbudaya:

a. Penarikan diri

b. Kecemasan

c. Etnosentrisme

d. Culture shock

3. Pandangan dunia: agama, nilai

(29)

b. Proses Asimilasi 1. Intensivitas pergaulan

2. Sifat-sifat khas masing-masing

budaya

3. Sifat campuran dari

masing-masing budaya

I.9 Definisi Operasional

Definisi operasional menyatakan bagaimana operasi atau kegiatan yang harus

dilakukan untuk memperoleh data atau indikator yang menunjukkan konsep yang

dimaksud. Definisi inilah yang diperlukan dalam penelitian karena definisi ini

menghubungkan konsep atau konstruk yang diteliti dengan gejala empirik

(Soehartono, 2008: 29). Maka variabel yang terdapat didalam penelitian ini

didefinisikan sebagai berikut:

a. Komunikasi Antarbudaya:

1. Pertukaran pesan antarbudaya yang terjadi baik melalui pesan verbal maupun

non verbal.

2. Masalah dalam komunikasi antarbudaya:

a. Penarikan diri: penarikan diri dari interaksi tatap muka atau dari suatu

kelompok budaya tertentu.

b. Kecemasan: perasaan psikologis yang menghasilkan sebuah situasi yang

(30)

c. Etnosentrisme: menganggap kelompok budayanya yang lebih baik dari

kelompok budaya lain.

d. Culture shock: kecemasan yang disebabkan oleh kehilangan tanda-tanda

dan lambang-lambang dalam pergaulan sosial.

3. Pandangan Dunia:

a. Agama: orientasi budaya terhadap Ketuhanan.

b. Nilai dan sikap: nilai adalah konsep mengenai apa yang ada dalam pikiran

manusia, apa yang mereka anggap berharga, yang penting dan tidak

penting sehingga sistem nilai tersebut berguna sebagai pedoman

berperilaku. Sikap adalah suatu kecenderungan yang diperoleh dengan

cara belajar untuk merespons suatu objek secara konsisten.

b. Proses Asimilasi

1. Latar belakang budaya yang berbeda-beda: latar belakang budaya asli dan

budaya imigran.

2. Intensivitas pergaulan: rasa toleransi dan simpati dalam hubungan

3. Sifat-sifat khas masing-masing budaya: nilai-nilai budaya masing-masing

pihak

4. Sifat campuran dari masing-masing budaya: tercipta unsur baru yang

(31)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1 Komunikasi

II.1.1 Pengertian Komunikasi

Beberapa ahli menguraikan berbagai pengertian komunikasi, diantaranya

adalah Samovar, dkk yang mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses dinamis

di mana orang berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan orang lain

melalui penggunaan simbol (Samovar, dkk, 2010: 18). Bagi Everett M. Rogers,

komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu

penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.

Sedangkan menurut Joseph A. Devito, komunikasi adalah kegiatan yang dilakukan

oleh seseorang atau lebih, yakni kegiatan menyampaikan dan menerima pesan yang

mendapat distorsi dari gangguan-gangguan dalam suatu konteks yang menimbulkan

efek dan kesempatan untuk arus balik (Uchjana, 2006: 5).

Segala perilaku dapat disebut komunikasi jika melibatkan dua orang atau

lebih. Richard dan Yoshida mengatakan bahwa komunikasi terjadi jika setidaknya

suatu sumber membangkitkan respons pada penerima melalui penyampaian suatu

pesan dalam bentuk tanda atau simbol, baik bentuk verbal ataupun nonverbal, tanpa

harus memastikan terlebih dahulu bahwa kedua pihak yang berkomunikasi punya

suatu sistem simbol yang sama (Mulyana, 2004: 3). Simbol atau lambang adalah

sesuatu yang mewakili sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan bersama. Atau

(32)

gaya, atau objek (simbol status) yang mengandung suatu makna tertentu yang hanya

dikenali oleh mereka yang menganut suatu budaya (Mulyana, 2004: 3).

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak peduli dimana berada, manusia selalu

berinteraksi dengan orang-orang tertentu yang berasal dari kelompok, ras, etnik, atau

budaya lain. Berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda

kebudayaan merupakan pengalaman baru yang selalu dihadapi. Esensi komunikasi itu

sendiri terletak pada proses, yakni suatu aktivitas yang melayani hubungan antara

pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Komunikasi merupakan

pusat dari seluruh sikap, perilaku, dan tindakan yang terampil dari manusia. Manusia

tidak bisa dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi dengan cara

atau melalui pertukaran informasi, ide-ide, gagasan, maksud serta emosi yang

dinyatakan dalam simbol-simbol dengan orang lain (Liliweri, 2003: 5).

II.1.2 Prinsip Komunikasi

Menurut Samovar, dkk, ada enam prinsip komunikasi, yaitu:

1. Komunikasi merupakan proses dinamis. Dinamis menandakan aktivitas yang

sedang dan terus berlangsung; tidak statis. Komunikasi itu seperti gambar hidup, bukan hasil jepretan. Kata atau tindakan tidak membeku ketika individu berkomunikasi, namun selalu berganti dengan kata atau tindakan yang lain. Proses dinamis mengandung arti bahwa pengiriman dan penerimaan pesan melibatkan sejumlah variabel penting yang bekerja dalam waktu yang bersamaan. Kedua belah pihak yang terlibat sama-sama melihat, mendengar atau tersenyum dalam waktu yang sama. Konsep “proses” dalam kata dinamis juga berarti bahwa seseorang dengan orang lain merupakan bagian dari suatu proses dinamis komunikasi. Seseorang dipengaruhi oleh pesan orang lain dan sebagai akibatnya seseorang tersebut berubah; pesan seseorang itu juga mengubah orang lain. Dapat dikatakan bahwa seseorang mengalami perubahan fisik dan psikologis tiada akhir hingga ia mati.

2. Komunikasi merupakan simbol. Simbol merupakan ekspresi yang mewakili

(33)

bahwa simbol tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya, sehingga dapat berubah-ubah. Manusia menggunakan simbol bukan hanya dalam berinteraksi. Penyimbolan memungkinkan suatu budaya disampaikan dari generasi ke generasi. Gudykunst dan Kim (dalam Samovar, dkk, 2010 ) mengatakan bahwa suatu simbol menjadi simbol ketika sejumlah orang sepakat menjadikannya suatu simbol.

3. Komunikasi merupakan kontekstual. Komunikasi dikatakan kontekstual

karena komunikasi terjadi pada situasi atau sistem tertentu yang mempengaruhi apa dan bagaimana kita berkomunikasi dan apa arti dari pesan yang kita bawa. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn, “komunikasi selalu terjadi dalam konteks dan sifat komunikasi sangat bergantung pada konteks ini.” Hal ini berarti bahwa tempat dan lingkungan menolong seseorang untuk menentukan kata serta tindakan yang dia hasilkan dan mengartikan simbol yang dihasilkan orang lain. Pakaian, bahasa, perilaku menyentuh, dan lainnya diadaptasikan dalam konteks.

4. Komunikasi merupakan refleksi diri. Refleksi diri menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk memikirkan diri sendiri, teman mereka berkomunikasi, pesan-pesan mereka, dan akibat potensial dari pesan tersebut (terjadi dalam waktu yang sama). Manusia adalah satu-satunya spesies yang dapat berada dalam posisi yang sama di waktu yang bersamaan pula. Ciri ini mengizinkan seseorang untuk memonitor tindakannya dan membuat beberapa penyesuaian penting ketika hal itu dibutuhkan.

5. Kita belajar untuk berkomunikasi. Kemampuan seseorang berkomunikasi

merupakan hubungan yang saling mempengaruhi antara apa yang ada dalam dirinya dan apa yang ia pelajari tentang komunikasi selama hidup. Seseorang dapat menerima satu fakta secara bergantian dan otaknya menyimpan fakta tersebut. Seseorang itu mungkin punya masalah mengingat, tetapi sebenarnya informasi itu tetap ada disana. Tidak semua orang memiliki pengalaman yang sama dan apa yang seseorang ketahui belum tentu diketahui orang lain. Seseorang dapat belajar banyak hal dari orang lain. Kemampuan suatu budaya terhadap suatu hal dapat dibagikan kepada budaya yang kurang informasi akan hal tersebut. Intinya tiap budaya akan semakin baik jika saling berbagi satu sama lain.

(34)

II.2 Komunikasi Antarbudaya

II.2.1 Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi

komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpibadi,

dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang

mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (dalam Liliweri, 2003: 11). Defenisi

lain dari komunikasi antarbudaya diantaranya adalah Stephen Dahl yang mengartikan

komunikasi antarbudaya secara spesifik, yaitu komunikasi yang terjadi didalam

masyarakat yang berasal dari dua ataupun lebih kebangsaan yang berbeda, seperti

perbedaan rasial dan latar belakang etnik. Sedangkan menurut Stuward L. Tubbs

komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi yang terjadi diantara dua anggota

yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda baik secara rasial, etnik

maupun sosial-ekonomi (dalam Purwasito, 2003:122-124). Dapat disimpulkan bahwa

komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang

dilakukan oleh orang-oang yang berbeda latar belakang budayanya (Liliweri, 2003:

9).

Selama masa perkembangan komunikasi antarbudaya, telah banyak para ahli

yang mencoba mendefenisikan komunikasi antarbudaya. Beberapa diantaranya

adalah:

1. Menurut Sitaram (1970), komunikasi antarbudaya adalah seni untuk memahami dan dipahami oleh khalayak yang memiliki kebudayaan lain.

(35)

3. Menurut Stewart (1974), komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, dan kebiasaan.

4. Menurut Sitaram and Codgell (1976), komunikasi antarbudaya adalah interaksi antara para anggota masyarakat yang berbeda kebudayaannya.

5. Menurut Gerhard Maletzke (1976), komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna di antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya.

6. Menurut Young Yung Kim (1984), komunikasi antarbudaya menunjuk pada suatu fenomena komunikasi di mana para pesertanya masing-masing memiliki latar belakang budaya yang berbeda terlibat dalam suatu kontak antara satu dengan yang lainnya, baik secara langsung atau tidak langsung (dalam Djuarsa, dkk, 2007: 332-333).

Dari defenisi-defenisi komunikasi antarbudaya diatas dapat disimpulkan

bahwa semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kita

kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi

yang efektif. Hal ini disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang

dari kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah

hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat ambiguitas, kebingungan, tidak

bermanfaat, bahkan terlihat tidak bersahabat. Kebudayaan yang menjadi latar

belakang kehidupan akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Di saat kita

berkomunikasi antarpribadi dengan seseorang dalam masyarakat yang makin

majemuk, maka dia merupakan orang yang pertama dipengaruhi oleh kebudayaan

kita.

II.2.2 Tujuan Komunikasi Antarbudaya

Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan

(36)

Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap

interaksi, yakni:

1. Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non

verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari

komunikasi).

2. Initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang

muncul dari kontak awal tersebut, misalnya anda bertanya pada diri sendiri;

Apakah saya seperti dia? Apakah dia mengerti saya? Apakah saya rugi waktu

kalau berkomunikasi dengan dia?

3. Closure, mulai membuka diri yang semula tertutup melalui atribusi dan

pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita

harus lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi atas

suatu perilaku atau tindakan dia. Pertanyaan yang relevan adalah apa yang

mendorong dia berkata, berpikir, atau berbuat demikian? Kalau seseorang

menampilkan tindakan yang positif maka kita akan memberikan atribusi

motivasi yang positif kepada orang itu, karena dia bernilai bagi relasi kita.

Sebaliknya kalau orang itu menampilkan tindakan yang negatif maka kita

akan memberikan atribusi motivasi yang negatif. Sementara itu kita pun dapat

mengembangkan sebuah kesan terhadap orang itu melalui evaluasi atas

kehadiran sebuah kepribadian implisit. Bahwa karena anda di saat awal

komunikasi/pra kontak berkesan orang itu baik maka semua sifat-sifat positif

akan mengikuti dia, misalnya karena dia baik pasti jujur, setia kawan, rendah

(37)

Tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai bila bentuk-bentuk hubungan

antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk

memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan, dan

memperbaharui manajemen komunikasi yang efektif (Liliweri, 2003: 19-20; 21-22).

II.2.3 Unsur-Unsur Proses Komunikasi Antarbudaya

Menurut Liliweri, ada tujuh unsur dalam proses komunikasi antarbudaya,

yaitu:

1. Komunikator. Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang memprakarsai komunikasi, artinya dia mengawali pengiriman pesan tertentu kepada pihak lain yang disebut komunikan. Karakterisitik komunikator berbeda-beda setiap budaya tergantung latar belakang etnis, ras, faktor demografis seperti umur dan jenis kelamin. Perbedaan karakterisitik komunikator antarbudaya ditentukan oleh nilai dan norma, faktor-faktor makro seperti penggunaan bahasa, pandangan tentang pentingnya percakapan dalam konteks budaya, dan faktor mikro seperti dialek, aksen serta nilai dan sikap yang menjadi identitas sebuah etnik.

2. Komunikan. Komunikan dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang menerima pesan tertentu. Tujuan komunikasi akan tercapai jika komunikan dapat memahami pesan dari komunikator, dan memperhatikan serta menerima pesan secara menyeluruh. Seorang komunikan ketika memahami isi pesan tergantung dari tiga bentuk pemahaman, yakni: (1) kognitif, komunikan menerima isi pesan sebagai sesuatu yang benar; (2) afektif, komunikan percaya bahwa pesan itu tidak hanya benar tetapi baik; dan (3) tindakan nyata, komunikan percaya atas pesan yang benar dan baik sehingga mendorong tindakan yang tepat.

3. Pesan. Dalam proses komunikasi, pesan berisi pikiran, ide, gagasan, atau perasaan yang dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol. Dalam model komunikasi antarbudaya, pesan adalah apa yang ditekankan atau yang dialihkan komunikator kepada komunikan. Setiap pesan sekurang-kurangnya berisi dua aspek utama, yakni isi dan perlakuan. Isi pesan meliputi daya tarik pesan disertai perlakuan meliputi penjelasan isi pesan oleh komunikator.

(38)

dikirim melalui media, terutama dalam komunikasi antarbudaya tatap muka. Para ilmuwan sosial menyepakati dua tipe saluran, yakni saluran sensoris (cahaya, bunyi, perabaan, pembauan, dan rasa). Yang kedua adalah saluran institusional, misalnya percakapan tatap muka, material cetakan, dan media elektronik. Saluran institusional juga memerlukan saluran sensoris untuk memperlancar pertukaran pesan.

5. Efek. Efek/umpan balik merupakan tanggapan balik dari komunikan kepada komunikator atas pesan-pesan yang telah disampaikan. Tanpa umpan balik atas pesan dalam komunikasi antarbudaya, maka komunikator dan komunikan tidak bisa memahami ide, pikiran, dan perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.

6. Suasana. Salah satu faktor yang penting dalam komunikasi antarbudaya yakni tempat, waktu, serta suasana (sosial, psikologis) ketika komunikasi antarbudaya berlangsung. Suasana itu berkaitan dengan waktu yang tepat untuk bertemu, tempat (rumah, kantor) untuk berkomunikasi, dan kualitas relasi (formal, informal) yang berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya. 7. Gangguan. Gangguan dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu

yang menjadi penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, bahkan dapat mengurangi makna pesan antarbudaya. Gangguan terjadi bila pesan yang disampaikan berbeda dengan pesan yang diterima. Gangguan dapat bersumber dari komunikator, komunikan, pesan, dan media yang mengurangi usaha bersama untuk memberikan makna yang sama atas pesan. Gangguan dari komunikator dan komunikan misalnya karena perbedaan status sosial, latar belakang pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan berkomunikasi. Gangguan dari pesan dapat berupa perbedaan pemberian makna pesan yang disampaikan secara verbal dan perbedaan tafsir atas pesan non verbal (isyarat tubuh). Sedangkan gangguan dari media dapat berupa salah memilih media yang tidak sesuai dengan konteks komunikasi, situasi, dan kondisi yang kurang mendukung terlaksananya komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2003: 25-31).

Pada dasarnya manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka

sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka.

Kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi tersebut terus hidup dan berkembang serta diwariskan

oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu.

Individu-individu tersebut cenderung menerima dan mempercayai apa yang diwariskan budaya

(39)

dengan “kebenaran” yang mereka yakini. Ini seringkali menjadi landasan bagi

prasangka yang tumbuh di antara anggota kelompok tertentu terhadap kelompok lain.

Ketika proses komunikasi antarbudaya telah berlangsung, seringkali ada

gangguan dan terjadi kesalahpahaman karena perbedaan budaya.

Gangguan-gangguan tersebut dapat menimbulkan kecemasan bagi individu-individu yang

terlibat. Kecemasan tersebut mendorong individu yang terlibat komunikasi

antarbudaya menganggap bahwa budayanya lebih baik dari budaya lain. Hal ini

dinamakan etnosentrisme, dimana seseorang mempunyai kepercayaan bahwa

budayanya jauh lebih baik dari yang lain. Ting Toomey mendefinisikan identitas

kultural sebagai perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk turut

memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi terhadap kultur tertentu (Rahardjo,

2005:1-2). Ketika manusia menggunakan cara dimana budaya yang lain berbeda

dengan budayanya, mereka mungkin menganggap elemen budaya mereka sebagai

yang normal, bermoral, dan lebih diinginkan dibandingkan elemen budaya lain. Sifat

etnosentrisme ini dapat menghalangi individu dalam menjalin komunikasi dengan

budaya lain (Samovar,dkk, 2010: 54-55).

Untuk mengurangi gangguan dalam komunikasi antarbudaya, kepekaan

terhadap perbedaan budaya tersebut menjadi hal yang sangat penting. Melalui

pengalaman-pengalaman lintas budaya, manusia menjadi lebih terbuka dan toleran

terhadap keganjilan budaya lain. Pemahaman budaya dapat mengurangi dampak

gegar budaya (culture shock). Culture shock merupakan bentuk kecemasan

berlebihan akibat pergaulan dengan budaya lain dan kehilangan pergaulan sosial

(40)

adalah dengan meningkatkan kesadaran budaya individu secara umum. Individu

harus memahami konsep dan ciri-ciri budayanya sebelum ia memperoleh studi

tentang aspek-aspek budaya asing (Mulyana, 2005: 70). Kita harus dapat berperilaku

dengan cara-cara yang diterima budaya lain dan juga diterima oleh budaya kita

sendiri.

II.2.4 Pandangan Dunia (World View)

Menurut Ishii, Cooke, dan Klopf (dalam Samovar, dkk) cara pandang

merupakan orientasi budaya terhadap Tuhan, kemanusiaan, alam, pertanyaan tentang

keberadaan sesuatu, alam dan kosmos, kehidupan, moral dan alasan etis, penderitaan,

kematian, dan isu filosofis lainnya yang mempengaruhi bagaimana anggotanya

memandang dunia. Tujuan cara pandang adalah untuk menuntun orang menentukan

gambaran dunia ini dan bagaimana mereka berperan dalam dunia tersebut. Banyak

ahli yang setuju bahwa budaya mempengaruhi sebagian besar cara pandang

seseorang. Cara pandang menyediakan dasar persepsi dan sifat realitas seperti yang

dialami oleh mereka yang berbagi budaya yang umum. Pandangan budaya berfungsi

untuk membuat pengalaman hidup yang mungkin menurut orang lain kacau dan tidak

berarti menjadi dapat diterima oleh akal sehat. Cara pandang ditentukan oleh

pemahaman kolektif sebagai dasar untuk menghakimi suatu tindakan yang

memungkinkan kelangsungan hidup dan adaptasi (Samovar, dkk, 2010: 117-118).

Agama sebagai cara pandang telah ditemukan dalam setiap budaya selama

ribuan tahun. Cara pandang erat kaitannya dengan praktik agama dan kepercayaan.

(41)

dan pencipta budaya. Bagi kebanyakan orang di dunia ini, tradisi agama (seperti

keluarga, suku atau negara) menjadi identitas mereka di dunia. Orang Kristen percaya

bahwa keselamatan hanya diperoleh lewat Yesus Kristus. Sedangkan kaum Muslim

percaya bahwa untuk memperoleh surga adalah keyakinan bahwa Tuhan itu satu dan

tanpa sekutu dan bahwa Muhammad adalah utusanNya. Akan tetapi orang-orang

yang beragama Hindu dan Budha tidak menganut kepercayaan seperti Kristen dan

Islam. Agama Hindu dan Budha percaya bahwa Tuhan tidak dalam otoritas tunggal,

tetapi menjelma menjadi banyak tuhan (Mulyana, 2004: 35).

Hal yang menarik dari agama adalah bahwa hal tersebut mengikat orang

bersama-sama dalam dan memelihara cara pandang budaya mereka selama ribuan

tahun. Baik melalui ajaran Alkitab, Alquran, Weda, Torah, dan I Ching, manusia

selalu merasakan suatu kebutuhan untuk melihat keluar diri mereka sendiri akan

nilai-nilai yang mereka gunakan dalam mengatur hidup mereka. Agama menyediakan dan

menunjukkan nilai dari fenomena yang tidak dapat dijelaskan. Inti dari agama adalah

menyediakan petunjuk mengenai bagaimana untuk memperlakukan orang lain dan

memperoleh kedamaian batin (Samovar, dkk, 2010: 123-125).

Keyakinan kita tidak terbatas, misalnya Tuhan itu Esa atau Adam adalah

manusia pertama di bumi. Salah satu fungsi penting dari kepercayaan/keyakinan

adalah bahwa hal itu membentuk dasar nilai. Nilai adalah komponen evaluatif dari

kepercayaan mencakup kegunaan, kebaikan, estetika, dan kepuasan. Jadi nilai bersifat

normatif, memberitahu suatu anggota budaya mengenai apa yang baik atau buruk,

(42)

bersumber dari isu filosofis yang lebih besar yang merupakan bagian dari lingkungan

budaya, karena itu nilai bersifat stabil dan sulit berubah (Mulyana, 2007:215-216).

Keyakinan dan nilai yang dianut seseorang yang jika dilaksanakan secara

terus-menerus akan disebut sikap. Keyakinan dan nilai yang dianut seseorang tidak

dapat diamati langsung. Kita hanya bisa menduga bagaimana kepercayaan dan nilai

seseorang berdasarkan tindakannya, terutama yang konsisten dari waktu ke waktu

(sikap). Manusia telah menganut berbagai kepercayaan sejak lahir yang ditanamkan

di dalam lingkungannya. Bagaimana cara berbicara, gaya berpakaian, apa yang bisa

dicapai, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, semua

diterima begitu saja dari lingkungan tanpa banyak mempersoalkannya. Pola budaya

merupakan suatu sistem kepercayaan dan nilai yang terintegrasi yang bekerja sama

untuk menyediakan suatu model terpadu dan konsisten. Pola tersebut berkontribusi

tidak hanya pada cara manusia melihat dan berpikir mengenai dunia ini, namun juga

bagaimana manusia hidup di dunia ini (Samovar,dkk, 2010: 227).

II.3 Akulturasi dalam Pernikahan Campuran II.3.1 Komunikasi dan Akulturasi

Istilah akulturasi atau acculturation mempunyai berbagai arti. Namun para

sarjana antropologi sepaham bahwa akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila

suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan

unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga

unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan

sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri

(43)

untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi, yang akhirnya

mengarah kepada asimilasi.

Migrasi menyebabkan pertemuan-pertemuan antarkelompok manusia dengan

kebudayaan yang berbeda-beda, akibatnya individu-individu dalam kelompok

tersebut dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan yang asing. Pada akhirnya

bukan hanya sistem sosio-budaya imigran, tapi juga sosio-budaya pribumi yang

mengalami perubahan sebagai akibat kontak antar budaya yang lama. Faktor yang

berpengaruh atas perubahan yang terjadi pada diri imigran itu adalah perbedaan

antara jumlah dan besarnya masyarakat pribumi. Juga kekuatan dominan masyarakat

pribumi dalam mengontrol berbagai sumber dayanya mengakibatkan lebih banyak

dampak pada kelanjutan dan perubahan budaya imigran. Kebutuhan imigran untuk

beradaptasi dengan sistem sosio-budaya pribumi akan lebih besar daripada kebutuhan

masyarakat pribumi untuk memasukkan unsur-unsur budaya imigran ke dalam

budaya mereka.

Proses komunikasi mendasari proses akuturasi seorang imigran. Akulturasi

terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi

yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-pola budaya

pribumi lewat komunikasi, seorang imigran juga memperoleh pola-pola budaya

pribumi lewat komunikasi. Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran sangat berbeda

dengan bahasa asli masyarakat pribumi. Masalah-masalah komunikasi lainnya

meliputi masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan dalam penggunaan dan

pengaturan ruang, jarak antarpibadi, ekspresi wajah, gerak mata, gerakan tubuh

(44)

seorang imigran dapat menggunakan pola-pola komunikasi verbal dan nonverbal

secara memuaskan, ia mungkin masih mengalami kesulitan dalam mengenal dan

merespons aturan-aturan komunikasi bersama dalam budaya yang ia masuki itu

(Mulyana, 2005: 139).

Kecakapan berkomunikasi yang telah diperoleh imigran lebih lanjut

menentukan seluruh akulturasinya. Kecakapan imigran dalam berkomunikasi akan

berfungsi sebagai alat penyesuaian diri yang membantu imigran memenuhi

kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan kelangsungan hidup dan

kebutuhan akan “rasa memiliki”. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu

proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui

komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya baru. Kecakapan

komunikasinya pada gilirannya menunjukkan derajat akulturasi imigran tersebut

(Mulyana, 2005: 140).

Penelitian-penelitian sekitar masalah akulturasi sebagian besar bersifat

deskriptif, yaitu melukiskan satu peristiwa akulturasi yang konkret pada satu atau

beberapa suku bangsa tertentu yang mendapat pengaruh dari kebudayaan lain. Di

samping karangan-karangan deskriptif timbul pula karangan yang bersifat teori, yaitu

karangan yang mengabstraksikan dari banyak peristiwa akulturasi dan beberapa

konsep mengenai gejala/masalah mengenai akulturasi. Lima golongan masalah

tersebut, yaitu:

1. Masalah mengenai metode-metode untuk mengobservasi, mencatat, dan melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat.

(45)

3. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan apa yang mudah diganti atau diubah, dan unsur apa yang tidak mudah diganti atau diubah oleh unsur-unsur kebudayaan asing.

4. Masalah mengenai individu-individu apa yang suka dan cepat menerima, dan individu-individu apa yang sukar dan lambat menerima unsur-unsur kebudayaan asing.

5. Masalah mengenai ketegangan-ketegangan dan krisis sosial yang timbul sebagai akibat akulturasi (Koentjaraningrat, 2002: 251).

II.3.2 Variabel-Variabel Komunikasi Dalam Akulturasi

Menurut Mulyana, ada dua variabel komunikasi dalam akulturasi, yaitu:

1. Komunikasi persona. Komunikasi persona mengacu pada proses-proses

mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami, dan merespons lingkungan. Dalam konteks akulturasi, komunikasi persona seorang imigran dapat dianggap sebagai pengaturan pengalaman-pengalaman akulturasi ke dalam sejumlah pola respins kognitif dan afektif yang dapat diidentifikasi dan yang konsisten dengan budaya pribumi atau yang secara potensial memudahkan aspek-aspek akulturasi lainnya. Salah satu variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah kompleksitas struktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan pribumi. Fase awal akulturasi, perspesi seorang imgran atas lingkungan pribuminya relatif sederhana. Namun setelah imigran mengetahui budaya pribumi lebih jauh, persepsinya menjadi lebih halus dan kompleks. Faktor yang berhubungan dengan kompleksitas kognitif adalah pengetahuan imigran tentang pola-pola dan aturan-aturan sistem komunikasi pribumi. Pengetahuan tentang sistem komunikasi pribumi terbukti penting dalam meningkatkan partisipasi imigran dalam jaringan komunikasi masyarakat pribumi. Variabel lainnya dalam komunikasi persona adalah citra diri/image. Citra diri imigran yang berhubungan dengan citranya tentang masyarakat pribumi member informasi berharga tentang realitas akulturasinya yang subjektif. Perasaan terasing dan rendah diri yang diderita imigran berkaitan dengan jarak perceptual antara dirinya dengan masyarakat pribumi. Motivasi imigran untuk belajar dan berpartisipasi dalam sosio-budaya pribumi dapat meningkatkan jaringan komunikasi dengan masyarakat pribumi.

2. Komunikasi sosial. Melalui komunikasi sosial individu-individu mengatur

(46)

terutama berhubungan dengan masyarakat pribumi. Sedangkan fungsi akulturasi komunikasi massa bersifat terbatas dalam hubungannya dengan fungsi akulturasi komunikasi antarpersona. Meskipun dampaknya terbatas, komunikasi massa memainkan suatu peranan penting melalui surat kabar, majalah, dan berita televisi dalam memperluas pengalaman-pengalaman imigran dengan masyarakat pribumi di luar lingkungan yang dapat dijangkaunya. Terutama di fase awal akulturasi, imigran merasa frustasi dengan kontak komunikasi antarpersona. Komunikasi massa menjadi alternatif saluran yang bebas dari tekanan yang memungkinkan imigran menyerap unsur-unsur lingkungan pribumi (Mulyana, 2005: 140-144).

II.3.3 Potensi Akulturasi

Potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat mempermudah

akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi. Potensi akulturasi ditentukan

oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Kemiripan budaya asli dengan budaya pribumi. 2. Usia pada saat berimigrasi.

3. Latar belakang pendidikan.

4. Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan toleransi. 5. Pengetahuan tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi (Mulyana, 2005:

146).

Memperhatikan individu-individu dari kebudayaan asing yang menyebabkan

pengaruh unsur-unsur kebudayaan penerima sangat penting, karena mereka adalah

agent of acculturation yang mengetahui unsur-unsur apa saja yang sudah masuk.

Dalam tiap masyarakat, warga masyarakat hanya memahami sebagian dari

kebudayaannya. Misalnya, kalau mereka pedagang, maka unsur kebudayaan yang

dibawa adalah benda-benda kebudayaan jasmani, cara-cara berdagang, dan hal-hal

yang bersangkutan dengan itu.

Ketika terjadi proses akulturasi, ada dua tipe masyarakat yang akan terbentuk.

(47)

“progresif” (suka dan menerima hal-hal baru). Salah satu wujud penolakan terhadap

pengaruh kebudayaan asing dan pergeseran sosial budaya adalah gerakan-gerakan

kebatinan di mana warga “kolot” dapat mengundurkan diri dari kehidupan

masyarakat yang bergeser itu dan bermimpi mengenai kejayaan kuno di masa lampau

sesuai dengan kebudayaannya. Reaksi berbeda dari warga progresif dimana mereka

menerima hal-hal baru yang datang. Hal ini tidak jarang mengakibatkan perpecahan

masyarakat dengan berbagai konsekuensi konflik sosial politik (Koentjaraningrat,

2002: 254-255).

II.4 Asimilasi dalam Pernikahan Campuran

Kata asimilasi berasal dari kata Latin, assimilare yang artinya “menjadi

sama”. Dari kata ini diturunkan kata assimilation yang diindonesiakan menjadi

asimilasi, yang berarti “pembauran” (Koentjaraningrat, 2002: 255). Asimilasi

didefenisikan sebagai suatu bentuk proses sosial dimana dua atau lebih individu atau

kelompok saling menerima pola kelakuan masing-masing sehingga akhirnya menjadi

satu kelompok baru yang terpadu. Pada proses asimilasi terjadi proses peleburan

kebudayaan, sehingga pihak-pihak atau warga-warga dari dua-tiga kelompok yang

tengah berasimilasi akan merasakan adanya kebudayaan tunggal yang dirasakan

sebagai milik bersama. Asimilasi merupakan derajat tertinggi akulturasi yang secara

teoritis mungkin terjadi. Bagi kebanyakan imigran, asimilasi mungkin merupakan

tujuan sepanjang hidup (Mulyana, 2005: 139).

(48)

1. Ada perbedaan kebudayaan antara kelompok-kelompok manusia yang hidup pada suatu waktu dan pada suatu tempat yang sama.

2. Para warga dari masing-masing kelompok yang berbeda-beda itu dalam kenyataannya selalu bergaul secara intensif dalam jangka waktu yang cukup lama.

3. Demi pergaulan mereka yang telah berlangsung secara intensif itu, masing-masing pihak menyesuaikan kebudayaan mereka masing-masing-masing-masing, sehingga terjadilah proses saling penyesuaian kebudayaan di antara kelompok-kelompok itu (Narwoko, 2004: 42).

Biasanya golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi

adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal itu

golongan minoritas itulah yang mengubah sifat khas dari kebudayaannya dan

menyesuaikan diri dengan kebudayaan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat

laun kepribadian kebudayaannya hilang dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas

(Koentjaraningrat, 2002: 255).

Perspektif asimilasi adalah fungsional karena etnisitas akan hilang dan tidak

berfungsi dalam suatu masyarakat multietnik. Dalam studi tentang adaptasi kaum

imigran dengan lingkungan baru mereka, para peneliti telah memfokuskan studi pada

motif-motif migrasi yang mendorong orang-orang untuk bermigrasi dan tinggal di

suatu daerah baru, juga pada proses adaptasi dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Variabel-variabel seperti ciri-ciri sosial, budaya, dan ekonomi

mempengaruhi atau berkorelasi dengan derajat adaptasi kaum imigran, pemeliharaan

atau hilangnya budaya asli. Banyak kajian tentang adaptasi kaum imigran di daerah

baru yang juga bertalian dengan konflik budaya. Salah satu konsep yang penting

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti juga menyarankan agar dilakukan penelitian mengenai strategi akulturasi pada suku Batak Toba dewasa awal yang menikah dengan suku lain, hasil penelitian ini dapat

Judul : Aplikasi PengenalanAdat Istiadat Pernikahan Suku Batak Toba di Sumatera Utara Berbasis Web. Kategori :

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa dalam adat perkawinan suku Batak Toba penyampaian umpasa hanya terdapat pada dua tahapan yaitu pada tahapan Marhata

Identitas masyarakat Batak Toba yang dibentuk oleh pola komunikasi pada marhata sinamot dapat ditunjukkan dengan penggunaan komunikasi verbal maupun nonverbal (yang merupakan

Seorang janda lansia suku Batak Toba dituntut untuk melakukan tugas perkembangannya, living arrangement yang diikat oleh adat Batak Toba yaitu tinggal dengan anak

Identitas masyarakat Batak Toba yang dibentuk oleh pola komunikasi pada marhata sinamot dapat ditunjukkan dengan penggunaan komunikasi verbal maupun nonverbal (yang merupakan

Dalam hal pewarisan, sesuai dengan adat batak yang diberikan harta warisan adalah anak laki-laki, perempuan tidak mendapat warisan meskipun ia kawin dengan pria suku

tindak (act) mangolusi pada pernikahan adat Batak Toba, dilakukan datau disimbolkan dengan pemberian kain ulos dari pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan..