BAB II URAIAN TEORITIS
II.3 Akulturasi dalam Pernikahan Campuran
Istilah akulturasi atau acculturation mempunyai berbagai arti. Namun para
sarjana antropologi sepaham bahwa akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila
suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan
unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-
unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri
untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya pribumi, yang akhirnya
mengarah kepada asimilasi.
Migrasi menyebabkan pertemuan-pertemuan antarkelompok manusia dengan
kebudayaan yang berbeda-beda, akibatnya individu-individu dalam kelompok
tersebut dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan yang asing. Pada akhirnya
bukan hanya sistem sosio-budaya imigran, tapi juga sosio-budaya pribumi yang
mengalami perubahan sebagai akibat kontak antar budaya yang lama. Faktor yang
berpengaruh atas perubahan yang terjadi pada diri imigran itu adalah perbedaan
antara jumlah dan besarnya masyarakat pribumi. Juga kekuatan dominan masyarakat
pribumi dalam mengontrol berbagai sumber dayanya mengakibatkan lebih banyak
dampak pada kelanjutan dan perubahan budaya imigran. Kebutuhan imigran untuk
beradaptasi dengan sistem sosio-budaya pribumi akan lebih besar daripada kebutuhan
masyarakat pribumi untuk memasukkan unsur-unsur budaya imigran ke dalam
budaya mereka.
Proses komunikasi mendasari proses akuturasi seorang imigran. Akulturasi
terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi
yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-pola budaya
pribumi lewat komunikasi, seorang imigran juga memperoleh pola-pola budaya
pribumi lewat komunikasi. Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran sangat berbeda
dengan bahasa asli masyarakat pribumi. Masalah-masalah komunikasi lainnya
meliputi masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan dalam penggunaan dan
pengaturan ruang, jarak antarpibadi, ekspresi wajah, gerak mata, gerakan tubuh
seorang imigran dapat menggunakan pola-pola komunikasi verbal dan nonverbal
secara memuaskan, ia mungkin masih mengalami kesulitan dalam mengenal dan
merespons aturan-aturan komunikasi bersama dalam budaya yang ia masuki itu
(Mulyana, 2005: 139).
Kecakapan berkomunikasi yang telah diperoleh imigran lebih lanjut
menentukan seluruh akulturasinya. Kecakapan imigran dalam berkomunikasi akan
berfungsi sebagai alat penyesuaian diri yang membantu imigran memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan kelangsungan hidup dan
kebutuhan akan “rasa memiliki”. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu
proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui
komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya baru. Kecakapan
komunikasinya pada gilirannya menunjukkan derajat akulturasi imigran tersebut
(Mulyana, 2005: 140).
Penelitian-penelitian sekitar masalah akulturasi sebagian besar bersifat
deskriptif, yaitu melukiskan satu peristiwa akulturasi yang konkret pada satu atau
beberapa suku bangsa tertentu yang mendapat pengaruh dari kebudayaan lain. Di
samping karangan-karangan deskriptif timbul pula karangan yang bersifat teori, yaitu
karangan yang mengabstraksikan dari banyak peristiwa akulturasi dan beberapa
konsep mengenai gejala/masalah mengenai akulturasi. Lima golongan masalah
tersebut, yaitu:
1. Masalah mengenai metode-metode untuk mengobservasi, mencatat, dan melukiskan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat.
2. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan asing apa yang mudah diterima dan unsur-unsur kebudayaan asing apa yang sukar diterima oleh masyarakat penerima.
3. Masalah mengenai unsur-unsur kebudayaan apa yang mudah diganti atau diubah, dan unsur-unsur apa yang tidak mudah diganti atau diubah oleh unsur- unsur kebudayaan asing.
4. Masalah mengenai individu-individu apa yang suka dan cepat menerima, dan individu-individu apa yang sukar dan lambat menerima unsur-unsur kebudayaan asing.
5. Masalah mengenai ketegangan-ketegangan dan krisis sosial yang timbul sebagai akibat akulturasi (Koentjaraningrat, 2002: 251).
II.3.2 Variabel-Variabel Komunikasi Dalam Akulturasi
Menurut Mulyana, ada dua variabel komunikasi dalam akulturasi, yaitu:
1. Komunikasi persona. Komunikasi persona mengacu pada proses-proses
mental yang dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami, dan merespons lingkungan. Dalam konteks akulturasi, komunikasi persona seorang imigran dapat dianggap sebagai pengaturan pengalaman-pengalaman akulturasi ke dalam sejumlah pola respins kognitif dan afektif yang dapat diidentifikasi dan yang konsisten dengan budaya pribumi atau yang secara potensial memudahkan aspek-aspek akulturasi lainnya. Salah satu variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah kompleksitas struktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan pribumi. Fase awal akulturasi, perspesi seorang imgran atas lingkungan pribuminya relatif sederhana. Namun setelah imigran mengetahui budaya pribumi lebih jauh, persepsinya menjadi lebih halus dan kompleks. Faktor yang berhubungan dengan kompleksitas kognitif adalah pengetahuan imigran tentang pola-pola dan aturan-aturan sistem komunikasi pribumi. Pengetahuan tentang sistem komunikasi pribumi terbukti penting dalam meningkatkan partisipasi imigran dalam jaringan komunikasi masyarakat pribumi. Variabel lainnya dalam komunikasi persona adalah citra diri/image. Citra diri imigran yang berhubungan dengan citranya tentang masyarakat pribumi member informasi berharga tentang realitas akulturasinya yang subjektif. Perasaan terasing dan rendah diri yang diderita imigran berkaitan dengan jarak perceptual antara dirinya dengan masyarakat pribumi. Motivasi imigran untuk belajar dan berpartisipasi dalam sosio-budaya pribumi dapat meningkatkan jaringan komunikasi dengan masyarakat pribumi.
2. Komunikasi sosial. Melalui komunikasi sosial individu-individu mengatur
perasaan, pikiran, dan perilaku antara yang satu dengan lainnya. Komunikasi sosial dapat dikategorikan ke dalam komunikasi antarpersona dan komunikasi massa. Komunikasi antarpersona terjadi melalui hubungan-hubungan antarpersona dengan masyarakat pribumi. Seorang imigran yang mempunyai hubungan antarpersona dengan etnik yang berkuasa dianggap kurang terakulturasi dan kurang kompeten dibandingkan dengan imigran yang
terutama berhubungan dengan masyarakat pribumi. Sedangkan fungsi akulturasi komunikasi massa bersifat terbatas dalam hubungannya dengan fungsi akulturasi komunikasi antarpersona. Meskipun dampaknya terbatas, komunikasi massa memainkan suatu peranan penting melalui surat kabar, majalah, dan berita televisi dalam memperluas pengalaman-pengalaman imigran dengan masyarakat pribumi di luar lingkungan yang dapat dijangkaunya. Terutama di fase awal akulturasi, imigran merasa frustasi dengan kontak komunikasi antarpersona. Komunikasi massa menjadi alternatif saluran yang bebas dari tekanan yang memungkinkan imigran menyerap unsur-unsur lingkungan pribumi (Mulyana, 2005: 140-144).
II.3.3 Potensi Akulturasi
Potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat mempermudah
akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi. Potensi akulturasi ditentukan
oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Kemiripan budaya asli dengan budaya pribumi. 2. Usia pada saat berimigrasi.
3. Latar belakang pendidikan.
4. Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan toleransi. 5. Pengetahuan tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi (Mulyana, 2005:
146).
Memperhatikan individu-individu dari kebudayaan asing yang menyebabkan
pengaruh unsur-unsur kebudayaan penerima sangat penting, karena mereka adalah
agent of acculturation yang mengetahui unsur-unsur apa saja yang sudah masuk. Dalam tiap masyarakat, warga masyarakat hanya memahami sebagian dari
kebudayaannya. Misalnya, kalau mereka pedagang, maka unsur kebudayaan yang
dibawa adalah benda-benda kebudayaan jasmani, cara-cara berdagang, dan hal-hal
yang bersangkutan dengan itu.
Ketika terjadi proses akulturasi, ada dua tipe masyarakat yang akan terbentuk.
“progresif” (suka dan menerima hal-hal baru). Salah satu wujud penolakan terhadap
pengaruh kebudayaan asing dan pergeseran sosial budaya adalah gerakan-gerakan
kebatinan di mana warga “kolot” dapat mengundurkan diri dari kehidupan
masyarakat yang bergeser itu dan bermimpi mengenai kejayaan kuno di masa lampau
sesuai dengan kebudayaannya. Reaksi berbeda dari warga progresif dimana mereka
menerima hal-hal baru yang datang. Hal ini tidak jarang mengakibatkan perpecahan
masyarakat dengan berbagai konsekuensi konflik sosial politik (Koentjaraningrat,
2002: 254-255).