BAB II URAIAN TEORITIS
II.2 Komunikasi Antarbudaya
II.2.1 Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi
komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpibadi,
dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang
mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (dalam Liliweri, 2003: 11). Defenisi
lain dari komunikasi antarbudaya diantaranya adalah Stephen Dahl yang mengartikan
komunikasi antarbudaya secara spesifik, yaitu komunikasi yang terjadi didalam
masyarakat yang berasal dari dua ataupun lebih kebangsaan yang berbeda, seperti
perbedaan rasial dan latar belakang etnik. Sedangkan menurut Stuward L. Tubbs
komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi yang terjadi diantara dua anggota
yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda baik secara rasial, etnik
maupun sosial-ekonomi (dalam Purwasito, 2003:122-124). Dapat disimpulkan bahwa
komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang
dilakukan oleh orang-oang yang berbeda latar belakang budayanya (Liliweri, 2003:
9).
Selama masa perkembangan komunikasi antarbudaya, telah banyak para ahli
yang mencoba mendefenisikan komunikasi antarbudaya. Beberapa diantaranya
adalah:
1. Menurut Sitaram (1970), komunikasi antarbudaya adalah seni untuk memahami dan dipahami oleh khalayak yang memiliki kebudayaan lain.
2. Menurut Rich (1974), komunikasi bersifat budaya apabila terjadi di antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya.
3. Menurut Stewart (1974), komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan budaya seperti bahasa, nilai-nilai, adat, dan kebiasaan.
4. Menurut Sitaram and Codgell (1976), komunikasi antarbudaya adalah interaksi antara para anggota masyarakat yang berbeda kebudayaannya.
5. Menurut Gerhard Maletzke (1976), komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna di antara orang-orang yang berbeda kebudayaannya.
6. Menurut Young Yung Kim (1984), komunikasi antarbudaya menunjuk pada suatu fenomena komunikasi di mana para pesertanya masing-masing memiliki latar belakang budaya yang berbeda terlibat dalam suatu kontak antara satu dengan yang lainnya, baik secara langsung atau tidak langsung (dalam Djuarsa, dkk, 2007: 332-333).
Dari defenisi-defenisi komunikasi antarbudaya diatas dapat disimpulkan
bahwa semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kita
kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi
yang efektif. Hal ini disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang
dari kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah
hal, misalnya derajat pengetahuan, derajat ambiguitas, kebingungan, tidak
bermanfaat, bahkan terlihat tidak bersahabat. Kebudayaan yang menjadi latar
belakang kehidupan akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Di saat kita
berkomunikasi antarpribadi dengan seseorang dalam masyarakat yang makin
majemuk, maka dia merupakan orang yang pertama dipengaruhi oleh kebudayaan
kita.
II.2.2 Tujuan Komunikasi Antarbudaya
Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan
Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap
interaksi, yakni:
1. Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non
verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari
komunikasi).
2. Initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang
muncul dari kontak awal tersebut, misalnya anda bertanya pada diri sendiri;
Apakah saya seperti dia? Apakah dia mengerti saya? Apakah saya rugi waktu
kalau berkomunikasi dengan dia?
3. Closure, mulai membuka diri yang semula tertutup melalui atribusi dan
pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita
harus lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi atas
suatu perilaku atau tindakan dia. Pertanyaan yang relevan adalah apa yang
mendorong dia berkata, berpikir, atau berbuat demikian? Kalau seseorang
menampilkan tindakan yang positif maka kita akan memberikan atribusi
motivasi yang positif kepada orang itu, karena dia bernilai bagi relasi kita.
Sebaliknya kalau orang itu menampilkan tindakan yang negatif maka kita
akan memberikan atribusi motivasi yang negatif. Sementara itu kita pun dapat
mengembangkan sebuah kesan terhadap orang itu melalui evaluasi atas
kehadiran sebuah kepribadian implisit. Bahwa karena anda di saat awal
komunikasi/pra kontak berkesan orang itu baik maka semua sifat-sifat positif
akan mengikuti dia, misalnya karena dia baik pasti jujur, setia kawan, rendah
Tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai bila bentuk-bentuk hubungan
antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk
memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan, dan
memperbaharui manajemen komunikasi yang efektif (Liliweri, 2003: 19-20; 21-22).
II.2.3 Unsur-Unsur Proses Komunikasi Antarbudaya
Menurut Liliweri, ada tujuh unsur dalam proses komunikasi antarbudaya,
yaitu:
1. Komunikator. Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang memprakarsai komunikasi, artinya dia mengawali pengiriman pesan tertentu kepada pihak lain yang disebut komunikan. Karakterisitik komunikator berbeda-beda setiap budaya tergantung latar belakang etnis, ras, faktor demografis seperti umur dan jenis kelamin. Perbedaan karakterisitik komunikator antarbudaya ditentukan oleh nilai dan norma, faktor-faktor makro seperti penggunaan bahasa, pandangan tentang pentingnya percakapan dalam konteks budaya, dan faktor mikro seperti dialek, aksen serta nilai dan sikap yang menjadi identitas sebuah etnik.
2. Komunikan. Komunikan dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang menerima pesan tertentu. Tujuan komunikasi akan tercapai jika komunikan dapat memahami pesan dari komunikator, dan memperhatikan serta menerima pesan secara menyeluruh. Seorang komunikan ketika memahami isi pesan tergantung dari tiga bentuk pemahaman, yakni: (1) kognitif, komunikan menerima isi pesan sebagai sesuatu yang benar; (2) afektif, komunikan percaya bahwa pesan itu tidak hanya benar tetapi baik; dan (3) tindakan nyata, komunikan percaya atas pesan yang benar dan baik sehingga mendorong tindakan yang tepat.
3. Pesan. Dalam proses komunikasi, pesan berisi pikiran, ide, gagasan, atau perasaan yang dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol. Dalam model komunikasi antarbudaya, pesan adalah apa yang ditekankan atau yang dialihkan komunikator kepada komunikan. Setiap pesan sekurang- kurangnya berisi dua aspek utama, yakni isi dan perlakuan. Isi pesan meliputi daya tarik pesan disertai perlakuan meliputi penjelasan isi pesan oleh komunikator.
4. Media. Dalam proses komunikasi antarbudaya, media merupakan tempat atau saluran yang dilalui oleh pesan atau simbol yang dikirim melalui media tertulis, media massa, dan media elektronik. Tetapi terkadang pesan itu tidak
dikirim melalui media, terutama dalam komunikasi antarbudaya tatap muka. Para ilmuwan sosial menyepakati dua tipe saluran, yakni saluran sensoris (cahaya, bunyi, perabaan, pembauan, dan rasa). Yang kedua adalah saluran institusional, misalnya percakapan tatap muka, material cetakan, dan media elektronik. Saluran institusional juga memerlukan saluran sensoris untuk memperlancar pertukaran pesan.
5. Efek. Efek/umpan balik merupakan tanggapan balik dari komunikan kepada komunikator atas pesan-pesan yang telah disampaikan. Tanpa umpan balik atas pesan dalam komunikasi antarbudaya, maka komunikator dan komunikan tidak bisa memahami ide, pikiran, dan perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.
6. Suasana. Salah satu faktor yang penting dalam komunikasi antarbudaya yakni tempat, waktu, serta suasana (sosial, psikologis) ketika komunikasi antarbudaya berlangsung. Suasana itu berkaitan dengan waktu yang tepat untuk bertemu, tempat (rumah, kantor) untuk berkomunikasi, dan kualitas relasi (formal, informal) yang berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya. 7. Gangguan. Gangguan dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu
yang menjadi penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, bahkan dapat mengurangi makna pesan antarbudaya. Gangguan terjadi bila pesan yang disampaikan berbeda dengan pesan yang diterima. Gangguan dapat bersumber dari komunikator, komunikan, pesan, dan media yang mengurangi usaha bersama untuk memberikan makna yang sama atas pesan. Gangguan dari komunikator dan komunikan misalnya karena perbedaan status sosial, latar belakang pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan berkomunikasi. Gangguan dari pesan dapat berupa perbedaan pemberian makna pesan yang disampaikan secara verbal dan perbedaan tafsir atas pesan non verbal (isyarat tubuh). Sedangkan gangguan dari media dapat berupa salah memilih media yang tidak sesuai dengan konteks komunikasi, situasi, dan kondisi yang kurang mendukung terlaksananya komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2003: 25-31).
Pada dasarnya manusia menciptakan budaya atau lingkungan sosial mereka
sebagai suatu adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologis mereka. Kebiasaan-
kebiasaan dan tradisi-tradisi tersebut terus hidup dan berkembang serta diwariskan
oleh suatu generasi ke generasi lainnya dalam suatu masyarakat tertentu. Individu-
individu tersebut cenderung menerima dan mempercayai apa yang diwariskan budaya
dengan “kebenaran” yang mereka yakini. Ini seringkali menjadi landasan bagi
prasangka yang tumbuh di antara anggota kelompok tertentu terhadap kelompok lain.
Ketika proses komunikasi antarbudaya telah berlangsung, seringkali ada
gangguan dan terjadi kesalahpahaman karena perbedaan budaya. Gangguan-
gangguan tersebut dapat menimbulkan kecemasan bagi individu-individu yang
terlibat. Kecemasan tersebut mendorong individu yang terlibat komunikasi
antarbudaya menganggap bahwa budayanya lebih baik dari budaya lain. Hal ini
dinamakan etnosentrisme, dimana seseorang mempunyai kepercayaan bahwa
budayanya jauh lebih baik dari yang lain. Ting Toomey mendefinisikan identitas
kultural sebagai perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk turut
memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi terhadap kultur tertentu (Rahardjo,
2005:1-2). Ketika manusia menggunakan cara dimana budaya yang lain berbeda
dengan budayanya, mereka mungkin menganggap elemen budaya mereka sebagai
yang normal, bermoral, dan lebih diinginkan dibandingkan elemen budaya lain. Sifat
etnosentrisme ini dapat menghalangi individu dalam menjalin komunikasi dengan
budaya lain (Samovar,dkk, 2010: 54-55).
Untuk mengurangi gangguan dalam komunikasi antarbudaya, kepekaan
terhadap perbedaan budaya tersebut menjadi hal yang sangat penting. Melalui
pengalaman-pengalaman lintas budaya, manusia menjadi lebih terbuka dan toleran
terhadap keganjilan budaya lain. Pemahaman budaya dapat mengurangi dampak
gegar budaya (culture shock). Culture shock merupakan bentuk kecemasan
berlebihan akibat pergaulan dengan budaya lain dan kehilangan pergaulan sosial
adalah dengan meningkatkan kesadaran budaya individu secara umum. Individu
harus memahami konsep dan ciri-ciri budayanya sebelum ia memperoleh studi
tentang aspek-aspek budaya asing (Mulyana, 2005: 70). Kita harus dapat berperilaku
dengan cara-cara yang diterima budaya lain dan juga diterima oleh budaya kita
sendiri.
II.2.4 Pandangan Dunia (World View)
Menurut Ishii, Cooke, dan Klopf (dalam Samovar, dkk) cara pandang
merupakan orientasi budaya terhadap Tuhan, kemanusiaan, alam, pertanyaan tentang
keberadaan sesuatu, alam dan kosmos, kehidupan, moral dan alasan etis, penderitaan,
kematian, dan isu filosofis lainnya yang mempengaruhi bagaimana anggotanya
memandang dunia. Tujuan cara pandang adalah untuk menuntun orang menentukan
gambaran dunia ini dan bagaimana mereka berperan dalam dunia tersebut. Banyak
ahli yang setuju bahwa budaya mempengaruhi sebagian besar cara pandang
seseorang. Cara pandang menyediakan dasar persepsi dan sifat realitas seperti yang
dialami oleh mereka yang berbagi budaya yang umum. Pandangan budaya berfungsi
untuk membuat pengalaman hidup yang mungkin menurut orang lain kacau dan tidak
berarti menjadi dapat diterima oleh akal sehat. Cara pandang ditentukan oleh
pemahaman kolektif sebagai dasar untuk menghakimi suatu tindakan yang
memungkinkan kelangsungan hidup dan adaptasi (Samovar, dkk, 2010: 117-118).
Agama sebagai cara pandang telah ditemukan dalam setiap budaya selama
ribuan tahun. Cara pandang erat kaitannya dengan praktik agama dan kepercayaan.
dan pencipta budaya. Bagi kebanyakan orang di dunia ini, tradisi agama (seperti
keluarga, suku atau negara) menjadi identitas mereka di dunia. Orang Kristen percaya
bahwa keselamatan hanya diperoleh lewat Yesus Kristus. Sedangkan kaum Muslim
percaya bahwa untuk memperoleh surga adalah keyakinan bahwa Tuhan itu satu dan
tanpa sekutu dan bahwa Muhammad adalah utusanNya. Akan tetapi orang-orang
yang beragama Hindu dan Budha tidak menganut kepercayaan seperti Kristen dan
Islam. Agama Hindu dan Budha percaya bahwa Tuhan tidak dalam otoritas tunggal,
tetapi menjelma menjadi banyak tuhan (Mulyana, 2004: 35).
Hal yang menarik dari agama adalah bahwa hal tersebut mengikat orang
bersama-sama dalam dan memelihara cara pandang budaya mereka selama ribuan
tahun. Baik melalui ajaran Alkitab, Alquran, Weda, Torah, dan I Ching, manusia
selalu merasakan suatu kebutuhan untuk melihat keluar diri mereka sendiri akan nilai-
nilai yang mereka gunakan dalam mengatur hidup mereka. Agama menyediakan dan
menunjukkan nilai dari fenomena yang tidak dapat dijelaskan. Inti dari agama adalah
menyediakan petunjuk mengenai bagaimana untuk memperlakukan orang lain dan
memperoleh kedamaian batin (Samovar, dkk, 2010: 123-125).
Keyakinan kita tidak terbatas, misalnya Tuhan itu Esa atau Adam adalah
manusia pertama di bumi. Salah satu fungsi penting dari kepercayaan/keyakinan
adalah bahwa hal itu membentuk dasar nilai. Nilai adalah komponen evaluatif dari
kepercayaan mencakup kegunaan, kebaikan, estetika, dan kepuasan. Jadi nilai bersifat
normatif, memberitahu suatu anggota budaya mengenai apa yang baik atau buruk,
bersumber dari isu filosofis yang lebih besar yang merupakan bagian dari lingkungan
budaya, karena itu nilai bersifat stabil dan sulit berubah (Mulyana, 2007:215-216).
Keyakinan dan nilai yang dianut seseorang yang jika dilaksanakan secara
terus-menerus akan disebut sikap. Keyakinan dan nilai yang dianut seseorang tidak
dapat diamati langsung. Kita hanya bisa menduga bagaimana kepercayaan dan nilai
seseorang berdasarkan tindakannya, terutama yang konsisten dari waktu ke waktu
(sikap). Manusia telah menganut berbagai kepercayaan sejak lahir yang ditanamkan
di dalam lingkungannya. Bagaimana cara berbicara, gaya berpakaian, apa yang bisa
dicapai, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, semua
diterima begitu saja dari lingkungan tanpa banyak mempersoalkannya. Pola budaya
merupakan suatu sistem kepercayaan dan nilai yang terintegrasi yang bekerja sama
untuk menyediakan suatu model terpadu dan konsisten. Pola tersebut berkontribusi
tidak hanya pada cara manusia melihat dan berpikir mengenai dunia ini, namun juga
bagaimana manusia hidup di dunia ini (Samovar,dkk, 2010: 227).
II.3 Akulturasi dalam Pernikahan Campuran