BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. 2 Hasil Pengamatan dan Wawancara
Berikut hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap 12
subjek penelitian :
Informan terdiri dari : Kasus Pertama
1) Ibu N. Tambunan : 47 tahun dan Bapak Akiet (+) : 47 tahun
2) Arifin (anak) : 21 tahun
Keluarga ini merupakan informan pertama yang diwawancarai peneliti.
Berhubung suami sudah meninggal (tahun 2008 yang lalu), maka peneliti hanya
mengamati kehidupan istri dan anak-anak mereka. Keluarga Bapak Akiet/N.
Tambunan tinggal di lingkungan yang mayoritas bersuku batak. Tidak seperti rumah
etnis Tionghoa yang kebanyakan tertutup dan berpagar tinggi, rumah mereka terbuka
seperti rumah tetangga sekitar. Pekerjaan suami adalah seorang
wiraswasta/pengusaha dan istri adalah seorang ibu rumah tangga yang membuka
salon di rumah mereka. Dari segi fisik, perbedaan diantara pasangan tidak terlalu
mencolok. Suami memiliki mata yang sipit layaknya suku Tionghoa pada umumnya,
namun kulitnya berwarna kuning kecoklatan (tidak putih pucat ). Sedangkan istri
memiliki struktur wajah suku Batak, mata bulat dan kulit kecoklatan. Pasangan ini
mempunyai dua orang anak. Kedua anak mereka mewarisi mata ayahnya yang sipit
dan kulit ibunya yang kecoklatan. Anak pertama adalah seorang laki-laki yang
bernama Arifin. Saat ini Arifin kuliah di Universitas Negeri Medan. Sedangkan anak
Dari pengamatan, peneliti melihat bahwa rumah mereka sama seperti rumah
nonpribumi pada umumnya. Hanya saja, ada beberapa perabotan rumah yang
bernuansa Tionghoa. Mereka sekeluarga juga ramah dan bergaul dengan warga
sekitar. Keluarga ini juga termasuk keluarga yang taat beragama. Hal ini terlihat dari
beberapa barang religius yang ada di rumah mereka. Selain itu pasangan Akiet/N.
Tambunan adalah jemaat aktif di gereja. Ibu N. Tambunan mengatakan bahwa ketika
masih hidup, Pak Akiet adalah salah seorang pengurus gereja di gereja. Ibu
Tambunan juga mengatakan bahwa sebelum Bapak Akiet pindah agama menjadi
Katolik, di rumah mereka terdapat dua atribut keagamaan yang dipajang
berdampingan. Yang satu adalah patung Bunda Maria, dan yang satu lagi adalah dupa
persembahan bagi agama Budha. Tetapi setelah Bapak Akiet pindah keyakinan
menjadi Katolik, dupa persembahan itu ditiadakan dan hanya ada atribut agama
Katolik di rumah mereka.
Dalam kegiatan wawancara, peneliti hanya dapat mewawancarai istri saja
karena suami sudah meninggal. Peneliti mengandalkan istri sebagai sumber informasi
untuk mengetahui informasi tentang suami. Untuk memperkuat hasil penelitian,
peneliti juga mewawancarai anak pasangan suami-istri ini. Awalnya peneliti
menanyakan keadaan informan. Setelah informan merasa nyaman dengan keberadaan
peneliti, barulah peneliti mulai menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan
pernikahan campuran. Pertanyaan diawali dari pandangan dunia informan. Cara
pandang erat kaitannya dengan kepercayaan dan praktik agama. Agama merupakan
karakteristik yang penting dari budaya karena agama mengikat orang bersama-sama
agama Katolik/Kristen, Budha, Islam dan Hindu manusia selalu membutuhkan nilai-
nilai yang dapat mengatur kehidupan mereka. Nilai-nilai ini dapat diperoleh melalui
agama yang mereka anut. Peneliti menanyakan agama yang dianut informan dan
makna agama tersebut bagi informan.
“Ya aku sejak lahir uda Katolik. Awalnya karena ikut orangtua. Tapi sudah besar, kurasa imanku semakin bertumbuh. Dan ada sesuatu damai dalam hatikulah dan aku senang dan meyakini Katolik.”
Ibu N. Tambunan mengatakan bahwa iman beliau semakin teguh pada Katolik
karena beliau menemukan kedamaian dalam hatinya. Umat Katolik/Kristen berfokus
pada tiga nilai teologis (hubungan dengan Tuhan), yaitu iman, pengharapan, dan
kasih. Ibu N. Tambunan menerapkan ketiga nilai teologis tersebut dalam kehidupan
sehari-harinya. Beliau mengatakan bahwa nilai-nilai kebajikan dari Bunda Maria juga
membuat imannya semakin teguh dan sabar dalam mendidik anak-anaknya.
“Pertama sekali ciri khas untuk aku pribadi dari Katolik ya aku contoh dari Bunda Maria. Dia itu menerima, ibaratnya kalo dia susah pun, senang pun, ada sakit hati pun, dipendamnya. Dipendam dalam arti kata disaringlah. Itulah ciri khas Bunda Maria. Namanya seorang ibu menerima semua, diambil yang positifnya aja. Terus terang aku suka itu. Kita pendam aja dan dikeluarin seperlunya aja. Kedua, kalo Katolik itu berdoa selalu disebutkan nama yang mau didoakan. Misalnya, “ Ya, Tuhan berilah kekuatan sama si …” langsung namanya disebut. Sampe sekarang kalo anakku ini ada dibuatnya ga senang sama aku kurenung-renung aja dalam hati. Hata bataknya dipahusor-husor dalam hatimu lah. Jadi ga usah dikeluarin semua.”
Mengenai identitasnya sebagai suku Batak Toba, Ibu N. Tambunan
mengatakan bahwa beliau cukup bangga menjadi suku Batak. Alasannya adalah
karena bagi beliau suku Batak Toba termasuk salah satu suku yang cukup kuat dalam
mempertahankan tradisi dan adat-istiadatnya. Hal ini dapat dilihat dari upacara-
upacara adat yang wajib dilakukan jika seseorang tersebut akan menikah, memasuki
meninggal. Menurut beliau, sebagai suku Batak Toba beliau wajib untuk menjalani
segala adat-istiadat itu agar budayanya tetap lestari dan dapat diwariskan kepada anak
cucunya kelak.
Sedangkan suku Tionghoa (suami) menurut penuturan beliau termasuk suku
yang cukup kuat juga dalam mempertahankan identitas aslinya. Hal ini dapat dilihat
dari kekompakan diantara sesama mereka. Mereka berinteraksi dan tinggal bersama-
sama dengan sesama sukunya. Beberapa ruas kota Medan dikenal sebagai
pemukiman khusus suku Tionghoa. Mereka menarik diri dari interaksi dengan suku
lain. Hal ini mereka lakukan untuk mempertahankan identitas asli mereka dari
pengaruh suku-suku lain.
“Banggalah aku jadi orang Batak. Adatnya dijunjung tinggi kali. Istilahnya kalo ga pake adat, ga sah lah acara yang dibuatnya itu. Rasa persaudaraan sesamanya pun cukup tinggi lah. Misalnya ketemu orang Batak di jalan pasti langsung martarombo nya kita kan. Itulah hebatnya orang Batak ini. Orang Cina pun hampir sama kaya orang Batak. Rasa persaudaraannya tinggi juga ya kan. Mungkin karena sikit itu orang ini, makanya bergaulnya ya sesama orang itu aja ya kan. Makanya jadi agak tertutup Cina ini sama orang kita pribumi. ”
Wawancara dilanjutkan seputar awal interaksi pasangan Bapak Akiet dan Ibu
N. Tambunan. Ibu N. Tambunan mengatakan bahwa mereka berkenalan lewat
saudara beliau. Bapak Akiet adalah teman kuliah adik Ibu Tambunan. Dulu, Bapak
Akiet sering berkunjung ke rumah Ibu Tambunan. Lama-kelamaan timbullah rasa
sayang diantara mereka berdua. Setelah menjalin hubungan cukup serius, mereka
merencanakan sebuah pernikahan.
“Dulu aku benci kali liat orang cina, seringkali kuejek-ejek dulu. Eh ga taunya jadinya sama orang Cina juga. Suamiku itu dulu kawan kuliah adekku. Seringlah dia main ke rumah. Disitulah kami mulai berteman sampe memutuskan menikah.”
Ketika masih pacaran, Bapak Akiet mengaku sebagai penganut agama
Katolik. Namun ketika pernikahan akan dilaksanakan, diketahui bahwa Bapak Akiet
beragama Budha. Pernikahan beda agama dianggap tidak sah di Indonesia, sehingga
Bapak Akiet memilih untuk mengikuti keyakinan calon istri yang dicintainya itu.
Bapak Akiet pun ditahbiskan menjadi Katolik. Ternyata permasalahan tidak hanya itu
saja. Orangtua dari pihak laki-laki tidak setuju dengan pernikahan tersebut karena
perbedaan suku dan agama. Walaupun tidak disetujui, pasangan kekasih ini tetap
melanjutkan pernikahan. Mereka menikah pada tahun 1990. Bapak Akiet pindah
keyakinan menjadi Katolik dan mereka menikah secara sah dalam agama Katolik. Di
awal pernikahan, Bapak Akiet ternyata menarik dirinya untuk kembali kepada
agamanya terdahulu. Ibu N. Tambunan merasa syok, namun beliau tetap sabar dan
berusaha meyakinkan keluarga Bapak Akiet dengan cara mengalah dan mengikuti
ritual dalam agama suaminya. Culture shock yang dialami membuat beliau merasa
kecewa, namun beliau mulai membiasakan diri dengan perbedaan dalam kehidupan
rumah tangganya.
“Kalo dari keluargaku setuju-setuju aja. Ga ada masalah sama orang itu. Yang agak menentang dari pihak suami. Kami nikah pun ga pake adat batak toba ato cina. nikah sah secara agama dan sipil aja. Nikah adatnya ga ada. Aku berusaha mengalah. Sempat juga aku ikut sembahyang ke vihara yang di Irian Barat itu. pake dupa-dupa itu aku sembahyang. Jadi aku gereja sama vihara juga.”
Ibu N. Tambunan sempat mengalami kecemasan akan masa depan agama dan
budayanya. Tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena Ibu Tambunan tetap
berpegang teguh pada Katolik. Untuk mengatasi perbedaan tersebut, beliau berusaha
menjalin silahturahmi dengan keluarga dari pihak suami. Bahkan beliau mengikuti
berkunjung ke rumah orangtua Bapak Akiet. Karena kesabaran Ibu Tambunan, hati
Bapak Akiet tersentuh dan beliau pun memutuskan untuk pindah keyakinan menjadi
Katolik dan menarik diri dari kelompoknya terdahulu. Selain itu, sejak pindah
keyakinan menjadi Katolik, Bapak Akiet jauh lebih religius dan beliau lebih
menyukai bergaul dengan orang-orang Batak.
“Untuk menghormati mertuaku, aku ikut juga sembahyang. Tapi aku tetap yakin sama Katolik. Trus selama kami berumahtangga, stiap pagi slalu rutin aku berdoa secara Katolik. Kuajak juga suamiku, tapi ga kupaksa. Makanya pas tiba-tiba disurunya aku membaptis anak-anak kami, terkejut juga aku. Ternyata doaku didengar Tuhan. Suamiku pun dibaptis juga jadi Katolik. Malah jadi dia lebih fanatik daripada aku.”
Sebagai suku Batak Toba, Ibu N. Tambunan berusaha mempertahankan
identitas aslinya dengan rajin mengikuti acara-acara Batak Toba karena yang menjadi
landasan utama suku Batak Toba adalah adat-istiadat yang sudah ada sejak dulu dan
wajib untuk dilaksanakan. Ibu Tambunan mengatakan bahwa suaminya tidak
mempermasalahkan perbedaan suku diantara mereka. Suaminya tidak pernah
melarang Ibu Tambunan untuk melakukan hal-hal yang beliau sukai. Bapak Akiet
juga akrab dengan keluarga Ibu Tambunan. Apalagi ternyata Bapak Akiet lebih rajin
mengikuti acara-acara Batak ketimbang Ibu Tambunan. Ibu Tambunan juga
mengatakan selama mereka berumahtangga belum pernah terjadi pertengkaran karena
masalah perbedaan tersebut. Komunikasi yang efektif terjalin dengan baik pada
pasangan Akiet/N. Tambunan.
”Aku terima suamiku walopun dia masih Budha dan aku juga ikut sembahyang untuk menghormatinya. Mungkin karena diliatnya kesabaranku sama sifat mengalah itu lah makanya hatinya tergerak pindah agama ke Katolik. Ga ada kupaksa, memang udah keinginan dari hatinya.
Kalo ada acara-acara batak pun suamiku juga ikut. Malah kalo misalnya aku lupa ada pesta, langsung diingatkan nya aku.”
Karena kegigihan dan kesabaran Ibu Tambunan, pihak keluarga suami lama-
kelamaan dapat menerima keberadaan Ibu Tambunan dan anak-anaknya. Ketika
Bapak Akiet meninggal dunia, keluarga Bapak Akiet berdatangan untuk melayat.
Pada saat itu juga dilaksanakan adat batak bagi Bapak Akiet dan anak-anaknya, yaitu
pemberian marga Sinaga. Anak-anak mereka secara sah sudah menjadi suku Batak
dengan marga Sinaga. Perbedaan suku dan agama sudah tidak menjadi masalah lagi.
Diketahui bahwa pasangan Bapak Akiet/N. Tambunan mendidik anak-
anaknya dengan dua pola budaya mereka masing-masing. Maka untuk melihat
pengaruh kedua budaya terhadap perkembangan anak-anaknya, peneliti melanjutkan
wawancara dengan salah satu anak Ibu N. Tambunan yang bernama Arifin. Arifin
berbicara secara terbuka kepada peneliti. Ketika ditanya kecenderungan Arifin
berpihak pada salah satu suku, Arifin menyatakan bahwa ia bersikap netral pada
kedua suku. Sejak kecil, ia sudah dididik dengan dua pola budaya yang berbeda.
Baginya hal tersebut bukanlah kendala dalam kehidupannya. Arifin mengatakan sah-
sah saja jika terjadi pernikahan berbeda suku karena Indonesia terdiri dari beragam
suku yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Baginya cinta tidak memandang
agama dan suku. Ketika ayahnya meninggal, Arifin dan adiknya diberi marga Sinaga
oleh pihak Tambunan. Pemberian marga adalah kewajiban bagi seseorang yang ingin
disahkan menjadi orang Batak. Sistem marga merupakan salah satu warisan leluhur
yang wajib dipakai dan digunakan untuk menentukan identitas pribadi
seseorang/kelompok. Dengan adanya marga maka silsilah individu tersebut dalam
“Sama ajanya semua. Selo-selo aja la. Yang penting aku tetap orang Indonesia. Kalo ditanya orang aku suku apa, ga ada kujawab. Kubilang aja aku orang Indonesia. Cuma kemaren itu, aku sama adekku dikasi marga Sinaga dari pihak keluarga mamakku. Ga apa-apa lah, sama ajanya itu.”
Perbedaan dalam keluarganya tidak menjadi persoalan bagi Arifin. Kedua
suku sama baiknya bagi Arifin. Ketika kecil ia mengikuti dua keyakinan tersebut.
Namun beranjak dewasa, Arifin mulai menentukan keyakinan yang ia yakini. Ia
memilih agama Katolik sebagai pandangan hidupnya. Tetapi Arifin tetap
menghormati kepercayaan dari pihak keluarga ayahnya.
“Semuanya kuikuti. Kalo sembahyang itu kan cuma ritualnya aja. Tapi kalo agama, aku pilih Katolik. Kalo lagi Imlek, ikut juga kami rayakan. Cuma keluarga Bapakku agak tertutup orangnya. Biasalah orang Cina kan kekgitu. Kalo uda berkeluarga, jalan masing-masinglah. Ga kek orang Batak kan, tinggi kali rasa persaudaraannya.”
Arifin mengatakan ketika masih kecil ia memang bingung (culture shock)
dengan keadaan keluarganya. Apalagi ketika ayah dan ibunya menganut dua agama
yang berbeda dan mereka diikutsertakan dalam ritual dua agama tersebut. Namun
setelah ayahnya berpindah agama menjadi Katolik lalu ia dan adiknya dibaptis secara
Katolik, perlahan rasa bingung itu hilang. Arifin tidak lagi mempermasalahkan
perbedaan kedua orangtuanya. Sikap saling menghargai adalah prioritas terpenting
dalam kehidupan keluarganya.
Kesimpulan Kasus:
Dari kedua informan di atas, masing-masing memberikan gambaran yang
berbeda. Peneliti menyimpulkan secara personal terlebih dahulu.
Secara umum, memiliki keyakinan yang tinggi pada agama yang beliau anut.
Ibu N. Tambunan memaknai nilai-nilai ketulusan seorang ibu pada figur
Bunda Maria dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam mendidik
keluarganya. Sebagai penganut Katolik yang taat, beliau berusaha untuk
menjadi manusia yang sesuai dengan tiga nilai utama dalam Katolik, yaitu
beriman, berpengharapan, dan penuh kasih pada sesama. Ibu N. Tambunan
menunjukkan identitas agamanya melalui sikap dan perbuatan sesuai dengan
nilai-nilai Katolik dalam kehidupannya sehari- hari. Sedangkan Bapak Akiet,
berdasarkan penuturan Ibu N. Tambunan memiliki pandangan dunia yang
cukup lemah. Hal ini bisa disimpulkan dari ketidakkonsistenan beliau
terhadap agama yang akan dianutnya. Saat akan menikah, beliau berpindah
keyakinan ke Katolik. Namun ketika sudah menikah, beliau kembali lagi ke
agama awalnya. Dan saat sudah yakin dengan agama yang ingin dianutnya,
beliau kembali lagi menganut agama Katolik. Pada tahap ini, Bapak Akiet
mengalami kecemasan dan ragu-ragu akan agama dan budayanya. Namun
setelah menganut agama Katolik, Bapak Akiet mampu menjalani nilai-nilai
Katolik secara mendalam. Hal ini dibuktikan dengan keaktifan beliau dalam
pelayanan di gereja dan kereligiusan yang diakui Ibu N. Tambunan semakin
meningkat. Komitmen dan sense of belonging Ibu N. Tambunan sebagai
orang Batak Toba cukup tinggi. Beliau memiliki rasa kecintaan tinggi
terhadap budayanya. Walaupun pasangan ini mendidik anak-anaknya dengan
budaya mereka masing-masing, Ibu N. Tambunan tetap mewarisi nilai-nilai
sukunya. Mereka tinggal di lingkungan mayoritas suku Batak dan keluarganya
sering diikutsertakan dalam kegiatan adat batak. Anak-anaknya juga diberi
marga batak agar sah menjadi suku Batak Toba seperti beliau.
Sikap dan perilaku Ibu N. Tambunan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya
yang ada dalam kelompoknya (Batak Toba). Sedangkan Bapak Akiet,
awalnya memiliki identitas etnis yang cukup tinggi. Beliau masih
mempertahankan ritual dan nilai-nilai budaya dalam sukunya. Namun setelah
mempelajari kebudayaan suku Batak Toba, timbullah rasa ketertarikan dalam
diri Bapak Akiet. Beliau mulai menarik diri dari sukunya dan semakin rajin
mengikuti acara-acara adat suku Batak Toba serta ikut berpartisipasi di
dalamnya. Lama kelamaan identitas asli Bapak Akiet sebagai suku Tionghoa
terkikis dan digantikan oleh dominasi identitas etnis istrinya. Walaupun
dominasi identitas etnis Ibu N. Tambunan cukup tinggi, beliau tetap mampu
melakukan komunikasi antarbudaya dengan suku suaminya. Hal ini terlihat
dari sikap menghargai yang beliau lakukan pada keyakinan keluarga
suaminya, tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaannya sendiri.
Meskipun awalnya terjadi konflik budaya antara Ibu N. Tambunan dan pihak
keluarga suami, namun beliau berusaha membaur dengan kelompok dari
budaya lain tersebut. Ibu N. Tambunan memiliki kemampuan komunikasi
antarbudaya yang cukup baik. Beliau berusaha menerima dan berkomunikasi
dengan suku budaya lain walaupun terdapat perbedaan pandangan dunia.
Interaksi yang dilakukan Ibu N. Tambunan misalnya, ikut serta dalam
Interaksi ini menunjukkan rasa hormat beliau pada suku budaya lain. Pada
saat berinteraksi, Ibu N. Tambunan sedikit mengalami culture shock karena
dampak dari perbedaan diantara mereka. Namun karena sikap menghargai
beliau cukup tinggi sehingga culture shock dapat diatasi dan komunikasi yang
efektif dapat terjalin dengan baik dalam keluarga mereka.
2) Arifin, sebagai anak pasangan Akiet/N. Tambunan tidak terlalu peduli dengan
perbedaan dalam keluarganya. Karena dididik dengan dua pola budaya yang
berbeda, ia memilih untuk menarik diri dari kedua budaya tersebut dan tidak
mengikuti budaya kedua orangtuanya. Namun dari segi agama dan
kepercayaan, Arifin lebih memilih untuk mengikuti keyakinan ibunya. Arifin
juga berusaha untuk menerapkan nilai-nilai keagamaan yang ia miliki dalam
perilakunya sehari-hari. Hal ini terlihat dari ketaatan Arifin dalam mengikuti
ritual keagamaan Katolik. Menyikapi perbedaan yang ada, awalnya Arifin
bersikap acuh tidak acuh dan tidak mau tahu. Interaksi dengan pihak keluarga
ayah juga jarang dilakukannya. Ini merupakan dampak dari culture shock
perbedaan budaya kedua orangtuanya. Tetapi setelah beranjak dewasa, Arifin
mulai mengerti pentingnya menghargai dalam suatu hubungan. Untuk
identitas etnis, sampai saat ini Arifin tidak ingin ikut ayah atau ibunya. Ia
lebih memilih netral, walaupun sebenarnya ia memiliki pandangan yang
positif tentang suku Batak Toba.
Kesimpulan secara keseluruhan, para informan memiliki kualitas identitas
etnis yang berbeda. Ibu memiliki rasa kesukuan yang cukup tinggi, sedangkan suami
kuat sehingga beliau secara bertahap menerima semua kebudayaan sang istri. Suami
menjadi pihak minoritas dan didominasi oleh suku budaya istri. Sedangkan anak lebih
memilih tidak ikut identitas ibu ataupun ayahnya karena ia tidak tahu harus mengikut
suku budaya yang mana. Dalam hal interaksi dan komunikasi, Ibu N. Tambunan yang
paling baik dan banyak berperan dalam keluarganya. Nilai kompetensi komunikasi
antarbudaya Ibu N. Tambunan juga yang lebih tinggi dibandingkan Bapak Akiet dan
Arifin. Hal ini terlihat dari rasa menghargai yang tinggi dari Ibu N. Tambunan pada
budaya suaminya. Ibu N. Tambunan rela berkorban untuk turut serta menjalani ritual
dalam suku budaya suaminya.
Para informan memberikan penjelasan yang sama bahwa rasa persaudaraan
dalam suku Batak Toba sangatlah tinggi. Ibu N. Tambunan akan tetap menjaga nilai-
nilai Batak Tobanya, sedangkan Arifin tetap menghormati nilai-nilai Batak Toba dan
Tionghoa yang mengalir dalam dirinya. Ibu N. Tambunan mengalami proses
akulturasi, dimana beliau dan menerima kehadiran budaya asing dari pihak suami
namun tetap mempertahankan nilai-nilai budayanya sendiri. Sedangkan Bapak Akiet
dan Arifin cenderung mengalami proses asimilasi. Identitas asli Bapak Akiet sebagai
suku Tionghoa secara perlahan terkikis oleh dominasi budaya istrinya karena beliau
cenderung berinteraksi dan bergaul dengan suku Batak Toba. Sedangkan Arifin lebih
memilih menerapkan nilai-nilai budaya campuran dari kedua orangtuanya sehingga
dia tidak mau disebut sebagai suku Batak Toba ataupun suku Tionghoa. Pada masa-
masa culture shock, Arifin berusaha mencari jati dirinya dan beradaptasi dengan
unsur budaya orangtuanya, ia menggabungkan kedua unsur kebudayaan tersebut
menjadi kebudayaan baru yang sesuai dengan kepribadiannya.
Informan terdiri dari : Kasus Kedua
1) Bapak T. Simangunsong (suami) : 42 tahun
2) Ibu Nining Awyang/Simanjuntak (istri) : 39 tahun
Informan selanjutnya adalah Keluarga Simangunsong/ Boru Simanjuntak.
Pasangan ini menikah pada tahun 1992 dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Diky
Simangunsong (laki-laki) dan Cindy Simangunsong (perempuan). Berdasarkan
pengamatan peneliti, pasangan ini bekerja sebagai pedagang di Pasar Glugur, Medan.
Mereka sekeluarga tinggal di daerah mayoritas suku Batak. Rumah mereka juga
tampak seperti rumah-rumah non pribumi lainnya. Perabotan rumah juga tidak
memiliki ciri khas suku Tionghoa, malah cenderung ke Batak Toba. Dari segi fisik,
tidak terlihat perbedaan diantara pasangan ini. Suami memiliki perawakan orang
Batak pada umumnya, yakni memiliki kulit coklat, mata bulat dan tinggi sedang.