BAB II URAIAN TEORITIS
II.4 Asimilasi dalam Pernikahan Campuran
Kata asimilasi berasal dari kata Latin, assimilare yang artinya “menjadi
sama”. Dari kata ini diturunkan kata assimilation yang diindonesiakan menjadi
asimilasi, yang berarti “pembauran” (Koentjaraningrat, 2002: 255). Asimilasi
didefenisikan sebagai suatu bentuk proses sosial dimana dua atau lebih individu atau
kelompok saling menerima pola kelakuan masing-masing sehingga akhirnya menjadi
satu kelompok baru yang terpadu. Pada proses asimilasi terjadi proses peleburan
kebudayaan, sehingga pihak-pihak atau warga-warga dari dua-tiga kelompok yang
tengah berasimilasi akan merasakan adanya kebudayaan tunggal yang dirasakan
sebagai milik bersama. Asimilasi merupakan derajat tertinggi akulturasi yang secara
teoritis mungkin terjadi. Bagi kebanyakan imigran, asimilasi mungkin merupakan
tujuan sepanjang hidup (Mulyana, 2005: 139).
1. Ada perbedaan kebudayaan antara kelompok-kelompok manusia yang hidup pada suatu waktu dan pada suatu tempat yang sama.
2. Para warga dari masing-masing kelompok yang berbeda-beda itu dalam kenyataannya selalu bergaul secara intensif dalam jangka waktu yang cukup lama.
3. Demi pergaulan mereka yang telah berlangsung secara intensif itu, masing- masing pihak menyesuaikan kebudayaan mereka masing-masing, sehingga terjadilah proses saling penyesuaian kebudayaan di antara kelompok- kelompok itu (Narwoko, 2004: 42).
Biasanya golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi
adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal itu
golongan minoritas itulah yang mengubah sifat khas dari kebudayaannya dan
menyesuaikan diri dengan kebudayaan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat
laun kepribadian kebudayaannya hilang dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas
(Koentjaraningrat, 2002: 255).
Perspektif asimilasi adalah fungsional karena etnisitas akan hilang dan tidak
berfungsi dalam suatu masyarakat multietnik. Dalam studi tentang adaptasi kaum
imigran dengan lingkungan baru mereka, para peneliti telah memfokuskan studi pada
motif-motif migrasi yang mendorong orang-orang untuk bermigrasi dan tinggal di
suatu daerah baru, juga pada proses adaptasi dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Variabel-variabel seperti ciri-ciri sosial, budaya, dan ekonomi
mempengaruhi atau berkorelasi dengan derajat adaptasi kaum imigran, pemeliharaan
atau hilangnya budaya asli. Banyak kajian tentang adaptasi kaum imigran di daerah
baru yang juga bertalian dengan konflik budaya. Salah satu konsep yang penting
antarbudaya kaum imigran dengan masyarakat pribumi mereka (Mulyana, 2005: 163-
164).
Sebelum memasuki proses pembauran, masing-masing pihak hidup
berdampingan menurut pola kelakuannya sendiri. Sejak mereka memutuskan untuk
menjadi satu kelompok, mereka memasuki suatu proses baru menuju penciptaan satu
pola kebudayaan sebagai landasan tunggal untuk hidup bersama. Dalam merealisasi
pola tersebut hingga mencapai bentuk yang kuat dan mantap, faktor waktu
memainkan peranan penting. Melalui proses asimilasi, proses pembauran berbagai
suku terjadi hingga membentuk kebudayaan baru yang merupakan identitas baru
mereka. Proses ini akhirnya akan menghasilkan asimilasi psikologis, yaitu hilangnya
identitas etnik kelompok (Mulyana, 2005: 163). Perbedaan-perbedaan yang ada akan
digantikan oleh kesamaan paham budayawi, kesatuan pikiran, perilaku, dan mungkin
juga tindakan.
Ada beberapa faktor yang diketahui dapat mempermudah terjadinya asimilasi,
antara lain:
1. Sikap dan kesediaan menenggang. Apabila toleransi dapat dihidupkan di antara kelompok-kelompok manusia yang berbeda budaya itu, maka proses asimilasi akan mudah dilangsungkan tanpa banyak hambatan yang berarti. 2. Sikap menghadapi orang asing berikut kebudayaannya. Sikap demikian ini
akan memudahkan pendekatan-pendekatan warga dari kelompok-kelompok yang saling berbeda itu.
3. Kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang. Kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang begini akan memberikan kemungkinan pada setiap pihak untuk mencapai kedudukan tertentu berkat kemampuannya. Hal yang demikian jelas akan menetralisir perbedaan-perbedaan kesempatan yang terjadi akibat kebudayaan yang berlainan dan berbeda-beda, yang oleh karena itu akan memudahkan asimilasi.
4. Sikap terbuka golongan penguasa. Sikap terbuka golongan penguasa akan meniadakan kemungkinan diskriminasi oleh kelompok mayoritas terhadap
kelompok minoritas, dan tiadanya diskriminasi antar kelompok akan memudahkan asimilasi.
5. Kesamaan dalam berbagai unsur kebudayaan. Sekalipun kebudayaan masing- masing kelompok itu tidak sepenuhnya sama, namun sering kita saksikan bahwa dalam hal-hal atau unsur-unsur tertentu terdapat kesamaan. Semakin banyak unsur-unsur kebudayaan kelompok-kelompok itu yang bersamaan akan semakin mudahlah prasangka-prasangka antar kelompok itu dihilangkan, dan oleh karena itu asimilasi pun akan mudah diusahakan.
6. Perkawinan campuran. Misalnya, antara kelompok warga mayoritas dan warga kelompok minoritas, atau antara golongan-golongan penjajah dan anggota golongan terjajah. Seringkali merupakan langkah penting di dalam usaha-usaha penyelenggaraan asimilasi.
7. Musuh bersama dari luar. Ancaman musuh bersama dari luar sering pula diperkirakan akan memperkuat rasa persatuan di dalam masyarakat. Sadar akan adanya ancaman musuh bersama, golongan di dalam masyarakat sering melupakan perbedaan-perbedaannya, dan karenanya lalu mudah berasimilasi (Narwoko, 2004: 42-43).
Proses penyatuan akan lebih sulit jika berada dalam konteks pernikahan
berbeda suku. Menurut Cohen (dalam Hariyono, 1993: 102), perkawinan campuran
dimaksudkan sebagai sebuah perkawinan yang berlangsung antara individu dalam
kelompok etnis yang berbeda, atau dengan istilah lain disebut amalgamasi.
Amalgamasi ini merupakan peristiwa bertemunya sepasang suami isteri yang
berlainan etnis, yang sama-sama bermaksud membentuk suatu rumah tangga
(keluarga) berdasarkan kasih sayang, yang disahkan secara resmi dengan upacara
tertentu.
Oleh Hariyono, perkawinan campuran dikatakan sebagai puncak dari bentuk
asimilasi, yang diistilahkan sebagai asimilasi perkawinan. Asimilasi perkawinan
memberi pengertian tentang bersatunya jiwa, kepribadian, sifat, dan perilaku dari dua
insan (yang berlawanan jenis kelamin) yang memiliki perbedaan etnis. Segala apa
diterima untuk kemudian berjalan bersamasama secara serasi menjadi teman hidup
untuk selamanya dalam satu wadah rumah tangga yang sama (Hariyono, 1993: 17).
Dugan Romano dalam penelitiannya mengenai perkawinan antaretnis, atau
antarbudaya, mengidentifikasikan empat kelompok dalam tipe perkawinan antaretnis
tersebut, yaitu patuh/tunduk, kompromi, eliminasi, dan konsensus. Perkawinan dalam
tipe patuh, individu bersedia menerima budaya pasangannya. Dan tipe inilah yang
sering dijumpai dalam pasangan yang menikah antarbudaya, banyak diantaranya yang
berhasil. Tipe perkawinan kedua, yaitu kompromi, lebih bermakna negatif. Hal ini
dikarenakan salah satu akan mengorbankan kepentingannya, prinsip-prinsipnya demi
pasangannya. Tipe eliminasi, berarti pasangan perkawinan antarbudaya tidak mau
mengakui budaya masing-masing, sehingga pasangan ini dapat dikatakan sangat
miskin budaya. Tipe terakhir, konsensus, memuat persetujuan dan kesepakatan dalam
perkawinan antarbudaya, sehingga tidak ada nilai-nilai yang disembunyikan
(http://ums.ac.id/).
Beulah Rohrlich (Dodd, 1998: 71) menyatakan, bahwa dalam keluarga kawin
campur, komunikasi merupakan isu utama yang lazim muncul. Karena itu, Rohrlich
memberikan beberapa alternatif dalam upaya penyesuaian:
1. Penyesuaian satu arah (one way adjustment): salah satu mengadopsi pola budaya pasangannya.
2. Penyesuaian alternatif (alternative adjustment): pada satu kesempatan salah satu budaya diterapkan, tapi pada kesempatan lain budaya lainnya diterapkan. 3. Kompromi midpoin (midpoint compromise): kedua pihak sepakat untuk
menentukan posisi masing-masing sebagai jalan keluar.
4. Penyesuaian campuran (mixing adjustment): kombinasi dari dua budaya yang sepakat untuk diadaptasi.
5. Penyesuaian kreatif (creative adjustment): kedua pihak memutuskan untuk tidak mengadopsi budaya masing-masing tetapi mencari pola perilaku yang baru.
Dalam upaya saling menyesuaikan diri, pasangan kawin campur dipengaruhi
oleh beragam kondisi. Dodd menggolongkannya ke dalam delapan kategori, yaitu:
1. Efek Romeo dan Juliet. Konsep ini merujuk pada pasangan kawin campur yang saling tertarik, meskipun keluarga masing-masing tidak memberikan restu. Sayangnya, seiring waktu, pasangan akan menemui beragam persoalan, seperti tidak diterima oleh komunitas, munculnya kritik dari orang-orang terdekat, orangtua melakukan intervensi. Hal ini akan menurunkan kepercayaan individu terhadap pasangannya.
2. Peran yang diharapkan. Beberapa studi memperlihatkan, bahwa para isteri merasa dipaksa untuk menerima budaya suaminya. Para istri yang seringkali mengalami tekanan untuk melakukan penyesuaian diri terhadap budaya para suami. Hal ini mengakibatkan turunnya kepuasan dalam berkomunikasi. 3. Gangguan dari keluarga besar. Bagi keluarga kawin campur, persoalan seputar
ikut campurnya atau evaluasi oleh keluarga besar lebih sering dijumpai dibandingkan dengan keluarga yang menikah dalam satu budaya.
4. Budaya kolektif-individualistik. Beberapa budaya menganut pendekatan saling berbagi sesuai dengan komitmen dan tanggung jawab dalam kelompok (keluarga besar). Tetapi terdapat pula budaya yang lebih memperhatikan kebutuhan keluarganya sendiri dan lebih individualistik.
5. Bahasa dan kesalahpahaman. Ketika dua bahasa yang berbeda dipakai dalam kehidupan sehari-hari keluarga kawin campur, seringkali menghasilkan konflik, paling tidak persoalan kesalahpahaman terhadap kata-kata, bahasa yang dipilih untuk dipakai sehari-hari, atau kekuasaan psikologis yang akan mengontrol rumah tangga. Sebagai catatan, jika seorang anak dipaksa untuk memilih identitas kulturalnya, cenderung akan memilih budaya ibunya.
6. Model konflik. Perbedaan dalam cara memecahkan konflik juga merupakan poin penting kehidupan pasangan kawin campur. Directness-indirectness, budaya konteks tinggi-konteks rendah, monokronik-polikronik dan jarak kekuasaan merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan konflik dalam keluarga kawin campur.
7. Cara membesarkan anak. Perilaku terhadap anak dan cara mendidik anak merepresentasikan perbedaan budaya yang lain dalam keluarga kawin campur. Beberapa budaya menganut pemberlakuan aturan yang ketat dibandingkan budaya lain, yang akan menghasilkan nilai budaya yang berbeda, sekaligus perbedaan cara nilai-nilai tersebut dikomunikasikan dan diberlakukan kepada anak-anak.
8. Pandangan negatif dari komunitas. Bizman mengajukan pertanyaan kepada 549 orang tentang perkawinan orang Yahudi; Yahudi Barat dengan Yahudi Barat, Yahudi Timur dengan Yahudi Timur dan Yahudi Barat dengan Yahudi Timur. Hasilnya, 25 persen beranggapan, bahwa perkawinan antara orang Yahudi Barat dengan Yahudi Timur tidak akan berhasil dalam perkawinannya (dalam Dodd, 1998: 70-71).
Dari berbagai proses asimilasi yang pernah diteliti oleh para ahli terbukti
bahwa hanya dengan pergaulan antara kelompok-kelompok secara luas dan intensif
saja, belum terjadi suatu proses asimilasi jika diantara kelompok-kelompok tersebut
tidak ada suatu sikap toleransi dan simpati satu sama lain. Orang Tionghoa yang ada
di Indonesia misalnya, mereka bergaul secara luas dan intensif dengan orang
Indonesia sejak berabad-abad lamanya, namun mereka belum juga terintegrasi ke
dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia, karena selama itu belum cukup ada
sikap saling bertoleransi dan bersimpati (Koentjaraningrat, 2002: 256).
Proses asimilasi tidaklah akan terjadi apabila antarkelompok tidak tumbuh
sikap toleransi dan saling berempati. Faktor-faktor di atas kiranya akan mendorong
lahirnya kedua sikap yang diprasyaratkan itu. Selain faktor-faktor yang
mempermudah asimilasi, ada pula beberapa faktor lain yang justru menghambat
terjadinya asimilasi. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Terisolasinya kebudayaan sesuai golongan tertentu di dalam masyarakat. 2. Kurangnya pengetahuan suatu golongan tertentu mengenai kebudayaan yang
dipunyai oleh golongan lain.
3. Perasaan takut kepada kekuatan kebudayaan kelompok lain yang dirasakan oleh kelompok tertentu.
4. Perasaan superior dari suatu kelompok dan meremehkan kelompok lain. 5. Perbedaan ras dan warna kulit antarkelompok.
6. Perasaan in-group yang kuat (merasa sangat terikat dengan kelompoknya). 7. Gangguan diskriminatif kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. 8. Perbedaan kepentingan dan pertentangan-pertentangan pribadi antarwarga
yang akhirnya membawa kepada pertentangan antarkelompok (Narwoko, 2004: 43-44).
Asimilasi di Indonesia masih merupakan suatu masalah yang belum
terselesaikan. Asimilasi berarti menghilangkan identitas sebagai golongan minoritas.
penduduk asli Indonesia dengan orang asing seperti dari Eropa dan Cina. Namun
golongan minoritas tetap mempertahankan kesukuan asli mereka karena mereka
masih belum bisa mencintai Indonesia seutuhnya. Kesatuan baru yang bernama
bangsa Indonesia masih merupakan kesatuan politis. Dari segi kebudayaan belum
terbentuk satu kesatuan yang terikat. Proses pengembangan kebudayaan daerah
berjalan sejajar dengan proses pengembangan kebudayaan nasional. Namun
kenyataannya, masih banyak etnis/suku yang lebih memprioritaskan kesukuannya.
Kasus pelik yang masih dihadapi Indonesia adalah pembauran suku Tionghoa ke
dalam bangsa Indonesia.
Sampai saat ini masih terdapat rintangan-rintangan yang belum teratasi. Suku
Tionghoa yang walaupun sudah turun-temurun tinggal di Indonesia, kenyataannya
masih banyak dari mereka yang tidak merasakan “sense of belonging”/ cinta tanah
air terhadap negara Indonesia (Rahardjo, 2005:1-2). Hal ini juga membuat suku asli
Indonesia tidak menganggap mereka sebagai warga negara Indonesia. Bila timbul
keadaan krisis, baik krisis ekonomi, politik, dan lain-lain maka dengan segera konflik
akan muncul seperti kerusuhan Mei 1998. Oleh kelompok mayoritas (Indonesia asli)
kelompok minoritas seperti suku Tionghoa dijadikan “kambing hitam” atas krisis-
krisis yang terjadi. Diskriminasi dan ketegangan tidak dapat dihindarkan. Ketika
terjadi pernikahan campuran diantara suku Tionghoa dengan Batak Toba tentu saja
menjadi hal menarik untuk diketahui lebih lanjut. Sikap tertutup Tionghoa terhadap
kebudayaan lain bisa jadi menyulitkan suku Batak Toba untuk memasuki kehidupan
menerima suku lain atau terjadi proses dimana diciptakan kebudayaan baru hasil
peleburan kedua kebudayaan itu yaitu kebudayaan Batak Toba dan Tionghoa.