BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. 3 Pembahasan
Dari pengamatan peneliti, maka dapat dibuat pembahasan sebagai berikut:
Peneliti meneliti lima kasus dengan sembilan informan menggunakan penarikan
sampel bola salju (snowball sampling). Peneliti mendapatkan jawaban yang rata-rata
sama mengenai komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam proses asimilasi pada
pernikahan campuran kelima kasus yang diteliti, sehingga peneliti menghentikan
pencarian informan. Dari kelima kasus tersebut maka peneliti membuat pembahasan
yang dikaitkan dengan tujuan dari penelitian ini sendiri, yakni untuk mengetahui
latar belakang masing-masing pihak pada pernikahan campuran suku Batak Toba-
Tionghoa di kota Medan, untuk mengetahui pandangan dunia (agama/kepercayaan,
nilai, dan sikap) yang dianut keluarga pernikahan campuran suku Batak Toba-
Tionghoa dan untuk mengetahui komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam proses
asimilasi pada pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan. Dari
penelitian yang telah dilakukan peneliti menggunakan teknik triangulasi untuk
mengecek dan membandingkan data, yaitu sebagai berikut:
1) Latar Belakang Masing-Masing Pihak pada Pernikahan Campuran Suku Batak
Toba-Tionghoa
Peneliti menemukan fakta bahwa identitas asli suami sebelum menikah adalah
suku Tionghoa dan beragama Budha. Bapak Akiet berasal dari Siantar.
Orangtuanya tinggal dan bekerja di Siantar. Sejak kecil, Bapak Akiet sudah
terbiasa bergaul dengan suku Batak. Hanya saja orangtua Bapak Akiet membatasi
pergaulan anaknya dengan suku lain. Orangtua suami memiliki rasa
etnsosentrisme yang cukup tinggi. Dalam tingkatan etnosentrisme, orangtua
suami berada pada level negatif. Mereka percaya bahwa budayanya merupakan
pusat dari segalanya dan budaya lain harus diukur berdasarkan standar budaya
mereka (Samovar, dkk, 2010: 214). Orangtuanya sangat disiplin dalam mendidik
anak-anaknya untuk menaati adat-istiadat suku Tionghoa. Beliau sudah
dibiasakan untuk sembahyang dan menghormati makam leluhur sejak beliau
kecil. Ketika dewasa, Bapak Akiet merantau dan kuliah di kota Medan. Beliau
kuliah di perguruan yang mayoritas mahasiswanya bersuku Batak. Peneliti
menganalisis pertemanan dengan suku Batak Toba membawa Bapak Akiet
berkenalan dan menikah dengan anggota suku Batak Toba juga.
Peneliti menganalisis identitas asli istri sebelum menikah adalah suku Batak
Toba dan beragama Kristen. Sejak kecil beliau sudah tinggal di kota Medan dan
menghabiskan masa mudanya di Medan. Walaupun tinggal di Medan, beliau dan
keluarganya tetap mempertahankan budaya Batak Toba. Dari kecil, Ibu
Tambunan sudah dibiasakan untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan suku Batak
Toba. Kebiasaan ini membuat beliau paham akan budaya Batak Toba. Orangtua
Ibu Tambunan membiasakan anak-anaknya untuk mengerti bahasa Batak Toba
menganalisis bahwa didikan orangtuanya membuat Ibu Tambunan paham akan
budayanya dan berusaha untuk menjaga keaslian budayanya tersebut. Hingga saat
ini ditemukan fakta bahwa Ibu Tambunan tetap fasih berbahasa Batak Toba.
b. Kasus Kedua
Peneliti menemukan fakta identitas asli suami sebelum menikah adalah suku
Batak Toba dan beragama Kristen. Beliau lahir dan besar di kota Medan. Sejak
kecil suami tinggal di daerah campuran Batak-Tionghoa sehingga beliau sudah
terbiasa berinteraksi dengan suku Tionghoa. Beliau juga bersekolah di sekolah
campuran Batak-Tionghoa. Peneliti menganalisis hal ini membuat suami cukup
memahami suku Tionghoa. Orangtua beliau juga tidak membatasi pergaulan
anak-anaknya asal mereka tetap menjaga identitas mereka sebagai suku Batak
Toba.
Peneliti menganalisis identitas asli istri sebelum menikah adalah suku
Tionghoa dan beragama Budha. Istri juga lahir dan tinggal di kota Medan. Sejak
kecil istri sudah dibiasakan untuk mengikuti ritual adat dan agama suku
Tionghoa. Beliau dan keluarganya tinggal di lingkungan campuran Tionghoa-
Batak sehingga beliau sudah terbiasa berinteraksi dengan suku Batak. Ditemukan
fakta bahwa keluarga istri telah mengalami proses akulturasi, dimana mereka
menerima kehadiran budaya lain dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan kebudayaannya hilang (Koentjaraningrat, 2002: 248). Ketika
sekolah, beliau juga berinteraksi dan berteman dengan suku lain. Orangtua istri
perbedaan. Peneliti menemukan fakta bahwa pertemanan dengan suku lain ini
membawa istri berkenalan dan menikah dengan suami.
c. Kasus Ketiga
Peneliti menemukan fakta identitas asli suami sebelum menikah adalah suku
Batak Toba dan beragama Kristen. Beliau lahir dan tinggal di kota Tarutung
sehingga budaya Batak Toba sangat melekat pada diri beliau. Sejak kecil orangtua
beliau sudah membiasakan anaknya memahami bahasa dan adat-istiadat suku
Batak Toba. Interaksi beliau juga cenderung hanya dengan suku Batak saja karena
faktor lingkungan tempat tinggal. Identitas/latar belakang bukanlah merupakan
hal yang statis, namun berubah menurut pengalaman hidup kita (Samovar, dkk,
2010: 185). Ketika dewasa, suami merantau ke Medan dan bekerja di kota ini.
Disinilah interaksi suami dengan suku-suku lain terjadi terutama dengan suku
Tionghoa karena beliau bekerja di tempat mayoritas suku Tionghoa. Beliau
bertemu dengan istri ketika sama-sama bekerja
Peneliti menemukan fakta identitas asli istri sebelum menikah adalah suku
Tionghoa dan beragama Kristen. Istri lahir dan tinggal di kota Sibolga. Karena
tinggal di daerah mayoritas suku Batak, otomatis pergaulan beliau lebih banyak
dengan suku Batak Toba. Istri juga bersekolah di sekolah mayoritas bersuku
Batak Toba. Meskipun tinggal di daerah mayoritas suku Batak Toba, orangtua
istri tetap mendidik anak-anak mereka dengan budaya asli suku Tionghoa. Segala
bentuk ritual budaya Tionghoa wajib dilakukan oleh keluarga ini. Ketika dewasa,
kota Medan. Peneliti menganalisis tidak ada kendala bagi istri karena beliau
sudah terbiasa berinteraksi dengan suku Batak.
d. Kasus Keempat
Peneliti menemukan fakta identitas asli suami sebelum menikah adalah suku
Batak Toba dan beragama Kristen. Suami lahir dan tinggal di kota Medan. Beliau
tinggal di lingkungan mayoritas suku Batak Toba sehingga lebih banyak
berinteraksi dengan sesama sukunya. Mereka jarang berinteraksi dengan suku
lain. Orangtua suami juga membiasakan beliau fasih akan bahasa dan budayanya
sehingga beliau sangat paham akan budaya sukunya. Peneliti menganalisis suami
tetap menjaga keaslian budayanya hingga menikah dan punya anak.
Peneliti menganalisis identitas asli istri sebelum menikah adalah suku
Tionghoa dan beragama Budha. Istri lahir dan tinggal di Kalimantan. Beliau
adalah suku Tionghoa asal Kalimantan. Orangtua beliau sangat menjunjung tinggi
budayanya dan sangat menaati setiap ritual yang ada dalam budayanya. Sejak
kecil istri sudah dibiasakan orangtuanya untuk mengikuti adat-istiadat Tionghoa.
Selama di Kalimantan, istri hanya berinteraksi dengan sesama sukunya saja dan
tidak pernah berinteraksi dengan suku Batak Toba. Ditemukan fakta bahwa istri
baru mengetahui tentang suku Batak Toba setelah berkenalan dan menjalin
hubungan dengan suami.
e. Kasus Kelima
Peneliti menemukan fakta identitas suami sebelum menikah adalah suku
Batak Toba dan beragama Kristen. Suami lahir dan tinggal di kota Siantar.
berinteraksi dengan sesama sukunya saja. Orangtua beliau juga selalu mendidik
anak-anaknya dengan budaya Batak Toba. Hal tersebut membuat mereka sangat
paham akan adat-istiadat Batak Toba. Ketika dewasa, suami merantau dan bekerja
di kota Medan. Di kota Medan lah interaksi dengan suku-suku lain dilakukan oleh
suami. Interaksi ini dianalisis peneliti membuat beliau memahami suku lain
namun tetap memegang teguh identitas aslinya. Beliau bertemu dengan istrinya
ketika bekerja di kota Medan.
Peneliti menemukan fakta identitas istri sebelum menikah adalah suku
Tionghoa dan beragama Kristen. Orangtua istri menganut agama yang berbeda.
Ibunya menganut agama Kristen, sedangkan ayah tetap beragama Budha. Istri
mengikuti keyakinan ibunya sebagai orang Kristen. Sejak kecil, istri sudah
terbiasa dengan perbedaan agama orangtuanya. Meskipun agamanya berbeda,
kedua orangtua istri tetap mendidik anak-anaknya dengan budaya asli Tionghoa.
Ritual dan penyembahan wajib dilaksanakan oleh mereka. Mereka lahir dan
tinggal di Padang Sidempuan. Padang Sidempuan mayoritas dihuni oleh suku
Melayu dan Batak. Peneliti menemukan fakta keluarga ini sudah terbiasa
berinteraksi dengan suku-suku ini. Orangtua istri tidak membatasi pergaulan
anak-anaknya. Bahkan anak-anaknya disekolahkan di sekolah mayoritas suku
Melayu dan Batak. Ketika dewasa, istri merantau dan bekerja di kota Medan.
Karena sudah terbiasa berinteraksi dengan suku Batak, peneliti meyakini ketika
2) Pandangan dunia (agama/kepercayaan, nilai, dan sikap) yang dianut keluarga
pernikahan campuran suku Batak Toba-Tionghoa
a. Kasus Pertama
Penyesuaian diri dan sikap toleransi yang tinggi terhadap agama dan
budaya suami dilakukan Ibu N. Tambunan untuk mengurangi pandangan
negatif keluarga besar suami terhadap agama dan budaya Ibu N. Tambunan.
Peneliti menganalisis bahwa Ibu N. Tambunan memiliki motivasi dalam
berkomunikasi untuk mengurangi penyebaran kecemasan (Rahardjo, 2005:
66). Beliau juga mempunyai kemampuan menopang konsep dirinya karena
beliau tidak mau terlalu terikat dengan budaya dan agama suami, namun tetap
menghargai identitas budaya suami. Sikap toleransi yang tinggi dari Ibu N.
Tambunan membuat kehadiran beliau secara perlahan diterima oleh keluarga
besar suami. Selama penyesuaian diri tersebut, peneliti melihat bahwa Ibu N.
Tambunan tetap mempertahankan pandangan dunia yang ia miliki dan
identitas aslinya sebagai suku Batak Toba. Temuan ini sesuai dengan
pernyataan pemuka agama Kristen dan pemuka adat Batak Toba bahwa suku
Batak Toba wajib menjunjung tinggi adat-istiadatnya.
Bapak Akiet tidak mampu mempertahankan pandangan dunia dan
identitas aslinya yang lama-kelamaan terkikis oleh pandangan dunia dan
identitas asli istri. Beliau tidak konsisten dengan agama dan budayanya
terdahulu. Temuan ini sesuai dengan pernyataan Ibu AW yang mengatakan
bahwa suku Tionghoa saat ini mulai melupakan adat-istiadat aslinya. Namun
Hal ini sesuai dengan yang dikatakan pemuka agama Kristen bahwa kita harus
mampu menjalani nilai-nilai kekristenan untuk mencapai kebahagiaan kekal.
b. Kasus Kedua
Peneliti menganalisis bahwa Bapak Simangunsong dan Ibu Nining
memiliki pandangan dunia yang cukup baik. Meskipun awalnya Ibu Nining
beragama Budha dan berpindah keyakinan setelah menikah dengan Bapak
Simangunsong, beliau mampu menerapkan nilai-nilai keyakinannya dalam
kehidupannya sehari-hari. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Bapak
Hutabarat selaku pemuka agama Kristen. Menurut Bapak Hutabarat hal ini
adalah bukti keseriusan Ibu Nining dalam mendalami keyakinan yang baru
dianutnya. Dalam hal identitas etnis, Bapak Simangunsong memiliki identitas
yang cukup tinggi. Hal ini dapat disimpulkan dari kemampuan beliau
mempertahankan eksistensi sukunya meskipun beliau menikah dengan suku
lain. Istri dan anak-anaknya disahkan menjadi suku Batak Toba dengan
memberi mereka marga.
Peneliti menganalisis hasil wawancara pasangan dengan hasil wawancara
pemuka adat Batak Toba, yaitu Bapak Simamora. Beliau mengemukakan
bahwa suku asing yang akan menikah dengan suku Batak Toba terlebih
dahulu harus melalui upacara pemberian marga. Dan sebuah pernikahan
dinyatakan sah secara Batak Toba jika sudah melakukan upacara adat sesuai
dengan prosedur adat Batak Toba. Ditemukan fakta bahwa keluarga
Bapak Simangunsong juga giat mengajak keluarganya untuk aktif
berpartisipasi dalam acara-acara adat Batak Toba.
c. Kasus Ketiga
Pasangan ini menjalani nilai-nilai agama yang sama. Peneliti menganalisis
bahwa pasangan ini cukup yakin akan agama yang dianutnya. Hal ini sesuai
dengan yang dikatakan pemuka agama Kristen bahwa seorang Kristen harus
mempunyai keimanan yang kuat pada Tuhannya. Iman adalah salah satu poin
penting dalam agama Kristen. Walaupun kedua keluarga besar menganut
keyakinan yang sama (pandangan dunia), namun perbedaan budaya membuat
jarak sosial diantara mereka sangat jauh. Rasa cinta yang sangat tinggi pada
sukunya membuat keluarga Ibu ET menentang pernikahan beda budaya antara
Bapak JH dan Ibu ET. Peneliti menganalisis konflik antar keluarga terjadi
karena rasa etnosentrisme berlebihan dari keluarga besar ET. Etnosentrisme
adalah suatu sikap kepercayaan bahwa budayanya jauh lebih baik dari budaya
lain. Ting Toomey mendefenisikan identitas kultural sebagai perasaan dari
seseorang untuk turut memiliki (sense of belonging) terhadap kultur tertentu
(Rahardjo, 2005: 1-2). Mereka menutup diri dari pergaulan dengan suku lain.
Temuan ini sesuai dengan wawancara yang dilakukan peneliti dengan Ibu AW
(suku Tionghoa) bahwa sukunya memang membatasi diri dalam bergaul
dengan suku lain untuk tetap menjaga eksistensi mereka.
d. Kasus Keempat
Peneliti menganalisis bahwa pengaruh pandangan dunia (agama dan
pindah keyakinan, Ibu Mariana sangat taat pada agama barunya. Keyakinan
dan nilai-nilai yang beliau anut melahirkan sikap yang sesuai dengan ajaran
Kristen. Samovar mengatakan bahwa keyakinan dan nilai yang dianut
seseorang jika dilaksanakan secara teru-menerus akan disebut sikap.
Keyakinan dan nilai tersebut tidak dapat diamati langsung tapi berdasarkan
tindakannya yang konsisten dari waktu ke waktu (Samovar, dkk, 2010: 227).
Ibu Mariana sangat konsisten dengan agama barunya dan berusaha menjalani
nilai-nilai yang terkandung dalam agamanya tersebut.
e. Kasus Kelima
Peneliti menemukan fakta pasangan kelima memiliki pandangan dunia
yang sama. Mereka cukup fanatik dengan keyakinannya. Cara pandang erat
kaitannya dengan praktik agama dan kepercayaan. Manusia percaya bahwa
ada sesuatu yang lebih besar dari manusia sebagai penentu dan pencipta
budaya dan identitas mereka (Mulyana, 2004: 35). Peneliti menganalisis
pasangan ini mampu menjalani nilai-nilai keagamaanya dengan baik. Wujud
konkretnya mereka bekerja sebagai pelayan jemaat di gereja tempat mereka
beribadah.
3) Komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam proses asimilasi pada pernikahan
campuran suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan
a. Kasus Pertama
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan fakta
seimbang, namun hubungan dengan keluarga besar suami tidak dapat terjalin
dengan baik. Pihak keluarga besar suami sangat mempertahankan identitas
sukunya. Bagi beberapa orang, interaksi dengan orang yang berbeda budaya
dengannya merupakan situasi baru. Situasi baru ini memunculkan
ketidakpastian dan kecemasan bagi seseorang sehingga terkadang ia berusaha
menutup diri dan menghindari komunikasi antarbudaya (Rahardjo, 2005:
102).
Pada pernikahan pasangan Bapak Akiet dan N. Tambunan ditemukan
fakta bahwa keluarga besar Bapak Akiet memang agak tertutup dengan Ibu N.
Tambunan. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan Ibu AW (keturunan
Tionghoa) bahwa suku Tionghoa khususnya yang ada di kota Medan agak
tertutup ketika berinteraksi dengan suku lain. Hal ini terjadi karena sebagai
kelompok minoritas mereka berusaha untuk tetap mempertahankan budaya
dan identitas aslinya di tengah kelompok dominan. Mereka mengalami
ketidakpastian dan kecemasan terhadap budaya Ibu N. Tambunan. Tingkat
ketidakpastian dan kecemasan inilah yang menghambat terciptanya situasi
komunikasi antarbudaya yang efektif.
Salah satu tujuan komunikasi antarbudaya adalah untuk mengurangi
tingkat ketidakpastian dan kecemasan (Liliweri, 2003: 19-20). Untuk
mengurangi ketidakpastian dan kecemasan budaya tersebut, pasangan suami-
istri ini berusaha menjalin komunikasi antarbudaya yang efektif dengan
keluarga besar suami. Dalam proses pengikisan budaya yang berlangsung
karena beliau kehilangan identitas aslinya dan ikut melebur dalam agama dan
struktur sosial suku budaya istri.
Berdasarkan temuan di lapangan, pasangan ini memperkenalkan budaya
mereka masing-masing dalam mengasuh anak-anak mereka. Namun karena
dominasi budaya istri yang tinggi sehingga budaya istri menjadi acuan utama
dalam mendidik anak-anak mereka. Ketika anak-anak sudah besar, salah
seorang anak pasangan ini, yaitu Arifin memilih untuk tidak mengacu pada
pola budaya yang diajarkan padanya. Arifin memutuskan untuk menjalani
nilai-nilai dari budaya kedua orangtuanya sesuai dengan kepribadiannya.
Menurut teori asimilasi, hal yang dialami Arifin disebut sebagai belanga
pencampuran, dimana kelompok minoritas dan mayoritas bercampur secara
homogen dan masing-masing kelompok kehilangan identitasnya sehingga
muncullah suatu produk unik yang merupakan hasil dari pencampuran dari
kedua kelompok tersebut (Mulyana, 2005: 160).
b. Kasus Kedua
Dari hasil wawancara yang diperoleh peneliti, diketahui bahwa proses
komunikasi antarbudaya pada pasangan ini terjalin dengan baik. Begitu juga
komunikasi antarbudaya antara keluarga Simangunsong dengan keluarga
Awyang terjalin dengan baik. Masing-masing keluarga dapat menerima
perbedaan budaya diantara mereka dan rasa toleransi diantara kedua keluarga
ini cukup tinggi. Hal ini tidak sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan
peneliti dengan Ibu AW (suku Tionghoa) bahwa suku Tionghoa adalah suku
toleransi ini. Dari hasil wawancara diketahui bahwa keluarga Awyang tinggal
di lingkungan yang mayoritas suku Batak Toba dan sudah saling berinteraksi
satu sama lain dalam waktu yang cukup lama sehingga tidak sulit bagi mereka
untuk menerima kehadiran Bapak Simangunsong dalam keluarga besar
mereka.
Berdasarkan fakta di lapangan, diketahui bahwa telah terjadi proses
asimilasi pada Ibu Nining dan anak-anaknya karena mereka adalah kelompok
yang kehilangan identitas subjektifnya dan akibatnya mereka melebur dalam
struktur sosial kelompok lain yang lebih dominan. Sesuai dengan teori
asimilasi, interaksi yang dilakukan secara terus-menerus dan telah
berlangsung lama sehingga menyebabkan kepribadian kebudayaannya hilang,
diyakini sebagai faktor penyebab terjadinya asimilasi pada Ibu Nining
(Koentjaraningrat, 2002: 255).
c. Kasus Ketiga
Dari hasil wawancara yang diperoleh, peneliti menganalisis bahwa
komunikasi antarbudaya yang terjalin pada pasangan ini cukup baik. Namun
proses komunikasi antarbudaya dalam keluarga besar sangat rendah dan
lemah. Mereka merasa tidak termotivasi untuk melakukan komunikasi
antarbudaya karena tidak memberikan kenyamanan bagi mereka.
Peneliti menemukan fakta bahwa pertentangan dari keluarga ET tersebut
membuat keyakinan Ibu ET terhadap sukunya menjadi hilang dan digantikan
oleh budaya suaminya yang diyakini mendominasi dalam pernikahan mereka.
kelompok minoritas mengalami perubahan pola budaya, yakni dari segi
bahasa, nilai, pakaian, makanan maupun pergaulan sesuai dengan suku
budaya suaminya. Ibu ET sudah diberi marga batak dan pernikahannya sudah
sah diadati secara Batak Toba juga. Sesuai dengan yang dikemukakan pemuka
adat Batak Toba, maka Ibu ET sudah layak disebut sebagai suku Batak Toba
dan beliau diwajibkan menjaga nilai-nilai kebatakannya.
Menurut Darroch dan Marston, dalam proses asimilasi minoritas-minoritas
etnik harus semakin menyesuaikan diri dan menerima standar-standar budaya
kelompok dominan serta berintegrasi dengan struktur sosial kelompok
dominan tersebut (dalam Mulyana, 2005: 163). Hal inilah yang ditemukan
dalam pernikahan Bapak JH dan Ibu ET. Pandangan dunia yang sama dan
pengalaman komunikasi antarbudaya yang efektif dari pasangan ini membuat
mereka tetap bertahan dalam pernikahan meskipun ada pertentangan budaya
dari pihak lain. Peneliti menganalisis bahwa rasa kepercayaan yang tinggi satu
sama lain dan kemampuan saling menghargai diantara pasangan adalah kunci
keharmonisan pernikahan pasangan JH dan ET.
d. Kasus Keempat
Peneliti menemukan fakta bahwa komunikasi antarbudaya yang terjalin
diantara pasangan dan keluarga besar kedua belah pihak cukup harmonis.
Terjalin sikap toleransi yang tinggi diantara keluarga pasangan ini. Fakta ini
tidak sesuai dengan pernyataan Ibu AW selaku suku Tionghoa asli.
Ditemukan fakta bahwa sikap tertutup suku Tionghoa seperti yang dikatakan
keluarga Bapak J. Sinaga dengan tangan terbuka dan menjalin silahturahmi
yang baik satu sama lain.
Proses pernikahan pasangan J. Sinaga dan Mariana sesuai dengan yang
dikatakan oleh Pemuka adat Batak Toba. Bagi suku lain yang ingin menikah
dengan suku Batak Toba, maka terlebih dahulu ia harus menjalani proses adat
Batak Toba dan diberi marga Batak. Setelah prosedur tersebut dilakukan,
maka pernikahan tersebut dapat dilakukan secara sah sesuai adat Batak Toba.
Pasangan ini menikah secara adat Batak Toba dan Ibu Mariana diberi
marga/boru Silalahi. Ibu Mariana secara perlahan menyatu dengan budaya
suaminya.
Proses asimilasi ditemukan terjadi dalam pernikahan ini, khususnya pada
Ibu Mariana. Proses asimilasi dapat terjadi tanpa hambatan jika pergaulan
intensif yang dilakukan secara terus-menerus tersebut diiringi dengan sikap
toleransi dan penerimaan yang tinggi dari kelompok-kelompok manusia yang
berbeda budaya (Narwoko, 2004: 42-43). Hal ini telah dilakukan oleh Ibu
Mariana. Beliau menerima semua kebudayaan suaminya dan menerapkan
budaya tersebut dalam mendidik anak-anaknya.
e. Kasus Kelima
Peneliti menemukan fakta bahwa komunikasi antarbudaya yang terjalin
diantara pasangan cukup harmonis. Terjalin sikap toleransi yang tinggi pada
pasangan ini. Namun komunikasi antarbudaya dengan keluarga besar kurang
harmonis karena pihak ayah Ibu Mery kurang menerima kehadiran suku lain.
dikatakan Ibu AW terjadi pada keluarga Ibu Mery, terutama pada ayahnya.