BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan sesamanya.
Manusia sebagai makhluk individu memiliki berbagai kelebihan alamiah yang
dianugerahkan oleh Tuhan. Selain itu, manusia biasanya membentuk kelompok
sosial berdasarkan berbagai persamaan dan tujuan. Kelompok manusia bisa saja
berbentuk keluarga inti, keluarga luas, etnik, kelompok profesi, ras, bangsa, dan
seterusnya. Dalam konteks ini, manusia selalu ingin melanjutkan peradabannya
dan generasi keturunannya. Kesinambungan generasi ini penting agar manusia
tidak musnah di muka bumi, oleh karena itu manusia dianugerahi Tuhan untuk
meneruskan keturunan ini melalui hubungan perkawinan yang diatur oleh
norma-norma agama dan adat. Perkawinan dalam masyarakat tertentu tidak boleh
bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma adat.
Seorang pakar antropologi Eropa, Gough (1959) melihat perkawinan, di
sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut
adat-istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan
sebagai anggota yang dapat diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan
definisi yang universal, Goodenough memusatkan pemikirannya kepada hak atas
seksualitas wanita yang diperoleh berdasarkan kontrak sosial.
keutamaan atas hak menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap perempuan tersebut, sampai hasil transaksi itu berakhir dan perempuan yang bersangkutan dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13).
Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi
dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan kepada perkawinan
monogami, adapula yang memperbolehkan poligami, namun ada pula yang
membolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial umum dan
moralitas yaitu perkawinan poliandri (satu perempuan kawin dengan lebih dari
satu suami). Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang pria atau lebih
bisa bersama-sama menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan
sekelompok saudara laki-laki (poliandri fraternal). Poliandri sering dihubungkan dengan ketidakseimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan
membunuh bayi perempuan. Di Himalaya sebagai contoh, poliandri dilakukan
kerana tujuannya mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar, sementara lahan
pertanian terbatas luasnya. Dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam praktik
demikian sangat dilarang. Begitu juga hubungan incest yaitu antara kerabat kandung. Semua ini adalah aturan Tuhan untuk makhluk manusia ciptaan-Nya
agar manusia menjadi rahmat kepada alam, bukan merusak alam, atau generasi
keturunannya.
Setiap agama juga memiliki konsep yang berbeda-beda tentang perkawinan.
Sebuah perkawinan agama Kristen (Protestan dan Katholik) adalah perkawinan
antara seorang suami dengan seorang istri, yang untuk seumur hidup mereka,
(trilogi) asas pokok, yakni (a) asas monogami; (b) asas kesetiaan (fidelitas); dan
(c) asas seumur hidup (indisolubilitas). Riwayat penciptaan secara jelas berbicara
tentang satu suami satu isri, ―satu daging‖ antara satu laki-laki dan satu
perempuan (Kej. 2:24). Namun demikian, ada beberapa sekte agama Kristen
(misalnya Mormon di Amerika Serikat) membenarkan perkawinan poligami.
Dalam Islam, sesuai dengan panduan Al-Qur‘an seorang pria Islam bisa kawin
dengan sebanyak-banyaknya empat perempuan, tetapi ada syaratnya yaitu adil.
Allah mengingatkan bahwa jika seorang lelaki muslim tidak dapat berlaku adil
kepada isteri-isterinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi
pembelajaran ayat ini adalah bahwa Allah menciptakan lebih banyak perempuan
dibandingkan laki-laki. Agar perempuan-perempuan mendapat suami, maka tentu
saja secara umum harus ada laki-laki yang beristeri lebih daripada satu untuk
melakukan respon terhadap kenyataan jenis kelamin ini yang penuh dengan
rahasia Tuhan. Dalam realitasnya, di negara-negara Islam mayoritas rakyatnya
kawin secara monogami.
Upacara perkawinan hanyalah salah satu rangkaian dari sejumlah upacara
siklus hidup dan sesudah meninggalnya manusia. Siklus hidup manusia biasanya
dimulai dari sejak janin, lahir, akil baligh atau dewasa, khitan, perkawinan, memiliki anak, memasuki keorganisasian, kematin, pasca kematian, dan
seterusnya.
Secara sosiologis dan agama, fungsi utama perkawinan adalah untuk
melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan manjaga
nafsu biologis manusia, menerima dan memberi kasih sayang kepada pasangan
hidup, membina keluarga, menyatukan dua keluarga besar, dan sebagainya.
Dalam hal ini, agama memegang peran utama dalam upacara perkawinan.
Pengabsahan perkawinan selalu melibatkan para pemuka agama pada semua
agama di dunia. Ritual perkawinan melibatkan aspek adat dan agama sekaligus.
Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Minangkabau.
Minangkabau merupakan salah satu suku (etnik) yang wilayah budayanya
yang lazim disebut dengan Ranah Minang. Minangkabau dikenal sebagai salah
satu bentuk kebudayaan di Pulau Sumatera. Masyarakat Minangkabau
menerapkan sistem matrilineal, di mana garis keturunannya berdasarkan garis
keturunan ibu.
Masyarakat Minangkabau, di dalam melaksanakan tata cara adat
perkawinan, menunaikan dua norma penting. Pertama adalah perkawinan menurut
adat, dan kedua, menurut agama (syarak). Dalam tata cara perkawinan menurut
adat, maka akan diadakan penganugerahan kedudukan kepada mempelai
perempuan. Hal ini dilakukan semata-mata karena sistem kemasyarakatan
Minangkabau menganut sistem matrilineal (garis keturunan dari pihak ibu).
Selanjutnya, perkawinan baru dianggap sah bila telah dilakukan upacara
perkawinan sesuai agama. Sesudah pelaksanaan kedua fase tersebut biasanya
dilanjutkan dengan upacara Baralek, yaitu upacara perayaan terhadap perkawinan yang sudah dilaksanakan.
1986:197-198). Dalam mengawali upacara baralek ini ditampilkan pertunjukan tari
Galombang, yaitu suatu tari yang mengekspresikan suasana sukacita pihak keluarga anak daro (pengantin perempuan) akan kedatangan marapulai
(pengantin laki-laki) dan keluarganya.1
Galombang adalah salah satu jenis kesenian perpaduan tari dan musik masyarakat Minangkabau yang sudah mereka praktikkan di dalam kegiatan
kehidupan sehari-hari jauh sebelum masa kemerdekaan bangsa Indonesia. Dari
tradisi lisan mereka ini, dapat diketahui bahwa Galombang berkembang dan terintegrasi menjadi bagian tradisi Minangkabau yang mengakar di masyarakat
tersebut. Bahkan hingga dewasa ini penyajian Galombang masih bertahan dan sangat lazim disajikan pada saat pesta perkawinan di kalangan anggota
masyarakat Minangkabau, baik di kampung halaman mereka di Sumatera Barat,
maupun di kota Medan, yaitu salah satu kota tujuan merantau2 masyarakat Minangkabau di Indonesia.
Galombang, dalam konteks praktik ketradisian ditampilkan untuk menyambut kedatangan tamu kehormatan dalam berbagai upacara adat
Minangkabau, seperti penobatan penghulu (kepala suku/ketua adat), Guru silat,
maupun pengantin (penyambutan marapulai beserta keluarganya oleh anak daro). Pengantin dianggap tamu kehormatan juga bagi masyarakat Minangkabau, karena
1Baca skripsi Hery Gunawan ―Analisis Musik
Galombang Pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.‖ Medan: Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, tahun 2011.
2
bagi tradisi mereka pengantin dianggap raja sehari, karena secara konsep
pengantinlah yang mempunyai kebesaran pesta perkawinan tersebut.
Dalam tulisan ini penulis memfokuskan pada konteks penyambutan
pengantin karena dari awal penulis telah memaparkan tentang perkawinan. Pada
penyambutan itu, marapulai akan dipayungi dengan payung kebesaran dengan simbol kebesaran suatu upacara sebagai penghormatan. Sesuai adat, ada seseorang
yang ditunjuk oleh keluarga anak daro untuk memberikan suguhan daun sirih, pinang, dan gambir, yang disajikan di dalam carano3 kepada marapulai sebagai wakil dari rombongan setelah Galombang di sajikan. Suguhan tersebut juga biasanya disuguhkan kepada kedua orang tua dan keluarga marapulai. Suguhan yang disuguhkan wajib diterima, sebagai tanda kerendahan hati dan keikhlasan
yang tulus untuk menjalin silahturahmi.
Dalam Galombang ini mempunyai dua elemen struktur terpenting. Yakni, struktur tari dan struktur musik iringannya. Dalam praktik, pada struktur tari
Galombang, komposisi penari biasanya terdiri dari enam atau lebih penari; umumnya, semakin banyak penarinya semakin terlihat bagus, karena pola lantai
yang dimiliki tari Galombang ini hanya berbanjar dua baris kebelakang. Namun demikian, bisa saja semua penari adalah perempuan saja, bisa juga campuran
dengan laki-laki dewasa, yaitu setengahnya penari perempuan dan setengahnya
lagi penari laki-laki. Dalam konteks penyajian saat upacara berlangsung, para
penari diposisikan di sepanjang jalan menuju tempat upacara, menghadap ke
arah datangnya marupulai dan para tamu.
3
Dari hasil pengamatan di lapangan yang penulis lakukan,4 ada beberapa
catatan penting tentang penyajian tari Galombang. Pertama, penari perempuan selalu mengenakan baju kuruang (baju kurung), selayaknya busana adat Minangkabau, sementara di bagian kepala penari diberi aksesoris sesuai
kesepakatan bersama para penari. Biasanya aksesoris yang dipilih adalah
tengkuluk (hiasan kepala perempuan yang berbentuk runcing dan bercabang),
magek (hiasan kepala dari kain sejenis sarung yang dibentuk seperti bunga), ataupun suntiang. Kedua, penari laki-laki selalu mengenakan guntiang cino (baju longgar), sarawa galembong (celana longgar), dan detar (ikat kepala). Warna pakaian yang dikenakan bervariasi mulai dari warna merah, hitam, kuning, dan
biru.
Catatan berikutnya adalah, bahwa dalam menarikan tari Galombang, ada beberapa aturan yang dijadikan sebagai dasar dalam penciptaan. Hal ini dapat
dilihat dari gerakan tariannya yang diambil dari gerakan bungo silek, yaitu gerakan variatif yang bersumber dari gerakan pencak silat Minangkabau dengan
pola dasar ―kuda-kuda‖ yang memberikan kesan tajam, dengan gerakan yang
keras, mengalun lembut, dan bersifat cekatan dan tegas.
Pada dasarnya, konsep tari pada Galombang kurang lebih sama di seluruh satuan sosial Minangkabau, yakni gerakan dasar yang diambil dari gerakan bungo silek. Tiap kelompok penari di dalam anggota masyarakat Minangkabau menciptakan berbeda-beda susunan gerakan dalam strukturnya. Hal ini
disesuaikan dengan selera masing-masing kelompok, namun dalam dasar
4
gerakannya semua sama, berdasarkan dasar gerakan yang sudah menjadi tradisi
adat dari dulunya. Dalam penyajiannya, tari Galombang ini memerlukan keahlian agar dapat bergerak, gerakan-gerakan kaki dan tangan saling digerakkan yang
begitu diperhatikan. Gerakan kaki dilakukan dengan menggunakan
langkah-langkah, di mana langkah-langkah ini berupa langkah maju, langkah mundur,
langkah sambil angkat salah satu kaki, dan langkah dengan penyilangan kedua
kaki (langkah simpie). Sedangkan gerakan tangan dilakukan dengan gerakan-gerakan kasar yang identik dengan kekhasan masyarakat Minangkabau, seperti
gerakan menyembah sebagai penghormatan, gerakan tepuk paha sebagai
ketangkasan, gerakan tangan menyilang sebagai menolak kejahatan, dan gerakan
menepuk tangan ke depan sebagai tanda penyuguhan sirih. Serta gerakan badan
mengikuti menjadi terlihat bentuknya naik dan turun dikarenakan dari gerakan
kaki dan tangan tadi. Semua makna yang terkandung di dalam gerakan-gerakan
tersebut mempunyai fungsi bagi masyarakat Minangkabau. Semua gerakan di atur
dalam gerak kaki maupun tangan demi keseragaman tarian terhadap antar penari.
Tiap peralihan atau perubahan gerakan yang ada sesuai dengan ketukan tempo
musik pengiringnya.
Dalam pertunjukan Galombang, penulis melihat keberadaan musik dalam mengiringi tari. Musik merupakan bagian dari kesenian dan termasuk salah satu
seni tertua. Pada zaman dahulu sebelum timbulnya peradaban modern masyarakat
primitif telah menggunakan musik sebagai alat media komunikasi, misalnya untuk
mengumpulkan orang banyak digunakan semacam gendang atau kentongan yang
Menurut Muttaqin (2008: 3), Musik pada hakikatnya adalah bagian dari seni
yang menggunakan bunyi sebagai media penciptaannya. Walaupun dari waktu ke
waktu beraneka ragam bunyi, seperti klakson maupun mesin sepeda motor dan
mobil, handphone, radio, televisi, tape rekorder, dan sebagainya senantiasa
mengerumungi kita, tidak semua dapat dianggap sebagai musik karena sebuah
karya musik harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut
merupakan suatu sistem yang ditopang oleh berbagai komponen seperti melodi ,
harmoni, ritme, timbre (warna suara), tempo, dinamika, dan bentuk.
Musik dapat dikatakan sebagai interaksi tiga elemen yaitu irama, melodi dan
harmoni. Secara umum pengelompokan seni musik terbagi atas dua (dua) macam
yaitu Musik Vokal dan Musik Instrumental. Berbicara mengenai musik vokal,
musik ini merupakan bunyi atau suara yang dihasilkan dari suara manusia.
Sedangkan musik instrumental adalah bunyi atau suara yang bersumber dari
alat-alat musik. Disamping masih dapat di mainkan secara instrumental musik juga
dapat mengiringi nyanyian bahkan untuk mengiringi tarian. Sama halnya dengan
musik yang digunakan untuk mengiringi tari pada Galombang ini.
Di dalam Galombang ini musik berperan penting karena musik salah satu unsur dari pertunjukan Galombang. Merupakan bagian hal yang berkaitan atau berhubungan satu sama lain. Dalam pertunjukan Galombang, tari tidak akan berjalan jika tidak ada musik pengiringnya, baik itu musik live ataupun rekaman. Begitu juga sebaliknya, jika hanya musiknya tanpa dijalankannya tari, musik
gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola gerakan yang dibuat. Adanya
spirit yang dibentuk dari musik (terkhusus tasa dan gandang tambua) yang bersifat gembira dan gemuruh untuk menghidupkan suasana tari tersebut. Jadi,
jika musik tidak ada, maka tarian tidak dapat terbentuk keindahannya.
Untuk mengiringi tari dalam Galombang, masyarakat Minangkabau menggunakan musik tradisional mereka yang lazim digunakan.
Dalam mengiringi tari ada tiga struktur musik iringan yang baku. Pertama
musik pembuka, yaitu menggunakan dua alat musik, yakni tasa (gendang satu sisi berbentuk mangkuk) dan gandang tambua (gendang berbentuk barel dua sisi). Kedua alat musik ini saling bersahut-sahutan (litany). Struktur musik kedua adalah musik Galombang, menggunakan empat alat musik, yakni tasa sebagai peningkah atau bisa dikatakan sebagai pengisi, gandang tambua sebagai pembawa ritem dasar untuk tarian, talempong pacik (dipegang tangan pemainnya) sebagai pembawa melodi dan ritem interloking, dan puput serunai sebagai pembawa melodi yang dikembangkan (improvisasi). Ketiga musik penutup, yang juga
menggunakan keempat alat musik tadi yaitu tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan serunai. Pada keempat alat musik ini yang menjadi pembawa tempo yang paling penting dalam pembuka dan penutup musik adalah tasa. Lagu yang dimaninkan adalah lagu tempo Tigo Duo.
Kedudukan Galombang ini dalam setiap upacara mengalami pergeseran sejak dahulu, di mana pada awalnya, Galombang ini penting dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya yang digunakan dalam berbagai aktifitas
kehormatan. Pada perkembangan selanjutnya, dalam penerapan di masa sekarang,
tarian ini digunakan sebagai salah satu pelengkap atau bisa dikatakan
penyemaraknya upacara perkawinan dan upacara-upacara lainnya. Dalam baralek,
Galombang dipersembahkan sesuai dengan tingkat ekonomi yang mempunyai acara perkawinan, yang dengan sendirinya juga akan menunjukkan status dari
penyelenggara. Keadaan ini memberikan peluang kepada sanggar-sanggar tari,
terutama sanggar yang mengajarkan tari-tari etnik, untuk memfokuskan pelatihan
pada tari Minang. Sesungguhnya upacara baralek tetap terlaksana walaupun tanpa menyertakan Galombang sebagai bagian acara adat, namun terasa kurang lengkap jika kesenian tradisional ini tidak ditampilkan. Dalam hal ini ada juga sisi menjaga
image antar anggota masyarakat mereka, dikatakan begitu karena jika ada keluarga yang menyelenggarakan upacara baralek tanpa menampilkan pertunjukan Galombang bisa saja tamu undangan menganggap bahwa keluarga tersebut tidak memiliki rasa mencintai kebudayaannya sendiri ataupun kehidupan
ekonomi yang berada pada level menengah ke bawah.
Di Kota Medan sendiri kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir
menempati seluruh kawasan Kota Medan. Tercatat paling banyak terdapat di
antaranya di Medan Denai dan Sukaramai (Hutagalung, 2009:5). Walaupun
jumlah penduduk masyarakat Minangkabau sebagai pendatang bukan yang
terbanyak di Kota Medan, tetapi kelompok masyarakat ini mampu menampilkan
bahkan memperkenalkan budaya tradisi mereka. Ini dapat dilihat dari banyaknya
Medan, Bengkel Seni, di Taman Budaya Sumatera Utara, sanggar Sumara
Anjuang dan sanggar-sanggar lainnya yang memberikan pelatihan kesenian
Minangkabau.
Di antara beberapa sanggar yang ada di Kota Medan yang penulis sebutkan
diatas, penulis memilih sanggar Tigo Sapilin, sanggar Pilago, dan Sanggar Tri
Arga untuk penulis fokuskan kajiannya dalam tesis ini. Sanggar Tigo Sapilin,
sanggar Pilago, dan Sanggar Tri Arga ini merupakan salah satu sanggar yang
memfokuskan pelatihan pada kesenian tradisi dan masih sering dipanggil untuk
mengadakan pertunjukan. Ke tiga sanggar ini penulis pilih sebagai sample untuk
melihat bagaimana penyajian yang ada dari Galombang yang dihasilkan dari kreativitas mereka masing-masing.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan tentang pertunjukan
Galombang dalam upacara baralek pada adat perkawinan di kalangan anggota masyarakat Minangkabau yang ada di kota Medan. Pertunjukan yang dimaksud
mencakup dua aspek, yaitu tari dan musik.
Ada tiga aspek utama yang akan penulis diskusikan di dalam tulisan ini.
Pertama adalah bagaimana struktur tari dalam Galombang tersebut. Dalam konteks struktur tersebut, akan dideskripsikan ragam gerakan yang ada, demikian
juga halnya dengan pola lantai yang digunakan, serta dalam pola-pola gerakan,
adakah hal spesifik menyangkut nilai adat, nilai agama, atau nilai yang terkait
budaya lokal yang dilambangkan atau diekspresikan? Atau secara umum
pola-pola yang ada hanyalah merupakan ekspresi estetika belaka? Kedua, bagaimana
dikaji, selanjutnya penulis akan menganalisis bagaimana hubungan struktur tari
dengan musik iringan tari ini dalam sebuah pertunjukan.
Keberadaan Galombang dalam upacara perkawinan adat Minangkabau di Kota Medan seperti terurai dalam latar belakang ini, dapat didekati dengan
pendekatan multidisiplin ilmu. Pertama adalah untuk mengkaji struktur tarinya
digunakan pendekatan-pendekatan ilmu antropologi tari.
Dimana yang dimaksud dengan antropologi tari atau disebut juga etnologi
tari dan etnokoreologi adalah sebagai berikut.
Ethnochoreology (also dance ethnology, dance anthropology) is the study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musicology (ethnomusicology), ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, ―the study of folk dance‖, as opposed to, say, the formalized entertainment of classical ballet. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of dances—the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture. The power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war (Blacking, 1984).
Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi
(juga disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari) adalah studi tari melalui
(etnomusikologi), etnografi, dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru,
yang secara harfiah berarti studi tentang tarian rakyat (sebagai lawan dari tari
hiburan yang diformalkan dalam bentuk balet klasik). Dengan demikian,
etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif baru dalam dunia akademis untuk
mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya. Dalam konteks tersebut para
ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian yang mencakup gerak,
musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai belahan dunia ini, tetapi
juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu masyarakat, serta sejarah
budaya tari dari suatu komunitas. Tari bukan hanya representasi statis sejarah,
bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan makna setiap kali tari itu
dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya, tetapi merupakan bagian
yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya. Kekuatan tari terletak
pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses pembentukan rasa
dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan wujud sosialnya.
Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini dilakukan oleh penari
yang berhubungan dengan kelompok bangsa dan budayanya. Tarian etnik
dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk membawa
keberuntungan dalam damai atau perang.
Selanjutnya yang kedua untuk mengkaji struktur musik iringan penulis
menggunakan disiplin etnomusikologi. Seperti yang penulis ketahui dari pakar
etnomusikologi yaitu Merriam yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai
berikut.
musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).5
Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi
membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu
dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan
etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan
masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang
unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung
kedua disiplin tersebut.
Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari
bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi
5Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini,
menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri.
Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai
suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral
dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa sarjan
dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung
untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran yang
mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi
musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini, penekanan
etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian
struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam
kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan
manusia yang lebih luas.
Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu
terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan
Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi
etnomusikologi ini tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode,
pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan
oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan
hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana
Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk
dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat
terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam
konteks kebudayaannya.
Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah
dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi
berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU)
Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah
mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam
buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat
di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemuakan 42 definisi
etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh
Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.6
Berdasarkan pemaparan yang penulis deskripsikan diatas sesuai fakta
lapangan dan latar belakang keilmuan, penulis memilih judul untuk penelitian ini,
sebagai berikut : ―Pertunjukan Galombang Dalam Konteks Upacara Baralek Pada
6
Buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi. Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a)
―Beberapa Definisi tentang ‗Musikologi Komparatif‘ dan ‗Etnomusikologi‘: Sebuah Pandangan
Historis-Teoretis,‖ (b) ―Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,‖ (c) ―Metode dan Teknik
Penelitian dalam Etnomusikologi.‖ Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk
Masyarakat Minangkabau Di Kota Medan : Analisis Hubungan Struktur Tari
Dengan Musik Iringan‖
1.2 Pokok Permasalahan
Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukan pokok permasalahan.
adapun masalah yang akan dibahas adalah:
(1) Bagaimana struktur tari pada Galombang disajikan dalam upacara
Baralek pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan?
(2) Bagaimana struktur musik iringan tari pada Galombang yang disajikan dalam upacara Baralek pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan?
(3) Bagaimana hubungan antara struktur tari dengan struktur musik
Galombang. Kajian ini akan melibatkan hubungan seperti apa yang terjadi di dalam tari dan musik.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Untuk menganalisis bagaimana struktur tari pada Galombang
(2) Untuk menganalisis bagaimana struktur musik irigan tari pada
Galombang yang disajikan dalam upacara Baralek pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan.
(3) Untuk menganalisis hubungan yang terkandung dalam aspek
struktur tari dengan aspek struktur musik dalam penyajian
Galombang pada upacara Baralek pada masyarakat Minangkabau di Kota Medan.
1.3.2 Manfaat penelitian
Manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam tesis ini
adalah:
(1) Menambah referensi tentang kesenian (khususnya Galombang) bagi lembaga-lembaga pendidikan agar dapat digunakan staf pengajar
kesenian sebagai bahan pembelajaran.
(2) Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa yang
bergelut dalam seni tari dan musik, agar dapat mengetahui
bagaimana penyajian Galombang dalam konteks upacara Baralek
pada perkawinan masyarakat Minangkabau.
(3) Sebagai bahan masukan bagi tim pengajar sendratasik (seni drama,
tari, dan musik) untuk menambah wawasan seni tradisional dan
kemudian dapat diajarkan kepada generasi yang baru.
(4) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menentukan
(5) Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik
mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian
Galombang.
(6) Penelitian ini akan bermanfaat untuk pengembangan seni-seni
tradisional dalam konteks dunia kepariwisataan di Sumatera Barat
dan Sumatera Utara pada khususnya dan di Indonesia secara umum.
1.4 Studi Kepustakaan
Dalam tahapan ini penulis mencari, mempelajari, dan menggunakan
literatur-literatur yang berhubungan dan dapat membantu pemecahan
permasalahan. Tujuan dari studi kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan
konsep-konsep, teori, serta informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
pembahasan atau penelitian, dan menambah wawasan penulis tentang kebudayaan
masyarakat Minangkabau yang diteliti yang berhubungan dengan kepentingan
pembahasan atau penelitian.
Sebelumnya tulisan ini pernah penulis angkat dalam penyelesaian skripsi di
jenjang S1, dalam judul ―Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Tari
Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan‖ (tahun 2013). Tulisan ini
penulis angkat lagi dalam penulisan tesis karena penulis telah meneliti dan
menganalisis lebih dalam lagi, penulis mendapat masih banyaknya kekurangan
hanya lebih pada pendeskripsian. Kedepannya penulis akan lebih menggali dalam
menganalisis penelitian ini, dan tidak hanya dengan kacamata satu sanggar saja.
Tulisan tentang tari Galombang ini pernah diangkat oleh Zulkifli, S. Kar., M.Hum dalam laporan penelitiannya dengan judul ‖Studi Komperatif Terhadap
Tari Penyambutan Tamu Dalam Masyarakat Melayu : Sumatera Barat, Riau,
Jambi, dan Palembang‖ (tahun 2003). Dalam tulisan ini membahas perbandingan
tari penyambutan di beberapa daerah sebagai fokus lokasi penulis. Di dalamnya
ada membahas tentang tari Galombang sebagai tari penyambutan di Sumatera Barat, pembahasan yang ditulis hanya memaparkan pengertian tari Galombang
dan bagaimana pertunjukan tari Galombang di sajikan dalam upacara Batagak Penghulu.
Galombang ini juga pernah di angkat dalam skripsi Wira Nofita (011034/ STSI Padang Panjang) dengan judul ―Estetika Pertunjukan Tari Galombang di Guguak Kanagarian Pariangan Kabupaten Tanah Datar‖ (tahun 2005). Dalam
tulisan ini penulisnya membahas bagaimana sisi estetika yang terkandung dalam
pertunjukan tari Galombang yang diciptakan masyarakat Guguak Kanagarian Pariangan dalam menyambut tamu khusus, baik dalam wujud, bobot dan isi,
penampilan, begitu juga struktur pertunjukannya.
Tentang tari ini juga pernah diangkat oleh Eka Meliya Yuliandes (030036/
STSI Padang Panjang) dalam skripsinya yang berjudul ―Pertunjukan Tari
Galombang dalam Upacara Batagak Penghulu Pada Masyarakat Koto Gadang Kabupaten Agam‖ (tahun 2009). Penulisannya membahas bagaimana pertunjukan
Gadang di Kabupaten Agam. Di dalamnya juga ada membahas sedikit tentang
musik pengiring tari nya, namun hanya membahas secara deskriptif dan lebih
kepada pemaparan alat musik apa saja yang digunakan. Kespesifikan struktur
musiknya tidak dibahas.
Dari ketiga penulisan yang penulis sebutkan di atas, memang membahas
pertunjukan Galombang sama halnya dengan background tulisan tesis ini. Namun, yang penulis baca penulisan-penulisan tersebut hanya memfokuskan pada bagian
tari. Tulisan tesis ini lebih mendalam dan lebih memfokuskan pada hubungan tari
dengan musik iringannya. Dari penulisan-penulisan sebelumnya tersebut penulis
belum menemukan ada yang menjelaskan bagaimana hubungan musik iringan
dengan tari Galombang ini. Penulis sangat terbantu untuk mendapatkan konsep-konsep dan teori yang digunakan penulis-penulis sebelumnya, begitu juga
menambah informasi dan wawasan penulis. Sehingga tulisan-tulisan sebelumnya
tersebut dapat membantu melengkapi tesis ini.
1.5 Konsep dan Teori 1.5.1 Konsep
Pertunjukan yang dimaksud disini adalah pertunjukan seni. Pertunjukan seni
adalah karya seni yang melibatkan aksi individu atau kelompok di tempat dan
waktu tertentu. Merupakan bentuk seni yang cukup kompleks karena adanya
gabungan antara berbagai bidang seni serta melibatkan unsur waktu, ruang, tubuh
Sebuah ungkapan budaya, wahana untuk menyampaikan nilai-nilai budaya
dan perwujudan norma-norma estetikartistik yang berkembang sesuai dengan
zaman, dan wilayah dimana bentuk seni pertunjukan itu tumbuh dan berkembang.
Dalam mengkaji seni pertunjukan dapat pula ditinjau dari perspektif sosial,
ekonomi, dan politik, suatu negara atau daerah dimana bentuk seni pertunjukan
tersebut tumbuh dan berkembang.7
Dalam hal ini pertunjukan Galombang ini merupakan karya seni yang melibatkan aksi kelompok pada perayaan upacara Baralek masyarakat Minangkabau. Galombang ini memiliki kesatuan komplek gabungan antara seni tari dan seni musik. Jika tari pada Galombang tidak diiringi dengan musiknya, maka tari ini tidak akan dapat berjalan, sama halnya dengan musik iringannya,
tanpa tari tidak akan dapat disebut musik Galombang. Karena tari dan musik ini merupakan satu set dalam pertunjukan Galombang. Galombang memiliki fungsi dengan tujuan menyampaikan pesan sosial, moral, dan etika kepada penonton
dalam pertunjukannya.
Tari adalah segala gerak yang berirama atau sebagai segala gerak yang
dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun kedua-duanya (Tengku
Luckman Sinar, 1996:5). Adapun unsur-unsur tari meliputi gerak (unsur pokok),
irama, penghayatan/ekspresi, tema, tata rias, tata busana, tata panggung
(tempat/tata ruang), waktu, dan tata lampu. Kesemua unsurnya memiliki fungsi
nya masing-masing dalam kesatuannya.
7
Dalam tulisan ini pengertian Galombang yang penulis tuju adalah salah satu jenis kesenian tradisional Minangkabau yang digunakan pada upacara Baralek
adat perkawinan. Pertunjukan tarian pada Galombang ini melibatkan 6 orang atau lebih penari, 2 pesilat, 2 orang pembawa carano dan payung kebesaran, dan 6
orang pemain musik. Gerakannya diambil dari gerakan-gerakan bungo silek
(bunga-bunga silat), dengan iringan musik dari alat musik tradisional
Minangkabau yang terdiri dari tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan puput serunai, dengan menggunakan lagu tempo Tigo Duo yang dimainkan oleh tujuh sampai delapan orang pemusik. Dikatakan musik iringan karena musik dalam
Galombang ini tidak selalu menggunakan lagu tempo Tigo Duo di setiap pertunjukan dari kelompok lain. Dapat dikatakan tidak ada kebakuan pada musik
dalam pertunjukan Galombang ini, sehingga setiap musik yang dipilih dikatakan musik yang mengiringi tarian dalam Galombang tersebut. Pertunjukan ini dilakukan di jalan terbuka, dengan mengenakan kostum tradisi Minangkabau yang
dikemas dengan adanya kreatifitas di dalamnya seindah mungkin, sehingga
menampilkan suatu keindahan untuk dipersembahkan bagi kedatangan marapulai
ke rumah anak daro.
Upacara adalah sistem aktivitas atau rangkaian atau tindakan yang ditata
oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan
berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang
bersangkutan (Koentjaraningrat, 1980:140).
Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain: upacara kelahiran,
Upacara umumnya memiliki nilai sakral oleh masyarakat pendukung kebudayaan
tersebut. Dalam pelaksanaannya upacara adat memiliki unsur-unsur: tempat
berlangsungnya upacara, waktu pelaksanaan upacara, benda-benda atau alat
upacara, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya (Koentjaraningrat, 1980:241).
Upacara adat yang dimaksud disini adalah serangkaian tindakan atau perbuatan
yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat sebagai penelusuran
jejak sejarah masyarakat Minangkabau yang dilakukan secara turun-temurun
dengan mengandung adanya unsur-unsur dalam pelaksanaannya yang berlaku di
di daerahnya.
Baralek di sini artinya adalah hari perkawinan anak daro dan marapulai
disandingkan di pelaminan. Merupakan tahapan akhir dalam tahapan-tahapan
upacara perkawinan pada adat masyarakat Minangkabau. Inilah tahapan perayaan
upacara perkawinan kepada keluarga besar dan tamu-tamu undangan.
Perkawinan dalam tulisan ini merupakan perkawinan yang ada pada
masyarakat manapun. Melibatkan aspek agama atau religi yang disahkan secara
adat maupun agama. ―Perkawinan adalah suatu peralihan yang terpenting pada
life-cycle dari semua manusia di seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat
hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga‖ (Koentjaraningrat, 1982:90).
Koentjaraningrat (1982) menambahkan, dipandang dari sudut kebudayaan
manusia, maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang berkaitan
dengan kehidupan seksnya, menurut pengertian masyarakat, perkawinan
sembarang wanita lain, tetapi hanya dengan wanita yang sudah disahkan sebagai
istrinya.
Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Kebahagian dalam rumah tangga sebagai tujuan perkawinan tercermin
dari kesejahteraan lahir bathin yang dirasakan oleh segenap anggota keluarga,
baik suami, istri dan anak-anak mereka serta orang tua maupun mertua.
Menurut Keesing (dalam Imron 2005:2) bahwa perkawinan berfungsi untuk
(a) mengatur hubungan seksual, (b) menentukan kedudukan sosial
individu-individu dan keanggotaan mereka dalam kelompok, (c) menentukan hak-hak dan
kepentingan-kepentingan yang sah, (d) menghubungkan individu-individu dengan
kelompok-kelompok kekerabatan di luar kelompoknya sendiri, (e) menciptakan
unit-unit ekonomi rumah tangga, dan (f) merupakan instrumen hubungan politik
antar individu dan kelompok.
Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan
antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan maksud mendapatkan
keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga,
tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat
dari pihak istri dan dari pihak suami (Hadikusuma, 1995:70). Menurut beberapa
konsep di atas dapat di tarik suatu pengertian bahwa perkawinan adalah tahapan
pria dan wanita dalam ikatan yang sah yang diatur oleh undang-undang dan
hukum adat yang berlaku.
―Perkawinan adat adalah merupakan upacara perkawinan menurut tata cara
aturan adat tertentu‖(Ariyono Suyono, 1985 : 315). Dalam adat budaya
Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus
kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang sangat penting dalam membentuk
kelompok kecil keluarga baru yang melanjutkan keturunan. Bagi kaum laki-laki
Minang, perkawinan juga merupakan proses untuk masuk lingkungan baru di
pihak keluarga isterinya. Sedangkan bagi keluarga pihak isterinya, menjadi salah
satu proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah gadang mereka.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, memiliki
beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang),
manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang
(bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan
manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid, sebelum kedua
pengantin bersanding di pelaminan.
Istilah masyarakat dalam penulisan judul memiliki arti seperti yang
dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1993:106-107), yaitu sebagai asosiasi
manusia yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu yang terbatas sifatnya,
sehingga direncanakan pembentukan organisasi-organisasi tertentu. Selain itu
Soerjono Soekanto menambahkan bahwa istilah masyarakat sangat erat kaitannya
sebagainya. Oleh karena itu, maka pengertian masyarakat tidak mungkin
dipisahkan dari kebudayaan dan kepribadian.
Masyarakat Minangkabau adalah salah satu etnis Negara Republik
Indonesia yang berada di Pulau Sumatera bagian barat, yang biasa disebut dengan
Provinsi Sumatera Barat dalam sistem pemerintahan. Dalam ratusan bahkan
ribuan tahun masyarakat Minangkabau telah bertumbuh, berkembang, dengan
memelihara nilai-nilai budaya mereka dalam satu wilayah yang dikenal dengan
alam Minangkabau. Istilah Minangkabau mengandung pengertian kebudayaan di
samping makna geografis. Ada suku ―bangsa Minangkabau‖, ada kebudayaan
Minangkabau, tetapi tidak ada bangsa Sumatera Barat ataupun kebudayaan
Sumatera Barat (Mansoer, MD, 1970:2).
Masyarakat Minangkabau yang penulis maksud di sini, adalah masyarakat
yang telah lama ada di Kota Medan, serta masyarakat Minangkabau yang telah
melakukan perpindahan dari daerah asalnya dan menetap ke Kota Medan dengan
membawa kebiasaan mereka, adat istiadat, tingkah laku, budaya, serta tradisi
mereka. Perpindahan tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti halnya
faktor ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Seperti yang juga dikemukakan oleh
Koentjaraningrat (1986:160), bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup yang
berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh
rasa identitas bersama.
Dalam penulisan ini, kata analisis yang dimaksud adalah proses kajian
terhadap sesuatu hingga mampu memecahkan dan menguraikan menjadi
Kata hubungan yang penulis maksud adalah adanya suatu keterikatan antara
satu aspek dengan aspek yang lain yang saling berkesinambungan. Dalam tulisan
ini penulis melihat adanya aspek tari memiliki hubungan erat dengan aspek musik,
sebab dalam Galombang ini prosesnya adalah tari mengikuti musik. Tari tidak akan dapat berjalan sesuai kaidahnya jika tidak ada musiknya, dan tari pun tidak
akan tampak keindahannya.
Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud dengan kata struktur,
yaitu struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu berhubungan satu
dengan yang lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Dalam hal ini,
struktur yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah bagian-bagian yang
melengkapi tari pada Galombang dalam pertunjukannya, dan tahapan-tahapan dari pola-pola gerakan, dengan kata lain yang berarti ragam-ragam yang ada dalam
tarian Galombang. Identifikasi suatu struktur tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagian-bagiannya dan hubungan mereka. Dalam tulisan ini penulis
menyatakan pola berarti gerakan-gerakan yang terkandung dalam tiap-tiap ragam
yang terbentuk.
Jadi dalam hal ini struktur dan pola sangat berhubungan, yakni bagaimana
bagian-bagian dari gerakan tari saling berhubungan sehingga disatukan dan
adanya bentuk atau model (suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat
atau untuk menghasilkan suatu tari. Khususnya jika tari yang ditimbulkan cukup
mempunyai suatu tari yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau
1.5.2 Teori
Dalam menulis, penulis berpegang pada beberapa teori yang berhubungan
dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan. Teori yang
dimaksud sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1977:30), yaitu bahwa
pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta
pengalaman kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh
pengertian tentang suatu teori-teori yang bersangkutan.
Untuk mengkaji sebuah fenomena alam fisik atau sosial, dengan latar
belakang masalah tertentu, ada yang relatuf sederhana ada pula yang kompleks,
maka ilmuan biasanya menggunakan teori-teori.
Menurut pendapat Marckward et al., teori memiliki tujuh pengertian, yaitu: (1) sebuah rancangan atau skema yang terdapat dalam pikiran saja, namun berdasar pada prinsip-prinsip verifikasi dengan cara eksperimen atau pengamatan; (2) sebuah bentuk prinsip dasar ilmu pengetahuan atau penerapan ilmu pengetahuan; (3) abstrak pengetahuan yang selalu dilawankan dengan praktik; (4) penjelasan awal atau rancangan hipotesis, sebagai ide atau yang mengarahkan seseorang; (5) spekulasi atau hipotesis, sebagai ide atau yang mengarahkan seseorang; (6) dalam matematika berarti sebuah rancangan hasil atau sebuah bentuk teorema, yang menghadirkan pandangan sistematis dari beberapa subjek; dan (7) ilmu pengetahuan tentang komposisi musik, yang membed-kannya dengan seni yang dilakukan atau seni yang dieksekusi (Marckward et al. 1990:302)
Dengan demikian jelaslah bahwa yang dimaksud teori itu biasanya
mengandung pengertian dalam tahapan yang abstrak. Teori mengarahkan ilmuan
untuk melakukan kerjanya dalam menganalisis permasalahan keilmuan yang
ditemuinya. Dalam pelaksanaannya, terutama untuk mencapai tujuannya,
penelitian ini menggunakan sejumlah perangkat teori, prinsip pendekatan dan
Landasan teori ini akan difungsikan untuk mempertajam analisis untuk
mengembangkan kepekaan atas fenomena di dalam keberadaan Galombang dalam masyarakat Minangkabau. Dengan demikian di dalam penelitian ini tidak
dimaksudkan untuk menguji maupun membuktikan suatu teori, melainkan sebagai
alat untuk memaknakan realitas dan data yang tengah dihadapi dan dikaji agar
mampu menganalisis dengan penuh kritik (Strauss, 1990: 23, Hadi 2006: 50).
Adapun penelitian Pertunjukan Galombang Pada Upacara Baralek masyarakat Minangkabau Di Kota Medan : Analisis Hubungan Struktur Tari Dengan Musik
Iringan, dengan menggunakan pendekatan strukturalisme, yang diambil dari
struktur gerak tari oleh Kaepleer.
Menurut Budiman (1999: 111-112), strukturalisme adalah cara berpikir
tentang dunia yang secara khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai
struktur, yaitu di dalamnya akan menitikberatkan pada usaha mengkaji fenomena
seperti mitos, ritual, relasi-relasi kekerabatan dan sebagainya. Disamping itu,
strukturalisme memandang beberapa dokumen sebagai obyek fisik aktual atau
tersusun secara konkrit, sebagai ―teks‖, fenomena teoritis yang dihasilkan oleh
definisi-definisi dan operasi-operasi teoritis (Foucoult, 1973: 47).
Strukturalisme berusaha untuk mengidentifikasi elemen-elemen menyeluruh
melalui prosedur-prosedur sistematis, dimana metode analisis adalah strukturalis
ketika makna, menurut obyek yang dianalisis, diambil bergantung pada susunan
bagian-bagiannya. Strukturalisme pada esensinya adalah sebuah metode
komparatif, sebab strukturalisme berusaha menemukan isomorfim dalam dua atau
secara analitis, mereka dapat digabungkan, digabungkan ulang, dan
ditransformasikan untuk menciptakan model-model baru.
Penjelasan struktural berusaha untuk mengidentifikasi dan menyusun
unit-unit dalam sebuah sistem untuk menemukan hubungan atau pola ―yang lebih
mendalam‖ yang mendasar suatu kejadian atau serangkaian kejadian. Penjelasan
berusaha untuk menyelidiki fenomena yang mendasar aturan-aturan,
prinsip-prinsip, atau konvensi yang menghasilkan makna permukaan. Menurut teori,
strukturalisme bekerja dengan sistem makna tertutup yang elemen-elemennya
dapat diperoleh dan dipisahkan menurut beberapa prinsip atau aturan. Dengan
demikian fenomena-fenomena semacam itu dapat dipahami sebagai sistem
penandaan atau simbol yang terbuka untuk dikaji.
Andrienne Kaeppler Gyorgy Martin dan Erno Pesovar meneliti tarian
dengan tujuan untuk pendokumentasian. Hasil penelitiannya berupa
pengklasifikasian gerak. Berpijak dari hasil penelitian tersebut, Andrienne
Kaeppler menyusun sebuah teori struktur gerak tari dengan menganalogikan gerak
tari sebagai struktur bahasa atau sebanding dengan fonem dalam bahasa. Dalam
analisis struktural tari itu pada tingkat pertama Kaeppler menyebut unsur atau
elemen kinetic (gerak); tingkat kedua menggunakan istilah kinemic atau,
morphokinemic, yaitu berdasarkan gerak yang sudah dikenal, artinya unit terkecil
yang rnemiliki makna dalam struktur sebagai sistem gerak; tataran atau tingkat
ketiga dengan istilah, motifs, yaitu mengkombinasikan unit-unit terkecil dengan
atau terakhir dalam organisasi gerak tari itu disebut struktur tari secara utuh (lihat
Royce, 1977: 64-85, Hadi, 2007: 81-84).
Bandingkan teori Kaeppler tersebut dengan teori strata dari Rene Wellek,
yang menyatakan bahwa sesungguhnya karya sastra itu terdiri dari struktur norma
yang berlapis-lapis yang di sebut strata. Lapisan norma yang di atas,
menyebabkan lapisan, norma yang di bawahnya. Lapisan norma yang pertama
adalah lapisan bunyi (sound stratum), lapisan bunyi ini menimbulkan lapisan norma kedua yang disebut arti (unit of meaning), pada lapis kedua ini, tiap-tiap kata tunggal mempunyai makna sendiri yang kemudian bergabung di dalam
konteks yang melahirkan frase dan selanjutnya melahirkan pola-pola kalimat.
Lapisan kedua ini menimbulkan, lapisan ketiga (di bawahnya) yang disebut dunia
ciptaan seorang pengarang (Wellek, 1956: 151-153).
Fenomena tari dapat dilihat sebagai fenomena kebahasaan karena
keberadaan tari pada dasarnya adalah ekspresi, perwujudan, atau simbolisasi dari
pandangan atau perasaan-perasaan manusia. Pandangan dan perasaan ini ingin
dikomunikasikan, disampaikan kepada orang lain (penonton). Jadi pertunjukan
tari sebenarnya adalah juga wahana komunikasi seperti bahasa. Suatu tarian dapat
dijelaskan sebagai suatu totalitas dimana elemen-elemen strukturalnya
mempunyai pola tata urutan tertentu sesuai dengan konteks budayanya.
Sebagai materi baku dan paling mendasar di dalam tari adalah gerak. Gerak
tersebut dipergunakan sebagai media untuk mengungkapkan ekspresi dan
mediumnya adalah tubuh manusia. Ungkapan ekspresi melalui gerak tersebut
simbul-simbul. Karena simbol-simbol ini berupa gerak, maka di dalam konteks
koreografi, gerak merupakan sesuatu yang sangat esensial. Sedangkan
perwujudan simbol-simbol merupakan kemanunggalan dari pola imajinasi
manusia dengan kenyataan indrawi atau kasat mata. Gerak dapat berfungsi tidak
saja karena koordinasi berbagai factor, tetapi juga karena fungsi ritmis dari
struktur tubuh. Atas dasar gerak-gerak alamiah yang tidak perlu dilatih, gerak tari
berkembang menuju bentuk perwatakannya dan nilai ekspresifnya.
Dalam struktur gerak tari, gerak dibaca sebagai teks, yang memiliki tataran
hirarki sebagaimana strutur bahasa. Tataran yang tertinggi dalam hirarki struktur
kebahasaan dapat dikatakan sebagai bentuk atau wujud karangan. Identik dengan
itu, struktur teks tari tersusun dari gerak yang diwujudkan untuk menghasilkan
―bentuk‖ secara keseluruhan? Kata ―bentuk‖ dipakai oleh semua cabang seni
untuk menerangkan sistem di dalam kehadiran cabang seni. Gagasan atau emosi
menjadi terwujud jika dikomunikasikan lewat bentuk. Bentuk adalah aspek estetis
yang dikomunikasikan dan dilihat secara visual oleh penonton. Penonton tidak
melihat elemen-elemennya tetapi melalui kesan yang mengikat secara
menyeluruh. Hal ini relevan khususnya buat seni waktu seperti musik, teater, dan
tari.
Bentuk sesungguhnya dapat didefinisikan sebagai hasil pernyataan berbagai
macam elemen yang didapatkan secara kolektif melalui vitalitas estetis. Dengan
demikian hanya dalam pengertian inilah elemen-elemen tersebut dihayati
keseluruhan menjadi lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya. Proses penyatuan
sesuatu yang dapat dibedakan dari materi yang ditata (Smith, 1985: 6). Bentuk tari
merupakan hasil keseluruhan di dalam koreografi. Dengan demikian, bentuk
adalah wujud dari rangkaian-rangkaian gerak atau pengaturan laku-laku. (Elfeldt,
1967). Rangkaian-rangkaian gerak yang dimaksud adalah keselarasan hubungan
antara motif gerak satu dengan motif gerak yang lainnya, secara hirarkis atau
susunan yang berjenjang (Wido, 1992: 9).
Dalam meneliti gerak tari tersebut, penulis akan mendiskripsikan bagaimana
uraian mengenai ragam gerak, pola lantai, motif gerak, frase gerak, bentuk tari,
hitungan tari, busana tari, properti tari, dan hal-hal sejenis yang berkait dengan
keberadaan tari sebagi produk manusia Minangkabau dalam konteks adatnya.
Struktur dan pola gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari Galombang yang nantinya juga penulis akan menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana
yang penulis buat sendiri yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang.
Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun
dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaiannya dengan ruang,
sinar, warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian
seni tari yang disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dalam hal ini yang dimaksud koreografi adalah gerakan-gerakan yang dilakukan para penari pada
upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Memiliki ciri-ciri khas tertentu
dari bentuk tarian etnik lain yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya dan
penontonnya. Gerakan-gerakannya terpola didalam aturan-aturan adat dan nilai
keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna
Musik dan tarian merupakan fenomena yang berbeda, tetapi dapat
bergabung apabila terdapat aspek yang sama mengkoordinasikannya. Menurut
Pringgobroto, musik adalah rangkaian ritmis nada, sedangkan tarian adalah
rangkaian ritmis dan pola gerak tubuh (dalam Wimbrayardi, 1988:13-14). Musik
merupakan fenomena audio (bunyi) yang tidak terlihat, dan tari merupakan
fenomena audio (bunyi) yang tidak terdengar. Baik musik dan tari bergerak di
dalam ruang dan waktu (Sachs 1993:1-4 dan Blacking 1985:64-74) serta dapat
dirasakan melalui getaran yang dihasilkannya. Aspek dasar yang menghubungkan
keduanya adalah waktu, yaitu gerak ritmis (musik dan tari) dan tempo.
Untuk mengkaji struktur musik iringan tari Galombang ini, dibahas dengan uraian mengenai struktur melodi dan ritem yang dihasilkan alat pembawa melodi
dan ritem dalam konteks mengiringi tari Galombang ini. Melodi dibawa oleh alat musik serunai. Sementara ritem dibawa secara interloking oleh talempong pacik, yang diiringi pola-pola ritem gandang tambua dan tasa. Untuk melodi penulis akan menggunakan teori bobot tangga nada (weighted scale) yang ditawarkan oleh Malm (1977). Dianalisis melalui 8 struktur melodinya yaitu: (1) tangga nada,
(2) wilayah nada, (3) nada dasar, (4) interval, (5) jumlah nada-nada yang
digunakan, (6) formula melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kontur (garis
melodi).
Dalam mengkaji hubungan tari dan musik nantinya penulis akan
menggambarkan musiknya secara umum dan sederhana lewat tabel bersama gerak
tarinya yang penulis buat sendiri yang dapat mewakili hubungan tari dan musik
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Untuk meneliti tari Galombang pada upacara perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan ini, penulis
menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh Kirk Miller dalam Moleong (1990:3) yang mengatakan: ―Penelitian kualitatif
adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya.‖
Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu: tahap sebelum ke
lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan penulisan laporan. Pada tahap pra
lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan
sebelum turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini disusun
rancangan penelitian ini, menjajaki atau menilai keadaan lapangan, memilih
informan, perlengkapan penelitian, dan etika penelitian.
Selanjutnya pada tahap pekerjaan di lapangan seorang peneliti untuk
mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan
alat bantu yaitu Handycam merk Sony, kamera digital merk Casio, dan catatan
lapangan. Pengamatan langsung (menyaksikan) upacara perkawinan masyarakat
Minangkabau di Kota Medan.
Sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam
biasanya terdiri dari mereka yang terpilih saja karena sifat-sifatnya yang khas.
Biasanya mereka telah mengetahui informasi yang dibutuhkan, dan wawancara
biasanya berlangsung lama.
Dalam tahap menganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah
terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman, dan
sebagainya ke dalam suatu pola atau kategori. Sebagai hasil akhir dari
menganalisis data adalah membuat laporan yang dalam hal ini adalah penulisan
tesis.
1.6.1 Penelitian lapangan
Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis berpedoman
kepada tulisan Harsja W. Bachtiar dan Koentjaraningrat dalam buku Metode-metode penelitian masyarakat. Dalam buku ini tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data dilakukan melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan:
(1) Observasi (pengamatan), dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan
langsung, hal ini sesuai dengan pendapat Harja W. Bachtiar (1990:114-115),
bahwa seorang peneliti harus melihat langsung akan kegiatan-kegiatan dari
sasaran penelitiannya dalam mendapatkan data-data di lapangan, maka pengamat
menghadapi persoalan bagaimana cara ia dapat mengumpulkan keterangan yang
diperlukan tanpa harus bersembunyi, tetapi juga tidak mengakibatkan perubahan
Mengacu pada teori di atas penulis mengumpulkan keterangan yang
diperlukan dengan cara mengamati sasaran penelitian, misalnya tentang jalannya
tari Galombang pada upacara, sarana yang dipergunakan, pelaku, dan masalah-masalah lain yang relevan dengan pokok permasalah-masalahan, dan dalam pengamatan,
penulis juga melakukan pencatatan data-data di lapangan sebagai laporan hasil
pengamatan penulis. Dalam hal ini penulis terlebih dahulu mendapat ijin dari
pihak panitia upacara.
(2) Wawancara, dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta
pendirian-pendirian mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi.
Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi secara
lisan dari para informan. Untuk ini penulis mengacu pada pendapat
Koentjaraningrat (1990:129-155) yang membagi tiga kegiatan wawancara yaitu :
persiapan wawancara, teknik wawancara, dan pencatatan data wawancara.
Sedangkan wawancara terdiri dari wawancara terfokus, wawancara bebas, dan
wawancara sambil lalu.
Dalam wawancara terfokus, pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu
tetapi selalu terpusat kepada pokok permasalahan lain. Wawancara sambil lalu,
sifatnya hanya untuk menambah data yang lain. Dalam mengumpulkan data,
penulis menggunakan ketiga wawancara ini serta terlebih dahulu membuat daftar
pertanyaan dan mencatat secara langsung data-data yang diperlukan.
(3) Perekaman, dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan 2 cara,
menggunakan handycam merk Sony mini DVD. Perekaman ini sebagai bahan
analisis tekstual dan musikal. (b) Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk
gambar digunakan kamera digital merk Casio. Pengambilan gambar dilakukan
setelah terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak pelaksana dan pihak yang
bersangkutan.
1.6.2 Kerja laboratorium
Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah
didapat dari lapangan. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun
bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan
penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian
dan selanjutnya dianalisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan
penganalisaan disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.
Untuk menyajikan aspek kebudayaan, penulis mengacu dari antropologi,
aspek struktur musik dari musikologi, dan juga unsur sosial lainnya (sesuai
dengan keperluan pembahasan ini), sebagaimana ciri Etnomusikologi yang
inter-disipliner dan keseluruhannya dikerjakan di dalam laboratorium Etnomusikologi),
sehingga permasalahannya yang merupakan hasil laporan penelitian yang disusun
dalam bentuk tesis. Jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka penulis
melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini
dilakukan berulang-ulang.
Tesis ini nantinya ditulis dalam bab demi bab. Setiap bab secara saintifik
dianggap memiliki isi yang berkaitan. Setiap bab akan dibagi menjadi sub-sub
bab. Secara keseluruhan tesis ini dibagi ke dalam tujuh bab, dengan perincian
sebagai berikut.
Pada bab I yang merupakan pendahuluan, akan diisi oleh uraian mengenai
latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian
(dirinci menjadi tujuan penelitian serta manfaat penelitian), studi kepustakaan,
konsep dan teori, metode penelitian (yang diperinci lagi menjadi penelitian
lapangan, dan kerja laboratorium), lokasi penelitian, serta sistematika penulisan
ini.
Bab II adalah tinjauan umum masyarakat Minangkabau dan sanggar –
sanggar yang ada di kota Medan khusus menggeluti kesenian Minangkabau. Bab
ini terdiri dari delapan su bab, yaitu: asal-usul masyarakat Minangkabau,
masuknya masyarakat Minangkabau di Kota Medan, organisasi sosial masyarakat,
sistem mata pencaharian, sistem agama dan kepercayaan, sistem kekerabat, sistem
kesenian, dan penjelasan tentang beberapa sanggar yang menjadi sampel.
Bab III berisikan tentang pertunjukan Galombang pada upacara Baralek
Minangkabau. Bab ini terdiri dari sub-sub bab: asal usul Galombang, Makna
Galombang, Galombang di kota Medan, perkawinan pada masyarakat Minangkabau, jalannya pertunjukan Galombang pada upacara perkawinan masyarakat Minangkabau di kota Medan, tempat dan waktu
pengguna), perlengkapan pertunjukan (lapangan, alat musik yang digunakan) dan
fungsi nya.
Bab IV tentang struktur tari Galombang, musik iringan, dab sedikit membahas fungsi nya. Sub bab nya adalah: struktur tari Galombang ,ragam dan pola gerak, pola lantai, kostum (kostum penari perempuan, dan kostum penari
laki-laki), tata rias, makna gerak, struktur musik, analisis musik, model notasi
(tasa, ensambel talempong pacik, melodi puput serunai dan strukturnya (tangga
nada, nada dasar ,wilayah nada, frekuensi pemakaian nada, jumlah interval,
formula melodik, pola kadens, kontur).
Bab V tentang analisis hubungan struktur tari dan musik iringan
Galombang. Adapun sub-sub bab nya : Hubungan seni tari dengan seni musik, pengolahan musik dalam iringan tari, kesepahaman ide dan kebersamaan dalam
proses berkarya, hubungan tari Galombang dengan musik iringannya, dimensi waktu, dimensi ruang.
Terakhir pada bab VI merupakan bagian penutup. Berisikan kesimpulan dan
saran. Bab ini dibagi lagi menjadi kesimpulan dan beberapa saran dalam konteks