• Tidak ada hasil yang ditemukan

PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA MEDAN"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN STRUKTUR TARI, MUSIK IRINGAN, DAN FUNGSI TARI

GALOMBANG YANG DIPERTUNJUKAN SANGGAR TIGO SAPILIN

PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA O

L E H

RENY YULYATI BR. LUMBANTORUAN NIM: 090707016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

HUBUNGAN STRUKTUR TARI, MUSIK IRINGAN, DAN FUNGSI SOSIAL

TARI GALOMBANG YANG DIPERTUNJUKAN SANGGAR TIGO SAPILIN

PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA

Nama: RENY YULYATI BR. LUMBANTORUAN NIM : 090707016

Disetujui oleh

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari, M.hum., Ph.D Arifni Netrirosa, SST., M.A. NIP 196512211991031001 NIP 196502191994032002

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam

bidang ilmu Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(3)

PENGESAHAN

DITERIMA OLEH:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya< Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP

Panitia Ujian: Tanda Tangan

1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D ( )

2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( )

3. Arifninetrirosa, SST., M.A. ( ) 4. Drs. Fadlin, M.A. ( )

(4)

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

(5)
(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia sebagai makhluk individu memiliki berbagai kelebihan alamiah yang dianugerahkan oleh Tuhan. Selain itu, manusia biasanya membentuk kelompok sosial berdasarkan berbagai persamaan dan tujuan. Kelompok manusia bisa saja berbentuk keluarga inti, keluarga luas, etnik, kelompok profesi, ras, bangsa, dan seterusnya. Dalam konteks ini, manusia selalu ingin melanjutkan peradabannya dan generasi keturunannya. Kesinambungan generasi ini penting agar manusia tidak musnah di muka bumi. Oleh karena itu, manusia dianugerahi Tuhan untuk meneruskan keturunan ini melalui hubungan perkawinan yang diatur oleh norma-norma agama dan adat. Perkawinan dalam masyarakat tertentu tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma adat.

(7)

antara laki-laki dan perempuan yang sehat jiwa dan raganya, disahkan agama, berhubungan suami-isteri, atas berkat Tuhan akan menghasilkan generasi manusia. Agar generasi yang baru ini menjadi pintar, sehat, saleh, dan menjadi rahmat kepada orang lain dan lingkungan sekitar, maka diperlukan pendidikan, baik pendidikan agama atau ilmu lainnya.

Seorang pakar antropologi Eropa, Gough (1959) melihat perkawinan, di sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adat-istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang dapat diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi yang universal, Goodenough memusatkan pemikirannya kepada hak atas seksualitas wanita yang diperoleh berdasarkan kontrak sosial.

Perkawinan adalah satu transaksi yang menghasilkan satu kontrak, yaitu seorang (laki-laki atau perempuan, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil, memiliki hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang perempuan secara seksual – hak ini memiliki keutamaan atas hak menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap perempuan tersebut, sampai hasil transaksi itu berakhir dan perempuan yang bersangkutan dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13).

(8)

perempuan. Di Himalaya sebagai contoh, poliandri dilakukan kerana tujuannya mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar, sementara lahan pertanian terbatas luasnya. Dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam praktik demikian sangat dilarang. Begitu juga hubungan incest yaitu antara kerabat kandung. Semua ini adalah aturan Tuhan untuk makhluk manusia ciptaan-Nya agar manusia menjadi rahmat kepada alam, bukan merusak alam, atau generasi keturunannya.

Setiap agama juga memiliki konsep yang berbeda-beda tentang perkawinan. Agama Kristen (Protestan dan Katholik) secara umum hanya membenarkan seorang laki-laki kawin dengan satu perempuan. Namun demikian, beberapa sekte agama Kristen (misalnya Mormon di Amerika Serikat) membenarkan perkawinan poligami. Dalam Islam, sesuai dengan panduan Al-Qur’an seorang pria Islam bisa kawin dengan sebanyak-banyaknya empat perempuan, tetapi ada syaratnya yaitu adil. Allah mengingatkan bahwa jika seorang lelaki muslim tidak dapat berlaku adil kepada isteri-isterinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi pembelajaran ayat ini adalah bahwa Allah menciptakan lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Agar perempuan-perempuan mendapat suami, maka tentu saja secara umum harus ada laki-laki yang beristeri lebih daripada satu untuk melakukan respon terhadap kenyataan jenis kelamin ini yang penuh dengan rahasia Tuhan. Dalam realitasnya, di negara-negara Islam mayoritas rakyatnya kawin secara monogami.

Upacara perkawinan hanyalah salah satu rangkaian dari sejumlah upacara siklus hidup dan sesudah meninggalnya manusia. Siklus hidup manusia biasanya dimulai dari sejak janin, lahir, akil baligh atau dewasa, khitan, perkawinan, memiliki anak, memasuki keorganisasian, kematin, pasca kematian, dan seterusnya.

(9)

manusia. Sedangkan guna perkawinan di antaranya adalah: memuaskan nafsu biologis manusia, menerima dan memberi kasih sayang kepada pasangan hidup, membina keluarga, menyatukan dua keluarga besar, dan sebagainya. Dalam hal ini, agama memegang peran utama dalam upacara perkawinan. Pengabsahan perkawinan selalu melibatkan para pemuka agama pada semua agama di dunia. Ritual perkawinan melibatkan aspek adat dan agama sekali gus. Demikian juga yang terjadi pada masyarakat Minangkabau.

Minangkabau merupakan salah satu suku (etnik) yang wilayah budayanya yang lazim disebut dengan Ranah Minang. Minangkabau dikenal sebagai salah satu bentuk kebudayaan di Pulau Sumatera. Masyarakat Minangkabau menerapkan sistem matrilineal, dimana garis keturunannya berdasarkan garis keturunan ibu.

Masyarakat Minangkabau, di dalam melaksanakan tata cara adat perkawinan, menunaikan dua norma penting. Pertama adalah perkawinan menurut adat, dan kedua, menurut agama (syarak). Dalam tata cara perkawinan menurut adat, maka akan diadakan penganugerahan kedudukan kepada mempelai perempuan. Hal ini dilakukan semata-mata karena sistem kemasyarakatan Minangkabau menganut sistem matrilineal (garis keturunan dari pihak ibu).1 Selanjutnya, perkawinan baru

1

(10)

dianggap sah bila telah dilakukan upacara perkawinan sesuai agama. Sesudah pelaksanaan kedua fase tersebut biasanya upacara perkawinan dilanjutkan dengan upacara baralek, yaitu upacara perayaan terhadap perkawinan yang sudah dilaksanakan.

Partisipan baralek melibatkan ninik mamak (paman), sanak saudara, termasuk pemimpin nagari (wilayah adat Minangkabau) (A.A. Navis, 1986:197-198). Dalam mengawali upacara baralek ini ditampilkan pertunjukan tari Galombang, yaitu suatu tari yang mengekspresikan suasana sukacita pihak keluarga anak daro (pengantin perempuan) akan kedatangan marapulai (pengantin laki-laki) dan keluarganya.2

Tari Galombang adalah salah satu jenis tarian masyarakat Minangkabau yang sudah mereka praktikkan di dalam kegiatan kehidupan sehari-hari jauh sebelum masa kemerdekaan bangsa Indonsesia. Dari tradisi lisan mereka ini dapat diketahui bahwa bahwa tari Galombang berkembang dan terintegrasi menjadi bagian adat istiadat Minangkabau yang mengakar di masyarakat tersebut. Bahkan hingga dewasa ini penyajian tari Galombang masih bertahan dan sangat lazim disajikan pada saat pesta perkawinan di kalangan anggota masyarakat Minangkabau, baik di kampung halaman mereka di Sumatera Barat, maupun di kota Medan, yaitu salah satu kota tujuan merantau3 masyarakat Minangkabau di Indonesia.

Tari Galombang, dalam konteks praktik adat istiadat ditampilkan untuk menyambut kedatangan marapulai beserta keluarganya oleh anak daro. Pada

yang mendasarkan penarikan garis keturunan baik dari pihak ibu maupun ayah. Adat yang seperti ini disebut dengan bilateral.

2

Baca skripsi Hery Gunawan “Analisis Musik Galombang Pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.” Medan: Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, tahun 2011.

3

(11)

penyambutan itu, marapulai akan dipayungi dengan payung kebesaran dengan simbol kebesaran suatu upacara sebagai penghormatan. Sesuai adat, seseorang yang ditunjuk oleh keluarga anak daro untuk memberikan suguhan daun sirih, pinang, dan gambir, yang disajikan di dalam carano4 diberikan kepada marapulai sebagai wakil dari rombongan setelah tari Galombang di sajikan dan marapulai di payungi dengan payung kebesaran. Suguhan tersebut juga biasanya disuguhkan kepada kedua orang tua dan keluarga marapulai. Suguhan yang disuguhkan wajib diterima, sebagai tanda kerendahan hati dan keikhlasan yang tulus untuk menjalin silahturahmi.

Dalam praktik tari Galombang, komposisi penari biasanya terdiri dari enam atau lebih penari. Umumnya, semakin banyak penarinya semakin terlihat bagus, karena memberikan lebih banyak kemungkinan untuk menyusun pola lantai tarian tersebut. Namun demikian, bisa saja semua penari adalah perempuan saja, bisa juga campuran dengan laki-laki, yaitu beberapa penari perempuan dan beberapa lagi penari laki-laki. Dalam konteks penyajian saat upacara berlangsung, para penari diposisikan di sepanjang jalan menuju tempat upacara, menghadap ke arah datangnya marapulai dan para tamu.

Dari pengamatan di lapangan yang penulis lakukan,5 ada beberapa catatan penting tentang penyajian tari Galombang. Pertama, penari perempuan selalu mengenakan baju kuruang (baju kurung), selayaknya busana adat Minangkabau, sementara di bagian kepala penari diberi aksesoris sesuai kesepakatan bersama para penari. Biasanya aksesoris yang dipilih adalah tengkuluk (hiasan kepala perempuan yang berbentuk runcing dan bercabang), magek (hiasan kepala dari kain sejenis

4

Wadah yang terbuat dari kuningan berbentuk bulat serta dipenuhi ukiran yang umumnya terdapat ukiran itiak pulang patang (itik pulang petang), menjadi tempat untuk menaruh sirih, pinang, dan gambir yang digunakan dalam berbagai upacara adat.

5

(12)

sarung yang dibentuk seperti bunga), ataupun sunting. Kedua, penari laki-laki selalu mengenakan guntiang Cino (baju longgar), sarawa galembong (celana longgar), dan deta (ikat kepala). Warna pakaian yang dikenakan bervariasi mulai dari warna merah, hitam, kuning, dan biru. Catatan berikutnya adalah bahwa dalam menarikan tari Galombang, gerakan tariannya diambil dari gerakan bungo silek, yaitu gerakan variatif yang bersumber dari gerakan pencak silat Minangkabau yang pada dasarnya bersifat cekatan dan tegas.

(13)

peralihan atau perubahan gerakan yang ada sesuai dengan ketukan tempo musik pengiringnya.

Keberadaan musik iringan dalam tari Galombang merupakan hal yang berkaitan. Dalam hal ini, musik menjadi pembentuk suasana, dan juga untuk memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola gerakan yang dibuat. Jadi, jika musik tidak ada maka tarian tidak dapat terbentuk keindahannya. Untuk mengiringi tari Galombang, masyarakat Minangkabau menggunakan musik tradisional mereka yang lazim digunakan.

Dalam mengiringi tari Galombang ada 3 struktur musik iringan yang baku. Pertama musik pembuka, yaitu menggunakan 2 alat musik, yakni tasa (gendang satu sisi berbentuk mangkuk) dan gandang tambua (gendang berbentuk barel dua sisi). Kedua alat musik ini saling bersahut-sahutan (litany). Struktur musik kedua adalah musik Galombang, menggunakan 4 alat musik, yakni tasa sebagai peningkah atau bisa dikatakan sebagai pengisi, gandang tambua sebagai pembawa ritem dasar untuk tarian, talempong pacik (dipegang tangan pemainnya) sebagai pembawa melodi dan ritem interloking, dan puput serunai sebagai pembawa melodi yang dikembangkan (improvisasi). Ketiga musik penutup, yang juga menggunakan keempat alat musik tadi yaitu tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan serunai. Pada keempat alat musik ini yang menjadi pembawa tempo yang paling penting dalam pembuka dan penutup musik adalah tasa. Lagu yang dimaninkan bernama lagu Tigo Duo.

(14)

Hal ini dikarenakan sanggar-sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari Minangkabau semakin banyak, dan saling bersaing. Jika tari ini tidak ditampilkan, upacara akan tetap terlaksana. Namun terasa kurang lengkap jika kesenian tradisional ini tidak ditampilkan. Dengan kata lain, dalam hal ini ada sisi menjaga imaji antar anggota masyarakat mereka.

Di Kota Medan sendiri kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir menempati seluruh kawasan Kota Medan. Tercatat paling banyak terdapat di antaranya di Medan Denai dan Sukaramai (Flora Hutagalung, 2009:5). Walaupun jumlah penduduk masyarakat Minangkabau sebagai pendatang bukan yang terbanyak di Kota Medan, tetapi kelompok masyarakat ini mampu menampilkan bahkan memperkenalkan budaya tradisi mereka. Ini dapat dilihat dari banyaknya pagelaran seni tari yang menampikan tari Minangkabau khususnya tari Galombang, seperti di sanggar Tigo Sapilin Sumatera Utara, di Taman Budaya Sumatera Utara, sanggar Sumara Anjuang dan sanggar-sanggar lainnya yang memberikan pelatihan tari Minangkabau.

Di antara beberapa sanggar yang ada di Kota Medan yang penulis sebutkan tadi, penulis memilih sanggar Tigo Sapilin untuk penulis fokuskan kajiannya dalam skripsi ini. Sanggar Tigo Sapilin ini merupakan salah satu sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari tradisi dan masih sering dipanggil untuk mengadakan pertunjukan.

(15)

Ada tiga aspek utama yang akan penulis diskusikan di dalam tulisan ini. Pertama adalah bagaimana struktur tari Galombang tersebut. Dalam konteks struktur tersebut, akan dideskripsikan ragam gerakan yang ada, demikian juga halnya dengan pola-pola lantai yang digunakan, serta dalam pola-pola gerakan, hal spesifik apa yang menyangkut nilai adat, nilai agama, atau nilai yang terkait budaya lokal yang dilambangkan atau diekspresikan. Kedua, bagaimana struktur musik iringan pada tari Galombang. Selanjutnya apakah fungsi tari Galombang dalam konteks upacara adat perkawinan dimaksud? Jika dimaksud eksis, lantas bagaimanakan proses penyajian tari Galombang tersebut sehingga dapat memenuhi fungsi dimaksud?

Keberadaan tari Galombang dalam upacara perkawinan adat Minangkabau di Kota Medan seperti terurai dalam latar belakang ini, dapat didekati dengan pendekatan multidisiplin ilmu. Yang pertama adalah untuk mengkaji struktur tarinya digunakan pendekatan-pendekatan ilmu antropologi tari.

Yang dimaksud antropologi tari atau disebut juga etnologi tari dan etnokoreologi adalah sebagai berikut.

(16)

of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war (Blacking, 1984).

Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi (juga disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari) adalah studi tari melalui penerapan sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi (etnomusikologi), etnografi, dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru, yang secara harfiah berarti studi tentang tarian rakyat (sebagai lawan dari tari hiburan yang diformalkan dalam bentuk balet klasik). Dengan demikian, etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif baru dalam dunia akademis untuk mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya. Dalam konteks tersebut para ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian yang mencakup gerak, musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai belahan dunia ini, tetapi juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu masyarakat, serta sejarah budaya tari dari suatu komunitas. Tari bukan hanya representasi statis sejarah, bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan makna setiap kali tari itu dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya, tetapi merupakan bagian yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya. Kekuatan tari terletak pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses pembentukan rasa dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan wujud sosialnya. Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini dilakukan oleh penari yang berhubungan dengan kelompok bangsa dan budayanya. Tarian etnik dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk membawa keberuntungan dalam damai atau perang.

(17)

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).6 Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi [antropologi]. Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri. Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik

6

(18)

sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.

Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya. Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik dalam konteks kebudayaannya.

(19)

Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976.7

Sedangkan untuk mengkaji fungsi tari Galombang dalam kelompok etnik Minangkabau, pada masyarakat Medan yang bersifat urban (perkotaan) dan heteroden digunakan pendekatan fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, baik itu dari antropologi maupun antropologi tari.

Berdasarkan fakta lapangan dan latar belakang keilmuan, penulis memilih judul untuk penelitian ini, sebagai berikut: “Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan, dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.”

7

(20)

1.2 Pokok Permasalahan

Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukan pokok permasalahan. Dalam skripsi nantinya, masalah yang akan dibahas meliputi tiga hal sebagai berikut.

(1) Bagaimana struktur tari Galombang disajikan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan? Pokok permasalahan ini akan dijawab dengan uraian mengenai ragam gerak, pola lantai, motif gerak, frase gerak, bentuk tari, hitungan tari, busana tari, properti tari, dan hal-hal sejenis yang berkait dengan keberadaan tari sebagi produk manusia Minangkabau dalam konteks adatnya.

(2) Bagaimana struktur musik iringan tari Galombang yang disajikan dalam upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan? Pokok masalah ini akan dijawab dengan uraian mengenai struktur melodi dan ritem yang dihasilkan alat pembawa melodi dan ritem dalam konteks mengiringi tari Galombang ini. Melodi dibawa oleh alat musik serunai. Sementara ritem dibawa secara interloking oleh talempong pacik, yang diiringi pola-pola ritem gandang tambua dan tasa. Untuk melodi akan dikaji mengenai aspek: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, interval, formula, jumlah nada yang digunakan, kadensa, dan kontur. Untuk ritem akan dikaji: meter, tempo, aksentuasi, interloking, motif ritem, pola ritem, durasi, dan hal-hal sejenis.

(21)

Setelah mengkaji ketiga pokok masalah tersebut, maka langkah berikutnya adalah menganalisis hubungan antara struktur tari, struktur musik, dan fungsi tari dalam masyarakat. Kajian ini akan melibatkan hubungan seperti apa yang terjadi di dalam tari dan musik. Paling tidak dalam dimensi waktu, siklus-siklus, motif, frase, dan bentuk keduanya, yang seperti apa yang menghubungkan musik dan tari. Setelah itu keduanya dihubungkan dengan sejauh apa fungsi tari (dan musik iringan) pada pertunjukan tari Galombang, dalam adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

(1) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur tari Galombang disajikan dalam perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan. (2) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur musik irigan tari

Galombang yang disajikan dalam upacara perkawinan adat masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

(3) Untuk mengetahui dan memahami fungsi sosial yang terdapat dalam penyajian tari Galombang pada perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

1.3.1 Manfaat

(22)

(2) Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa yang bergelut dalam seni tari dan musik, agar dapat mengetahui penyajian tari Galombang dan musik dalam konteks acara perkawinan masyarakat Minangkabau.

(3) Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian tari Galombang. (4) Mengembangkan kajian-kajian ilmiah di bidang musik dan tari, yang

dampaknya turut mengembangkan aspek keilmuan dalam disiplin-disiplin ilmu seni.

(5) Memberikan pengetahuan secara empiris kepada para pembaca, bagaimana seni budaya (musik dan tari) berkembang menyebar ke kawasan lain tempat suatu etnik merantau.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

(23)

Jadi dalam hal ini struktur dan pola sangat berhubungan, yakni bagaimana bagian-bagian dari gerakan tari saling berhubungan sehingga disatukan dan adanya bentuk atau model (suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu tari. Khususnya jika tari yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu tari yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana gerakan tarian itu dikatakan memamerkan pola.

Tari adalah segala gerak yang berirama atau sebagai segala gerak yang dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun kedua-duanya (Tengku Luckman Sinar, 1996:5). Dalam tulisan ini yang penulis maksud dengan tari Galombang adalah salah satu tari tradisional Minangkabau yang digunakan pada upacara adat perkawinan. Tarian Galombang ini memakai 6 orang atau lebih penari, yang gerakannya diambil dari gerakan-gerakan bungo silek. Dengan iringan musik dari alat musik tradisional Minangkabau yang terdiri dari tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan puput serunai, dengan menggunakan lagu Tigo Duo sehingga menampilkan suatu keindahan untuk dipersembahkan bagi kedatangan marapulai ke rumah anak daro.

Istilah fungsi sosial yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah bagaimana fungsi tari Galombang ini bagi masyarakat Minangkabau. Dimana saya akan melihat dan bertanya apakah fungsi adalah sesuatu yang akan dibagi atau diakibatkan, dengan kata lain dampak dari sesuatu hal yang khas.

(24)

Istilah masyarakat dalam penulisan judul memiliki arti seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1993:106-107), yaitu sebagai asosiasi manusia yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu yang terbatas sifatnya, sehingga direncanakan pembentukan organisasi-organisasi tertentu. Selain itu Soerjono Soekanto menambahkan bahwa istilah masyarakat sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai, norma-norma, tradisi, kepentingan-kepentingan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, maka pengertian masyarakat tidak mungkin dipisahkan dari kebudayaan dan kepribadian.

Masyarakat Minangkabau yang penulis maksud di sini, adalah masyarakat yang telah lama ada di Kota Medan, serta masyarakat Minangkabau yang telah melakukan perpindahan dari daerah asalnya dan menetap ke Kota Medan dengan membawa kebiasaan mereka, adat istiadat, tingkah laku, budaya, serta tradisi mereka. Dimana perpindahan tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti halnya faktor ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Seperti yang juga dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:160), bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup yang berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh rasa identitas bersama.

1.4.2 Teori

(25)

tentang suatu teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapat yang dijadikan acuan dalam membahas tulisan ini.

Dalam meneliti gerak tari tersebut, penulis akan mendiskripsikan bagaimana struktur dan pola gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari Galombang yang nantinya juga penulis akan menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang penulis buat sendiri yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang.

Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaiannya dengan ruang, sinar, warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari yang disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dalam hal ini yang dimaksud koreografi adalah gerakan-gerakan yang dilakukan para penari pada upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Memiliki ciri-ciri khas tertentu dari bentuk tarian etnik lain yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya dan penontonnya. Gerakan-gerakannya terpola didalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna tersendiri.

(26)

Untuk mengkaji struktur musik iringan tari Galombang ini, penulis menggunakan teori bobot tangga nada (weighted scale) yang ditawarkan oleh Malm (1977). Unsur yang dikaji adalah mencakup struktur melodi talempong pacik yang disajikan dengan teknik interloking. Begitu juga dengan melodi puput serunai yang akan dianalisis melalui 8 struktur melodinya yaitu: (1) tangga nada, (2) wilayah nada, (3) nada dasar, (4) interval, (5) jumlah nada-nada yang digunakan, (6) formula melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kontur (garis melodi).

Untuk mengkaji fungsi tari Galombang di dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau digunakan teori fungsionalisme baik dalam ilmu antropologi maupun dalam etnologi tari, yang ditawarkan oleh beberapa pakar. Mereka menggagas teori fungsi itu sebagai berikut.

Radcliffe-Brown mengemukakan bahawa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahawa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini.

(27)

Dalam kaitannya dengan tari Galombang pada upacara perkawinan adat Minangkabau dalam kebudayaan Minangkabau di Kota Medan, maka tari ini adalah salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas etnik Minangkabau, yang tujuannya adalah untuk mencapai harmoni atau konsistensi internal. Tari Galombang dan musik iringannya adalah bahagian dari sistem sosial yang bekerja untuk mendukung tegaknya budaya Minangkabau.

Curt Sachs (1963:5) seorang ahli musik dan tari dari Belanda mengemukakan dalam bukunya yang berjudul World History of the Dance mengutarakan bahwa fungsi tari secara mendasar ada dua, yaitu (1) Tari berfungsi untuk tujuan magis, dan (2) Tari berfungsi sebagai media hiburan atau tontonan. Pakar lainnya Gertrude Prokosch Kurath yang mengemukakan adanya 14 fungsi tari dalam masyarakat, yaitu (1) sebagai media inisiasi (upacara pendewasaan), (2) sebagai media percintaan, (3) sebagai media persahabatan atau kontak sesial, (4) sarana untuk perkawinan atau pernikahan, (5) sebagai pekerjaan atau matapencaharian, (6) sebagai media untuk sarana kesuburan atas pcrtanian, (7) sebagai sarana untuk perbintangan, (8) sebagai sarana untuk ritual perburuan, (9) sebagai imitasi satwa, (10) sebagai imitasi peperangaa, (11) sebagai sarana pengobatan, (12) sebagai ritual kematian, (13) sebagai bentuk media untuk pemanggilan roh, dan (14) sebagai komedian (lawak).

Dari empat belas fungsi yang dikemukakan oleh Sachs seperti tersebut di atas, maka salah satu fungsi tari Galombang yang paling utama adalah fungsinya sebagai sarana untuk perkawinan atau pernikahan. Dalam hal ini pernikahan dalam adat Minangkabau secara umum disebut maralek.

(28)

sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai ungkapan serta pembebasan psikologis, (5) sebagai refleksi nilai-nilai estetik atau murni sebagai aktivitas estetis, dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi.

Kalau ditinjau dari teori fungsi tari yang dikemukakan Shay ini, maka tari Galombang dalam kebudayaan Minangkabau adalah sebagai refleksi organisasi sosial Minangkabau. Juga berfungsi sebagai ekspresi ritual keagamaan, hiburan, estetik, dan juga ekonomi.

Sementara pakar tari lndonesia yaitu Narawati dan R.M. Soedarsono membedakan fungsi tari menjadi dua, yaitu (1) kategori fungsi tari yang besifat primer, yang dibedakan menjadi tiga, yaitu: (a) fungsi tari sebagai sarana ritual, (b) fungsi tari sebagai ungkapan pribadi, dan (c) fungsi tari sebagai presentasi estetik, dan (2) kategori fungsi tari yang bersifat sekunder, yaitu lebih mengarah pada aspek komersial atau sebagai lapangan mata pencaharian (Narawati dan Soedarsoso, 2005: 15-16).

Berdasarkan teori fungsi tari dari Narawati dan Soedarsono ini, maka fungsi tari galombang, mencakup baik itu fungsi primer dan juga fungsi sekunder. Di dalam kegiatan tari ini terdapat fungsi ritual, ungkapan pribadi, estetik, dan mata pencaharian.

1.5 Metode Penelitian

(29)

adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya.”

Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu: tahap sebelum ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan penulisan laporan. Pada tahap pra lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini disusun rancangan penelitian ini, menjajaki atau menilai keadaan lapangan, memilih informan, perlengkapan penelitian, dan etika penelitian.

Selanjutnya pada tahap pekerjaan di lapangan seorang peneliti untuk mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan alat bantu yaitu Handycam merk Sony, kamera digital merk Casio, dan catatan lapangan. Pengamatan langsung (menyaksikan) upacara perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.

Sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam pelaksanaan tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sehari-hari. Informan biasanya terdiri dari mereka yang terpilih saja karena sifat-sifatnya yang khas. Biasanya mereka telah mengetahui informasi yang dibutuhkan, dan wawancara biasanya berlangsung lama.

(30)

1.5.1 Studi Kepustakaan

Dalam tahapan ini penulis mencari, mempelajari, dan menggunakan literatur-literatur yang berhubungan dan dapat membantu pemecahan permasalahan. Dari hasil studi kepustakaan yang dilakukan penelitian tari Galombang dalam upacara perkawinan masyarakat Minangkabau masih sulit didapat.

Tujuan dari studi kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan konsep-konsep, teori, serta informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembahasan atau penelitian, dan menambah wawasan penulis tentang kebudayaan masyarakat Minangkabau yang diteliti yang berhubungan dengan kepentingan pembahasan atau penelitian.

1.5.2 Penelitian Lapangan

Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis berpedoman kepada tulisan Harsja W. Bachtiar dan Koentjaraningrat dalam buku Metode-metode penelitian masyarakat. Dalam buku ini tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data dilakukan melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan:

(1) Observasi (pengamatan), dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan langsung, hal ini sesuai dengan pendapat Harja W. Bachtiar (1990:114-115), bahwa seorang peneliti harus melihat langsung akan kegiatan-kegiatan dari sasaran penelitiannya dalam mendapatkan data-data di lapangan, maka pengamat menghadapi persoalan bagaimana cara ia dapat mengumpulkan keterangan yang diperlukan tanpa harus bersembunyi, tetapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh kehadirannya pada kegiatan-kegiatan yang diamatinya.

(31)

Galombang pada upacara, sarana yang dipergunakan, pelaku, dan masalah-masalah lain yang relevan dengan pokok permasalahan, dan dalam pengamatan, penulis juga melakukan pencatatan data-data di lapangan sebagai laporan hasil pengamatan penulis. Dalam hal ini penulis terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak panitia upacara.

(2) Wawancara, dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi.

Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi secara lisan dari para informan. Untuk ini penulis mengacu pada pendapat Koentjaraningrat (1990:129-155) yang membagi tiga kegiatan wawancara yaitu : persiapan wawancara, teknik wawancara, dan pencatatan data wawancara. Sedangkan wawancara terdiri dari wawancara terfokus, wawancara bebas, dan wawancara sambil lalu.

Dalam wawancara terfokus, pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu tetapi selalu terpusat kepada pokok permasalahan lain. Wawancara sambil lalu, sifatnya hanya untuk menambah data yang lain. Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan ketiga wawancara ini serta terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan dan mencatat secara langsung data-data yang diperlukan.

(32)

setelah terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak pelaksana dan pihak yang bersangkutan.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah didapat dari lapangan. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

Untuk menyajikan aspek kebudayaan, penulis mengacu dari antropologi, aspek struktur musik dari musikologi, dan juga unsur sosial lainnya (sesuai dengan keperluan pembahasan ini), sebagaimana ciri Etnomusikologi yang inter-disipliner dan keseluruhannya dikerjakan di dalam laboratorium Etnomusikologi), sehingga permasalahannya yang merupakan hasil laporan penelitian yang disusun dalam bentuk skripsi. Jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka penulis melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini dilakukan berulang-ulang.

1.6 Lokasi Penelitian

(33)
(34)

BAB II

TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU DAN SANGGAR TIGO SAPILIN

DI KOTA MEDAN

2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau

Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang dan kabau. Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang mengucapkan kata manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti kerbau. Jadi kata minangkabau berarti “kerbau yang menang”. Menurut lagenda, nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu. Untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau mengusulkan pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan mengadakan seekor kerbau yang besar badannya dan ganas. Sedangkan rakyat setempat hanya mengandalakan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan diberikan pisau pada tanduknya. Sewaktu peraduan, si anak kerbau yang kelaparan dengan tidak sengaja menyerudukkan tanduknya di perut kerbau besar itu karena ingin mencari puting susu untuk meghilangkan lapar dan dahaganya. Kerbau yang ganas itu mati, dan rakyat setempat berhasil menyelesaikan pergelutan tersebut dengan cara yang aman (http://ms.wikipedia.org/wiki/ Minangkabau).

(35)

Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih tepat sebelumnya adalah “Minangkabwa,” “Minangakamwa,” “Minangatamwan,” dan “Phinangkabhu.” Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang (sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana di situ disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat (http://roezyhamdani.blo gspot.com/p/suku-minangkabau.html).

Menurut para ahli kebudayaan, suku bangsa Minangkabau ini merupakan bagian dari bangsa Deutero Melayu (Melayu Muda). Dimana mereka melakukan migrasi dari dataran China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2500-2000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat Minangkabau ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut dengan darek (kampung halaman orang Minangkabau). Kemudian suku Minang menyebar ke daerah pesisir di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang dari Barus bagian utara hingga Kerinci bagian selatan. Migrasi tersebut terjadi ketika pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, saat jatuh ke tangan Portugis.

(36)

konfederasi yang disebut mereka dengan nama Luhak. Sesuai dengan pembagian kawasannya, Luhak tersebut disebut mereka menjadi Luhak Nan Tigo.

Luhak Nan Tigo ada tiga bagian di daerah Minangkabau yang membawahi daerah rantau, yaitu: (1) Luhak Agam berpusat di Bukittinggi dengan Rantau Pasaman, (2) Luhak Tanah Data berpusat di Batusangkar dengan Rantau Solok, dan (3) Luhak Lima PuluahKoto berpusat di Paya Kumbuh dengan Rantau Kampar.

Daerah rantau terbagi atas, ke utara Luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping, dan Rao. Ke selatan dan tenggara Luhak Tanah Data; ada Solok, Silayo, Muaro Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah Lunto Sijunjung, sampai keperbatasan Riau dan Jambi. Selanjutnya rantau sepanjang hiliran sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri, dan Batang Hari. Sedangkan daerah pesisir terbagi atas, dari utara ke selatan; Meulaboh, Tapak Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar Sapuluh, Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang, Ampiang Parak, Surantiah, Batang Kapeh, Painan (Bungo Pasang), dan seterusnya Bayang nan Tujuah, Indrapura, Kerinci, Muko-muko, dan Bengkulu.

Tiap-tiap luhak dibentuk dari beberapa kelarasan, dan pada kelarasan dibentuk suku, dimana setiap suku Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Untuk mengesahkan suku, ada harta pusaka dari nenek diwariskan kepada ibu, dan dari ibu diwariskan kepada anak perempuan.

(37)

2.2 Masuknya Masyarakat Minangkabau di Kota Medan

Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi tujuan perantau beberapa suku di Indonesia. Pada tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di luar Jawa. Terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan secara besar-besaran. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua gelombang migrasi besar ke kota Medan. Gelombang pertama kedatangan dari orang Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Gelombang kedua ialah kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Kedatangan merea ke Kota Medan dan sekitarnya bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi umumnya untuk berdagang, menjadi guru dan alim ulama (https://id.wikipedia. org/wiki/Kota Medan).

Keinginan masyarakat Minangkabau untuk merantau sangatlah tinggi, hal ini dilihat dari hasil studi yang pernah dilakukan tahun 1973 lalu. Pada tahun 1961 terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat, tetapi pada tahun 1971, jumlahnya semakin meningkat menjadi 44% yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Dalam hal ini berarti lebih dari separuh orang Minang berada di luar Sumatera Barat. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa keinginan merantau orang Minangkabau begitu besarnya. Dibanding dengan suku lainnya yang ada di Indonesia, keinginan merantau orang Minangkabau cukup besar. Sebab menurut sensus pada tahun 1930, suku perantau tertinggi di Indonesia adalah suku Bawean (35,9%), kemudian suku Batak (14,3%), selanjutnya suku Banjar (14,2%), setelah itu suku Minang sebesar 10,5% (Ahmad Yunus, 1985:4).

(38)

budaya ialah sistem kekerabatan matrilineal mereka. Dengan sistem tersebut, penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum wanita, sedangkan kaum lelaki cukup kecil. Selain itu, setelah masa akil balik laki-laki tidak lagi dapat tidur di rumah orang tuanya, karena rumah hanya diperun tukkan untuk kaum wanita beserta suaminya, dan anak-anaknya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan banyaknya kaum laki-laki semangat untuk mengubah nasib dengan merantau untuk mencari kekayaan dengan berdagang dan meniti karir, serta melanjutkan pendidikan. Begitu juga pada penjelasan pada faktor ekonomi dimana pertumbuhan penduduk yang tidak diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah mereka, yang menyebabkan tidak cukup memenuhi keperluan bersama. Faktor-faktor inilah yang mendorong orang Minang pergi merantau.

Masyarakat Minangkabau mendorong para pemuda dan anak-anak mereka untuk merantau dan membawa sesuatu sebagai tanda bahwa mereka telah mengadu nasib di negeri orang. Semua itu akan digunakan untuk membangun dan memperbaiki masing-masing rumah mereka di kampung halaman mereka, membeli tanah, ataupun memberikan pemikiran-pemikiran mereka demi kemajuan daerah mereka.

Kota Medan sendiri memiliki penduduk yang heterogen, baik itu dari segi budaya, agama, profesi, dan lain-lain. Masuknya berbagai suku masyarakat membawa budaya tradisi asal mereka masing-masing. Begitu juga masyarakat Minangkabau yang merupakan salah satu suku yang merantau ke kota Medan ini memberikan keberagaman seni dan budaya yang ada di Kota Medan dari budaya tradisi yang dibawa oleh mereka sendiri.

(39)

banyak bermukim di Medan Denai dan Sukaramai. Dimana lokasi-lokasi ini juga merupakan daerah strategis dalam melakukan kepentingan perdagangan.

Menurut data statistik kota Medan tahun 2000, suku Minangkabau di Sumatera Utara berjumlah 306.550 jiwa, seperti yang dilihat pada Tabel 1. Meskipun jumlah suku Minangkabau berada pada urutan ke-9, akan tetapi suku Minangkabau dan kebudayaannya cukup dikenal umum, karena kemampuan mereka memperkenalkan diri dari segi perdagangan, seperti banyaknya usaha rumah makan Minang, pedagang sate Padang, dan lain-lainnya.

(40)

2.3 Sistem Agama dan Kepercayaan

Awal sebelum agama Islam masuk di Minangkabau, agama Hindu dan Budha telah muncul di Minangkabau. Tetapi kedua agama ini hanya berkembang di sekitar istana saja. Diperkirakan sekitar pertengahan abad ke tujuh agama Islam masuk dibawa oleh para pedagang, akan tetapi mulai berkembang sekitar abad ke tiga belas.

Hingga saat ini agama Islam menjadi satu-satunya agama yang berkembang di Minangkabau dan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari identitas masyarakat Minangkabau. Pengaruh agama Islam kuat di dalam adat Minangkabau, seperti yang tercatat di dalam pepatah mereka, adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah, yang artinya, adat (Minangkabau) bersendi hukum Islam dan hukum Islam bersendi Al Qur’an. Sehingga nyata bahwa antara adat Minangkabau dengan agama Islam memiliki suatu kesatuan yang saling menunjang dalam membina masyarakatnya.

Setiap orang yang menjalankan adat Minangkabau haruslah beragam Islam karena adat mereka sejalan dengan agama Islam. Terdapat banyak persamaan di antara paham Islam dengan paham orang Minangkabau. Ciri-ciri Islam begitu mendalam dalam adat Minangkabau, sehingga mereka yang tidak mengamalkan agama Islam dianggap telah terkeluar dari masyarakat Minangkabau.

2.4 Sistem Kekerabatan

(41)

“menurut garis ibu.” Kedua, perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri, yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal. Ketiga, ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.

Dalam perkawinan masyarakat Minangkabau menganut sistem eksogami, dimana yang artinya adalah sistem perkawinan di luar batas suatu lingkungan tertentu, atau dengan kata lainnya perkawinan di luar kelompoknya. Serta matrilokal dimana suami tinggal di sekitar rumah kerabat isterinya, atau di dalam lingkungan kekerabatan isterinya. Semua harta dan tanah yang dimiliki diwariskan kepada anak perempuan.

(42)

dalam sistem kekeluargaan Minangkabau yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak meskipun tidak begitu dikenal, mengingat ibu dan ayah akan tetap menjadi anggota dan terlibat dalam keluarga asalnya, yaitu ibunya.

Pada dasarnya anak laki-laki di Minangkabau telah diajarkan untuk hidup berpisah dengan orangtua dan sudara-saudara perempuannnya. Mereka tidak lagi tinggal di rumah gadang dengan ibunya, melainkan hidup berkelompok di surau-surau (mushola atau mesjid). Disana mereka belajar mengaji, silat, dan bergaul dengan kelompok pria dengan segala tingkatan usia.

Dalam masyarakat Minangkabau, di beberapa daerah ada terdapat sebutan atau nama panggilan yang digunakan keluarga. Panggilan ini juga berlaku pada sebagian besar masyarakat Minangkabau di kota Medan, seperti seorang adik memanggil kakak perempuannya dengan panggilan uni, dan panggilan uda untuk kakak laki-laki. Panggilan mande untuk panggilan ibu, paman atau saudara laki-laki ibu dipanggil mamak, dan orang yang lebih tua memanggil upiak kepada anak perempuannya, dan buyuang untuk anak laki-laki. Anak memanggil mak adang kepada saudara perempuan ibu yang lebih tua dan mak etek kepada yang lebih muda dari ibu. Semua laki-laki dalam pesukuan dan dalam suku yang serumpun yang menjadi kakk atau adik dari ibu kita, disebut juga dengan mamak. Jadi mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua laki-laki yang segenerasi dengan ibu dalam suku yang serumpun.

(43)

kesepakatan yang dilakukan. Jika terjadi ingkar janji, maka mamak-lah yang harus membayar semua hutang tersebut bukan kemenakan yang akan dikawinkan.

Di dalam setiap kelompok orang saparuik (seperut) yang disebut satu suku dalam sistem kekerabatan Minangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang diturunkan dari ninik kepada mamak dan dari mamak kepada keponakan laki-lakinya. Gelar ini yang nantinya diberikan turun-temurun kepada para laki-laki yang akan berumah tangga. Mereka akan lebih dihargai dan dihormati dengan pemberian gelar tersebut. Gelar yang diberikan kepada laki-laki yang akan menikah di Minangkabau dapat diberikan kepada siapa saja tanpa suatu acara khusus. Lain halnya dengan gelar yang harus disandang oleh seorang penghulu (kepala kaum) yang merupakan warisan adat yang hanya bisa diturunkan pada kemenakannya dalam upacara adat dengan kesepakatan kaum setelah penghulu meninggal dunia.

Perkawinan yang dilakukan menimbulkan tali kekerabatan yang baru, yaitu kerabat perempuan dari pihak laki-laki disebut pasumandan. Saudara perempuan dari ayah bagi anak-anaknya disebut bako atau induak bako, sedangkan anak-anak dari saudara laki-laki bagi saudara perempuannya disebut anak pisang.

Di kota Medan sendiri, sistem kekrabatan ini masih digunakan oleh masyarakat Minangkabau yang merantau ke kota Medan ini. Akan tetapi peranan datuek kampueng dan penghulu suku tidak ditemukan di sini.

2.5 Sistem Kesenian

(44)

maka menjadi milik suatu komunitas yang mudah berubah. Pengertian berubah dalam hal ini yakni dalam konteks sosiobudaya masyarakat Minangkabau yang dapat diartikan sebagai berkembang, memperkaya, dan memperbanyak aspek-aspeknya (Nerosti Adnan, 2008). Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam bentuk kesenian, yakni seni bangunan, semi rupa, seni suara, dan seni tari.

Seni bangunan, dilihat dari rumah adat Minangkabau yang disebut dengan rumah gadang. Dimana rumah gadang ini terdiri atas biliek sebagai ruang tidur, dan didieh sebagai ruang tamu. Ciri utama rumah ini adalah bentuk lengkung atapnya yang disebut dengan gonjong yang artinya tanduk kerbau.

Seni rupa adalah suatu bentuk kesenian yang dapat dinikmati melalui penglihatan. Pada masyarakat Minangkabau, hal ini dapat dilihat dari ukiran-ukiran pada rumah gadang. Dimana biasanya ada motif gambar tumbuh-tumbuhan dan binatang yang menghiasi tiang-tiang dan dindingnya.

Seni musik dan suara merupakan suatu bentuk karya seni yang dapat dinikmati manusia melalui pendengaran, seperti seni vokal, seni instrumental, dan seni sastra. Dimana seni vokal yang berkembang pada masyarakat Minangkabau, yaitu berupa dendang (nyanyian), indang, dan dikie (zikir). Sedangkan seni suara melalui instrumen, ada saluang, bansi, talam, rabano, gandang, talempong, dan lainnya. Seni sastra terutama sastra lisan, yaitu berupa pantun yang berupa nasihat dan syair yang paling banyak dikuasai oleh masyarakat Minangkabau.

(45)

2.6 Sanggar Tigo Sapilin

Sanggar Tigo Sapilin merupakan salah satu sanggar kesenian Minangkabau yang berdiri sendiri tanpa dibawahi naungan organisasi manapun. Sanggar ini berdiri pada tahun 1987 oleh Bapak H. Abu Bakar Siddiq, S.H., yang juga merupakan Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Sumatera Utara. Sanggar ini terletak di Jalan Gurilla Gg. Toke Umar, No. 18, Kelurahan Sei Kerah Hilir II, Kecamatan Medan Perjuangan, Medan.

Sanggar Tigo Sapilin ini bergerak dalam bidang musik dan tari kesenian tradisional Minangkabau, seperti tari Galombang. Sanggar ini di bentuk awalnya karena bapak ini senang dengan dunia kesenian, dari masa mudanya beliau hobi dengan dunia seni. Dia ingin memperkenalkan kepada masyarakat Medan akan kesenian Minangkabau, serta memajukan dan melestarikan kebudayaan adat Minangkabau.

Sanggar Tigo Sapilin ini memiliki anggota ada yang memang keluarga sendiri dan ada juga beberapa orang dari luar keluarga. Sekitar ada 22 orang jumlah anggota sanggar Tigo Sapilin ini, ada perempuan dan ada laki-laki, serta terbagi atas anak-anak dan orang dewasa. Keseluruhannya tersebut sudah termasuk penari dan pemusik.

(46)

lebih diperbanyak dari biasanya, dan jadwal latihannya di buat tergantung hari apa dan jam berapa yang bisa di berikan anggota dan disesuaikan bersama.

Sistem pelatihan dilakukan dengan menggunakan latihan bersama. Dimana pertamanya para penari dulu yang berlatih, baik itu mengulang gerakan lama maupun membentuk gerakan-gerakan yang baru. Setelah dalam beberapa hari para penari sudah mahir dan kompak, selanjutnya dipanggillah para pemusik agar saling menyesuaikan. Hal ini dikarenakan dalam tari Galombang ini sistemnya gerakan tari mengikuti musik.

Dalam pembagian honorium jika ada melakukan pertunjukan pada sanggar, yaitu dengan membagi rata pada setiap anggota dan menyisakan sekitar 20% dari penghasilan setiap pertunjukan. Sisihan tersebut digunakan untuk biaya menambah inventaris sanggar agar lebih baik dan kebutuhan sanggar lainnya. Dalam penentuan harga untuk sekali pertunjukan yang dilakukan sanggar ini, mereka memberikan harga lebih murah kepada keluarga atau kerabat dibandingkan kepada orang lain. Patokan harga yang diberikan oleh sanggar ini kepada masyarakat umum sekitar Rp. 3.000.000 – Rp.4.000.000.

(47)

BAB III

PERTUNJUKAN TARI GALOMBANG PADA UPACARA

ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU

3.1 Asal Usul Tari Galombang

Tari Galombang merupakan tari tradisional masyarakat Minangkabau yang sudah menjadi adat istiadat mereka. Tari Galombang yang menjadi topik penulisan ini mengalami perubahan. Diduga hal ini berdampak dari proses urbanisasi dari pengembangan kampung halaman masyarakat Minangkabau.

Berbicara tari Galombang pada masa awalnya dulu, tari ini disebutkan sebagai pagar nagari atau pagar kampung yang diatur oleh sistem-sistem adat. Dimana dalam semiotik makna Galombang ini diambil dari lautan, yakni gelombang yang dibentuk dari ombak. Kehidupan manusia itu ada arus naik turun layaknya ombak laut, dan ada juga yang menafsirkan bahwa dalam benak mereka tarbayang gelombang lautan yang diikuti gelombang perasaan di dalam hati yang terwujud dalam gerakan tubuh.

(48)

Dimana dulunya tarian ini ada yang ditampilkan dalam bentuk satu arah menghadap kepada tamu, ada juga yang dua arah dalam bentuk dua kumpulan yang saling berlawanan dengan penempatan jarak 10 meter. Kemudian jarak antar penari semakin lama semakin mendekat dan selanjutnya diakhiri dengan pertarungan silat. Setelah itu ada penuguhan carano kepada tamu (Zulkifli, 2003, Hartati, 1999).

Untuk melihat catatan sejarah kapan jelasnya tari Galombang tersebut mengalami perubahan-perubahan masih sulit didapat, hal ini dijelaskan bapak Wimbrayardi. Dulunya tari ini sempat vakum, dikarenakan anggapan yang mubajir bagi nagari oleh gubernur Asambasinduin, dimana saat itu beliau adalah gubernur nagari. Beliau memutuskan tidak boleh ada lagi acara seremonial dalam bentuk apapun. Lamanya vakum ini diperkirakan ada sekitar 2 tahun lamanya.

Banyak para peneliti terdahulu mengangkat tentang tari Galombang ini dalam tulisan mereka. Seperti Risnawati (1993), Sawanismar (1994), Maryeliwati (1995) meneliti tari Galombang pada nagari yang berlainan, mereka semua menyatakan bahwa tari Galombang ditarikan oleh penari laki-laki dengan gerakan pencak silat, yang berfungsi untuk menyambut tamu di lapangan terbuka, tidak pernah ditampilkan di dalam ruangan.

(49)

namun hanya gerakan-gerakan variatif dari gerak silat sesungguhnya. Tari Galombang tampil sebagai penyambutan tamu dalam segala aktivitas masyarakat seperti acara pemerintah, dan penyambutan pengantin dalam pesta perkawinan.

Begitu pula yang terjadi di Kota Medan sebagai salah satu kota perantauan masyarakat Minangkabau. Tari Galombang yang dipakai juga sudah yang diperbaharui dan dikreasikan kembali. Dimana tari Galombang ini yang menarikannya adalah perempuan dan laki-laki. Laki-laki melakukan mancak atau gerakan silat, dan penari perempuannya berdiri sejajar diposisikan dibelakang laki-lakinya menarikan tari Galombang yang diambil dari gerakan-gerakan bungo silek dengan keindahan. Ditampilkan sebagai penyambutan marapulai dalam upacara perkawinan.

3.2 Perkawinan Pada Masyarakat Minangkabau

Salah satu masa peralihan yang sangat penting dalam adat Minangkabau adalah saat menginjak masa perkawinan. Masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok keluarganya, dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri. Dengan kata lain, perkawinan dapat juga dikatakan sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok.

(50)

Perkawinan dalam budaya Minangkabau merupakan persoalan bagi kaum kerabat, mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan perkawinan, bahkan sampai kepada segala urusan terjadinya perkawinan tersebut memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan baru, tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak daro, namun antara kedua keluarga juga. Adanya falsafah hidup masyarakat Minangkabau yang menjadikan semua orang hidup bersama-sama, sehingga masalah pribadi dalam hubungan suami istri tidak terlepas dari masalah bersama.

Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda, baik itu asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tata krama, bahasa, dan lain sebagainya. Oleh karena itu yang menjadi syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan adalah kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Adanya pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali demi memperoleh keserasian ataupun keharmonisan dalam hubungan antar keluarga kelak kedepannya. Lebih kepada tanggung jawab yang dituntut dalam perkawinan pula, demi menyangkut nafkah lahir batin, jaminan hidup, dan pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan nantinya.

Masyarakat Minangkabau memiliki pola perkawinan yang bersifat eksogami dimana salah satu dari kedua belah pihak yang menikah tersebut tidak masuk dalam kaum kerabat pasangannya, atau dengan kata lain perkawinan di luar batas suatu lingkungan tertentu. Hal tersebut dikarenakan menurut struktur masyarakat Minangkabau, bahwa setiap orang merupakan warga kaum dan suku mereka masing-masing yang tidak dapat dialihkan.

(51)

kakak beradik laki-laki dan perempuan X menikah dengan kakak beradik laki-laki dan perempuan Y. Hal ini disebabkan agar tidak terjadi masalah-masalah yang mungkin timbul dari campur tangan kerabat kedua belah pihak akibat pewarisan harta pusaka yang dapat terjadi dari pola perkawinan eksogami yang mereka anut yang sangat mudah berantakan jika kerabat masing-masing tidak serasi. Sedangkan perkawinan pantang bagi masyarakat Minangkabau adalah perkawinan yang setali sedarah, sekaum dan sesuku (semarga), yang dapat merusak sistem adat mereka (Flora,2009:36).

Hal-hal di atas tersebut sampai saat ini masih berlaku di kota Medan. Walaupun sekarang sudah banyak juga masyarakat Minangkabau yang menikah dengan Masyarakat di luar etnisnya.

Di kota Medan sendiri, upacara perkawinan pada masyarakat Minangkabau masih dilaksanakan berdasarkan adat yang berlaku. Akan tetapi tidak murni secara tradisi Minangkabau , melainkan sudah bercampur dengan unsur-unsur adat yang lain. Hal ini dapat dilihat dari adanya penyajian keyboard dan acara marhaban. Walaupun demikian, pada hakekatnya pelaksanaan upacara perkawinan ini berusaha untuk menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat Minangkabau.

3.3 Tahapan -tahapan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau Tata cara perkawinan masyarakat Minangkabau ada dua, yaitu agama dan adat. Dalam adat, sebelum sampai pada tahap perkawinan dilakukan proses meminang dimana lazim dilakukan dari pihak kerabat pihaknya perempuan.

(52)

perkawinan dilaksanakan tidak jauh berbeda dengan yang ada di Sumatera Barat. Akan tetapi, di kota Medan waktunya diperlukan relatif lebih singkat dibandingkan dengan yang ada di Sumatera Barat sendiri.

Adapun tahapan-tahapan dalam upacara perkawinannya, yaitu:

1. Maninjau. Tahapan ini dilakukan untuk meninjau atau mengenal calon yang akan dijadikan menantu. Pada tahap awal biasanya pihak perempuan mengutus kerabat/ orang lain yang dianggap bisa meninjau calon menantu mendatangi rumah pihak laki-laki dengan membawa buah tangan. Kemudian mamak pihak laki-laki menyatakan pada kemenakannya hasil pembicaraan tersebut, bila disetujui maka mamak atau orangtua laki-laki akan memberitahukan kepada pihak perempuan. Maka disepakatilah hari maanta nasi mamak atau membuat hari bermusyawarah menentukan hal-hal yang berkenaan dengan perhelatan. Di tahap inilah ditentukan keputusan selanjutnya.

2. Mencari hari atau totok hari atau maminang. Setelah mendapatkan jawaban dari pihak laki-laki, kemudian diadakan mencari hari yang disebut dengan manakok hari yang berarti datang ke rumah pihak laki-laki secara resmi untuk memusyawarahkan pertunangan mereka. Pertunangan ini ditandai dengan penyerahan cincin dari kedua belah pihak serta dibicarakan persyaratan yang harus diberikan pihak perempuan. Persyaratan tersebut disebut “uang dapur” jika berbentuk uang, dan disebut “uang panjapuik” jika berbentuk barang, yang merupakan simbol pertunangan telah dilaksanakan. Terkadang di tahap ini juga dibicarakan hari baralek atau hari baik perkawinan oleh kedua belah pihak.

(53)

seperti biaya perkawinan, persiapan kebutuhan pengantin termasuk kamar pengantin. Pada acara ini juga dibicarakan pembagian kerja, seperti mengundang, menyiapkan tempat, dan makanan. Dibicarakan juga akan kegiatan atau hiburan yang akan dilaksanakan pada saat upacara perkawinan (seperti tari Galombang). Semuanya dibicarakan dengan baik agar hasilnya juga lebih baik.

4. Mengundang /menyirih, untuk melakukan baralek (upacara adat untuk meresmikan perkawinan), akan dihadiri oleh sanak keluarga dan kerabat dekat yang menurut adat untuk menghadiri baralek mereka harus diundang karena kegiatan ini bersifat gembira. Pengundang perempuan akan mengundang perempuan dengan memberikan sirih yang diletakkan pada kampia sirih, dan pengundang laki-laki mengundang kaum laki-laki dengan memberikan rokok. Akan tetapi seiring dengan majunya jaman, hal ini dapat juga dilakukan hanya dengan memberikan undangan. Pada penelitian penulis ini, pihak pengantin mengundang pihak keluarga dengan hanya memberikan undangan.

5. Persiapan baralek, dalam tahapan ini, dilakukan berbagai persiapan di rumah anak daro, seperti persiapan kamar pengantin, memasak, dan lain-lainnya sebelum perkawinan dilakukan. Semuanya dilakukan sesuai dengan kondisi ekonomi anak daro (pengantin wanita).

(54)

7. Nikah, merupakan bersatunya dua orang untuk membentuk rumah tangga, yang diwujudkan dengan pernyataan yang disebut dengan Ijab Kabul atau Akad Nikah. Persyaratan syahnya nikah, yaitu adanya wali pengantin perempuan, saksi, Ijab Kabul suatu pernyataan kedua pengantin dan uang mahar, hak seorang perempuan. Pelaksanaan akad nikah dapat dilakukan dirumah pengantin perempuan, masjid atau balai nikah. Terlaksananya akad nikah kemudian disempurnakan dengan acara adat atau pesta perkawinan.

8. Manjapuik marapulai, sebelum pengantin disandingkan, marapulai akan dijemput secara adat oleh utusan pihak perempuan yang dilengkapi dengan peralatan adat sebagaimana dengan kesepakatan saat manakok. Dalam penelitian penulis, pihak perempuan akan mengutus beberapa orang menuju tempat marapulai, disinilah pertunjukan tari Galombang ditampilkan, sebagai pengekspresian suasana sukacita pihak keluarga anak daro akan kedatangan marapulai, dengan membawa sirih di carano yang dibawa kaum perempuan, dan marapulai dipayungi dengan payung kebesaran sebagai tanda raja dalam sehari. Dimana acara ini dilaksanakan pada pagi hari.

9. Hari baralek, hari ini disebut dengan hari perkawinan anak daro dan marapulai disandingkan dipelaminan. Inilah tahapan upacara perkawinan kepada keluarga besar dan tamu-tamu undangan.

3.4 Jalannya Pertunjukan Tari Galombang Pada Upacara Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan

Gambar

Tabel 1:
Gambar 3.1:
Gambar 3.2:
Gambar 3.3:
+7

Referensi

Dokumen terkait

25.980.000,00 ( Dua puluh lima juta sembilan ratus delapan puluh ribu rupiah ) Indikator &amp; Tolok Ukur Kinerja Belanja Langsung.. Indikator Tolok Ukur Kinerja

Hotel kini juga dapat digunakan sebagai tampat untuk mencari hiburan dan dapat digunakan sebagai tempat untuk untuk melakukan aktivitas- aktivitas bisnis. Salah satu usaha yang

Daerah Kabupaten Sleman Tahun 2011 Nomor 1 Seri D, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sleman Nomor 40) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah

Siswa dapat menentukan besar salah satu unsur dari dua pasangan unsur yang berkaitan dengan perbandingan berbalik nilai, jika diberikan soal cerita dengan tiga unsur

Evaluasi terhadap program pendidikan harus dilakukan secara sistematik, terstruktur, periodik dan berkesinambungan dengan menggunakan alat ukur yang dapat diterima

Modul Bimbel Kami selalu disesuikan dengan Kurikulum yang ada di sekolah, sehingga kegiatan Bimbingan tidak sia-sia karena soal-soal yang kita sediakan hampir sama dengan

[r]

Modul Bimbel Kami selalu disesuikan dengan Kurikulum yang ada di sekolah, sehingga kegiatan Bimbingan tidak sia-sia karena soal-soal yang kita sediakan hampir sama dengan