13 2.1 Landasan Teori Pajak
2.1.1 Pengertian Pajak
Pengertian pajak menurut para ahli memberikan definisi tentang pajak yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya definisi tersebut mempunyai tujuan dan inti yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami oleh masyarakat maupun instansi. Pengertian pajak menurut Menurut P.J.A Adriani dalam Waluyo (2011:2) pengertian pajak adalah sebagai berikut:
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan yang terutang) oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.”
Dalam definisi diatas memfokuskan pada fungsi budgeter dari pajak, sedangkan pajak masih mempunyai fungsi lainnya yaitu fungsi mengatur. Apabila memperhatikan coraknya dalam memberikan batasan pengertian pajak dapat dibedakan dari berbagai macam ragamnya, yaitu dari segi ekonomi, segi hukum, segi sosiologi, dan berbagai segi lainnya. Hal ini juga akan mewarnai titik berat yang diletakkannya, sebagai contoh: segi penghasilan dan segi daya beli, namun kebanyakan lebih bercorak pada ekonomi.
Menurut Rohmat Soemitro yang dikutip oleh Mardiasmo (2011:3) menyatakan bahwa:
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang- Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R. dalam Zain (2008:11) menyatakan bahwa:
“Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang diterapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.”
Pengertian pajak menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah sebagai berikut:
“Pajak adalah kontribusi Wajib Pajak kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang- Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dari pengertian-pengertian pajak tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri- ciri atas unsur pokok yang terdapat pada pengertian pajak, adalah sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintahnya.
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.
2.1.2 Karakteristik yang Melekat pada Definisi Pajak
Dari beberapa definisi dan pemahaman pajak di atas dapat ditemui beberapa karakteristik pajak:
1. Pajak adalah iuran wajib pajak yang dipungut berdasarkan suatu Undang- undang dan berikut peraturan pelaksanaannya.
2. Pemungutan pajak bukan karena denda sebagai denda sebagai akibat tindakan melawan hukum, tetapi pemungutannya akibat suatu ukuran- ukuran tertentu antara lain, ada subjek pajak, objek pajak (penghasilan), ada suatu keadaan/peristiwa atau kejadian yang dapat dikenakan pajak.
3. Pemungutan pajak tidak disertai dengan imbalan (kontraprestasi) secara langsung.
4. Pajak adalah transfer dari warga negara kepada negara yang bersifat paksaan dan bagi yang tidak mematuhinya dikenai sanksi.
5. Pajak digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan program-program pembangunan berupa investasi masyarakat (public insvestment) bagi sebesar-besarnya buat kemakmuran rakyat.
2.1.3 Fungsi Pajak
Dari pengertian pajak yang dijelaskan oleh beberapa ahli di atas bahwa pajak, Secara teoritis dan praktis dapat dilihat bahwa pajak memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan negara dan masyarakat. Menurut Waluyo (2008:6) terdapat dua fungsi pajak, yaitu:
1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh: dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.
2. Fungsi Mengatur (Reguler)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk megatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah.
2.1.4 Tata Cara Pemungutan
Tata cara pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2011:4) terdiri dari:
1. Stelsel Pajak
a. Stelsel Nyata (Real Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui.
Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis.
Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
b. Stelsel Anggapan (Fictive Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh Undang-undang. Misalnya penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun berjalan.
Kebaikan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun.
Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya.
c. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
2. Sistem Pemungutan
a. Official Assesment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya:
1.) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
2.) Wajib Pajak bersifat pasif.
3.) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b. Self Assesment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya:
1.) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak sendiri.
2.) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
3.) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak) yang bersangkutan untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh
Wajib Pajak. Cri-cirinya adalah wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
3. Asas Pemungutan
a. Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak dalam negeri.
b. Asas Sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
c. Asas Kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Asas ini diberlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk membayar pajak.
2.1.5 Syarat-syarat Pemungutan Pajak
Syarat-syarat pemungutan pajak dalam buku Mardiasmo (2012:2) yaitu:
1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Pemungutan pajak yang dikenakan secara adil dan melihat kemampuan Wajib Pajak dalam membayar pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-undang (Syarat Yuridis) Pemungutan pajak yang diatur dalam Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 untuk memberikan jaminan hukum yang adil baik bagi negara maupun Warga Negara Indonesia.
3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan perekonomian dan tidak menggangu kehidupan ekonomi dari Wajib Pajak.
4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial)
Pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga biaya pemungutan pajak tidak terlalu besar.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Pemungutan pajak dilakukan secara sederhana yang berguna bagi masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
2.1.6 Jenis Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:5) pajak dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu menurut golongannya, sifatnya dan lembaga pemungutannya.
1. Menurut Golongannya a. Pajak Langsung
Pajak langsung yaitu pajak yang harus di pikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh : Pajak Penghasilan (PPh)
b. Pajak Tidak Langsung
Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2. Menurut Sifatnya
a. Pajak Subjektif
Pajak Subjektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak (PPh).
Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Objektif
Pajak Objektif yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
3. Menurut Lembaga Pemungutannya a. Pajak Pusat
Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.
Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai
b. Pajak Daerah
Pajak Daerah yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintahan Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota.
2.1.7 Pajak Daerah
2.1.7.1 Pengertian Pajak Daerah
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pajak Daerah adalah:
“Iuran Wajib Pajak yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.”
2.1.7.2 Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 mengatur dengan jelas bahwa untuk dapat dipungut pada suatu daerah, setiap jenis pajak daerah harus ditetapkan surut dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum atau ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2.1.7.3 Isi Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah
Peraturan daerah tersebut sekurang-kurangnya mengatur mengenai:
a) Nama, objek, dan subjek pajak;
b) Dasar pengenaan, tarif, dan cara perhitungan pajak;
c) Wilayah pemungutan;
d) Masa pajak;
e) Penetapan Pajak;
f) Tata cara pembayaran dan penagihan pajak;
g) Kadaluwarsa penagihan pajak;
h) Sanksi administrasi;
i) Tanggal dimulai berlakunya pajak.
2.1.7.4 Sistem Pemungutan dan Pemungutan Pajak Daerah
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 menetapkan sistem pajak untuk setiap Pajak Daerah adalah:
1. Sistem Pemungutan Pajak Daerah
Pemungutan pajak daerah saat ini menggunakan 3 (tiga) sistem pemungutan pajak. Sebagaimana tertera di bawah ini:
a) Dibayar sendiri oleh Wajib Pajak;
b) Ditetapkan oleh kepala daerah;
c) Dipungut oleh pemungut pajak.
2. Pemungut Pajak Daerah
a) Percetakan formulir perpajakan;
b) Pengiriman surat-surat kepada Wajib Pajak;
c) Penghimpunan data objek dan subjek pajak.
Untuk Wajib Pajak, sesuai dengan ketetapan kepala daerah maupun yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak:
a) Diterbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD);
b) Surat Keputusan Pembetulan;
c) Surat Keputusan Keberatan;
d) Putusan Banding sebagai dasar pemungutan dan penyetoran pajak.
2.1.7.5 Jenis-jenis Pajak Daerah
Jenis-jenis Pajak Daerah menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 terbagi menjadi dua yaitu pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Pembagian ini dilakukan sesuai dengan kewenangan pengenaan dan pemungutan masing- masing pajak daerah pada Wilayah administrasi Provinsi atau Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Berdasarkan Undang-undang tersebut ditetapkan jenis-jenis pajak daerah, yaitu terdiri dari:
1. Jenis Pajak Provinsi terdiri atas:
a) Pajak Kendaraan Bermotor
Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan Bermotor adalah semua jenis kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air.
b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar tambah, hibah, warisan atau pemasukan ke dalam badan usaha.
c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. Bahan bakar kendaraan bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor.
d) Pajak Air Permukaan
Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut maupun di darat.
e) Pajak Rokok
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah.
2. Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
a) Pajak Hotel
Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel.
Hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencangkup juga
motel, losmen, gabuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh).
b) Pajak Restoran
Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencangkup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.
c) Pajak Hiburan
Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran.
d) Pajak Reklame
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggara reklame. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan , atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum.
e) Pajak Penerangan Jalan
Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas pengunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.
f) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
g) Pajak Parkir
Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggara tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
h) Pajak Air Tanah
Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Air Tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
i) Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
j) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
k) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
2.1.8 Pajak Kendaraan Bermotor
2.1.8.1 Dasar Hukum Pajak Kendaraan Bermotor
Definisi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) menurut Undang-undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah “Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) adalah pajak atas kepemilikan atau penguasaan kendaraan bermotor”. Sedangkan definisi Kendaraan Bermotor adalah:
“Semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat berat yang bergerak”.
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) merupakan salah satu jenis pajak daerah. Sebagai salah satu jenis pajak daerah, pajak ini menganut sistem bagi hasil antara Pemerintah Kabupaten/Kota menerima bagi hasil PKB sebesar 30%, sedangkan Pemerintah Provinsi menerima 70%. Hasil penerimaan PKB tersebut, paling sedikit 10% (sepuluh persen) termasuk yang dibagi hasilkan kepada Kabupaten/Kota, dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan modal dan sarana transportasi umum.
2.1.8.2 Subjek Pajak Kendaraan Bermotor
Subjek PKB adalah orang pribadi, badan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, TNI, dan Porli yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor.
Kepemilikan adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan kendaraan bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen sah termasuk Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Sedangkan penguasaan adalah penggunaan dan atau penguasaan fisik kendaraan bermotor oleh pribadi atau badan dengan bukti pengasaan yang sah menurut ketentuan perundangan yang berlaku. Yang bertanggungjawab terhadap pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor adalah:
1. Orang yang bersangkutan, yaitu sebagai pemilik sesuai dengan hak kepemilikannya.
2. Orang atau badan yang memperoleh kuasa dari pemilik kendaraan bermotor.
3. Ahli waris yaitu orang atau badan yang ditunjuk dengan surat wasiat atau yang ditetapkan sebagai ahli waris berdasarkan kesepakatan dan atas putusan pengadilan.
2.1.8.3 Objek Pajak Kendaraan Bermotor
Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor tidak termasuk kepentingan dan/penguasaan kendaraan alat-alat berat dan alat-alat besar seperti buildozer, excavator, loader, dan lain-lain, yang tidak digunakan sebagai alat angkut orang dan/atau barang dijalan umum.
2.1.8.4 Wajib Pajak Kendaraan Bermotor
Wajib Pajak baik perorangan atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor yang jumlah pajaknya sebagian atau seluruhnya belum dilunasi oleh pemilik lama, maka pihak yang menerima penyerahan tersebut juga bertangung jawab terhadap pelunasan.
2.1.8.5 Masa Pajak Kendaraan Bermotor
Masa Pajak adalah 12 (dua belas) bulan berturut-turut yang merupakan tahun pajak terhitung sejak tagggal pendaftaran. Pajak Kendaraan Bermotor yang karena suatu hal dan hal lain masa pajaknya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, maka dapat dilakukan restitusi.
2.1.8.6 Cara Perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor
Berdasarkan pokok Pajak Kendaraan Bermotor yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan PKB adalah sesuai dengan rumus berikut:
= Tarif Pajak X Dasar Pengenaan Pajak Pajak Terutang
= Tarif Pajak X (NJKB x Bobot)
Berdasarkan contoh perhitungan dasar pengenaan pajak yang dikemukakan di atas dapat dihitung besarnya pajak terutang yaitu:
Untuk mobil mercedes Benz C180 automatic tahun pembuatan 2000 besarnya PKB yang terutang adalah 1,75% x Rp.290.000.000 = Rp.2.075.000
2.2 Kualitas Pelayanan
2.2.1 Pengertian Kualitas dan Kualitas Pelayanan (Pajak)
Kualitas atau mutu produk perlu mendapat perhatian besar dari manajer, sebab kualitas mempunyai hubungan langsung dengan kemampuan bersaing dan tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan.
Kualitas yang rendah akan menempatkan perusahaan pada posisi yang kurang menguntungkan. Apabila pelanggan merasa kualitas dari suatu produk tidak memuaskan, maka kemungkinan besar ia tidak akan menggunakan produk atau jasa perusahaan lagi.
Sebuah perusahaan jasa dapat memenangkan persaingan dengan menyampaikan secara konsisten layanan yang berkualitas tinggi dibandingkan para pesaing dan yang lebih tinggi daripada harapan pelanggan.
Menurut Goest dan Davish (1994) yang dikutip oleh Tjiptono (2009:51) yang dimaksud kualitas adalah:
“kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
Definisi dari kualitas pelayanan bermacam-macam, banyak pendapat yang mengemukakan tentang pengertian dari kualitas jasa itu sendiri. Inti dari kualitas jasa berpusat pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketetapan dalam penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan. Berbagai para ahli berpendapat tentang definisi kualitas pelayanan jasa.
Definisi kualitas pelayanan menurut Wykof yang dikutip oleh Tjiptono (2009:59) adalah:
“Kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan”.
Sedangkan menurut Tjiptono (2007:61) kualitas pelayanan adalah:
“Manusia atau orang yang berupaya dalam pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen serta ketepatan penyampaian dalam mengimbangi harapan konsumen”.
Dengan kata lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan jasa yaitu dirasakan expected service dan perceived service. Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas pelayanan jasa dipersepsikan baik.
Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas pelayanan jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya, jika jasa diterima lebih rendah daripada yang diharapkan maka kualitas pelayanan jasa dipresepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas pelayanan jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara konsisten.
2.2.2 Model Kualitas Pelayanan
Model kualitas pelayanan/jasa yaitu suatu model yang menyoroti kebutuhan utama untuk menghantarkan kualitas jasa yang lebih tinggi.
Parasuraman, et. al. (1985) seperti dikutip oleh Tjiptono (2009:147) mengidentifikasi lima kesenjangan tersebut yaitu:
1. Kesenjangan antara harapan konsumen dan persepsi manajemen.
2. Kesenjangan antara persepsi manajemen terhadap pelanggan dan spesifikasi kualitas pelayanan jasa.
3. Kesenjangan antara spesifikasi mutu jasa dan penyampaian jasa.
4. Sering kali harapan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan janji yang dibuat oleh perusahaan, resiko yang dihadapi oleh perusahaan adalah janji yang diberikan ternyata tidak dapat dipenuhi.
5. Kesenjangan antara jasa yang dialami dan jasa yang diharapkan.
2.2.3 Prinsip-prinsip Kualitas Pelayanan
Dalam rangka menciptakan gaya manajemen dan lingkungan yang kondusif serta menyempurnakan kualitas, setiap organisasi harus mampu mengimplementasikan enam prisip utama yang berlaku baik perusahaan manufaktur maupun organisasi jasa.
Keenam prinsip ini sangat bermanfaat bagi setiap perusahaan yang menjalankannya serta mampu mempertahankan lingkungan yang tepat untuk melaksanakan penyempurnaan kualitas secara berkesinambungan dengan didukung oleh pemasok, karyawan, dan pelanggan.
Enam prinsip pokok tersebut menurut Wolkins, yang dikutip oleh Tjiptono (2009:75), yaitu:
1) Kepemimpinan
Strategi kualitas perusahaan harus inisiatif dan komitmen dari manajemen puncak, manajemen puncak harus memimpin perusahaan untuk
meningkatkan kerja kualitasnya. Tanpa adanya kepemimpinan dari manajemen puncak maka usaha untuk meningkatkan kualitas hanya berdampak kecil terhadap perusahaan.
2) Pendidikan
Semua personil perusahaan dari manajer puncak sampai karyawan operasional harus memperoleh pendidikan mengenai kualitas. Aspek- aspek yang perlu mendapatkan penekanan dalam pendidikan tersebut meliputi konsep kualitas sebagai bisnis, alat, dan teknik implementasi kualitas, peranan eksekutif dalam implemntasi kualitas, dan peranan eksekutif dalam implementasi strategi kualitas.
3) Perencanaan Strategi
Proses perencanaan strategi harus mencangkup pengukuran dan tujuan kualitas yang digunakan dalam mengarahkan perusahaan untuk mencapai visi dan misinya.
4) Review
Proses review merupakan satu-satunya alat yang paling efektif bagi manajemen untuk mengubah perilaku operasional. Proses ini merupakan suatu mekanisme yang menjamin adanya perhatian konstan dan terus menerus untuk mencapai tujuan kualitas.
5) Komunikasi
Implementasi strategi kualitas dalam organisasi dipengaruhi oleh proses komunikasi dalam perusahaan. Komunikasi harus dilakukan dengan
karyawan, pelanggan, dan stakeholder perusahaan lainnya, seperti:
pemasok, pemegang saham, pemerintah, masyarakat umum, dan lain-lain.
6) Pengharapan dan Pengakuan (Total Human Reward)
Reward dan recognition merupakan aspek krusial dalam implementasi
strategi kualitas. Setiap karyawan yang menghasilkan prestasi perlu diberikan suatu imbalan dan prestasinya diakui oleh organisasi. Dengan cara seperti itu, motivasi serta semangat kerja, rasa bangga, dan rasa memiliki (sense of belong) setiap anggota organisasi dapat meningkat, yang pada gilirannya berkontribusi pada meningkatnya produktivitas karyawan dan profitabilitas bagi perusahaan, kepuasan dan loyalitas pelanggan.
2.2.4 Mengukur Kualitas Pelayanan
Dalam mengevaluasi pelayanan yang bersifat intangible (tidak berwujud), konsumen umumnya menggunakan beberapa atribut atau faktor, menurut Parasuraman, et. al yang dikutip oleh Tjiptono (2009:70), yaitu sebagai berikut:
1. Keandalan (Reliability)
Kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.
2. Data Tanggap (Responsiveness)
Keinginan para staf dan karyawan untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
3. Jaminan (Assurance)
Mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.
4. Empati (Emphaty)
Meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami para kebutuhan pelanggan.
5. Bukti Langsung (Tangible)
Meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi.
Menurut pendapat lainnya terdapat delapan dimensi kualitas pelayanan jasa dan dapat digunakan sebagai pondasi strategis dan analisis bagi perusahaan, delapan dimensi tersebut dikemukakan oleh Garvis yang dikutip oleh Tjiptono (2009:68) yaitu:
1. Kinerja (Performance) karakteristik operasi pokok dari produk dari produk inti, misalnya kecepatan, konsumsi listrik, jumlah kapasitas yang dipakai konsumen, kemudahan dan kenyamanan dalam menggunakan jasa tersebut dan sebagainya
2. Ciri-ciri keistimewaan tambahan (Features), yaitu karakteristik sekunder atau pelengkap, misalnya kelengkapan interior dan eksterior seperti AC, sound system, kursi, meja, dan sebagainya.
3. Kehandalan (Reability), yaitu kemungkinan akan mengalami kerusakan atau gagal dipakai, misalnya komputer yang tidak sering mengalami kendala dalam proses penggunaan.
4. Kesesuaian dengan spesifikasi (Conformance to Specification), yaitu sejauh mana karakteristik desain dan operasi memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan sebelumnya. Misalnya standar keamanan ruangan penyedia jasa, apakah tersedia peralatan keamanan apabila terjadi suatu kejadian yang tidak diinginkan seperti kebakaran atau gempa bumi.
5. Daya Tahan (Durability), yaitu berkaitan dengan berapa lama suatu produk dapat terus digunakan. Dimensi ini mencangkup umur teknis maupun ekonomis penggunaan komputer.
6. Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah diperbaiki, serta penanganan keluhan yang memuaskan.
7. Estetika, yaitu daya tarik produk terhadap panca indera, misalkan bentuk fisik yang menarik, model desain yang artistik, warna, dan sebagainya.
8. Kualitas yang dipersepsikan (Perceived Quality), yaitu citra dan reputasi produk serta tanggungjawab perusahaan terhadapnya.
2.2.5 Dampak Kualitas Pelayanan yang Buruk
Pelayanan di bidang perpajakan merupakan salah satu indikator untuk meningkatkan masyarakat dalam membayar pajak. Kenyamanan yang didapat oleh para Wajib Pajak akan berdampak baik pada citra perpajakan. Lemahnya Pelayanan dalam perpajakan yang menyebabkan kurangnya partisipasi masyarakat dalam kepatuhan membayar pajak akan mempengaruhi tax ratio.
2.2.6 Penyebab Kualitas Pelayanan yang Buruk Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Menurun
Menurunnya kepatuhan Wajib Pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari kesadaran Wajib Pajak itu sendiri maupun pelayanan yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Faktor dari Wajib Pajak sendiri antara lain bisa berupa:
1. Time efficiency.
2. Jarak tempuh yang jauh ke kantor samsat untuk memenuhi kewajibannya.
3. Fasilitas Pelayanan yang membuat para Wajib Pajak kurang nyaman.
4. Perilaku Fiskus yang dinilai kurang memuaskan kepentingan Wajib Pajak.
5. Kurangnya kesadaran dari Wajib Pajak itu sendiri.
(Journal: The Factor That Influence The Willingness To Pay The Tax.
2011, Page: 126-142. Nia Yulianawati).
Adapun Indikator yang harus dipenuhi oleh pelayanan untuk meningkatkan penerimaan Wajib Pajak, dan untuk membangun citra yang baik dalam perpajakan yakni:
1. Keandalan (Reliability)
Kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.
2. Data Tanggap (Responsiveness)
Keinginan para staf dan karyawan untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
3. Jaminan (Assurance)
Mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.
4. Empati (Emphaty)
Meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami para kebutuhan pelanggan.
5. Bukti Langsung (Tangible)
Meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi.
(Jurnal: Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor di Batu, 2011, Hal:3-5. M.Khoiri Rusdi, Fathoni).
2.3 Kepatuhan Pajak
2.3.1 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak
Kepatuhan dalam hal perpajakan berarti keadaan Wajib Pajak yang melaksanakan hak dan khususnya kewajiban, secara disiplin, sesuai peraturan perundang-undangan serta tata cara perpajakan yang berlaku dan tidak menyimpang dari ketentuan perpajakan.
Menurut Gunadi (2005:14) pengertian kepatuhan perpajakan Wajib Pajak adalah:
“Kepatuhan Perpajakan (tax compliance) adalah wajib pajak orang pribadi mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan, ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi”.
Pengertian kepatuhan Wajib Pajak menurut Rahayu (2010:138) sebagai:
“Suatu keadaan di mana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.”
Dalam Zain (2008) Kepatuhan Wajib memiliki pengertian, yaitu:
“Suatu iklim kepatuhan dan kesadarannya pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana:
1. Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
3. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
4. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.”
Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa kepatuhan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya secara sukarela merupakan suatu sikap akan sadar pada kewajibannya.
2.3.2 Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak
Untuk dapat ditetapkan menjadi wajib pajak patuh harus memenuhi beberapa kriteria atau persyaratan menurut Keputusan Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000, yaitu:
1. Tepat waktu dalam pembayaran pajaknya.
2. Tidak melakukan penundaan dengan sengaja.
3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bagian perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.
Sistem Official Assessment System diterapkan perpajakan Indonesia dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Susanti (2013:68). Ciri-ciri sistem Official Assessment System, yaitu:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus.
b. Wajib Pajak bersifat pasif.
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2.3.3 Jenis-jenis Kepatuhan Wajib Pajak
Adapun jenis-jenis kepatuhan Wajib Pajak menurut Rahayu dan Devano (2006:110) adalah:
1. Kepatuhan normal adalah suatu keadaan di mana Wajib Pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang perpajakan.
2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana Wajib Pajak secara substantif/hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan yaitu sesuai isi dan jiwa Undang-undang pajak kepatuhan material juga dapat meliputi kepatuhan formal.
2.3.4 Faktor-faktor yang Mengakibatkan Ketidak Patuhan Wajib Pajak Menurut (Susanto, 2012) ketidak patuhan Wajib Pajak terhadap pemenuhan atas kewajibannya diakibatkan oleh beberapa faktor:
1.) Prasangka negatif kepada aparat perpajakan.
2.) Hambatan atau kurangnya intensitas kerjasama dengan instansi lain (pihak ketiga) guna mendapatkan data mengenai potensi Wajib Pajak baru, terutama dengan instansi daerah atau bukan instansi vertikal.
3.) Masih sedikitnya informasi yang semestinya disebarkan dan dapat diterima masyarakat mengenai peranan pajak sebagai sumber penerimaan negara dan segi-segi positif lainnya.
4.) Adanya anggapan masyarakat bahwa timbal balik (kontraprestasi) pajak tidak bisa dinikmati secara langsung, bahkan wujud pembangunan sarana prasarana belum merata, meluas, apalagi menyentuh pelosok tanah air.
5.) Adanya anggapan masyarakat bahwa tidak ada keterbukaan pemerintah terhadap penggunaan uang pajak.
2.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu sebelumnya sangat penting untuk diungkapkan karena dapat dipakai sebagai sumber informasi dan bahan acuan yang sangat berguna bagi penulis. Penelitian mengenai kualitas pelayanan dan kepatuhan wajib pajak telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Adapun persamaan dan perbedaan ini dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No. Penelitian
(Tahun) Judul Penelitian
Keterkaitan Kelima Penelitian
Teknik Analisis
Hasil Penelitian
1. Arista Yudi (2011)
Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Kewajiban Moral Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Membayar Pajak Kendaraan Bermotor Pada Kantor Bersama SAMSAT Denpasar
Penelitian ini mengkaji kualitas pelayanan
Analisis Regresi Linear Berganda
Kualitas Pelayanan dan Kewajiban Moral berpengaruh
Signifikan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
2. Fathoni, M. Khoiru Rusydi (2011)
Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor di Kota Batu
Peneliti ini mengkaji kualitas pelayanan
Analisis Regresi Linear
Kualitas Pelayanan berpengaruh Signifikan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor
3. Suhadak, Kirana (2014)
Pengaruh Kualitas Pelayanan Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan pada KPP Madya Malang
Peneliti ini mengkaji kualitas pelayanan
Analisis Regresi Linear
Kualitas Pelayanan perpajakan berpengaruh Signifikan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan 4. Rd.
Muhamad Faris (2014)
Pengaruh Kualitas Pelayanan Fiskus Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor pada Samsat
Purwakarta
Peneliti ini mengkaji kualitas pelayanan
Analisis Regresi Linear
Kualitas Pelayanan Fiskus berpengaruh Signifikan terhadap Kepatuhan Wajib dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor
5. Penelitian ini, Aditia Iwan Rizki Nugraha (2015)
Pengaruh Kualitas Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor pada Samsat Kota Bandung Tengah
Peneliti ini mengkaji kualitas pelayanan
Analisis Regresi Linear
Kualitas Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor berpengaruh Signifikan terhadap Kepatuhan Wajib dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor
2.5 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yaitu:
“Iuran Wajib Pajak yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.”
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 mengatur dengan jelas bahwa untuk dapat dipungut pada suatu daerah, setiap jenis pajak daerah harus ditetapkan surut dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum atau ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pengertian Pajak Daerah menurut UU Nomor 28 Tahun 2009, yaitu:
“Kontribusi Wajib Pajak kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa yang berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran.”
Pada ketentuan umum perpajakan (KUP) No.28 Tahun 2009 yang terdapat pada Pasal 3 mengenai Pajak Kendaraan Bermotor yakni memilki kutipan:
1. Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
2. Termasuk dalam pengertian kendaraan bermotor sebagaimana maksudnya pada ayat (1) adalah kendaraan bermotor beroda beserta gandengannya, yang dioperasikan di semua jenis jalan darat dan kendaraan bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (five gross tonnage) sampai dengan GT 7 (seven gross tonnage).
3. Dikecualikan dari pengertian kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Kereta api;
b. Kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
c. Kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsultan, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembahasan pajak dari pemerintah; dan
d. Objek pajak lainnya yang ditetapkan dalam peraturan daerah.
Adapun ciri-ciri Kualitas Pelayanan Parasuraman, A., et al. (1985) seperti
dikutip oleh Tjiptono (2009:70), yang digambarkan untuk pelayanan yang baik adalah yang dapat mematuhi:
1. Keandalan (Reliability)
Kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat, dan memuaskan.
2. Data Tanggap (Responsiveness)
Keinginan para staf dan karyawan untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
3. Jaminan (Assurance)
Mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.
4. Empati (Emphaty)
Meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami para kebutuhan pelanggan.
5. Bukti Langsung (Tangible)
Meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi.
Akibat dari kualitas pelayan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang harus diperhatikan agar kualitas pelayanan yang diberikan kepada Wajib Pajak terpenuhi sehingga kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor meningkat.
Untuk kepatuhan Wajib Pajak itu sendiri memiliki sikap akan sadar kewajiban pajaknya, yang diantaranya adalah:
a. Tepat waktu pada setiap pembayaran pajaknya
- Selalu melakukan kewajiban Pajak Kendaraan Bermotor
- Sanksi administrasi
- Tepat waktu sebelum batas akhir b. Official Assesment System yang tepat
- Konfirmasi yang telah jatuh tempo
- Membantu Wajib Pajak tepat waktu dalam membayar PKB - Sanksi administrasi dan sanksi pidana
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka diilustrasikan pada Gambar 2.1 sebagai berikut:
Berpengaruh
Gambar 2.1
Skema Kerangka Pemikiran Sumber: Diolah sendiri
KUP No.28 Tahun 2009
Pajak Daerah &
Retribusi Daerah
Kualitas Pelayan Pajak Kendaraan Bermotor
Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor
(PKB)
Hipotesis Terdapat pengaruh atas kualitas pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar Pajak Kendaraan Bermotor
Pajak Kendaraan Bermotor
Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian pada Gambar 2.1 dapat digambarkan hubungan antara Kualitas Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Membayar Pajak Kendaraan Bermotor sebagai berikut:
Gambar 2.2 Paradigma Penelitian
Apabila kualitas pelayanan baik maka hal itu akan membuat citra perpajakan menjadi baik pula. Begitu pun sebaliknya, apabila kualitas pelayanan buruk maka akan berdampak pada buruknya citra perpajakan. Dan apabila semakin baik citra perpajakan maka kepatuhan Wajib Pajak akan meningkat pula.
Begitu pun sebaliknya, apabila citra perpajakan buruk maka kepatuhan Wajib Pajak akan menurun. Menurut Salamun (1993:283) membangun dan menjaga citra baik memang tidak semudah serperti lahirnya suatu keinginan.
2.6 Hipotesis Penelitian
Hipotesis menurut Sugiyono (2010:64) adalah:
“Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta- fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik.”
Kualitas Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor (X)
Kualitas Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor
Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor (Y)
Kepatuhan Wajib Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
Berdasarkan skema kerangka pemikiran, hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada tidaknya hubungan antar variabel X (variabel independent) dan Y (variabel dependent). Penulis mengemukakan hipotesis
penelitian untuk dikaji kebenarannya, yaitu: “Terdapat Pengaruh atas Kualitas Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Kendaraan Bermotor.”