9 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Psychological Well-being (PWB) 2.1.1. Definisi PWB
Menurut Corsini (2002), pengertian well-being adalah suatu keadaan subyektif yang baik, termasuk kebahagiaan, self esteem dan kepuasan dalam hidup. Campbell menyatakan bahwa PWB sebagai hasil dari evaluasi yang dilakukan seseorang terhadap hidupnya baik evaluasi secara kognitif maupun evaluasi secara emosi. Sementara itu, Ryff (1995) mendefinisikan PWB sebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya. Individu yang memiliki PWB secara umum mampu menerima dirinya apa adanya, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, mampu mengontrol keadaan sekitar, memiliki arti hidup serta mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu. Shek (dalam Punia & Malaviya, 2015) mendefinisikan PWB sebagai keadaan di mana individu memiliki sejumlah kualitas kesehatan mental yang positif seperti penyesuaian aktif terhadap lingkungan dan kesatuan kepribadian.
Berdasarkan uraian di atas maka definisi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menurut Ryff (1989), PWB merupakan hasil evaluasi atau penilaian seseorang atas pengalaman-pengalaman hidupnya.
2.1.2. Teori PWB
PWB dilihat dengan cara yang berbeda. Pandangan tersebut sesuai dengan pendekatan hedonis dan eudaimonik dari filsuf awal.
Kesejahteraan subjektif dibuat oleh Ryan dan Deci (dalam Perez, 2012) yang terdiri dari persepsi kesenangan, ketidaksenangan,
10
kepuasan dan kebahagiaan yang membentang di sepanjang pendekatan hedonis. Cara lain adalah pendekatan eudaimonik atau model PWB yang memperhitungkan mekanisme fungsi sehat dan penyesuaian. PWB dikatakan lebih stabil daripada kesejahteraan subjektif yang dapat berfluktuasi dengan pengalaman hidup. PWB dapat menyebabkan manusia memiliki pengalaman hidup yang positif. Ryff (dalam Perez, 2012) mengusulkan sebuah model dengan enam faktor psikologis. Ryff menggunakan berbagai pandangan seperti pendekatan perkembangan dari Erikson, kecenderungan hidup dasar dari Buhler, perubahan kepribadian dari Neurgarten, konseps aktualisasi diri dari Maslow, konsep kematangan dari Allport.
Teori PWB muncul dari banyak model sebelumnya seperti aktualisasi diri Maslow (1968), psikososial dari Erikson (1959), manusia secara utuh dari Roger, individulis dari Jung (1933), dan konsepsi kematangan dari Allport (1961). Ryff mendefinisikan PWB sebagai hasil evaluasi atau penilaian seseorang terhadap dirinya yang merupakan hasil evaluasi atas pengalaman-pengalaman hidupnya (Ryff, 1995). Di dalam PWB terdapat beberapa aspek menurut Ryff, yaitu: penerimaan diri, hubungan positif degan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pengembangan diri (Ryff, 1989). Menurut Felce dan Perry (dalam Sharma & Tankha, 2014) PWB terdiri dari fisik, materi, sosial dan kesejahteraan emosional.
Ryan dan Deci (dalam Sharma & Tankha, 2014) menggambarkannya sebagai tiga kebutuhan dasar psikologis manusia seperti kompetensi, otonomi, dan keterkaitan. Penelitian tentang kesejahteraan psikologis berfokus pada pertumbuhan pribadi dan tantangan hidup seperti aktualisasi diri (Maslow, dalam Li, Wang, & Xiao, 2014) dan tahap kehidupan kebajikan (Erikson, dalam Li, Wang, & Xiao, 2014).
Berdasarkan uraian di atas maka teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah teori PWB yang dikemukanan oleh Ryff (1989) yang berdasarkan pada aspek-aspek penerimaan diri, hubungan positif
11
denga orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pengembangan diri dengan alas an bahwa teori ini sesuai dengan kondisi PWB mahasiswa tahun pertama Fakultas Teologi UKIM.
2.1.3. Aspek-aspek PWB
Aspek-aspek PWB yang dikembangkan oleh Ryff (1989):
a. Penerimaan diri.
Individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengenali dan menerima segala aspek diri yang baik dan buruk serta merasa positif tentang masa lalu.
b. Hubungan positif dengan orang lain.
Individu yang memiliki hubungan hangat, memuaskan, dan saling percaya satu sama lain, mampu berempati serta terlibat dalam hubungan timbal balik.
c. Otonomi.
Individu mampu mengatasi tekanan sosial dengan tetap berpikir dan bertindak sesuai dengan keyakinan serta mengevaluasi diri berdasarkan standar pribadi.
d. Penguasaan lingkungan.
Kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi psikisnya. Aspek ini menekankan kemampuan seseorang untuk tampil dan mengubah lingkungan sekitar.
e. Tujuan hidup.
Individu yang berfungsi secara positif memiliki tujuan, niat, rasa, dan arah yang semuanya berkontribusi terhadap perasaan bahwa hidup ini bermakna.
f. Pengembangan diri.
Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan menyadari potensi diri merupakan hal yang penting dalam pertumbuhan
12
pribadi. Keterbukaan terhadap pengalaman, misalnya, adalah karakteristik utama dari orang yang berfungsi sepenuhnya.
2.1.4. Faktor-faktor yang Memengaruhi PWB
Faktor-faktor yang memengaruhi PWB (dalam Amawidyati &
Utami, 2007) antara lain: latar belakang budaya, kelas sosial (Ryff, 1995), tingkat ekonomi dan tingkat pendidikan (Ryff, 1995;
Mirowsky & Ross, 1999), kepribadian (Schmutte & Ryff , dalam Keyes, Ryff, & Shmotkin, 2002), pekerjaan, pernikahan, anak‐anak, kondisi masa lalu seseorang terutama pola asuh keluarga, kesehatan dan fungsi fisik, serta faktor kepercayaan dan emosi (Mirowsky &
Ross, 1999), jenis kelamin (Calhoun, Acocella, & Turner dalam Chamberlain & Zika, 1992), serta religiusitas (dalam Pargament, 2001; Chamberlain dan Zika, 1992, Comptom,2001).
Mirowsky dan Ross (dalam Ryan & Deci 2001) menjelaskan kondisi yang dapat mempengaruhi PWB seseorang adalah:
kemampuan ekonomi, pekerjaan, pendidikan, anak, kehidupan masa kecil seseorang, serta kesehatan fisik. Sementara itu Schmutte dan Ryff (dalam Ryan & Deci 2001) mempelajari hubungan antara faktor kepribadian dengan PWB, hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa extroversion, consceintiousness dan low neuroticism memiliki hubungan dengan PWB, terutama penerimaan diri, penguasaan lingkungan, serta tujuan hidup, keterbukaan terhadap pengalaman berhubungan dengan pertumbuhan pribadi. Agreeableness dan extraversions berkaitan dengan hubungan positif dengan orang lain dan low neuroticism berkaitan dengan kemandirian. Dijelaskan pula oleh Bhogel dan Prakash (dalam wahyuni 2001) yang menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu: 1. Personal control, yaitu kemampuan seseorang dalam mengontrol segala emosi dan dorongan yang muncul dari dalam diri.
2. Self esteem atau harga diri, yaitu memiliki harga diri yang
13
seimbang. 3. Positive affect, perasaan atau emosi yang positif (kesenangan atau kegembiraan). 4. Manage tension, yaitu kemampuan untuk mengatur ketegangan yang keluar dari dalam diri, misalnya kemarahan atau kebahagiaan, sehingga tidak muncul secara berlebihan. 5. Positive thinking, yaitu berfikir positif dalam menghadapi peristiwa, suasana, atau individu baru. 6. Idea & feeling yang efisien, yaitu mengeluarkan ide dan perasaan yang tepat dan sesuai dengan konteks serta tidak berlebihan.
Selain itu menurut Diener dan Suh (dalam, Landa dkk, 2010) salah satu prediktor yang baik dalam menentukan PWB seseorang adalah emosi. Persepsi mengenai PWB dapat dianggap sebagai komponen kognitif dari kepuasan hidup karena melibatkan penilaian seseorang dalam bagaimana mereka menjalani hidupnya. Penilaian tersebut tentunya membutuhkan suatu kemampuan dan kemampuan itu disebut dengan kecerdasan emosional.
Menurut Bandura dan Flammer (dalam, Adejuwon & Lawal, 2013) self-efficacy merupakan salah satu faktor pendukung PWB karena apabila individu memiliki self-efficacy yang tinggi maka dia akan memiliki PWB yang tinggi pula.
Berdasarkan faktor-faktor yang telah disebutkan maka dapat disimpulkan bahwa PWB dipengaruhi oleh latar belakang budaya, kelas sosial, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, kepribadian, kesehatan fisik, pola asuh keluarga, religiusitas, personal control, self esteem, positive affect, manage tension, positive thinking, kecerdasan emosional, dan self-efficacy.
2.2. Kecerdasan Emosional
2.2.1. Definisi Kecerdasan Emosional
Menurut Mayer dan Salovey (dalam Mayer, Salovey, &
Caruso, 2008) definisi asli dari kecerdasan emosional
14
dikonseptualisasikan sebagai seperangkat kemampuan yang saling terkait.
Goleman (dalam Irshad, 2015) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri sendiri, dan untuk mengelola emosi dengan baik dalam diri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Boyatzis (dalam Irshad, 2015) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk memproses informasi emosional secara efisien dan efektif.
Berdasarkan uraian di atas maka definisi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menurut Goleman (dalam Irshad, 2015), kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri sendiri, dan untuk mengelola emosi dengan baik dalam diri dan hubungan dengan orang lain.
2.2.2. Teori Kecerdasan Emosional
Salovey dan Mayer (dalam Irshad, 2015) yang pertama kali menggunakan istilah kecerdasan emosional mendalilkan bahwa kecerdasan emosional terdiri dari tiga kategori yaitu penilaian dan ekspresi emosi, regulasi emosi, dan pemanfaatan emosi dalam memecahkan masalah. Kategori pertama terdiri dari komponen- komponen penilaian dan ekspresi emosi dalam diri dan penilaian emosi pada orang lain. Komponen penilaian dan ekspresi emosi dalam diri dibagi lagi menjadi subkomponen verbal dan non-verbal dan yang diterapkan pada orang lain dipecah menjadi subkomponen persepsi non-verbal dan empati. Kategori kedua dari kecerdasan emosional adalah regulasi, memiliki komponen regulasi emosi dalam diri dan regulasi emosi orang lain. Kategori ketiga, pemanfaatan emosi, mencakup komponen-komponen perencanaan yang fleksibel, berpikir kreatif, perhatian yang terarah dan memiliki motivasi. Salovey dan
15
Mayer (dalam Mehmood & Gulzar, 2014) menjelaskan kecerdasan emosional adalah bagian dari kecerdasan sosial, kemampuan untuk memahami dan memantau emosi sendiri dan orang lain.
Mayer dan Salovey (dalam Salovey & Grewal, 2005) mengusulkan sebuah model kecerdasan emosional untuk mengatasi kebutuhan yang berkembang dalam psikologi pada sebuah kerangka yang mengatur studi perbedaan individu dalam kemampuan yang terkait dengan emosi. Model teoritis ini termotivasi dari pembuatan tes kemampuan dasar yang pertama pada kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional telah terbukti memiliki efek pada hasil hidup yang penting seperti membentuk hubungan pribadi yang memuaskan dan mencapai kesuksesan.
Konsepsi kecerdasan emosional mencakup kemampuan untuk terlibat dalam pengolahan informasi tentang emosi diri sendiri dan emosi orang lain serta kemampuan untuk menggunakan informasi ini sebagai panduan untuk berpikir dan perilaku. Artinya, individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan memerhatikan, menggunakan, memahami, dan mengelola emosi yang berpotensi menguntungkan diri sendiri dan orang lain (Mayer, Salovey, &
Caruso, 2008).
Goleman (dalam Irshad, 2015) menyatakan bahwa kecerdasan emosional dibangun pada keterlibatan pribadi yang perlu dihubungkan dengan inovasi secara terus-menerus. Goleman (dalam Irshad, 2015) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri sendiri, dan untuk mengelola emosi dengan baik dalam diri dan dalam hubungan dengan orang lain. Menurut Goleman (dalam Samaie & Sepahmansour, 2015) aspek-aspek kecerdasan emosional terdiri dari kesadaran diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, empati, dan ketrampilan sosial. Konsep kecerdasan emosional telah menimbulkan minat besar di antara
16
peneliti dan profesional yang bekerja di bidang kesehatan mental karena dianggap sebagai faktor yang memberikan informasi yang berguna untuk memecahkan masalah sehari-hari. Pengelolaan emosi sekarang dianggap penting untuk kesehatan dan adaptasi psikologis (Landa, Martos, & Zafra, 2010).
2.2.3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Aspek-aspek yang dikembangkan oleh Mayer dan Salovey (dalam Salovey & Grewal, 2005) terdiri dari:
a. Merasakan emosi
Kemampuan untuk mendeteksi dan menguraikan emosi di wajah, gambar, suara, dan artefak budaya. Hal ini juga mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi emosi sendiri.
b. Menggunakan emosi
Kemampuan memanfaatkan emosi untuk memfasilitasi berbagai kegiatan kognitif, seperti berpikir dan pemecahan masalah.
c. Pemahaman emosi
Kemampuan untuk memahami bahasa emosi dan untuk menghargai hubungan yang rumit.
d. Mengelola emosi
Kemampuan untuk mengatur emosi pada diri sendiri dan orang lain.
Aspek-aspek yang dikembangkan oleh Goleman (dalam Samaie & Sepahmansour, 2015) terdiri dari:
a. Kesadaran diri
Kemampuan untuk mengenali dan memahami suasana hati, emosi, dan dorongan, serta efeknya pada orang lain.
17 b. Mengelola emosi
Kemampuan untuk mengontrol atau mengarahkan impuls yang mengganggu suasana hati. Kecenderungan menangguhkan penilaian untuk berpikir sebelum bertindak.
c. Memotivasi diri sendiri
Sebuah kecenderungan untuk mengejar tujuan dengan energi dan ketekunan.
d. Empati
Kemampuan untuk memahami susunan emosional orang lain. Keterampilan dalam menghibur orang sesuai dengan reaksi emosional mereka.
e. Keterampilan sosial
Kecakapan dalam mengelola hubungan dan membangun jaringan. Kemampuan untuk menemukan kesamaan dan membangun hubungan dengan orang lain.
Aspek-aspek yang dikembangkan oleh Dulewicz dan Higgs (dalam Nawi, Redzuan, Hamsan, 2012) terdiri dari:
a. Kesadaran diri b. Ketahanan emosional c. Motivasi
d. Sensitivitas interpersonal e. Pengaruh
f. Intuitif
g. Kesadaran dan integritas.
Dari aspek yang telah dijelaskan, penulis memilih menggunakan aspek kecerdasan emosional menurut Goleman (2006) yakni kesadaran diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, empati, dan ketrampilan sosial karena aspek-aspek tersebut mewakili pemahaman perasaan individu terhadap diri sendiri dan orang lain atau lingkungan sekitar.
18 2.2.4. Efek Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional penting untuk membangun dan memelihara hubungan interpersonal. Pada dasarnya individu harus berurusan dengan berbagai tipe karakter manusia dalam konteks yang berbeda (Rathnakara, 2014). Individu yang memiliki kecerdasan emosional di atas rata-rata lebih sadar emosi diri sendiri dan emosi orang lain, serta mampu secara efektif mengontrol emosi diri sendiri.
Perilaku tersebut menimbulkan kemungkinan bahwa seseorang akan lebih berupaya dalam realisasi diri dan pertumbuhan pribadi dan tidak dalam mencari kenikmatan jangka pendek yang sering menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan. Individu yang memiliki kecerdasan emosi juga seharusnya mengalami tingkat yang lebih tinggi pada PWB (terutama di bidang pertumbuhan pribadi, hubungan interpersonal yang positif, dan penerimaan diri). Individu yang mampu memahami dan mengendalikan emosi cenderung berperilaku lebih rasional ketika berhadapan dengan masalah, memiliki internal locus of control, masalah sehari-hari tidak membuat stres, menganggap diri lebih efisien, memiliki pengalaman yang lebih positif daripada emosi negatif, dan menerima dukungan sosial yang lebih dekat dari anggota yang jauh dalam jaringan sosial (Bar-On, dalam Andreja Avsec, Polona Masnec and Burn Komidar, 2009).
Salovey dan Mayer (dalam Rathnakara, 2014) telah mengidentifikasi bahwa tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi menghasilkan PWB dan fisik yang lebih baik. Kecerdasan emosional adalah tentang kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi seseorang serta orang lain dan menggunakan informasi tersebut untuk membimbing pemikiran dan tindakan seseorang. Kecerdasan semacam ini akan berpengaruh untuk mempertahankan tingkat PWB yang tepat.
19 2.3. Self-efficacy
2.3.1. Definisi Self-efficacy
Bandura (dalam Feist & Feist, 2013) mendefinisikan self- efficacy sebagai keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan. Bandura beranggapan bahwa keyakinan atas efikasi seseorang adalah landasan dari agen manusia.
Self-efficacy juga didefinisikan sebagai evaluasi dari kompetensi seseorang untuk berhasil melaksanakan suatu tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan (Zimmerman, dalam Siddiqui, 2015.
Kinzie, Delcourt, dan Powers (dalam Grover, 2016) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam menyeselsaikan tugas; self-efficacy mencerminkan keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk melakukan perilaku yang diperlukan untuk menghasilkan hasil tertentu dan berpikir untuk langsung berdampak dalam tugas.
Di lain kesempatan Wood dan Bandura (dalam Grover, 2016) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan dalam satu kemampuan untuk memobilisasi motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasional yang diberikan.
Berdasarkan uraian di atas maka definisi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menurut Bandura (dalam Feist & Feist, 2013) yang menjelaskan bahwa self-efficacy merupakan keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan.
20 2.3.2. Teori Self-efficacy
Teori self-efficacy dari Bandura diperkenalkan sebagai komponen dari teori kognitif sosial. Bandura (dalam Hebert dkk, 2014) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan seseorang pada kemampuannya sendiri untuk menghasilkan efek yang dikehendaki.
Keyakinan ini mempengaruhi bagaimana individu merasa, berpikir dan memotivasi diri mereka sendiri. Self-efficacy tidak hanya memengaruhi bagaimana seorang individu merasa, tapi turut memengaruhi tindakan individu. Konsep self-efficacy dari Bandura berhubungan dengan penilaian individu menyangkut kemampuan mereka untuk melaksanakan perilaku yang relevan dengan tugas atau situasi tertentu. Hal ini mengacu pada kepercayaan kemampuan untuk berperilaku sedemikian rupa atau untuk menghasilkan hasil yang diinginkan (dalam Siddiqui, 2015). Menurut Bandura (dalam Hornik
& Johnson, 2014), self-efficacy memiliki tiga aspek, yaitu: magnitude, strenght, dan generality. Self-efficacy membuat perbedaan dalam cara orang merasa, berpikir dan berperilaku dan memotivasi diri. Self- efficacy berkaitan dengan keyakinan tentang kemampuan mengatasi berbagai stres. Orang dengan self-efficacy yang tinggi memilih untuk melakukan tugas yang lebih menantang dan sulit. Dalam hal perasaan, tingkat self-efficacy yang rendah berhubungan dengan stres, depresi, kecemasan dan ketidakberdayaan. Individu tersebut juga memiliki harga diri yang rendah dan menjadi pesimis tentang prestasi mereka dan pengembangan pribadi (Bandura, dalam Zulkosky, 2009). Ruang lingkup teori Bandura menyediakan dukungan untuk dimanfaatkan dalam bidang akademisi karena ia menemukan siswa dengan tingkat self-efficacy yang lebih tinggi dapat berpartisipasi dengan mudah, bekerja lebih keras, bertahan lebih lama dan memiliki reaksi emosional yang tidak merugikan ketika mereka menghadapi kesulitan (Bandura, dalam Hebert dkk, 2014).
21 2.3.3. Aspek-aspek Self-efficacy
Menurut Bandura (dalam Hornik & Johnson, 2014), self- efficacy memiliki tiga aspek, yaitu:
a. Magnitude (tingkat kesulitan tugas), berfokus pada apakah individu percaya bahwa ia bisa menyelesaikan tugas.
b. Strength (kekuatan keyakinan), mencerminkan keyakinan individu dalam menyelesaikan berbagai komponen tugas atau pada berbagai tingkat kesulitan.
c. Generality (generalitas), sejauh mana self-efficacy dalam suatu tugas generalisasi untuk tugas-tugas atau domain lainnya.
Menuru Corsini (1994), self-efficacy memiliki empat aspek, yakni:
a. Kognitif, merupakan kemampuan seseorang memiliki cara-cara yang digunakan dan merancang tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
b. Motivasi, merupakan kemampuan seseorang memotivasi diri melalui pikirannya untuk melakukan suatu tindakan dan keputusan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
c. Afeksi, merupakan kemampuan mengatasi perasaan emosi yang timbul pada diri sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
d. Seleksi, merupakan kemampuan seseorang untuk menyeleksi tingka laku dan lingkungan yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Dari aspek yang telah dijelaskan, penulis memilih menggunakan aspek self-efficacy menurut Bandura (dalam dalam Hornik & Johnson, 2014) yakni magnitude, strength, generality karena seseorang yang memiliki self-efficacy yang tinggi percaya bahwa mereka dapat menyelesaikan suatu tugas secara efektif.
22 2.3.4. Efek Self-efficacy
Self-efficacy yang tinggi memberikan efek terhadap PWB yang semakin positif, memiliki harga diri yang tinggi, dan kondisi fisik yang lebih baik. Mahasiswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan memperoleh PWB yang tinggi sehingga termotivasi untuk berpartisipasi dalam kegiatan akademik yang relevan dan mampu mengembangkan sikap positif yang berujung pada keberhasilan dalam studi (Ozer & Bandura dalam Saddiqui, 2015). Selanjutnya, siswa dengan self-efficacy dan PWB yang tinggi akan menjadi fleksibel, tangguh, dan efisien dalam memecahkan masalah dan lebih berkomitmen untuk mencapai tujuan akademis mereka (Pajares &
Schunk dalam Saddiqui, 2015).
2.4. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Adeyemo dan Adeleye (2008) memberikan hasil bahwa kecerdasan emosional, religiusitas dan self- efficacy secara simultan dapat mempengaruhi PWB dengan nilai Fhitung sebesar 63,218 dan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05). Namun, apabila dilihat secara parsial maka kecerdasan emosional dan self- efficacy memberikan kontribusi yang signifikan sementara religiusitas tidak. Nilai thitung kecerdasan emosional sebesar 10,598 dan tingkat signifikansi 0,000 (p<0,05). Nilai thitung self-efficacy sebesar 3,658 dan tingkat signifikansi 0,000 (p<0,05). Nilai thitung religiusitas sebesar 0,065 dan tingkat signifikansi 0,948 (p<0,05).
Penelitian yang dilakukan oleh Irshad (2015) menemukan hasil bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan PWB dengan nilai R square sebagai berikut: EI memiliki korelasi positif yang kuat dengan PWBAUT r = 0,440 **, (0,000) p <0,01 dan tidak memiliki korelasi dengan PWBEM r = 0,070, (0,397) p> 0,05, EI memiliki korelasi positif yang kuat dengan PWBPG r = 0,219 **, (0,007) p <0,01, dan juga memiliki korelasi positif yang kuat dengan PWBPR r =
23
0,378 **, (0,000) p <0,01, EI memiliki korelasi positif yang kuat dengan PWBPIL r = 0,374 **, (.000) p <0,01, dan memiliki korelasi positif dengan PWBSA r = 0,409 **, (0,000) p <0,01.
Penelitian yang dilakukan oleh Rathnakara (2014) menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara kecerdasan emosional dan PWB (r = 0,330 dan β = 0,459, p<0,05.
Penelitian yang dilakukan oleh Shaheen dan Shaheen (2016) menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang kuat antara PWB dan kecerdasan emosional (r = 0,312; p<0,01).
Penelitian yang dilakukan oleh Adeyemo dan Adeleye (2008) menemukan hasil bahwa kecerdasan emosional dan self-efficacy memberikan kontribusi signifikan terhadap PWB dari remaja sementara religiusitas tidak. Kecerdasan emosional memberikan kontribusi tertinggi (β = 0,544, t = 10,598, P <0,05), diikuti dengan self-efficacy yang berkontribusi (β = 0,179, t = 3,66, p<0,05) dan kemudian religiusitas (β
= 0,003, t = 0,065, P> 0,05).
Penelitian yang dilakukan oleh Sidiqqui (2015) menemukan hasil bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara self-efficacy dengan PWB dengan nilai R Square = 0,356.
Penelitian yang dilakukan oleh Onuoha dan Bada (2016) menemukan hasil bahwa tidak ada kontribusi yang signifikan dari self- efficacy untuk PWB (β = 0,09; t = 1,73; p> 0,05)
2.5. Kaitan antar Variabel
Kecerdasan emosional memainkan peran penting dalam PWB secara teoritis terkait dengan beberapa nilai kemanusiaan yang penting termasuk kepuasan hidup, kualitas hubungan interpersonal, dan kesuksesan dalam pekerjaan yang melibatkan penalaran yang cukup dengan informasi emosional seperti yang melibatkan kreativitas, kepemimpinan, dan psikoterapi (Adeyemo & Adeleye, 2008). Tercatat dalam temuan Palmer, Donaldson dan Stough (dalam Adeyemo &
24
Adeleye, 2008) bahwa kecerdasan emosional cukup berkorelasi dengan kesejahteraan psikologis dan secara signifikan menjelaskan beberapa perbedaan dalam kesejahteraan psikologis. Penelitian yang dilakukan oleh Aranda, Extremera, dan Galan (dalam Shaheen & Shaheen 2016) menunjukkan bahwa kecerdasan emosional yang tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan serta mengurangi pengalaman stres.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Cazan dan Nastasa (2015) menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berhubungan dengan penyesuaian yang lebih baik atau sukses dalam pengaturan akademik.
Juga, tingkat kecerdasan emosional yang berhubungan dengan tingkat yang lebih rendah dari kecemasan, stres, dan kelelahan dan dengan tingkat kepuasan dengan kehidupan.
Orang-orang dengan self-efficacy yang tinggi bisa melakukan sikap yang memungkinkan mereka untuk melihat tantangan sebagai masalah yang harus diselesaikan bukan ancaman yang harus dihindari.
Mereka juga menetapkan tujuan dengan tepat menantang untuk diri mereka sendiri dan mempertahankan komitmen yang kuat untuk tujuan tersebut. Orang dengan self-efficacy yang kuat menikmati hidup karena mereka sangat terlibat dengan kehidupan sekitar. Ketika mereka menghadapi situasi stres keyakinan mereka terhadap kemampuan sendiri untuk mengelola situasi memberikan keuntungan serta memungkinkan mereka menjadi percaya diri sendiri. Self-efficacy yang tinggi berhubungan dengan PWB yang positif, regulasi stres, harga diri yang lebih tinggi, kondisi fisik yang lebih baik, serta adaptasi yang lebih baik.
Di sisi lain, self-efficacy yang rendah berhubungan dengan gejala yang lebih dari kecemasan dan depresi serta untuk menurunkan tingkat kesejahteraan. Mahasiswa yang memiliki self-efficacy tinggi termotivasi untuk berpartisipasi dalam kegiatan akademik yang relevan dan mengembangkan sikap positif yang menyebabkan keberhasilan di sekolah dan kemungkinan besar akan tampil baik di tujuan akademis mereka. Mahasiswa dengan self-efficacy dan PWB yang tinggi dapat
25
menjadi lebih fleksibel, tangguh, dan efisien dalam memecahkan masalah dan lebih berkomitmen untuk tujuan akademis mereka dan mengejar kesuksesan daripada difokuskan pada menghindari kegagalan mereka (Siddiqui 2015). Cakar (2012) melaporkan bahwa orang-orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi cenderung lebih nyaman dan produktif ketika mereka dihadapkan dengan kondisi yang keras atau tidak menguntungkan dibandingkan dengan orang yang memiliki self- efficacy yang rendah.
Palmer, Donaldson dan Stough (dalam Adeyemo & Adeleye, 2008) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional cukup berkorelasi dengan PWB dan secara signifikan menjelaskan beberapa perbedaan dalam PWB. Bila individu memiliki kecerdasan emosional yang tinggi maka dia akan memiliki PWB yang tinggi pula (Mayer dan Salovey, dalam Adeyemo & Adeleye, 2008). Self-efficacy merupakan keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan perilaku tertentu hingga mencapai suatu hasil. Self-efficacy menentukan ketahanan suatu individu terhadap kesulitan (Bandura, dalam Adeyemo & Adeleye, 2008). Secara umum, apabila individu memiliki self-efficacy yang tinggi maka dia akan memiliki PWB yang tinggi pula. Dengan demikian apabila individu memiliki kecerdasan emosional dan self-efficacy yang tinggi maka secara otomatis dia akan memiliki PWB yang tinggi pula.
2.6. Kerangka Penelitian
Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Kecerdasan Emosional
(X1)
Psychological Well Being (Y)
Self-efficacy (X2)
26 2.7. Hipotesis Penelitian
Ada pengaruh kecerdasan emosional dan self-efficacy secara simultan terhadap PWB pada mahasiswa tahun pertama Fakultas Teologi UKIM.