KONSEP DIRI REMAJA DALAM MEDIA SOSIAL
(Studi Deskriptif Kualitatif Konsep Diri pada Pengguna Media Sosial Instagram dikalangan Pelajar SMA di Kota Medan)
SKRIPSI Yenni Novianti
130904109 Public Relations
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
KONSEP DIRI REMAJA DALAM MEDIA SOSIAL
(Studi Deskriptif Kualitatif Konsep Diri pada Pengguna Media Sosial Instagram dikalangan Pelajar SMA di Kota Medan)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara Yenni Novianti
130904109 Public Relations
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Yenni Novianti
NIM : 130904109
Judul Skripsi : Konsep Diri Remaja dalam Media Sosial (Studi Deskriptif Kualitatif Konsep Diri pada Pengguna Media Sosial Instagram di Kalangan Pelajar SMA di Kota Medan)
Dosen Pembimbing Ketua Departemen
Yovita Sabarina Sitepu, S.Sos., M.Si Drs. Dewi Kurniawati, M.Si, Ph.D NIP. 197310212006042001 NIP. 196505241989032001
Dekan
Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si.
NIP. 197409302005011002
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Yenni Novianti
NIM : 130904109
Departemen : Ilmu Komunikasi/ Public Relations
Judul Skripsi : Konsep Diri Remaja dalam Media Sosial (Studi Deskriptif Kualitatif Konsep Diri pada Pengguna
Media Sosial Instagram di Kalangan Pelajar SMA di Kota Medan)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Majelis Penguji
Ketua Penguji :...(...) Penguji :...(...) Penguji Utama :...(...)
Ditetapkan di :...
Tanggal :...
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan dengan benar. Jika di kemudian hari saya
terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Nama : Yenni Novianti
NIM : 130904109
Tanda Tangan :
Tanggal : 25 Maret 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmatNya, saya dapat menyelesaikan skripsi yang menjadi syarat kelulusan saya.
Penulisan skripsi yang berjudul “Konsep Diri Remaja dalam Media Sosial” ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU).
Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Saya mendapatkan banyak saran, bimbingan, dan masukan dari berbagai pihak yang senantiasa mendukung dan menyemangati saya selama proses pengerjaan skripsi. Secara khusus saya sampaikan rasa terima kasih yang begitu besar kepada kedua orang tua saya, pertama untuk Ayah saya tercinta yang sudah berpulang ke rahmatullah Alm.Hj. Ir.Mudin,MT, dan mama saya yang sangat saya cintai Hj.Halimatussakdiyah yang senantiasa mendukung dan mendoakan saya dalam setiap hal yang saya kerjakan. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada kakak dan adik saya, Dinni Oktaviani, dan Dian Putra Agustin yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada saya selama pengerjaan skripsi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
2. Ibu Drs. Dewi Kurniawati, M.Si, Ph.D selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi.
3. Ibu Emilia Ramadhani, S.Sos, M.Comm selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi.
4. Ibu Yovita Sabarina Sitepu, S.Sos., M.Si selaku Dosen Pembiming saya yang sangat baik sudah membimbing saya dalam pengerjaan skripsi, memberikan perbaikan sehingga skripsi saya menjadi lebih baik, hingga akhirnya skripsi saya selesai dan sampai pada tahap ini.
5. Bapak Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik saya selama masa perkuliahan.
6. Dosen Departemen Ilmu Komunikasi yang sudah memberikan saya pengajaran, ilmu, dan pengalaman yang berharga selama di FISIP USU untuk menjadi bekal saya di kemudian hari. Universitas Sumatera Utara
7. Keempat informan yaitu Anggi, Ara, Hafiz dan Yudha yang sangat baik dan kooperatif dalam wawancara penelitian, sehingga saya bisa mendapatkan data yang dibutuhkan dan menyelesaikan skripsi ini.
8. Try Purnomo, terima kasih sudah dan selalu menjadi pasangan terbaik yang senantiasa memberikan semangat dan motivasi kepada saya sepanjang proses pengerjaan skripsi ini.
9. Teman-teman terdekat saya selama kuliah, Mutia Sari, Indah Amalia Sukardi, Dita Shakina, Geby Gebyar, dan Vivi Natalia terima kasih sudah saling menyemangati dan membantu dalam pengerjaan skripsi, sehingga skripsi kita berlima dapat selesai.
10. Sahabat saya dari SMA, Agung, Rena, Fira, Zuro terima kasih meskipun jarang bertemu dan berkomunikasi lewat media sosial, tetapi kalian selalu memberikan dukungan, semangat dan juga membantu pengerjaan skripsi, hingga kita berlima bisa bersama-sama menjadi sarjana.
11. Seluruh teman-teman seperjuangan Ilmu Komunikasi angkatan 2013, terima kasih karena sudah memberikan banyak pengalaman yang tidak terlupakan selama masa perkuliahan. Semoga kita semua bisa menjadi orang yang sukses, cita-cita kita tercapai, dan tetap rendah hati.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi saya ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Medan, 25 Maret 2017 Yenni Novianti
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1
1.2 Fokus Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian ... 8
2.2 Kajian Pustaka 2.2.1 Interaksionisme Simbolik ... 10
2.3 Konsep Diri 2.3.1 Pengertian Konsep Diri ... 19
2.3.2 Jenis-Jenis Konsep Diri ... 21
2.3.3 Dimensi-Dimensi Konsep Diri ... 23
2.3.4 Aspek-Aspek Konsep Diri ... 25
2.3.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri ... 27
2.3.6 Proses Terbentuknya Konsep Diri... 28
2.3.7 Proses Pengembangan Konsep Diri ... 29
2.3.8 Konsep Diri Pelajar ... 30
2.4 Media Baru... 32
2.5 Jejaring Sosial ... 35
2.5.1 Instagram... 39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian ... 43
3.2 Objek Penelitian ... 44
3.3 Subjek Penelitian ... 44
3.4 Kerangka Analisis ... 44
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 46
3.6 Teknik Analisis Data ... 47
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 49
4.1.1 Deskrisi Pelaksanaan Penelitian ... 49
4.1.2 Profil Informan... 54
4.1.3 Penggunaan Instagram di Kalangan Mahasiswa... 58
4.1.4 Konsep Diri Mahasiswa dalam Instagram ... 68
4.2 Pembahasan ... 78
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 86
5.2 Saran 5.2.1 Saran dalam Kaitan Akademis ... 87
5.2.2 Saran dalam Kaitan Praktis ... 88
DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Konsep Diri Remaja dalam Media Sosial, dimana media sosial dikhususkan kepada Instagram. Penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara pada pelajar SMA di Kota Medan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep diri pelajar dalam menggunakan Instagram dan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri positif maupun konsep diri negatif pelajar dalam menggunakan Instagram. Paradigma dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah interaksionisme simbolik, konsep diri, dimensi konsep diri, faktor yang mempengaruhi konsep diri, media baru, dan Instagram. Penelitian ini fokus kepada metode penelitian studi deskriptif kualitatif. Subjek penelitian pada penelitian ini adalah empat pelajar SMA yang aktif menggunakan Instagram. Data yang diperoleh dari lapangan diperoleh melaluipenelitian kepustakaan dan wawancara mendalam terhadap informan. Teknis analisis data yang dalam penelitian ini adalah Miles dan Huberman.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa konsep diri remaja dalam media sosial Instagram adalah konsep diri positif. Remaja mampu memanfaatkan Instagram dengan baik sehingga memberikan efek positif bagi dirinya. Faktor yang mempengaruhinya adalah diri sendiri dan orang lain dengan memberikan tanda suka (like), komentar positif dan komentar negatif pada foto di Instagram.
Kata kunci : Konsep Diri, Interaksionisme Simbolik, Pelajar SMA, Instagram, Tanda Suka, Komentar.
ABSTRACT
The research entitled “Self Concept of High Junior Students in Social Media”, where the social media is focused on Instagram. The research is done by doing interwiew with high junior students at Medan. Aims of this research are to know the self concept of high junior student in Instagram and factors that influence the positif self concept or negative self concept on using Instagram.The paradigm used in this research is a constructivisme paradigm. As for theory that used in this research are symbolic interactionism, self concept, dimension of self concept, factor that influence self concept, new media, and Instagram. This research method is focus on qualitative descriptive study. The subject for this research are four high junior students whose active on using Instagram. Data obtained from the field data is retrieved from research literature and in-depth interview of the informants. Data analysis techniques used in this research is that researcher Miles and Huberman performs. The findings on this research show that sef concept of high junior student in Instagram is the positve self concept. Factors that influence the positive self concept are their self and from others by giving like, positive comment, and negative comment on their photo in Instagram.
Keywords : Self Concept, High Junior Student, Like, Comment.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menindaklanjuti laporan masyarakat terkait unggahan konten negatif yang dilakukan oleh vlogger Karin Novilda atau akrab disapa Awkarin dan Nur Amalina Hayati atau akrab dengan nama Anya Geraldine di media sosial. Kedua akun @awkarin dan @anyageraldine itu diketahui memang tengah menjadi idola baru para remaja di Indonesia. Akun Instagram dari
@awkarin sendiri dapat dilihat sudah memiliki followers hampir 1 juta, sedangkan akun @anyageraldine memiliki followers puluhan ribu.
Dengan gaya hidup serta gaya pacaran yang berkiblat kebarat-baratan bahkan cenderung vulgar malah membuat mereka dianggap sebagai “Relationship Goals”.
Awkarin maupun Anya sering memamerkan kemesraan bersama kekasih, termasuk berciuman, berpelukan, merokok hingga minum alkohol. Keduanya juga dikenal kerap mengunggah foto dalam balutan busana seksi, dan pose-pose seronok. KPAI menilai hal itu dapat menjerumuskan dan memberikan contoh yang buruk kepada remaja dan anak anak.
KPAI menilai konten dalam akun Instagram pribadi milik mereka, sangat bertentangan dengan norma sosial, agama, etika, serta melanggar UU Pornografi dan Pornoaksi. Mirisnya, tidak sedikit juga yang memberikan komentar sanjungan kepada akun kontroversi Awkarin dan Anya Geraldine dan ingin mencontoh perbuatan mereka.
Banyak remaja yang mengidolakan kedua selebgram tersebut untuk menjadi tolak ukur dalam kehidupan sosial di kalangan remaja saat ini. Hal itu tidak bisa dipungkiri karena video dan foto yang dipajang di media sosial kedua selebgram tersebut merupakan hal-hal yang diinginkan oleh banyak kalangan remaja saat ini.
Mereka menggunakan berbagai cara untuk menunjukkan eksistensi atas apa yang mereka miliki, seperti momen indah, pacar, gaya hidup, dan sebagainya. Namun, bagi sebagian orang menganggap apa yang diupayakan oleh Awkarin dan Anya tersebut
termasuk dalam sampah visual karena memberikan pengaruh yang buruk bagi banyak remaja. Masyarakat Indonesia masih menganggap budaya timur memiliki norma-norma sosial yang tinggi sedangkan apa yang dilakukan oleh kedua selebgram tersebut sangat menyimpang dari budaya timur yang dibangga-banggakan.
Faktanya, apabila kita melihat gaya pacaran kedua selebgram yang vulgar tersebut sudah banyak dilakukan di kalangan remaja seusianya. Hanya saja, kedua selebgram tersebut berani menampilkan gaya pacaran yang mereka jalani kepada khalayak ramai daripada kebanyakan remaja pada umumnya yang lebih cenderung bersembunyi.
Fenomena Awkarin dan Anya tersebut secara kebetulan menjadi perbincangan yang hangat karena keduanya dijadikan role model oleh banyak remaja yang dianggap belum cukup dewasa dalam menggunakan internet. Namun, keduanya menjadi semakin populer karena selalu diperbincangkan dalam berbagai aspek dan kesempatan. Hal ini pada dasarnya semakin memberikan banyak keuntungan bagi kedua selebgram ini.
Dampak yang mereka bawa semakin meluas dan menjadikan mereka menjadi trending topik bagi banyak orang terutama bagi para remaja. Tidak sedikit remaja yang terpengaruh dampak negatif dari media sosial.
Remaja termasuk pengguna aktif media sosial Instagram yang paling dominan.
Kementerian KOMINFO melakukan survei terhadap 400 responden dengan rentang usia 10-19 tahun pada tahun 2014. Hasil survei menunjukkan bahwa 79,5% responden adalah remaja merupakan pengguna aktif media sosial di Indonesia (www.kominfo.go.id). Hal ini juga didukung oleh sebuah penelitian dari survei Indonesian Netizen Survey pada 2.105 responden menunjukkan sebanyak 5,9%
pengguna Instagram merupakan remaja yang berada pada usia 15-21 tahun (http://markplusinsight.com, 2013).
Kehadiran media sosial di kalangan remaja, membuat ruang private seseorang melebur dengan ruang publik. Remaja cenderung banyak yang memanfaatkan aplikasi Instagram sebagai ajang eksistensi diri atau menjelaskan keberadaannya di dunia maya.
Remaja seakan-akan haus akan popularitas di dunia maya. Mereka asyik berbagi foto atau setiap momen di hidup mereka.
Penggunaan media sosial yang tinggi oleh remaja, disebabkan karena remaja memiliki karakteristik sebagai seorang yang eksploratif serta variety seeker yang senang mencoba berbagai macam hal baru dan relatif cepat bosan (Anderson, 2013).
Kesadaran remaja sebagai pengguna media sosial mengenai bagaimana hidupnya akan dinilai oleh orang lain secara tidak sadar akan meningkat. Alasan remaja sebagai pengguna media sosial ini sesuai dengan perkembangan remaja itu sendiri, yaitu lebih mudah untuk mengikuti suatu perubahan atau perkembangan yang terjadi, termasuk perkembangan media sosial Aryaguna (dalam Setiasih, 2015 : 462). Adanya media sosial Instagram dirasa menjadi wadah yang tepat untuk berinteraksi,
Instagram adalah aplikasi jejaring sosial berbagi foto dan video yang memungkinkan pengguna mengambil foto, menerapkan filter digital, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial, termasuk pemilik Instagram sendiri. Satu fitur yang unik di Instagram adalah memotong foto menjadi bentuk persegi, sehingga terlihat seperti hasil kamera Kodak Instamatic dan polaroid. Hanya saja, yang paling membedakan adalah, tampilan foto Instagram memiliki ciri khas dengan “bingkai” persegi. Instagram diciptakan oleh Kevin Systrom dan Mike Krieger dan diluncurkan pada Oktober 2010 (Setiasih, 2015: 462).
Instagram menggunakan foto sebagai media penyampai pesan. Instagram memang dapat dikatakan sebagai media sosial yang berbeda dari yang lain (mediakontak.com). Fitur lain yang ditawarkan Instagram ialah pemilik akun dapat menambahkan judul pada foto atau disebut juga dengan caption. Pada setiap foto yang dibagikan, sesama pengguna instagram dapat memberikan feedback berupa tanda suka atau “like” jika ia menyukai foto tersebut dan juga dapat memberikan komentar di foto tersebut.
Instagram adalah salah satu media sosial yang saat ini berkembang pesat dan yang cukup banyak diminati khalayak. Indonesia menjadi salah satu pasar kunci. Neary (dalam mediakontak.com) menyebutkan 22 juta pengguna aktif di Nusantara mengakses layanan ini setiap bulannya. Perkembangan Instagram dimulai pada tahun 2010, hingga saat ini perkembangan Instagram sudah sangat pesat.
Lembaga statistik www.statista.com meneliti data peningkatan penggunaan media sosial di dunia per Januari 2013 sampai dengan 2016.
Gambar 1.1 Peningkatan Pengguna Instagram di dunia (Sumber : statista.com)
Data statistik di atas menunjukkan peningkatan pada penggunaan Instagram.
Peningkatannya cukup pesat dengan jumlah pengguna sebanyak 500 juta orang pada Januari tahun 2016.
Media sosial seperti Instagram ini dapat diibaratkan tempat umum. Dimana semua orang bebas membuka, membentuk citra diri dan mempresentasikan dirinya dan tentu saja berpendapat dengan bebas. Terjadi pergeseran budaya di kalangan remaja, para remaja tidak segan-segan mengunggah segala kegiatan pribadinya untuk disampaikan kepada teman-temannya melalui akun media sosial dalam membentuk identitas diri mereka. Dimana identitas diri termasuk hal yang sangat berkaitan dengan konsep diri.
Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus menerus. mengatakan setiap manusia mengembangkan konsep dirinya melalui interaksi dengan orang lain dalam masyarakat dan itu dilakukan lewat komunikasi George H Mead (dalam Mulyana, 2010: 11). Konsep diri adalah pandangan kita mengenai siapa diri kita dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita.
Manusia yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia lainnya tidak mungkin mempunyai kesadaran bahwa dirinya adalah manusia. Melalui komunikasi dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai siapa diri kita, namun juga
menyatakan bahwa konsep diri bukan sekadar gambaran deskriptif melainkan penilaian Anda tentang diri Anda.
Jadi, konsep diri meliputi apa yang Anda pikirkan dan apa yang dirasakan tentang diri Anda. Dengan demikian, ada dua komponen konsep diri: komponen kognitif yang disebut citra diri dan komponen afektif yang disebut harga diri. Komponen kognitif Anda berupa, “Saya ini orang bodoh” dan komponen afektif Anda berkata, “Saya senang diri saya bodoh; ini lebih baik bagi saya. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, seseorang dapat menunjukan konsep dirinya melalui jejaring sosial.
Konsep diri dalam kaitannya dengan pengunggahan foto di Instagram. Remaja memiliki kebutuhan untuk memperhatikan dan diperhatikan orang lain, hal ini dapat dipenuhi dengan cara mengunggah foto atau video kedalam Instagram. Saat remaja mendapatkan tanda suka (like) atau komentar (comment) dari pengguna lainnya, remaja merasa mendapatkan dukungan atau kasih sayang dari orang lain. Hal ini disebabkan karena dalam setiap tanda like atau comment terdapat dukungan psikologis dan emosional sehingga remaja merasa bahwa diri mereka diterima dalam masyarakat Aryaguna (dalam Setiasih, 2015).
Apabila remaja mendapat banyak respon “like” dan komentar cantik atau tampan dari pengguna Instagram lainnya. Hal itu akan dapat membentuk konsep diri yang positif, karena remaja tersebut menjadi yakin bahwa dirinya tampan atau cantik, terlebih lagi bila mendapat komentar yang berupa pujian, maka konsep diri remaja menjadi semakin positif. Demikian sebaliknya apabila hanya sedikit atau tidak sama sekali mendapat respon “like” maka remaja tersebut menjadi merasa jelek dan konsep dirinya negatif Aryaguna( dalam Setiasih, 2015).
Kecenderungan seseorang untuk lebih banyak mengunggah salah satu objek foto seperti lebih banyak mengunggah foto diri sendiri atau swafoto, makanan, barang- barang mewah yang dimiliki, mode atau fashion, tempat-tempat traveling dan lain sebagainya. Mereka hanya mengunggah foto-foto yang menarik yang akan menjadikan mereka diterima kedalam suatu lingkungan sosial yang diinginkan. Hal ini menampilkan citra diri yang ingin ditunjukkan oleh pengguna Instagram tersebut kepada banyak orang.
Selain filter digital pada foto, pemilihan angle foto yang bagus, dan detail lain yang lebih diperhatikan. Hal ini membuat foto yang diunggah mendapatkan ratusan
bahkan ribuan like dan mendapatkan banyak komentar positif. Tampilan diri melalui foto-foto tersebut akan menunjukkan jati diri pengguna Instagram tersebut. Diri yang ditampilkan oleh pengguna Instagram ini dapat menunjukkan bagaimana konsep dirinya walaupun hanya bagian luarnya saja. Inilah yang ingin diketahui dan diteliti lebih dalam lagi oleh peneliti.
Pelajar SMA termasuk dalam lingkup usia remaja. Penulis memilih remaja, karena masa remaja merupakan peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa yang meliputi semua perkembangan. Perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa dimana pada rentang usia ini mulai banyak perubahan. Kartono (dalam Rola, 2006) mengatakan pada rentang usia 15-19 tahun, kepribadian remaja masih bersifat kanak-kanakan, namun sudah timbul unsur baru, yaitu kesadaran akan kepribadian dan kehidupan sendiri. Selain itu, mulai timbul kemantapan pada diri sendiri yang lebih berbobot. Pada masa usia ini, remaja mulai melakukan penilaian terhadap tingkah lakunya dan mulai menemukan jati dirinya.
Berdasarkan uraian konteks masalah diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana konsep diri dengan banyaknya like dan komentar positif maupun komentar negatif yang didapat pada foto yang diunggah di Instagram pada pelajar SMA di Kota Medan yang aktif menggunakan media sosial Instagram dengan usia 15-17 tahun.
1.2 Fokus Masalah
Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan fokus masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah konsep diri pada pengguna aplikasi Instagram dikalangan pelajar SMA di kota Medan.”
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perkembangan konsep diri pada pelajar SMA di Kota Medan yang aktif menggunakan media sosial instagram (apakah konsep diri
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perkembangan konsep diri positif dan konsep diri negatif pada pengguna media sosial instagram dikalangan pelajar SMA di kota Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif terhadap pengetahuan bidang komunikasi, memperluas bahan penelitian komunikasi dan menjadi bahan referensi bagi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.
2. Secara Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai ilmu komunikasi khususnya yang berhubungan dengan psikologi komunikasi dan konsep diri.
3. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi pihak- pihak yang yang membutuhkan informasi dan dapat digunakan sebagai pemberian masukan bagi pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi, terutama bagi peneliti yang akan melakukan penelitian selanjutnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Paradigma Kajian
2.1.1 Paradigma Konstruktivisme
Paradigma adalah pedoman yang menjadi dasar bagi para saintis dan peneliti di dalam mencari fakta–fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Menurut Mulyana (dalam Tahir, 2011: 59) paradigma sebagai suatu kerangka berpikir yang mendasar dari suatu kelompok saintis (ilmuwan) yang menganut suatu pandangan yang dijadikan landasan untuk mengungkap suatu fenomena dalam rangka mencari fakta.
Paradigma konstruktivisme adalah paradigma yang memandang bahwa kenyataan itu hasil konstruksi atau bentukan dari manusia itu sendiri. Kenyataan itu bersifat ganda, dapat dibentuk, dan merupakan satu keutuhan. Kenyataan yang ada sebagai hasil bentukan dari kemampuan berpikir seseorang. Pengetahuan hasil bentukan manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus. Penelitian kualitatif berlandaskan paradigma konstruktivisme yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi pemikiran subyek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subyek dan bukan pada obyek, hal ini berarti bahwa ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh pemikiran (Arifin, 2012: 140).
Konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subyek dan
sebagai alat untuk memahami realitas obyektif belaka dan dipisahkan dari subyek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subyek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subyek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana.
Komunikasi dipahami, diatur, dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri sang pembicara. Oleh karena itu, analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari komunikasi (Ardianto, 2007: 151).
Paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam pengertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja, hal ini disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukan suatu kebenaran akhir. Jadi, paradigma dapat didefinisikan sebagai acuan yang menjadi dasar bagi setiap peneliti untuk mengungkapkan fakta-fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya Guba dan Lincoln (dalam Sunarto dan Hermawan, 2011: 4).
Teori konstruktivisme menyatakan bahwa individu menginterpretasikan dan beraksi menurut kategori konseptual dari pikiran. Realitas tidak menggambarkan diri individu namun harus disaring melalui cara pandang orang terhadap realitas tersebut (Ardianto, 2010: 158).
Peneliti menggunakan paradigma kontruktivisme karena peneliti ingin mendapatkan pengembangan pemahaman yang membantu proses interpretasi suatu peristiwa. Paradigma konstruktivisme sesuai sebagai acuan untuk melakukan penelitian ini, dimana yang ingin diteliti adalah konsep diri remaja dalam Instagram dalam pembentukan konsep diri baik positif maupun negatif .Hal ini tidak dapat ditentukan satu fakta tertentu dan digeneralisasikan kepada semua orang, melainkan merupakan hasil bentukan dari manusia itu sendiri. Dimana proses serta hasil bentukan tersebut merupakan hasil pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi pemikiran subyek yang diteliti dan tidak dapat digeneralisasikan ke semua orang.
2.2 Kajian Pustaka
2.2.1 Teori Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik adalah suatu faham yang menyatakan bahwa hakekat terjadinya interaksi sosial antara individu dan antar individu dengan kelompok, kemudian antara kelompok dengan kelompok dalam masyarakat, ialah karena komunikasi, suatu kesatuan pemikiran di mana sebelumnya pada diri masing-masing yang terlibat berlangsung internalisasi atau pembatinan. Peneliti mendefinisikan interaksionisme simbolik adalah segala hal yang saling berhubungan dengan pembentukan makna dari suatu benda atau lambang atau simbol, baik benda mati, maupun benda hidup, melalui proses komunikasi baik sebagai pesan verbal maupun perilaku non verbal, dan tujuan akhirnya adalah memaknai lambang atau simbol (obyek) tersebut berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di wilayah atau kelompok komunitas masyarakat tertentu Effendy, 1989 (dalam Anita, 2016: 3).
Teori Interaksionisme Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George Herbert Mead. Mead dilahirkan di Hadley, satu kota kecil di Massachusetts. Karir Mead berawal saat beliau menjadi seorang professor di kampus Oberlin, Ohio, kemudian Mead berpindah pindah mengajar dari satu kampus ke kampus lain, sampai akhirnya saat beliau di undang untuk pindah dari Universitas Michigan ke Universitas Chicago oleh John Dewey. Di Chicago inilah Mead sebagai seseorang yang memiliki pemikiran yang original dan membuat catatan kontribusi kepada ilmu sosial dengan meluncurkan “the theoretical perspective” yang pada perkembangannya nanti menjadi cikal bakal “Teori Interaksionisme Simbolik”, dan sepanjang tahunnya, Mead dikenal sebagai ahli sosial psikologi untuk ilmu sosiologis. Mead menetap di Chicago selama 37 tahun, sampai beliau meninggal dunia pada tahun 1931 Rogers, 1994 (dalam Anita, 2016: 3).
Semasa hidupnya Mead memainkan peranan penting dalam membangun perspektif dari Mazhab Chicago, dimana memfokuskan dalam memahami suatu interaksi perilaku sosial, maka aspek internal juga perlu untuk dikaji (West dan Turner, 2008). Mead tertarik pada interaksi, dimana isyarat non verbal dan makna dari suatu pesan verbal, akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi.
Pandangan terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal (seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (seperti kata-kata, suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu
interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mazhab (School), dimana kedua mazhab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu (1) Mazhab Chicago (Chicago School) yang dipelopori oleh Herbert Blumer, dan (2) Mazhab Iowa (Iowa School) yang dipelopori oleh Manford Kuhn dan Kimball Young Rogers, 1994 (dalam Anita, 2016: 4).
Mazhab Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer (pada tahun 1969 yang mencetuskan nama interaksionisme simbolik) dan mahasiswanya, Blumer melanjutkan penelitian yang telah dilakukan oleh Mead. Blumer melakukan pendekatan kualitatif, dimana meyakini bahwa studi tentang manusia tidak bisa disamakan dengan studi terhadap benda mati, dan para pemikir yang ada di dalam mahzab Chicago banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pikiran George Herbert Mead Ardianto dan Q- Aness, 2007 (dalam Anita, 2016: 4). Blumer beranggapan peneliti perlu meletakkan empatinya dengan pokok materi yang akan dikaji, berusaha memasuki pengalaman objek yang diteliti, dan berusaha untuk memahami nilai-nilai yang dimiliki dari tiap individu.
Pendekatan ilmiah dari Mazhab Chicago menekankan pada riwayat hidup, studi kasus, buku harian, autobiografi, surat, interview tidak langsung, dan wawancara tidak terstruktur.
Teori ini menyatakan bahwa interaksi sosial pada hakekatnya adalah interaksionisme simbolik. Manusia berinteraksi dengan yang lain dengan cara menyampaikan simbol, kemudian yang lain memberi makna atas simbol tersebut. Para ahli perfeksionisme simbolik melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang didalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal dan obyek yang disepakati bersama (Mulyana, 2001:84).
Teori interaksionisme simbolik merupakan teori yang menekankan pada hubungan simbol dan interaksi. Dalam teori interaksionisme simbolik memiliki tiga tema besarMead (West dan Turner, 2008: 98), yaitu:
i. Pentingnya makna bagi perilaku manusia
iii. Hubungan antara individu dan masyarakat
Tema pertama pada interaksionisme simbolik berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia. Dimana dalam teori interaksionisme simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi. Karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (West dan Turner, 2008: 101) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:
a) Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka.
b) Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia.
c) Makna dimodifikasi melalui proses interpretif
Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau
”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksionisme simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan& Reitzes ( dalam West dan Turner, 2008: 101), antara lain:
a) Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain.
b) Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.
Tema terakhir pada interaksionisme simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya.
Karya tunggal Mead yang amat penting dalam hal ini terdapat dalam bukunya yang berjudul Mind, Self dan Society. Mead megambil tiga konsep kritis yang diperlukan dan saling mempengaruhi satu sama lain untuk menyusun sebuah teori interaksionisme simbolik. Tiga konsep itu dan hubungan di antara ketiganya merupakan inti pemikiran Mead, sekaligus key words dalam teori tersebut. Interaksionisme simbolis secara khusus menjelaskan tentang bahasa, interaksi sosial dan reflektivitas.
a. Pikiran (Mind)
Pikiran, yang didefinisikan Mead sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu, pikiran adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Proses sosial mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. Jadi pikiran juga didefinisikan secara fungsional ketimbang secara substantif. Karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang kita namakan pikiran (Ardianto, 2007: 136).
Melakukan sesuatu berarti memberi respon terorganisir tertentu, dan bila seseorang mempunyai respon itu dalam dirinya, ia mempunyai apa yang kita sebut pikiran. Dengan demikian pikiran dapat dibedakan dari konsep logis lain seperti konsep ingatan dalam karya Mead melalui kemampuannya menanggapi komunitas secara menyeluruh dan mengembangkan tanggapan terorganisir. Mead juga melihat pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran melibatkan proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah (G. Ritzer and D. J Goodman, 2007: 280).
Menurut Mead “manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannya sebelum ia melakukan tindakan yang sebenarnya”.
Berfikir menurut Mead adalah suatu proses dimana individu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan mempergunakan simbol-simbol yang bermakna. Melalui proses interaksi dengan diri sendiri itu, individu memilih yang mana diantara stimulus yang tertuju kepadanya itu akan ditanggapinya (George Ritzer, 2011:67).
Simbol juga digunakan dalam (proses) berpikir subyektif, terutama simbol-simbol bahasa. Hanya saja simbol itu tidak dipakai secara nyata, yaitu melalui percakapan internal. Serupa dengan itu, secara tidak kelihatan individu itu menunjuk pada dirinya sendiri mengenai diri atau idenditas yang terkandung dalam reaksi-reaksi orang lain terhadap perilakunya. Maka, kondisi yang dihasilkan adalah konsep diri yang mencakup kesadaran diri yang dipusatkan pada diri sebagai obyeknya (Fauzan, 2015: 4)
Isyarat sebagai simbol-simbol signifikan tersebut muncul pada individu yang membuat respons dengan penuh makna. Isyarat-isyarat dalam bentuk ini membawa pada suatu tindakan dan respon yang dipahami oleh masyarakat yang telah ada. Melalui simbol-simbol itulah maka akan terjadi pemikiran. Esensi pemikiran dikonstruk dari pengalaman isyarat makna yang terinternalisasi dari proses eksternalisasi sebagai bentuk hasil interaksi dengan orang lain. Oleh karena perbincangan isyarat memiliki makna, maka stimulus dan respons memiliki kesamaan untuk semua partisipan Ambo Upe, 2010 (dalam Fauzan, 2015: 5).
Makna itu dilahirkan dari proses sosial dan hasil dari proses interaksi dengan dirinya sendiri.
Menurut Mead terdapat empat tahapan tindakan yang saling berhubungan yang merupakan satu kesatuan dialektis. Keempat hal elementer inilah yang membedakan manusia dengan binatang yang meliputi impuls, persepsi, manipulasi dan konsumsi.Pertama, impuls, merupakan dorongan hati yang meliputi rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera dan reaksi aktor terhadap stimulasi yang diterima. Tahap yang kedua adalah persepsi, tahapan ini terjadi ketika aktor sosial mengadakan penyelidikan dan bereaksi terhadap rangsangan yang berhubungan dengan impuls. Ketiga, manipulasi, merupakan tahapan penentuan tindakan berkenaan dengan obyek itu, tahap ini merupakan tahap yang penting dalam proses tindakan agar reaksi terjadi tidak secara spontanitas. Disinilah perbedaan mendasar antara manusia dengan binatang, karena manusia memiliki peralatan yang dapat memanipulasi obyek, setelah melewati ketiga tahapan tersebut maka tibalah aktor mengambil tindakan, tahapan yang keempat disebut dengan tahap konsumsi Ambo Upe, 2010 (dalam Fauzan, 2015: 5)
b. Diri (Self)
The self atau diri, menurut Mead merupakan ciri khas dari manusia. Yang tidak dimiliki oleh binatang. Diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah obyek dari perspektif yang berasal dari orang lain, atau masyarakat.
Tapi diri juga merupakan kemampuan khusus sebagai subyek. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas interaksi sosial dan bahasa. Menurut Mead, mustahil membayangkan diri muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial.
The self juga memungkinkan orang berperan dalam percakapan dengan orang lain karenaadanya sharing of simbol. Artinya, seseorang bisa berkomunikasi, selanjutnya menyadari apa yang dikatakannya dan akibatnya mampu menyimak
apa yang sedang dikatakan dan menentukan atau mengantisipasi apa yang akan dikatakan selanjutnya.
Mead menggunakan istilah significant gesture (isyarat-isyarat yang bermakna) dan significant communication dalam menjelaskan bagaimana orang berbagi makna tentang simbol dan merefleksikannya. Ini berbeda dengan binatang, anjing yang menggonggong mungkin akan memunculkan reaksi pada anjing yang lain, tapi reaksi itu hanya sekedar insting, yang tidak pernah diantisipasi oleh anjing pertama. Dalam kehidupan manusia kemampuan mengantisipasi dan memperhitungkan orang lain merupakan ciri khas kelebihan manusia.
Jadi the self berkait dengan proses refleksi diri, yang secara umum sering disebut sebagai self control atau self monitoring. Melalui refleksi diri itulah menurut Mead individu mampu menyesuaikan dengan keadaan di mana mereka berada, sekaligus menyesuaikan dari makna, dan efek tindakan yang mereka lakukan. Dengan kata lain orang secara tak langsung menempatkan diri mereka dari sudut pandang orang lain. Dari sudut pandang demikian orang memandang dirinya sendiri dapat menjadi individu khusus atau menjadi kelompok sosial sebagai suatu kesatuan.
Mead membedakan antara “I” (saya) dan “me” (aku). “I” (Saya) merupakan bagian yang aktif dari diri (the self) yang mampu menjalankan perilaku.“Me”atau aku, merupakan konsep diri tentang yang lain, yang harus mengikuti aturan main, yang diperbolehkan atau tidak. “I” (saya) memiliki kapasitas untuk berperilaku, yang dalam batas-batas tertentu sulit untuk diramalkan, sulit diobservasi, dan tidak terorganisir berisi pilihan perilaku bagi seseorang. Sedangkan “me”(aku) memberikan kepada “I” (saya) arahan berfungsi untuk mengendalikan “I”(saya), sehingga hasilnya perilaku manusia lebih bisa diramalkan, atau setidak-tidaknya tidak begitu kacau. Karena itu dalam kerangka pengertian tentang the self (diri), terkandung esensi interaksi sosial.
Interaksi antara “I” (saya) dan “me” (aku). Disini individu secara inheren mencerminkan proses sosial.
Ternyata kita tidak hanya menanggapi orang lain, kita juga mempersepsi diri kita. Diri kita bukan lagi personal penanggap, tetapi personal stimuli sekaligus. Bagaimana bisa terjadi, kita menjadi subyek dan obyek persepsi
sekaligus? Diri (self) atau kedirian adalah konsep yang sangat penting bagi teoritisi interaksionisme simbolik. Rock menyatakan bahwa “diri merupakan skema intelektual interaksionis simbolik yang sangat penting. Seluruh proses sosiologis lainnya, dan perubahan di sekitar diri itu, diambil dari hasil analisis mereka mengenai arti dan organisasi.
Diri adalah dimana orang memberikan tanggapan terhadap apa yang ia tujukan kepada orang lain dan dimana tanggapannya sendiri menjadi bagian dari tindakannya, di mana ia tidak hanya mendengarkan dirinya sendiri, tetapi juga merespon dirinya sendiri, berbicara dan menjawab dirinya sendiri sebagaimana orang lain menjawab kepada dirinya, sehingga kita mempunyai perilaku di mana individu menjadi objek untuk dirinya sendiri. Karena itu diri adalah aspek lain dari proses sosial menyeluruh di mana individu adalah bagiannya.
Mead menyadari bahwa manusia sering terlibat dalam suatu aktivitas yang didalamnya terkandung konflik dan kontradiksi internal yang mempengaruhi perilaku yang diharapkan. Mereka menyebut “konflik intrapersonal”, yang menggambarkan konflik antara nafsu, dorongan, dan lain sebagainya dengan keinginan yang terinternalisasi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan self yang juga mempengaruhi konflik intrapersonal, diantaranya adalah posisi sosial. Orang yang mempunyai posisi tinggi cenderung mempunyai harga diri dan citra diri yang tinggi selain mempunyai pengalaman yang berbeda dari orang dengan posisi sosial berbeda.
Bagian terpenting dari pembahasan Mead adalah hubungan timbal
balik antara diri sebagai objek dan diri sebagai subjek. Diri sebagai objek ditunjukkan oleh Mead melalui konsep “me”, sementara ketika sebagai subjek yang bertindak ditunjukannya dengan konsep “I”. Ciri utama pembeda manusia dan hewan adalah bahasa atau “simbol signifikan”. Simbol signifikan haruslah merupakan suatu makna yang dimengerti bersama, ia terdiri dari dua fase, “me”
dan“I”. Dalam konteks ini “me” adalah sosok diri saya sebagaimana dilihat oleh orang lain, sedangkan “I” yaitu bagian yang memperhatikan diri saya sendiri.
Dua hal itu menurut Mead menjadi sumber orisinalitas, kreativitas, dan spontanitas.30
Kita tak pernah tahu sama sekali tentang “I” dan melaluinya kita mengejutkan diri kita sendiri lewat tindakan kita. Kita hanya tahu “I” setelah tindakan telah dilaksanakan. Jadi, kita hanya tahu ”I” dalam ingatan kita. Mead menekankan “I” karena empat alasan. Pertama, “I” adalah sumber utama sesuatu yang baru dalam proses sosial. Kedua, Mead yakin, didalam “I” itulah nilai terpenting kita ditempatkan. Ketiga, “I” merupakan sesuatu yang kita semua cari perwujudan diri. Keempat, Mead melihat suatu proses evolusioner dalam sejarah dimana manusia dalam masyarakat primitif lebih didominasi oleh “Me”sedangkan dalam masyarakat modern komponen “I” nya lebih besar.
“I” bereaksi terhadap “Me” yang mengorganisir sekumpulan sikap orang lain yang ia ambil menjadi sikapnya sendiri. Dengan kata lain “Me”adalah penerimaan atas orang lain yang di generalisir. Sebagaimana Mead, Blumer berpandangan bahwa seseorang memiliki kedirian (self) yang terdiri dari unsur“I” dan “Me”. Unsur “I”
merupakan unsur yang terdiri dari dorongan, pengalaman, ambisi, dan orientasi pribadi. Sedangkan unsur “Me” merupakan “suara” dan harapan-harapan dari masyarakat sekitar. Pandangan Blumer ini sejalan dengan gurunya, yakni Mead, yang menyatakan bahwa dalam percakapan internal terkandung didalamnya pergolakan batin antara unsur “I” (pengalaman dan harapan) dengan unsur “Me”
(batas-batas moral).
Pemahaman makna dari konsep diri pribadi dengan demikian mempunyai dua sisi, yakni pribadi (self) dan sisi sosial (person). Karakter diri secara sosial dipengaruhi oleh “teori” (aturan, nilai-nilai dan norma) budaya setempat seseorang berada dan dipelajari memalui interaksi dengan orang-orang dalam budaya tersebut. Konsep diri terdiri dari dimensi dipertunjukan sejauh mana unsur diri berasal dari sendiri atau lingkungan sosial dan sejauh mana diri dapat berperan aktif. Dari perspektif ini, tampaknya konsep diri tidak dapat dipahami dari diri sendiri. Dengan demikian, makna dibentuk dalam proses interaksi antar orang dan objek diri, ketika pada saat bersamaan mempengaruhi tindakan sosial. Ketika seseorang menanggapi apa yang terjadi dilingkungannya, ketika itu ia sedang menggunakan sesuatu yang disebut sikap.
c. Masyarakat (Society)
Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah masyarakat (society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri.
Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku” (me). Menurut pengertian individual ini masyarakat mempengaruhi mereka, memberi mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan diri mereka sendiri.
Sumbangan terpenting Mead tentang masyarakat, terletak dalam pemikirannya mengenai pikiran dan diri.
Pada tingkat kemasyarakatan yang lebih khusus, Mead mempunyai sejumlah pemikiran tentang pranata sosial (social institutions). Secara luas, Mead mendefinisikan pranata sebagai “tanggapan bersama dalam komunitas” atau “kebiasaan hidup komunitas”.
Secara lebih khusus, ia mengatakan bahwa, keseluruhan tindakan komunitas tertuju pada individu berdasarkan keadaan tertentu menurut cara yang sama, berdasarkan keadaan itu pula, terdapat respon yang sama dipihak komunitas. Proses ini disebut “pembentukan pranata”.
Teori interaksionisme simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun.
Dibutuhkan konstruksi interpretif diantara orang-orang untuk menciptakan makna.
Bahkan, tujuan dari interaksi menurut teori ini adalah untuk menciptakan makna yang sama (West dan Turner, 2008: 99).
2.3 Konsep Diri
2.3.1 Pengertian Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus menerus dan terdiferensiasi. Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari (Agustiani, 2006 dalam Purba, 2014: 14).
Konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Ia menjelaskan konsep diri secara fenomenologis, dan mengatakan bahwa ketika individu mempersepsikan, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri (self awareness), dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti yang ia lakukan terhadap dunia di luar dirinya William H. Fitts (Agustiani, 2006 dalam Silaen, 2016: 4).
Konsep diri bukan hanya gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian Anda terhadap diri Anda. Konsep diri meliputi apa yang Anda pikirkan dan apa yang Anda rasakan tentang diri Anda. Ada dua komponen konsep diri yaitu komponen kognitif yang disebut citra diri (self image) dan komponen afektif yang disebut harga diri (self esteem) (Rakhmat, 2007:
100).
Sependapat dengan yang disampaikan oleh Anita Taylor tersebut diatas, menurut Hardy Malcom (dalam Soenardji, 1988) bahwa konsep diri terdiri dari:
a) Citra diri (self image) bagian ini merupakan deskripsi yang sangat sederhana, misalnya saya seorang mahasiswa, saya seorang adik, saya berambut panjang, saya bertubuh gendut dan lain sebagainya.
b) Harga diri (self esteem) dimana bagian ini meliputi suatu penilaian terhadap perkiraan mengenai pantas diri (self woth).
Dari dua pembagian di atas, maka konsep diri mencakup pandangan individu akan dimensi fisiknya. Selain itu hal ini juga banyak mempengaruhi hal yang lain seperti karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya kegagalannya dan sebagainya.
Konsep diri sebagai sebuah satu kesatuan dari dua aspek yang saling berpengaruh, yaitu psikologis dan fisik, terbentuk atas dua komponen Pudjijogyanti (dalam Sobur, 2010: 511), yaitu :
a) Komponen kognitif, merupakan pengetahuan individu mengenai keadaan dirinya, komponen kognitif ini merupakan penjelasan tentang diri individu yang akan memberikan gambaran tentang siapa diri individu tersebut. Gambar dalam diri (self picture) tersebut akan membentuk citra diri (self image)
b) Komponen afektif, merupakan penilaian individu terhadap diri, penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap diri (selfacceptance) serta harga diri (self esteem) individu tersebut.
Dari dua komponen tentang konsep diri tersebut, dapat disimpulkan bahwa komponen kognitif merupakan data yang bersifat obyektif, sedangkan komponen afektif merupakan data yang bersifat subyektif.
2.3.2 Jenis-Jenis Konsep Diri 2.3.2.1 Konsep Diri Positif
Karakteristik dengan konsep diri positif, yaitu bebas mengemukakan pendapat, cenderung memiliki motivasi tinggi untuk mencapai prestasi, mampu mengaktualisasikan potensinya dan mampu menyelaraskan diri dengan lingkungannya Coopersmith (Rakhmat, 2007 dalam Silaen, 2016: 5-6).
Pendapat tersebut sejalan dengan yang diungkapkan Brooks dan Emmert (Rakhmat, 2007: 105) yang menyatakan bahwa individu yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal, yaitu:
a) Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah b) Merasa setara dengan orang lain
c) Menerima pujian tanpa rasa malu
d) Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginann dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat
e) Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
Individu yang memiliki konsep diri positif akan bersikap optimis, percaya diri sendiri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialami.
Kegagalan tidak dipandang sebagai akhir segalanya, namun dijadikan sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah kedepan. Individu yang memiliki konsep diri positif akan mampu menghargai dirinya sendiri dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang.
2.3.2.2 Konsep Diri Negatif
Sedangkan untuk konsep diri yang negatif Coopersmith (dalam Revina, 2016: 6) mengemukakan beberapa karakteristik, yaitu mempunyai perasaan tidak aman kurang menerima dirinya sendiri dan biasanya memiliki harga diri yang rendah. Fitts (Yanti, 2008
dalam Silaen, 2016: 6), menyebutkan ciri-ciri individu yang mempunyai konsep diri rendah adalah:
a) Tidak menyukai dan menghormati diri sendiri
b) Memiliki gambaran yang tidak pasti terhadap dirinya,
c) Sulit mendefinisikan diri sendiri dan mudah terpengaruh oleh bujukan dari luar d) Tidak memiliki pertahanan psikologis yang dapat membantu menjaga tingkat
harga dirinya
e) Mempunyai banyak persepsi yang saling berkonflik
f) Merasa aneh dan asing terhadap diri sendiri sehingga sulit bergaul.
g) Mengalami kecemasan yang tinggi, serta sering mengalami pengalaman negatif dan tidak dapat mengambil manfaat dari pengalaman tersebut.
Menurut William D. dan Philip E (Rakhmat, 2007 dalam Silaen, 2016: 6-7) ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif, yaitu :
a. Peka pada kritik. Orang ini sangat tidak tahan terhadap kritik yang diterimanya, dan mudah marah. Bagi orang ini,koreksi seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya.
b. Responsif sekali terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian, segala macam embel-embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatiannya.
c. Cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan. Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres.
d. Bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan oran lain dalam membuat prestasi.
Individu yang memiliki konsep diri negatif meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Individu ini akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Individu yang memiliki konsep diri negatif akan mudah menyerah
sebelum berperang dan jika ia mengalami kegagalan akan menyalahkan diri sendiri maupun menyalahkan orang lain (Silaen, 2016: 7)
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik konsep diri dapat dibedakan menjadi dua yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif, yang mana keduanya memiliki ciri-ciri yang sangat berbeda antara ciri karakteristik konsep diri positif dan karakteristik konsep diri yang negatif. Individu yang memiliki konsep diri positif dalam segala sesuatunya akan menanggapinya secara positif, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri.
Individu yang memiliki konsep diri positif ia akan percaya diri, akan bersikap yakin dalam bertindak dan berperilaku. Sedangkan individu yang memiliki konsep diri negatif akan menanggapi segala sesuatu dengan pandangan negatif pula, dia akan mengubah terus menerus konsep dirinya atau melindungi konsep dirinya itu secara kokoh dengan cara mengubah atau menolak informasi baru dari lingkungannya.
2.3.3 Dimensi-dimensi dalam Konsep Diri
Menurut Fitts (Agustiani, 2006 dalam Silaen, 2016: 8-11) konsep diri terbagi dalam dua dimensi pokok, yaitu:
I. Dimensi Internal
Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal frame reference) adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi ini terdiri dari tiga bentukFitts (Agustiani, 2006 dalam Silaen, 2016: 8-9)
a) Diri Identitas (identity self)
Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan, “Siapakah saya?” Dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan kepada diri (self) oleh individu yang bersangkutan. Kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan individu tentang dirinya juga bertambah, sehingga ia dapat melengkapi keterangan tentang dirinya dengan hal-hal yang lebih kompleks.
b) Pelaku (behavioral self)
Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh diri”. Bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas. Diri yang kuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku.
c) Diri Penerima/Penilai (judging self)
Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator.
Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri identitas dan diri pelaku. Diri penilai menentukan kepuasan seseorang akan dirinya atau seberapa jauh seseorang menerima dirinya. Kepuasan diri yang rendah akan menimbulkan harga diri (self seteem) yang rendah pula dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar pada dirinya dan begitu juga sebaliknya II. Dimensi Eksternal
Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi yang dikemukakan oleh Fitts adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang dan dibedakan atas lima bentuk Fitts (Agustiani, 2006 dalam Silaen, 2016: 10- 11), yaitu :
a) Diri Fisik (physical self)
Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinyasecara fisik, terlihat dari persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus).
b) Diri Etika-moral (moral-ethical self)
Persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasaan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.
c) Diri Pribadi (personal self)
Perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain,
tetapidipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.
d) Diri Keluarga (family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam sebagai anggota keluarga. Seberapa jauh seseorang merasa memadai terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga.
e) Diri Sosial (social self)
Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan sekitarnya. Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya dalam dimensi eksternal ini dapat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan orang lain. Seseorang tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki fisik yang baik tanpa adaya reaksi dari orang lain yang memperlihatkan bahwa secara fisik ia memang menarik. Demikian pula seseorang tidak dapat mengatakan bahwa ia memiliki diri pribadi yang baik tanpa adanya tanggapan atau reaksi orang lain disekitarnya yang menunjukkan bahwa ia memang memiliki pribadi yang baik.
2.3.4 Aspek-aspek Konsep Diri
Konsep diri ini bersifat multi-aspek dan menurut Berk terdapat empat aspek dalam konsep diri Berk (Dariyo, 2007 dalam Silaen, 2016: 11-12), yaitu:
I. Aspek fisiologis
Aspek fisiologis dalam diri berkaitan dengan unsur-unsur fisik, seperti warna kulit, bentuk, berat atau tinggi badan, raut muka (tampan, cantik, sedang, atau jelek), memiliki kondisi badan yang sehat, normal/cacat dan sebagainya. Karakteristik fisik mempengaruhi bagaimana seseorang menilai diri sendiri; demikian pula tak dipungkiri bahwa orang lain pun menilai seseorang diawali dengan penilaian terhadap hal-hal yang bersifat fisiologis. Walaupun belum tentu benar masyarakat seringkali melakukan penilaian awal terhadap penampilan fisik untuk dijadikan sebagai dasar respon perilaku seseorang terhadap orang lain.
II. Aspek Psikologis
Aspek-aspek psikologis (psychological aspect) meliputi tiga hal, yaitu:
a) Kognisi (kecerdasan, minat dan bakat, kreativitas, kemampuan konsentrasi) b) Afeksi (ketahanan, ketekunan dan keuletan bekerja, motivasi berprestasi,
toleransi stres)
c) Konasi (kecepatan dan ketelitian kerja)
Pemahaman dan penghayatan unsur-unsur aspek psikologis tersebut akan mempengaruhi penilaian terhadap diri sendiri. Penilaian yang baik akan meningkatkan konsep diri yang positif (positive self concept), sebaliknya penilaian yang buruk cenderung akan mengembangkan konsep diri yang negatif (negative self concept).
III. Aspek Psiko-sosiologis
Aspek psiko-sosiologis (psych sociologico aspect) adalah pemahaman individu yang masih memiliki hubungan dengan lingkungan sosialnya. Aspek psiko-sosiologis ini meliputi tiga unsur, yaitu:
a) Orangtua saudara kandung, dan kerabat dalam keluarga.
b) Teman-teman pergaulan (peer-group)dan kehidupan bertetangga.
c) Lingkungan sekolah (guru, teman sekolah, aturan-aturan sekolah).
Seseorang yang menjalin hubungan dengan lingkungan sosial dituntut untuk dapat memiliki kemampuan berinteraksi sosial (social interaction), komunikasi, menyesuaikan diri (adjustment) dan bekerja sama (cooperation) dengan mereka. Tuntutan sosial secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi agar individu menaati aturan-aturan sosial. Individu pun juga berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui lingkungan.
IV. Aspek Psikoetika dan Moral
Aspek psikoetika dan moral (moral aspect), yaitu suatu kemampuan memahami dan melakukan perbuatan berdasarkan nilai-nilai etika dan moralitas. Setiap pemikiran, perasaan, dan perilaku individu harus mengacu pada nilai-nilai kebaikan, keadilan, kebenaran, dan kepantasan. Oleh karena itu, proses penghayatan dan pengamatan individu terhadap nilai-nilai moral tersebut menjadi sangat penting, karena akan dapat menopang keberhasilan seseorang dalam melakukan kegiatan penyesuaian diri dengan orang lain.
2.3.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Konsep Diri
Menurut Devito dalam buku yang berjudul The Interpersonel Communication Book
1. Others Image
Others Images merupakan orang yang mengatakan siapa anda, melihat citra diri dengan mengungkapkannya melalui perilaku dan aksi. Konsep diri seseorang dibentuk karena adanya orang-orang yang paling penting dalam hidup seseorang seperti orang tua. Menurut Demo.H menekankan bahwa konsep diri dibentuk, dipelihara, diperkuat, dan diubah oleh komunikasi para anggota keluarga. Mereka itulah yang disebut sebagai significant others. Significant Others yang dimaksud merupakan orang tua. Orang tua adalah faktor utama yang membentuk dan mengembangkan konsep diri seorang anak. Dalam perkembangan, significant others meliputi semua yang mempengaruhi perilaku, pikiran dan perasaan kita, mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita dan menyentuh kita secara emosional.
2. Orang lain
Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Ketika kita tumbuh menjadi dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengan kita. Sebagai contoh, Rina memperoleh informasi tentang dirinya dari kedua orang tuanya dan orang sekitarnya bahwa Rina anak yang pintar. Rina berpikir, “saya pintar”. Ia menilai persepsinya dari orang lain. Richard dan W.J Humber, 1966 (dalam Naisyha, 2015) menamai orang lain sebagai affective others, dimana orang lain yang mengenal kita mempunyai ikatan emosional.
Pandangan diri kita tentang keseluruhan pandangan orang lain terhadap kita disebut generalized others. Konsep diri ini berasal dari George H. Mead, dimana kita memandang diri kita seperti orang lain memandangnya,berarti mencoba menempatkan diri kita seperti orang lain memandangnya.
3. Budaya
Melalui orang tua, pendidikan, latar belakang, makan akan ditanamkan keyakinan, nilai agama, ras, sifat, nasional untuk membentuk konsep diri seseorang. Contohnya, ketika seseorang mempunyai latar belakang budaya yang sangat baik dan memiliki etika maka orang tersebut memiliki konsep diri positif.
2.3.6 Proses Terbentuknya Konsep Diri
Salah satu faktor penentu atau gagalnya seseorang dalam menjalani kehidupan adalah konsep diri. Konsep diri yang ada pada seorang individu adalah sebagai bentuk keyakinan dirinya bahwa ia mampu dan bisa untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya. Konsep diri seseorang dinyatakan melalui sikap dirinya dalam suatu lingkungan. Manusia sebagai organisme yang memiliki dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan ia sadar akan keberanian dirinya. Perkembangan yang berlangsung tersebut dapat membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan.
Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan fisik sedangkan menurut George H. Mead (dalam Rakhmat, 2007: 99) dalam buku Introducing Communication Theory Analysis an Aplication Third Edition konsep diri pada seseorang muncul bukan dari pikiran seseorang tersebut terlebih dahulu melainkan dari pemikiran atau pandangan dari orang lain terhadap diri kita dan baru diikuti pemikiran yang muncul pada diri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang diri yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya.
Konsep diri terbentuk dalam waktu yang relatif lama. Konsep diri pada dasarnya tersusun atas berbagai tahapan (Sobur, 2010: 510-511) , yaitu :
a) Konsep diri primer
Konsep ini terbentuk atas dasar pengalamannya terhadap lingkungan, yaitu lingkungan rumahnya sendiri. Pengalaman yang berbeda diterima melalui anggota rumah, baik dari orang tua, nenek, paman, atau saudara kandung. Konsep tentang bagaimana dirinya banyak bermula dari perbandingan antara dirinya dan saudaranya yang lain. Adapun konsep bagaimana perannya, aspirasinya ataupun tanggung jawabnya dalam kehidupan, ditentukan atas dasar pendidikan yang datang dari orang tuanya.
b) Konsep diri sekunder
Konsep ini banyak ditentukan oleh konsep diri primernya, misalnya apabila konsep diri primer seseorang adalah pendiam, tidak nakal, tidak suka keributan, maka ia akan memilih teman bermain yang sesuai dengan konsep diri yang sudah dimilikinya dan teman-teman baru yang nantinya menunjang terbentuknya konsep diri sekunder.