• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Manajemen Proyek

Manajemen proyek adalah aplikasi pengetahuan (knowledges), keterampilan (skills), alat (tools) dan teknik (techniques) dalam aktifitas-aktifitas proyek untuk memenuhi kebutuhan proyek (PMBOK 4th eddtion, 2008).

Manajemen proyek dilaksanakan melalui aplikasi dan integrasi tahapan manajemen proyek yaitu inisiasi (initiating), perencanaan (planning), eksekusi (executing), pengawasan dan pengedalian (monitoring and controlling) serta akhirnya penutupan (closing) dari keseluruhan proses proyek tersebut. Dalam pelaksanaannya setiap proyek selalu dibatasi (PMBOK 4th eddtion, 2008).

Menurut pengertian manajemen proyek di atas dapat dipahami bahwa manajemen proyek adaah implementasi dari gabungan antara pengetahuan, kemampuan dan teknik untuk memenuhi suatu kebutuhan proyek, yang diterapkan pada seluruh tahapan dalam suatu proyek.

2.2. Perencanaan Proyek

Suatu kegiatan yang terencana akan memberikan proses dan hasil yang sesaui dengan kebutuhan. Terutama perencanaan dalam suatu proyek yang melibatkan banyak sumberdaya. Dewasa ini banyak sekali pemahaman mengenai perencanaan dan proyek yang berkembang sehingga butuh pengkerangkaan dari beberapa definisi perencanaan juga digabungkan dengan definisi proyek agar menghasilkan kesimpulan pengertian yang sesuai dalam karya ilmiah ini. Berikut merupakan definisi-definisi dari teori perencanaan dalam ilmu manajemen..

Definisi perencanaan menurut Robbins (2004) adalah the organization’s objectives or goals, establishing an overall strategy for achieving those goals, and developing a comperhensive hierarchy of plans to intergrate and coordinate activities yang artinya objektif atau tujuan organisasi, penetapan keseluruhan strategi untuk menggapai tujuan tersebut, dan mengembangkan hirarki  

   

 

   

   

(2)

perencanaan yang komperhensif untuk mengintegrasikan dan mengkooeodnasikan aktifitas. Definisi selanjutnya, menurut Wiludjen (2007) perencanaan adalah suatu proses yang rasional, dengan menggunakan fakta masa lalu dan dengan masa depan untuk menggambarkan perkiraan yang akan datang. Sedangkan, definisi proyek menurut Chase (1998) pada Santosa (2009) adalah sebuah rangkaian aktifitas unik yang terkait untuk mencapai suatu hasil dan dilakukan dalam periode waktu tertentu pula. Berdasarkan kedua definisi perencanaan dan satu definisi proyek dapat disimpulkan bahwa perencanaan proyek adalah suatu rangkaian kegiatan yang komperhensif dan terintegrasi dengan didukung fakta masa lau dan masa akan datang yang rasional, untuk menggambarkan perkiraan yang akan datang dalam rangka pencpaian tujuan yang dilakukan dalam periode waktu tertentu.

Wiludjen (2007) berpendapat bahwa langkah-langkah untuk membuat perencanaan dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Menentukan tujuan

Objektif menetapkan hasil-hasil yang diharapkan yang menunjukan titik akhir dari apa yang harus dicapai oleh jaringan dari strategi, kebijakan, prosedur, peraturan, program, dan anggaran.

2. Mengembangkan premis

Prmis adalah asumsi tentang lingkungan dimana rencana akan dijalankan.

Premis meliputi peramalan, kebijakan dasar perencanaan, dan rencana perusahaan yang telah ada.

3. Menentukan alternatif-alternatif tindakan dan mengevaluasi alternatif tersebut

4. Memilih salah satu alternatif terbaik

5. Menentapkan rencana dan mengevaluasi hasilnya

Langkah-langkah perencanaan di atras perlu memenuhi syarat perencanaan diantaranya fakrual dan realistik, logis dan rasional, fleksibel, kontinuitas dan dialektif. Syarat-syarat perencanaan ini dapat diimplementasikan pada keempat jenis perencanaan menurut Wiludjen (2007) diantaranya :

 

   

 

   

   

(3)

1. Rencana menurut horizon waktu

a. Rencana jangka pendek (< 1 Tahun) b. Rencana jangka menengah (1-2 Tahun) c. Rencana Jangka Panjang (> 3 Tahun) 2. Rencana menurut subyeknya

a. Rencana produksi b. Rencana pemasaran c. Rencana keuangan d. Dan lain-lain.

3. Rencana menurut ruang lingkupnya

a. Strategic Plan (Rencana strattegis), yaitu rencana yang ditujukan pada kebutuhan jangka panjang organisasi dan menentukan secara komperhensif arah dari tindakan organisasi atau submit organisasi.

b. Operational Plan (Rencana operasional), yaitu rencana yang ditunjukan pada aktivitas tertentu dalam menerapkan rencana strategis.

4. Rencana menurut penggunaannya

a. Standing plan, yaitu rencana yang digunakan berulang-ulang,

1) Policies (Kebijakan), yaitu standing plan yang mengkomunikasikan penduan bagi keputusan dan tindkakan dalam keadaan tertentu.

2) Procedure (prosedur), yaitu standing plan yang meiliputi urutan dari tindakan-tindakan yang harus dilakukan dalam situasi tertentu.

3) Rules (Peraturan), peraturan yang spesifik tentang tindakan yang harus dilakukan

b. Single use plan, yaitu rencana yang hanya dipakai satu kali untuk setiap periode waktu

1) Budget, adalah rencana yang mengalokasikan sumber daya organisasi ke dalam aktivitas, proyek dan program organisasi.

2) Project schedule, adalah rencana yang meiliputi aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan dalam pembuatan suatu proyek dalam organisasi.

 

   

 

   

   

(4)

3) Programs, yaitu rencana organisasi yang menyeluruh yang menyangkut penggunaan sumber-sumber daya di masa yang akan datang.

Menrut Santosa (2009) menerangkan bahwa terdapat tiga alat yang biasa digunakan dalam melakukan perencanaan proyek diantaranya:

1. Work breakdown structure (WBS)

work breakdown structure (WBS) is a deliverable-oriented hierarchical decomposition of the work to be executed by the project team to accomplish the project objectives and create the required deliverables, with each descending level of the WBS representing an increasingly detailed defi nition of the project work (PMBOK 4th eddtion, 2008).

Sedangkan pengertian WBS menurut Santosa (2009) adalah kegiatan menguraikan pekerjaan proyek menjadi pekerjaan-pekerjaan kecil yang secara operasional mudah dilaksanakan serta mudah diestimasi biaya dan waktu pelakcanaannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa work breakdown structure adalah alat yang digunakan untuk mendefinisikan suatu kegiatan proyek kedalam bentuk struktur.

2. Gant Chart

Hal-hal yang terdapat pada Gantt sharts adalah hubungan antara aktifitas dan waktu pengerjaan proyek. Berikut merupakan contoh gantt chart yang digunakan dalam suatu proyek, diantaranya:

Sumber: http://syque.com/quality_tools/tools/TOOLS13.htm

Gambar 2.1. Contoh Gantt chart Pada Sutu Proyek  

   

 

   

   

(5)

Pada gambar 2.1 di atas merupakan contoh dari gantt chart yang digunakan dalam suatu proyek. Pada suatu gantt shart dibutuhkan work breakdoen structure dalam mengalokasikan wakt pada setiap kegiatannya.

3. Rancangan Anggaran Biaya

Penganggaran adalah tindakan bagaimana mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk berbagai kegiatan dalam suatu organsiasi selama jangka waktu tertentu.

Menurut Santosa (2009) terdapat tiga biaya dalam suatu proyek, diantaranya:

a. Biaya Tenaga Kerja Langsung (BTKL)

b. Biaya Bukan Tenaga Kerja Langsung (BBTKL) c. Biaya Overhead dan Adminstrasi & Umum

2.3. Aset

Sebelum memahami mengenai tata cara pengelolaan suatu aset sebaiknya, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai pengertian dan jenis dari aset. Hal ini dimaksudkan agar pengelola mampu menyesuaikan pengelolaan terhadap suatu aset sesuai dengan karakteristiknya. Pada pengertian aset yang dikemukanan British Standards Publicly Avaible Specification (PAS) 55 (2008) mendefinisikan aset adalah Plant, machinery, property, buildings, vehicles and other item and related systems that have a distinct and quantifiable business function or service, yang artinya mesin, properti, bangunan, kendaraan dan barang lainnya serta sistem terkait yang memiliki fungsi bisnis atau jasa yang berbeda dan terukur.

Pada pengertian mengenai aset di atas dapat dipahami bahwa aset terdapat dua jenis aset yaitu berupa aset fisik (mesin, properti) dan aset non fisik (sistem) yang kedua jenis aset ini memiliki ukuran dan berkaitan dengan fungsi bisinis.Ukuran aset yang dimaksud pada pengertian aset di atas dapat diperjelas dengan pengertian aset menurut Siregar (2004) pengertian aset adalah barang (thing) atau sesuatu barang (anything) yang mempunyai nilai ekonomi (economic value), nilai komersial (commercial value) atau nilai tukar (exchange value) yang  

   

 

   

   

(6)

dimiliki oleh badan usaha, instansi atau individu. Pada pengertian aset menurut siregar dapat diperjelas mengenai ukuran aset yang dapat ditinjau melalui nilai- nilai yang dimiliki aset tersebut diantaranya nilai ekonomi, nilai komersial dan nilai tukar. Berdasarkan kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa aset adalah suatu barang yang memiliki karakteristik fisik atau non fisik dengan nilai ekonomi, nilai komersial serta nilai tukar yang terdapat pada suatu fungsi bisnis dan dimiliki oleh individu, instansi atau perusahaan.

Seperti yang dijelaskan pada kesimpulan definisi aset di atas bahwa aset dapat digolongkan berdasarkan jenisnya diantaranya aset fisik dan aset non fisik.

Berikut adalah jenis aset berdasarkan bentuknya menurut Hermanto (2009), yang dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Aset berwujud (tangible). Bentuk aset berwujud adalah bangunan, infrastruktur, mesin/peralatan dan fasilitas.

2. Aset tidak berwujud (intangible). Bentuk aset yang tidak berwujud adalah Sistem Organisasi (Tujuan, Visi, dan Misi), Patent (Hak Cipta), Quality (Kualitas), Goodwill (Nama Baik/Citra), Culture (Budaya), Capacity (Sikap, Hukum, Pengetahuan, Keahlian), Contract (Perjanjian), dan Motivation (Motivasi).

2.4. Manajemen Aset

Manajemen aset pada masa kini memiliki perkembangan yang relatif signifikan karena kini muncul beberapa pendekatan ilmu yang berpengaruh pada pengelolaan aset seperti manajemen aset berbais risiko, manajemen aset gedung dan manajemen aset berkelanjutan terintegrasi. Salah satu faktor penyebab perkembangan ilmu manajemen aset adalah semaikn kompleksnya kebutuhan pengelolaan akan aset dan jenis dari aset tersebut. Perkembangan ilmu manajemen aset dapat diterjemahkan pada pengertian-pengertian mengenai disiplin ilmu tersebut. Berikut merupakan pengertian-pengertian mengenai manajemen aset diantaranya menurut Hooper R, Armitage R, Galagher, dkk. (2009) yang mendefinisikan manajemen aset adalah combination of management, financial, economic, engineering and other practices applied to physical assets with the  

   

 

   

   

(7)

objectives of providing the required level of service in the most cost effective manner, yang artinya kombinasi dari manajemen, keuangan, ekonomi, teknik dan praktek lainnya yang diterapkan pada aset fisik dengan tujuan memberikan tingkat pelayanan yang diperlukan dalam biaya yang paling efektif.

Pada pengertian manajemen aset di atas, dapat dipahami hahwa manajemen aset merupakan suatu disiplin ilmu yang hybrid karena merupakan penggabungan dari beberapa lintas disiplin ilmu. Namun, yang perlu diperhatikan pada pengertian di atas adalah terdapat dua hal yang menentukan manajemen aset yang efektif yaitu tingkat layanan dan biaya yang diperlukan pada aset yang dikelola, dengan kata lain dalam pengelolaan aset perlu menekan biaya seefisien mungkin namun, tidak mengenyampingkan sisi pelayanan suatu aset yang paling efektif. Pengeluaran atau biaya pada suatu aset merupakan hal yang penting pada pengelolaan suatu aset, sehingga konsep pentingnya biaya terdapat pula pada pengertian manajemen aset menurut Brown and Spare (2007) bahwa manajemen aset didefinisikan sebagai Art of balancing cost, performance and risk, being a business philosophy designed to align corporate goals with asset spending decisions, yang artinya seni menyeimbangkan biaya, kinerja dan risiko, menjadi filosofi bisnis yang dirancang untuk menyelaraskan tujuan perusahaan dengan keputusan pengeluaran aset.

Pengertian manajemen aset ini lebih mengedepankan tiga aspek inti dalam manajemen aset yaitu biaya, kinerja dan risiko. Hal serupa mengenai pengertian manajemen aset dijelaskan pada British Standards Publicly Avaible Specification (PAS) 55 Asset Management Part I (2008) bahwa manajemen aset adalah

Systematic and coordinated activities and practices through which an organization optimally and systematically manages its assets and asset systems, their associated performance, risks and expenditures over their life cycles for the purpose of achieving its organizational plan, yang artinya kegiatan sistematis dan terkoordinasi dan praktek melalui organisasi secara optimal dan sistematis dalam pengelolaan aset aset dan sistem aset, terkait didalamnya kinerja, risiko dan pengeluaran selama siklus hidup untuk tujuan mencapai rencana organisasinya.

Pengeritan manajemen aset yang ketiga menambahkan bahwa ketiga inti manajemen aset yaitu kinerja, biaya dan risiko melekat pada setiap siklus hidup aset. Sehingga, berdasarkan ketiga pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa  

   

 

   

   

(8)

manajemen aset adalah kagiatan pengelolaan yang sistematis dan terkooridnasi dengan melibatkan kemampuan manajerial, keuangan dan teknik terhadap kinerja, biaya dan risiko pada siklus hidup suatu aset dalam rangka pencapaian tujuan organisasi yang efektif.

Brown dan Spare (2007) berpendapat bahwa Pengelolaan kinerja, biaya dan risiko yang terdapat pada sertiap tahapan pada siklus aset perlu dilakukan secara seimbang sehingga menjadi suatu seni yang melandasi filosofi bisnis suatu perusahaan. Oleh karena itu, seorang manajer aset perlu memahami setiap tahapan dari siklus hidup serta refleksinya terhadap setiap kinerja, biaya dan risiko pada suatu aset. Gambar 2.2 di bawah merupakan siklus hidup aset yang di kemukanan oleh Hastings (2010) diantaranya sebagai berikut:

Sumber: Hastings (2010).

Gambar 2.2 : Asset Life Cycle

Gambar di atas merupakan gambar dari siklus hidup aset yang dimulai dengan analisis kebutuhan dan peluang gap bisnis serta di akhiri dengan pengecekan bisnis dan teknik sehingga menunjukan dua opsi yaitu opsi penghapusan (disposal) dan pembaruan (renewal) suatu aset.

 

   

 

   

   

(9)

2.5. Pembaruan Aset (Asset Renewal)

Setiap aset baik itu dalam bentuk fisik maupun non fisik memiliki batas ekonomis atau layananan tertentu. Dampak dari sifat alamiah aset tersebut adalah akan mengalami penurunan kinerja dan peningkatan biaya sehingga dapat mengganggu pencapaian tujuan organisasi. Maka dari itu pengambil keputusan perlu menentukan langkah pembaruan aset agar kinerja aset dapat memberikan hasil yang optimal sesuai dengan kebutuhan pengguna aset. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pembaruan adalah proses, cara, perbuatan membarui.

Pengertian secara bahasa tersebut memperjelas pendapat Pudney (2010) bahwa definisi dari pembaruan aset adalah the overhaul or complete replacement of an existing asset with a new asset, having either the same or revised functional capabilities, yang artinya pemeriksaan atau pengantian secara lengkap dari aset yang ada dengan aset baru, melakukan dengan yang sama atau merevisi kemampuan fungsionalnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembaruan aset adalah suatu kegiatan yang komperhensif terkait merevisi kemampuan fungsional (perbaikan), rehabilitasi, dan penggantian suatu komponen atau keseluruhan wujud fisik suatu aset.

Halfawy, Dridi, dkk (2007) berpendapat bahwa permasalahan rencana pembaruan dapat didefinisikan dengan aksi pembaruan yang meliputi:

1. Apa saja aset yang perlu dilakukan rehabilitasi atau penggantian 2. Apa metode yang sesuai untuk digunakan

3. Kapan kegiatan pembaruan dilakukan

Rehabilitasi adalah perbaikan gedung yang mana perbaikan tersebut sedemikian menyeluruh sehingga bentuk dan fungsi arsitektural yang dicapai setelah direhabilitasi berubah dari kondisi sebelumnya. Perbedaan mendasar definisi renocasi dengan rehabilitasi adalah, renovasi adalah perbaikan gedung dengan upaya mempertahankan bentuk dan fungsi arsitektural kondisi sebelumnya, sedangkan rehabilitasi tidak

Halfawy, Dridi, dkk (2008) berpendapat bahwa proses kegiatan pengambilan keputusan pembaruan aset meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

 

   

 

   

   

(10)

1. Indspeksi dan pengukuran kondisi (inspection and condition assessment),

2. Pengukuran risiko (risk assessment),

3. Prediksi kondisi masa depan (prediction of future condition), 4. Prioritas Aset (asset prioritization),

5. Menyeleksi teknologi pembaruan yang tepat (selecting appropriate renewal technologies)

6. Mengevaluasi alternatif rencana pembaruan (evaluating alternative renewal plans).

Dalam Jurnal Sistem Infrastruktur menurut Neil (2006) pembaruan aset dapat dilakukan dengan tiga metode diantaranya :

1. Perbaikan

Perbaikan pada metode pembaruan aset adalah memperbaiki fungsi aset yang terdapat ketidaksesuaian kondisi menjadi kondisi yang sesuai.

2. Rehabilitasi

Rehabilitasi pada metode pembaruan adalah memulihkan ke kondisi yang semula baik itu dengan melakukan perbaikan atau penggantian aset dengan merubah pula arsitektural aset.

3. Penggantian

Penggantian pada metode pembaruan aset adalah mengganti komponen- komponen yang terindikasi tidak sesuai dengan kondisi yang semestinya dengan komponen suatu aset yang sesuai sehingga, aset tersebut sesuai dengan kondisi semula/ yang diinginkan.

2.6. Pengukuran Kondisi (Condition Asasement)

Aset fisik memiliki kondisi yang berbeda-beda selama masa penggunaan aset berdasarkan cara penggunaan dan kondisi lingkungan, sehingga tidak jarang terjadi kerusakan pada komponen yang berbeda walaupun pengadaannya dilakukan secara bersamaan. Oleh karena itu pengukuran kondisi aset perlu dilakukan terutama pada aset infrastruktur yang banyak diantaranya berada pada tempat yang tersembunyi. Berikut merupakan salah satu pendapat mengenai  

   

 

   

   

(11)

pengukuran kondisi yang terdapat pada Building Asset Management Bulletine (2011) bahwa pengukuran kondisi dapat memberikan informasi mengenai keadaan fisik suatu aset. Hal ini membantu untuk memperkirakan sisa umur aset berdasarkan kondisi mereka saat ini dan tingkat estimasi kerusakan. Adapun tinjauan mengenai definisi pengukuran kondisi terdapat pada beberapa pendapat diantaranya menurut Straub (2003) bahwa pengukuran kondisi adalah a tool for assessing the technical performance of the properties to underpin long-term maintenance expectations yang artinya sebuah alat untuk menilai kinerja teknis dari properti untuk mendukung harapan jangka panjang pemeliharaan. Sedangkan definisi lain mengenai pengukuran kondisi menurut Sadek, Kvasnak, dkk (2003) bahwa pengukuran kondisi adalah a system inventory and inspection to evaluate the current condition of the system based on established measures of the condition yang artinya sebuah sistem persediaan dan pemeriksaan untuk mengevaluasi kondisi saat ini dari sistem berdasarkan langkah-langkah pengukuran kondisi.

Pendapat lain mengenai pengukuran kondisi menurut JCEF (2004) pengukuran kondisi adalah a state of repair of building infrastructure that takes into consideration all the building systems from roofs and windows to electrical and mechanical systems yang aritnya keadaan perbaikan infrastruktur bangunan yang memperhitungkan semua sistem bangunan dari atap dan jendela untuk sistem listrik dan mekanik. Definisi terakhir mengenai pengukuran kondisi menurut Neil S (2007) adalah kegiatan mengevaluasi kesiapan komponen untuk menjalankan fungsinya. Berdasarkan kelima pendapat mengenai pengukuran kondisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengukuran kondisi adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sistematis terhadap kondisi fisik suatu aset pada masa sekarang sebagai suatu informasi untuk mendukung pengelolaan aset secata berkelanjutan.

Neil (2007) berpendapat bahwa dalam melaukan proses penilaian kondisi suatu aset seharusnya dilakukan berdasarkan syarat minimal tingkat aktiva, menentukan risiko yang terkait dengan membiarkan aset tetap dalam kondisi itu, dan mengidentifikasi pekerjaan pemeliharaan. Hal tersebut diperlukan untuk mengembalikan dan mempertahankan aset dalam kondisi seiap digunakan.

Pendapat tersebut coba dikembangkan oleh Abbot, Mc Duling, dkk (2007) bahwa  

   

 

   

   

(12)

penilaian kondisi telah berevolusi menjadi sebuah teknologi yang menambahkan dimensi baru untuk pengelolaan strategis dan pemeliharaan bangunan serta infrastruktur terkait. Pada gambar di bawah ini terdapat lima poin warna yang merupakan kode dari sistem rating suatu kondis. Kelebihan dengan memberikan warna pada pengukuran kondisi adalah untuk menambahkan dimensi lain agar pelaporan dapat lebih ramah terhadap pengguna dan mudah untuk dimengerti pula oleh pengguna informasi non teknis sekalipun. Berikut merupakan seistem penngukuran kondisi diantaranya:

Tabel 2.1

Sistem Pengkodean Peringkat Pengukuran Kondisi.

Condition

Rating Condit

ion Action Req’D Activities

5 Sangat Baik

Pemeliharaan preventif terencana

Komponen baru belum menunjukan tanda-tanda kerusakan sama sekali

4 Baik Pemeliharaan berbasis

kondisi

komponen yang telah menunjukan cacat kecil atau tanda-tanda kerusakan kecil pada permukaannya, sehingga membutuhkan pemeliharaan/ servis. Hal ini dapat kembali dengan servis perawatan rutin terjadwal atau tidak terjadwal.

3 Sedang Perbaikan

Bagian atau komponen yang signifikan memerlukan perbaikan, biasanya dilakukan oleh tenaga ahli. Komponen telah mengalami penggunaan yang tidak normal atau terjadi penyalahgunaan.

2 Buruk Rehabilitasi

Sebagian besar komponen telah memburuk, mengalami kerusakan struktural atau memerlukan renovasi. Ada risiko yang besar. Keadaan perbaikan memiliki dampak besar pada elemen sekitarnya atau menciptakan kesehatan potensial atau risiko keselamatan.

1 Sangat

Buruk Penggantian

Komponen bangunan telah gagal, operasional memburuk sampai-sampai tidak dapat diperbaiki, melainkan harus diganti.

Kondisi elemen tidak secara aktif memberikan kontribusi terhadap degradasi elemen sekitarnya atau menciptakan keselamatan, kesehatan risiko hidup.

Sumber : Abbot. Mc Duling, (2007).

Tabel 1.1 di atas merupakan suatu sistem pengkodean peringkat kondisi yang digunakan untuk mengukur kondisi komponen bangunan atau infrastrkut.

Pengkodean peringkat tersebut terdapat lima poin dengan warna yang berbeda.

Sedangkan pada gambar di bawah ini merupakan lembar/ panduan pengukuran kondisi untuk setiap peringkatnya, diantaranya:

 

   

 

   

   

(13)

Agar mempermudah penggolongan dari hasil pengukuran sautu kondisi aset diperlukan suatu indikator terhadap kondisi aset. Berikut merupakan indikator kondisi yang dapat digunakan dalam pengukuran kondiisi menurut Abbot dan Mc Duling (2007), diantaranya:

1. Kesiapan infrastruktur

a. Integritas fisik aset, untuk membedakan antara seperti baru atau memburuk kondisi

b. Sejarah perbaikan aset, untuk mengukur tingkat kegagalan

c. Kemampuan operasi, untuk menilai kesiapan komponen dari sepenuhnya dioperasikan untuk yang tidak dapat dioperasikan

2. Kesiapan Operasional

a. Kehilangan sumber daya, untuk menentukan kerugian tertinggi

b. Tekanan, untuk menilai apakah sistem mencapai tekanan dari standar pencapaian tujuan

c. Alur, untuk menilai apakah kebutuhan kapasitas telah terpenuhi, termasuk aliran untuk pemantauan dan perbaikan

d. Frekuensi pengaduan, untuk menilai keandalan dan pelanggan Perbaikan kepuasan, rehabilitasi, atau penggantian, perubahan dalam operasi dengan layanan

f. Kualitas, untuk mendeteksi kualitas kerusakan sehingga dapat menentukan alternatif pemeliharaan, perbaikan, rehabilitasi, atau penggantian.

g. Energi, untuk mendeteksi penggunaan energi yang berlebihan

2.7. Analisis Risiko

Analisis risiko merupakan suatu penerapan dari fungsi-fungsi manajemen risiko untuk mengukur suatu risiko pada kegiatan atau kebijakan tertentu. Lebih jauh lagi, bahwa .Manajemen risiko merupakan suatu usaha untuk mengetahui, menganailis serta mengedalikan risiko dalam setiap kegiatan perusahaan dengan tujuan untuk memperoleh efektifitas dan efisiensi yang lebih tinggi  

   

 

   

   

(14)

(Darmawi:2010). Definisi lain mengenai manajemen risiko menurut Kountur (2004) adalah cara-cara yang digunakan manajemen untuk menangani berbagai permasalahan yang disebabkan oleh adanya risiko.

Dengan kata lain, manajemen risiko dapat disimpulkan sebagai suatu usaha utnuk mengidentifikasi, menganalisis ukuran dan memetakan, mengatasi serta mengendalikan risiko yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan dalam mencapai tujuannya. Dalam perkembangannya ada beberapa tahapan manajemen risiko yang diantaranya, Kountur (2004) mendefinisikan siklus/ tahapan manajemen risiko pada gambar berikut :

Sumber : Kountur, (2004).

Gambar 2.3 : Siklus Manajemen Risiko.

Gambar di atas menjelaskan mengenai alur dari manajemen risiko yang di awali dengan tahapan identifikasi risiko, tahapan yang kedua adalah pengukuran risiko dan tahapan yang ketiga adalah penanganan risiko. Agar memperjelas implementasi dari ketiga tahapan manajemen risiko/ analisis risiko, berikut penjelasannya:

1. Identifikasi Risiko

Pada tahap ini, merupakan proses pengidentifikasian risiko-risiko pada perusahaan yang merupakan potensi kerugian yang telah terjadi ataupun yang akan dihadapi oleh perusahaan. Terdapat beberapa pihak yang dapat menjadi objek peneliti yaitu pemegang saham, kreditur, pemasok, karyawan, pemain lain dalam industri, pemerintah, pengelola, masyarakat, dan pihak lain yang terpengaruh oleh adanya perusahaan. Pihak-pihak

Identifikasi Risiko

Pengukuran Risiko

Penanganan Risiko  

   

 

   

   

(15)

tersebut diidentifikasi oleh alat/ metode yang sistematis agar mendapatkan tingkat keakuratan risiko yang tinggi. Berikut metode-metode yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi risiko menurut Darmawi (2010), diantaranya :

a. Risk Anlysis Quisionare b. Metode Laporan Keuangan c. Metode Peta Aliran

d. Inspeksi e. Interaksi

f. Catatan Statistik dan Kerugian Masa Lalu g. Analisis Lingkungan

2. Pengukuran Risiko

Pengukuran risiko mengacu kepada dua hal yaitu kuantitas dan kualitas risiko. Kuantitas terkait dengan berapa banyak nilai, atau eksposur yang rentan terhadap risiko. Kualitas risiko terkait dengan kemungkinan suatu risiko muncul. Semakin tinggi kemungkinan risiko terjadi, maka semakin tinggi pula risikonya. Data historis merupakan salah satu sumber identifikasi risiko sekaligus sumber untuk mengukur besarnya risiko.

Kemungkinan terjadinya risiko dapat ditentukan walaupun tidak ada data historis dari masa sebelumnya. Metode yang digunakan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya risiko adalah dengan metode aproksimasi.

Menurut Kountur (2008), pengumpulan informasi pada metode aproksimasi dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu: Expert Opinion, Concensus, atau Delphy.

Expert Opinion adalah cara pengumpulan informasi dimana seseorang dianggap yang dianggap ahli diwawancarai untuk mendapatkan informasi tentang berapa besar probabilitas dan berapa besar dampak yang terjadi dari suatu risiko. Concensus adalah cara dimana beberapa orang dikumpulkan untuk diminta pendapatnya tentang besarnya probabilitas dan dampak dari suatu daftar risiko. Beberapa orang tersebut harus membuat kesepakatan besarnya risiko yang akan digunakan dalam membuat peta  

   

 

   

   

(16)

risiko dan status risiko. Delphy adalah suatu cara dimana beberapa orang yang dianggap ahli untuk memberikan pendapat. Hal tersebut dilakukan dengan jalan mengirimkan formulir atau pertanyaan untuk diisi secara tertulis dan dijawab dengan tertulis. Masing-masing ahli tidak boleh saling mengetahui. Selanjutnya pendapat mereka disebarkan ke ahli yang lain untuk diberi pendapat revisi (Kountur: 2008).

3. Pemetaann Risiko

Sebuah manajemen akan mampu menilai risiko dengan adanya pengelompokan terhadap risiko. Pemetaan risiko pada prinsipnya merupakan penyusunan risiko berdasarkan kelompok-kelompok tertentu sehingga manajemen dapat mengidentifikasi karakter dari masing-masing risiko dan menetapkan tindakan yang sesuai terhadap masing-masing risiko (Djohanputro, 2004). Peta risiko dapat dilihat pada Gambar 2,3.

Dampak

Tinggi Kuadran II Kuadran I

Risiko berbahaya yang jarang terjadi

Mengancam pencapaian tujuan perusahaan Sedang

Kuadran IV Kuadran III

Risiko tidak berbahaya Risiko yang terjadi sangat rutin

Rendah

Rendah Sedang Tinggi

Probabilitas Sumber : Djohanputro, 2004.

Gambar 2.4 : Diagram Pemetaan Risiko

Gambar 2.4 di atas merupakan teknik melakukan pemetaan risiko yaitu dengtan mengkasifikasikan risiko kedalam dua dimensi, dimensi pertama yaitu dimensi probabilitas dan dimensi yang kedua yaitu besrnya dampak.

Hasil dari kedua dimensi ini akan membagi risiko kedalam empat kuadran yaitu kuadran I dengan dampak risiko yang tinggi juga probabilitas yang tinggi pula menyebabkan risiko dalm kuadran ini harus sangat  

   

 

   

   

(17)

diperhatikan karena akan mengancam tujuan dari perusahaan. Kuadran yang ke II merupakan area yang dihuni oleh risiko-risiko delam prioritas II. Ciri dari risiko dalam kuadran II ini adalah mereka yang memiliki tingkat probabilitas kejadian antara rendah sampai sedang, namun dampaknya bila risiko tersebut menjadi kenyataan. Ini artinya risiko-risiko dalam kuadran II cukup jarang terjadi mungkin, hanya setahun sekali atau bahkan bisa kurang. Akan tetapi apabila risiko ini terjadi tujuan dan target perusahaan bisa tdiak tercapai.

Pemetaan rsiko untuk kuadran III merupakan rsiko yang memiliki ciri probabilitas yang sering terjadi namun dampak dari risiko tersebut rendah sehingga tidak terlalu mengancam dari pencapaian tujuan perusahaan.

Kuadran IV merupakan pemetaan risiko yang dapat dibilang risiko yang tidak menjadi kekhawatiran bagi manajemen namun perlu dilakukan pula pengwasan dan pengendalian, karena risiko dalam kuadran ini memiliki ciri probabilitas yang jarang terjadi dengan dampak yang rendah.

3. Penanganan risiko

Tahapan Analisis risiko yang terakhir adalah tahapan penanganan risiko.

Tahapan ini adalah langkah menginterpretasikan hasil pengukuran risiko berupa diagram pemetaan risiko dan daftar status risiko kedadalam suatu tindakan. Kontur (2008) berpendapat bahwa terdapat dua hal yang dapat dilakukan perusahaan dalam menagnani risiko-risikonya, yaitu yang pertama melakukan tindakan preventif dan yang kedua adalah melakukan mitigasi terhadap risiko-risiko sesuai. dengan ukuran dari setiap risiko tersebut.

Dalam penelitian ini, penangan risiko akan mempertimbangkan hasil dari diagram pementaan juga daftar status risiko berdasarkan ukurannya dengan merujuk pada literatur-literatur mengenai penanganan risiko (studi dokumentasi). Hal tersebut dimaksudkan agar alternatif usulan penanganan dapat lebih terarah sesuai dengan kebutuhan dari setiap risiko tersebut tanpa memiliki perbedaan dengan kondisi normal/ yang seharusnya  

   

 

   

   

(18)

diterapkan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dalam hal ini adalah ilmu manajemen risiko.

Terdapat beberapa cara dalam melakukan penanganan terhadap risiko yang telah terukur probabilitas dan dampaknya, diantaranya :

a. Penghindaran Risiko

Sebelum risiko terjadi harus ada cara-cara preventif yang dilakukan sedemikian rupa sehingga risiko tidak terjadi. Tindakan preventif dilakukan apabila probabilitas atau kemungkinan risiko besar (Kountur, 2008).

Dampak

Tinggi 5 Kuadran II Kuadran I

Sedang 3

Kuadran IV Kuadran III

Rendah 1 1 Rendah

3 Sedang

5 Tinggi Probabilitas

Sumber : Djohanputro, 2006

Gambar 2.5 : Peta Preventif Risilo

Dengan demikian, strategi untuk menangani risiko yang berada pada kuadran I dan III adalah strategi preventif. Strategi preventif akan membuat sedemikian rupa sehingga risiko-risiko yang berada pada kuadran I bergeser ke kuadran II dan risiko-risiko yang berada pada kuadran III bergeser ke kuadran IV (Gambar 2.5).

Keterangan :

= Tindakan Preventif  

   

 

   

   

(19)

b. Mitigasi Risiko

Mitigasi risiko adalah strategi penanganan risiko yang dimaksudkan untuk memperkecil dampak yang ditimbulkan dari risiko (Kountur, 2008). Semua risiko yang berada di kuadran I dan II dimana dampaknya besar ditangani dengan cara mitigasi. Hal ini dimaksudkan agar risiko yang berada di kuadran I dapat bergeser ke kuadran III, dan risiko-risiko yang berada di kuadran II dapat bergeser ke kuadran IV. Strategi mitigasi adalah strategi penanganan risiko apabila dampak risiko sangat besar (Gambar 2.6).

Dampak

Tinggi 5 Kuadran II Kuadran I

Sedang 3

Kuadran IV Kuadran III

Rendah 1 1 Rendah

3 Sedang

5 Tinggi Probabilitas

Sumber : Djohanputro, 2006

Gambar 2.6 : Peta Mitigasi Risiko

Ada beberapa cara mitigasi yang dapat dilakukan, diantaranya : 1). Diversifikasi

2). Penggabungan atau penahanan, dan 3). Pengalihan risiko

4). Pengendalian risiko

Keterangan :

= Tindakan Mitigasi  

   

 

   

   

(20)

c. Alternatif Strategi Menghadapi Risiko

Tahapan terakhir dalam penelitian ini adalah untuk memberikan alternatif usulan mengenai penanganan dari setiap risiko-risiko yangt teridentifikasi. Hanafi (2006), memberikan alternatif strategi untuk menghadapi risiko selain penanganan dengan cara preventif dan mitigasi (Gambar 2.7) :

Dampak

Tinggi 5 Kuadran II Kuadran I

(Detect and Monitor) (Prevent at Source) Sedang 3

Kuadran IV Kuadran III

(Low Control) (Monitor)

Rendah 1 1 Rendah

3 Sedang

5 Tinggi Probabilitas

Sumber : Djohanputro, 2006

Gambar 2.7 : Alternatif Strategi Menghadapi Risiko

1) Probabilitas Kecil dan Dampak Kecil : low control

Perusahaan bisa menerapkan pengawasan yang rendah terhadap risiko pada kategori ini.

2) Probabilitas Kecil dan Dampak Besar : detect and monitor

Tipe risiko ini jika muncul, perusahaan bisa mengalami kerugian yang cukup besar, dan barangkali bisa mengakibatkan kebangkrutan.

3) Probabilitas Besar dan Dampak Kecil : monitor

Perusahaan bisa memonitor risiko-risiko tersebut untuk memastikan bahwa risiko tersebut masih berada pada wilayah ’normal’.

4) Probabilitas Besar dan Dampak Besar : prevent at source

Tipe risiko ini praktis tidak relevan lagi dibicarakan, karena jika situasi semacam ini terjadi, berarti perusahaan tidak lagi bisa mengendalikan risiko, dan bisa berakibat pada kebangkrutan.

 

   

 

   

   

(21)

2.7. Risiko Proyek

Seluruh hal yang dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan merupakan pengertian risiko yang diungkapkan Muslich (2007). Sedangkan definisi lain mengenai risiko menurut Darmawi (2010) risiko adalah ketidakpastian yang merupakan dasar dari kemungkinan terhadap apa yang menjadi kenyataan nanti. Sementara, risiko menurut Djohanputro (2004) adalah ketidakpastian yang telah diketahui tingkat probabilitas kejadiannya. Selain itu definisi lain mengenai risiko dalan suatu proyek adalah ketidakpastian insiden atau kondisi, yang jika terjadi dapat menimbulkan efek yang positif ataupun negatif setidaknya pada satu objek proyek, seperti waktu, harga, maupun kualitas (PMBOK, 2004). Berdasarkan definisi-definisi mengenai risiko di atas dapat disimpulkan bahwa risiko proyek adalah ketidakpastian dari suatu kondisi ataupun kegiatan yang beum diketahui probabilitas dan dampaknya, yang dapat memebrikan efek merugikan ataupun menguntungkan terhadap objek risiko se[erti waktu, harga, maupun kualitas. Agar mempermudah pengidentifikasi suatu risiko, seorang analis risiko dapat menggunakan faktor risiko sebagai acuan dasar untuk mengidentifikasi risiko pada rencana kegiatan proyek. Dey (2002) berpendapat bahwa faktor risiko proyek dapat digolongkan menjadi lima faktor diantaranya:

1. Risiko Teknis (Techincal Risk) 2. Risiko Kuasa Tuhan (Act of God)

3. Risiko Keuangan, Ekonomi dan Politik (Financial, Economical and Political Risk)

4. Risiko Organisasi (Organizational Risk) 5. Risiko Perijinan (Statutory Clearance Risk) 2.8. Air Conditioner Systems

Merutut Wang (2001) pada buku Handbook of Air Conditioning And Refrigation menjelaskan bahwa tata udara/ air conditioning adalah suatu sisitem yang terdiri dari beberapa komponen dan peralatan yang disusun dalam sebuah sekuen kondisi pada udara, lalu dialirkan ke kondisi luar dan untuk  

   

 

   

   

(22)

mengendalikan lingkungan didalam ruangan dengan ukuran yang spesifik. Brikut merupakan diagram sederhana mengenai alur dasar sistem tata udara, diantaranya:

Sumber: Complete HVAC Services, 2009

Gambar 2.8: Diagram Dasar Siklus Refrigasi/ Tata Udara

Gambar 2.8. di atas merupakan penerapan umum dari sistem tata udara yang terdapat yang dilakukan secara buatan. Pada gambar tersebut sistem tata udara dibagi kedalam dua kelompok besar yakni kelompok indoor dan kelompok outdoor. Namum, kelompok dengan peralatan yang paling menentukan suhu dan kinerja AC adalah pada komponen outdoor diantaranya kondensor dan kompresor yang bertugas untuk menghasilkan suhu udara yang dibutuhkan lalu mengirimkannya dengan bantun kipas kedalam komponen kelompok indoor yaitu evaporator yang langsung disalurkan melalui kipas ke tempat kelompok sistem tersebut berada.

2.9. Landasan Normatif

Landasan normatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

2.9.1. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 24/Prt/M/2008Tentang Pedoman Pemeliharaan Dan Perawatan Bangunan Gedung

Berikut merupakan tingkat kerusakan gedung dan fasilitas gedung yang terdapat pada permen PU ini, diantaranya adalah:

 

   

 

   

   

(23)

1. Perbaikan dan/atau penggantian dalam kegiatan perawatan bangunan gedung dengan tingkat kerusakan sedang dan berat dilakukan setelah dokumen rencana teknis perawatan bangunan gedung disetujui oleh pemerintah daerah.

2. Kerusakan bangunan adalah tidak berfungsinya bangunan atau komponen bangunan akibat penyusutan/berakhirnya umur bangunan, atau akibat ulah manusia atau perilaku alam seperti beban fungsi yang berlebih, kebakaran, gempa bumi, atau sebab lain yang sejenis.

3. Intensitas kerusakan bangunan dapat digolongkan atas tiga tingkat kerusakan, yaitu:

a. Kerusakan ringan

1) Kerusakan ringan adalah kerusakan terutama pada komponen non-struktural, seperti penutup atap, langit-langit, penutup lantai, dan dinding pengisi.

2) Perawatan untuk tingkat kerusakan ringan, biayanya maksimum adalah sebesar 35% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku, untuk tipe/klas dan lokasi yang sama.

b. Kerusakan sedang

1) Kerusakan sedang adalah kerusakan pada sebagian komponennon-struktural, dan atau komponen struktural seperti struktur atap, lantai, dan lain-lain.

2) Perawatan untuk tingkat kerusakan sedang, biayanya maksimum adalah sebesar 45% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku, untuk tipe/klas dan lokasi yang sama.

c. Kerusakan berat

1) Kerusakan berat adalah kerusakan pada sebagian besar komponen bangunan, baik struktural maupun non-struktural yang apabila setelah diperbaiki masih dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.

 

   

 

   

   

(24)

2) Biayanya maksimum adalah sebesar 65% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku, untuk tipe/klas dan lokasi yang sama.

d. Perawatan Khusus

Untuk perawatan yang memerlukan penanganan khusus atau dalam usaha meningkatkan wujud bangunan, seperti kegiatan renovasi atau restorasi (misal yang berkaitan dengan perawatan bangunan gedung bersejarah), besarnya biaya perawatan dihitung sesuai dengan kebutuhan nyata dan dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Instansi Teknis setempat.

2.9.2. Keputusan Direksi PT. Pos Indonesia Persero Nomor:

KD.41/DIRUT/0512 Tentang Pedoman Pengadaan Barang/ Jasa PT.

Pos Indonesia (Persero)

Keputusan direksi PT. Pos Indonesia Persro menjelaskan bahwa terdapat enam kegiatan utama dalam pengadaan barang diantaranya persiapan pengadaan, publikasi, pemilihan penyedia barang, dan pengumuman hasil pengadaan. Selain itu berikut merupakan beberapa pasal yang sesuai dengan perencanaan kegiatan, jadwal dan kegiatan penggantian aset pada sistem AC GWBPB, diantaranya:

1. Pasal 29 ayat 1 dan 2 mengenai metode pengadaan barang dan jasa dengan pelelangan terbuka

a. Ayat 1 menerangkan bahwa metode pelelangan terbuka yaitu metode pemilihan penyedia barang dan jasa konstruksi dan lainnya yang diumumkan secara luas melalui media masa dan papan pengumuman resmi guna memberi kesempatan kepada penyedia barang/ jasa yang memenuhi kualifikasi untuk mengikuti pelelangan.

b. Ayat 2 menerangkan bahwa syarat penggunaan metode pelelangan terbuka yang dilakukan kantor pusat adalah nilai pengadaan di atas Rp.

5.000.000.000 (lima milyar rupiah) dan diikuti sekurang-kurangnya 5 (lima) calon penyedia barang/ jasa.

 

   

 

   

   

(25)

2. Pasal 35 mengenai jadwal waktu pengadaan barang dan jasa

a. Ayat 1 menerangkan bahwa proses pengadaan barang/ jasa dengan metode pelelangan mulai dari pengumuman pengadaan sampai dengan usulan penetapan pemenang dilaksanakan maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja

2.10. Penelitian Terdahulu

Perencanaan proyek penggantian aset berdasarkan analisis risiko dan kondisi akan semakin terarahkan dengan implementasi yang dilakukan seorang peneliti. Semakin banyak hal ini dilakukan maka, hasilnya pun akan semakin baik karena terdapatnya beberapa referensi yang menjadi acuan penelitian. Penjelasan mengenai penelitian-penelitian terdahulu ang relevan dengan proyek dan penelitian analisis risiko dan kondisi akan di jelaskan sebagai berikut :Seperti yang terdapat pula pada penelitian Condition Assessment Methods for AC Pipe and Current Practices (Hu,Y, Wang, dkk, 2010) yang melakukan penelitian mengenai kondisi pipa AC sebelum melakukan pemilihan proyek pembaruan aset.

Penelitian yang ketiga yaitu Condition Assessment of Water Distribution Pipes (Neil S, Grigg, 2006) pada penelitian ini dibahas mengenai pengukuran kondisi yang dilakukan pada pipa distribusi air. Penelitian yang keempat adalah Analisis Risiko Pada Pembangunan Proyek Apartemen (Paramastri, 2007), pada penelitian tersebut dibahas mengenai analisis perencanaan pembangunan proyek apartemen dengan melakukan metode kalitatif dan yang terakhir adalah Analisis Risiko Proyek Pembangunan Dermaga Multipurpose Teluk Lamong Surabaya (Wigana, 2007) yang melakukan pengukuran kondisi dan analisis risiko untuk menentukan perencanaan proyek. Kelima penelitian di atas merupakan penelitian dari segi kondisi dan risiko pada suatu proyek aset sehingga langkah penagnan aset dapat lebih sesuai dengan kebutuhan dari kondisi aset tersebut.

 

   

 

   

   

Gambar

Gambar 2.1. Contoh Gantt chart Pada Sutu Proyek         
Gambar 2.2 : Asset Life Cycle
Gambar 2.3 : Siklus Manajemen Risiko.
Gambar 2.4 : Diagram Pemetaan Risiko
+5

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan yang mendasar dengan adanya pemotongan pajak yang bersifat final adalah potongan pajak tersebut dianggap sebagai pembayaran atas pajak penghasilan terhutang,

Hakikatnya, seorang pekerja pada hari ini perlu melakukan sesuatu perkerjaan yang sentiasa betul, bijak dalam menyelesaikan masalah dan meminimumkan kesalahan serta

Proses selanjutnya sebagai kegiatan akhir dalam penelitian ini adalah analisa data yang dilakukan setelah data yang diperlukan dalam penelitian ini terkumpul.

Apabila seorang ibu tidak memiliki pengetahuan mengenai bagaimana perawatan tali pusat pada bayi baru lahir maka dikhawatirkan akan terjadi insiden infeksi perumbilikalis,

Rumah Sakit Umum Daerah Raja Ahmad Tabib Tanjungpinang membuka kesempatan kepada Warga Negara Republik Indonesia, khususnya masyarakat Provinsi Kepulauan Riau yang memiliki

Pengaruh interaksi periode simpan dan formulasi coating terhadap tolok ukur keserempakan tumbuh bibit pada Tabel 8 menunjukkan bahwa benih masih memiliki nilai

Apabila ada pihak yang tidak mempunyai hak menggunakan merek yang sama atau mempunyai persaman dengan merek yang terdaftar milik pihak lain untuk produk sejenis

(2) Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sejumlah pagu Dana Cadangan yang akan digunakan untuk mendanai pelaksanaan kegiatan dalam tahun