• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pebale Rau Kattu Do Made: narasi tempat dan identitas kultural dalam ritual kematian orang Sabu Diaspora T1 752015025 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pebale Rau Kattu Do Made: narasi tempat dan identitas kultural dalam ritual kematian orang Sabu Diaspora T1 752015025 BAB II"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOL

Kematian adalah bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan manusia. Setiap manusia pasti akan mengalami yang namanya kematian. Sekalipun kematian merupakan suatu hal yang dialami oleh manusia tetapi kematian pasti menyebabkan kesedihan bagi keluarga yang mengalaminya. Setiap agama dan budaya memiliki tata cara dalam memperlakukan suatu kematian baik itu mulai perlakuan terhadap orang yang meninggal bahkan ritual di sekitar peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal maupun terhadap keluarga yang ditinggalkan. Dalam pemahaman yang demikian maka ritual kematian memiliki fungsi ganda yaitu bagi orang yang meninggal adalah untuk mengantarkan orang yang telah meninggal agar dapat tenang di alamnya. Sementara fungsi ritual kematian untuk orang yang masih hidup adalah agar mereka dapat mengatasi krisis yang diakibatkan oleh kematian.

Salah satu ritual kematian yang dilakukan oleh orang Sabu diaspora adalah pebale rau kattu do made. Ritual kematian ini dilakukan oleh orang-orang Sabu yang lahir di Sabu tetapi karena tuntutan hidup dan pekerjaan harus merantau. Dalam perantauannya jika orang Sabu diaspora tersebut meninggal maka keluarga dari orang yang meninggal harus melakukan ritual tersebut. Untuk dapat memahami ritual kematian tersebut maka dalam bab II ini akan dijelaskan beberapa teori yang berkaitan dengan Narasi Tempat, Identitas Kultural dan Simbol.

2.1. Diaspora dan Narasi Tempat

(2)

William Safran mendefinisikan orang-orang yang merupakan diaspora dengan menampakkan enam ciri utama: mereka (atau nenek moyang mereka) yang tersebar dari satu pusat asli untuk dua atau lebih lokasi asing, memiliki memori kolektif tentang tanah asli mereka, mereka tidak sepenuhnya percaya dan mereka tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat tuan rumah mereka, menganggap tempat asal mereka sebagai rumah mereka yang sebenarnya (mereka atau keturunan mereka akhirnya akan kembali), secara kolektif berkomitmen untuk pemeliharaan tanah air mereka, dan terus berhubungan dengan tanah air yang dalam satu atau lain cara.1

Istilah diaspora ini digunakan secara lebih luas untuk menunjukan hubungan budaya yang terus dipelihara oleh orang-orang yang sudah menyebar di seluruh dunia.2 Hal ini diperkuat oleh Sheffer yang mendefinisikan diaspora modern sebagai emigran yang berasal dari kelompok etnis yang menetap di negara tempat tinggal (host country), namun masih menjaga hubungan sentimental yang kuat dengan negara asal dan kampung halamannya.3 Istilah diaspora digunakan untuk merujuk pada penyebaran kelompok agama atau kelompok etnis dari tanah air mereka, baik dipaksa maupun dengan sukarela. Kata ini juga digunakan untuk merujuk pada penyebaran orang-orang sebagai kelompok kolektif dan masyarakat. Sejarah manusia menunjukkan sejumlah diaspora. Tercabut dari tanah kelahiran dan budaya, bisa menjadi suatu peristiwa besar bagi seseorang atau sekelompok orang. Diaspora berasal dari istilah Yunani Kuno yang berarti “menyebarkan atau menabur benih”, diaspora berbeda dengan imigrasi. Diaspora mengharuskan

anggota suatu masyarakat pergi bersama dalam periode waktu yang singkat, bukan pergi perlahan-lahan dalam waktu lama meninggalkan kampung halaman.4

1

Yolanda Covington-Ward, Transforming Communities, Recreating Selves: Interconnected Diasporas, Perfomance in the Shaping Liberian Immigrant Identity, Jurnal Ebsco (Africa Today) seri 1,vol.60, (2013): 5

2 Devi Riskianingrum, Studi Dinamika Identitas di Asia dan Eropa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014),

103.

3 G. Sheffer, A New Field of Study: Modern Diasporas in International P olitics (Croom Helm, London and

Sydney, 1986), p. 1-15.

(3)

Masyarakat yang melakukan diaspora juga dicirikan dengan usaha mereka untuk mempertahankan budaya, agama, dan kebiasaan lainnya di tempat baru. Mereka biasanya hidup berkelompok dengan sesamanya, dan kadang tidak mau berinteraksi dengan warga lokal. Salah satu contoh diaspora yang terkenal dalah diaspora Yahudi yang dimulai pada tahun 600 SB. Orang-orang Yahudi sering contoh klasik diaspora karena telah berpindah beberapa kali, dengan banyak diantaranya melalui paksaaan. Meskipun beberapa kali berpindah tempat, orang Yahudi yang mengalami diaspora tetap berusaha mempertahankan ikatan komunitas yang kuat beserta dengan tradisi, budaya dan agama mereka.5

Masyarakat diaspora dalam suatu negara dapat dikategorikan sebagai masyarakat minoritas. Sering kali dalam situasi mayoritas-minoritas ada perasaan curiga bahwa kelompok minoritas tidak memiliki kesetiaan apapun, dan mereka mengajukan agendanya sendiri, yang kalau diterima dan diberi kesempatan akan mengganggu keamanan dan melenyapkan stabilitas. Sering juga kita menganggap kelompok minoritas sebagai kelompok yang lemah, yang membutuhkan perlindungan dari yang mayoritas. Perlindungan tersebut sering dalam bentuk kemurahan yang berubah-ubah, bahkan bisa menjadi suatu penganiayaan. Semakin kelompok minoritas ditekan, semakin pula anggotanya memberi diri untuk mempertahankan eksistensi kelompoknya.6

Memang tidak ada batasan tentang “minoritas” yang disepakati secara umum.

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengupayakan suatu definisi kerja yang menyatakan bahwa “minoritas adalah hadirnya suatu kelompok manusia yang secara kuantitas lebih kecil

dibandingkan dengan populasi yang ada dalam suatu negara dan dalam kedudukan yang tidak dominan, yang anggotanya – yang kewargaannya berasal dari berbagai bangsa – berasal dari

5 http://www.amazine.co/25264/apa-itu-diaspora-fakta-sejarah-informasi-lainnya diakses 3 Agustus 2016

6

(4)

etnis dan disertai dengan ciri agama dan bahasa yang membedakannya dari sebagaian besar populasi dalam negara itu, dan kelompok (minoritas) itu menunjukkan, sekalipun secara tersirat, suatu perasaan solidaritas yang ditujukan demi terpeliharanya kebudayaan, tradisi-tradisi, agama dan juga bahasa.” Sepanjang sejarah PBB anggota-anggotannya merasa bahwa suatu dukungan

menyeluruh pada terhadap kelompok minoritas dapat menciptakan ancaman terhadap kesatuan dan integritas struktur suatu negara yang masih rapuh. Jadi, mereka lebih condong memilih penyelesaian masalah di atas melalui upaya peningkatan kesadaran tentang hak-hak asasi dari setiap individu.7 Dalam pemahaman masyarakat diaspora adalah masyarakat minoritas maka kehadirannya dalam sebuah masyarakat mayoritas dianggap sebagai suatu ancaman.

Gerakan Oikumene juga menaruh kehati-hatian yang sama. Sidang Dewan Gereja-gereja Se-dunia di Uppsala (1968) menghasilkan pernyataan yang menegaskan bahwa “hampir semua bangsa memiliki kelompok minoritas, baik karena etnis, budaya dan keagamaan”. Minoritas tadi memiliki hak memilih gaya hidup mereka sendiri sepanjang pilihan tersebut tidak merugikan pilihan yang sama yang juga dimiliki kelompok lain . . . Namun, . . . hak-hak kelompok minoritas itu dapat . . . menganggu stabilitas dan keberadaan suatu bangsa.8

Umat Yahudi hampir selalu hidup dalam suasana minoritas. Sejak zaman perbudakan Mesir sampai pada keadaan tertawan dan diasingkan di Babil, sebagai minoritas dalam setiap negera di Eropa, dan di banyak bagian lain di dunia ini. Memang ada masa toleransi terhadap kehadiran minoritas Yahudi, bahkan pernah diterima dengan baik; namun lebih sering orang bersikap toleran atas kehadiran mereka tanpa sikap penerimaan yang tulus. Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Prancis, Clermont-Tonnere, menciptakan suatu ungkapan di masa pasca-revolusi Prancis: Tout accorder aux Juifs, en tant qui

(5)

„individus, rien en tant que nation (sebagai individu setiap orang Yahudi memiliki haknya, tetapi

bukan sebagai suatu bangsa). Sebagai minoritas orang Yahudi telah hidup dalam kemurahan hati dari pihak mayoritas, yang sering berlanjut menjadi ketiadaan sama sekali kemurahan hati. Mudah sekali bagi orang Yahudi untuk mengenang trauma masa lalu mereka: Perang Salib, siksaan di masa “maut hitam” (sakit sampar yang menular pada abad ke-14), masa-masa inkuisisi, pengusiran dari Spanyol, pengasingan hidup mereka dalam ghetto, pemusnahan terorganisasi yang dilancarkan orang Rusia terhadap mereka, dan akhirnya pemusnahan dan pembakaran dalam syoah/holocaust yang baik orang Yahudi sekuler maupun yang taat beragama.9

Yudaisme dalam banyak aspek adalah agama dari umat yang hidup dengan suatu ingatan atau kenangan akan sejarah. Ia adalah suatu agama yang mengenang. Salah satu kunci dalam Yudaisme adalah perintah Zakor! “Ingatlah”! Ingatlah masa ketika diperbudakan dan dalam kurungan! Ingatlah bahwa engkau dibawa keluar dari perbudakan! Ingatlah kesulitan-kesulitan dalam perjalanan di padang gurun! Ingatlah bahwa engkau menjadi umat Tuhan ketika berada di gurun pasir. Ingatlah bahwa engkau dibebaskan agar menjadi umat yang terpilih! Ingatlah identitasmu sebagai umat yang terpilih. 10

Perintah untuk mengingat inilah yang biasa dikenal dengan nama menyimpan memori. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan orang Israel yaitu ketika mereka meninggal di tanah diaspora maka mereka harus membawa pulang sesuatu ke kampung halaman mereka. Sebagai contoh, ada kisah dari keluarga Yakub atau Israel di mana di akhir hidupnya ia meminta kepada anak-cucu di Mesir tepatnya di wilayah Gosyen yang subur agar suatu hari nanti Yakub di bawa pulang ke Kanaan. Bahkan ia meminta dibuat sebuah janji atau sumpah. Demikian juga Yusuf melakukan

9

Ucko, Akar Bersama. 37-38. 10Ucko, Akar Bersama. 38.

(6)

hal yang sama agar ia pun dibawa pulang untuk menikmati persekutuan dengan para leluhurnya di Kanaan. Bukankah Mesir lebih mewah dibanding Kanaan? Yakub meminta Yusuf untuk memenuhi kerinduannya seperti ini: “ketika hampir waktunya bahwa Israel akan mati,

dipanggilnya anaknya Yusuf, dan berkata kepadanya: “jika aku mendapatkan kasihmu, letakkanlah kiranya tanganmu di bawah pangkal pahaku, dan bersumpahlah, bahwa engkau akan menunjukkan kasih dan setiamu: jangan kiranya kuburkan aku di Mesir, karena aku mau mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangku. Sebab itu angkutlah aku dari Mesir dan kuburkanlah aku dalam kubur mereka. Jawabnya: “aku akan berbuat seperti katamu itu. Kemudian kata Yakub: “bersumpahlah kepadaku”. Maka Yusuf pun bersumpah kepadanya

(Kejadian 47:29-31). Demikian juga Yusuf melakukan hal sama seperti Yakub kepada anak-anaknya; meskipun membutuhkan waktu yang panjang untuk membawa Yusuf ke Kanaan melalui tragedi penindasan dari Firaun dimana Allah sendiri menolong. Melepaskan serta membawa mereka melalui peristiwa Paskah. Kehadiran anak-anak dan cucu ini adalah kehadiran Yusuf sendiri seperti nyata dalam doanya di Kejadian 50:24-25: “Tidak lama lagi aku akan mati; tentu Allah akan memperhatikan kamu dan membawa kamu keluar dari negeri ini, ke negeri yang dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub; pada waktu itu kamu harus membawa tulang-tulangku dari sini”. Rindu ke rumah dan berkumpul dengan keluarga, tanah dan air adalah semangat dari permintaan bapak leluhur Israel. Harapan itu dilegalkan menjadi wadah ziarah tiap generasi ke tanah air perjanjian yang telah diwariskan kepada anak cucu mereka.

(7)

lewat dan terjadi di tempat yang jauh, tetapi lukanya masih dalam membekas. Di Babel, di tepi saluran-saluran irigasi dari sungai Efrat (Bnd. Yeh 1:1; 3:15) mereka kerap duduk menangis setiap kali mereka mengingat “Sion” (ay 1; bnd. Mzm 42:5 tentang lukisan kesedihan serupa).

Apakah kata-kata “duduk-menangis-mengingat” menunjuk kepada suatu perayaan ratapan untuk mengenang keruntuhan Yerusalem seperti yang dilakukan pada zaman nabi Zakharia (Mzm 7:1-14) tidaklah pasti. Bagaimanapun juga yang terjadi di Babel ialah: mengingat Sion berarti derita. Segala hal yang dikatakan tentang Sion dari masa yang lampau (bnd Maz 87:3) sekarang tinggal kenangan.11 Tindakan mengingat seperti yang dilakukan oleh bangsa Israel adalah tindakan yang juga dilakukan oleh orang-orang diaspora saat mereka berada di negara baru mereka.

Masyarakat diaspora adalah penyebaran suatu kelompok agama atau kelompok etnis dari tanah air mereka baik secara paksa maupun secara sukarela dan masyarakat diaspora ini juga tidak akan kembali ke negeri asal mereka, dan menganggap negara atau tanah air mereka yang baru sebagai tanah air kedua. Merujuk pada pengertian diaspora yang demikian maka akan dilihat perbedaan antara diaspora dan pengungsi. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pengungsi diartikan sebagai “Orang yang mencari tempat yang aman ketika daerahnya ada bahaya yang

mengancam.12 Dalam terminologi bahasa Indonesia pengungsi tidak mencakup baik geografisnya maupun prasyarat penyebabnya. Hal lain yang perlu mendapat catatan dalam konteks Indonesia, pengungsi sering disebut dengan “imigran illegal” atau imigran gelap”.13

Direktur Jesuit Refuge Service Indonesia, Adrianus Suyadi berpendapat bahwa penyebutan

11

Barth-Frommel, Maria Claire & Pareira, B.A, Tafsiran Alkitab: Kitab Mazmur 73-150, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013), 440-441

12 Yus Badudu, Kamus Bahasa Indonesia , (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), 54.

(8)

“imigran ilegal” atau “imigran gelap” di Indonesia ditujukan terhadap mereka yang tidak

memiliki identitas resmi berupa paspor dan visa.14

Ada 2 (dua) pendapat ahli sehubungan dengan pengertian atau batasan dari istilah pengungsi. Malcom Proudfoot memberikan pengertian pengungsi dalam perspektif pasca Perang Dunia II. Pengungsi merupakan suatu kelompok orang-orang yang terpaksa pindah ke tempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara paksa atau atau pengusiran orang-orang dan perlawanan politik pemerintah yang berkuasa. Dapat pula dalam bentuk pengembalian etnik tertentu ke negara asal mereka atau provinsi baru yang timbul akibat perang atau perjanjian atau penentuan tapal batas secara sepihak sebleum perang terjadi. Perpindahan penduduk sipil secara besar-besaran akibat adanya tekanan atau ancaman. Perpindahan secara paksa penduduk dari wilayah pantai atau daerah pertahanan berdasarkan perintah militer serta pemulangan tenaga kerja paksa untuk ikut dalam perang.15

Sementara itu, Pietro Verri dalam mendefinisikan pengungsi merujuk pada pasal 1 Konvensi 1951 khususnya pada kalimat “applies to many person who has fled the country of his nationality to avoid persecution or the threat of persecution”.16

Pada pandangan Pietro Verri pengungsi merupakan seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan negaranya karena adanya ketakutan yang tidak terhingga serta adanya kemungkinan atau potensi terjadinya penyiksaan. Pengungsi dalam pengertian yang umum adalah orang yang dipaksa keluar dari wilayah negaranya. Paksaan yang dilakukan terhadapnya disebabkan oleh kondisi yang tidak memungkinkan adanya rasa aman atau jaminan keamanan atas dirinya oleh pemerintah.17 Terminologi pengungsi menurut Konvensi tahun 1951 adalah seseorang yang oleh karena rasa

14 Adrianus Suyadi, Pengungsi Bukan Imigran Gelap, artikel dimuat pada Harian Umum Kompas tanggal

21 Juni 2010.

15 Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional. 98.

(9)

takut yang wajar akan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada di luar negeri kebangsaannya, dan tidak dapat atau, karena rasa takut itu tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negaranya.18 Seseorang dikatakan sebagai pengungsi ketika seseorang keluar secara terpaksa dari tempat asalnya selama 2-3 tahun dan ketika tempat asal tidak terjadi konflik maka pengungsi akan kembali ke tempat asalnya. Sementara seseorang dikatakan diaspora ketika seseorang keluar dari tempat asalnya, bekerja dan menetap selama 5-6 tahun atau lebih. Persamaan antara diaspora dan pengungsi adalah mereka sama-sama memiliki kerinduan untuk kembali ke tanah air atau tempat asal mereka. Kerinduan untuk pulang ke tanah air atau tempat asal karena mereka di tempat rantau mengalami penindasan sehingga romantisme kehidupan di tanah leluhur menjadi suatu kerinduan untuk dapat kembali ke tempat asal mereka.

Dalam kehidupan sebagai masyarakat diaspora ada sebuah kerinduan agar suatu saat nanti dapat kembali ke tanah air atau tempat asal mereka. Tempat asal bagi masyarakat diaspora merupakan komponen penting bagi rasa identitas diri mereka sebagai subjek. Dengan adanya tempat, masyarakat dapat menemukan budaya. Oleh karena itu, tempat tidak dapat dipahami di luar konteks budaya.19 Makna tempat dan ruang dikonseptualisasikan, sebagai ruang kebebasan manusia untuk dapat melekat pada identitas satu dengan yang lainnya.20

Tempat asal itu berhubungan dengan tempat di mana seseorang dilahirkan. Tempat asal juga sering digambarkan sebagai sebuah tempat di mana banyak memori tersimpan di dalamnya.21 Tempat asal juga menawarkan berbagai kenangan dan keramahan hidup. Seperti hidup dalam kondisi alam yang masih alami, suasana persahabatan antar tetangga yang masih

18

Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional. 99.

19 Anastasia Christou, Narratives of Place, Culture and Identity (Amsterdam: 2006), 32. 20 Christou, Narratives of Place . 33.

(10)

dipelihara dan sosialisasi dalam persekutuan sebagai masyarakat.22 Tempat juga hanya dapat dipahami dalam terang ras, asal ras dan semua itu menandakan seperti sesuatu yang lazim atau sifat yang dominan.23 Gambaran mengenai tempat dapat didefinisikan melalui penggunaan bahasa umum, simbol dan pengalaman.24 Keputusan untuk kembali ke tempat asal adalah suatu cara agar seseorang tidak mengalami hubungan yang terputus dengan tempat asalnya, untuk tetap terikat dengan budaya asalnya dan dengan bahasa yang digunakan di tempat asal. Sekalipun seseorang telah pergi lama untuk merantau di suatu tempat namun ketika ia pulang kembali ke tempat asal maka ia akan disambut oleh keluarganya. Kedatangan kembali ke tempat asal menggambarkan bahwa seseorang kembali ke dalam cinta kasih keluarganya.25

2.2. Identitas Kultural

Istilah identitas yang dipakai oleh Richard Jenkins adalah ia mengambil definisi dari The Oxford English Dictionary, di mana Bahasa Latin yang menjadi akar dari “Identity” adalah “identitas”, yang terdiri dari idem, yang berarti “sama” atau “kesamaan” (the same) dan dua

makna dasar: (1) the sameness of object, as in A1 is identical to A2 but not to B1; (2) the consistency or continuity over time that is the basis for esthabiling and grasping the definiteness and distinctiveness of something. Jadi, tema utama yang dibahas oleh Jenkins “tentang Identitas” – yang berasal dari definisi tersebut adalah “persamaan” dan “perbedaan”. 26

Secara harafiah identitas adalah ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri seseorang yang melekat pada sesuatu atau seseorang yang membedakannya dengan yang lain, baik secara fisik maupun secara non-fisik.

22 Hook, Belonging: A Culture of Place…24

23

William W. Falk, Rooted in Place, (London: Rutgers University Press, 2004), 19. 24

Christou, Narratives of Place. 32. 25 Hook, Belonging: A Culture of Place. 24.

26

(11)

Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa identitas sebagai ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang.27

Menurut Richard Jenkins, apapun identitas itu, dalam dirinya sendiri, dapat dipastikan menyebabkan tindakan.28 Dalam hubungan yang telah dikemukakan oleh Jenkins ini tampaknya ia mengandaikan identitas sebagai sebuah kategori, entah sebagai individual ataupun sosial, yang menuntut seseorang untuk berperilaku sesuai dengan identitas yang ia miliki. Pada sisi lain mungkin juga hubungan ini memahami identitas adalah peran yang dimainkan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk memahami tentang identitas lebih mendalam lagi, maka perlu terlebih dahulu menjelaskan apa yang dimaksud dengan identitas secara paling sederhana dan mendasar. Menurut Richard Jenkins, identitas merupakan pemahaman akan siapa kita, dan siapa orang lain, serta secara resiprokal, pemahaman orang lain akan diri mereka sendiri dan orang lain. Sedangkan, identitas sosial adalah ciri-ciri atau keadaan khusus sekelompok masyarakat. Identitas ini menunjukkan cara-cara di mana individu dan kolektivitas-kolektivitas dibedakan dalam hubungan mereka dengan individu dan kolektivitas lain.29 Penekanan relasi antara identitas individual dan identitas sosial menjadi semakin jelas ketika memperhatikan pendapat Jenkins bahwa seluruh identitas manusia ditentukan oleh definisi identitas sosial.30

Dalam pemahaman Richard Jenkins, ia menyatakan bahwa identitas manusia selalu merupakan identitas sosial karena selalu berkaitan dengan keberadaan orang lain yang ada disekitar. Mengidentifikasi diri sendiri, atau mengidentifikasi orang lain, adalah persoalan

27 Devi Riskianingrum, Studi Dinamika Identitas di Asia dan Eropa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014),

1.

28

(12)

pemaknaan. Selanjutnya, pemaknaan selalu melibatkan interaksi, persetujuan atau ketidaksetujuan, perjanjian, inovasi, komunikasi, dan negosiasi.31

Terdapat dua perspektif yang berbeda dan sangat berpengaruh dalam pembahasan tentang identitas, yaitu konsep Barth yang berlatar belakang antropologi sosial, dan konsep Tajfel yang berlatar belakang psikologi sosial. Menurut Barth, bahwa identifikasi dan kolektifitas itu dihasilkan atau muncul dari proses transaksi dan negosiasi individu dalam memenuhi kepentingannya. Orang-orang melakukan sesuatu berdasarkan identitas mereka, khususnya keanggotaan mereka dalam kelompok atau budaya tertentu, misalnya garis keturunan, klan, dan suku.32 Pada pihak lain, Tafjel berpendapat bahwa keanggotaan kelompok adalah cukup dalam dirinya sendiri untuk menghasilkan identifikasi dengan kelompok tersebut dan meneruskan perilaku terhadap anggota kelompoknya untuk melawan yang bukan anggota kelompok. Hal ini mengikuti pemahaman psikologi sosial yang menekankan persaingan yang realistis dan konflik kepentingan sebagai dasar bagi kerja sama dan pembentukkan kelompok.33

Menarik untuk dilihat pemahaman identitas dalam masa postmodernis. Tokoh postmodernis yang mengemukakan tentang identitas adalah Medan Sarup. Medan Sarup melihat identitas dari aspek kesejarahan yang membentuk identitas. Dua model identitas menurut Sarup yaitu: (1) dari sudut pandang tradisional, bahwa keseluruhan dinamika identitas seperti kelas, gender, dan ras beroperasi secara smultan menghasilkan identitas yang utuh, kebersatuan dan tetap; (2) sudut pandang terkini, bahwa identitas di fabrikasi, konstruksi, dalam proses, dan karenanya harus dipertimbangkan aspek psikologi dan faktor psikologi.34

31

Jenkins, Social Identity. 17.

32

Jenkins, Social Identity. 7.

33

Richard Jenkins, Social Identity. 7.

34Madan Sarup, Identity, Culture and The Postmodern World, (New York: The Univeersity of Georgia

(13)

Dalam buku karya Manuel Castells “The Power of Identity”, khususnya dalam sub bab “The Construction of Identity. Castells mengungkapkan bahwa identitas adalah sumber makna

dan pengalaman orang.35 Proses konstruksi makna atas dasar atribut budaya, di mana diprioritaskan di atas sumber-sumber pemaknaan yang lain. Akibatnya, kejamakan identitas menjadi sumber tekanan dan kontradiksi baik dalam self-representation maupun social action. Ini yang menyebabkan mengapa identitas harus dibangun, seperti yang umum disebutkan para sosiolog, sebagai peran, dan seperangkat peran (role, and role-sets).36 Meskipun demikian, Castells berpendapat bahwa identitas lebih dominan sebagai pemaknaan dari pada peran. Identitas dikonstruksikan oleh aktor melalui sebuah proses yang disebut individuisasi (individuation), terkait dengan identitas sebagai sumber makna bagi aktor itu sendiri.37 Atau dalam pandangan Giddens identitas sebagai sebuah proyek.38 Dengan kata lain, aktor atau agen tersebut tidak bisa dilepaskan dari struktur yang ada – yang diperkuat dengan pernyataan Connoly terkait masyarakat jaringan dan struktur bahwa kehidupan politik identitas dalam masyarakat modern tidak dapat lepas dari struktur politik global.

Lebih lanjut, Castells berpendapat bahwa identitas itu juga dapat berasal dari lembaga yang dominan, hanya ketika dan jika aktor sosial menginternalisasi mereka, dan membangun makna yang ada melalui proses internalisasi.39 Dalam masyarakat jaringan terdapat identitas kolektif. Hal itu dapat dilihat bahwa dalam masyarakat jaringan pemaknaan individu melewati ruang dan waktu – terpintal dalam suatu jaringan. Tanpa mengabaikan fakta bahwa identitas kolektif tersebut – seperti dalam masyarakat jaringan – merupakan pintalan dari identitas

35 Manuel Castells, The Power of Identity, (London: Blackwell Publishing, 2010), 6. 36

Castells. The Power of Identity. 6 37 Castells. The Power of Identity. 7

(14)

individu.40 Dengan kata lain, dilihat dari bentuknya identitas dapat dipilah menjadi dua yaitu identitas individu dan identitas kolektif. Kemudian Castells setuju, berdasarkan fakta dan dalam perspektif sosiologi, bahwa semua identitas adalah terkonstruksi (dikonstruksikan, dibentuk). Konstruksi identitas menggunakan sejarah, letak geografis, biologi, institusi-institusi produktif dan reproduktif, memori kolektif dan fantasi personal, serta dari kekuasaan aparatur-aparatur dan wahyu agama.41 Terakhir, Castells merumuskan bangunan identitas berdasarkan bentuk dan asal-usulnya menjadi tiga, yaitu: (1) Legitimizing identity, atau identitas yang sahih, seperti otoritas (authority) dan dominasi; (2) Resistance identity, atau identitas perlawanan, sebagai bentuk perlawanan atas dominasi, contohnya adalah politik identitas; (3) Project Identity, atau identitas proyek, seperti feminisme – ketika aktor-aktor sosial dengan sumber daya kulturalnya membangun sebuah identitas baru untuk mendapatkan kembali posisinya di masyarakat.42

Konsep identitas juga bersifat dinamis seperti yang diungkapkan oleh Anthony Giddens, bahwa memahami identitas diri merupakan suatu keahlian bernarasi tentang diri dan menceritakan perasaan yang konsisten tentang kontinyuitas biografi. Seperti cerita identitas yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis: apa yang dikerjakan? Bagaimana melakukan? Siapa yang menjadi? Seseorang berusaha mengkonstruksikan cerita identitas dengan saling bertalian dimana diri seseorang membentuk lintasan suatu perkembangan dari pengalaman-pengalaman di masa lalu menuju ke masa depan.43 Sementara itu, konstruksi identitas harus dilihat sebagai konstruksi makna dan representasi terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Identitas yang dikonstruksi oleh individu atau kelompok tertentu memiliki dampak positif dan

40

Castells. The Power of Identity. 7 41 Castells. The Power of Identity. 7 42 Castells. The Power of Identity. 8

(15)

negatif atas mereka yang menggunakannya.44 Identitas juga terkait dengan persoalan apa yang dimiliki, atau tentang apa yang menjadi kebiasaan dan apa yang membedakan seorang individu dengan individu lain, atau etnik yang satu dengan etnik yang lain.45

Letak perbedaan antara karya Castells dengan Burke dan Stets sebenarnya terletak pada fokus kajiannya. Burke dan Stets memfokuskan kajiannya pada identitas personal, sedangkan Castells merambatkan kajiannya pada identitas kolektif. Dari situ secara implisit memberikan pemahaman bahwa seorang individu mempengaruhi masyarakat melalui tindakan individual. Misalnya, membuat kelompok, organisasi, jaringan kerja, dan lembaga. Demikian juga sebaliknya masyarakat mempengaruhi seorang individu melalui berbagi bahasa, makna, dan struktur yang telah tersedia, sehingga memampukan seseorang untuk memainkan peran ketika bertemu dengan orang lain, ikut serta dalam interaksi sosial, dan merefleksikan diri orang lain sebagai objek. Hal ini sejalan dengan pemaknaan bahwa identitas sosial itu pada dasarnya adalah pemahaman seseorang bahwa dirinya menjadi bagian dari sebuah kategori sosial atau kelompok. Sebuah kelompok sosial adalah sejumlah individu yang berpegang pada identifikasi sosial yang sama atau memandang diri mereka sebagai anggota dari sebuah kategori sosial.46 Kategori sosial yang dimaksudkan adalah identitas dari masyarakat diaspora.

2.3. Simbol

2.3.1. Ritual

Menurut Van Gennep, ritus-ritus berkaitan dengan peralihan warga masyarakat atau kelompok warga masyarakat ke dalam keadaan baru seperti misalnya, kehamilan, kelahiran,

44

Yance Z. Rumahuru, Ritual Ma‟atenu sebagai Media Konstruksi Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha di Pelauw Maluku Tengah, Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM. Vol.2 No. 1, April 2012, 36-47.

45

Cris Weedon. Identity and Culture: Na rative of Difference and Belonging, (UK: Open University Press, 2004).

46 Jan E. Stets and Peter J. Burke, Identity Theory and Social Identity Theory. (New York: Oxford

(16)

perkawinan dan pemakaman. Dalam masyarakat seperti itu peralihan status merupakan suatu peralihan yang suci. Orang memasuki tahap baru dalam kehidupan masyarakatnya. Setiap peralihan status diiringi dengan ritus untuk menghindari adanya sesuatu yang tidak diinginkan. Dalam hal ini dipercayai bahwa orang akan diganggu oleh roh leluhur.47 Peralihan dari satu status ke status lainnya dilihat sebagai peristiwa ekstensial, karena ia diingatkan lagi pada permulaan dan akhir yang memberikan kesempatan untuk merefleksi dan merenungkan lagi kehidupannya. Eksistensial di sini menunjuk pada keberadaan manusia, menyangkut pengalamannya yang paling mendasar.48

Van Gennep mencoba mengumpulkan pola-pola upacara yang mengiringi peralihan dari satu situasi ke situasi lain, dan juga dari dunia kosmis yang satu ke dunia kosmis yang lain. Peralihan itu diiringi dengan ritus peralihan (rites of passage). Ada tiga proses dalam ritus peralihan yaitu pertama, ritus pemisahan (ritus separation); kedua, ritus transisi; ketiga, ritus inkorporasi. Ritus pemisahan menonjol dalam upacara pemakaman, karena di sini manusia benar-benar dipisahkan dengan orang yang meninggal. Dalam hal ini terjadi pemisahan dari satu cara hidup ke cara hidup yang lain. Ritus inkorporasi menonjol dalam upacara perkawinan, karena di sini peran suami dan istri sangat ditekankan: dua menjadi satu untuk membangun satu keluarga baru. Sedangkan ritus-ritus peralihan menonjol dalam upacara-upacara yang mengiringi kehamilan, kelahiran dan inisiasi. Di sini terasa adanya peralihan dari satu status ke status lainnya, dari satu situasi sosial tertentu ke situasi sosial lainnya. Peralihan itu menyebabkan dia diterima dalam masyarakat dan status sosial tertentu.49

Ritus pemisahan diartikan sebagai ritus yang diadakan sebagai tanda adanya pemisahan

dengan dunia sebelumnya. Subjek ritual dipisahkan dari dunia fenomenal yang ada, kemudian

47

Y.W. Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 32 48 Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur… 32

49

(17)

masuk ke dunia yang lain. Dalam hal ini kita bisa membedakan antara situasi yang satu dengan

situasi yang lain. Upacara itu sendiri mencerminkan adanya suatu keterpisahan itu. Nampaklah

keterpisahan yang nyata.50

Ritus liminal (ritus transisi) dialami sesudah ritus pemisahan. Dalam hal ini situasinya

menjadi ambigu. Maksudnya, situasi dialami sebagai “tidak di sini, dan tidak di sana”. Situasi

ambang pintu dialami sebagai situasi keterpisahan. Ditegaskan oleh Van Gennep bahwa upacara

liminal sendiri bukanlah upacara penyatuan, tetapi upacara-upacara persiapan untuk persatuan.

Untuk menjelaskan hal ini Van Gennep mengibaratkan dengan ambang pintu hanya merupakan

bagian dari pintu. Jadi, berada di ambang pintu berarti belum masuk kamar itu sendiri.

Menyebrangi ambang pintu itu berarti menyatukan dirinya dengan dunia baru. Hal ini nampak

dalam upacara perkawinan, pengangkatan anak, tahbisan dan pemakaman.51

Ritus inkorporasi berarti tindakan-tindakan yang mengiringi adanya penyatuan dari satu

status ke status lainnya. Dengan ritus inkorporasi subjek ritual menjadi manusia baru dalam

hidupnya. Akhirnya Van Gennep menyebut ritus separasi atau pemisahan sebagai ritus

preliminal, ritus selama dalam tahap transisi sebagai ritus liminal, dan ritus inkorporasi ke dalam

dunia baru sebagai ritus pascaliminal.52

Ritus-ritus pemakaman, dan praktik-praktik dukacita yang menyertainya, berpusat di sekitar hasrat paradoksal ini baik untuk memelihara ikatan berhadapan dengan kematian maupun dengan segera dan sama sekali memutuskan ikatan itu, dan menjamin dominasi kehendak untuk hidup atas kecenderungan untuk berputus asa. Ritus-ritus kematian menjaga kelangsungan kehidupan manusia dengan mencegah orang-orang yang berdukacita dari penghentian entah dorongan untuk lari terpukul-panik dari keadaan itu atau sebaliknya, dorongan untuk mengikuti

(18)

almarhum ke kubur.53 Itu berarti bahwa praktik-praktik ritus kematian sebagai ekspresi cinta kasih keluarga terhadap orang yang meninggal dan untuk mencegah keluarga dari dorongan perasaan untuk mengikuti orang yang meninggal ke kubur. Selain itu juga praktik ritus kematian juga untuk menghindari agar keluarga terhindar dari roh-roh orang yang meninggal atau leluhur jika tidak melaksanakan ritual tersebut.

Van Gennep berpendapat bahwa memperlakukan kematian sebagai salah satu dari

sejumlah krisis siklus hidup yang memerintahkan ketaatan ritual.54 Itu berarti ritual kematian

menjadi suatu hal yang harus diperhatikan agar keluarga yang mengalami dapat mempersiapakan

diri untuk berkabung dalam periode yang ditentukan. Kematian adalah suatu krisis yang sangat penting. Kematian menimbulkan dalam diri orang yang berdukacita suatu tanggapan ganda cinta dan segan, sebuah ambivalensi emosional yang sangat mendalam dari pesona dan ketakutan yang mengancam baik dasar-dasar psikologis maupun sosial eksistensi manusia. Orang-orang yang berdukacita ditarik ke arah almarhum oleh rasa kasih sayang kepadanya, disentakkan ke belakang darinya oleh perubahan yang menakutkan yang ditimbulkan oleh kematian.

Dalam masa perkabungan, semua jenis kegiatan kehidupan secara sosial ditangguhkan khusus untuk semua mereka yang terkena dampak itu. Waktu perkabungan ditentukan oleh kedekatan dalam hubungan sosial (misalnya, untuk para janda, kerabat) dan juga mencakup status sosial yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal. Jika seorang yang meninggal tersebut memiliki status sosial yang tinggi seperti pemimpin dalam masyarakat maka ia juga mendapat perlakuan dalam hal masa perkabungan.55 Selain itu juga, dalam perlakuan terhadap upacara pemakaman terhadap seorang yang meninggal juga memiliki perbedaan yaitu tergantung

53 Clifford Geertz, Agama dan Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 96 54 Milton Cohen, Death Ritual:Antropological, Jurnal Antropologi, 1

(19)

pada jenis kelamin, usia, dan posisi sosial dari almarhum.56 Selama masa berkabung, para pelayat merupakan kelompok yang khusus, yang berada diantara dunia hidup dan dunia orang mati. Seberapa cepat mereka meninggalkan masa perkabungan tergantung pada kedekatan hubungan dengan orang yang meninggal. Tampaknya yang termasuk dalam golongan janda dan duda harus memiliki waktu yang lebih panjang dalam masa perkabungan. Mereka hanya dapat meninggalkan masa perkabungan melalui ritual yang tepat.57

2.3.2. Simbol

Simbol merupakan kata yang mempunyai arti dan peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Signifikansi dalam pernyataan ini ditunjukkan oleh R.M. Maclver, sebagaimana dikutip oleh Dillistone, yang mengatakan bahwa:

Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai simbol… Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama… Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol.58

Berdasarkan etimologinya, kata simbol berasal dari bahasa Yunani symbolon dari kata symballo yang berarti menarik kesimpulan, memiliki arti dan atau memberi kesan.59 Padanan yang paling dekat dalam bahasa Latin adalah kata signum atau symbolium (tanda).60 Simbol dan tanda dianggap sepadan karena masing-masing menunjuk pada sesuatu yang lain di luar dirinya. Sekalipun begitu, ada beberapa ahli membedakan simbol dan tanda secara terminologis. Dua diantaranya adalah Paul Tillich dan Victor Turner. Tillich dengan relatif ekstrim membedakan

56 Van Gennep, The Rites of Passage, 146 57 Van Gennep, The Rites of Passage, 147

58 R.M. Maclver, Society, (Macmillan, 1950), 340 dalam W. Dillistone, The Power of Symbols, Ibid., 15.

59

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia, 2000), 1007.

60

Ibid. Ada beberapa kata yang memiliki hubungan dengan kata simbol dalam kerangka semiotika (khususnya dalam semiotika arsitektur) yakni: ikon (icon) dan indeks (index, indice), Kedua kata ini diartikan: ikon adalah tanda yang menyerupai objek yang diwakilinya atau menggunakan kesamaan cirri-ciri dengan apa yang dimaksudkan. Sedangkan indeks merupakan sesuatu yang mempunyai hubungan menyatu dan bersebab akibat antara signifier (pemberi tanda) dengan signified (pesan yang terkandung). Lih., Agus Dharma “Semiotika dalam

(20)

kedua hal tersebut. Menurut Paul Tillich, simbol mirip dengan tanda-tanda dalam satu hal yang menentukan. Simbol dan tanda-tanda juga dipakai untuk menunjuk sesuatu yang melampaui dirinya sendiri. Seperti contoh lampu merah di sudut jalan bukan menunjuk pada diri lampu tersebut tetapi menunjuk pada perlunya mobil berhenti.61 Dalam hal ini, simbol dan tanda

memiliki identitas - mereka menjadi penting di luar diri mereka sendiri.62

Perbedaan mendasar dari tanda dan simbol menurut Paul Tillich, tanda tidak berpartisipasi dengan cara apapun dalam realitas dan yang mana titik kekuatannya. Sedangkan simbol, meskipun mereka tidak sama dengan simbol yang ditunjukkannya, namun simbol berpartisipasi dalam makna dan kekuatan. Perbedaan antara simbol dan tanda adalah partisipasi dalam realitas yang dilambangkan, karakteristik simbol, dan tidak berpartisipasi dalam menunjuk realitas yang mencirikan tanda.63

Misalnya, huruf-huruf alfabet karena mereka yang ditulis, "A" atau "R" tidak berpartisipasi dalam suara mereka sendiri; di sisi lain, bendera berpartisipasi dalam kekuasaan raja atau negara yang berdiri dan yang melambangkan.

Victor Turner mendefinisikan simbol sebagai “sesuatu yang dianggap, dengan

persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili atau mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam kenyataan dan pikiran.” Perbedaan yang cukup jelas terlihat adalah bahwa simbol itu

merangsang pikiran seseorang, sedang tanda tidak mempunyai sifat merangsang. Simbol berpartisipasi dalam arti dan kekuatan yang disimbolkan, sedang tanda tidak berpartisipasi dalam

61

Fredik Barth dalam Michael Peterson, Philosophy of Religion, (New York: Oxford University Press, 1996), 358.

(21)

realitas yang ditandakan. Perbedaan lain yang menjadi ciri khas simbol adalah cenderung multivokal (menunjuk pada banyak arti), sedang tanda univokal.64

Dalam pemahaman Victor Turner, simbol memiliki semacam kemiripan (baik itu bersifat metaphor, maupun bersifat metonomia) antara hal yang ditandai dan maknanya, sedangkan tanda-tanda tidak memiliki kemiripan seperti itu. Bagi Turner, tanda-tanda hampir selalu ditata dalam sistem-sistem “tertutup”, sedangkan simbol-simbol (khususnya simbol yang dominan) dari dirinya sendiri bersifat “terbuka” secara semantis. Makna simbol tidaklah sama sekali tetap.

Makna-makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolektif pada wahana-wahana simbolis yang lama. Lagi pula, menurut Turner, individu-individu dapat menambahkan makna pribadi pada makna umum sebuah simbol.65

Menurut Turner simbol ritual dilihat dan dipahami sebagai manifestasi yang tampak dari ritus. Melalui simbol-simbol orang dapat mengungkapkan dan mengalami sesuatu yang transenden. Simbol ritual bagi Turner tidak hanya berperan sebagai istilah atau abstraksi saja, tetapi harus dilihat juga sebagai sesuatu yang hidup, terlibat dalam proses hidup sosial, kultural dan religius. Bagi Turner simbol ritual merupakan faktor dalam tindakan sosial, struktur dan sifat adalah entitas dinamis. Simbol ini merupakan kekuatan yang independen dengan dirinya sendiri adalah produk dari pasukan lawan banyak. Konsepsi dinamisme, menghasilkan tindakan, adalah pusat dari analisis simbolis Turner. Simbol menarik tindakan, menghasilkan emosi yang kuat.66

Simbol mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia. manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis, bahkan tubuh manusia

64 Y.W. Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor

Turner., 18-19.

65

Dillistone, The Power of Symbols. 114.

66 As Turner states, the ritual symbol is a factor in social action; its structure and properties are those of

dynamic entities. The symbol is an independent force with itself is the product of many opposed forces. This conception of dynamism, of generating action is central to Turner’s symbolis analysis. Symbol entice action, generate strong emotions. H. Barbara Boudewijnse, The Ritual studies of Victor Turner: An Antropological

(22)

dengan bagian-bagiannya dimuati oleh simbolisme kultural, seksual, moral dan sebagainya.67 Ernest Cassirer membangun penafsirannya terhadap kebudayaan di atas pengakuan bahwa manusia adalah “animal symbolicum”. Hanya dengan menggunakan simbol-simbol, manusia dapat mencapai potensi dan tujuan hidupnya yang tertinggi.68

Mengutip pemikiran Victor Turner, Rafael Raga Maran dalam bukunya yang berjudul Manusia dan Kebudayaan, menuliskan bahwa simbol adalah sesuatu yang dapat mengekspresikan atau memberikan makna – sebuah salib atau patung Buddha, bendera dan sebagainya. Banyak simbol berupa objek-objek fisik yang telah memperoleh makna kultural dan dipergunakan untuk tujuan yang lebih bersifat simbolik dari pada tujuan instrumental. Sebuah bendera misalnya, hanyalah sepotong kain berwarna namun dihormati dengan suatu upacara yang khusuk dan bisa menbangkitkan rasa kebanggan, patriotisme, dan persaudaraan. Dalam masa perang, bendera musuh bisa menimbulkan rasa benci atau amarah yang hebat. Simbol-simbol seperti bendera atau salib menampakkan kepercayaan, nila-naili dan norma-norma kultural serta mengandung banyak arti.69

Di dalam kamus umum bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadaminta, simbol adalah sesuatu seperti tanda: lukisan, perkataan dan sebagainya yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, misalnya warna putih sebagai lambang kesucian dan gambar padi sebagai lambang kemakmuran.70 Dalam bukunya yang berjudul Sekitar Theologia Simbolisme Sebagai Dasar Komunikasi Kristen, Robert R. Boehlke mendefinisikan simbol sebagai sebuah kata, objek, barang atau benda, tindakan, peristiwa yang mewakili, menggambarkan, mengisyaratkan, menandakan, atau menyampaikan sesuatu yang lebih besar, lebih tinggi, lebih

67Anthony Synnott, Tubuh Sosial- Simbolisme, Diri dan Masyarakat (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), 1. 68Dillistone, The Power of Symbols. 10

69

Rafael Raga Maran, Manusia & Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), 47.

70

(23)

luhur dari pada objek yang melambangkannya. Misalnya, cincin perkawinan. Cincin perkawinan bukan sekedar tanda atau perhiasan tetapi menunjuk pada hal yang lebih luhur, yakni kehidupan perkawinan. Simbol disinonimkan dengan kata lambang. Lambang dibuat oleh kecerdasan intelek. Lambang mewakili suatu soal tertentu. Seni dan mitos juga berdasarkan pada lambang yang memiliki sifatnya sendiri yang khas. Pengetahuan, bahasa, seni, dan mitos semuanya mewakili fungsi-fungsinya sendiri, masing-masing membuat lambangnya sendiri. Lambang membantu mempertahankan suatu arti dan memungkinkan arti itu digunakan jikalau manusia menghendakinya.71

Di atas telah diberikan uraian singkat tentang pengertian simbol secara etimologis. Namun adalah baik pula jika di sini diuraikan beberapa pengertian atau terminologi dari kata tersebut menurut persepktif dari beberapa ahli untuk memperdalam pemahaman dan memperkaya wawasan kita terhadap simbol. Beberapa tokoh yang akan diuraikan pandangannya di sini adalah: A.N. Whitehead, Goethe, Coleridge, Arnold Toynbee, dan Erwin Goodenough.

A.N. Whitehead dalam bukunya Symbolism, sebagaimana yang dikutip oleh Dillistone, mengungkapkan bahwa:

Pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan dan gambaran mengenai komponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat komponen yang terdahulu adalah “simbol” dan perangkat komponen yang kemudian membentuk “makna” simbol. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu disebut referensi.72

Berbeda dengan Whitehead, Goethe mengartikan bahwa “dalam simbolisme sejati, yang

khusus mengungkapkan yang universal bukan sebagai impian atau bayangan, melainkan sebagai wahyu yang hidup, dari yang tidak dapat diduga.73 Singkatnya, bagi Goethe, simbol adalah

71

J. Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya, (Jakarta: PT Gramedia, 1988), 44-45.

72

(24)

sesuatu yang menggambarkan yang universal. Sedangkan Coleridge menandaskan bahwa sebuah simbol sebenarnya berpartisipasi dalam realitas yang membuatnya dapat dimengerti.74 Pandangan Coleridge ini dipahami dalam pembahasan Dillistone sebagai “substansi”, yang mana sebuah simbol dipahami jauh melebihi sebuah tanda lahir dan terlihat yang arbitrer untuk sebuah konsepsi yang abstrak; nilanya yang tertinggi terletak dalam suatu substansi bersama dengan ide yang disajikan.75

Dari sekian konsepsi tentang simbol yang bersifat mistis atau rohani di atas, Arnold Toynbee memilih untuk melihat simbol dengan memfokuskan diri pada dunia intelek. Bagi Toynbee, simbol dimaksudkan bukan untuk merepro objeknya, tetapi untuk meneranginya.76 Toynbee, sebagaimana dikutip oleh Dillistone, menyatakan:

Pengujian yang menunjukkan bahwa sebuah simbol berhasil atau gagal bukan karena simbol merepro atau tidak merepro dengan setia objek yang ditunjuknya; pengujiannya ialah apakah simbol itu memberikan terang atas objek itu atau mengaburkan pemahaman kita tentangnya. Simbol yang efektif adalah simbol yang memberi terang, dan simbol yang efektif merupakan bagian mutlak perlengakapan intelektual kita. Jika sebuah simbol harus bekerja dengan efektif sebagai alat atau tindakan intelektual-artinya, sebagai “model”- simbol itu harus disederhanakan dan dipertajam sehingga menjadi seperti sesuatu yang mirip peta sketsa dari sebuah realitas yang hendak diwakili oleh simbol sebagai pemandu.77

Pandangan Toynbee tentang simbol ini berbanding terbalik dengan pandangan Erwin Goodenough. Goodenough mendefinisikan simbol sebagai “barang atau pola yang, apapun

sebabnya, bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harfiah dalam bentuk yang diberikan”.78

Menurut Goodenough, simbol mempunyai maknanya sendiri atau nilainya sendiri dan bersama dengan ini

74Dillistone, The Power of Symbols. 18 75

(25)

simbol pun memiliki kekuatannya untuk menggerakkan kita,79 Singkatnya bagi Goodenough referensi yang bersifat intelektual semata-mata tidak diterima, karena kekuatan simbol itu bersifat emosif, yang merangsang orang untuk bertindak; dan perihal inilah yang dipandang sebagai ciri hakikinya.80

Pada bagian sebelumnnya telah dijelaskan tentang pengertian simbol dan selanjutnya akan dibahas mengenai fungsi simbol. Fungsi pertama yang tersirat dalam simbol adalah fungsi perwakilan. Simbol merupakan sesuatu yang tidak berdiri sendiri, namun ada kekuatan dan makna yang berpartisipasi didalamnya. Ini adalah fungsi dasar dari setiap simbol, dan oleh karena itu, jika kata yang belum digunakan dalam banyak cara lainnya, salah satu bisa mungkin bahkan menerjemahkan "simbolis" sebagai " perwakilan," tapi untuk beberapa alasan yang tidak memungkinkan.81 Fungsi utama dari simbol yaitu pembukaan tingkat realitas yang dinyatakan

tersembunyi dan tidak dapat dipahami dengan cara yang lain. 82 Setiap simbol membuka tingkat

realitas non-simbolik yang berbicara tidak memadai. Contoh yang dipakai adalah fungsi seni untuk membuka realitas seperti puisi, seni visual dan musik.

Kesimpulan

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat diaspora adalah masyarakat yang berpindah dari suatu negara ke negara lain dengan tujuan mencari pekerjaan, menetap atau paksaan. Ketika masyarakat diaspora itu berpindah mereka juga membawa identitas dari negera asalnya, baik itu identitas secara pribadi maupun sosial. Dalam komunitas masyarakat diaspora tersebut mereka tetap memelihara budaya dari negara asal mereka sebagai wujud mereka tetap

79Dillistone, The Power of Symbols. 19 80

(26)

terhubung dengan negara asal mereka. Itu berarti bahwa masyarakat diaspora tetap menjaga identitas kultural sekalipun mereka jauh dari negara asal mereka.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

maksud untuk memahami makna yang terkandng dalam ajaran tersebut. b) Metode komparatif, yaitu ajaran ajaran islam itu dikomparasikan dengan fakta-fakta yang terjadi dan

Sub Variabel ketiga yakni kemudahan mengakses produk , dimana indikator pengukurnya adalah kemudahan dalam menggunakan produk yang ditawarkan dengan jawaban sangat

" Dilihat dari judul-judul yang menang, kompetisi ini mempertimbangkan kepekaan sineas muda akan persoalan sosial Bangsa ini, khususnya yang berkaitan dengan masyarakat lokal

Pada hari ini Selasa tanggal Dua Puluh Empat Bulan Juli Tahun Dua Ribu Dua Belas yang bertandatangan di bawah ini adalah Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Unit

Apabila bilangan pertama dari dua bilangan ditambahkan dengan dua kali bilangan kedua, maka. hasilnya

PARL

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia yang teregistrasi pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik ( LPSE ) dan Penyedia kualifikasi kecil dan memiliki SBUJK Bidang