• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. diuraikan penjelasan yang berkaitan dengan landasan teori.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. diuraikan penjelasan yang berkaitan dengan landasan teori."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab landasan teori ini akan diuraikan, (1) pidato, (2) pengerian gaya bahasa retoris, (3) fungsi gaya bahasa retoris (4) kajian stilistika. Berikut akan diuraikan penjelasan yang berkaitan dengan landasan teori.

2.1 Pidato

Pidato merupakan suatu bentuk komunikasi secara lisan yang di dalamnya berisi pernyataan yang diungkapkan di depan khalayak umum. Adapun pengertian mengenai pidato menurut Rusmadi (1991) dan Wiyanto (2001) yang akan diuraikan sebagai berikut.

2.2 Pengertian Pidato

Menurut Rusmadi (1992: 1) pidato adalah berbicara dihadapan orang banyak atau di depan umum dalam rangka menyampaikan suatu masalah untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pidato itu dapat bersifat musyawarah, anjuran, penerangan, dan pendidikan. Perlu diketahui bahwa di suatu saat dalam kehidupan sehari-hari, kita akan terpaksa untuk harus berbicara di hadapan orang banyak, misal dalam suatu keramaian atau upacara maupun dalam suatu acara keluarga yang ada kaitannya dengan kebahagiaan atau belasungkawa.

Adapun menurut Wiyanto (2001 : 43), dalam berpidato ada tiga unsur yang amat penting, yaitu komunikator, pesan, dan komunikan. Komunikator adalah pembicara, pesan adalah masalah yang dibicarakan, dan dikomunikan adalah pendengar yang menerima pesan. Demikian dapat dikatakan bahwa

(2)

berpidato itu perbuatan menyampaikan pesan oleh pembicara kepada pendengar.

Dalam bahasa sehari-hari yang dimaksud pesan sebenarnya adalah isi pidato.

Sejalan dengan pendapat tersebut berpidato adalah menyampaikan dan menanamkan pikiran, informasi atau gagasan dari pembicara kepada khalayak ramai dan bermaksud meyakinkan pendengarnya (Arsjad, 1988: 53).

Melalui beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pidato merupakan suatu bentuk penyajian lisan yang disampaikan kepada sekelompok orang. Pidato dalam bentuk komunikasi lisan perlu untuk mendapatkan perhatian yang khusus. Jika seseorang akan berpidato, seseorang harus memerhatikan penampilan, ekspresi wajah, perilaku, dan intonasi suara. Hal tersebut dilakukan agar selain dapat menunjang penampilan, isi yang dibawakan dalam pidato tersebut dapat dipahami oleh semua orang.

2.2.1 Jenis-jenis pidato

Menurut Damayanti (2008: 16-17), ada tiga jenis pidato yang meliputi pidato forensik, pidato epideitik, dan pidato deliberatif. Adapun menurut Hendrikus (1991:

48-50) ada empat jenis pidato. Berikut adalah penjelasan dari tiga jenis pidato.

(1) Pidato Forensik

Pidato forensik atau pidato yudisial secara khusus lebih merujuk pada berbicara di dalam ruang pengadilan. Tujuan dari pidato ini adalah untuk menimbulkan suatu perasaan bersalah ataupun perasaan tidak bersalah; pada masa Aristoteles, pembicara forensik menunjukkan pidato mereka kepada hakim-hakim di dalam ruangan pengadilan. Aristoteles mempelajari retorika forensik dalam kerangka hukum sebab di dalamnya mempunyai keyakinannya mengenai hukum, di dalamnya ditemukan dalam retorika.

(3)

Aristoteles menyadari bahwa karakter seseorang sangat penting dalam retorika forensik. Ia menginterpretasikan karakter sebagai suatu status yang berarti, apakah seseorang tersebut (tua atau muda, miskin atau kaya, beruntung atau tidak beruntung) dan moralitas (apakah seseorang tersebut adil atau tidak adil, beralasan atau tidak beralasan). Jika dia bertindak secara sukarela, Aristoteles berargumen tentang pilihan yang mereka buat memiliki konsekuensi.

(2) Pidato Epidietik

Pidato epidietik juga disebut sebagai pidato ceremonial. Pidato-pidato pada masa Aristoteles disampaikan di dalam arena publik dengan tujuan untuk memuji, menghormati, menyalahkan atau mempermalukan. Pengajar epidietik mencakup orang, peristiwa, organisasi, atau bangsa di dalam pidato mereka.

Pidato-pidato ini biasanya berfokus pada isu-isu sosial sebab menurut Aristoteles orang tertarik dengan apa yang disini dan sekarang.

Pidato epideitik tidak dapat dipisahkan dari ethos menurut Aristoteles. Ia percaya bahwa dengan memahami kebutuhan untuk menguji atau menyalahkan para pembiacara pidato epidietik memahami karakter mereka sendiri. Misanya, sebuah pidato yang mengkritik kondisi rumah tahanan mungkin tidak akan memiliki pengaruh yang berarti terhadap khalayak umum. Jika pembicaraan sedang tinggal di bagian penjara tempat tahanan menghadapi hukuman mati yang sehubungan dengan tindakan perkosaan dan pembunuhan yang ia lakukan. Pidato epidietik banyak dipengaruhi oleh studi mengenai kebajikan atau nilai, tema yang dipinjam oleh Aristoteles dan Plato. Pembicara epidietik harus mampu mengkaitkan kebajikan dalam topik kepada khalayak umum yang beragam.

(4)

(3) Pidato Deliberatif

Pidato deliberatif merupakan suatu pidato yang mengsyartakan pembicara untuk menjadi ahli dalam memahami bagaimana pemikirannya akan sesuai dengan khalayaknya. Para pembicara deliberatif harus memiliki kesiapan dalam mempertimbangkan suatu topik yang relevan dengan khalayak dan yang berkaitan secara personal dengan dirinya sendiri. Para pembaca deliberatif mungkin akan mencoba untuk menarik minat dalam topik yang akan dibahas, dan dengan begitu minat akan didapatkan dan mereka akan melihat bahwa para pendengar akan lebih mudah untuk dibujuk.

Adapun menurut Hendrikus (1991: 48-50) ada 4 jenis pidato yang ditentukan berdasarkan beberapa faktor yang meliputi: situasi, tempat, tujuan dan isi pembicaraan. Berikut adalah uraian dari penjelasan tersebut.

(1) Bidang Politik

Pidato politik pada umumnya bertujuan bukan untuk mengajar tetapi mempengaruhi yang tidak meyakinkan tapi membangkitkan semangat. Oleh karena itu pembicara harus bisa menguasai bagaimana psikologi pendengar. Dia juga harus menguasai teknik penampilan sehingga memberi kesan dan mengundang kepercayaan pihak pendengar terhadap dirinya. Di samping itu dia juga harus menguasai teknik dan taktik dalam berbicara. Seorang pembicara politisi yang baik harus sanggup membimbing massa dalam mengambil keputusan.

Pidato politisi tidak bisa sembarangan dilakukan oleh orang yang tidak menggeluti bidang politik. Pidato politisi harus dibawakan oleh orang yang berkecimpung di dalam bidang politik. Jenis-jenis pidato yang lazim dibawakan adalah: pidato kenegaraan, pidato parlemen, pidato kampanye dan lain

(5)

sebagainya. Pidato politisi pada umumnya adalah panjang dan dibawakan langsung dihadapan massa atau dapat juga melalui media komunikasi seperti televisi dan radio.

(2) Kesempatan Khusus

Ada banyak sekali kesempatan atau pertemuan tidak resmi, di mana orang harus membawakan pidato. Suasana pertemuan semacam ini pada umumnya akrab, sebab para peserta sudah saling mengenal seperti: pertemuan keluarga, siding organisasi, dan sidang antar anggota dan pimpinan perusahan dan lain-lain.

Pidato ini lebih diarahkan untuk menggerakkan hati dan bukan pikiran pendengar.

Sasaran utamanya adalah perasaan, bukan pengertian. Jenis-jenis pidato yang dibawakan seperti: pidato ucapan selamat, ucapan memberi motivasi, pidato pembukaan dan pidato penutup.

(3) Kesempatan Resmi

Dalam kehidupan bermasyarakat sering diselenggarakan berbagai pertemuan karena alasan-alasan resmi. Para peserta yang hadir adalah para pejabar, para pebesar, atau orang-orang terkemuka. Pidato disampaikan secara singkat dan disampaikan secara bebas. Sasarannya lebih untuk menggerakkan perasaan dan bukan untuk menanamkan pengertian rational. Jenis-jenis pidato di antaranya meliputi: pidato sambutan Hari Ulang Tahun (HUT), pidato pernikahan, pidato perpisahan, dan lain sebagainya.

(4) Pertemuan Informatif

Dalam hubungan dengan pembinaan, sering diselenggarakan pertemuan- pertemuan informatif. Maksudnya adalah pertemuan dalam kelompok-kelompok kecil dan besar, baik dalam dunia pendidikan maupun dalam bidang lainnya.

(6)

Pidato ini bertujuan untuk memberikan informasi atau untuk membahas suatu masalah yang bersifat ilmiah. Jenis-jenis pidato informatif seperti: pidato kuliah, ceramah, wejangan informatif, dan masih banyak lagi.

Adapun jenis-jenis pidato yang lain menurut (Yanuarita, 2012: 26) terdapat enam jenis-jenis pidato yaitu sebagai berikut.

1) Pidato Pembukaan

Pidato pembukaan merupakan sebuah pidato singkat yang dibawakan oleh pembawa acara atau MC (Master of Ceremoni) untuk mengawali atau membuka suatu acara.

2) Pidato Pengarahan

Pidato pengarahan adalah pidato untuk mengarahkan pada suatu pertemuan.Pidato ini memberikan seluruh gambaran mengenai suatu cara yang sedang dilaksanakan.

3) Pidato Sambutan

Pidato sambutan merupakan pidato yang disampaikan pada suatu acara kegiatan atau peristiwa tertentu yang dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan waktu yang terbatas secara bergantian.

4) Pidato Peresmian

Pidato peresmian adalah pidato yang dilakukan oleh orang yang berpengaruh untuk meresmikan sesuatu.

5) Pidato Laporan

Pidato laporan yakni pidato yang isinya adalah melaporkan suatu tugas atau kegiatan tertentu,atau menyampaikan hasil dari suatu kegiatan tertentu.

(7)

6) Pidato Pertanggungjawaban

Pidato pertanggung jawaban adalah pidato yang berisi suatu laporan pertanggungjawaban mengenai suatu tugas yang sudah dilaksanakan dalam suatu periode tertentu.

2.2.2 Ciri Ciri Pidato

Menurut Hendrikus (1991: 51) terdapat sembilan ciri-ciri pidato yang baik yang dapat dijadikan sebagaai pedoman dalam proses berpidato yakni sebagai berikut.

(1) Pidato yang saklik

Pidato saklik apabila memiliki objektivitas dan unsur-unsur yang mengandung kebenaran. Saklik juga bisa diartikan ada hubungan yang serasi antara isi pidato dan formulasinya, sehingga terdapat keindahan dalam isi dalam pidato tersebut tetapi bukan berarti dihiasi dengan gaya bahasa yang berlebih- lebihan.

(2) Pidato yang jelas

Dalam sebuah pidato pembicara harus mengungkapkan pikirannya dengan jelas dan sedemikian rupa., sehingga tidak hanya sedapat mungkin isinya dapat dimengert, tetapi juga jangan sampai ada kemungkinan untuk tidak dimengeru.

Oleh karena itu pembicara harus memilih ungkapan dan susunan kalimat yang tepat dan jelas untuk menghindari salah pengerian.

(3) Pidato yang hidup

Sebuah pidato harus hidup, untuk menghidupkan pidato dapat dipergunakan gambar, cerita pendek atau kejadian-kejadianyang relevan sehingga

(8)

dapat memancing perhatian pendengar. Pidato yang hidup dan menarik umumnya diawali dengan ilustrasi, sesudah ituditampilkan pengertian-pengertian abstrak atau definisi.

(4) Pidato yang memiliki tujuan

Setiap pidato jelas harus memiliki sebuah tujuan. Yaitu apa yang ingin dicapai, tujuan ini harus dirumuskan dalam satu dua pikiran pokok. Dalam membawakan pidato, tujuan ini hendaknya sering diulangi dalam rumusan yang berbeda, supaya pendengar tidak kehilangan arah selama mendengarkan pidato.

(5) Pidato yang klimaks

Suatu pidato yang hanya membeberkan kejadian demi kejadian atau kenyataaan demi kenyataan, akan sangat membosankan, dalam hal itu sebaiknya kenyataan atau kejadian-kejadian itu dikemukakan dalam gaya bahasa klimaks.

(6) Pidato yang memiliki perulangan

Pidato selalu terdapat perulangan. Hal ini dimaksudkan agar dapat memperkuat isi pidato dan memperjelas pengertian pendengar, maka dari itu pengulangan juga dapat menyebabkan pokok-pokok pidato agar tidak lupa. Efek pengulangan secara baik akan menyebabkan pengaruh besar dan mudah diingat oleh pendengar.

(7) Pidato yang berisi hal-hal yang mengejutkan

Sesuatu itu mengejutkan karena mungkin belum pernah ada atau belum terjadi sebelumnya: atau karena meskipun masalahnya biasa atau terkenal, tetapi ditempatkan di dalam konteks atau relasi yang baru dan menarik. Memunculkan hal- hal baru yang mengejutkan dalam pidato berarti mmenciptakan hubungan yang baru dan menarik antara kenyataan yang dalam situasi bias tidak dapat dilihat.

(9)

(8) Pidato yang dibatasi

Pidato tidak boleh membeberkan segala persoalan atau masalah dalam isi pidato, maka dari itu harus dibatasi pada suatu atau dua soal yang tertentu saja.

Pidato yang isinya terlalu luas akan menjadi dangkal, sehingan tidak membuat membuat para pendengar dan bosan dan bingung ketika memahami isi dari pidato tersebut.

(9) Pidato yang mengandung humor

Humor dalam pidato itu sangat diperlukan, hanya saja tidak diperbolehkan terlalu banyak, sehingga memberikan kesan bahwa pembicara tidak bersungguh- sungguh. Humor itu dapat juga menyegarkan pikiran pendengar , sehingga mencurahkan perhatian yang lebih besar kepada pidato selanjutnya.

2.2.3 Unsur-unsur Pidato

Ada lima unsur-unsur pidato menurut Keraf (2008: 10-11), yaitu proem atau exerdium, narration atau dicgesis, agon atau argument, refulatio atau lysis, dan peroratio atau epilogos. Berikut adalah penjelasan dari kelima unsur-unsur pidato.

(1) Proem atau exerdium merupakan bagian pembukaan atau introduksi.

Pembukaan harus jelas, sopan, dan singkat.

(2) Narration atau dicgesis merupakan suatu pernyataan mengenai kasus yang tengah dibicarakan. Naratio mengandung suatu pernyataan mengenai fakta- fakta awal yang jelas, singkat, dan menyenangkan.

(3) Agon atau argument menyajikan fakta-fakta atau bukti, quintylianus menyebutnya: (probation atau apodieksixs) untuk membuktikan masalah atau kasus yang tengah dibicarakan.

(10)

(4) Refulatio atau lysis merupakan bagian yang menolak suatu fakta-fakta yang berlawanan. Pembicara menunjukkan bahwa keberatan-keberatan yang bersifat absurd, palsu, atau tidak konsisten.

(5) Peroratio atau epilogos sebuah kesimpulan atau rekapitulasi (rangkuman) dari apa yang telah dikemukakan dengan suatu appeal emosional pada pendengar.

Adapun unsur-unsur pidato menurut Rakhmat (2002: 32-34) berikut adalah uraian dari ketiga unsur-unsur pidato.

(1) Kesatuan

Komposisi yang baik dari suatu pidato adalah harus merupakan kesatuan yang utuh. Ini meliputi kesatuan dalam isi, tujuan, dan sifat. Dalam isi harus ada gagasan tunggal yang mendominasi seluruh uraian. Kesatuan juga harus tampak dalam sifat pembicara (mood). Sifat ini mungkin serius, informal, formal, anggun, atau bermain-main.

(2) Pertautan

Pertautan menunjukkan urutan bagian uraian yang berkaitan satu sama lain.

Pertautan menyebabkan perpindahan dari pokok yang satu kepada pokok yang lainnya berjalan lancar. Sebaliknya, hilangnya pertautan menimbulkan gagasan pokok dari seluruh pembicaraan. Ini biasanya disebabkan oleh perencanaan yang tidak memadai, pemikiran yang ceroboh, dan penggunaan kata-kata yang jelek.

(3) Titik berat

Hal-hal yang harus dititik beratkan bergantung kepada isi komposisi pidato, tetapi pokok-pokoknya hampir sama. Gagasan utama, ikhtisar uraian, pemikiran abru, perbedaan pokok, hal yang harus dipikirkan khalayak adalah

(11)

contoh-contoh bagian yang harus dititik beratkan atau ditekankan. Titik berat dalam tulisan dapat dinyatakan dengan garis bawah, huruf miring atau huruf besar.

2.2.4 Tujuan Pidato

Ada tiga tujuan pidato menurut (Wiyanto, 2001: 43) yang meliputi menghibur, memberitahu, dan mengajak. Adapun menurut Yanuarita (2012: 20) ada tujuh tujuan pidato yang meliputi informatif, persuasif, argumentatif, deskriptif, rekreatif, edukatif, dan entrertain. Berikut adalah penjelasannya.

(1) Menghibur

Pidato jenis ini biasanya dilakukan dalam acara non resmi seperti acara ulang tahun atau acara lainnya. Tujuannya adalah agar suasana pesta yang sedang berlangsung tetap ceria, segar, dan bahagia. Pembicara harus menyampaikan sesuatu yang menyenangkan yang berkaitan dengan acara, tamu undangan, hidangan, atau yang lainnya. Hal tersebut dilakukan agar pendengar atau para tamu undangan tidak merasa jenuh dalam acara tersebut.

(2) Memberitahu

Pembicara berusaha untuk menjelaskan dan menyampaikan suatu masalah secara jelas agar para pendengar menjadi tahu dan paham. Hal tersebut adalah pembicara menyampaikan sebuah contoh, perbandingan, keterangan, dan lain-lain yang semuanya itu sangat mendukung suatu penjelasan yang telah disampaikannya. Hal itu dilakukan oleh pembicara agar tujuan dari pidato dapat tercapai yaitu pendengar menjadi tahu dan memahami apa yang disampaikan.

(12)

(3) Mengajak

Pembicara berusaha meyakinkan dan mempengaruhi pendengar untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu seperti yang dikehendaki oleh pembicara. Untuk itu, pembicara menyampaikan banyak alasan, bukti, dan banyak contoh yang relevan untuk para pendengar yang akhirnya dengan suka rela pendengar mau melakukan apa yang diminta oleh pembicara.

Adapun menurut Yanuarita (2012: 20) ada tujuh tujuan pidato berikut adalah penjelasannya.

(1) Informatif

Pidato bertujuan untuk menyampaikan informasi atau keterangan kepada pendengar atau memberikan sesuatu yang menarik untuk audience.

(2) Persuasif

Pidato persuasif berisi tentang usaha untuk mendorong, meyakinkan dan mengajak audience untuk melakukan suatu hal.

(3) Argumentatif

Pidato argumentatif bertujuan untuk meyakinkan audience. Pembicara berusaha untuk meyakinkan para pendengar mengenai apa yang tengah diungkapkan oleh si pembicara.

(4) Deskriptif

Pidato deskriptif bertujuan untuk melukiskan atau menggambarkan suatu keadaan yang sedang diperbincangkan mengenai peristiwa yang saat ini sedang terjadi. Pembicara berusaha untuk menjelaskan secara rinci mengenai isi dari pidato yang disampaikan.

(13)

(5) Rekreatif

Pidato rekreatif bertujuan untuk menggembirakan atau menghibur para pendengar atau hadirin yang telah hadir.

(6) Edukatif

Pidato edukatif berusaha untuk menekankan nilai-nilai edukatif atau yang mendidik. Pembicara berusaha untuk lebih menekankan mengenai nilai-nilai yang mendidik kepada para hadirin yang hadir. Hal demikian merupakan point utama dari pidato yang tengah disampaikan.

(7) Entertain

Pidato entertain bertujuan untuk memberikan penyegaran kepada para pendengar yang sifatnya lebih santai. Pembicara memberikan hal-hal yang santai kepada pendengar agar tidak merasa cepat bosan.

2.3 Gaya Bahasa

Menurut Lubis (2017: 1) mengatakan bahwa gaya bahasa adalah kekhasan bahasa yang digunkan seseorang di dalam mengungkapkan pikiran dalam bentuk lisan maupun tulisan. Olehkarena itu, gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara untuk mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian Menurut Harimurti Kridalaksana (2001: 25) penjelasan istilah gaya bahasa secara luas yaitu pertama, pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis. Kedua, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu. Ketiga, keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra penulis (pemakai bahasa).

(14)

Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stillus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya suatu tulisan pada lempengan tersebut. Terdapat pada saat penekanan akan dititik beratkan kepada keahlian untuk menulis indah, maka style bisa selalu berubah menjadi suatu kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata yang secara indah (Keraf, 2009: 112).

Gaya bahasa meliputi semua penggunaan bahasa yang secara khusus dijaidkan untuk mendapatkan efek tertentu, yaitu efek estetikanya atau aspek kepuitisannya. Jenis-jenis gaya bahasa itu meliputi semua aspek gaya bahasa yaitu bunyi, kata, kalimat, dan wacana yang dipengaruhi secara khusus untuk mendapatkan suatu efek tertentu. (Hidayah, 2016: 132). Hal tersebut selaras dengan pendapat (Pradopo, 2009: 113) Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa itu menimbulkan reaksi tertentu untuk menimbulkan tanggapan pikiran kepada pembaca .

Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa merupakan suatu pemilihan dan penggunaan bahasa secara indah untuk dituturkan oleh pembicara kepada pendengar. Pemakaian gaya bahasa yang baik adalah gaya bahasa yang memperhatikan unsur-unsur atau kaidah-kaidah tertentu dalam berbahasa yang meliputi kejujuran, sopan-santun, serta menarik. Hal tersebut bertujuan agar ketika pembicara bertutur baik kepada pendengar maupun orang yang sedang diajak berbicara dapat menghargai, menghormati, dan tidak cepat bosan dengan sesuatu yang tengah kita ungkapkan. Jenis-jenis gaya bahasa salah satunya adalah gaya bahasa yang berdasarkan sturuktur kalimat dan gaya bahasa kiasan.

(15)

2.4 Gaya Bahasa Retoris

2.4.1 Pengertian Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa biasanya terdapat di dalam puisi maupun pidato. Salah satunya yaitu gaya bahasa retoris, gaya bahasa retoris sangat erat dengan bidang ilmu retorika. Menurut Nisa (2016: 1) mengatakan bahwa ketidaklangsungan makna serta gaya bahasa juga disebut trope atau figure of speech. Dalam pengelompokan trope atau figure of speech salah satunya adalah gaya bahasa retoris. Sedangkan pendapat laim dikemukan oleh Keraf, (1988: 129) mengatakan bahwa gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai suatu efek tertentu. Sehingga gaya bahasa retoris biasanya bahasanya terlihat polos dan terdapat kelangsungan makna dari penulisan tersebut.

Adapun menurut Nurgiantoro (2018: 213) mengungkapkan bahwa gaya bahasa retoris adalah penggunaan gaya bahasa untuk menyatakan sesuatu sebagaimana pada makna denotatifnya (makna yang sebenarnya). Gaya bahasa yang maknanya harus diartikan menurut nilai lahirnya. Bahasa yang digunakan yaitu bahasa yang terdapat kelangsungan makna yang didayakan adala urutan kata. Jika sesuatu yang dimaksud penulis atau pembicara mengacu pada makna kata yang sebenarnya, maka penggunaan gaya bahasa tersebut dikategorikan gaya bahasa retoris. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Nirmala (2020: 39) Retoris sebagai penggunaan bahasa secara efektif dalam arti yang sangat umum; dalam pengertian ini penggunaan bahas pertama-tama diterapkan pada percakapan sehari-hari, baru kemudian pada penggunaan-penggunaan bahasa yang lebih resmi dan terencana.

(16)

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gaya retoris merupakan gaya bahasa yang berbentuk kalimat dan makna yang sebenarnya. Gaya bahasa retoris biasanya terdapat dalam puisi, novel, cerpen serta pidato untuk membuat para pembaca lebih tertarik. Gaya bahasa retoris biasanya juga terdapat kalimat yang terdapat makna yang langsung dan tidak langsung.

Gaya bahasa retoris terdapat berbagai macam sehingga makna yang ada dalam kalimat pasti memiliki kategori yang berbeda dari setiap penyimpangan makna.

2.4.2 Jenis-jenis Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang maknanya harus diartikan menurut nilai lahirnya. Berikut akan diuraikan penjelasannya.

(1) Aliterasi

Aliterasi merupakan suatu gaya bahasa yang berwujudd perulangan konsonan yang sama. Aliterasi biasanya digunakan dalam puisi atau prosa guna sebagai perhiasan atau penekanan. Aliterasi pada umumnya menggunakan kata-kata yang memiliki bunyi konsonan yang sama sehingga terlihat seperti sama, tetapi maknanya berbeda. Gaya bahasa aliterasi ini mudah dipahami setiap kata-kata yang terdapat dalam suatu puisi maupun prosa meskipun terdapat perulangan bunyi konsonan yang sama. Aliterasi akan banyak ditemukan di dalam puisi atau prosa.

Menurut (Keraf, 2008: 115-136) aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang terwujud perulangan konsonan yang sama biasanya dipergunakan dalam puisi, terkadang dalam prosa, untuk memperoleh nilai estetika atau suatu penekanan. Adapun menurut (Tarigan, 2013: 175) aliterasi merupakan gaya bahasa yang memanfaat purwakanti atau pemakaian kata-kata permulaan bunyi

(17)

yang sama. Gaya bahasa ini umumnya selalu menjadi ciri khas dalam sebuah tulisan sehingga membuat para pembaca atau pendengar mampu memahami setiap kata yang terdapat dalam sebuah karya tulisan walaupun terdapat perulangan bunyi konsonan yang sama. Misalnya :

Takut titik lalu tumpah

Keras-keras kerak kena air lembut juga

Pada pantun tersebut menunjukkan bahwa adanya perulangan huruf konsonan yang sama dalam setiap lariknya. Perulangan huruf konsonan tersebut berupa huruf “t” dan “k”.

2) Asonansi

Asonansi merupakan suatu gaya bahasa yang menggunakan kata yang memiliki bunyi vokal yang sama untuk sekedar keindahan puisi atau prosa. Asonansi banyak ditemukan di dalam pantun. Asonansi biasanya digunakan untuk memperoleh estika pada suatu karya sastra. Menurut Keraf (2008: 115-136), asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, terkadang dalam prosa untuk memperoleh estetika atau suatu penekanan. Asonansi akan tampak bergelora pada karya-karya sejenis pantun yang mengutamakan bunyi vokal yang sama pada setiap akhir bait kedua dan akhir bait keempat. Berbeda dengan aliterasi yang dianggap agak berat atau berarti agak susah dicerna maknanya. Asonansi terasa begitu ringan baik dalam pengucapan maupun pemakanaannya. Adapun menurut Tarigan (2013: 176),asonansi merupakan gaya bahasa yang berwujud perulangan vokal yang bunyinya sama dan biasanya dipakai dalam karya puisi ataupun dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau menyematkan keindahan. Misalnya :

(18)

Ini muka penuh luka siapa punya.

Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu

Pada pantun tersebut menunjukkan bahwa adanya perulangan vokal yang sama dalam setiap lariknya. Perulangan huruf vokal tersebut berupa huruf “a” dan “u”.

3) Anastrof

Anastrof adalah gaya bahasa yang merupakan permutasi atau perubahan urutan unsur-unsur konstruksi sintaksis. Anastrof hampir sama dengan gaya bahasa retoris, yang lebih menekankan terhadap penyusunan subjek-predikat.

Anastrof merupakan gaya bahasa retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Gaya bahasa ini dipergunakan apabila predikat kalimat hendak lebih ditonjolkan atau dipnetingkan daripada subjeknya, sehingga predikat terletak di depan subjeknya.

Anastrof adalah semacam gaya bahasa retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat atau memindahkan kalimat atau mengubah susunan unsur konstruksi sintaksis dan dalam infersi predikat suatu kalimat disebutkan terlebih dahulu sebelum subjek tersebut Keraf (2008: 115-136).

Adapun menurut Tarigan (2013: 85) anastrof merupakan gaya bahasa yang merubah susunan kata atau perubahan subjek-predikat menjadi predikat subjek. Fungsi dari gaya bahasa ini digunakan untuk pernyataan yang tegas. Misalnya:

Pergilahia meninggalkan kami, keheranan kami melihat pengarangnya.bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam- macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar.

Pada prosa tersebut menujukkan bahwa adanya pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat. Jika di dalam kalimat terdapat pembalikan susunan kata seperti “Pergilahia meninggalkan kami” imbuhan lah merupakan pembalikan predikat dan ia pembalikan subjek. Pada dasarnya pembalikan kata diawali

(19)

dengan subjek ke predikat Adapun kalimat lain yang membalikkan susunan kata yang biasa dalam kalimat seperti “bersorak-sorak” merupakan pembalikan struktur kata predikat dan k “orang di tepi jalan”merupakan pembalikan struktur kata subjek.

4) Apofasis atau Preterisio

Apofasis atau preterisio merupakan suatu gaya bahasa di mana pengarang lebih menegaskan sesuatu tetapi sebenarnya pengarang hanya ingin mengungkapkan yang sebaliknya. Apofasis itu adalah sebuah gaya bahasa yang kata-katanya menyangkal suatu fakta yang sebenarnya. Pengarang atau pembicara menggunakan apofasis atau preterisio untuk menegaskan sesuatu tetapi nampaknya pengarang atau pembicara tersebut hanya menyangkal suatu fakta yang ada. Inilah fungsi dari apofasis atau preterisio bagi pengarang atau pembicara dalam suatu karya yang akan dibagikan kepada khalayak umum.

Menurut Keraf (2008: 115-136), apofasis atau preterisio adalah suatu gaya bahasa yang mana penulis atau pengarang untuk mencoba menegaskan sesuatu tetapi tampaknya menyangkal. Gaya bahasa apofasis atau preterisio ditandai dengan sebuah kalimat yang seolah-olah menyangkal. Penutur berusaha untuk berbciara dengan baik-baik. Hal ini dapat diartikan hal ini dapat diartikan sebagai kepura-puraan dalam membiarkan sesuatu berlalu tetapi sebenarnya ia menekankan akan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkan. Adapun menurut Tarigan (2013: 86), apofasis atau preteriosio merupakan gaya bahasa yang digunakan oleh sesorang dalam mengungkapkan dengan menegaskan suatu hal tetapi menentang pernyataan yang dipaparkan Misalnya:

(20)

Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa anda pasti membiarkan menipu diri sendiri.

Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.

Pada kalimat tersebut menunjukkan bahwa penulis berusaha untuk menegaskan sesuatu tetapi sebenarnya ia berpura-pura untuk menyembunyikannya seperti pada kalimat “saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini”, tetapi sebenarnya ia ingin menekankan akan hal itu yang terbukti pada kalimat “saudara telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara”.

5) Apostrof

Apostrof merupakan sejenis gaya bahasa yang berupa pengalihan suatu isi pidato atau nasihat bagi para hadirin yang tidak dapat hadir pada suatu acara yang sedang berlangsung, dengan kata lain orang yang dimaksudnya tidak berada di dalam ruang itu. Seorang pembicara tiba-tiba mengarahkan ucapannya kepada orang yang tidak hadir seperti orang yang telah meninggal, barang, atau objek yang berupa khayalan sehingga nampaknya pembicara tidak berbicara pada orang yang hadir. Inilah fungsi dari apostrof dalam pembaca.

Apostrof adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini dilakukan oleh orator klasik.

Seperti dalam pidato yang disampaikan kepada suatu massa, sang orator secara tiba-tiba fokus pembicaraanya pada hal atau sesuatu yang tidak hadir, contohnya mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau obyek bayangan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya. Sehingga tampaknya ia tidak berbicara kepada hadirin (Keraf, 2008: 115-136). Apostrof merupakan Gaya bahasa yang digunakan oleh orator dalam mengalihka sebuah amanat dari pendengar yang hadir kepada pendengar yang tidak hadir ditempat, biasanya para orator

(21)

menyampaikan pembicaraan sesuatu hal yang tidak hadir seperti kepada orang yang sudah meninggal atau sebagainya (Tarigan, 2013: 83). Misalnya :

Hai kamu dewa-dewa yang berada di surge, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu penindasan ini.

Hai kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan.

Pada kalimat tersebut menunjukkan bahwa kalimat tersebut mengandung gaya bahasa apostrof yang berbentuk pengalihan amanat untuk para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir (meninggal atau sesuatu yang abstrak). Hal ini dapat dibuktikan pada kalimat “Hai kamu dewa-dewa yang berada di surge, datanglah dan bebaskanlah kami dari belenggu penindasan ini”kalimat tersebut mengungkapkan mengenai

sesuatu yang tidak hadir disampaikan kepada sesuatu yang hadir.

6) Asindeton

Asindeton merupakan gaya bahasa yang berupa penghilangan konjungsi atau kata sambung dalam frasa, klausa, atau kalimat. Gaya bahasa asindeton merupakan kata-kata yang sederajat dan berurutan atau klausa-klausa yang sederajat dan tidak dihubungkan dengan kata sambung yang biasanya menggunakan tanda koma sebagai penghubung antar kata, khalayak akan cepat memaknakan dan mengikutinya. Menurut Keraf (2008: 115-136), asindenton merupakan gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat yang tidak mampu dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk tersebut biasanya dipisahkan saja dengan koma. Hal tersebut akan membuat khalayak dengan cepat mampu memahami dan mengikutinya.

(22)

Adapun menurut Tarigan (2013: 83) asindenton merupakan gaya bahasa yang bentuknya tidak menggunakan kata sambung sebagai penyatuan, klausa dan frasa melainkan hanya menggunakan tanda koma sebagai pengganti kata sambung dan gaya bahasa asidenton juga bisa digunakan untuk menerangkan suatu hal kepada pembaca ataupun pendengar. Misalnya:

Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang yang melepas nyawa.

Pada kalimat tersebut menunjukkan bahwa kalimat tersebut bersifat padat karena hanya dipisahkan dengan tanda baca koma saja. Kalimat tersebut sebagai acuan yang bersifat padat dan mampat.

7) Polisindeton

Polisindeton merupakan gaya bahasa yang menggunakan konjungsi atau kata sambung sebagai penghubung antar kata. Beberapa kata, frasa atau klausa yang berurutan kemudian dihubungkan dengan kata lain menggunakan konjungsi.

Polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan asindeton. Terdapat beberapa kata, frasa, atau kalusa yang dapat diurutkan lalu dihubungkan satu sama lain dengan beberapa macam kata sambung. Dalam polisindeton beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata sambung (Keraf, 2008: 115-136).

Adapun menurut Suwignyo (2012: 137) bahwa polisindeton merupakan suatu gaya bahasa yang menggunakan kata sambung sebagai penghubung kata, frase, atau klausa dan kemudian diurutkan dan terikat satu sama lain dengan kata sambung yang digunakan. Misalnya:

Dan kemanakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya?

(23)

Pada kalimat tersebut mengandung gaya bahasa polisindeton karena beberapa kata diurutkan lalu dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan kata sambung “dan”.

8) Kiasmus

Kiasmus merupakan gaya bahasa yang mengandung perulangan kata yang dipertentangkan satu sama lainnya yang mengandung dua bagian baik frasa, atau kalimat yang sifatnya berimbang dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Kiasmus mengandung perulangan kata dan sekaligus inversi mengenai hubungan antara satu dengan kalimat lainnya. Kiasmus biasanya banyak ditemui pada suatu prosa atau puisi atau pidato.

Keraf (2008: 115-136) berpendapat bahwa kiasmus merupakan semacam acuan atau gaya bahasa yang tediri dari dua bagian, baik flasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan berlawanan satu sama lain, tetapi dalam susunan frasa maupun klausanya itu terbalik apabila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Kiasmus mengandung perulangan kata yang kemudian dipertentangkan satu sama lain. Sedangkan menurut Ducrot dan Todorov dalam Tarigan (2013:

180) kiasmus merupakan gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus pula merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat. Misalnya:

Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu.

Pada kalimat tersebut mengandung gaya bahasa kiasmus karena dalam kalimat tersebut berlawanan antara satu sama lain seperti “semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami”. Dalam kalimat tersebut mengandung unsur yang berlawanan satu sama lain.

(24)

9) Elipsis

Elipsis merupakan gaya bahasa dengan menghilangkan satu kata atau lebih tujuannya agar mudah untuk diisi atau ditafsirkan sendiri oleh seorang pendengar atau pembaca. Elipsis lebih mengutamakan penggalan-penggalan kata yang secara tidak beraturan. Artinya, elipsis tersebut bisa mengandung subjek yang dihilangkan, predikat yang dilenyapkan, objek yang disembunyikan, keterangan yang tidak difungsikan, bisa pula modalitas yang tidak disertakan. Elipsis dapat ditemukan pada suatu prosa maupun puisi.

Menurut Keraf (2008: 115-136), elipsis merupakan suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dapat dengan mudah diisi ataupun ditafsirkan sendiri oleh seorang pembaca atau pendengar, sehingga membuat struktur gramatiakal atau dalam kalimatnya memenuhi pola yang sesuai dan berlaku. Elipsis adalah gaya bahasa yang didalamnya dilaksanakan penanggalan atau penghilangan kata atau kata-kata yang memenuhi bentuk kalimat berdasarkan tat bahasa (Suwignyo, 2012: 133). Misalnya:

Masihkah kau tidak percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis…

Pada kalimat tersebut menunjukkan bahwa kalimat tersebut mengandung gaya bahasa elipsis yang ditandai dengan penghilangan suatu unsur kalimat tetapi dapat ditafsirkan sendiri oleh seorang pembaca atau pendengar.

10) Eufemismus

Eufemismus adalah sejenis gaya bahasa yang berusaha untuk menghaluskan kata-kata yang dianggap kasar atau tabu, namun terkadang eufemismus mencoba untuk mengaburkan kata-kata yang hendak disampaikan oleh pembicara.

Eufemismus menggunakan suatu kata dari sekelompok kata untuk menggantikan

(25)

kata lain dengan maksud supaya kata tersebut lebih sopan dan menghindari dari yang dianggap bisa menyinggung hati orang lain. Eufemismus biasanya terdapat pada suatu puisi, prosa, atau pidato.

Menurut Keraf (2008: 115-136), eufemismus adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau sebuah macam-macam ungkapan yang halus untuk menggantikan sebuah acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyudutkan perasaan dan memenyinggung hal yang negatif. Eufemismus berusaha untuk mengaburkan makna yang hendak disampaikan oleh pembaca untuk pendengar. Adapun menurut Suwignyo (2012:

133) Eufimisme merupakan gaya bahasa penghalus untuk menjaga kesopanan atau menghindari timbulnya kesan tidak menyenangkan. Misalnya:

Ayahnya sudah tidak ada di tengah-tengah mereka (= mati) Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini (= gila)

Anak saudara memang tidak terlalu cepat mengikuti pelajaran seperti anak-anak lainnya (= bodoh)

Pada kalimat tersebut mengandung ungkapan-ungkapan yang berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain dengan mengganti ungkapan tersebut menggunakan ungkapan yang baik seperti ungkapan “mati” diganti menjadi

“tidak ada” dan lain sebagainya.

11) Litotes

Litotes adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan untuk merendahkan diri di hadapan orang lain dan berlawanan yang sebenarnya atau mengandung pernyataan yang dikurangi atau dikecilkan dari makna yang sebenarnya. Litotes di dalamnya berusaha menyatakan sesuatu yang memang pada hakikatnya bertentangan. Litotes merupakan sejenis gaya bahasa yang berupa pernyataan mengenai sesuatu dengan cara membuat pernyataan mengenai sesuatu dengan cara menyangkal atau mengikiari kebalikannya.

(26)

Menurut Keraf (2008: 115-136), litotes adalah semacam gaya bahasa yang merupakan bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan suatu tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari yang sebenarnya. Atau suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan katanya. Adapun menurut Milandari (2017:

), litotes adalah suatu gaya bahasa yang didalamnya terdapat pengungkapan dalam menyatakan sesuatu yang positif dalam bentuk negatif atau bentuk yang bertentangan. Misalnya:

Kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali.

Saya tidak akan merasa bahagia bila mendapat warisan satu milyar rupiah.

Apa yang kami hadiahkan ini sebenarnya tidak ada artinya sama sekalibagimu.

Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kamiberahun- tahun lamanya.

Pada kalimat tersebut mengandung gaya bahasa litotes di mana ungkapan- ungkapan tersebut diungkapkan dengan menggunakan bahasa yang dipakai untuk suatu tujuan merendahkan diri. Hal tersebut terbukti jelas pada kalimat yang telah dicetak tebal.

12) Histeron Proteron

Histeron proteron merupakan gaya bahasa yang memamparkan suatu peristiwa yang akan diterjadi pada masa depan atau kebalikannya yang wajar.

Gaya bahasa histeron proteron merupakan kebalikan dari sesuatu yang bersifat logis atau kebalikan dari urutan yang wajar. Misalnya, menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Menurut Keraf (2008: 115-136), histeron proteron adalah gaya bahasa yang berupa kebalikan sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, dari segi misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Adapun menurut Milandari (2017: 88),

(27)

hysteron proteron merupakan suatu gaya bahasa yang dalam tulisan atau percakapan dalam menulis ataupun berbicara, ada kalanya membalikan sesuatu yang logis, seperti menempatkan pada awal peristiwa sesuatu yang sebenarnya terjadi kemudian. Misalnya:

Saudara-saudara, sudah lama terbukti bahwa anda sekalian tidak lebih baik sedikit pun dari para pesuruh, hal itu tampak dari anggapan yang berkembang akhir-akhir ini.

Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat berteduh dengan tenang.

Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya.

Bila ia sudah berhasil mendaki karang terjal itu, sampailah ia di tepi pantai yang luas dengan pasirnya yang putih.

Pada kalimat tersebut mengandung gaya bahasa histeron proteron di mana kata tersebut merupakan kebalikan dari sesuatu yang logis dari sesuatu yang wajar. Hal tersebut terbukti pada kalimat yang dicetak tebal.

13) Pleonasme dan Tautologi

Pleonasme dan tautologi adalah pemakaian kata-kata lebih daripada kata-kata yang diperlukan. Pleonasme adalah gaya bahasa yang pemakaian katanya mubadzir atau berlebihan dan sebenarnya tidak perlu digunakan. Pleonasme bisa disebut juga merupakan suatu penegasan terhadap suatu kata atau konsep yang sudah tegas dan jelas bagaimana intinya. Tautologi merupakan gaya bahasa yang dijadikan sebagai sarana retorika yang menyatakan hal keadaan dua kali; maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi para pembaca atau pendengar.

Menurut Keraf (2008: 115-136), pleonasme dan tautology merupakan suatu gaya bahasa yang menjadi acuan yang menggunakan sebagai kata-kata yang lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan suatu pikiran atau gagasan.

(28)

Adapun menurut Tarigan (2013: 88), hysteron proteron merupakan gaya bahasa yang dalam tulisan atau percakapan dalam menulis ataupun berbicara , ada kalanya membalikan sesuatu yang logis, seperti menempatkan pada awal peristiwa sesuatu yang sebenarnya terjadi kemudian Misalnya:

Saya telah mendengar hal itu dengan telinga saya sendiri.

Saya telah melihat kejadian dengan mata kepala saya sendiri.

Pada kalimat tersebut mengandung gaya bahasa pleonasme dan tautologi yang hal tersebut ditandai dengan kata “telinga saya sendiri” dan “mata kepala saya sendiri” pada kalimat di atas menggunakan kata-kata yang leboh banyak

untuk menegaskan suatu gagasan atau pikiran.

14) Perifrasis

Perifrasis merupakan gaya bahasa yang penggunaannya bisa digantikan dengan menggunakan satu kata saja dengan kata lain pemborosan kata pada perifrasis ini. Perifrasis adalah gaya bahasa yang penguraiannya atau penjelasannya yang panjang sebagai pengganti pengungkapan yang lebih pendek.

Misalnya sepatah kata diganti dengan serangkai kata yang sebenarnya mengandung kata yang sama dengan kata-kata yang diganti itu.

Menurut Keraf (2008: 115-136), perifrasis merupakan gaya bahasa yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. Perbedaannya terletak pada hal-hal bahwa kata-kata yang berkelebihan itu sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Adapun menurut Sudarsana (2007: 72), bahwa pleonasme adalah pemakaian kata yang mubazir (berlebihan), yang sebenarnya tidak perlu, sedangkan tautologi adalah kata yang berlebihan dan terdapat perulangan yang pada dasarnya terdapat sebuah kata yang lain. Misalnya:

(29)

Ia telah beristirahat dengan damai = (meninggal)

Pada ungkapan tersebut yang dicetak tebal mengandung gaya bahasa perifrasis yang mirip dengan pleonasme yang mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan.

15) Prolepsis atau antisipasi

Prolepsis atau antisipasi merupakan gaya bahasa yang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi. Misalnya, dalam melukiskan suatu kejadian kecelakaan pesawat terbang sebelum sampai pada suatu kecelakaan tersebut, penulis sudah mempergunakan kata pesawat yang sial itu. Padahal kesialan itu baru datang di depan itulah salah satu contoh dari gaya bahasa prolepsis atau antispasi.

Menurut Keraf (2008: 115-136), prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa yang mana orang mempergunakan terlebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa. Dalam mendeskripskan peristiwa kecelakaan dengan pesawat terbang, sebelum sampai dalam peristiwa kecelakaan itu sendiri, penulis sudah mempergunakan kata pesawat yang sial itu. Adapun menurut Tarigan (2013: 33), prolepsis atau antisipasi merupakan gaya bahasa yang terdapat penetapan yang mendahului tentang sesuatu yang masih dikerjakan akan terjadi.

Misalnya:

Almarhum Pardi pada waktu itu ia tidak mengenal orang itu.

Pada ungkapan tersebut menunjukkan adanya gaya bahasa prolepsis atau antisipasi yang mempergunakan terlebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa seperti “almarhum Pardi pada waktu itu”.

(30)

16) Erotesis

Erotesis merupakan suatu pertanyaan yang digunakan dalam suatu pidato dengan tujuan untuk mencapai suatu dampak yang lebih mendalam dan sama sekali tidak menghendaki suatu jawaban yang akan muncul. Menurut Keraf (2008:

115-136), erotosis atau retoris merupakan gaya bahasa yang semacam pertanyaan yang digunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang lebih wajar dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Adapun menurut Sudarsana (2007: 72), erotesis merupakan gaya bahasa yang mengandung pertanyaan yang jawabannya sudah ada didalam pertanyaan tersebut. Misalnya:

Terlalu banyak komisi dan perantara yang masing-masing menghendaki pula imbalan jasa.

Herankah saudara bila harga-harga itu terlalu tinggi?

Pada kalimat tersebut mengandung sebuah gaya bahasa erotesis yang semacam pertanyaan yang dilontarkan kepada para hadirin untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan wajar biasanya terjadi dalam suatu pidato hal tersebut terdapat pada ungkapan di atas yang dicetak tebal.

17) Silepsis dan Zeugma

Silepsis dan Zeugma adalah gaya bahasa yang di mana orang menggunakan suatu konstruksi untuk menghubungkan suatu kata dengan kata yang lain. Silepsis merupakan gaya bahasa penegasan berupa menggunakan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis. Silepsis menggunakan satu kata yang berfungsi lebih dari satu konstruksi sintaksis. Silepsis dapat ditemukan pada suatu prosa atau puisi.

Menurut Keraf (2008: 115-136), silepsis atau zeugma merupakan dua orang yang mempergunakan konsturksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata

(31)

dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalam silepsis konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik tidak benar. Adapun menurut Sudarsana (2007: 76), silepsis merupakan gaya bahasa penegasan yang berupa satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna yang berfungsi dalam lebih satu konstruksi sintaksis. Sedangkan zeugma gaya bahasa yang penggunaanya tidak logis dan tidak gramatikal untuk konstruksi sintaksis yang kedua sehingga menjadi kalimat yang rancu. Misalnya:

Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya Fungsi dan sikap bahasa

Dalam kata zeugma yang dipakai untuk membawahi dua kata berikutnya, sebenarnya hanya cocok untuk salah satu daripadanya (baik secara logis maupun gramataikal). Misalnya:

Dengan membelalakan matadan telinganya, ia mengusir orang itu.

18) Koreksio atau efanortosis

Koreksio atau efanortosis merupakan suatu gaya bahasa yang memperbaiki suatu pernyataan yang sebelumnya telah dikatakan dan bisa dipergunakan dalam suasana santai atau informal. Koreksio digunakan untuk berbagai jenis tulisan yang bernada informal, tidak serius, ringan, bermaksud menghibur, bahasa jurnalistik tidak melarang mempergunakan bahasa koreksio. Koreksio dipergunakan pula untuk memperbaiki pernyataan yang sebelumnya telah dianggap salah kemudian diperbaiki menggunakan pernyataan yang benar.

Menurut Keraf (2008: 115-136), koreksio atau efanortosis merupakan gaya bahasa yang berwujud, yang awalnya menegaskan sesuatu tetapi sebenarnya kemudian memperbaikinya. Adapun menurut Sudarsana (2007: 73), gaya bahasa

(32)

ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan dengan maksud yang sesungguhnya. Misalnya:

Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan. Sudah lima kali.

Pada ungkapan tersebut mengandung gaya bahasa koreksio atau efanortosis yang berupa sesuatu yang mula-mula ingin menegaskan sesuatu tetapi kemudian memperbaikinya seperti kalimat berikut ini “Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan. Sudah lima kali”.

19) Hiperbol

Hiperbol merupakan gaya bahasa yang mempergunakan kata yang terlalu berlebihan daripada fakta yang ada. Hiperbol adalah gaya bahasa yang mengandung kata yang berlebihan dengan memperbesar-besarkan sesuatu hal yang sebenarnya tidak besar sehingga terkesan berlebihan. Hiperbol melebih- lebihkan suatu jumlah, ukuran, atau sifat dari sesuatu dengan maksud untuk memberi penekanan terhadap suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, memberikan kesan untuk pengaruhnya.

Menurut Keraf (2008: 115-136), hiperbol merupakan gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal. Adapun menurut Sudarsana (2007: 73), hiperbol merupakan gaya bahasa yang terdapat pengungkapan yang melebihkan suatu kenyataan, sehingga kenyataan tersebut terkesan tidak masuk akal atau kurang logis. Misalnya:

Kemarahanku sudah menjadi-jadi, hingga hampir meledak aku.

Pada kalimat tersebut menunjukkan jika terdapat gaya bahasa hiperbol gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan seperti pada kalimat di atas.

(33)

20) Paradoks

Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan tuturan sebelumnya. Paradoks adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebetulnya bila sungguh-sungguh dipikir dan dirasakan. Paradoks dapat juga dikatakn sebagai sesuatu yang semuanya mengungkapkan suatu kebenaran.

Menurut Keraf (2008: 115-136), paradoks merupakan suatu gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga dikatakan bahwa semua hal yang menarik berarti itu adalah kebenaran. Adapun menurut Sulistyowati (2016: 13), gaya bahasa paradoks adalah gaya bahasa yang memuat suatu perlawanan yang memperlihatkan suatu fakta-fakta yang nyata terlihat.

Biasanya penggunaan gaya bahasa ini terdapat apabila ada kalimat pertama salah maka kalimat kedua biasanya menjadi benar. Misalnya:

Musuh sering merupakan kawan yang akrab.

Pada kalimat tersebut meunjukkan suatu pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Hal tersebut terbukti pada kalimat “musuh sering merupakan kawan yang akrab” pada kalimat tersebut mengandung kata yang menarik.

21) Oksimoron

Oksimoron adalah gaya bahasa yang memaparkan suatu kata atau kalimat yang serupa dengan paradoks sehingga mengandung kata yang berlawanan satu sama lain dalam sebuah frase. Gaya bahasa oksimnoron merupakan suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai suatu efek yang bertentangan. Dalam gaya bahasa oksimoron, mengandung pertentangan yang mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama, dan sebab itu sifatnyalebih padat dan tajam daripada paragraf.

(34)

Menurut Keraf (2008: 115-136), oksimoron merupakan salah satu gaya bahasa yang mengacu dalam upaya menggabungkan kata-kata untuk mencapai suatu dampak yang bertentangan. Adapun menurut Docrat dan Turorov dalam (Tarigan 2013: 63), oksimoron adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung penegasan atau pendirian suatu hubungan sintaksi baik koordinasi maupun determinasi antara dua antonym. Misalnya:

Keramah-tamahan yang bengis

Untuk menjadi yang manis seseorang harus menjadi kasar

Bukan menjadi rahasia umum dengan membisu seribu kata mereka sebenarnya berteriak-teriak agar diperlakukan adil

Pada kalimat tersebut mengandung gaya bahasa oksimoron di mana gaya bahasa tersebut mengacu pada upaya penggabungan kata-kata guna untuk mencapai suatu dampak yang bertentangan. Hal ini terdapat dalam kalimat di atas.

2.5 Fungsi Gaya Bahasa

Fungsi gaya bahasa pada tataran kalimat memberikan suatu pertentangan dua unsur yaitu untuk memperlihatkan perbedaan dari suatu arti pada gaya bahasa itu sendiri. Menurut Supriyanto (2009: 81), fungsi gaya bahasa pada tataran kalimat dapat diperoleh melalui oposisi kalimat panjang dan kalimat pendek. Kalimat panjang dan kalimat pendek yang memberikan pertentangan antar dua unsur bahasa untuk memperlihatkan perbedaan arti. Fungsi gaya bahasa dapat diperoleh melalui sifat bahasa itu sendiri, yaitu melalui keseluruhan relasi dan oposisi antara unsur-unsurnya. Adapun penjabaran enam fungsi sebagaimana yang diungkap oleh Jakobson dalam (Machali, 2009: 49-50) sebagai berikut.

(35)

2.5.1 Fungsi Ekspresif

Bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting dalam mobilitas sosial dan kehidupan manusia. Dalam peristiwa komunikasi, bahasa dapat menampilkan fungsi yang beragam. Salah satunya adalah fungsi ekspresif dari bahasa itu sendiri. Fungsi ekspresif merupakan bahasa yang didayagunakan untuk meluapkan atau menyampaikan suatu ekspresi si penutur kepada diri sendiri ataupun khalayak ramai. Hal demikian dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu. Fungsi bahasa ini biasanya digunakan untuk mengekspresikan suatu emosi, keinginan kebahagiaan, kesedihan, penyampaian pesan, dan lain-lain.

Fungsi ekspresif berorientasi pada pembicara atau penulis sebagai sumber penyampaian berita atau pesan. Dalam fungsi ini yang dipentingkan di sini adalah perasaan penutur, bukan respons penerima berita. Fungsi ini digunakan untuk menyatakan sebuah ekspresif atau emotif dari suatu ungkapan yang ditunjukkan kepada penutur, bagaimana cara pengungkapan langsung sikap penutur mengenai suatu hal yang sedang diungkapkan. Fungsi ekspresif merupakan fungsi yang berhubungan dengan peran bahasa untuk mengungkapkan berbagai perasaan.

Fungsi bahasa ini dapat juga digunakan untuk mengungkapkan berbagai perasaan, baik perasaan bersalah, benci, jengkel, tidak puas, dan lain sebagainya.

2.5.2 Fungsi Informatif

Fungsi informatif dapat diwujudkan dalam bentuk lisan dan tulisan. Dalam bentuk lisan seperti sebuah percakapan sedangkan bentuk tulisan seperti buku-buku.

Fungsi informatif adalah fungsi yang berkaitan dengan peran bahasa sebagai alat untuk menyatakan atau menginformasikan sesuatu. Fungsi ini merupakan fungsi kemasyarakatan yang paling umum yang dimiliki oleh bahasa. Apabila para penutur

(36)

bahasa gaul ingin menyampaikan atau bertukar informasi, bahasa slang dikatakan menjalankan fungsi informatifnya. Fungsi ini juga lebih memfokuskan kepada makna yang dipergunakan dalam menyampaikan atau menginformasikan sesuatu, misalnya melaporkan, menjelaskan dan menginformasikan sesuatu.

Fungsi informatif merupakan situasi eksternal dari sebuah ungkapan yang disampaikan dan berorientasi pada fakta suatu topik bahasan atau realita di luar bahasa itu sendiri, termasuk teks laporan tentang suatu gagasan atau teori tertentu.

Teks jenis ini biasanya menggunakan gaya bahasa kontemporer, nonregional, nonkelas. Jika dilihat dari segi bahasa terdapat empat jenis teks informatif; (1) gaya resmi dan tak beremosi, contoh makalah akademis yang dalam bahasa inggris, misalnya sering diwujudkan dalam kalimat-kalimat pasif, menggunakan kata kini, dan tanpa metafora, (2) gaya netral dan informal dengan menggunakan kata ganti saya atau kita (disebut eksposisi tak langsung) yaitu penulis terlibat dalam teks, (3) gaya informal dan ramah seperti dalam tulisan ilmiah populer.

Dalam tulisan ilmiah populer biasanya struktur gramatikal yang digunakan adalah bersifat sederhana, penggunaan kosakata yang luas tetapi sederhana untuk menunjang ilustrasi, serta ada penggunaan metafora tertentu, dan (4) gaya akrab non teknis populer, seperti dalam dunia jurnalistik, dan cirinya biasanya kalimatnya pendek-pendek, dan tanda bacanya tidak konvensional.

2.5.3 Fungsi Vokatif

Bahasa sebagai alat untuk mewujudkan pikiran tentang fakta dan realitas yang direpresentasikan dengan simbol bunyi bahasa. Setiap bahasa memiliki beragam fungsi bahasa yang salah satunya adalah fungsi vokatif yang terkandung dalam bahasa. Fungsi vokatif adalah fungsi yang menjadi pusat perhatiannya

(37)

dalam teks jenis vokatif yakni khalayak pembaca atau penerima berita. Istilah vokatif maksudnya adalah mengajak atau menghimbau penerima berita untuk bertindak, berpikir, merasa atau mereaksi seperti yang dimaksudkan dalam teks ataupun dalam tuturan yang dilontarkan oleh penutur. Contoh teks jenis vokatif adalah tulisan persuasif (misalnya, permohonan, thesis), propaganda, pengumuman, dan teks instruksional.

Faktor utama dalam teks vokatif adalah terjalinnya hubungan antara penulis atau penyampai berita dan khalayak penerima berita. Hubungan ini diwujudkan dalam berbagai struktur gramatikal sebagai penggambaran hubungan sosial dan personal (nuansa makna interpersonal). Misalnya, penggunaan kata anda atau kamu, kalimat pasif, gelar, kalimat perintah yang menunjukkan suatu faktor-faktor sosial antara penyampai dan penerima berita (umur, solidaritas, hierarki, dan lain sebagainya). Faktor penting lainnya adalah bahwa teks semacam ini harus mudah terbaca oleh khalayak pembaca.

2.5.4 Fungsi Estetik

Sejumlah fungsi bahasa yang mendukung dokumentasi peradaban manusia.

Dalam literatur linguistik mengenal berbagai fungsi bahasa dengan istilah yang kadang berbeda. Namun, intinya sama bahwa bahasa mendokumentasikan peradaban.

Salah satu fungsi bahasa tersebut adalah fungsi estetik yang terdapat dalam bahasa.

Fungsi estetis berarti bahasa berfungsi sebagai media yang indah untuk menyapaikan suatu peran. Namun fungsi estetis dapat pula diwujudkan dalam bentuk lain.

Fungsi estetik tujuan utamanya dalam teks yang berfungsi estetika adalah untuk memberikan rasa puas atau rasa senang, baik melalui irama (misalnya bersajak) maupun metafora, dalam hal ini, efek bunyi dapat beruap aliterasi,

(38)

asonansi, rima, penekanan, dan lain- lain. Sedangkan metafora dipakai untuk menghubungkan antara fungsi ekspresif dan estetik, yaitu penggambaran metafora yang merangsang keempat atau kelima indera kita. Misalnya, penggambaran perangsang indera pencium; wanginya mawar, amisnya ikan, indera perasa asin.

2.5.5 Fungsi Fatis

Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Proses komunikasi dapat terjadi apabila penerima pesan mampu memahami apa yang dimaksudkan oleh penerima pesan. Salah satu fungsi bahasa tersebut adalah fungsi fatis dalam bahasa. Fatis adalah kategori kata yang hanya memiliki fungsi sosial dan tidak memiliki fungsi penyampaian informasi. Fatis adalah kelas kata yang bertugas untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan sebuah komunikasi antara pembicara dengan pendengar. Bentuk fatis dapat dijumpai di awal, tengah, maupun di akhir kalimat. Bentuk ini tidak dapat dimasukkan ke dalam kelas kata interjeksi karena interjeksi bersifat emotif sedangkan fatis bersifat komunikatif.

Fungsi fatis biasanya dipakai sebagai alat kontak dan keakraban di antara pemakai bahasa. Dalam bahasa inggris misalnya, kita mendengar ungkapan fatis, misal “Have a good weekend” atau “Selamat berakhir pekan”, “Isn’t it hot today”,atau “Aduh, panas sekali (udaranya) hari ini‟. Bentuk fatis biasanya terdapat dalam bahasa lisan yang umumnya merupakan raga non-standar. Fungsi fatis bahasa jika penekanan komunikasi lebih diarahkan pada bagaimana sebuah komunikasi dibangun. Fungsi bahasa ini muncul ketika pengirim ingin memulai komunikasi, menjaga alur komunikasi dan juga untuk memutuskan komunikasi.

(39)

2.5.6 Fungsi Metalingual

Bahasa digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Biasanya bahasa digunakan untuk membicarakan masalah lain seperti eknomi, pengetahuan dan lain- lain. Tetapi dalam fungsinya di sini bahasa digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa di mana kaidah-kaidah bahasa dijelaskan dengan bahasa. Jika dilihat dari segi kode yang digunakan dalam bahasa, maka bahasa berfungsi metalingual atau metalinguistik.

Fungsi metalingual adalah penggunaan bahasa untuk kepentingan bahasa itu sendiri, misalnya bahasa dipergunakan untuk menjelaskan, mendefinisikan, atau menamai.

Bahasa adalah sebuah ujaran yang digunakan untuk saling berkomunikasi antara seseorang dengan orang lain. Sejumlah fungsi bahasa yang mendukung peradaban manusia yang salah satunya adalah fungsi metalingual atau metalinguistik. Fungsi metalingual adalah suatu ungkapan yang memberikan sebuah informasi bagaimana ungkapan yang dihasilkan yang berhubungan dengan kode yang dihasilkan melalui bahasa, baik penutur maupun mitra tutur dalam membicarakan atau menjelaskan bahasa itu sendiri.

2.6 Kajian Stilistika

Stile adalah cara pengucapan bahasa yang digunakan oleh pengarang atau penutur dalam mengungkapkan sesuatu yang akan diungkapkan. Stile pada penulisan sastra ditulis dengan tujuan untuk mendapatkan suatu keindahan yang lebih mendominasi. Stilistika sering kali memperlihatkan persamaan dengan retorika tetapi tanpa memperhatikan aspek normatifnya. Stilistik, ilmu gaya bahasa juga diberi definisi beragam tetapi pada prinsipnya selalu meneliti dengan menggunakan bahasa yang khas dari seorang penulis Wicaksono (2014: 07).

(40)

Nurgiyantoro (2017:74) berpendapat bahwa stilistika berkaitan dengan stile.

Bidang garapan stilistika adalah stile bahasa yang dipakai dalam konteks tertentu, dalam ragam tertentu. Kata style diadaptasikan menjadi stile atau gaya bahasa, istilah stylistic juga dapat diperlakuakn sama, yaitu diadaptasi menjadi „stilistika‟.

istilah stilistika juga lebih singkat dan efisien dari pada terjemahannya yang kajian „gaya bahasa‟ atau „kajian stile‟. kajian stilistika bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa serta bagaimana pengarang menggunakan tand-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus.

Ni‟mah (2008: 20), berpendapat bahwa stilistika merupakan salah satu cabang ilmu linguistik. Stilistika adalah kajian yang menghubungkan lingustik dengan sastra. Stilistika berfungsi sebagai mediator yang menghubungkan linguistik dengan sejarah, sastra atau berfungsi sebagai mediator yang menghubungkan linguistik dengan kritik sastra. Stilistika dapat menguak aspek- aspek keindahan teks dengan berusaha memahami dan menganalisis unsur-unsur.

Selain itu, stilistika juga berperan dalam memperlihatkan pemikiran penulis, makna kata, dan konteks suatu teks.

Stilistika merupakan suatu pendekatan yang lebih memfokuskan terhadap analisis gaya bahasa. Kajian mengenai gaya bahasa dapat mencakup gaya bahasa lisan namun cenderung merupakan kajian terhadap bahasa tulis yang salah satunya ada pada karya sastra. Stilistika mencoba untuk memahami apa alasan si penulis lebih cenderung lebih menggunakan kata-kata atau ungkapan tertentu.

Ada kalanya stilistika digunakan untuk maksud yang lebih luas seperti menandai gaya bahasa berdasarkan bahasa regional maupun variasi bahasa sosial (Kushartanti dan Yuwono, 2007:232).

(41)

Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa stilistika merupakan cabang ilmu linguistik. Stilistika merupakan suatu pendekatan yang menghubungkan antara linguistik dengan bahasa. Kajian stilistika lebih memfokuskan terhadap analisis gaya bahasa. Tetapi stilistika tidak melulu mengenai tentang analisis gaya bahasa melainkan digunakan untuk sesuatu yang lebih luas dengan cara menandai gaya bahasa tersebut berdasarkan hierarkinya.

2.6.1 Tujuan Kajian Stilistika

Kajian stilistika hakikatnya sebagai pendekatan analisis bahasa dan bisa menentukan seberapa jauh seeorang pengarang mengeksplorasi bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus dalam sebuah gaya bahasa, Menurut Sudjiman (1995: 56).mengatakan bahwa tujuan dari analisis stilistika menemukan kiat pengarang dalam memanfaatkan kemungkinan yang tersedia dalam bahasa sebagai sarana pengungkapan makna dan efek estetik bahasa .

Nurgiyantoro (2017: 100) berpendapat bahwa tujuan kajian stilistika adalah menemukan dan menjelaskan ketepatan bentuk-bentuk bahasa baik secara estetis maupun efektivitasnya sebagai sarana komunikasi, intinya tujuan stilistika adalah menemukan fungsi estetis penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang berupa teks, ataupun dari segi gaya bahasa yang terdapat dalam sebuah teks.

Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan kajian stilistika digunakan sebagai pendekatan dalam menganalisis bahasa pengarang dan kemudian bagaimana seorang pengarang membuat bahasa dari karyanya terlihat menarik, serta mampu memahami dari gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang dan mampu memahami sebuah bentuk bahasa daalam sebuah komunikasi lisan maupun teks.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia dalam Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam (2006), pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi

Dashboard adalah sebuah tampilan visual dari informasi terpenting yang dibutuhkan untuk mencapai satu atau lebih tujuan, digabungkan dan diatur pada sebuah layar,

banyak dipengaruhi oleh pengalaman panjang yang telah dilaluinya.. 9 Disamping itu, kemampuan sosial guru, khususnya dalam berinteraksi dengan peserta didik merupakan suatu hal

Saat AC sedang dalam keadaan mati, bukalah jendela agar udara segar dan cahaya matahari dapat menembus ruangan; (2) kurangi menyemprot pewangi ruangan yang mengandung

Syariah Rupiah Managed Fund adalah dana investasi jangka menengah dan panjang yang bertujuan untuk mendapatkan hasil investasi yang optimal melalui penempatan dana dalam mata uang

Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan, informasi dari hasil wawancara yang dilakukan bersama dengan narasumber serta hasil dokemntasi yang berupa puisi yang

menunjukkan bahwa agresi pada anak dapat terbentuk karena setiap hari anak sering melihat dan menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga baik secara langsung atau

Penentuan mata kuliah dalam Kartu Rencana Studi (KRS) untuk memenuhi jumlah kredit yang akan diambil pada awal setiap semester dilakukan oleh mahasiswa denganper