• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Proses Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Analisis Proses Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Proses Eksekusi Jaminan Fidusia

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019

YB Gurki1 & Farhandhika Jayaputra2 Robertus & Associates Law Office Plaza Aminta Building 9th floor, Suite 904 Jl. TB Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan, Indonesia.

e-mail: [email protected] & [email protected]

Isu / Permasalahan

Kegiatan perekonomian di Indonesia mengalami fluktuasi beberapa tahun terakhir.3 Perusahaan pembiayaan yang masuk dalam kategori Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (LJKNB) mencatat transaksi yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan yang ada di Indonesia mencapai Rp 350 trilliun.4 Ini merupakan kontribusi yang sangat baik untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia, namun dengan situasi dan kondisi dewasa ini yang tidak mendukung bagi pertumbuhan perekonomian membuat kegiatan usaha dari perusahaan pembiayaan menjadi sulit.

Sejak keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 tentang pengujian Undang-Undang Fidusia, perusahaan-perusahaan pembiayaan berada di posisi yang sulit, karena opini dan interpretasi yang terbentuk terhadap putusan MK a quo mengatakan bahwa putusan tersebut tidak memungkinkan atau melarang dilakukannya eksekusi terhadap objek Jaminan Fidusia. Interpretasi Putusan MK di atas membatasi kemampuan perusahaan pembiayaan untuk melakukan collection terhadap kredit-kredit yang terhambat pembayarannya. Terbatasnya pelaksanaan kemampuan perusahaan pembiayaan untuk melakukan collection akan menempatkan perusahaan pembiayaan di Indonesia pada posisi yang sulit, karena roda penggerak utama dari perusahaan pembiayaan adalah collectability (kolektabilitas) dari kredit-kredit yang dimilikinya, maka situasi tidak dapatnya dilakukan collection akan melumpuhkan perusahaan pembiayaan.

Hingga saat ini, terdapat 190 perusahaan pembiayaan di Indonesia yang terdaftar di APPI.5 Terhambatnya collection pada perusahaan pembiayaan tidak hanya akan berdampak pada likuiditas perusahaan pembiayaan tersebut, melainkan dapat memberikan dampak yang lebih luas, baik terhadap karyawan atau pegawai dari perusahaan pembiayaan tersebut maupun perusahaan lain yang berhubungan, mengingat proses eksekusi juga melibatkan perusahaan lain sebagai pihak ke-3 yang telah memenuhi syarat yang diberikan oleh Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), seperti sertifikasi untuk melakukan collection.

1 Associate of Robertus & Associates Law Office

2 Associate of Robertus & Associates Law Office

3 Agatha Olivia Victoria, "Makin Melambat, Ekonomi RI Kuartal IV 2019 Hanya Tumbuh 4,97%", katadata, 5 Februari 2020, <https://katadata.co.id/berita/2020/02/05/makin-melambat-ekonomi-ri-kuartal-iv-2019-hanya- tumbuh-497>, diakses pada tanggal 13 Mei 2020 pukul 09.45 WIB.

4 Peni Widarti, “Multifinance Day, Industri Pembiayaan Diharapkan Tumbuh 5 persen”, bisnis.com, 9 Oktober 2019, <https://surabaya.bisnis.com/read/20191009/532/1157252/multifinance-day-industri-pembiayaan-diharapkan- tumbuh-5-persen>, diakses pada 13 Mei 2020 pukul 09.55 WIB.

5 Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, < ifsa.or.id/id/members >

(2)

Analisis

Untuk menjawab isu/permasalahan yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, kami akan memberikan analisis hukum perihal eksekusi objek Jaminan Fidusia yang dibagi ke dalam poin-poin sebagai berikut:

1. Sebelum Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.6 Penguasaan benda yang tetap pada pemiliknya membuat Jaminan Fidusia banyak digunakan bagi orang-orang yang membutuhkan dana tanpa perlu melakukan gadai atas barang bergerak yang dimilikinya, sehingga kreditur (pemberi dana) akan memperoleh Sertifikat Jaminan Fidusia atas barang bergerak yang dijaminkan, sedangkan penguasaan barang tersebut tetap pada pemiliknya.7

Begitu pula dalam perjanjian yang dilakukan perusahaan pembiayaan, penggunaan Jaminan Fidusia ini sangat sering digunakan untuk menyalurkan dana kepada individu yang membutuhkan, dengan tetap menjamin kepastian hukum bagi perusahaan pembiayaan. Sebagai contoh, tuan A ingin membeli mobil, namun dana tuan A tidak mencukupi. Untuk itu, tuan A ingin mengajukan permohonan pinjaman dana dari perusahaan pembiayaan, namun tidak memiliki barang yang dapat dijadikan objek jaminan kepada pihak perusahaan pembiayaan. Maka tuan A dapat mengajukan pinjaman dengan menjaminkan mobil yang akan dibelinya itu dengan Jaminan Fidusia kepada perusahaan pembiayaan. Dalam hal ini, tuan A (debitur) akan bertindak sebagai Pemberi Fidusia dan perusahaan pembiayaan (kreditur) sebagai Penerima Fidusia. Dengan mekanisme ini, kreditur memperoleh kepastian hukum jika tuan A tidak mampu menyelesaikan kewajibannya dengan Sertifikat Jaminan Fidusia, dan tuan A tetap dapat menggunakan mobil yang dibelinya.

Dalam hal debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya, Penerima Fidusia dapat melakukan penjualan terhadap objek Jaminan Fidusia. Penjualan objek Jaminan Fidusia tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia), yaitu:

Pasal 15 ayat (3) : Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri

Pasal 29 ayat (1) : Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara :

a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia

Frasa “eksekutorial” yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf a di atas mengacu pada tindakan eksekusi yang ada dalam ranah sistem peradilan Indonesia.

6 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

7 Purwahid Patrik dan Kashadi, 2009, “Hukum Jaminan”, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm.

173.

(3)

Istilah yang digunakan oleh Prof. Subekti sebagai kata ganti dari eksekusi adalah

“pelaksanaan” putusan.8 Hampir semua penulis menggunakan istilah “pelaksanaan”

putusan sebagai kata ganti eksekusi (atau dalam bahasa Belanda: executie). Ini sesuai dengan ketentuan Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR, bahwa pengertian eksekusi sama dengan tindakan “menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonnissen), tiada lain bermaksud menjalankan atau melaksanakan putusan pengadilan “secara paksa”.9 Secara sederhana, eksekusi adalah upaya paksa yang dilakukan negara sebagai tindak lanjut dari putusan pengadilan yang “tidak dilakukan secara sukarela” oleh pihak yang berperkara di pengadilan.

Pada setiap sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata atau irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang membuat sertifikat Jaminan Fidusia sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan memiliki kekuatan eksekutorial. Ini telah sesuai dengan ketentuan UU Jaminan Fidusia yang mengatakan:

Pasal 15 ayat (1) : Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

Pasal 15 ayat (2) : Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ketentuan-ketentuan di atas jelas mengatur mengenai kewenangan yang dimiliki oleh Penerima Fidusia jika terjadi keadaan dimana Pemberi Fidusia tidak mampu memenuhi kewajibannya. Selanjutnya Pasal 30 UU Jaminan Fidusia mengatakan:

Pasal 30 : Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia.

Jadi penyerahan objek Jaminan Fidusia oleh Pemberi Fidusia kepada Penerima Fidusia dalam rangka melakukan eksekusi untuk memenuhi kewajiban Pemberi Fidusia adalah suatu kewajiban (mandatory), namun dalam praktiknya tidak jarang ditemui Pemberi Fidusia yang tidak mau menyerahkan objek Jaminan Fidusia atau istilah yang digunakan dalam Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 “tidak secara sukarela” menyerahkan benda tersebut. Dalam keadaan seperti ini, Penerima Fidusia akan meminta Pemberi Fidusia untuk memenuhi kewajibannya (membayar utangnya) melalui mekanisme desk collection (menghubungi Pemberi Fidusia via telepon), lalu melakukan field collection (menjumpai Pemberi Fidusia / bertemu secara langsung), dan jika Pemberi Fidusia tetap tidak secara sukarela menyerahkan objek jaminan maka dalam hal ini Penerima Fidusia menggunakan pihak ke-3 yang memiliki sertifikasi APPI untuk melakukan collection terhadap kewajiban Pemberi Fidusia.

8 Subekti, “Hukum Acara Perdata”, (Jakarta: BPHN,1977), hlm 128;dalam M Yahya Harahap, “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, 2019, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 6

9 M Yahya Harahap, “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata”, Loc cit.

(4)

Seperti telah disebutkan di atas, pada praktiknya dapat dijumpai debitur-debitur yang tidak secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusianya.

Untuk hal tersebut, penjelasan Pasal 30 UU Jaminan Fidusia mengatakan:

Penjelasan Pasal 30 : Dalam hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang.

Ketentuan tersebut dalam UU Jaminan Fidusia menyebabkan Kapolri mengeluarkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia (Perkap No. 8/2011).

2. Setelah Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019

Putusan MK a quo mengadili permohonan pengujian Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia, yang mengatakan:

Pasal 15 ayat (2): “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan hukum eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”

Pasal 15 ayat (3): “Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri”

Amar Putusan Majelis Hakim pada halaman 125 dan 126 mengatakan antara lain sebagai berikut, dalam poin (2), (3), dan (4):

2. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahnun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap Jaminan Fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi Jaminan Fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;

3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahnun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh

(5)

kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.

4. Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahnun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap Jaminan Fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi Jaminan Fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

Jika dilihat, Putusan a quo seakan-akan melucuti kepastian hukum yang diberikan UU Jaminan Fidusia kepada kreditur / Penerima Fidusia, namun dapat kita amati bahwa MK memberikan status seimbang antara Pemberi dan Penerima Fidusia dalam hal kepastian hukum. Putusan MK a quo memutus bahwa kemampuan eksekusi langsung (tanpa penetapan pengadilan) tetap mungkin dilakukan oleh Penerima Fidusia, dengan syarat tentang klausul “cidera janji” tidak ditentukan sepihak oleh kreditur maupun debitur, melainkan melalui kesepakatan antar keduanya.

Sesuai dengan syarat “harus adanya kesepakatan mengenai klausul “cidera janji”

antar dua belah pihak”, maka pelaksanaan eksekusi objek Jaminan Fidusia yang perjanjiannya dilakukan setelah adanya Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Memenuhi Syarat : Pelaksanaan langsung seperti diatur pada Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Jaminan Fidusia

b. Tidak memenuhi syarat dan debitur tidak sukarela menyerahkan

: Pelaksanaan eksekusi disamakan dengan eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (meminta penetapan pengadilan)

Jadi dapat dimengerti bahwa Putusan MK a quo tidak menghalangi maupun mengurangi hak kreditur untuk melakukan eksekusi terhadap objek Jaminan Fidusia, namun hanya memberikan kedudukan seimbang antara kreditur dan debitur dalam hal pelaksanaan eksekusi objek jaminan. Jadi, jika perjanjian kredit memuat syarat tersebut di atas, maka Penerima Fidusia tetap berwenang untuk melakukan eksekusi langsung terhadap objek Jaminan Fidusia walaupun debitur tidak sukarela memberikan. Ini sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan a quo,11 yang bertujuan untuk

11 Putusan No. 18/PUU-XVII/2019, poin 3.14, hlm. 118

(6)

memberikan perlindungan kepastian hukum bagi debitur (Pemberi Fidusia) dan kreditur (Penerima Fidusia).

Pertanyaan selanjutnya yang menarik untuk dibahas adalah bagaimana dengan eksekusi terhadap Jaminan Fidusia yang perjanjian pokok atau perjanjian kreditnya dilakukan sebelum adanya Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 ?

Dalam proses beracara pengujian materi (judicial review) terhadap Undang- Undang atau peraturan lain di bawahnya, terdapat dua asas utama, yaitu asas erga omnes dan asas praduga rechtmatig atau asas praduga keabsahan. Asas erga omnes (secara harafiah: “untuk semua”) membuat putusan hasil uji materi atau judicial review tidak hanya berlaku bagi pihak yang mengajukan permohonan judicial review tersebut (pemohon judicial review), namun bagi semua atau umum.12 Asas praduga rechtmatig atau praduga keabsahan mengatakan bahwa suatu ketentuan dianggap sah sampai ada putusan pengadilan (dalam hal ini Mahkamah Konstitusi)13 yang mengatakan sebaliknya.14 Selanjutnya, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK No. 6/2005) mengatur tentang keberlakuan putusan MK:

Pasal 47 UU MK : Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum

Pasal 58 UU MK : Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 38 PMK 6/2005 : UU yang diuji oleh Mahkamah tetap berlaku, sebelum ada

putusan yang menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 39 PMK 6/2005 : Putusan Mahkamah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum

Berdasarkan peraturan tersebut di atas, putusan MK tidak mempunyai kekuatan hukum jika tidak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Adapun jika Majelis Hakim telah menjatuhkan putusan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim, putusan tersebut

12 Tim Pengkajian Konstitusi tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang-undangan, “Pengkajian Konstitusi tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang-undangan”, 2014, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta, hlm. 93.

13 Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) huruf b & Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan uji materi terhadap kesesuaian suatu Undang- Undang terhadap UUD NRI 1945, dan Mahkamah Agung memiliki kewenangan melakukan uji materi kesesuaian suatu peraturan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Jadi tidak hanya Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan uji materi atau judicial review terhadap suatu peraturan perundang- undangan, dan baik di MK maupun MA berlaku kedua asas tersebut.

14 Tim Pengkajian Konstitusi tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang-undangan, “Pengkajian Konstitusi tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang-undangan”, Op cit, hlm. 95.

(7)

tetap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat selama belum diucapkan pada sidang pleno yang terbuka untuk umum.15 Undang-Undang yang sedang diuji oleh MK juga tetap berlaku sebelum ada putusan MK yang mengatakan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945.16 Kedua peraturan ini sejalan dengan asas praduga rechtmatig atau asas praduga keabsahan, yang menganggap suatu ketentuan tetap berlaku hingga ada putusan pengadilan yang mengatakan sebaliknya.

Asas praduga rechtmatig tersebut berhubungan dengan kepentingan umum yang lebih besar, yang bukan hanya menyangkut pihak yang berperkara, melainkan berlaku untuk umum (erga omnes). Berbeda dengan perkara pengujian Undang-Undang, pengujian terhadap suatu keputusan (beschikking) hanya mengandung kepentingan pihak yang bersangkutan. Pengujian surat keputusan memiliki syarat bahwa keputusan yang diujikan harus bersifat konkrit, individual, dan final, artinya relasi dan akibat hukum yang ditimbulkan oleh putusan itu hanya terjadi antara pembuat keputusan dan subjek hukum yang ditujukan oleh putusan tersebut. Syarat tersebut menunjukkan bahwa tujuan pengujian ini adalah untuk merehabilitasi hak-hak korban secara spesifik sebagai individu yang terkena dampak keputusan pejabat yang bertentangan dengan hukum, sehingga putusan yang bersifat ex tunc atau mengembalikan keadaan semula dapat dilaksanakan.

Putusan pengadilan dalam perkara pengujian materi Undang-Undang atau judicial review berlaku bagi umum (tidak hanya pihak pemohon judicial review), sehingga keadaan hukum baru yang lahir dari putusan MK memiliki implikasi pada kepentingan banyak orang. Dalam hal ini, jika keadaan hukum ini diterapkan bagi peristiwa yang terjadi sebelum adanya putusan (sifat ex tunc), maka akan menjadi sangat tidak efektif pada praktiknya. Maka dari itu berlaku asas praduga rechtmatig atau asas praduga keabsahan atas Undang-Undang yang diuji dan akibat hukum yang timbul dari padanya,17 jadi keberlakuan putusan perkara judicial review tidak mengubah keadaan hukum yang timbul sebelum adanya putusan tersebut, melainkan bersifat ex nunc (secara harafiah: “mulai sekarang”) yang berarti berlaku ke depan (prospektif).

Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 mengenai uji materi Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia tidak hanya berlaku bagi pihak yang mengajukan permohonan uji materi tersebut, melainkan berlaku bagi semua (erga omnes), sehingga terhadap akibat hukum yang timbul dari pasal tersebut juga berlaku bagi semua atau umum. Maka dari itu, perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia dan eksekusi objek Jaminan Fidusia yang selama ini mengacu pada ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia tidak serta merta menjadi tidak berlaku, melainkan tetap berlaku hingga ada putusan pengadilan yang mengatakan sebaliknya. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi membacakan putusan a quo pada sidang pleno yang terbuka untuk umum pada tanggal 6 Januari 2020, sehingga ketentuan pada Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia berikut dengan akibat hukum yang timbul dari ketentuan tersebut tetap berlaku bagi perjanjian kredit (sebagai akibat hukum dari UU Jaminan Fidusia) yang dilakukan sebelum tanggal 6 Januari 2020.20

15 Pasal 47 UU MK & Pasal 39 PMK No. 6/2005

16 Pasal 58 UUMK & Pasal 38 PMK No. 6/2005

17 Tim Pengkajian Konstitusi tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang-undangan, “Pengkajian Konstitusi tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang-undangan”, Op cit, hlm. 97.

20 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, Op cit, hlm. 97

(8)

Sesuai dengan pembahasan sebelumnya, perlu dijelaskan bahwa pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia yang diatur dalam Pasal 30 UU Jaminan Fidusia melahirkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. Dalam pasal 6 Perkap No 8 Tahun 2011 diatur tentang persyaratan pengamanan eksekusi objek Jaminan Fidusia, yang bunyinya:

“pengamanan terhadap objek Jaminan Fidusia dapat dilaksanakan dengan persyaratan:

a. ada permintaan dari pemohon;

b. memiliki akta Jaminan Fidusia;

c. Jaminan Fidusia terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia;

d. memiliki sertifikat Jaminan Fidusia; dan

e. Jaminan Fidusia berada di wilayah negara Indonesia.”

Selanjutnya dalam pasal 8 Perkap No 8 Tahun 2011 juga dijelaskan lebih lanjut mengenai syarat yang perlu dilampirkan dalam permohonan, yang bunyinya sebagai berikut:

“permohonan pengamanan eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diajukan dengan melampirkan:

a. salinan akta Jaminan Fidusia;

b. salinan sertifikat Jaminan Fidusia;

c. surat peringatan kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya;

d. identitas pelaksana eksekusi; dan e. surat tugas pelaksanaan eksekusi.”

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa putusan MK a quo menghasilkan syarat bagi berlakunya titel eksekutorial dalam sertifikat Jaminan Fidusia, dimana syarat tersebut juga akan mempengaruhi proses eksekusi objek Jaminan Fidusia dari perjanjian-perjanjian yang akan timbul dikemudian hari. Proses eksekusi objek Jaminan Fidusia yang terdapat perjanjian mengenai “cidera janji” dapat dilakukan dengan melaksanakan titel eksekutorial, yang dilakukan dengan meminta pengamanan dengan melampirkan syarat- syarat tersebut di atas (Pasal 6 dan 8 Perkap No. 8 Tahun 2011), namun untuk perjanjian pokok yang tidak mencantumkan klausul “cidera janji” harus dilaksanakan sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan berlakunya Putusan MK a quo, timbul pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan Perkap No. 8 Tahun 2011 ini:

1. Apakah pelaksanaan titel eksekutorial (dilakukan oleh kekuasaan kreditur sendiri) yang tidak mencantumkan klausul “cidera janji” dalam perjanjian pokoknya tetap dapat dilakukan jika telah memenuhi syarat seperti tersebut pada Pasal 6 dan 8 Perkap No. 8 Tahun 2011?

2. Apakah Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2011 ini masih relevan setelah berlakunya Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 jika klausul “cidera janji”

tidak diperjanjikan?

3. Eksekusi Fidusia pada saat Pandemi Covid-19

Pada tanggal 24 Maret 2020, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya mengenai penanganan wabah covid-19 di Indonesia, menyatakan “kepada para pelaku umkm, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) akan memberikan relaksasi kredit Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), bagi nilai kredit di bawah Rp 10 miliar untuk tujuan usaha baik itu kredit yang diberikan oleh perusahaan perbankan ataupun industri keuangan non-bank

(9)

asalkan digunakan untuk usaha akan diberikan penurunan bunga dan penundaan cicilan selama satu tahun. Oleh karena itu, kepada tukang ojek, supir taksi yang sedang kredit kendaraan bermotor dan kredit mobil, nelayan yang sedang kredit perahu tidak perlu khawatir pembayaran bunga dan angsuran diberikan kelonggaran satu tahun, dan pihak perbankan maupun industri keuangan non-bank dilarang mengejar-ngejar angsuran, apalagi menggunakan jasa penagihan atau debt collector, itu dilarang dan saya minta kepolisian mencatat hal ini.”

Pidato Bapak Jokowi langsung ditanggapi dengan cepat oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan), OJK melalui juru bicaranya pada tanggal 28 Maret 2020 menuturkan pihaknya masih berdialog dengan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) untuk merumuskan penerapan rencana pemberian penangguhan cicilan kredit atas usaha yang terdampak pandemi virus corona seperti diusulkan Presiden Joko Widodo.22 Pada tanggal 14 April 2020, OJK mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Republik Indonesia Nomor 14/POJK.05/2020 Tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.

POJK No. 14/POJK.05/2020 Tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank pada intinya mengatur penerapan melakukan restrukturisasi kredit dan penilaian kualitas aset para debitur selama masa Covid-19, namun dalam POJK tersebut mengenai pelarangan pengejaran angsuran dan penggunaan jasa penagihan (debt collector) sesuai pesan Bapak Presiden RI dalam pidatonya tidak diatur, dan juga sampai dipublikasikannya tulisan ini tidak ada peraturan khusus yang mengatur hal-hal tersebut.

Di Indonesia kita menganut asas Legalitas, dimana asas ini juga sudah tertuang dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia yaitu dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Isi dari asas Legalitas tersebut adalah tidak dapat dipidananya suatu perbuatan, kecuali berdasarkan ketentun peraturan perundang-undangan yang telah ada. Selanjutnya, dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dijelaskan:

“Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Pertauran Perundang-undangan”

Dari uraian yang telah kami sampaikan maka, apakah larangan penggunaan jasa penagihan (debt collector) sesuai pesan Bapak Presiden RI dapat dilaksanakan oleh pihak- pihak yang berwenang?

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam suatu perjanjian harus dilakukannya hak dan kewajiban dari dua belah pihak, dalam kaca mata hukum juga telah diatur pada Pasal 4 sampai Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a diatur mengenai hak Pelaku Usaha (Kreditur) yang isinya:

22 CNN Indonesia, “OJK Masih Kaji Penangguhan Cicilan Kredit Usulan Jokowi”, cnnindonesia.com, 28 Maret 2020, < https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200328190858-92-487861/ojk-masih-kaji-penangguhan-cicilan- kredit-usulan-jokowi>, diakses pada 18 Mei 2020

(10)

“a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan”

Dalam ketentuan tersebut jelas ketika kreditur melakukan eksekusi atau penarikan objek Jaminan Fidusia merupakan perbuatan untuk memenuhi hak yang salah satunya diatur dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut.

Kesimpulan

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 tidak membatalkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia, namun hanya memberikan batasan pada implementasi ketentuan yang ada di dalamnya. Pembatasan tersebut terletak pada kewajiban memperjanjikan klausul “cidera janji”, yang membuat titel eksekutorial dalam sertifikat Jaminan Fidusia menjadi dapat dilaksanakan.

Timbulnya syarat sebagaimana disebutkan di atas membuat pelaksanaan eksekusi objek Jaminan Fidusia terbagi menjadi dua yaitu, bagi perjanjian kredit yang memenuhi syarat perjanjian seperti tertera dalam amar putusan, dan yang tidak memenuhi syarat. Perjanjian fidusia harus memuat klausul “cidera janji” di dalamnya, sehingga tentang tindakan-tindakan yang masuk kategori “cidera janji” tidak ditentukan secara sepihak, melainkan diperjanjikan oleh kreditur dan debitur. Dampak hukum yang diberikan oleh diperjanjikannya klausul “cidera janji” adalah sertifikat Jaminan Fidusia dari perjanjian pokok menjadi memiliki sifat eksekutorial dan sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia. Sedangkan bagi perjanjian-perjanjian yang tidak mencantumkan atau memperjanjikan klausul “cidera janji” dalam perjanjiannya, tidak memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga jika debitur tidak menyerahkan barang secara sukarela, kreditur harus meminta penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri.

Bagi perjanjian-perjanjian fidusia yang dilakukan sebelum dikeluarkannya Putusan MK a quo, eksekusi terhadap objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan menjalankan titel eksekutorial seperti tertera pada sertifikat Jaminan Fidusia walaupun tidak ada kesepakatan mengenai “cidera janji”, karena putusan MK bersifat ex nunc (mulai sekarang ke depan / prospektif) dan tidak berlaku surut atau non-retroaktif. Jadi putusan MK a quo mulai berlaku sejak diucapkannya dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum, yaitu pada tanggal 6 Januari 2020, sedangkan sebelum putusan a quo berlaku asas praduga rechtmatig atau praduga keabsahan, yang menganggap ketentuan di UU Fidusia dan akibat hukum yang timbul dari ketentuan tersebut tetap berlaku.

Putusan MK a quo mengakibatkan eksekusi objek Jaminan Fidusia dapat dilaksanakan ketika terdapat kesepakatan antara pihak debitur maupun kreditur mengenai klausul “cidera janji”

atau ketika tidak ada kesepakatan mengenai “cidera janji” dan debitur tidak sukarela menyerahkan objek Jaminan Fidusia dalam perjanjian fidusia Putusan MK a quo mengharuskan kreditur harus meminta penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri. Hal ini juga mengakibatkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia juga harus diperbaharui karena penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri dan pernyataan kesepakatan kedua belah pihak mengenai “cidera janji” juga harus dijadikan salah satu syarat yang perlu dilampirkan jika memohonkan pengamanan eksekusi Jaminan Fidusia.

(11)

Pandemi COVID-19 mempengaruhi perekonomian Indonesia, secara khusus DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Adapun dampak yang diberikan COVID-19 tersebut memberikan relaksasi bagi debitur yang terkena dampak virus corona, sedangkan tidak menghalangi hak dari kreditur untuk melakukan eksekusi objek jaminan fidusia dari debitur yang cidera janji. Eksekusi objek jaminan fidusia selama masa pandemi COVID-19 tidak terhalangi atau tetap dapat dilakukan.

Peraturan yang berkaitan

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentan Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia);

3. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU Mahkamah Konstitusi);

4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 5. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

6. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

7. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Het Herziene Indonesisch Reglement);

8. Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019;

9. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 6/2005); dan

10. Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia

11. Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, Mahkamah Agung RI 2019.

Referensi

Dokumen terkait

  Skripsi Tinjauan Yuridis Eksekusi Jaminan Fidusia dalam Kredit Macet Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Studi Kasus Eksekusi Jaminan

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, jaminan fidusia menyatakan bahwa apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 tidak

Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 diatur mengenai pengertian Jaminan Fidusia yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang

menciptakan perlindungan terhadap kreditor maka terlebih dahulu perjanjian Jaminan Fidusia harus didaftarkan, seperti yang diatur dalam Pasal 11 UUJF, pendaftaran

Maka penulis mengharapkan adanya kepastian terkait dengan aturan eksekusi jaminan fidusia yang sebenarnya diIndonesia dan dapat memberikan edukasi kepada masyarakat maupun pelaku

PELAKSANAAN EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XVII/2019 DI ADIRA FINANCE (PT ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE TBK) JALAN TUANKU TAMBUSAI

Syarat inkonstitusional Pasal 15 ayat 2 UUJF yang menyatakan “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela