SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
DINDA LARAS AYU PRATIWI NIM: 11160480000045
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
i
EFEKTIVITAS KEKUATAN EKSEKUTORIAL PADA SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 18/PUU-XVII/2019
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
DINDA LARAS AYU PRATIWI NIM: 11160480000045
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
ii
EFEKTIVITAS KEKUATAN EKSEKUTORIAL PADA SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 18/PUU-XVII/2019
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
DINDA LARAS AYU PRATIWI NIM: 11160480000045
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. Dr. Nurhasanah, M. Ag.
NIP. 19540303 197611 1 001 NIP. 19740817 200212 2 013
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
iii
Skripsi yang berjudul “EFEKTIVITAS KEKUATAN EKSEKUTORIAL PADA SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XVII/2019” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 25 November 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 17 Desember 2020 Mengesahkan
Dekan,
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.
NIP. 19760807 200312 1 001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH 1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H
NIP. 19670203 201411 1 101
(………...) 2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.
NIP. 19650908 199503 1 001
(………) 3. Pembimbing I : Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.
NIP. 19540303 197611 1 001
(………...) 4. Pembimbing II : Dr. Nurhasanah, M. Ag.
NIP. 19740817 200212 2 013 (………...)
5. Penguji I : M. Yasir, S.H., M.H.
NUPN. 9920112799 (………...)
6. Penguji II : Muhammad Ishar Helmi, S.H., M.H.
NIDN. 150013194
(………...)
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Depok, 20 November 2020
Dinda Laras Ayu Pratiwi
Nama : Dinda Laras Ayu Pratiwi
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta 27 Mei 1998
NIM : 11160480000045
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Jalan Raya PLN Nomor 8 RT/RW 22/06 Gandul, Kecamatan Cinere, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat Nomor Kontak : 081808484479
E-mail : [email protected]
v
ABSTRAK
Dinda Laras Ayu Pratiwi. NIM 11160480000045. EFEKTIVITAS KEKUATAN EKSEKUTORIAL PADA SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XVII/2019. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M.
Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 serta efektivitas putusan tersebut dalam hal eksekusi obyek jaminan fidusia. Penelitian ini bertujuan mengetahui sudah efektif atau belumkah Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 ini dilaksanakan oleh masyakarat.
Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normative. Adapun sumber datanya sendiri ada 3 (tiga), yakni bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer diperoleh dari Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019, Putusan Pengadilan Negeri Nomor 6/Pdt.G.S/2020/PN Lht, Putusan Pengadilan Negeri Nomor 15/Pdt.G.S/2020/PN Jbg, Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 36/PDT/2020/PT BM, dan Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 50/Pdt/2020/PT Kdi lalu dikuatkan melalui hasil wawancara dengan seorang hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Adapun bahan hukum sekundernya didapatkan dari buku-buku, hasil penelitian, makalah dan jurnal.
Hasil penelitian yang diperoleh dalam skripsi ini adalah pemaknaan baru yang ada pada Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) menggunakan landasan asas keadilan dan kepastian hukum guna mencapai kemanfaatan hukum yang dahulu belum mampu diwujudkan. Pemaknaan ini yang kemudian mempengaruhi pelaksanaan eksekusi obyek jaminan fidusia yang dilakukan kreditur pada debitur yang cidera janji.
Diketahui pula apabila pelaksanaan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 belumlah berjalan efektif sebab masih terdapat faktor-faktor efektivitas hukum yang belum terpenuhi, yakni faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Dalam hal faktor kemasyarakatan, masih terdapat perusahaan pembiayaan yang melakukan eksekusi obyek jaminan fidusia tanpa mempertimbangkan Putusan MK Nomor 18/PUU- XVII/2019. Oleh karena belum terpenuhinya faktor kemasyarakatan tersebut,
vi
pemenuhan terhadap faktor kebudayaan pun ikut berpengaruh sebab faktor ini merupakan faktor yang yang berkaitan dengan alasan-alasan masyarakat untuk tidak mengindahkan pemaknaan baru dua pasal yang dimaksudkan.
Kata Kunci Penelitian : Obyek Fidusia, Eksekusi Fidusia, Efektivitas Hukum.
Dosen Pembimbing : 1. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.
2. Dr. Nurhasanah, M. Ag.
Daftar Pustaka : Tahun 1986 Sampai Tahun 2020.
vii
KATA PENGANTAR ْي ِح َّرلا ِنَمْح َّرلا ِ هاللّ ِمْسِب
Alhamdulillah, puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan seluruh rahmat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa, shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad SAW.
Penyusunan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam proses penyusunannya, peneliti banyak sekali mendapat bimbingan, bantuan, serta dorongan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih sebesar- besarnya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M. Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk seluruh waktu luang, kritik, maupun masukan yang diberikan demi penelitian yang saya lakukan.
3. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H. dan Dr. Nurhasanah, M. Ag.
Dosen Pembimbing Skripsi untuk seluruh waktu luang, kritik, serta masukan yang membangun sehingga saya dapat menyelesaikan penelitan yang saya lakukan.
4. Bapak Akhmad Sayuti, S.H., M.H. sebagai salah satu hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena telah bersedia menjadi narasumber bagi penelitian
viii
saya dan memberikan pandangan serta arahan terkait topik yang sedang saya teliti.
5. Kepala Perpustakaan Pusat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas dan mengizinkan peneliti untuk mencari dan meminjam buku-buku referensi dan sumber-sumber data lainnya yang diperlukan.
6. Kepada kedua orangtua yang saya cintai, Bapak Budi Winarno dan Ibu Masiti, S.E. dan kakak saya, Dimas Agung Prasetiyo, S.H. yang senantiasa memberikan kasih sayang, nasihat, dukungan, motivasi, serta do‟a yang melimpah sehingga saya mampu menyelesaikan skripsi ini.
7. Pihak-pihak lainnya yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.
Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah SWT memberikan balasan yang setara kepada para pihak yang telah berbesar hati terlibat dalam penyusunan skripsi ini dan semoga skripsi ini kelak bermanfaat bagi kita semua.
Depok, 20 November 2020
Dinda Laras Ayu Pratiwi NIM: 11160480000045
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 4
1. Identifikasi Masalah ... 4
2. Pembatasan Masalah ... 5
3. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
1. Tujuan Penelitian ... 6
2. Manfaat Penelitian... 6
D. Metode Penelitian ... 7
1. Jenis Penelitian ... 7
2. Pendekatan Penelitian ... 8
3. Sumber Bahan Hukum ... 8
4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum... 9
x
5. Metode Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ... 9
E. Pedoman Penulisan ... 10
F. Sistematika Pembahasan ... 10
BAB II TINJAUAN UMUM EFEKTIVITAS, KEKUATAN EKSEKUTORIAL, DAN JAMINAN FIDUSIA ... 12
A. Kerangka Konseptual ... 12
1. Efektivitas ... 12
2. Kekuatan Eksekutorial... 14
3. Jaminan Fidusia ... 15
4. Sertifikat Jaminan Fidusia ... 18
B. Kerangka Teori ... 20
1. Teori Keadilan... 20
2. Kepastian Hukum ... 23
3. Efektivitas Hukum... 25
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 30
1. Skripsi Ahmad Wahyudi, “Analisis Hukum Terhadap Kekuatan Eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia (Berdasarkan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia)” ... 30
2. Skripsi Vileza Aldyan, “Eksekusi Jaminan Fidusia Akibat Kredit Macet (Kajian Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia” ... 31
3. Buku Abednego Isa Latuihamallo, “Dilema Dunia Multifinance (Fidusia dan Permasalahannya dalam Dunia Multifinance)” ... 31
xi
4. Artikel Jurnal Sosial dan Budaya Syar‟i M. Yasir, “Aspek Hukum
Jaminan Fidusia (Legal Aspect of Fiduciary Guaranty)” ... 32
5. Artikel Jurnal Fiat Justitia Ilmu Hukum Aprilianti, “Fungsi Sertifikat Jaminan Fidusia menurut UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia” ... 32
BAB III HUKUM JAMINAN FIDUSIA DALAM PUTUSAN MK NOMOR 18/PUU-XVII/2019 ... 34
A. Hukum Jaminan Fidusia ... 34
1. Pengertian Hukum Jaminan Fidusia ... 34
2. Unsur dan Ciri Jaminan Fidusia ... 35
3. Subyek dan Obyek Jaminan Fidusia ... 36
4. Pendaftaran, Pengalihan, dan Hapusnya Jaminan Fidusia ... 37
5. Kekuatan Eksekutorial Jaminan Fidusia ... 41
B. Tinjauan Umum Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 ... 42
1. Kekuasaan Mahkamah Konstitusi ... 42
2. Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 ... 46
BAB IV ANALISIS EFEKTIVITAS PUTUSAN MK NOMOR 18/PUU- XVII/2019 DALAM HAL KEKUATAN EKSEKUTORIAL SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA ... 55
A. Pertimbangan Hakim pada Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 terkait Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia ... 55
B. Efektivitas Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 terhadap Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia ... 63
BAB V PENUTUP ... 77
A. Kesimpulan ... 77
xii
B. Rekomendasi ... 78 DAFTAR PUSTAKA ... 79 LAMPIRAN ... 84
1 A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, bukan suatu hal baru apabila kita melihat atau bahkan melakukan kegiatan pinjam-meminjam dengan menyertakan jaminan di dalamnya. Jaminan di sini digunakan sebagai bentuk kepastian bahwa debitur akan bersungguh-sungguh melunasi utangnya. Kemudian apabila sang debitur melakukan wanprestasi, maka kreditur berhak mengambil alih jaminan tersebut guna menjualnya sebelum akhirnya mendapatkan uang yang sebelumnya tidak bisa dibayarkan debitur.
Salah satu kegiatan pinjam-meminjam dengan jaminan yang cukup sering dilakukan adalah perjanjian utang-piutang dengan fidusia. Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (atau sering dipanggil dengan UU Jaminan Fidusia) menjelaskan bahwa fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda yang didasari oleh kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang haknya telah dialihkan tersebut masih berada dalam penguasaan pemberi fidusia.
Dapat dikatakan, perjanjian Fidusia bersifat accesoir (ikutan) sebab perjanjian tersebut merupakan pelengkap dari adanya perjanjian utang-piutang (perjanjian kredit).1 Suatu perjanjian tentunya akan terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Namun, adakalanya salah satu
1Gatot Suparmono, Perbankan dan Masalah Kredit: Suatu Tinjauan, (Jakarta: Jambatan,
pihak melakukan wanprestasi (cidera janji) yang mana dapat terjadi karena adanya kelalaian dalam pelaksanaannya.2
Pada pelaksanaan perjanjian fidusia sendiri baik kreditur yang bertindak sebagai penerima fidusia maupun debitur yang bertindak sebagai pemberi fidusia sama-sama memiliki kemungkinan melakukan wanprestasi. Hal tersebut yang tentunya akan menimbulkan berbagai kerugian bagi salah satu pihak di antaranya. Salah satu contoh wanprestasi yang kerap kali terjadi dalam perjanjian fidusia adalah tuduhan cidera janji dan pengeksekusian fidusia yang dilakukan secara mandiri oleh kreditur
Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo merupakan pasangan debitur yang sempat menjadi korban atas tuduhan wanprestasi sebagaimana yang dijatuhkan oleh sebuah perusahaan pembiayaan selaku kreditur bernama PT Astra Sedaya Finance. Tuduhan wanprestasi itu sendiri terjadi disebabkan kedua debitur tersebut belum membayarkan kreditnya yang macetnya. Alih-alih mengirimkan surat somasi terlebih dahulu, PT Astra Sedaya Finance justru langsung mengirimkan beberapa debt-collector ke kediaman mereka yang tentunya telah menyalahi cara penagihan utang sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK Nomor 35/PJOK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.
Atas perbuatan PT Astra Sedaya Finance tersebut, Dewi dan Agung pun kemudian menggugatkan hal ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan kemudian gugatan tersebut dikabulkan oleh majelis hakim. Dalam hal ini, PT Astra Sedaya Finance dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum.
Namun, PT Astra Sedaya Finance tetap bersikukuh akan melakukan pengeksekusian atas obyek fidusia yang dikuasai oleh kedua debitur sehingga
2Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), h. 21.
membandingkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Kasus serupa pun pernah dialami oleh debitur lainnya yang bernama Nurul Cholifah di Banyuwangi pada 2018 lalu. Satu unit kendaraan yang menjadi obyek fidusia dan masih dikuasai olehnya dirampas dengan semena-mena oleh debt-collector dari PT Mandiri Tunas Finance selaku kreditur yang melakukan perjanjian pembiayaan dengannya. eksekusi yang kala itu dibantu oleh beberapa oknum polisi setempat pun menuai banyak kritik sebab sudah menyalahi Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.
Nurul Cholifah sendiri memang tidak mengelak bahwa memang ada keterlambatan pembayaran (kredit macet) yang dilakukannya kepada PT Mandiri Tunas Finance. Akan tetapi, Nurul Cholifah sendiri telah mengonfirmasi ke perusahaan pembiayaan tersebut bahwa ia akan melunasi tunggakannya selama tiga bulan tepat di bulan ketiga. Sayangnya, PT Mandiri Tunas Finance bersikap tidak acuh dan bersikukuh untuk melakukan eksekusi obyek fidusia secara mandiri.
Berangkat dari kejadian yang menimpa dirinya maupun debitur lainnya, Dewi bersama Agung pada akhirnya membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, Dewi memohonkan kepada majelis hakim agar dapat memaknai kembali dua pasal dalam UU Jaminan Fidusia, yaitu Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia. Tujuan dimohonkannya kedua pasal tersebut adalah agar debitur mendapat hak dan perlindungan hukum yang seimbang dengan kreditur atas obyek fidusia. Dewi dan Agung yang bertindak sebagai pemohon mempercayai bahwa mekanisme pengadilan adalah cara yang paling adil, bukan hanya untuk debitur selaku pemberi fidusia melainkan juga untuk kreditur selaku penerima fidusia.
Permohonan yang dilayangkan pada 15 Februari 2019 itupun kemudian dikabulkan pada 6 Januari 2020 lalu. Dalam hal ini, Majelis Hakim Konstitusi memberi pemaknaan baru atas frasa „kekuatan eksekutorial‟ dan „sama dengan putusan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap‟ pada Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia serta frasa „cidera janji‟ pada Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia. Dengan demikian, pemaknaan baru yang termuat dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 itu yang pada akhirnya membawa angin segar untuk debitur yang terikat dalam perjanjian fidusia.
Tidak hanya itu, pemaknaan baru dari Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia itu juga turut membawa perubahan atas „budaya‟
pengeksekusian fidusia dengan tindakan sewenang-wenang yang selama ini cukup mendarah-daging di Indonesia. Diharapkan dengan dijatuhkannya Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dapat meminimalisir atau bahkan menghilangkan „budaya‟ yang selama ini melekat erat dengan pelaksanaan eksekusi obyek fidusia tersebut.
Berdasarkan pertimbangan dan pemaparan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam terkait pelaksanaan dan bagaimanakah efektivitas pelaksanaan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tersebut serta hubungannya dengan pengeksekusian obyek fidusia yang terjadi dewasa ini.
Oleh karenanya, peneliti memilih penulisan hukum ini adalah “EFEKTIVITAS KEKUATAN EKSEKUTORIAL PADA SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XVII/2019.”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah
Merujuk pada latar belakang yang telah dipaparkan, maka dengan ini peneliti dapat mengindetifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut:
a. Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh debitur dan kreditur menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
b. Proses pendaftaran jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
c. Proses eksekusi jaminan fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
d. Kekuatan eksekutorial pada sertifikat jaminan fidusia sebelum dan pasca Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019.
e. Efektivitas hukum pada kekuatan eksekutorial pada sertifikat jaminan fidusia pasca Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019.
2. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini menjadi lebih terarah serta menghindari pembahasan yang meluas dan umum, maka penelitian ini terfokus pada efektivitas hukum pada kekuatan eksekutorial jaminan fidusia pasca Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sebelumnya telah diuraikan, maka perumusan yang diangkat adalah efektivitas pelaksanaan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dalam hal eksekusi sertifikat jaminan fidusia. Untuk mempertegas perumusan masalah, peneliti menguraikannya dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi dalam memutus perkara Sertifikat Jaminan FIdusia yang tidak memiliki kekuatan eksekutorial?
b. Bagaimana efevitivas kekuatan eksekutorial pada Sertifikat Jaminan Fidusia pasca Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berangkat dari latar belakang dan perumusan masalah yang sebelumnya peneliti uraikan, maka tujuan adanya penelitian ini adalah:
a. Untuk menjelaskan pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia tidak memiliki kekuatan eksekutorial.
b. Untuk menjelaskan efektivitas kekuatan eksekutorial pada Sertifikat Jaminan Fidusia pasca Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019.
2. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian tentunya harus memiliki kegunaan bagi pemecahan masalah yang diteliti. Untuk itu setidaknya mampu memberikan manfaat praktis pada kehidupan masyarakat. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yakni segi akademik dan segi praktis.
Dengan adanya penelitian ini peneliti sangat berharap akan dapat memberikan manfaat:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan/referensi dan bahan penelitian lanjutan bagi mahasiswa atau peneliti yang akan meneliti persoalan terkait kekuatan eksekutorial yang ada pada sebuah sertifikat jaminan fidusia.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini kiranya dapat memberikan kontribusi pemikiran atau pedoman bagi masyarakat maupun pihak-pihak terkait berkenaan dengan hal-hal yang menyangkut hukum bisnis terutama dalam bidang jaminan fidusia.
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat pemaparan dengan tujuan memperoleh deskripsi lengkap terkait keadaan dan saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang ada dalam masyarakat.3 Penelitian ini menggunakan yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas- asas hukum, serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.
3Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 63.
2. Pendekatan Penelitian
Sehubung dengan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis- normatif, maka pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konsep (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan agar peneliti mampu mengkaji aturan atau norma terkait kekuatan eksekutorial yang dimiliki sebuah Sertifikat Jaminan Fidusia. Pendekatan konsep dilakukan agar peneliti mau memahami konsep- konsep yang berkaitan dengan eksekutorial terhadap Sertifikat Jaminan Fidusia. Sedangkan pendekatan kasus dilakukan agar peneliti memahami alasan-alasan hukum yang mendasari hakim memutus putusan tersebut.4
3. Sumber Bahan Hukum
Pengumpulan data memiliki hubungan erat dengan sumber data, sebab dari pengumpulan data akan diperoleh bahan hukum yang diperlukan untuk kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti menggunakan bahan hukum sebagai berikut:
a. Bahan hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang memiliki sifat autoritatif (berotoritas). Bahan hukum primer sendiri didapatkan melalui perundang-undangan, berbagai catatan resmi, risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, serta putusan-putusan hakim. Dalam penelitian ini, putusan hakim yang digunakan adalah Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 dan beberapa putusan lain pasca dikeluarkannya Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019.
4Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, Cet-IV, 2010), h. 133.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder untuk penelitian ini didapatkan melalui buku-buku hasil cetakan penerbit, beberapa hasil penelitian, makalah, jurnal, serta berbagai literatur lain yang relevan dengan persoalan kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier untuk penelitian ini didapatkan melalui berbagai kamus seperti Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Bahasa Hukum, majalah, surat kabar baik itu dalam bentuk media cetak maupun media elektronik.
4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan data dilakukan dengan metode kualitatif yakni memberikan gambaran mengenai permasalahan dengan menganalisis rujukan dalam setiap literatur dan bahan hukum yang telah dipaparkan sebelumnya.
5. Metode Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum a. Metode Pengolahan Bahan Hukum
Selesai data terkumpul baik yang diperoleh dari studi kepustakaan dan studi dokumen, maka peneliti akan mengolah data-data tersebut dengan cara sebagai berikut:
1) Editing, yaitu data yang diperoleh akan diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapannya, kejelasannya, dan kebenarannya, sehingga akan menghindari kemungkinan adanya kekurangan maupun kesalahan.
2) Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data secara tepat dan sistematis pada setiap pokok-pokok bahasan.
b. Metode Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif yang mana data yang diperoleh oleh peneliti akan dianalisis secara kualitatif dan selanjutnya diuraikan dalam bentuk deskriptif.
E. Pedoman Penulisan
Pedoman penulisan yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun skripsi ini mengacu pada kaidah-kaidah yang ada pada penulisan karya ilmiah dan buku
“Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.
F. Sistematika Pembahasan
Peneliti merumuskan rancangan sistematika pembahasan yang terdiri dari lima bab. Adapun urutan dan tata letak masing-masing terdiri atas:
Pada Bab Pertama akan memuat hal-hal yang berkenaan dengan bab pendahuluan dalam sebuah penelitian. Adapun isinya sendiri meliputi latar belakang permasalahan penelitian, identifikasi, pembatasan, rumusan masalah yang akan diteliti, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian yang digunakan, serta sistematika penulisan.
Pada Bab Kedua akan memuat hal-hal yang berkenaan dengan konsep- konsep, teori-teori para ahli, serta studi terdahulu yang akan digunakan dalam penelitian. Adapun konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah hal- hal yang berkenaan dengan efektivitas, kekuatan eksekutorial, sertifikat jaminan, serta jaminan fidusia. Sementara itu, teori yang akan dibahas dalam bab ini
adalah teori keadilan, kepastian, dan efektivitas hukum. Adapun bagian akhirnya akan turut membahas terkait studi-studi terdahulu yang relevan dan berkenaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti.
Kemudian, Bab Ketiga akan memuat hal-hal yang berkenaan dengan informasi umum terkait kekuasaan Mahkamah Konstitusi dan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019. Adapun pembahasannya sendiri terdiri dari para pihak yang menjadi permohonan, duduk perkara mengapa permohonan diajukan, dan pokok permohonan yang dimohonkan para pemohon dalam putusan tersebut.
Sementara itu, Bab Keempat akan memuat hal-hal yang berkenaan dengan hasil analisis penelitian. Pada bagian ini, peneliti akan berfokus menjawab dua rumusan masalah yang sebelumnya telah dipaparkan di atas melalui analisa bahan-bahan hukum yang ada dan menghubungkan dengan teori- teori hukum yang relevan.
Bagian terakhir atau Bab Kelima akan memuat hal-hal yang berkenaan dengan penutup dalam sebuah penelitian. Dalam hal ini, peneliti akan menyimpulkan hasil penelitiannya disertakan rekomendasi yang diharapkan akan berguna untuk kemudian hari nantinya.
12 A. Kerangka Konseptual
Dalam pembahasan bab ini akan diuraikan beberapa konsep berkenaan dengan beberapa istilah yang seringkali digunakan. Peneliti akan mencoba memberikan berbagai kerangka konseptual dalam rangka menyederhanakan pemahaman terhadap penelitian ini berupa:
1. Efektivitas
Kata „efektif‟ berasal dari bahasa Inggris yaitu „effective‟ yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan efektif sebagai sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) sejak diberlakukannya suatu undang- undang atau peraturan.5 Sementara itu, kata „efektivitas‟ mengandung arti keefektifan, pengaruh efek keberhasilan, atau kemanjuran/kemujaraban.
Dalam kacamata hukum, maka efektivitas itu tidak akan terlepas dari penganalisaan terhadap karakterisrik dua variabel terkait, karakteristik/dimensi dari obyek sasaran yang dipergunakan.6
Kemudian, Soerjono Soekanto turut memberi pendapat bahwa efektivitas suatu hukum ditentukan dengan taraf kepatuhan warga masyarakat
5 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, h. 284.
6 Barda Nawawi Arief, Kaptia Selekta Hukum Pidana, Cet-III, (Bandung: Citra Aditya, 2013), h. 67.
terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga, apabila taraf kepatuhan hukum tersebut telah berada di titik tertinggi, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai indikator berfungsinya suatu sistem hukum.
Dalam hal efektivitas suatu hukum, Friedman berpendapat bahwa efektivitas hukum akan terwujud apabila sistem hukum yang terdiri dari unsur struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum dalam masyarakat bekerja saling mendukung dalam pelaksanaannya. Adapun pemahaman ketiganya adalah sebagai berikut:
a. Struktur hukum dimaksudkan sebagai keseluruhan institusi hukum yang ada beserta aparatnya mencakup pengadilan, para hakim, dan lain-lain.
b. Substansi hukum dimaksudkan sebagai keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
c. Budaya hukum dimaksudkan sebagai opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak, baik yang dilakukan oleh penegak hukum maupun masyarakatnya itu sendiri
Ketiga unsur tersebut memiliki keterkaitan yang kuat dengan pengetahuan, kesadaran, ketaatan hukum, serta kultuf hukum dalam setiap individu. Namun dalam kenyataannya, sering kali kesadaran hukum dan ketaatan hukum dicampuradukkan padahal keduanya memiliki pemaknaan yang berbeda meski memiliki hubungan yang erat. Dua unsur tersebutlah yang kemudian menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan sebuah peraturan yang ada di dalam masyarakat.7
Pada dasarnya, efektivitas merupakan pengukuran dari tercapainya suatu tujuan atau sasaran yang mana hendak dicapai dan sebelumnya
7 Dian Eko Prakoso, Efektivitas Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Parkir Tepi Jalan Umum dalam Daerah Kota Makassar (Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum), Skripsi, FH Universitas Hasanuddin, 2014, h. 28-29.
ditentukan terlebih dahulu. Salah satu fungsi hukum adalah a tool of social control yang dimaksudkan sebagai suatu upaya untuk mewujudkan keseimbangan hidup dalam bermasyarakat. Dengan demikian, impian terjadinya keserasian hidup yang berujung pada kesejahteraan pun akan dapat tercapai. Hal ini yang kemudian menjadikan keefektifan suatu hukum guna mencegah terjadinya pertentangan maupun sebagai sarana penyelesaiannya tentu harus diperhatikan.
2. Kekuatan Eksekutorial
Seperti yang diketahui kata „eksekusi‟ begitu akrab dengan salah satu tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh pengadilan, sehingga dalam hal ini, eksekusi dikatakan sebagai tindakan hukum yang dilakukan pengadilan kepada pihak yang kalah pada suatu perkara yang diajukan. Klausa kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang kemudian memberikan kekuatan eksekutorial yang dimaksud di dalamnya.
Purwoto S. Gandasubrata sebagaimana dikutip oleh Dara Fitryalita dalam skripsinya, mengungkapkan bahwa terdapat berbagai asas hukum berkenaan dengan eksekusi yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan eksekusi. Adapun asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut:8
a. Pelaksanaan eksekusi berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, apabila tereksekusi menolak melaksanakan putusan dengan sukarela, kecuali undang-undang menentukan lain.
8 Dara Fitryalita, Kekuatan Eksekutorial dalam Pelaksanaan Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan Hambatan-Hambatannya (Studi Kasus Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Jakarta No. 801/II/ARB-BANI/2016), Skripsi, FSH UIN Jakarta, 2019, h. 34.
b. Amar putusan yang dapat dieksekusi adalah amar putusan harus bersifat penghukuman (condemnatoir), sedangkan putusan yang bersifat konstitutif (declaratoir) tidak memerlukan eksekusi.
c. Eksekusi dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan, dilaksanakan oleh panitera dan juru sita dengan bantuan alat kekuasaan negara di mana diperlukan.
3. Jaminan Fidusia
Istilah Jaminan Fidusia terdiri dari dua suku kata, yaitu jaminan dan fidusia. Jaminan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tanggungan atas jaminan yang telah diterima. Sementara Fidusia diartikan sebagai hak tanggungan atas benda bergerak, di mana barang jaminan dikuasai oleh debitur tetapi kepemilikannya diserahkan kepada kreditur.
Fidusia berasal dari Hukum Romawi, dikenal sebagai gadai barang hak atas benda yang didasari oleh kepercayaan dan disepakati sebagai bentuk jaminan atas pelunasan utang kreditur.9 Dalam Bahasa Belanda, istilah fidusia dikatakan fiducie, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut fiduciary transfer of ownership, yang artinya sebuah kepercayaan. Dalam berbagai literatur, fidusia seringkali disebut dengan istilah eigendom overdract (FEO) yang berarti penyerahan hak milik yang didasari oleh adanya suatu kepercayaan.10 Sementara itu, dalam istilah hukum agraria, fidusia diartikan sebagai suatu hak jaminan berupa penyerahan hak benda berdasarkan kepercayaan yang disepakati sebagai jaminan pelunasan piutang kreditur11 dan dalam hukum
9 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata Buku Ketiga, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2015), h. 98.
10 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Ed. 1-8, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 55.
11 CST Kansil dan Christian ST Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, Cet I, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2000), h. 65.
perdata, fidusia secara bahasa adalah kepercayaan serta dalam istilah diartikan sebagai barang yang oleh debitur dipercayakan kepada kreditur sebagai jaminan utang.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Marhainis dalam bukunya yang berjudul Hukum Perdata mengistilahkan Jaminan Fidusia sebagai “Perjanjian atas Kepercayaan”, yakni dari kata-kata Fiduciair Eigendom Overdracht (FEO) yang juga seringkali disebut sebagai “Penyerahan Hak Milik atas Kepercayaan”. Menurutnya, istilah ini sering terjadi dalam masyarakat terutama di dunia perbankan, yang mana seorang nasabah meminta kredit pada bank, dan yang dijadikan sebagai jaminan berupa barang bergerak tetapi barang jaminan barang bergerak itu tidak diserahkan oleh pemilik barang kepada yang meminjamkan uang, tetapi tetap dikuasai dan digunakan oleh sang pemilik. Jadi, dapat dikatakan bahwa FEO memiliki dua unsur gadai sebab barang jaminan tersebut berupa barang bergerak, tetapi terdapat unsur hipotik karena barang jaminan tersebut tidak diserhkan kepada si berpiutang. 12
Sementara itu, Putri Kemala berpendapat bahwa Fidusia adalah jaminan tanpa menguasai (bezitloos zakeirheitsrecht), artinya kendaraan yang merupakan sebagai obyek dari jaminan tidak harus menyerahkan barang secara fisik oleh kreditur. Oleh karena itu dibutuhkanlah adanya suatu jaminan utang yang obyeknya masih tergolong benda bergerak tetapi tanpa
12 M. Yasir, Aspek Hukum Jaminan Fidusia (Legal Aspect of Fiduciary Guaranty), Jurnal Sosial dan Budaya Syar’i, Nomor 1, Volume 3, 2016, FSH UIN Jakarta, h. 77-78.
menyerahkan kekuasaan atas benda tersebut kepada pihak kreditur. Akhirnya terbentuklah jaminan baru, inilah disebut dengan jaminan fidusia.13
Implementasi dari kaidah jaminan fidusia sendiri telah diberlakukan oleh masyarakat Hukum Romawi. Dalam hal ini, terdapat dua bentuk jaminan fidusia, yaitu fidusia cum creditore dan fidusia cum amico. Dua bentuk ini timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cession. Dalam bentuknya yang pertama (fidusia cum creditore contracta) memberikan arti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur, hal ini bermakna bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur sebagai jaminan atas utang yang dimilikinya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas.14
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwasannya jaminan fidusia merupakan suatu jaminan atas perjanjian utang-piutang yang dilakukan oleh debitur sebagai pemberi fidusia dan kreditur sebagai penerima fidusia, yang mana dalam hal ini didasari oleh suatu kepercayaan. Pelaksanaan Jaminan Fidusia sebagaimana yang dijelaskan oleh Tan Kamelo dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan adalah dengan mengalihkan hak kepemilikan suatu benda kepada kreditur sedangkan penguasaannya akan tetap berada di tangan debitur. Apabila utang telah dilunasi, maka kepemilikan barang kembali dialihkan kepada debitur, namun
13 Putri Kemala Sari, Hak Menual Benda Objek Jaminan Fidusia pada PT Arthasia Finance di Kota Pekanbaru, Skripsi, Pekanbaru: Program Sarjana Universitas Riau, 2014, h. 7.
14 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: Raja Grafindo Persaya, 2001), h. 113.
apabila debitur diketahui gagal bayar/wanprestasi, maka kreditur berhak menjual/melelang benda tersebut diambil hak pelunasan utangnya.15
4. Sertifikat Jaminan Fidusia
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda yang dilandasi kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap berada dalam penguasaan sang pemilik benda. Guna melindungi hak-hak yang dimiliki oleh kedua belah pihak serta memberi kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan, maka setiap benda yang dijadikan sebagai obyek jaminan fidusia wajib didaftarkan. Pendaftarannya sendiri dilakukan di Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia (KPF) yang berada di bawah naungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selesai pendaftaran tersebut dilakukan, KPF akan menerbitkan sebuah sertifikat yang disebut sebagai sertifikat jaminan fidusia.
Pendaftaran dari obyek jaminan tersebut juga telah disesuaikan dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia) yang mengatur terkait benda yang dibebani fidusia di dalamnya wajib didaftarkan. Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa sertifikat jaminan fidusia merupakan surat bukti pendaftaran jaminan atas benda yang dibebani fidusia dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia.
Dengan demikian, kreditur selaku penerima fidusia dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan pendaftaran jaminan fidusia di KPF sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU Jaminan Fidusia.
15 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, (Bandung:
Alumni, 2004), h. 18.
Selain untuk memenuhi kepentingan para pihak, adapun alasan dari pentingnya pendaftaran obyek jaminan di KPF adalah sebagai berikut:
a. Jaminan fidusia lahir sejak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF);
b. Penerima fidusia (kreditur) memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya;
c. Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada; dan
d. Memenuhi asas publisitas dan asas spesialitas sehingga mengikat dan berlaku terhadap pihak ketiga.
Sebagai salah satu alat bukti berbentuk surat, sertifikat jaminan fidusia merupakan akta autentik yang memiliki beberapa kekuatan pembuktian sebagai berikut:
a. Kekuatan bukti lahir, yaitu kemampuan untuk membuktikan keabsahannya sebagai surat autentik. Kekuatan bukti lahir pada sertifikat jaminan fidusia adalah sebagai surat autentik yang diterbitkan oleh KPF.
Dalam hal ini, sertifikat jaminan fidusia mengikat siapa saja yang terkait dengan pembebanan jaminan fidusia;
b. Kekuatan bukti formal, yaitu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas benar atau tidaknya pernyataan yang ditandatangani dalam akta. Sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan bukti formal yang berarti terjaminnya kebenaran atau kepastian semua pernyataan yang ada dalam sertifikat tersebut;
c. Kekuatan bukti materiil, yaitu kekuatan pembuktian yang didasarkan pada kebenaran isi atau materinya dan benar peristiwa itu terjadi. Sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan bukti materiil karena apa yang terdapat pada sertifikat tersebut berasal dari akta jaminan fidusia; dan
d. Kekuatan eksekutorial, yaitu dalam sertifikat jaminan fidusia terdapat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang terletak di bagian judul sertifikat tersebut.
Sertifikat jaminan fidusia juga berfungsi sebagai bukti hak kreditur selaku penerima fidusia bahwa kreditur merupakan pemegang hak jaminan fidusia yang sah. Hak ini akan menjadi milik kreditur sejak dilakukannya pendaftaran hingga hapusnya jaminan fidusia. Selama benda tersebut menjadi obyek jaminan, maka kreditur mempunyai hak penuh sebagaimana yang tertera dalam akta jaminan fidusia.16
B. Kerangka Teori 1. Teori Keadilan
Salah satu filsuf terkemuka yang mengembang teori berkenaan dengan keadilan adalah Plato. Dalam hal ini, Plato beranggapan bahwa keadilan terjadi apabila seseorang menjalankan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang terdapat dalam dirinya. Setiap anggota masyarakat memiliki tugasnya masing-masing yang mana pelaksanannya harus dilakukan oleh yang memiliki tugas tersebut dan tidak dicampuri oleh orang lain.
Untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, pertentangan- pertentangan yang timbul dan tidak dapat dihindari harus diselesaikan oleh kekuasaan di situ. Dalam hal ini, Plato menyerahkan penyesalaian pertentangan tersebut kepada para hakim. Akan tetapi, Plato tidak menghendaki apabila dalam penyelesaian perkara tersebut para hakim terikat pada peraturan-peraturan yang ada pada hukum positif. Plato menganggap
16 Aprilianti, Fungsi Sertifikat Jaminan Fidusia menurut UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Jurnal Fiat Justitia Ilmu Hukum, Nomor 3, Volume 4, 2010, FH Universitas Lampung, h. 80-83.
bahwa para pemimpin negeri impiannya tersebut merupakan cerdik cendikiawan yang bebas dan tidak terikat dengan hukum, sehingga keadilan diciptakan dan dijalankan dalam masyarakat tanpa menggunakan hukum.
Namun menjelang akhir hidupnya, Plato mengakui bahwa tidak mudah menemukan para cerdas cendikiawan yang berkualitas sebagaimana yang ia maksudkan dalam pemikirannya terdahulu. Plato kemudian mengusulkan
„negara hukum‟ sebagai alternatif yang paling baik bagi pemerintahan saat itu.
Pikiran-pikiran ini kemudian Plato tuangkan dalam karyanya yang berjudul The Laws yang mana di dalamnya dijelaskan bahwa Plato tidak lagi menerima konsep negara yang diperintah oleh kekuasaan serta orang-orang yang bebas, melainkan keadilan harus dijalankan di atas norma-norma tertulis.
Aristoteles selaku murid Plato turut mengembangkan pemikirannya sendiri terkait negara hukum dan keadilan. Aristoteles berpendapat bahwa negara hukum bukanlah sebagai suatu alternatif, melainkan satu-satunya cara yang paling praktis untuk mencapai kehidupan yang baik dan sejahtera dalam masyarakat. Pun Aristoteles juga beranggapan bahwa hukum merupakan pembadanan dari akal yang bebas dari nafsu-nafsu. Dalam ajarannya, hukum dijadikan jaminan bahwa akal itulah yang memerintah dan bukannya nafsu- nafsu dari orang-orang yang menjalankan pemerintahan tersebut.
Walau begitu, Aristoteles masih menganggap bahwa hukum itu bisa keras dan bisa saja tidak mendatangkan keadilan. Oleh karena itu, hukum harus dilunakkan dan didekatkan kepada keadilan dengan cara equity, suatu cara yang ternyata kemudian diterapkan secara sistematis dalam sistem Common Law di Inggris. Equity menurut Aristoteles berarti meluruskan jalannya hukum yang telah menjadi salah disebabkan oleh sifat keumumannya. Hal ini dimaksudkan bahwa hukum bersifat umum, tetapi tidak semua perkara dapat diselesaikan dengan pengaturan umum dan
memerlukan pengaturan khusus. Dalam hal ini, hakim hendaknya memberi putusan seakan dirinya sedang menjadi pembuat hukum. 17
Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law and State, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagiaan di dalamnya. Pandangan ini bersifat positivisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nilai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagiaan yang diperuntukan tiap individu.18
Lebih lanjut lagi, Hans Kelsen berpendapat bahwa keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subyektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagiaan setiap perorangan, melainkan kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti sandang, pangan, dan papan. Apabila ditanyakan apa saja yang mestinya diprioritaskan, maka jawabannya haruslah menggunakan pengetahuan rasional, yaitu pertimbangan nilai yang kemudian ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subyektif.19
Oleh sebab sifatnya yang subyektif, maka apabila dihubungkan dengan perjanjian utang-piutang, perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak (si berutang maupun berpiutang) haruslah seadil-adilnya; tidak memberatkan satu
17 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet-VI, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 263- 265.
18 Hans Kelsen (terjemahan oleh Rasiul Muttaqien), General Theory of Law and State, (Bandung: Nusa Media, 2011), h. 7-9.
19 Hans Kelsen (terjemahan oleh Rasiul Muttaqien), General Theory of Law and State, h. 11.
pihak dan menempatkan keduanya dalam posisi yang sejajar. Hal ini dilakukan guna mencapai kepuasan dan kebahagiaan sebagaimana dimaksud Hans Kelsen dalam teori yang diungkapkannya, sehingga kemungkinan terjadinya intrik dan kontra dalam diminimalisir sebab kedua belah pihak dalam perjanjian utang-piutang telah memperoleh kebahagiaan yang mana mereka dapatkan dari keadilan tersebut.
2. Kepastian Hukum
Kepastian diartikan sebagai perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan, atau ketetapan. Secara hakiki, hukum tentunya harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Fungsi hukum dapat diwujudkan apabila hukum itu bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.20 Sehingga jelas bahwa jawaban tersebut terletak pada aturan-aturan yang telah dibuat serta disahkan oleh Pemerintah lalu kemudian wajib diikuti oleh seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali.
Secara normatif, kepastian hukum terjadi ketika suatu peraturan dibentuk lalu diundangkan serta dilaksanakan secara pasti karena mengatur dengan jelas dan logis. Jelas di sini bermakna tidak memberi keraguan (multi-tafsir) dan tidak berbenturan dengan norma lain sehingga dapat menimbulkan konflik norma.21
Utrecht berpendapat bahwa kepastian hukum mengandung dua pengertian. Pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
20 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, (Yoyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), h. 59.
21 CST Kansil, Christine, S.T Kansil, Engelien R, Palandeng, dan Godlieb N. Mamahit, Kamus Istilah Hukum, (Jakarta, 2009), h. 385.
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu, individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.22
Kepastian hukum juga diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat yang dikenakan peraturan tersebut. Dengan adanya kejelasan dan ketegasan akan norma tersebut, maka kemungkinan terjadinya salah tafsir terhadap suatu hukum yang mengatur masyarakat dapat dihindari.
Van Apeldoorn berkata bahwa kepastian hukum dapat juga berarti hal yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-hal konkret. Dalam hal ini, kepastian hukum memberi jaminan bahwa hukum dijalankan, yang berhak menurut hukum akan menerima haknya kelak, dan sebuah putusan dapat dilaksanakan. Kepastian hukum dianggap sebagai perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Kepastian hukum yang sesungguhnya ada apabila peraturan perundang-undangan dapat dijalankan sesuai dengan prinsip dan norma hukum yang ada. Mengutip pendapat Bisdan Sigalingging bahwasannya antara kepastian substansi hukum dan kepastian hukum seharusnya sejalan, tidak boleh hanya kepastian hukum bergantung pada law in the books, tetapi kepastian hukum sesungguhnya ada apabila law in the books dapat
22 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h. 23.
dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma- norma hukum dalam menegakkan keadilan hukum.23
Ajaran kepastian hukum berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan oleh aliran positivis di dunia hukum, yang mana dalam hal ini condong memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri sebab pemikiran ini beranggapan bahwa hukum tak lain sebuah kumpulan aturan semata. Bagi penganut aliran ini, hukum bertujuan guna memberi jaminan terwujudnya kepastian hukum. Kepastian itu sendiri diwujudkan oleh hukum dengan membuat hukum bersifat umum sehingga aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.24
Apabila dikaitkan dalam perjanjian utang-piutang yang di dalamnya terdapat jaminan sebagaimana diatur dalam UU Jaminan maupun UU Jaminan Fidusia, kepastian hukum ini jelas dibutuhkan untuk memberikan kejelasan dan sekaligus perlindungan dalam melakukan tindakan-tindakan hukum saat perjanjian tersebut diberlakukan. Hal ini dilakukan guna mencegah kerugian- kerugian yang kelak dapat terjadi kapan saja antara si berutang dan berpiutang sehingga perjanjian utang-piutang yang diberlakukan dapat berjalan dengan semestinya.
3. Efektivitas Hukum
Dalam buku yang berjudul Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, Soerjono Soekanto mengatakan bahwa efektivitas diartikan sebagai sesuatu
23 R. Tony Prayogo, Penerapan Asas Kepastian Hukum dalam PMA Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil dan dalam PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang, Jurnal Legislasi Indonesia, Nomor 02, Volume 13, 2016, Ditjen PP Kementerian Hukum dan HAM Jakarta, h. 194-195.
24 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosisologis), (Jakarta:
Toko Gunung Agung, 2002), h. 82-83.
atau kondisi di mana telah sesuai dengan target atau tujuan yang akan ditempuh atau diharapkan. Ada pula yang menyatakan suatu hukum itu dikatakan efektif apabila warga masyarakat berperilaku sesuai yang diharapkan atau dikehendaki oleh hukum.25
Salah satu cendekiawan muslim bernama Atho Mudzhar memberikan pendapat bahwa efektivitas suatu hukum tidak dapat terjadi apabila hanya berupa anjuran dan seruan belaka. Ketidak-efektifannya suatu aturan tentunya akan membuat keserasian hidup dalam bermasyarakat akan goyah dan mengakibatkan terjadinya berbagai pertentangan yang membuat ketertiban di kehidupan perlahan mengabur. Hal ini yang kemudian membuat Atho Mudzhar memberikan pendapat terkait hal-hal apa saja yang dibutuhkan untuk menunjang efektivitas suatu aturan, yaitu:26
a. Attribute of Authority
Untuk berjalan secara efektif, maka hukum harus diterbitkan oleh pihak atau lembaga yang memiliki kewenangan di dalam masyarakat.
Peraturan yang dibuat bukan oleh lembaga atau pejabat dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Putusan-putusan tersebut ditujukan untuk mengatasi dan mengatur masyarakat.
b. Attribute of Universal Application
Aturan hukum harus memiliki keluasan dan berdaya jangkau untuk masa depan. Oleh karenanya, setiap peraturan yang dibuat hendaknya memerhatikan faktor filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Dengan demikian, aturan tersebut mencakup semua segmentasi yang dituju,
25 Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, (Bandung: Remadja Karya, 1985), h. 1-2.
26 Atho Mudzhar, Majalah Konstruksi Fatwa dalam Islam, Edisi 7, (Jakarta: Peradilan Agama, 2015), h. 144.
artinya peraturan tidak boleh hanya berlaku bagi kalangan tertentu saja sebab hal tersebut akan menimbulkan kecemburuan sosial dan berakhir dengan pertentangan.
c. Attribute of Obligation
Dalam sebuah aturan haruslah jelas apa perintahnya, berupa perintah atau larangan. Hal tersebut merupakan salah satu substansi sebuah peraturan. Peraturan yang menimbulkan ambiguitas dalam instruksi hanya akan memunculkan kebingungan dalam penerapan dan pelaksanaannya sehingga tidak dapat berjalan efektif.
d. Attribute of Sanction
Hal yang tidak kalah penting adalah sanksi daripada sebuah aturan.
Sanksi tersebut dibuat agar tata tertib dalam masyarakat tetap terpelihara, namun dalam kenyataannya tidaklah semua orang mau menaati kaidah- kaidah hukum itu. peran sanksi dalam suatu aturan hukum atau hukum adalah sebagai unsur penguatan yang memaksa supaya orang menaatinya.
Sementara itu, apabila kita merujuk pada teori milik Soerjono Soekanto efektivitas suatu hukum dapat dilihat dari 5 (lima) faktor. Adapun faktor-faktor yang dimaksud adalah sebagai berikut:27
a. Faktor Hukumnya Sendiri
Apabila melihat dari faktor hukumnya, efektivitas suatu hukum dapat diketahui melalui praktiknya sendiri di dalam masyarakat.
Sejatinya, hukum memiliki fungsi untuk keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Namun, ada kalanya terjadi pertentangan antara keadilan
27 Winarno Yudho, Heri Tjandrasari, Efektivitas Hukum dalam Masyarakat, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Nomor 1, Volume 17, 1987, FH Universitas Indonesia, h. 60.
dan kepastian hukum sehingga kemanfaatan hukum yang semestinya dirasakan tidak dapat terwujud. Pertentangan itu sendiri terjadi sebab kepastian hukum memiliki sifat yang konkret serta berwujud nyata sedang keadilan memiliki sifat yang abstrak dan tidak berwujud.
Sehingga, apabila suatu perkara diputus hanya melalui undang-undang saja, ada kalanya nilai keadilan itu tidak dapat tercapai. Oleh karenanya, ketika terjadi suatu permasalahan hukum, maka keadilan dijadikan sebagai prioritas utama.28
b. Faktor Penegak Hukum
Faktor lain yang dirasa perlu menjadi perhatian adalah mentalitas dan kemampuan dari para penegak hukum sebab hal tersebut yang kelak akan mempengaruhi pelaksanaan suatu hukum dalam masyarakat.29 Apabila suatu hukum telah dibentuk dengan sangat baik, tetapi kepribadian yang dimiliki oleh para penegak hukum tidak baik, maka akan terjadi permasalahan tersendiri dalam pelaksanaannya. Oleh karenanya, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum agar terlaksana dengan baik adalah bagaimana mentalitas atau kepribadian para penegak hukum itu sendiri.30
c. Faktor Sarana atau Fasilitas
Sarana atau fasilitas diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai suatu maksud dan tujuan. Dalam hal
28 Dian Eko Prakoso, Efektivitas Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Parkir Tepi Jalan Umum dalam Daerah Kota Makassar (Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum), h. 31.
29 Winarno Yudho, Heri Tjandrasari, Efektivitas Hukum dalam Masyarakat, h. 63.
30 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), h. 8.
efektivitas hukum, sarana dimaksudkan sebagai alat-alat yang digunakan oleh para penegak hukum dalam melaksanakan hukum. Apabila dalam pelaksanaan hukum tidak ditunjang dengan alat-alat yang dimakudkan, terdapat kemungkinan para penegak hukum akan sulit melakukan peranannya secara maksimal.
d. Faktor Masyarakat
Kesadaran hukum yang ada pada masyarakat merupakan salah satu aspek penentu apakah faktor masyarakat ini terlaksana atau tidak.
Kesadaran hukum sendiri diartikan sebagai kesadaran seorang individu maupun kelompok masyarakat kepada aturan-aturan atau hukum yang ada pada masyarakat itu sendiri. Hal ini bertujuan agar ketertiban, kedamaian, ketentraman, maupun keadilan keadilan yang selama ini menjadi asa dalam hidup bermasyarakat yang serasi dapat diwujudkan.31 Selain kesadaran hukum, pun kepatuhan hukum juga turut menjadi aspek penentuk dari keberlangsungan efektivitas hukum tersebut. Apabila masyarakat hanya memiliki kesadaran hukum tanpa disinkronkan dengan kepatuhan hukum itu sendiri, maka pelaksanaan hukum tidak dapat terlaksana dengan maksimal. Oleh karenanya, kedua aspek ini memiliki peranan yang penting guna efektivitas suatu hukum dapat terwujud nantinya.
e. Faktor Kebudayaan
Budaya hukum diartikan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang berkaitan dengan hukum dan sistem hukum serta sikap-sikap dan nilai- nilai yang berpengaruh terhadap sikap tindak dalam hukum. Oleh
31 Nurkasihani, Kesadaran Hukum Sejak Dini bagi Masyarakat, 2018, https://www.jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/kesadaran-hukum-sejak-dini-bagi-
masyarakat, diakses pada Senin, 30 November 2020.
Friedman, budaya hukum dianggap faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat dalam budaya yang telah hidup dalam masyarakat.32 Sementara itu, Soerjono Soekanto berargumen bahwa kebudayaan mempunyai fungsi mengatur guna masyarakat dengan mudah memahami bagaimana seharusnya ia bertindak, berbuat, serta menentukan sikap ketika dihadapkan dengan orang lain. dengan demikian, kebudayaan diartikan sebagai garis pokok terkait perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan kepada orang lain.33
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan peneliti, penelitian tentang
“Efektivitas Kekuatan Eksekutorial pada Sertifikat Jaminan Fidusia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019”, sudah pernah dilakukan oleh sejumlah kalangan, namun penelitian-penelitian tersebut memiliki perbedaan fokus penelitian dengan skripsi peneliti. Adapun sejumlah penelitan yang ditemukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Skripsi Ahmad Wahyudi, “Analisis Hukum Terhadap Kekuatan Eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia)”34
32 Winarno Yudho, Heri Tjandrasari, Efektivitas Hukum dalam Masyarakat, h. 63.
33 Dian Eko Prakoso, Efektivitas Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Parkir Tepi Jalan Umum dalam Daerah Kota Makassar (Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum), h. 34.
34 Ahmad Wahyudi, Analisis Hukum Terhadap Kekuatan Eksekutorial Sertipikat Jaminan Fidusia (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Skripsi, FSH UIN Jakarta, 2014.
Skripsi ini ditulis oleh Ahmad Wahyudi, Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum pada 2014 lalu. Skripsi ini membahas mengenai kekuatan eksekutorial yang terdapat pada sertifikat Jaminan Fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Adapun perbedaan penelitian skripsi ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah bahwa fokus peneliti dalam hal ini adalah efektivitas hukum pada pelaksanaan Putusan MK Nomor 18/PUU- XVII/2019. Sehingga, hal yang peneliti bahas dalam skripsi ini adalah kekuatan eksekutorial yang dimiliki sertifikat jaminan fidusia pasca diputusnya putusan tersebut serta sudah dapat atau belumkah efektivitas hukum dalam pelaksanaan putusan tersebut.
2. Skripsi Vileza Aldyan, “Eksekusi Jaminan Fidusia Akibat Kredit Macet (Kajian Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia”35
Skripsi ini ditulis oleh Vileza Aldyan, Fakultas Hukum, Universitas Jember pada 2012 lalu. Skripsi ini berfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi obyek fidusia berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 tentang Jaminan Fidusia. Adapun perbedaannya dengan penelitian yang peneliti lakukan bahwa peneliti melakukan penelitian dengan berfokus pada pelaksanaan eksekusi obyek fidusia berdasarkan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019.
3. Buku Abednego Isa Latuihamallo, “Dilema Dunia Multifinance (Fidusia dan Permasalahannya dalam Dunia Multifinance)”36
35 Vileza Aldyan, Eksekusi Jaminan Fidusia Akibat Kredit Macet (Kajian Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia), Skripsi, FH Jember, 2012.
36 Abednego Isa Latuihamallo, Dilema Dunia Multifinance (Fidusia dan Permasalahannya dalam Dunia Multifinance, (Jakarta: Gramedia, 2014).