BAB IV ANALISIS EFEKTIVITAS PUTUSAN MK NOMOR 18/PUU-
A. Pertimbangan Hakim pada Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019
Guna membuktikan dalilnya, para Pemohon mengajukan bukti surat atau tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-8 sebagai berikut:
1. Bukti P-1 berupa fotokopi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889);
2. Bukti P-2 berupa fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Bukti P-3 berupa fotokopi Kartu Tanpa Penduduk Elektronik (e-KTP) Pemohon I dan Pemohon II;
4. Bukti P-4 berupa fotokopi Sertifikat Jaminan Fidusia Nomor W11.01617952.AH.05.01 bertanggal 25 November 2016;
5. Bukti P-5 berupa fotokopi buku nikah para Pemohon;
6. Bukti P-6 berupa video rekaman dan foto debt collector yang ditugaskan oleh Penerima Fidusia untuk melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia dengan cara sewenang-wenang memaki dan mengancam akan membunuh Pemohon II;
7. Bukti P-7 berupa fotokopi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 345/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Sel tentang gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Penerima Fidusia;
8. Bukti P-8 berupa fotokopi foto pengeksekusian obyek jaminan fidusia yang dilakukan oleh Penerima Fidusia;
Kemudian, terhadap dalil-dalil permohonan para Pemohon beserta berbagai keterangan yang telah disampaikan oleh para Pemohon, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat, peneliti memperoleh beberapa pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang disimpulkan sebagai berikut:
Perjanjian jaminan fidusia dilakukan oleh dua pihak, yakni debitur selaku pemberi fidusia dan kreditur selaku penerima fidusia. Pemberian fidusia itu sendiri dilakukan sebagai jaminan adanya hubungan hukum utang-piutang antara kreditur dan debitur. Selain itu, disertakannya jaminan dalam perjanjian agar kreditur mempunyai hak tagi dalam pemenuhan pembayaran utang debitur dengan cara melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan tersebut.
Karakteristik utama terkait perjanjian jaminan fidusia terletak pada penyerahan hak kepemilikan atas benda yang dijadikan jaminan (obyek jaminan) yang dilakukan debitur kepada kreditur. Hal tersebut yang kemudian secara yuridis menunjukkan bahwa penguasaan obyek jaminan tersebut sudah beralih kepada kreditur. Namun, penguasaan fisiknya sendiri masih ada pada debitur dengan dilandasi asas kepercayaan.
Permasalahan konstitusionalitas Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia terkait “titel eksekutorial” dan “mempersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” pada sertifikat fidusia yang dipersoalkan oleh para Pemohon memiliki makna bahwa sertifikat tersebut mempunyai kekuatan eksekusi yang sama dengan putusan pengadilan tanpa
didahului permohonan secara keperdataan terlebih dahulu. Oleh karenanya, pelaksanaan eksekusi fidusia berdasarkan sertifikat jaminan fidusia dapat dilakukan sebagaimana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan adanya pemaknaan di atas, dapat dipahami pula bahwa frasa yang dipersoalkan pada Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia nyatanya telah memberi hak yang sangat kuat kepada kreditur. Hal ini dikarenakan sertifikat jaminan fidusia dapat langsung bekerja ketika debitur telah dianggap melakukan cidera janji. Sebab, berdasarkan perjanjian jaminan fidusia itu sendiri hak kepemilikan telah berpindah ke tangan kreditur sehingga kreditur dapat setiap saat mengeksekusi obyek jaminan.
Pemberian hak yang begitu kuat dan bersifat eksklusif kepada kreditur yang turut menunjukkan bahwa konstitusionalitas pada Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia tidak memberikan perlindungan hukum yang seimbang antara debitur dan kreditur, baik dalam hal kepastian hukum maupun keadilan itu sendiri. Hak yang diberikan kepada kreditur tersebut yang kemudian memicu pengabaian hak-hak yang dimiliki debitur. Adapun hak debitur yang dimaksudkan adalah pengajuan pembelaan diri atas tuduhan cidera janji yang dijatuhkan kreditur serta kesempatan mendapatkan hasil penjualan obyek jaminan fidusia dengan harga yang wajar.
Perspektif tersebut yang kemudian mendorong Majelis Hakim Konstitusi menyorot kembali penyerahan hak milik obyek jaminan yang dilakukan debitur kepada kreditur. Dalam hal ini, Majelis Hakim Konstitusi menemukan adanya ketidakseimbangan posisi tawar-menawar antara debitur dan kreditur dalam substansi perjanjian jaminan fidusia. Dengan kata lain, substansi perjanjian yang disetujui oleh para pihak telah berada dalam “keadaan tidak bebas secara sempurna dalam berkehendak”. Padahal, salah satu syarat fundamental
berkenaan dengan keabsahan perjanjian adalah kebebasan berkehendak ketika melakukan pembuatan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Setelah mencermati permasalahan yang ada berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia, dapat diketahui apabila dampak yang terjadi atas pasal tersebut adalah pengeksekusian obyek jaminan yang dilakukan oleh kreditur tanpa memerlukan pengajuan permohonan kepada pengadilan negeri. Oleh karenanya, tindakan tersebut yang kemudian berpotensi (bahkan secara aktual) tidakan sewenang-wenang dan pelaksanaannya sendiri dilakukan dengan cara yang kurang “manusiawi”, baik berupa ancaman fisik maupun psikis, sebagaimana yang telah dialami oleh para Pemohon sebelumnya.
Berkenaan dengan Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia, Majelis Hakim Konstitusi berpendapat bahwa persoalan dalam pasal yang dimaksud merupakan persoalan turunan dari Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia. Sebab, frasa
“cidera janji” yang ada pada Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia memiliki keterkaitan yang kuat dengan eksekusi mandiri terhadap sertifikat jaminan fidusia yang dilakukan oleh kreditur.
Dalam hal keterkaitannya sendiri dapat dilihat bahwa terdapat ketidakpastian hukum atas penjatuhan waktu kapan sesungguhnya debitur benar-benar melakukan cidera janji. Pun juga, terdapat ketidakpastian hukum atas pihak mana yang berwenang menjatuhkan cidera janji tersebut. Oleh karena adanya ketidakpastian hukum tersebut yang kemudian menimbulkan wewenang absolut kepada kreditur untuk menjatuhkan cidera janji dalam perjanjian jaminan fidusia secara sepihak. Hal tersebut yang kemudian memicu pengeksekusian obyek jaminan secara mandiri oleh kreditur tanpa adanya pengajuan permohonan ke pengadilan negeri serta memangkas hak-hak debitur melakukan pembelaan diri maupun kesempatan menerima sisa penjualan obyek jaminan dengan adil. Selain
hal tersebut, ketidakpastian hukum tersebut turut memunculkan adanya berbagai tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh kreditur sehingga akhirnya merendahkan harkat dan martabat debitur.54
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka terlihat jelas bahwa persoalan yang ada pada substansi Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia nyatanya telah melahirkan ketimpangan hak antara debitur dan kreditur. Oleh karenanya, tujuan hukum yang mana ingin menciptakan kondisi bermasyarakat yang tertib dan teratur tidak akan mungkin dapat tercapai.
Sebab, keadilan dan kepastian hukum yang menjadi sesuatu yang fundamental dalam mewujudkan tujuan hukum itu sendiri tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.55
Guna mewujudkan tujuan hukum tersebut, Majelis Hakim Konstitusi pada akhirnya membuat suatu kebijakan baru terkait Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia. Adapun kebijakan baru yang dimaksud adalah dengan memberikan pemaknaan baru kepada dua pasal tersebut. Pemaknaan barunya sendiri secara ringkas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Apabila sertifikat jaminan fidusia dapat dilaksanakan sebagaimana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena memiliki titel eksekutorial dan irah-irah yang ada pada kepala putusan, maka prosedur pelaksanaannya sendiri haruslah merujuk pada Pasal 196 HIR serta Pasal 208 RBg. Dengan kata lain, eksekusi obyek jaminan semestinya didahului dengan mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan negeri, tidak serta-merta langsung melakukan eksekusi secara mandiri.
54 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.
55 Andi Wahyu Wibisana, Teori Mochtar Kusumaatmadja tentang Hukum Sarana Pembangunan Masyarakat sebagai Teori Jalan Tengah antara Aliran Mazhab Positivisme dengan Mazhab Sejarah, Jurnal Hukum Themis, Nomor 1, Volume 9, 2017, FH Universitas Pancasila, h. 971.
2. Dalam hal penjatuhan cidera janji yang biasa dilakukan secara sepihak oleh kreditur, maka hal ini tidak dapat lagi diberlakukan. Sebab, penjatuhan cidera janji secara sepihak nyatanya seringkali menimbulkan tindakan yang bersifat sewenang-wenang oleh kreditur kepada debitur. Guna mengakhiri hal tersebut, maka Majelis Hakim Konstitusi memutuskan bahwa penjatuhan cidera janji haruslah dilakukan oleh kedua pihak, yakni debitur dan kreditur.
3. Agar ciri khas dari perjanjian jaminan fidusia yakni eksekusi mandiri oleh kreditur tidak hilang dikarenakan putusan Majelis Hakim Konstitusi ini, maka dibuatlah suatu pengecualian dalam hal pemberlakukan eksekusi mandiri. Eksekusi mandiri oleh kreditur dapat dilakukan ketika debitur menyetujui adanya cidera janji yang dilakukannya dalam pelaksanaan perjanjian jaminan fidusia. Apabila debitur dan kreditur sama-sama bersepakat bahwa terdapat cidera janji dalam perjanjian mereka, maka kreditur diberi kewenangan untuk melakukan eksekusi mandiri tanpa perlu mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri. Namun apabila debitur menolak dugaan cidera janji tersebut, maka prosedur pengeksekusian haruslah didahului dengan mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 196 HIR serta Pasal 208 RBg.
Berangkat dari pertimbangan-pertimbangan dan putusan Majelis Hakim Konstitusi di atas, peneliti kemudian menghubungkannya dengan teori penegakan hukum (tujuan hukum) milik Gustav Radruch. Dalam teorinya, Gustav berpendapat bahwa penegakan suatu hukum haruslah memenuhi tiga asas yang terdapat dalam ajaran Cita Hukum (Idee des Recht). Adapun asas-asas yang
dimaksud adalah asas kepastian hukum (rechtssicherkeit), asas keadilan (gerechtigkeit), dan asas kemanfaatan (zweckmasigkei).56
Gustav menuturkan bahwa tiga asas yang dijadikan tumpuan berpikir tersebut berorientasi menciptakan suatu harmonisasi dalam pelaksanaan hukum.
Adapun harmonisasi yang dimaksudkan adalah memberi perlindungan maupun pengayoman bagi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Aktif dimaksudkan sebagai upaya menciptakan kondisi kemasyarakatan yang berlangsung secara wajar. Sementara itu, pasif dimaksudkan sebagai upaya pencegahan atas tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil.57
Bila teori ini diaplikasikan ke dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019, maka dapat terlihat bahwa Majelis Hakim Konstitusi mencoba menerapkan tiga asas dalam cita hukum di atas dalam memutus perkara tersebut.
Penerapannya sendiri dapat dilihat melalui penggunaan tiga asas ini dalam pertimbangan-pertimbangan yang telah dipaparkan di atas, juga dalam putusan yang mana di dalamnya memuat kebijakan baru atas pemaknaan Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia.
Dalam hal keadilan, Hans Kelsen yang berpendapat bahwa keadilan sejatinya tidak hanya membawa kebahagiaan bagi seorang individu atau pihak tertentu saja, melainkan haruslah membawa kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya individu. Adanya penerapan asas keadilan dalam Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentunya diperuntukan untuk membawa kebahagiaan bagi setiap individu tanpa terkecuali. Sebab, apabila kita menyorot kembali Pasal 15
56 Tata Wijayanta, Asas Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan dalam Kaitannya dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga, Jurnal Dinamika Hukum, Nomor 2 Volume 14, FH UGM, Mei 2014, h. 219.
57 Pojok Wacana, Memahami Teori Tiga Nilai Hukum Gustav Radbruch, http://www.pojokwacana.com/memahami-teori-tiga-nilai-hukum-gustav-radbruch/, diakses pada 10 Oktober 2020.
ayat (3) UU Jaminan Fidusia sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, bisa kita lihat bahkan rasakan adanya ketimpangan hak yang pada akhirnya menjadikan pihak kreditur sebagai sosok yang memiliki „kekuasaan penuh‟ atas perjanjian tersebut. Oleh karena itu, tindakan bersifat sewenang-wenang yang kerap dilakukan kreditur kepada debitur tidak dapat dihindari karena debitur dianggap sebagai pihak yang tidak memiliki kuasa penuh sebagaimana seorang kreditur. Dengan demikian, keadilan yang semestinya dirasakan oleh setiap individu yang terikat dalam perjanjian jaminan fidusia tersebut pada akhirnya tidak tercapai sebab „kekuasaan penuh‟ yang dimiliki oleh kreditur.
Sementara dalam hal kepastian hukum yang dipersoalkan pada Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia sejatinya memiliki keterkaitan kuat dengan perihal keadilan yang telah peneliti singgung sebelumnya. Apabila dilihat secara normatif, kepastian hukum merupakan aturan yang dibentuk dan disahkan oleh pihak berwenang yang mana tujuannya sendiri adalah mengatur kehidupan masyarakat dengan jelas dan logis.58 Dengan pemahaman tersebut, maka dapat dikatakan kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang sehingga harapan memperoleh kehidupan yang teratur, penuh keadilan, serta keserasian akan terwujud. Akan tetapi, kekaburan makna pada Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia pada akhirnya menciptakan ketidakpastian atas pelaksanaannya sehingga berimbas pada ketidakadilan dan ketimpangan hak bagi para debitur yang terikat dalam perjanjian jaminan fidusia.
Tidak terpenuhinya asas keadilan dan kepastian hukum pada Pasal 15 ayat (2) dan 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia yang kemudian memunculkan berbagai penderitaan serta tidak teraihnya kebahagiaan sebagaimana yang dimaksudkan oleh kemanfaatan hukum. Sebab, tujuan dibentuknya hukum itu
58 CST Kansil, Christine S.T. Kansil, Engelien R. Palandeng, dan Godlieb N. Mamahit, Kamus Istilah Hukum, (Jakarta, 2009), h. 385.
sendiri adalah untuk menciptakan suatu kemanfaatan atau kebahagiaan bagi masyarakat secara menyeluruh, bukan pihak-pihak tertentu saja.
Adanya perubahan makna pada Pasal 15 ayat (2) dan 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia yang diputus oleh Majelis Hakim Konstitusi tersebut tentunya diharapkan mampu mewujudkan perlindungan hukum bagi seluruh elemen masyarakat (dalam hal ini debitur dan kreditur) tanpa terkecuali. Sebab, jika menyorot kembali hal yang melatarbelakangi Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 terdapat persoalan-persoalan yang memang mengganggu keharmonisan hidup dalam bermasyarakat. Oleh sebab itu, dengan adanya putusan ini Majelis Hakim Konstitusi jelas mengharapkan keserasian hidup antara masyarakat satu dengan yang lainnya dapat tercipta. Dengan demikian, perlindungan hukum yang telah dijaminkan oleh negara kepada masyarakatnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 mampu terlaksana dengan sempurna.
B. Efektivitas Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 terhadap Kekuatan