1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan sebuah negara hukum yang dibentuk berdasarkan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Berdasarkan konstitusi tersebut khususnya pada bagian pembukaan dinyatakan bahwa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial adalah merupakan tujuan dari negara.1
Tujuan negara tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam isi batang tubuh Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa negara bertujuan untuk menjamin hak tiap-tiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Adapun pelaksanaannya diwujudkan dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, salah satunya adalah peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan.
1 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
2 Pekerja sebagai salah satu bagian dari Hukum Ketenagakerjaan merupakan komponen penting dalam suatu perusahaan sebagai pelaku dalam tujuan pembangunan nasional. Tenaga kerja merupakan faktor yang penting dalam proses produksi, sebagai penjalan proses produksi, tenaga kerja mempunyai peran vital dalam proses produksi daripada sarana produksi lain semisal bahan mentah, tanah, air, dan lain-lain. Hal itu disebabkan oleh tenaga kerjalah yang menjadi penggerak seluruh sumber-sumber tersebut untuk menghasilkan suatu produk.
Ketenagakerjaan merupakan bagian dari suatu hal yang tidak bisa dipisahkan untuk membantu pembangunan nasional. Tenaga kerja mempunyai peran serta dan posisi yang sangat penting sebagai pelaku dan sasaran pembangunan nasional. Pembangunan ketenagakerjan di Indonesia didasarkan pada Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (2), dan Pasal 281 ayat (4) Undang- Undang Dasar 1945. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, hak atas pekerjaan hak untuk bekerja, perlindungan terhadap hak asasi manusia, dalam hal ini pekerja, adalah hak konstitusional setiap warga negara Indonesia yang merupakan tanggung jawab negara untuk memenuhinya. Sehingga hal ini berarti bahwa menurut amanat konstitusi, negara wajib memberikan perlindungan terhadap warga negara yang akan menggunakan haknya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Hak-hak seorang tenaga kerja yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia merupakan hak yang harus diperjuangkan agar harkat, martabat, derajat kemanusian tenaga kerja juga turut serta terangkat.
3 Perlindungan tenaga kerja dimaksudkan dengan tujuan menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dengan masih memperhatikan perkembangan kemajuan dunia dan kemajuan zaman yang semakin maju dalam dunia usaha nasional dan internasional.
Pengaturan mengenai ketenagakerjaan diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, di awal tahun 2020 pemerintah mencanangkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (selanjutnya disebut dengan RUU Cipta Kerja) dengan menggunakan konsep Omnibus Law. RUU tersebut dipersiapkan oleh Pemerintah sebagai sebuah skema demi upaya membangun perekonomian Indonesia, agar menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pemerintah menilai perlu adanya RUU Cipta Kerja oleh karena angka pengangguran di Indonesia yang begitu tinggin yakni mencapai 7 juta jiwa, sehingga dengan adanya RUU Cipta Kerja ini dapat membuka lapangan kerja baru.2
Konsep Omnibus Law adalah konsep yang baru diterapkan dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Sistem ini sering juga disebut dengan Undang-Undang sapu jagat karena mengganti beberapa norma undang-undang ke dalam satu peraturan saja.3 Selain itu, konsep ini juga dijadikan alat untuk memangkas beberapa aturan norma yang dianggap merugikan kepentingan negara dan tidak mengikuti perkembangan zaman
2 RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Untuk Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi, Biro Humas Hukum dan Kerjasama Kemenkum Ham. https://www.kemenkumham.go.id/berita/ruu- omnibus-law-ciptalapangan-kerja-untuk-tingkatkan-pertumbuhan-ekonomi
3 Adhi Setyo Prabowo, Politik Hukum Omnibus Law. Jurnal Pamator, Volume 13 No. 1, April 2020, hlm 4.
4 Terdapat sebelas klaster di dalam RUU Cipta Kerja yang salah satu diantaranya mengatur tentang ketenagakerjaan. Klaster ini melingkupi 3 undang-undang yang dilebur menjadi satu yakni Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial, serta Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pada klaster ketenagakerjaan ini Pemerintah berupaya untuk mengharmonisasikan 3 undang-undang tersebut agar sejalan sehingga mampu memberikan sebuah ruang kepada investor untuk melihat regulasi yang telah disempurnakan tanpa perlu khawatir adanya regulasi yang tumpang tindih dan mengakibatkan kerugian kepada investor itu sendiri.4
RUU Cipta Kerja pada akhirnya resmi disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam rapat paripurna DPR tanggal 5 Oktober 2020 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 5 November 2020. Di dalam proses perancangan RUU Cipta Kerja hingga saat setelah disahkahnnya RUU tersebut terdapat banyak sekali opini-opini dari masyarakat yang memuat kontra. Adapun opini-opini publik ini tidak lain disebabkan karena pengerjaannya yang di-deadline hanya 100 hari oleh Presiden Jokowi dan juga tidak melibatkan banyak pihak dalam pembuatannya. Ada beberapa hal yang sangat penting dan menjadi permasalahan utama didalam Undang-undang Cipta
4 Fajar Kurniawan, Problematika Pembentukan RUU Cipta Kerja Dengan Konsep Omnibus Law Pada Klaster Ketenagakerjaan Pasal 89 Angka 45 Tentang Pemberian Pesangon Kepada Pekerja Yang Di PHK. Jurnal Panorama Hukum, Volume 5 No. 1, Juni 2020, hlm. 64.
http://ejournal.unikama.ac.id/index.php/jph/article/download/4437/2680/
5 Kerja ini, diantaranya adalah permasalahan pengaturan terkait Pengupahan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Permasalahan UU Cipta Kerja khususnya dalam kluster Ketenagakerjaan ini dalam penelitian terdahulu telah dianalisis mengenai jaminan hak bagi pekerja pada muatan pasal-pasal tentang Ketenagakerjaan yang termaktub dalam UU Cipta Kerja. Selain itu juga mengkaji konsep filosofis yang menjadi dasar karakteristik pasal-pasal ketenagakerjaan pada undang-undang ini. Penelitian ini membahas bagaimana pasal-pasal terkait upah, pesangon, dan PHK belum memberikan jaminan hak pekerja. Pasal-pasal tersebut dinilai mengandung unsur ketidakpastian hukum yang dapat merugikan pekerja. Selain itu, penelitian tersebut menyebutkan bahwa secara filosofis substansi dalam UU Cipta Kerja ini berdasar pada orientasi investasi ekonomi sehingga tampak bahwa spirit undang-undang tidak menyentuh upaya untuk peningkatan kompetensi kerja. 5
Dalam penelitian selanjutnya menunjukan bahwa permasalahan PKWT ini juga menjadi momok bagi pekerja karena substansi pasal-pasalnya yang mengandung ketidakpastian hukum sehingga perlu lebih lanjut diatur dalam peraturan pelaksananya. 6
Pada dua penelitian terdahulu tersebut, dijelaskan bahwa kebijakan dalam UU Cipta Kerja khususnya di bidang ketenagakerjaan memang sangat jauh dari harapan untuk dapat melindungi pekerja/buruh sebagai pihak yang berperan
5 Muh Sjaiful, Problematika Normatif Jaminan Hak-Hak Pekerja Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Jurnal Media Luris. Vol.4 No. 1, 2021.
6 Dewa Gede Giri Santosa, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasca Undang-Undang Cipta Kerja:
Implementasi dan Permasalahannya. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 17 No. 2, 2021.
6 besar terhadap pembangunan nasional. Dalam penelitian-penelitian tersebut terdapat kesamaan dengan menyebutkan bahwa masih terdapat problematika normatif terkait ketenagakerjaan secara umum dalam pemberian jaminan kepastian hukum bagi jaminan hak-hak pekerja. Namun, sudut pandang dalam penelitian yang penulis lakukan ini hanya akan terfokus terkait kebijakan Pengupahan dan PKWT saja. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan dengan mengacu pada tujuan pembangunan ketenagakerjaan pada Pasal 4 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk menilai apakah memang substansi atau muatan pasal pada UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan ini memang saling bertentangan secara normatif. Lebih lanjut, penulis melakukan analisis lebih mendalam untuk menguatkan fakta bahwa peraturan sebelumnya, yaitu UU Ketenagakerjaan, dalam mengatur substansi yang sama dengan UU Cipta Kerja, merupakan bentuk peraturan yang lebih baik dan tidak bertentangan secara normatif dengan tujuan pembangunan ketenagakerjaan. Memang belum banyak penelitian terkait substansi dari UU Cipta Kerja ini, karena undang- undang ini baru disahkan dan berlaku selama kurang lebih satu tahun dan juga karena perkembangannya cukup lambat. Namun, hal-hal tersebutlah yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yang sudah pernah dilakukan.
Ketentuan mengenai pengupahan dalam UU Cipta Kerja cukup menjadi permasalahan dalam bidang ketenagakerjaan karena tidak menciptakan nilai keadilan bagi kaum pekerja/buruh. Pertama, Pasal 81 angka 24 UU Cipta kerja mengurangi jenis-jenis upah yang didapatkan oleh buruh. Kebijakan
7 pengupahan yang diperoleh oleh pekerja/buruh menurut Pasal 88 ayat (3) UU Ketenagakerjaan adalah meliputi upah minimum; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja karena berhalangan; upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; bentuk dan cara pembayaran upah; denda dan potongan upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; struktur dan skala pengupahan yang proporsional; upah untuk pembayaran pesangon; dan upah untuk perhitungan pajak penghasilan.7 Namun, Dalam UU Cipta Kerja poin tentang upah karena tidak masuk kerja karena berhalangan, upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, dan upah untuk perhitungan pajak penghasilan tersebut dihilangkan.
Permasalahan kedua adalah dimana UU Cipta Kerja melalui Pasal 81 angka 24 telah mengahapuskan ketentuan bahwa Komponen Hidup Layak menjadi dasar Pemerintah untuk menetapkan upah minimum dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, sebagimana terdahulu diatur dalam Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Dalam UU Cipta Kerja, ketentuan mengenai penetapan upah minimum diatur dalam Pasal 88D, yang mana sebelumnya tidak ada dalam UU Ketenagakerjaan. Pasal 88 D tersebut mengatur bahwa upah minimum dihitung dengan menggunakan formula upah minum yang memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
Ketiga, yaitu perubahan ketentuan tentang penyusunan struktur dan skala upah bagi pekerja. Dalam Pasal 92 UU Ketenagakerjaan, pengusaha dalam
7 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
8 menyusun struktur dan skala upah harus memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Selanjutnya dalam ayat (2), pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. Namun, dalam UU Cipta kerja, Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan hanya dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas saja.
Undang-undang Cipta Kerja pada klaster Ketenagakerjaan disisi lain juga menimbulkan permasalahan terkait pengaturan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Perjanjian kerja menurut Pasal 1 angka (14) Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yaitu perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.8 Dalam Hukum Ketenagakerjaan, jenis perjanjian kerja dibedakan atas Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Perjanjian Kerja Waktu Tertentu adalah perjanjian kerja antar pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.9 Dalam PKWT, perusahaan mempekerjakan karyawan dalam kontrak, sehingga pekerja bersangkutan disebut dengan karyawan kontrak yang sifatnya hanya sementara.
Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PKWT diatur dalam Bab IX tentang Hubungan Kerja, khususnya pada Pasal 56 sampai dengan Pasal
8 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
9 Fithriatus Shaliha. Implementasi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) dalam Hubungan Kerja di Indonesia. Jurnal Selat, Vol. 4, No. 1, 2016, pp. 70-100.
9 63. Dari 8 pasal tentang PKWT tersebut UU Cipta Kerja mengubah Pasal 56, 57, 58, 59, dan 61, serta menyelipkan satu Pasal diantara Pasal 61 dan Pasal 62, yaitu Pasal 61A.
Dalam perubahan terhadap pengaturan PKWT tersebut, terdapat beberapa permasalahan yang dapat digaris bawahi. Pertama, adanya perubahan terkait ketentuan jangka waktu dalam Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang merumuskan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas dasar jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.10 Namun, dalam UU Cipta Kerja ketentuan tersebut dihapuskan dan dirumuskan kembali dalam Pasal 81 angka 12 UU Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jangka waktu tertentu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.11
Lebih lanjut dalam peraturan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT- PHK) Pasal 8 ayat (1), menyebutkan bahwa PKWT berdasarkan jangka waktu tertentu dapat diadakan paling lama 5 (lima) tahun. Apabila jangka waktu tersebut berakhir dan pekerjaan belum selesai, maka dapat dilakukan
10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Kenetanagkerjaan
11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
10 perpanjangan PKWT dengan jangka waktu sesuai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.
Perubahan ketentuan jangka waktu tersebut dinilai pemerintah supaya dapat mengikuti dinamika tenaga kerja yang sangat tinggi serta demi tercapainya kemudahan investor. Namun, dalam aturan baru tersebut tidak terdapat ketentuan menganai mekanisme atau tata cara pembaharuan kontrak PKWT sebagaimana dahulu diatur dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan, sehingga di sini terdapat celah untuk timbulnya ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi para pekerja.
Pembaruan PKWT dalam pengaturan terdahulu bisa dilakukan setelah melebihi masa tenggang 30 hari dan dapat dilakukan paling lama untuk 2 tahun. Hilangnya ketentuan mengenai periode PKWT itu membuat buruh dapat dikontrak berulang kali dan dalam waktu yang lebih lama. Apabila PKWT dibuat didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tertentu, dan pekerjaan itu belum selesai, maka PKWT itu dapat berpotensi diperpanjang sampai batas waktu selesainya pekerjaan.
Kedua, Pasal 81 angka 13 UU Cipta Kerja menghapus ketentuan Pasal 57 ayat (3) dimana PKWT demi hukum menjadi PKWTT apabila perjanjiannya dibuat secara tidak tertulis. Hapusnya ketentuan tersebut mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi para pekerja dengan PKWT yang tidak dibuat secara tertulis.
Dari berbagai ketentuan PKWT dalam UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya tersebut dapat dilihat bahwa pengaturan hubungan kerja terkait
11 PKWT belum sepenuhnya dapat mencerminkan rasa keadilan bagi buruh/pekerja. Penybabnya yakni karena PKWT bisa saja ditafsirkan sebagai PKWT yang dapat diperpanjang terus-menerus, namun disisi lain pekerja/buruh tidak berhak atas pesangon, hanya berupa uang kompensasi PKWT.
Sejatinya, kedudukan pengusaha dan buruh adalah setara di depan hukum (equality before the law), namun secara sosiologis kedudukan keduanya timpang. Pengusaha mempunyai posisi yang lebih kuat secara sosial dan ekonomi. Hal inilah yang membuat pentingnya peran pemerintah atau negara untuk membuat aturan hukum perburuhan agar bisa seimbang demi tercapainya tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Semangat UU Cipta Kerja yang mengutamakan investasi sangat berbeda dengan prinsip UU Ketenagakerjaan yang lebih melindungi buruh. UU Cipta Kerja tidak menyelesaikan masalah UU Ketenagakerjaan, tapi justru menambah permasalahan baru. Hukum ketenagakerjaan itu hakikatnya melindungi buruh, berbeda dengan UU Cipta kerja yang perspektifnya mengutamakan bisnis, memudahkan investasi, dan lainnya.
Berdasarkan penjabaran tersebut di atas maka Penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “KEBIJAKAN PENGUPAHAN DAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) PADA UNDANG-UNDANG
12 NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA DALAM PERSPEKTIF TUJUAN HUKUM KETENAGAKERJAAN.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkain uraian yang telah dijabarkan dalam latar belakang, terdapat beberapa permasalahan yang dirasa perlu mendapatkan penyelesaian. Adapun identifikasi masalah akan dibahas dengan rumusan sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis terhadap pengaturan pengupahan dalam Undang- Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditinjau dari tujuan hukum ketenagakerjaan?
2. Bagaimana analisis terhadap pengaturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditinjau dari tujuan hukum ketenagakerjaan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui dan meneliti lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditinjau dari perspektif tujuan hukum ketenagakerjaan.
2. Mengetahui dan meneliti lebih lanjut tentang kebijakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditinjau dari perspektif tujuan hukum ketenagakerjaan.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
13 Secara teoritis, penelitian ini diharapkan menambah serta memperluas wawasan mahasiswa secara khusus dan masyarakat secara umum mengenai peraturan terkait Pengupahan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan informasi bagi masyarakat terkait bagaimana pengaturan mengenai Pengupahan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja dan dalam peraturan pelaksananya. Serta masyarakat mampu memahami seberapa jauh pengaturan baru terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja ini dapat memberikan perlindungan hukum yang berkeadilan bagi para pekerja/buruh.
E. Metode Penelitian
Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.
Metodologis artinya metode atau cara tertentu, sistematis berarti berdasarkan pada suatu sistem, sedangkan konsisten berarti adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.12
1. Metode Pendekatan
12 Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, hal. 43
14 Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah dengan melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian atau penulisan.13 Metode pendekatan yuridis adalah suatu cara yang digunakan dalam suatu penelitian yang memepergunakan asas-asas serta peraturan perundang-undangan untuk meninjau, melihat, serta menganalisa permasalahan. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku- buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif.
Metode penelitian yuridis normatif ini dipilih oleh penulis karena dilatar belakangi oleh sasaran penelitian, yaitu analisis peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2021 tentang Cipta Kerja dan juga peraturan lain yang menyangkut bahan kajian. Karena tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Statute approach merupakan metode dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian.14
13 Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 112
14 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2007, hal. 302
15 2. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder.
a. Bahan Hukum Primer
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.
b. Bahan hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang ditulis atas buku- buku teks (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-
kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.15
Bahan hukum sekunder yang digunakan antara lain:
1. Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja;
2. Literatur berupa buku-buku yang berisi teori-teori dan pendapat dari para ahli hukum;
15 Ibid, hal. 296
16 3. Karya tulis dalam bentuk jurnal-jurnal hukum, skripsi, maupun
laporan penelitian yang relevan dengan tema penelitian;
4. Artikel dalam jurnal hukum di internet, dan lain-lain.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya: kamus Bahasa Inggris, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dimaksudkan adalah untuk memperoleh sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian.
Teknik pengumpulan bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis adalah dengan menggunakan kajian hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang masih berlaku di Indonesia. Adapun teknik yang penulis gunakan untuk memperoleh bahan hukum sekunder yakni dengan melakukan studi kepustakaan untuk mencari pendapat ahli hukum, teori- teori hukum yang berkaitan. Sedangkan teknik pengumpulan bahan hukum tersier didapatkan melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus Hukum (Dictionary of Law).
4. Teknik Analisa
Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif.
Adapun analisis kualitiatif yaitu analisis bahan hukum dengan cara memahami dan kemudian merangkai bahan hukum sehingga dapat
17 ditemukan gambaran permasalahan yang diteliti dengan menggunakan penjelasan secara deduktif. Penjelasan deduktif maksudnya penjelasan dari umum ke khusus dengan menjabarkan bahan-bahan hukum terkait penelitian agar dapat ditarik sebuah kesimpilan atas pokok permasalahan yang dikaji.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini sistematika penulisan terbagi menjadi 4 BAB yang saling berkaitan dan berhubungan, yang terdiri sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini menjelaskan beberapa hal yakni latar belakang penggambaran masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan yang digunakan sebagai kerangka acuan dalam menyusun penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan tentang bahan-bahan teori, tinjauan pustaka yang terkait dengan hukum perdata khususnya hukum ketenagakerjaan, pendapat ahli hukum, dan kajian yuridis normatif sesuai dengan hukum yang masih berlaku dan dipakai dalam penelitian ini.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat hasil penelitian yang dibuat oleh penulis. Pembahasan yang akan diuraikan dalam bab ini adalah mengenai rumusan masalah yang diangkat oleh penulis yaitu Kebijakan Pengupahan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
18 (PKWT) pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam Perspektif Tujuan Hukum Ketenagakerjaan
BAB IV PENUTUP
Bab ini memuat tentang kesimpulan dan saran dari penulis atas semua pembahasan yang sudah dibahas di dalam penulisan tentang Kebijakan Pengupahan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam Perspektif Tujuan Hukum Ketenagakerjaan.