• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AQIDAH DALAM KITAB MAULID AD-DIBA I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "NILAI-NILAI PENDIDIKAN AQIDAH DALAM KITAB MAULID AD-DIBA I"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AQIDAH DALAM KITAB MAULID AD-DIBA’I

Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Strata Satu dalam Bidang

Pendidikan Agama Islam (S.Pd.)

Oleh:

YANUARDY CHANDRA NIM : 15.13.00.19

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA

AGUSTUS 2020

(2)

I

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “Nilai-nilai Pendidikan Akidah dalam Kitab Maulid ad- Diba’i” yang disusun oleh Yanuardy Chandra Nomor Induk Mahasiswa:

15.13.00.19 telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan ke sidang munaqasyah.

Jakarta, 1 Maret 2022 Pembimbing,

Hayyaturohman, M. Si.

(3)

II

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Yanuardy Chandra

NIM : 15.13.00.19

Tempat/Tgl. Lahir : Januari, 20 Januari 1996

Menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Nilai-nilai Pendidikan Akidah dalam Kitab Maulid ad-Diba’i” adalah hasil karya asli, bukan hasil plagiasi, kecuali kutipan-kutipan yang disebutkan sumbernya atau atas petunjuk para pembimbing. Jika di kemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka sepenuhnya akan menjadi tanggungjawab penulis dan bersedia gelar akademiknya dibatalkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Jakarta, 1 Maret 2022

Yanuardy Chandra 15.13.00.19

(4)

III

KATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا الله مسب

ِّهْيَلَع ْك ِّراَب َو ْمِّ لَس َو ِّ لَص َّمُهّٰللَا

Bismillah, alhamdulillah. Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Allah Dzat yang Maha Tunggal, yang Maha Wujud, yang Maha terdahuu, yang Maha Kekal, yang berbeda dengan makhluk-Nya yang telah memberikan hidayah, taufik serta inayah-Nya kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini di dalam skripsi yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Akidah dalam Kitab Maulid ad-Diba’i. Shalawat beriring salam serta penghormatan yang pantas kami haturkan kepada suri teladan serta Rasul yang tinggi derajat-Nya yaitu Rasulullah Muhammad SAW.

beserta keluarganya, sahabatnya, dan juga para pengikutnya yang setia hinggal yaumil ba’ats.

Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini banyak kekurangan dan kemungkinan kesalahan di dalamnya yang sangat banyak, karena keterbatasan dan kelemahan penulis dalam memahami teks di dalam kitab Maulid ad-Diba’I, maka dari itu penulis sangat mengharapkan saran dan masukkan dari berbagai pihak guna lebih menyempurnakan skripsi ini.

(5)

IV

Selanjutnya, penulis menyadari banyak sekali mendapatkan bimbingan, motivasi dan bantuan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Juri Ardiantoro, Ph.D. Selaku Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta.

2. Dede Setiawan, M. Pd. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta.

3. Saiful Bahri, M. Ag. Selaku ketua Prodi Pendidikan Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta.

4. Hayyaturohman, M. Si. Selaku dosen pembimbing yang dengan keredhoan hati dan kesabaran untuk selalu meluangkan waktu dan memberikan bimbingan pada proses penyusunan skripsi saya.

5. Mujahid M.M.Pd. Selaku dosen penelaah pada seminar proposal yang telah memberikan banyak masukkan terhadap skripsi saya sehingga terbuka jalan untuk memperbaiki skripsi ini ke depannya.

6. Dewi Anggraeni, Lc. Ma. Selaku dosen yang sejak awal selalu memberikan motivasi kepada teman-teman mahasiswa di kelas non-reguler PAI 2015 untuk selalu percaya diri dan berjuang sampai akhir menyelesaikan perkuliahan.

(6)

V

7. Seluruh dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta yang telah mendidik dan berbagi ilmu sehingga saya dapat menyelesaikan studi strata satu yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

8. Keluarga besar tercinta daripada alm. Bapak Zaini Chandra yang telah mensupport dan mendidika saya sejak kecil sampai sedewasa ini

9. Teman-teman seperjuangan di prodi PAI Universitas Nahdlatul

‘Ulama Non-Reguler Angkatan 2015 yang selalu menjadi teman berjuang yang supportif dan baik hati untuk perjalanan akademis saya.

Penulis mungkin tidak dapat membalas kebaikan saudara- saudara yang telah banyak membantu secara langsung maupun tidak langsung di dalam proses penyusunan skripsi ini, akan tetapi penulis mengharapkan semoga kebaikan dan pertolongan Allah SWT. selalu menyertai orang-orang yang tercantum pada ucapan terima kasih di atas. Mudah-mudahan skripsi ini dapat menjadi tambahan referensi bagi dunia Pendidikan Islam khususnya dan bermanfaat bagi diri penulis sendiri maupun bagi orang lain.

Wassalamualaikum Wr.Wb

(7)

VI

Jakarta, 1 Maret 2022

Yanuardy Chandra NIM : 15.13.00.19

(8)

VII

ABSTRAK

Yanuardy Chandra. Nilai-nilai Pendidikan Akidah dalam Kitab Maulid ad-Diba’o. Skripsi. Jakarta: Program Studi Pendidikan Agama Islam. Universitas Nahdhatul ‘Ulama Indonesia Jakarta. 2020.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari Nilai-nilai Pendidikan Akidah di dalam Kitab Maulid ad-Diba’i. Hipotesis yang diuiji adalah terdapat nilai-nilai Pendidikan Akidah di dalam kitab Maulid ad-Diba’i.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan judul Nilai-nilai Pendidikan Akidah dalam Kitab Maulid ad-Diba’i. Penelitian ini menjadikan bahan Pustaka sebagai sumber data utama dan acuan pokok di dalam penelitian ini adalah Kitab Maulid ad-Diba’i. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari sumber utama serta mengeksplorasi informasi dengan dukungan sumber sekunder.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya nilai-nilai Pendidikan akidah di dalam kitab maulid ad-Diba’i yang disusun Syaikh Abdurrahman ad-Diba’i. Mushonnif menyusun kitab ini dengan menyertakan nilai-nilai Pendidikan akidah secara tersurat langsung di dalam 18 pasal di dalam kitab ini dan menyertakan secara tersirat nilai-nilai Pendidikan akidah di dalam 5 pasal.

Kata kunci : Nilai-nilai, Pendidikan akidah, Kitab Maulid ad-Diba’i

(9)

VIII

ABSTRACT

Yanuardy Chandra. The Values Faith’s Education in The Book Mawlid Ad-Diba’i. Thesis. Jakarta: Islamic Religious Education Study Program. University of Nahdlatul ‘Ulama Indonesia Jakarta. 2020.

This research is a Library research. The tittle is The Values Faith’s Education in The Book Mawlid Ad-Diba’i. The hypothesis being tested is that there are values faith’s Education in the book of Maulid ad-Diba'i.

This research uses the library material as a main source of data and the main source of data is The Book of Mawlid ad-Diba’i.

This research have a goals to find the values faith’s education in book of Mawlid ad-Diba’i. This research was conducted by collecting the data from primary source and exploring informations from secondary source.

The results of this research are the values of faith education in the book of Maulid ad-Diba'i created by Shaykh Abdurrahman ad-Diba'I was founded. The creator create this book with present the values faith’s education directly in 18 chapter and implicitly in 5 chapter.

Keyword : The Values, Faith’s Educatin, The Book Mawlid ad- Diba’i

(10)

IX

ثحبلا صلخم

.اردنج يدروني .يعبيدلا دلوملا باتكلا يف ةديقعلا ةبيدأتلا ةاجردلا

ثحبلا .

ج ا

اترك يسينودنلإا ءاملعلا ةضهنةعيمج .ملاسلإا نيدلا يوبرت جحنم .اتركاجلا ۲۰۲۰

.

ثحبلا نأ ثحبلا اذه ضرع سوؤرب بدلأا

يف ةديقعلا ةبيدأتلا ةاجردلا

دلوملا باتكلا اذه و تامولعم يف لصا بتك نوكي ثحبلا اذه .يعبيدلا ربختسلاا ثحبلا اذه يف دوصقملا اذه .يعبيدلا دلوم باتكلا ةمولعم لصا بدلأا ثحب ةقيرطلا .ةديقع ةيبيدأت ةاجرد قلعت يف عجرم ,يرظنلا سردلا

دشتحإب لعفأ ثحبلا اذه .يعامتجإ لاح يف عرعرت ةنسو ,ةجارد ,ةفاقثب علاطتسإ و لصا باتك يف تامولعم يرابخإ

.يعرف بتك نم

ثحبلا اذه يف لصحلا دجوتلا

باتكلا يف ةديقعلا ةبيدأتلا ةاجردلا

يعبيدلا دلوملا باتك اذه فلؤي فنصم .يعبيدلا نمحرلا دبع خيشلا فيلأتلاب

ةاجرد لوخدب يف ةرشابم ةديقع ةيبيدأت

يف ةروادم و لصفلا رشع ةينامث

لصفلا ةسمخ

(11)

X

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B.Rumusan Masalah Penelitian ... 6

C.Pertanyaan peneltian ... 7

D.Tujuan Penelitian ... 7

E.Keguanaan Penelitian ... 7

F.Metodologi Penelitian ... 8

G.Sistematika Penulisan ... 11

BAB II KAJIAN TEORI ... 12

A. Tinjauan Umum Teori Terkait ... 12

B. Tinjauan Umum Objek yang Dikaji ... 44

BAB III HASIL PENELITIAN ... 49

A.Urgensi Mempelajari Akidah di zaman ini ... 79

B.Nilai-nilai Pendidikan Akidah yang terdapat di dalam Kitab Maulid ad-Diba’i ... 49

BAB IV PENUTUP... 91

Kesimpulan ... 91

DAFTAR PUSTAKA ..………...93

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk aktif mengembangkan potensi dirinya dan masyarakatnya kemudian dapat mentransformasikan pengetahuan tersebut kepada generasi selanjutnya, berkaitan dengan aspek spiritual, tata nilai, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakatnya (Muhammad Rifa’I, 2011 : 8). Sedangkan menurut Achmadi yang dikutip oleh Ema Siti Rohyani dalam Jurnal Kajian Pendidikan Islamnya, Pendidikan adalah usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagaman dan sumber daya insani agar lebih mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam”

(Erma Siti Rohyani, 2015 : 178).

Di dalam sebuah artikel yang dimuat di dalam website http://pustakaimamsyafii.com/definisi-aqidah.html penulis artikel menyebutkan bahwasanya akidah sendiri berarti sesuatu yang perlu diyakini oleh hati manusia sehingga menjadi kenyataan yang teguh dan kokoh dan tidak dicampuri oleh keraguan sama sekali.

Pendidikan di dalam Islam dan Akidah bagi umat Islam adalah dua hal yang tidak dapat dipencarkan sama sekali. Sang Pencipta

(13)

2

sendiri mensifati diriNya dengan sebutan Rabba yang berarti mendidik, memelihara, memperbaiki. Artinya, Tuhan sendiri adalah sosok pendidik bagi umat manusia melalui cara-cara Tarbiyah Ilahiyah yang dapat berbeda kepada setiap hambaNya.

Berangkat dari hal itu, sudah semestinya bagi umat Islam menanamkan Aqidah Islamiyah adalah hal pokok dan penting yang senantiasa sudah diajarkan oleh para orang tua, guru, dan ulama sejak kecil sampai manusia tumbuh dewasa.

Akan tetapi, di zaman akhir seperti sekarang ini, perkara Aqidah seringkali banyak dilupakan dan tidak dipahami dengan baik oleh umat muslim padahal mempelajari ilmu aqidah bagi umat Islam adalah fardhu ‘ain menurut artikel di dalam website NU online tentang hukum mempelajari aqidah. Umat Islam menurut penulis, membutuhkan pemahaman yang komprehensif mengenai akidah Islam untuk menjadi Umat yang kuat. Akidah yang dimaksud oleh penulis di sini contohnya penjelasan tentang enam Aqidah pokok yang wajib umat Islam ketahui dan percayai. Enam Aqidah atau keyakinan pokok yang penulis maksudkan adalah meyakini Allah ﷻ sebagai Tuhan, meyakini adanya malaikat- malaikat Allah ﷻ, meyakini adanya para utusan Allah ﷻ, yaitu para rasul, meyakini kitab-kitab yang dibawa oleh para rasul, meyakini adanya hari penghakiman, dan meyakini adanya qadha dan qadar yang terangkum dalam rukun iman.

(14)

3

Kehidupan beragama seorang muslim sangat kuat kaitannya dengan kemampuan dia mengetahui akidahnya sendiri.

Hal ini dikarenakan akidah adalah salah satu hal yang sangat fundamental bagi kehidupan seorang muslim dan hal pertama yang harus benar di dalam hati dan harus lurus. Salah satu faktor yang juga menyebabkan umat Islam sekarang jauh daripada perkara tentang akidah adalah karena kehidupan modern dan globalisasi yang sudah hadir di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat kita.

Di dalam Jurnal Da’wah Tabligh, Nurhidayat M. Said menyebutkan bahwasanya semakin modern suatu masyarakat semakin tersingkir pula agama di dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut (Nurhidayat M. Said, 2013 : 1).

Di dalam masyarakat sekarang yang sudah semakin modern, ditandai dengan semakin mudahnya akses informasi dan juga digitalisasi di berbagai sektor sangat memudahkan manusia dalam melakukan pekerjaan dan mempermudah kehidupannya.

Kemudahan dalam mengakses informasi, membuat manusia tidak memasang filter pada informasi apapun yang masuk untuk dikonsumsi. Budaya barat yang bebas misalnya membuat umat Islam dengan mudah mencampur adukan nilai-nilai agama dengan nilai-nilai kebebasan yang dipelopori oleh budaya barat. Budaya barat yang dimaksud di sini seperti nilai-nilai kebebasan yang dianut oleh negara-negara sekuler di eropa dan amerika.

(15)

4

Kebebasan maksudnya adalah kebebasan berekspresi atau liberalisme yang menjamin eksistensi kebebasan manusia tanpa batas. Salah satu contoh kebebasan yang tanpa batas sering ditemukan sebagai kontroversi di dalam kalangan umat Islam seperti pernikahan sesama jenis dan menggambar karikatur Nabi yang dilarang di dalam Islam.

Manusia modern semakin pintar dan maju dalam hal kehidupan sosial akan tetapi terkadang menabrak nilai akidahnya sendiri. Menurut Muh. In’amuzzahidin dalam jurnalnya yang berjudul konsep kebebasan dalam Islam, ia berpendapat bahwa kebebasan yang benar di dalam Islam adalah kebebasan yang memiliki tujuan yang benar sesuai dengan ajaran yang dikehendaki oleh Allah SWT yaitu sesuatu yang selaras dengan hukum Islam.

Adapun kebebasan yang bertentangan dengan ajaran Allah SWT adalah kebebasan yang tidak bisa dibenarkan. Hal-hal yang menjadi contoh kebebasan yang benar dalam Islam adalah kebebasan yang bertujuan untuk menyebarkan kebaikan, seperti kebebasan berpendapat dan kebebasan berpikir yang tidak bertentangan dengan hukum Islam (Muh. In’amuzzahidin, 2015 : 266).

Umat Islam yang tidak mengenal akidahnya sendiri adalah salah satu sumber utama kebebasan ala budaya barat mudah diterima. Umat Islam tidak memiliki pegangan yang cukup dalam memahami akidahnya dalam beragama sehingga menerima semua

(16)

5

bentuk informasi dengan dalih kebebasan tersebut dan terjadi penyimpangan akidah yang masif. Apabila umat Islam memahami dan meyakini akidahnya secara benar maka nilai apapun di luarnya tidak akan mampu mengusik akidah di dalam hatinya. Akidah sendiri adalah sesuatu yang sudah tertanam dan diyakini oleh hatinya sebagai dasar manusia dalam bertindak dan berfikir.

Berangkat dari beberapa hal tersebut, pembelajaran atau pendidikan akidah ahlussunnah terutama sangat penting disuarakan kembali oleh para da’I dan juga para akademisi yang memiliki basic kegamaan Islam. Keresahan ini mendorong penulis untuk mencari tahu lebih dalam nilai-nilai pendidikan Aqidah yang terdapat dalam Kitab Maulid Ad-Diba’i. Adapun alasan penulis memilih Kitab Maulid Ad-Diba’i sebagai objek kajian salah satu alsannya karena melihat umat muslim Indonesia yang gemar dengan budaya pembacaan sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Beberapa budaya yang akrab di kalangan umat Islam Indonesia diantaranya memeriahkan acara maulid Nabi Muhammad SAW, menciptakan sholawat-solawat, sampai memberikan alunan nada-nada tertentu di dalam teks-teks sholawat. Bahkan ada salah satu kitab Maulid karangan ‘ulama Indonesia yaitu simtuddhror. Akan tetapi, penulis dalam kesempatan ini ingin meneliti kitab maulid ad-Diba’i yang dikarang oleh Syaikh Abdurrahman ad-Diba’i.

(17)

6

Melalui penjelasan-penjelasan yang ada di dalam paparan penelitian ini mengenai perkara-perkara aqidah melalui kitab Maulid ad-Diba’i, diharapkan memberikan pencerahan kepada hati dan pikiran orang yang bershalawat semakin tercerahkan karena dapat meresapi makna terdalam daripada shalawat yang sering dilantunkan.

Fenomena penyimpangan akidah di satu sisi dan budaya sholawat umat Islam Indonesia pada sisi lain melatar belakangi penulis untuk meneliti kandungan nilai-nilai pendidikan akidah di dalam kitab ad-Diba’i. Selanjutnya, diharapkan umat Islam dengan mudah mengenali akidahnya melalui sholawat yang biasa mereka lantunkan. Budaya pembacaan sholawat semakin lestari dan kitab maulid yang seringkali dibaca tidak hanya dibaca tanpa diresapi makna di dalamnya. Selanjutnya, judul yang penulis ambil adalah

“Nilai-nilai pendidikan Aqidah dalam Kitab Maulid Ad-Diba’i.”

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat diidentifikasi rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Pengaruh globalisasi dan kebebasan akses informasi sedikit banyaknya memudahkan umat Islam dapat mendapatkan informasi tanpa filter.

2. Kehidupan modern mendorong semakin jauhnya agama di dalam kehidupan masyarakat.

(18)

7

3. Kebeasan berekspresi dan liberalisme salah satu contoh nilai-nilai yang bertentangan akidah umat Islam.

4. Budaya pembacaan sholawat massif dilakukan oleh umat Islam, akan tetapi penyimpangan-penyimpangan akidah melalui terbukanya informasi juga semakin massif tanpa dapat dibendung.

C. Pertanyaan peneltian

Berdasarkan Rumusan Penelitian diatas, maka Peneliti dapat merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apa saja nilai-nilai pendidikan Akidah yang terdapat dalam Kitab Maulid ad-Diba’i ?

2. Bagaimana urgensinya mempelajari ilmu Akidah bagi umat Islam pada zaman sekarang?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Pertanyaan Penelitian diatas, maka Peneliti dapat merumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pentingnya mempelajari ilmu Akidah pada zaman sekarang.

2. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akidah di dalam Kitab Maulid ad-Diba’i.

E. Keguanaan Penelitian

Adapun yang dimaksud dengan kegunaan penelitian adalah penjabaran tentang dampak yang akan dicapai/terjadi jika

(19)

8

tujuan penelitian tercapai. Dalam menjelaskan kegunaan penelitian harus meliputi 2 (dua) hal, yaitu:

1. Kegunaan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (kegunaan teoritis);

2. Kegunaan praktis yaitu membantu memecahkan dan mengantisipasi masalah.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini adalah termasuk ke dalam penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan sendiri merupakan kajian teoritis, referensi serta literatur ilmiah lainnya yang berkaitan dengan budaya, nilai dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti menurut sugiyono yang dikutip Milya sari dalam jurnalnya (Milya Sari, 2020 : 43).

1. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Adapun sumber data primer merupakan sumber data yang utama atau rujukan utama dalam mengadakan suatu penelitian untuk mengungkapkan dan menganalisis penelitian tersebut.

Adapun sumber data yang digunakan penulis untuk melakukan penelitiannya adalah kitab Maulid ad-Diba’i karangan al-Imam al- Jalil Abdurrahman ad-Diba’i.

(20)

9

b. Sumber Data Sekunder

Yang dimaksud dengan data sekunder adalah data yang diperoleh oleh peneliti melalui sumber lain daripada data primer sebagai pembanding dari sumber data primer.

Di antara data sekunder yang diambil oleh peneliti dalam skripsi ini, yaitu : Kitab Aqidatul Awam, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dikarang oleh K.H. Sirajuddin Abbas, kitab karangan Syaikh Ali Jum’ah yang berjudul Akidah Ahlussunah Wal Jama’ah, dan sumber sekunder lainnya yang dibutuhkan di dalam proses penelitian.

2. Langkah Penelitian Kepustakaan

Dalam buku Metodologi Penelitian Kepustakaan yang dikutip oleh Khatiba dalam jurnalnya, Mustika Zed membagi langkah-langkah penelitian kepustakaan ke dalam empat langkah :

a. Menyiapkan alat perlengkapan penelitian b. Menyusun bibliografi kerja

c. Mengatur waktu

d. Membaca dan membuat catatan penelitian (Khatibah, 2011 : 38)

(21)

10

3. Prosedur Studi Kepustakaan

a. Pemilihan topik, topik yang dipilih oleh penulis sendiri pada penilitian ini adalah tentang nilai-nilai Pendidikan akidah dalam kitab Maulid ad-Diba’i.

b. Eksplorasi informasi, peneliti melakukan penelitian pada objek penelitian yaitu kitab Maulid itu sendiri dan melakukan eksplorasi informasi dengan dukungan sumber-sumber sekunder yang memiliki kaitan dengan akidah.

c. Menentukan fokus penelitian, adapun fokus peneilitian penulis adalah berfokus pada nilai-nilai Pendidikan akidah yang ditemukan di dalam pasal per pasal di dalam kitab Maulid ad-Diba’i.

d. Sumber data yang dikumpulkan, sumber-sumber yang dikumpulkan oleh penulis adalah buku-buku bertema akidah islam, pendidikan, serta penunjang seperti jurnal-jurnal dan penelitian terdahulu berkaitan topik yang dipilih.

e. Membaca sumber, peneliti membaca keseluruhan isi dari kitab maulid ad-Diba’i terlebih dahulu untuk memulai penelitian.

(22)

11

f. Membuat catatan, peneliti membuat catatan-catatan kecil yang ditemukan yang berkaitan dengan tema yang diteliti.

g. Mengolah catatan penelitian, melakukan analisa terhadap catatan-catatan penelitian yang sudah dikumpulkan.

h. Penyusunan laporan, membuat laporan sesuai dengan sistematika penulisan yang berlaku.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika merupakan suatu penjabaran secara deskriptif tentang hal-hal yang akan ditulis:

BAB I : Pendahuluan – Pada bab ini merupakan latar belakang, rumusan masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Kajian Teori – Pada bab ini merupakan tinjauan umum teori terkait dan tinjauan umum objek yang dikaji.

BAB III : Hasil Penelitian – Pada bab ini merupakan pembahasan hasil penelitian.

BAB IV : Penutup – Pada bab ini merupakan kesimpulan dari hasil penelitian

(23)

12

BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Umum Teori Terkait

1. Pengertian Nilai dan Pendidikan

Menurut Teasurus Bahasa Indonesia, nilai adalah angka, biji, harga, harkat, jumlah, kadar, karat, kelas, kualitas, kuantitas, kurs, mutu, perhitungan, peringkat, poin, ponten, skala, taksiran, taraf, timbangan, tingkat dan ukuran (Pusat Bahasa Indonesia 2008 : 337).

Dalam buku Nilai Prespektif Filsafat, Hasnah Nasution menyebut makna nilai secara filosofis adalah hakikat dari kehendak Tuhan yang telah tercurahkan kepada jiwa manusia karenanya (Hasnah Nasution, 2016 : 11).

Lagi, menurut Hasnah secara historis teori tentang nilai bermula dari perdebatan antara Meoning dengan Ehrenfeis berkaitan dengan sumber nilai. Menurut Meoning sumber nilai adalah perasaan atau perkiraan atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu objek. Sedangkan menurut Ehrenfeis sumber nilai adalah hasrat atau keinginan (Hasnah Nasution, 2016 : 13).

Pendidikan sendiri menurut Muhammad Anwar berarti usaha manusia untuk mengembangkan potensi-potensi

(24)

13

pembawaan, baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan (Muhammad Anwar, 2017 : 19).

Sedangkan pengertian pendidikan dari kacamata Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani, menumbuhkan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia lain, dan alam (Haidar Putra Daulay, 2012 : 1).

Menurut Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara yang dikutip Diny dalam Pskiologi Pendidikan, pendidikan berarti tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya adalah menuntun segala kekuatam kodrat yang ada pada anak-anak agar sebagai manusia dan sebagai anggota mansyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya (Diny Kristianty Wardany, 2016 : 4).

Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional mengartikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

(25)

14

bangsa dan negara (Undang-undang Republik Indoensia nomor 20 tahun 2003 pasal 1).

Dapat disimpulkan nilai pendidikan sendiri adalah kuantitas maupun kualitas yang berkenaan tentang segala sesuatu yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan seluruh potensi manusia melalui usaha yang dilakukan lewat belajar dan pembelajaran.

2. Pengertian Aqidah Secara Umum

Syamsul Bahri Baligo dalam Aqidah Islam menurut Ahlussunnah Waljama’ah (Syamsul Bahri A Galigo, 2020 : 2) menyebut bahwa kata Aqidah berasal dari Bahasa ‘arab yaitu دقع yang artinya adalah ikatan. Syamsul juga melanjutkan bahwa Aqidah secara istilah adalah keyakinan hati terhadap sesuatu. Kata

‘aqidah sendiri dapat digunakan di dalam konteks yang lebih universal dan terbuka tidak hanya khusus bagi agama Islam, meskipun berasal dari kata berbahasa ‘arab. Kadangkala kita dapat menyebut kata aqidah dengan konotasi agama samawi lain selain Islam seperti nasrani dengan sebutan akidah Nasrani, yang maksudnya adalah keyakinan orang-orang beragama nasrani (Kristen), atau juga kita dapat menyebut akidah dengan konotasi agama ‘ardhi semisal Budha dengan sebutan akidah Budha, yaitu keyakinan orang-orang yang beragama Budha.

(26)

15

Di dalam jurnal diskursus Islam Abdurrahman Getteng, dkk.

mengartikan aqidah secara lebih sederhana yaitu aqidah adalah ajaran agama tentang keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan.

Masih di dalam jurnal yang sama Abdurrahman, dkk. juga mengutip pendapat Sayyed Hosein Nasr yang menerangkan bahwa pondasi utama tentang Aqidah terutama dalam aqidah Islam adalah lafadz Laa ilaaha Illa Allah ﷻ (Getteng dkk., 2016 : 523).

Dalam lafadz tersebut sudah mengandung doktrin terpenting di dalam Aqidah Islam yang menyatakan bahwasannya Tuhan yang layak di sembah hanyalah Allah ﷻ SWT tanpa ada selain-Nya.

Sebagaimana yang diketahui juga keyakinan dan kepercayaan tentang Tuhan yang dimiliki oleh umat Islam secara global dapat diterima apabila orang tersebut meyakini dan melafazkan dua kalimat syahadat yang berintikan keyakinan bahwa tiada Tuhan yang layak disembah selain Allah ﷻ dan juga meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir yang diutus oleh Allah ﷻ ke bumi untuk membawa agama yang diridhoi.

Akidah atau keyakinan sendiri adalah suatu nilai yang asasi dan prinsipil bagi manusia, sama halnya dengan nilai dirinya sendiri, bahkan melebihinya menurut Tgk. H. Z. A. Syihab yang dikutip Abdurrahman Getteng dalam Jurnal Diskursus Islam (Abdurrahman Getteng, 2016 : 525). Selain itu, Abdurrahman juga mengutip pendapat Zainal Arifin Djamaris yang memaknai akidah

(27)

16

dengan suatu yang dianut oleh manusia dan diyakininya, entah berwujud agama atau lainnya.

Dalam buku Teologi Islam Ilhamuddin berpendapat bahwa kepercayaan manusia terhadap Tuhan muncul dalam dua bentuk yaitu paham (isme) dan agama (religion) (Ilhamuddin, 2017 : 6).

Pada dasarnya antara isme atau kepercayaan dengan agama keduanya muncul setelah adanya proses berpikir manusia tentang Tuhan (Ilhamuddin, 2017 : 6). Setelah manusia memiliki pertanyaan-pertanyaan seputar ketuhanan dan melakukan pencarian di dalam realitas kehidupannya terwujudlah dua bentuk keyakinan yang muncul mengenai ketuhanan tersebut. Di dalam kajian antropologi dasar, Isme adalah sebuah bentuk kepercayaan manusia yang dianut sejak masa manusia belum menulis sejarah.

Menurut KBBI sendiri isme adalah sistem kepercayaan yang disandarkan pada kondisi sosial, politik dan ekonomi manusia.

Sedangkan agama sendiri di dalam sumber yang sama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

Yang dimaksud dengan akidah di dalam Islam sendiri adalah tauhid, yaitu mengesakan Tuhan (Allah ﷻ) dalam peribadatan tanpa menyekutukan-Nya dengan apapun selain-Nya.

(28)

17

Menurut TM. Hasbi Shiddieqy dalam bukunya aqidah adalah urusan yang harus dibenarkan dalam hati dan diterimanya dengan cara puas, serta tertanam kuat kedalam lubuk jiwa dan tidak dapat diguncangkan oleh badai syubhat (Hasbi ash-Shiddieqy, 1973 : 187). Dari beberapa definisi di atas maka, akidah secara umum dapat kita maknai sebagai ikatan atau sebuah keyakinan yang tertanam di dalam hati manusia tentang ketuhanan serta ajaran di dalam mempercayai-Nya.

Sedangkan nilai pendidikan aqidah adalah kuantitas maupun kualitas yang berkenaan tentang segala sesuatu yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan seluruh potensi manusia melalui usaha belajar dan pembelajaran mengenai Allah S.W.T.

3. Pengertian Aqidah dalam prespektif Ahlussunnah Wal Jamaah

Akidah adalah salah satu pembahasan penting di dalam pembahasan-pembahasan mengenai agama. Akidah adalah dasar atau asas yang harus dimiliki oleh setiap insan yang beragama yang mengikat kepada hati manusia terhadap sesuatu yang ia yakini di dalam kehidupannya. Di dalam konteks beragama Islam perkara aqidah sendiri sangat penting untuk diajarkan mulai sejak dini di saat anak-anak masih belum mukallaf atau balig. Di dalam dunia pesantren sendiri perkara akidah sudah mulai diajarkan kepada

(29)

18

anak-anak dengan mulai mempelajari kitab-kitab yang dinadzhomkan atau dinadakan seperti mempelajari kitab ‘aqidatul awwam. Di dalam kesempatan selanjutnya akan penulis jabarkan mengenai akidah yang diajarkan di dalam kitab ‘aqidatul awwam sebagai tambahan teoritis mendukung kajian teori tentang aqidah menurut ahlussunah wal jamaah.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwasannya kata akidah berasal dari bahasa ‘arab (aqada) yang artinya ikatan atau secara istilah dapat diartikan sebagai konsep dasar yang harus diyakini oleh seseorang tentang suatu hal yang ia yakini di dalam kehidupan agamanya. Adapun dalam konteks akidah ahlussunah maka dapat diartikan sebagai konsep dasar atau keyakinan dasar yang diyakini oleh pengikut ajaran Islam Ahlussunnahh wal jamaah. Menurut Syekh Mahmoud Syaltout dalam bukunya Islam sebagai aqidah dan syari’ah (Mahmoud Syaltout, 1967 : 28-29) akidah sendiri diartikan sebagai segi teoritis yang dituntut pertama-tama dan terdahulu dari segala sesuatu yang dipercayai dengan suatu keimanan yang tidak boleh dicampuri oleh syak wasangka dan tidak dipengaruhi oleh keragu-raguan. Ibn Taimiyah seperti yang dikutip di dalam Jurnal Transformatif Islamic Studies menjelaskan bahwa akidah adalah suatu perkara yang harus dibenarkan dalam hati, dengannya jiwa menjadi tenang, sehingga jiwa itu menjadi yakin serta mantap tanpa ada keraguan

(30)

19

dan kebimbangan (Galuh Nasrullah dkk., 2017 : 4). Dalam beberapa literatur ilmu yang mempelajari tentang akidah memiliki berbagai macam istilah, seperti ilmu ‘aqoid, ilmu tauhid, ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama), dan Ilmu Kalam. Beberapa rentetan nama ilmu tersebut hampir keseluruhannya membahas tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu Tauhid sendiri di dalam bukunya Ali Jum’ah menjelaskan bahwa ialah suatu disiplin ilmu yang berfungsi untuk mengetahui dan menetapkan akidah-akidah agama yang diperkuat dengan memberikan argumen-argumen dan menolak segala bentuk penyerupaan, di mana argumen-argumen tersebut diambil dari dalil-dalil yang pasti dan meyakinkan (Ali Jum’ah, 2011 : 17). Ilmu ushuluddin adalah ilmu yang membahas tentang pokok-pokok agama yang di dalamnya membicarakan tentang kepercayaan di dalam agama Islam. Sedangkan ilmu Kalam adalah ilmu yang mempelajari tentang kepercayaan terhadap sifat-sifat Allah ﷻ (Sirajuddin Abbas, 2019 : 1-2).

Aqidah-aqidah di dalam Islam atau kepercayaan tentang Ketuhanan di dalam Islam yang dibahas salah satunya di dalam ilmu Kalam memiliki banyak sekali aliran atau cabang. Salah satu aliran yang paling banyak dianut oleh mayoritas kaum muslim di Indonesia adalah aliran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Salah satu dasar yang menjadi pegangan kaum muslim yang beri’tiqod

(31)

20

dengan paham ahlussunnah wal jama’ah adalah hadits nabi dalam Kitab Thabrani, bahwasanya Nabi bersabda :

هديب دمحم سفن يذلاو لع يتما قرتفتل

ى ةقرف نيعبسو ثلاث ةنجلا يف ةدحاوف

( .ةعامجلاو ةنسلا لها : لاق ؟ الله لوسراي مه نم : ليق رانلا يف نوعبسو ناتنثو هاور

)يناربطلا

Artinya : “Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, akan berfirqoh ummatku sebanayak 73 firqoh yang satu masuk syurga dan yang lain masuk neraka. Bertanya para sahabat : “siapakah firqoh (yang tidak masuk neraka) itu ya RasulAllah ﷻ?” Nabi menjawab : “Ahlussunnah wal Jama’ah”.

(Hadits diriwayatkan oleh Imam Thabrani).

Hadits yang serupa juga tersebut di dalam kitab “Al Milal wan Nihal” Juz 1 halaman 11, karangan Syahrastani. Seterusnya penulis akan menyebut istilah aqidah untuk mewakili beberapa istilah ilmu yang serupa lainnya, seperti ilmu tauhid, ilmu kalam, ataupun ushuluddin dikarenakan kesemuanya membahas satu cabang keilmuan di dalam agama yaitu tentang Ketuhanan dan sudah mewakili satu sama lain. Di dalam pemahaman ahlussunnah wal jama’ah tauhid sendiri atau aqidah setidaknya di dalam pembahasannya memiliki 3 pembahasa pokok, yaitu pembahasan mengenai Ilahiyyat, Nabawiyyat, dan sam’iyyat. Pembahasan mengenai Ilahiyyat adalah pembahasan tentang masalah-masalah yang berkaitan tentang Ketuhanan. Pembahasan mengenai Nabawiyyat adalah pembahasan tentang masalah-masalah para nabi dan Rasul. Sedangkan pembahasan tentang Sam’iyyat adalah

(32)

21

pembahasan tentang masalah-masalah yang tidak dapat digali secara akal kecuali melalui informasi Al-Qur’an dan Hadits (Sirajuddin Abbas, 2019 : 9).

Adapun jika kita membicarakan tentang ahlussunnah wal jama’ah maka kita akan membicarakan tentang pendapat dari dua ulama aqidah yang mengenalkan atau mempelopori akidah ini di abad ke 3 Hijriah yaitu Imam Abu Hasan al Asy’ari dan Imam Abu Mansur al Maturidi. Dua ‘ulama besar tersebut memang dua imam besar atau dua sarjanawan Muslim yang memiliki khas keilmuan atau kepakaran dalam bidang akidah. Di dalam I’tiqad ahlussunnah wal jama’ah yang disusun imam Abu Hasan al Asy’ari, paham ahlussunnah terbagi menjadi 6, yaitu : Kepercayaan tentang Ketuhanan, kepercayaan tentang Malaikat-malaikat, kepercayaan tentang Kitab-kitab Suci, kepercayaan tentang Rasul-rasul, kepercayaan tentan Hari Kiamat, dan terakhir adalah kepercayaan tentang Qadha dan Qadar Allah ﷻ (Sirajuddin Abbas, 2019 : 27).

Di dalam pembahasan selanjutnya mengenai akidah, ahlussunnah sendiri melalui pemikiran imam Abu Hasan al asy’ari memahami bahwasanya ada 20 sifat yang wajib diketahui oleh seoarang Muslim yang mana 20 sifat tersebut adalah sifat yang wajib (secara akal) ada pada sisi Allah ﷻ sebagai Tuhan.

Sedangkan 20 sifat kebalikannya atau mustahil yang ada pada

(33)

22

Allah ﷻ juga wajib diketahui secara terperinci oleh seorang Muslim dan 1 sifat Jaiz. Adapun 20 sifat Wajib yang dimaksud akan penulis bahas secara perinci sebagai berikut :

1. Wujud

Secara bahasa arab wujud berarti ada dan memiliki sifat mustahil, yaitu kebalikannya dari ada yaitu tidak ada (‘adam). Sifat wujud sendiri adalah sifat dzatiyyah sekaligus sifat nafsiyyah. Sifat wujud Allah ﷻ adalah sifat yang berdiri sendiri dann tidak didahului oleh ketiadaan (Ali Jum’ah, 2011 : 77). Di dalam kitab

‘aqidatul awwam Syiakh Ahmad al Marzuki al Husainy menulis nadzom tentang sifat wujud dengan redaksi

يقاب ميدق دوجوم للهاف قلاطلااب قلخلل فلاخم

“Allah ﷻ itu maujud, qodim, baqi, dan berbeda dengan maklukNya secara mutlak” (Sayyid Ahmad al Marzuki al Husainy, 2019 : 6).

Sifat maujud atau wujud adalah sifat maknawi yang harus diyakini di dalam hati seorang muslim. Dalil adanya Allah ﷻ sendiri di dalam Kitab Tijan ad Darori adalah secara akal bahwasanya adanya alam semesta dan seisinya adalah bukti bahwasanya Allah ﷻ itu ada sebagai pencipta alam semesta. Meskipun Allah ﷻ tidak dapat dilihat atau ditangkap oleh Indera manusia bukan

(34)

23

berarti Allah ﷻ tidak ada, akan tetapi indera manusia yang tidak melihat Dzat-Nya.

Tidak ada wujud sempurna yang mutlak selain wujud Allah ﷻ dan wujud selain Dia adalah kurang, berdiri di antara dua sifat ‘adam (tidak ada) : mendahului atau didahului. Sifat wujud adalah sifat yang menetap pada dzat dan tidak menunjukkan makna tambahan bagi dzat.

Menurut al Asy’ari sendiri sifat wujud adalah esensi maujud itu sendiri. Maksudnya adalah wujud bukan tambahan bagi dzat. (Ali Jum’ah, 2011 : 78).

2. Qidam

Secara bahasa qidam berarti tidak berpemulaan adaNya dan memiliki sifat mustahil memiliki permulaan (hadats). Tuhan bersifat qidam karena Allah ﷻ tidak memiliki permulaan, apabila Dia berpemulaan maka ia sama dengan makhluk. Adapun Tuhan juga tidak didahului oleh ketiadaan, melainkan Allah ﷻ tidak didahului oleh apapun. Salah satu dalil naqli yang menyatakan bahwa Allah ﷻ memiliki sifat qidam ialah dalil alquran :

ميلع ءيش لكب وهو نطابلاو رهاظلاو رخلااو لولاا وه

۝

Artinya : “Ia-lah (Tuhan) yang tidak berpemulaan ada-Nya dan pula tidak berkesudahan ada-Nya, Ialah yang lahir wujud-Nya. Ia-lah yang tersembunyi (Zat- Nya) dan Ia tahu tiap-tiap sesuatu” (Al Hadid : 3).

(35)

24

Secara akal manusia Allah ﷻ jika tidak memiliki sifat qidam, niscaya Dia akan hadats atau baru. Sedangkan jika Allah ﷻ baru, tentu Dia akan membutuhkan muhdits (yang membarukan) dan hal tersebut bertolak belakang dengan akal dan juga dengan dalil al Quran di atas (Ali Jum’ah, 2011 : 79).

3. Baqa’

Sifat Baqa’ ini berarti tiada akhirnya suatu wujud alias kekal. Tuhan secara akal manusia tidak memiliki akhir, karena ketiadaan sangat mustahil bagi Dzat yang mencipta ketiadaan itu sendiri.

Tuhan tidak akan lenyap dan mati, karena apabila Tuhan memiliki akhir atau lenyap lantas siapa yang akan menjadi Tuhan selepas itu terjadi. Adapun dalil naqli yang menunjukkan Allah ﷻ memiliki sifat baqa’ adalah surat al Rahman : 27 yang berbunyi :

ماركلاا و للاجلا وذ كبر هجو ىقبي و

۝

Artinya : “Yang kekal adalah Dzat Tuhamnu yang memiliki keagungan dan kemuliaan.” (Q.S al Rahman : 27) (Sayyid Ahmad al Marzuki al Husainy, 2019 : 6).

4. Mukhlafah lil Hawadits

Sifat Mukhalafah lil Hawadits berarti Tuhan tidak menyerupai sesuatu atau berbeda sama sekali dengan makhluk-Nya. Allah ﷻ bukan tubuh, bukan

(36)

25

‘aradh, bukan keseluruhan, bukan pula bagian. Ia terbebas daripada segala sesuatu atau sifat-sifat yang dimiliki makhluk seperti tidur, lupa, lapar, haus, butuh, dan sifat jasmani dan sifat ruhani.

Dalil secara akal manusia Tuhan berbeda dengan makhluk dalam segala aspek, niscaya Dia berupa susunan. Sedangkan susunan mengharuskan dirinya baru. Begitu juga pula jika Dia menyerupai makhlukk dalam satu aspek atau dalam satu sifat, sehingga dzat-Nya lebih unggul dari makhluk, niscaya Dia berbeda dalam aspek dan sifat yang lain.

Itulah yang membuat hal tersebut mustahil bagi Allah ﷻ (Ali Jum’ah, 2011 : 80).

Tuhan itu Maha Besar, Tinggi, Agung dengan segala kebesaran, ketinggian dan keagungan-Nya, tidak ada suatu jua di antara makhluk yang menyerupai-Nya dalam kebesaran, ketinggian dan keagungan-Nya itu. Dalil sifat ini dalam al Qur’an ialah :

ريصبلا عيمسلاووهو ءيش هلثمك سيل

۝

Artinya : “Tiada yang menyerupai-Nya suatu juga Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”

(as Syu’ara : 11) (Sirajuddin Abbas, 2019 : 30).

5. Qiyamuhu Binafsihi

(37)

26

Qiyamuhu Binafsihi berarti berdiri sendiri. Jika diperjelas lebih dalam makna berdiri sendiri adalah Tuhan tidak membutuhkan pertolongan yang lain dan mustahil Dia membutuhkan pertolongan. Secara akal manusia Tuhan pasti berdiri sendiri dan tidak membutuhkan siapapun karena apabila dia membutuhkan pada sesuatu berarti Ia lemah dan tidak sempurna (Sirajuddin Abbas, 2019 : 31).

Dalil al Qur’an yang menunjukkan bahwa Tuhan tidak membutuhkan terhadap sesuatu adalah surat al Ikhlas 112 : 2 yang berbunyi :

دمصلا الله

۝

Artinya : “Allah-lah tempat segalanya bergantung”

(Q.S. Al-ikhlas : 2).

Dari dalil di atas menunjukkan bahwanya seorang muslim haru meyakini di dalam hatinya kalau Allah tidak butuuh pada tempat atau pada mukhashish (yang mengkhususkan). Kita harus meyakini bahwa Dia berdiri dengan Dzat-Nya, tidak butuh kepada yang mewujudkan dan tidak butuh kepada tempat berpijak. Hal ini dapat dipahami karena Allah maujud sebelum segala sesuatu bahkan sebelum waktu dan tempat itu ada.

(38)

27

Secara akal manusia apabila Tuhan membutuhan sesuatu untuk berpijak seperti tempat dan waktu maka akal manusia dapat menyimpulkan apabila ada sesuatu yang lebih besar daripada Allah (Ali Jum’ah, 2011 : 86).

Jika Dia berada di sebagian tempat, maka tempat tersebut dan Allah adalah sama. Sehingga menisbahkan tempat kepada Allah dan menyifati Allah dengan tempat- tempat tertentu seperti Arsy, maka salah satunya tidak ada yang diunggulkan. Pada saat yang sama, Dia butuh kepada perkara lain yang menyifati-Nya. Dia butuh pada tempat yang satu dan tidak butuh kepada tempat yang lain. Inilah hal tersebut mustahil bagi Allah (Ali Jum’ah, 2011 : 86-87).

Menurut Ali Jum’ah sendiri kita harus yakin bahwa Allah berada di luar dimensi ruang dan waktu. Dia tidak menyatu dengan yang lain. Dia tidak menempati tempat yang lain. Tidak ada satu makhluk pun yang berdiri bersama-Nya. Andai ada satu makhluk pun berdiri bersama-Nya, berarti Dia tidak terlepas dari perkara hadits (baru) atau dari kebalikannya (Ali Jum’ah, 2011 : 90).

6. Wahdaniyah

(39)

28

Sifat Wahdaniyyah Allah berarti menunjukkan perkara yang tak layak bagi Allah. Sifat Esa bagi allah ini menyingkirkan seluruh gambaran tentang jumlah dan kuantitas, baik dalam dzat-Nya maupun dalam sifat- sifat-Nya, baik kuantitas yang melekat maupun yang terpisah.

Melalui sifat Esa bagi Allah ini berarti Allah tidak memiliki dua kekuasaan yang sekiranya yang satu menyempurnakan sebagian yang lain. Dia adalah dzat yang Mahasuci dari hal tersebut. Dia bukan susunan dari bagian-bagian yang lain, bukan pula keseluruhan dari bagian-bagian kecil. Tidak ada kekuasaan seperti kekuasaan-Nya yang dimiliki oleh yang lain. Sifat ini sendiri menafikkan bagian-bagian dari segala sifat-Nya.

Melalui sifat ini Allah berarti Maha Tungggal dalam dzat, sifat, dan af’al-Nya. Tidak adak suatu pun yang setara dengan-Nya (Ali Jum’ah, 2011 : 91).

Secara akal manusia Tuhan itu Maha Esa dan mustahil ia berbilang (banyak). Kalau Ia banyak tentu akan timbul perselisihan atau perbedaan antara Tuhan yang satu dengan Tuhan yang lainnya (Sirajuddin Abbas, 2019 : 31).

(40)

29

Di dalam Aqidatul Awwam Sayyid Ahmad al Marzuqy al Husainy beliau menyebutkan sifat Wahdaniyah dalam salah satu pasal yang berbunyi :

يش لكب ملاع ديرم رداق يحو دحاوو ينغ مئ اقو

“Maha berdiri sendiri, Maha kaya, Maha Esa, Maha hidup, Maha kuasa, Maha berkehendak, Maha mengetahui segala sesuatu” (Sayyid Ahmad al Marzuqy al Husainy, 2019 : 6).

7. Qudrah

Sebagaimana sifat Allah yang lainnya, sifat qudrah Allah melekat pada dzat Allah. Dengan sifat ini yang artinya Maha Kuasa, Allah mencipta dan meniadakan segala sesuatu. Sedangkan kebalikan darinya adalah lemah atau ‘ajzu dan ini merupakan sifat mustahil yang disandarkan kepada Allah. Sebagai seorang mukallaf atau orang yang dibebankan hukum kita wajib meyakini dan mengetahui secara pasti bahwa Allah adalah dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu (Ali Jum’ah, 2011 : 100).

Adapun dalil secara akal yang menunjukkan bahwasanya Allah bersifat Qudrah adalah adanya alam ini dan segala keteraturan di dalamnya. Sedangkan dalil naqli tentang sifat qudrah adalah sebagai berikut :

(41)

30

ضرلاا ىف لاو تومسلا ىف ءيش نم هزجعيل الله ناك امو ناك هنا اريدق اميلع

۝

Artinya : “Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa” (Fathir [35] : 44).

Sifat qudrah Allah itu sendiri adalah qadim (terdahulu). Apabil sifat qudrah Allah bersifat baru maka itu dapat membatalkan sifat qadim yang ada pada Allah.

Allah sudah Mahakuasa sejak zaman azali di mana pada saat itu hanya ada wujud-Nya dan belum ada apapun selain-Nya. Sifat qudrah Allah juga bersifat tunggal yang berarti tidak ada sesuatu pun yang dapat memiliki sifat qudrah selain Allah. Jika Allah menghendaki sesuatu maka ia akan mewujudkannya, dan jika ia menghendaki juga ia akan meniadakannya. Bagi-Nya sama saja apakah akan melakukan sesuatu atau meninggalkannya, keduanya bersumber dari-Nya sesuai kemaslahatan makhluk (Ali Jum’ah, 2011 : 102).

8. Iradah

Selanjutnya, Allah memiliki sifat Iradah yaitu dia menetapkan sesuatu menurut kehendak-Nya dan mustahil Ia dipaksa oleh kekuatan lain untuk melakukan sesuatu. (Sirajuddin Abbas, 2019 : 32).

(42)

31

Sifat Iradah Allah bersifat qadim, azali, tambahan bagi dzat, dan melekat pada dzat (Ali Jum’ah, 2011 : 103). Allah menurut pandangan ahlussunnah memiliki sifat kehendak dan sebaliknya mustahil dia terpaksa.

Pembagian kehendak Allah menurut pengarang kitab Tijanud daorir, yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani adalah sebagai berikut :

1. Allah kadangkala berkehendak, memerintahkan dan ridho sebagaimana kehendak Allah kepada seseorang yang beriman seperti Abu Bakar. Allah berkehendak dengan wujud keimanan Abu Bakar pada waktunya, maka wajib terwujud keimanan pada diri Abu Bakar sebagaimana mustahil pada waktu tersebutu Abu bakar tidak beriman.

2. Allah kadangkala tidak berkehendak, tidak memerintahkan dan tidak ridho. Sebagaimana Allah tidak berkehendak terhadap imannya Abu Bakar di saat ia masih kufur.

3. Allah kadangkala berkehendak tetapi tidak memerintahkan dan tidak ridho, seperti kehendak Allah terhadap kufurnya orang-orang yang Allah ketahui ketidak berimanannya mereka seperti Fir’aunm Haman dan orang-orang kufur lainnya.

(43)

32

4. Allah kadangkala memerintahkan dan tidak menghendaki. Seperti kehendak Allah terhadap keimanan orang yang Allah ketahui bahwa orang tersebut tidak beriman.

Sifat Iradah Allah juga merupakan sifat yang tunggal.

Hubungan antara Iradah-Nya untuk mewujudkan atau meniadakan sesuatu adalah hubungan yang qadim. Allah maha berkehendak sejak zaman azali terhadap apa yang akan dilakukan-Nya atau yang akan diciptakan-Nya pada waktu yang akan datang. Sifat Iradah Allah juga qadim, sebab jika ia baru niscaya sifat Iradah-Nya membutuhkan kehendak dari yang lain. Sedangkan hal yang demikian adalah mustahil bagi Allah.

9. Ilmu

Sifat ilmu artinya adalah bahwa Allah Maha Mengetahui. Sedangkan kebalikan daripadanya adalah Allah tidak mengetahui. Sifat ini adalah sifat yang sudah sejak azzali yang berkaitan dengan seluruh sifat wajib, sifat jaiz, dan sifat mustahil. Dia mengetahui segala sesuatu apa adanya tanpa didahului oleh keadaan jahil atau tidak tahu sebagaimana sifat tahunya makhluk yang didahului oleh ketidak tahuan (Ali Jum’ah, 2011 : 114).

Adapun dalil akal tentang sifat ini adalah tetapnya dalil

(44)

33

sifat ilmu bagi Allah ta’ala yaitu wujudnya alam ini dan keteraturannya. Seandainya Allah tidak mengetahui pasti alam ini tidak akan wujud dengan segala keteraturannya.

Allah juga mengetahui segalanya, baik yang global maupun yang terperinci. Sebab, perkara yang global dan yang terperinci sendiri berada di dalam kuasa-Nya.

Sebagaimana sifat qudrah sifat ilmu ini juga tunggal, artinya Ia mengetahui apa yang akan diwujudkan-Nya dan pengetahuan-Nya tidak berubah dalam samudera ilmu- Nya. Adapun dalil al-Qur’an yang membahas tentang sifat ilmu adalah sebagai berikut :

لع\۝لاعتملا ريبكلا ةداهشلاو ببيغلاملاع Artinya : “Yang mengetahui semua yang ghaib dan yang nampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi” (al- Ra’d [13] : 9).

10. Hayat

Sifat hayat berarti bahwa Allah Maha Hidup.

Disepakati oleh para ‘ulama bahwa Allah memiliki sifat hayat karena Dia adalah Dzat yang maha mengetahui lagi maha kuasa (Ali Jum’ah, 2011 : 117).

Dalam Tijan Darori Syaikh Nawai al-Bantani berpendapat bahwasanya Allah pasti memiliki sifat hayat wajib secara akal karena apabila Allah tidak Maha Hidup maka Allah pasti bersifat mati dan ini akan mustahil

(45)

34

apabila Allah mati maka batal lah sifat Kuasa dan Kehendak Allah. Sifat hayat bagi allah juga tidak berkaitan dengan sesuatu, sifat ini adalah syarat yang masuk akal pada sifat-sifat-Nya.

11. Kalam

Sifat selanjut-Nya yang harus kita ketahui adalah bahwasanya Allah memiliki sifat kalam atau berkata- kata. Adapaun wujud kalam Allah ini tidak huruf dan suara dan tidak dapat disamakan dengan kata-kata makhluk. Kalam Allah juga terbebsa dari segala bagian yang didahulukan atau diakhirkan, terbebas dari pada I’rab dan mabni. Cukuplah bagi seorang mukallaf mengetahui bahwa Allah adalah mutakallim dengan kalam yang qadim. Kalam-Nya bukan huruf, bukan suara, tiada cacat, dan tiada nagham. Kalam Allah adalah qadim karena tercegahnya perkara baru pada dzat-Nya.

Adapun makna kalam qadim itu sendiri adalah kalam yang melekat pada dzat-Nya, bukan berupa ungkapan- ungkapan (Ali Jum’ah, 2011 : 118).

Adapun dalil akal yang menunjukkan bahwasanya Allah berbicara adalah apabil Allah memiliki sifat sebaliknya yaitu bisu maka itu adalah mustahil

(46)

35

dikarenakan sifat bisu adalah kekurangan dan Maha suci Allah daripada kekurangan tersebut. Sedangkan dalil al- Qur’an yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat kalam adalah surat an-Nisa ayat 164 yang menjelaskan bahwasanya Allah berbicara kepada Nabi Musa secara langsung dengan kalam qadim-Nya.

12. Sama

Selanjutnya Allah memiliki sifat sama’ yang artinya Allah Maha Mendengar. Ini adalah hal yang wajib diyakini setiap mukallaf. Wajib bagi akal manusia bahwa Dzat Allah Maha Mendengar, karena apabila Allah tidak mendengar alias tuli maka Allah memiliki ketidaksempurnaan dan ini tidak layak disandarkan kepada Allah sebagai Dzat yang Maha Kuasa dan sempurna (Ali Jum’ah, 2011 : 119). Adapun dalil al- Qur’an yang menunujukkann sifat ini adalah surat al- Mujadilah ayat 58 yang artinya :

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang menganjurkan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (al-Mujadilah [58] : 1).”

(47)

36 13. Bashar

Selain maha Mendengar Allah juga Maha Melihat, kedua sifat ini seringkali dijelaskan bersamaan. Adapun lawan daripada sifat ini adalah Allah buta dan buta merupakan hal yang mustahil bagi Allah dan tidak layak disandarkan pada-Nya. Sifat mendengan dan melihat Allah ini sendiri adalah sifat yang ada pada-Nya sejak azali. Adapun dalil al-Qur’an yang menjelaskan sifat ini sama dengan dalil al-Qu’ran yang menjelaskan bahwa Allah maha mendengar.

14. Qadiran

Tuhan bersifat kaunuhu qadiran yang artinya tetap selalu dalam keadaan berkuasa, mustahil Ia dalam keadaan lemah (Sirajuddin Abbas, 2019 : 36). Sifat ini termasuk dalam sifat ma’nawiyah. Sifat ma’nawiyah adalah sifat yang berkaitan dengan sifat ma’aninya. Sifat ini menjelaskan bahwasanya Allah berkuasa dan akan terus berkuasa selamanya dan dia berkuasa tanpa pernah berhenti sekejap mata pun.

15. Muridan

Selanjutnya Tuhan bersifat kaunuhu Muridan yang artinya akan tetap selalu berkehendak dan mustahil Ia

(48)

37

tidak berkehendak sewaktu-waktu (Sirajuddin Abbas, 2019 : 36).

Sebagaimana sifat ma’nawiyah yang lain, sifat kaunuhu Muridan Allah juga menegaskan sifat Iradah Allah, maka Allah akan memilki sifat berkehendak selamanya dan tidak mungkin Ia tidak berkehendak sewaktu-waktu.

16. ‘Aliman

Tuhan bersifat kaunuhu ‘aliman yang berarti selalu dalam keadaan mengetahui, mustahil Ia dalam keadaan tidak mengetahui (Sirajuddin Abbas, 2019 : 36).

Sifat kaunuhu ‘aliman Allah menjelaskan bahwasanya Allah akan selalu dalam keadaan Maha Mengetahui, mustahil apabila di dalam sebuah keadaan Allah luput darinya.

17. Hayyan

Tuhan bersifat kaunuhu Hayyan yang berarti Allah selalu dalam keadaan hidup sejak azali sampai selamanya dan mustahil Ia binasa (Sirajuddin Abbas, 2019 : 36).

Sifat ini juga masih termasuk ke dalam sifat ma’nawiyah yang memiliki kaitan dengan sifat Hayyat.

Allah pasti memiliki sifat Hidup sejak azali sampai

(49)

38

seterusnya karena Dialah Yang Maha Hidup. Dalil yang menunjukkan sifat ini juga sama dengan dalil yang menunjukkan sifat Hayyat.

18. Sami’an

Sifat selanjutnya adalah kaunuhu sami’an. Allah bersifat Maha Mendengar dan selalu dan seterusnya Maha Mendengar (Sirajuddin Abbas, 2019 : 37).

Sifat ma’nawiyah ini memiliki kaitan dengan sifat sama’ yaitu Maha Mendengar. Sifat in melazimkan bahwasanya Allah akan selalu Maha Mendengar dan mustahil sewaktu-waktu dia tuli.

19. Bashiran

Allah bersifat kaunuhu bashiran yang artinya selalu dalam keadaan melihat dan mustahil Ia dalam keadaan buta (Sirajuddin Abbas, 2019 : 37).

Dalil yang menerangkan bahwasanya Allah selalu dalam keadaan Maha Melihat sama dengan dalil yang menyebutkan soal sifat sama’. Tidak mungkin ada yang luput daripada pengelihatan Allah dan Ia Maha Melihat sejak azali sampai selamanya.

20. Mutakalliman

Sifat yang ke dua puluh adalah sifat kaunuhu mutakalliman. Sifat ma’nawiyah ini berkaitan dengan

(50)

39

sifat kalam yang mana melazimkan bahwa kalam Allah bersifat selalu dan selamanya (Sirajuddin Abbas, 2019 : 37).

Oleh karena Ia memiliki sifat kalam, maka Ia tetap selalu dalam keadaan kalam dan tidak pernah sedetikpun sifat ini hilang daripada Allah.

Rukun Iman di dalam Islam

Di dalam kitab I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah yang disusun oleh Imana Abul Hasan al-‘Asy’ari, keimanan dibagi atas 6 bagian, yaitu :

1. Tentang Ketuhanan

2. Tentang Malaikat-malaikat 3. Tentang Kitab-kitab Suci 4. Tentang Rasul-rasul 5. Tentang Hari Akhir

6. Tentang Qadha dan Qadar (Sirajuddin Abbas, 2019 : 27).

Di dalam perihal ketuhanan selain sifat wajib bagi Allah yang sudah dibahas sebelumnya, ada pula Allah memiliki 99 nama-nama baik yang sudah diajarkan oleh Nabi Muhammad yang terangkum di dalam asma’ul husna.

Nama Tuhan sendiri tidak boleh dibuat-buat atau diada-

(51)

40

adakan oleh manusia, akan tetapi harus diterangkan oleh baginda Nabi menurut paham ahlussunnah (Sirajuddin Abbas, 2019 : 41).

Setelah itu di dalam perihal akidah ahlussunnah juga seorang mukallaf wajib mempercayai adanya Malaikat- malakikat Allah. Malaikat Allah diciptakan daripada cahaya dan termasuk dalam makhluk yang ghaib. Beberapa hal yang wajib diyakini perihal malaikat adalah :

1. Malaikat Allah itu tidak terhitung jumlahnya dan setiap malaikat memiliki tugas tersendiri dari Allah.

2. Umat Islam hanya wajib mengetahui 10 Malaikat yang utama, yaitu Jibirl, Mikail, Israfil, Izrail, Munkar, Nakir, Raqib, Atid, Malik, dan Ridwan yang memiliki tugas yang berbeda-beda (Sirajuddin Abbas, 2019 : 42).

Selanjutnya, di dalam perihal akidah Islam kita juga meyakini tentang adanya Kitab Suci yang diturunkan oleh Allah. Akidah ahlussunnah mempercayai adanya kitab-kitab suci yang diturunka oleh kepada para Rasul-Nya untuk disampaikan kepada manusia. Adapun jumlah kitab-kitab suci ini ada banyak sebagaimana banyaknya jumlah Rasul

(52)

41

Allah. Akan tetapi yang wajib diyakini di dalam paham ahlussunnah hanya 4, yaitu Kitab Suci Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, kemudian Kitab Suci Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud

‘alaihissalam, kemudian Kitab Suci Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa ‘alaihissalam, dan terakhir adalah Kitab Suci al-Qur’an yang menjadi pedoman umat Islam diturunkan kepada Nabi yang Agung Muhammaad S.A.W (Sirajuddin Abbas, 2019 : 48).

Setelah kitab-kitab suci yang wajib diyakini selanjutnya oleh akidah ahlussunnah adalah tentang rasul- rasul Allah. Akidah ahlussunnah wajib meyakini bahwasanya rasul-rasul Allah yang diutus oleh-Nya menyampaikan kitab suci 315 rasul dan 124.000 Nabi sejak Nabi adam sampai Nabi penutup yaitu Nabi Muhammad S.A.W. Di antar yang banyak tersebut yang wajib hukumnya untuk diketahui hanya berjumlah 25 orang Nabi dan Rasul menurut akidah ahlussunnah (Sirajuddin Abbas, 2019 : 53).

Selain nama-nama rasul akidah ahlussunnah juga meyakini bahwasanya sifat-sifat wajib yang ada para nabi dan rasul ini ada 4 yang mana mustahil tidak ada padanya, yaitu :

1. Shiddiq (benar), mustahil ia pendusta.

(53)

42

2. Amanah (dipercaya), mustahil ia khianat.

3. Tabligh (menyampaikan), mustahil ia menyembunyikan

4. Fathanah (pintar), mustahil ia bodoh (Sirajuddin Abbas, 2019 : 58).

Selanjutnya di dalam pembahasan akidah ahlussunnah setelah mempercayai rasul-rasul Allah kita patut mempercayai adanya Hari Kiamat. Secara khusus hari kiamat sendiri dimulai sejak manusia meninggal dunia sampai kelak akan menuju rumah terakhir yaitu Surga atau Neraka (Sirajuddin Abbas, 2019 : 70).

Beberapa kejadian di dalam hari kiamat yang dipercayai di dalam akidah ahlussunnah antaranya :

1. Setiap orang akan mengalami mati apabila telah menemui ajalnya atau nikmat umurnya sudah habis.

2. Setelah kematian pertama manusia di alamm kubur akan ditanya oleh malaikat Munkar dan Nakir tentang siapa Tuhannya dan siapa Nabinya.

3. Selanjutnya hari kiamat telah tiba semua orang yang mati akan dibangkitkan kembali dan dikumpulkan di padang masyhar.

(54)

43

4. Sesudanya yaumul mizan di mana manusia ditimbang amal baiknya dan dihitung.

5. Kemudian setiap orang harus melalui titian Sirathal mustaqim yang dibentangkan di atas neraka.

6. Orang-orang shaleh akan berhasil menyebranginya dan masuk ke surga dan orang- orang kafir dan durhaka akan tergelincir ke dalam neraka.

7. Orang kafir kekal di dalam neraka, tetapi orang- orang yang beriman sampai mautnya akan dimasukkan ke dalam surga setelah hukumannya selesai di dalam neraka.

8. Orang-orang shaleh akan ditambahkan nikmat karunia yang tiada tara lezatnya.

9. Keadaan orang-orang yang ada di surga akan kekal dan yang ada di neraka juga kekal dengan kehendak-Nya (Sirajuddin Abbas, 2019 : 71-72).

Terakhir pembahasan akidah ahlussunnah yang terakhir adalah tentang Qadha dan Qadar. Menurut ahlussunnah Qadha adalah ketetapan Tuhan pada azal tentang sesuatu. Adapun pelaksanaan Qadha disebut dengan Qadar. Kita wajib meyakini bahwa yang terjadi di

(55)

44

atas dunia semuanya sudah qadha dan qadar Allah S.W.T dan tak ada seorangpun yang dapat merubahnya (Sirajuddin Abbas, 2019 : 75).

B. Tinjauan Umum Objek yang Dikaji

1. Sekilas tentang Pengarang Kitab Maulid ad-Diba

Maulid Diba’I adalah sebuah kitab bercerita tentang kehidupan Nabi Muhammad SAW. Menurut Nida di dalam penelitiannya, mengutip dari Kitab ini dinamakan sesuai dengan nama muallif yaitu al-Imam Wajihuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf bin Ahmad bin Umar ad- Diba’i asy-Syaibani al-Yamani az-Zabidi asy-Syafi’i (Husnayaini, 2016 : 54).

Imam ad-Diba-i wafat di kota Zabid pada jum’at pagi 26 Rajab 944 H. Mengenai profil ad-Diba’i disebutkan dalam kitab Maulid al-Hafidz Ibn ad-Daiba’i karya as-Sayyid Alawi al- Maliki halaman 5 yang dikutip oleh MuslimMN di dalam sebuah tulisannya di dalam sebuah blog :

يعفاشلا ْيِدْيِب َّزل ا ينميلا ينابيشلا دمحم نب يلع نب نمحرلادبع نيدلا هيجووه نبا ىلعلاا هدجل بقل وه نادوسلا ةغلب ضيبلأا ىنعمب عبيدلاو , عبيدلا نباب فورعملا(

ملا ىف دل ُو )فسوي ةنس مرح

866 موي يفوتو ه ةنس درفلا بجر نم رشع يناث ةعمجلا

944 ثيدحل اولح ةجهللا نسح ناسللا قودص ناكو .ه

“Dia adalah Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad asy- Syaibani al-Yamani az-Zabidi asy-Syafi’i (yang dikenal dengan Ibn ad-Daiba’i. Ad-Daiba’ menurut bahasa Sudan artinya putih.

Merupakan julukan kakeknya yang agung, Ibn Yusuf). Beliau

(56)

45

dilahirkan pada bulan Muharram tahun 866 H dan wafat pada hari Jum’at tanggal 12 Rajab tahun 944 H. dalam usia kurang lebih 76 tahun. Beliau seorang yang jujur, lemah lembut tutur katanya dan indah bahasanya” (MuslimMN, 2014).

Dalam skripsinya Nida mengutip dari Ghoyatul Mathlub menceritakan tentang sedikit profil pengarang kitab. Syaikh ad- Diba’i menceritakan bahwa ayahanda beliau pergi dari kota Zabid pada akhir tahun saat beliau lahir. Beliau diasuh oleh kakek dari ibunya, seorang yang ma’rifat, berilmu, sholeh, agamanya mulia, yang Bernama Syaikh Syarafuddin bin Muhammad Mubariz yang juga seorang ‘alim terkenal di kota Zabid kala itu. (Husnayaini, 2016 : 55).

Dalam kitabnya tentang perjalanan dalam menuntut ilmu, beliau belajar Al-Qur’an kepada Sayyid Faqih Nuruddin Ali bin Abi Bakar bin Khattab, sehingga beliau hafal surat yaasin, beliau banyak mengambil manfaat dari gurunya yaitu Faqih Nuruddin Ali bin Abi Bakar bin Khattab. Setelah beliau mulai mashur dalam ilmu yang dimiliki, kemudian beliau pindah kepada gurunya yang tidak lain pamannya, ang bernama Jamaluddin Abi Najba’ Muhammad Thayib bin Ismail bin Mubariz. Saat gurunya (Jamaluddin Jamaluddin Abi Najba’ Muhammad Thayib bin Ismail bin Mubariz) melihat kemampuan Ibnu Diba’, gurunya mengutus Ibnu Diba; untuk membaca dari surat Al-Baqarah sampai pada surat yang terakhir. Ibnu Diba’ membacakannya dalam satu waktu

(57)

46

sampai khatam, hafal, dan sampai meresap dalam hati. Pada saat itu Ibnu Diba’ berumur 10 tahun (Ibid, 55).

Ibnu Diba’ melanjutkan menimba ilmunya di Arab, beliau belajar kepada pamannya dan para ustadz selain pamannya. Beliau mempelajari ilmu khisab, ilmu matematika, ilmu debat, ilmu pertanahan, ilmu faraidh, dan fiqih sampai beliau dapat mendalami ilmu-ilmu tersebut. Syaikh Abdurrahman ad-Diba’i ra haji 3 kali, beliau dapat bergaul baik dengan para ulama’, dan belajar dari para ulama’ tersebut, dan meriwayatkan. Ibnu Diba’ berangkat haji pada tahun 883 H dan beliau berinfaq sebanyak 8 dinnar yang telah diwariskan oleh ayahnya. kemudian haji kedua kalinya pada tahun 885 H, dan setekah itu beliau kembali ke Zabid. Setelah sampai di kota Zabid beliau belajar ilmu hadits untuk memulyakan Syaikh Zainuddin Ahmad bin Ahmad as Syarji, dan sebagian dari ilmu hadits: Shohih Bukhari, Muslim, al Muwatta’, dan belajar kepada Syaikh Zainuddin Ahmad bin Ahmad as Syarji pada tahun 896 H.

Ibnu ad-Diba’ kembali berangkat haji dan pergi ke Madinah al Munawwarah, kemudian kembali ke Makkah untuk belajar pada Imam as Syakhowi (Ibid, 56).

Referensi

Dokumen terkait