• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis terhadap Tingginya Angka Putusan Verstek Dalam Perkara Perceraian Pada Tahun 2017 (Studi Pengadilan Agama Pekanbaru Kelas I A)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Analisis terhadap Tingginya Angka Putusan Verstek Dalam Perkara Perceraian Pada Tahun 2017 (Studi Pengadilan Agama Pekanbaru Kelas I A)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

© Lembaga Anotero Scientific Pekanbaru

JHL

https://ejournal.anotero.org/index.php/hupo

Journal of Hupo_Linea

Analisis terhadap Tingginya Angka Putusan Verstek Dalam Perkara Perceraian Pada Tahun 2017

(Studi Pengadilan Agama Pekanbaru Kelas I A)

Endang Conik Pebruani

Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman Edy Pekanbaru, Indonesia

1. Pendahuluan

Suatu kenyataan hidup bahwa manusia sebagai makhluk sosial (zoonpoliticon) itu tidak sendiri. Manusia hidup berdampingan dan saling membutuhkan satu sama lainnya, bahkan berkelompok-kelompok dan juga sering mengadakan hubungan antar sesamanya (Djamali, 2008). Hubungan itu terjadi sejak manusia dilahirkan sampai meninggal dunia. Timbulnya hubungan antar manusia secara kodrati, artinya makhluk hidup sebagai manusia dikodratkan untuk selalu hidup bersama. Proses kodrati itu terjadi sejak manusia dikodratkan lahir terdiri dari jenis kelamin pria dan wanita. Yang mana suatu waktu pria dan wanita itu akan ada yang membentuk keluarga melalui ikatan perkawinan yang sah dimata hukum dan agamanya masing-masing.

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menerangkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Hukum Islam perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pada dasarnya perkawinan memiliki tujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah. Namun dalam realitanya tujuan

Abstract: The absence of the defendant as a husband in the trial will undoubtedly cause problems in the case examination. In the trial, the defendant does not attend and does not order his representative to attend, then the lawsuit can be decided by a verstek decision. Verstek is an authority given by law to judges to examine and decide cases in the absence of the defendant. Therefore, the author wants to know the cause of the high number of verstek decisions in divorce cases in 2017 at the Class IA Pekanbaru Religious Court and the efforts of judges to reduce the high number of verstek decisions in divorce cases in 2017 at the Pekanbaru Religious Court Class I A. In research This research method used is a type of library research or library research and analyzes the decision of the Pekanbaru Class I A Religious Court. Based on the results of the research, that the summons in the Verstek decision based on law were three summons, while in Pekanbaru Religious Court Class IA the summons Out of the statutory requirement four times, some judges decided the verstek decision case based on the evidence of the plaintiff's claim. The evidence decided by the judge is based on the testimony of the witnesses presented by the plaintiff. In the verdict of the judge who hears the case there is only one woman judge, this case should be more for female judges, because basically the verstek decision is an effort to protect women because it can protect women's rights. The judge gave women's rights in the verstek decision in the form of the argument for the lawsuit submitted by the plaintiff. Class I A Pekanbaru Religious Court has not paid full attention to the protection of women's rights in verstek decisions.

Keywords: Verstek Judgment Figures, Divorce Case, Religious Courts

(2)

ideal perkawinan sebagaimana yang diuraikan diatas, sulit untuk diwujudkan. Hal ini bisa terjadi karena berbagai faktor salah satunya karena kurangnya sikap saling menghargai dan menghormati antara suami isteri serta kurangnya kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai suami isteri dan pada akhirnya akan timbul percekcokan yang berkepanjangan hingga berujung pada putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan karena kehendak suami atau istri atau kehendak keduanya, karena ketidakrukunan, disebut dengan istilah “perceraian”. Prinsipnya, suami dan istri mempunyai hak untuk memutuskan perkawinan tersebut dengan cara perceraian berdasarkan hukum perceraian yang berlaku (Syaifuddin et.al, 2014).

Perceraian ini merupakan hal yang sangat tidak diinginkan oleh siapapun. Dalam Islam perceraian itu dihalalkan, akan tetapi itu termasuk perbuatan yang paling dibenci Allah SWT.

Apabila baik suami maupun istri telah diberikan nasehat dan berusaha dengan sungguh- sungguh untuk mendapatkan bantuan yang diperlukan, akan tetapi setelah itu juga tak kunjung ditemukan jalan untuk berdamai maka barulah perceraian itu dapat dibenarkan. Perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Dalam UU Perkawinan juga telah disebutkan bahwa setiap terjadinya perceraian kecuali dalam hal cerai mati harus memiliki alasan-alasan yang cukup, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mempersulit perceraian sehingga terdapat kemungkinan untuk meminimalisir terjadinya perceraian. Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, telah menentukan alasan hukum perceraian, yaitu: a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lainnya; e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; dan f) Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (Syaifuddin et.al, 2014).

Dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menambahkan 2 (dua) alasan lagi yang secara khusus diatur dalam hukum perkawinan islam, yaitu: a) Suami melanggar taklik talak; b) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga (Syaifuddin et.al, 2014).

Perceraian hanya akan sah apabila dilakukan dihadapan sidang Pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang berkuasa atas perkara perkawinan khususnya dalam hal perceraian bagi orang yang beragama Islam ialah Pengadilan Agama, sedangkan bagi orang yang beragama selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Hal ini merupakan kompetensi absolute dari sebuah badan peradilan. Kompetensi absolute itu sendiri ialah kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainya (A.

Rasyid, 2016). Kekuasaan absolute Pengadilan Agama disebutkan dalam Pasal 49 dan 50 UU Nomor 7 Tahun 1989, yang berbunyi: 1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang- orang yang beragama islam di bidang: a) perkawinan; b) kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum islam; dan c) wakaf dan shadaqah; 2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku; dan 3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Dalam Pasal 50, jika terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek

(3)

yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Dalam setiap terjadi sengketa yang hingga ke tahap proses persidangan harus didahului dengan anjuran damai, terutama dalam perkara perceraian. Dan anjuran damai ini merupakan salah satu asas dalam hukum acara peradilan agama. Anjuran damai atau yang lebih sering disebut mediasi ini dapat dilakukan apabila penggugat (pemohon) dan tergugat (termohon) hadir dalam proses persidangan. Akan tetapi pada kenyataannya seringkali suami atau isteri yang berkapasitas sebagai tergugat/termohon tidak datang dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakil kuasanya untuk menghadiri persidangan. Jika terjadi demikian, maka biasanya hakim akan menunda proses persidangan untuk memanggil kembali si tergugat untuk menghadiri persidangan. Proses pemanggilan ini biasanya dilakukan hingga 3 kali dan jika si tergugat tetap tidak hadir dalam proses persidangan maka proses persidangan akan dilanjutkan ke tahapan selanjutnya.

Tidak hadirnya tergugat/termohon dalam persidangan, maka acara yang berlaku adalah acara verstek dan hukum acaranya dilakukan sesuai dengan prosedur sebagaimana yang telah diatur di dalam RBg dan HIR. Putusan verstek ini diputus dengan membuktikan lebih dahulu dalil-dalil yang dikemukakan oleh penggugat disini dapat kita lihat bahwa tidak terdapat keseimbangan dalam proses pembuktiannya sehingga ada rasa ketidakadilan dari sudut kebenaran materil. Apabila diamati pada Pengadilan Agama di Indonesia putusan verstek sangat mendominasi khususnya dalam perkara perceraian, salah satu contohnya seperti yang terjadi di Pengadilan Agama Pekanbaru Kelas I A. Pada tahun 2017 di Pengadilan Agama Pekanbaru Kelas I A menerima sebanyak 2.040 perkara perceraian dan ada sebanyak 1.157 perkara yang diputus dengan putusan verstek. Dapat kita lihat bahwa hampir keseluruhan dari angka perkara yang diterima diputus dengan putusan verstek. Tingginya angka putusan verstek ini menimbulkan tanda tanya, sebenarnya mengapa putusan verstek ini sangat mendominasi dalam perkara perceraian. Dan apa yang menjadi penyebab tingginya angka putusan vestek ini.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai penyebab tingginya angka putusan verstek yang akan dituangkan dalam bentuk proposal dengan judul :

“Analisis terhadap Tingginya Angka Putusan Verstek Dalam Perkara Perceraian Pada Tahun 2017 ( Studi Pengadilan Agama Pekanbaru Kelas I A)”.

2. Metode

Jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah metode penelitian observasi (observational research) atau juga dikenal dengan istilah penelitian survey, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Effendi & Tukiran (Ed.), 2014). Ditinjau dari sifatnya penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan suatu kondisi sosial tertentu (Morissan, 2012). Dan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penyebab dari tingginya angka putusan verstek dalam perkara perceraian pada tahun 2017 di Pengadilan Agama Pekanbaru Kelas I A. Lokasi penelitan yang penulis pilih untuk melakukan penelitian ini adalah Pengadilan Agama Pekanbaru Kelas I A yang beralamat di Jalan Datuk Setia Maharaja/Parit Indah, Kota Pekanbaru (28281). Dipilihnya Pengadilan Agama Pekanbaru sebagai lokasi penelitian karena disana terdapat tingginya angka putusan verstek yang menarik untuk di teliti lebih lanjut.

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Hakim Pengadilan Agama Pekanbaru Kelas I A dan pihak tergugat/ termohon yang perkaranya telah diputus verstek pada tahun 2017 sebanyak 1157 orang. Karena besarnya jumlah populasi maka penelitian ini dalam menetapkan sampel menggunakan metode purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Pemilihan sekelompok subjek dalam purposive sampling didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui sebelumnya dengan kata lain unit sampel disesuaikan dengan

(4)

kriteria–kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini, yang menjadi alat pengumpul data adalah angket, wawancara dan kajian literatur. Setelah semua data diperoleh dan dikumpulkan secara lengkap, baik data primer maupun data sekunder, kemudian data-data tersebut diolah dengan cara mengelompokkan data menurut jenisnya berdasarkan masalah pokok penelitian. Data yang diperoleh melalui wawancara disajikan dalam bentuk pembahasan dengan uraian kalimat. Kemudian data yang diperoleh melalui pembagian kuesioner disajikan dalam bentuk tabel. Selanjutnya penulis melakukan analisis dengan cara membandingkan dengan teori, peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pendapat ahli. Metode penarikan kesimpulan yang digunakan oleh penulis adalah metode deduktif yaitu suatu hal yang bersifat umum ke arah yang yang bersifat khusus.

3. Hasil dan Pembahasan Pengertian Putusnya Perkawinan

“Putusnya Perkawinan” adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri. Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah seorang suami istri.

Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu dalam arti bila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah jalan keluar yang baik (Syarifuddin, 2006).

Asas-Asas Hukum Perceraian

Menurut Syarifuddin (2006) bahwa UU No. 1 Tahun 1974 menjelaskan beberapa asas-asas perkawinan yang mana jika diperhatikan maka dari asas-asas tersebut dapat ditemukan serta dikembangkan beberapa asas-asas mengenai hukum perceraian, yaitu:

Asas Mempersukar Proses Hukum Perceraian. Asas ini diciptakan sehubungan dengan tujuan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 dan penjelasannya, yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal melalui ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sifat mempersukar proses hukum perceraian dalam alasan-alasan hukum perceraian juga diperkuat dengan keharusan hakim di depan sidang pengadilan untuk memeriksa kebenaran dari alasan-alasan hukum perceraian tersebut, sehingga tidak cukup hanya bersandar pada adanya pengakuan belaka dari pihak yang dituduh melakukan kesalahan.

Asas Kepastian Pranata dan Kelembagaan Hukum Perceraian. Asas kepastian pranata dan kelembagaan hukum perceraian mengandung arti asas hukum dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang meletakkan peraturan perundang-undangan sebagai pranata hukum yang bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum dan pengadilan sebagai lembaga hukum yang dilibatkan dalam proses hukum perceraian yang diberi wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perceraian.

Asas Perlindungan Hukum yang Seimbang Selama dan Setelah Proses Hukum Perceraian.

Asas perlindungan hukum yang seimbang selama dan setelah proses hukum perceraian diciptakan sehubungan dengan tujuan hukum UU No. 1 Tahun 1974 untuk melindungi istri (wanita) dari kesewenang-wenangan suami (pria) dan mengangkat marwah istri sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga sederajat dengan suami. Secara filosofi perlindungan hukum bermuara pada suatu bentuk kepastian hukum yang adil, yang mencakup:

pertama, aspek tujuan hukum, yang dalam pandangan aliran ilmu hukum positif bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum; dan kedua, aspek perlindungan dalam penegakan hukum, dalam hal ini hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, sehingga penegakan hukum inilah yang dapat mewujudkan

(5)

hukum menjadi kenyataan. Politik hukum dalam UU No.1 Tahun 1974 yang mengatur keseimbangan hak, kewajiban dan kedudukan antara suami dan istri dalam perkawinan, juga terefleksi dalam proses hukum perceraian. Istri atau suami yang sudah tidak lagi harmonis dalam rumah tangga, dilindungi oleh UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, dengan cara memberikan hak kepada suami atau istri tersebut untuk melakukan perbuatan hukum (dalam rangka melindungi diri dari tindakan yang tidak adil, sewenang-wenang dan menurunkan marwah kemanusiaannya), berupa mengajukan gugatan/memohon perceraian, termasuk cerai gugat atau cerai talak ke pengadilan.

Bentuk-Bentuk Hukum Perceraian

Dalam perkawinan dapat diputus disebabkan perceraian dijelaskan pada pasal 114 KHI yang membagi perceraian kepada dua bagian, perceraian yang disebabkan karena talak dan perceraian yang disebabkan oleh gugatan perceraian. Berbeda dengan Undang-undang Perkawinan yang tidak mengenal istilah talak, KHI menjelaskan yang dimaksud dengan talak ialah, “ ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.”

Selanjutnya KHI memuat aturan –aturan yang berkenaan dengan pembagian talak. KHI membagi talak kepada talak raj’i, talak ba’in sughra, dan talak ba’in kubra. Yang dimaksud dengan talak raj’i ialah talak kesatu atau kedua dimana suami berhak rujuk selama dalam masa iddah. Sedangkan yang dimaksud dengan talak ba’in sughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh dengan akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.

Sedangkan talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan keudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan telah melewati masa iddah.

Disamping pembagian diatas juga dikenal pembagian talak ditinjau dari waktu menjatuhkannya, yaitu talak suni yang artinya talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Sedangkan talak bid’I adalah talak yang dilarang karena dijatuhkan pada waktu istri tersebut dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (Nuruddin & Tarigan, 2004). Selanjutnya berkenaan dengan cerai gugat, gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Jika terjadi hal demikian, maka gugatan harus diajukan di Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat kediaman suaminya. Hak untuk memohon memutuskan ikatan perkawinan ini dalam hukum islam disebut khulu’, yaitu perceraian atas keinginan pihak istri, sedang suami tidak menghendakinya. Khulu’ hanya diperbolehkan dengan alasan apabila suami meninggalkan istrinya selama 2 tahun berturut- turut tanpa izin istrinya serta alasan yang sah, atau suami murtad dan tidak memenuhi kewajiban terhadap istrinya (Nuruddin & Tarigan, 2004).

Jenis-Jenis Putusan dalam Hukum Acara Perdata

Dalam Pasal 196 ayat 1 RBg (185 ayat 1 HIR) putusan dibedakan antara putusan akhir dan putusan yang bukan putusan akhir. Putusan akhir ialah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam sutau tingkatan peradilan tertentu. Putusan akhir ini ada yang bersifat menghukum (condemnatoir), ada yang bersifat menciptakan atau meniadakan suatu keadaan hukum (constitutif) dan ada pula yang bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah (decralatoir). Di samping itu ada juga putusan yang bukan putusan akhir atau biasa disebut dengan putusan sela, yang fungsinya tidak lain untuk memperlancar pemeriksaan perkara (Mertokusumo, 2009).

Selain itu Pasal 48 Rv membedakan antara putusan praeparatoir dan putusan interlocutoir.

Putusan praeparatoir adalah putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir, contohnya ialah putusan untuk

(6)

menggabungkan dua perkara atau untuk menolak diundurkannya pemeriksaan saksi.

Sedangkan putusan interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian dan dapat mempengaruhi putusan akhir, misalnya pemeriksaan untuk pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat (Mertokusumo, 2009). Rv masih mengenal 2 putusan lainnya yang bukan putusan akhir, yaitu: 1) Putusan insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan incident, yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa; dan 2) Putusan provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan (Mertokusumo, 2009).

Kemudian jika dilihat dari kehadiran para pihaknya, dibagi sebagai berikut (Witanto, 2013): 1) Putusan di luar hadir, yang dapat digolongkan menjadi beberapa jenis antara lain;

ketidakhadiran pihak penggugat yang mana telah dipanggil secara sah dan patut maka pengadilan akan memutuskan perkara dengan putusan gugur, sedangkan dengan ketidakhadirannya pihak tergugat yang telah dipanggil secara sah dan patut maka pengadilan akan menjatuhkan putusan verstek; dan 2) Putusan contradictoir, yaitu putusan yang dijatuhkan atas kehadiran atau setidak-tidaknya para pihak pernah hadir di persidangan.

Proses Acara Verstek

Istilah “acara luar hadir” dijumpai juga dalam kamus hukum sebagai terjemahan dari verstek procedure dan verstekvonnis diberi istilah putusan tanpa hadir atau putusan diluar hadir tergugat atau penggugat. System Common Law memberi istilah “default procedure” yang sama maksdunya dengan verstek procedure, yaitu cara luar hadir dan untuk verstekvonnis (putusan tanpa hadir) disebut default judgement (Harahap, 2015). Pengertian verstek adalah putusan yang dijatuhkan pengadilan sebagai akibat dari ketidakhadiran tergugat/termohon selama pemeriksaan perkara. Jika tergugat/termohon pernah datang menghadap di muka sidang, meskipun hanya satu kali, maka untuk perkara tersebut tidak dapat dijatuhkan putusan verstek, namun tetap dalam bentuk contradictoir (Rambe & Agafi, 2001).

Adanya suatu azas hukum acara perdata bahwa hakim mendengarkan kedua belah pihak.

Memberi arti agar kedua belah pihak dapat membela kepentingannya di depan persidangan (Marbun, 1992). Namun azas ini tidak dapat terlaksana jika salah satu pihak tidak hadir di depan persidangan. Dalam proses beracara di pengadilan, ada kemungkinan para pihak tidak hadir dalam proses persidangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketidakhadiran para pihak mengandung konsekuensi hukum terhadap hak dan kepentingan masing-masing pihak di depan persidangan (Rahmawati & Rachmainy, 2016). Ketidakhadiran salah satu pihak tersebut menimbulkan masalah dalam pemeriksaan perkara, yaitu perkara ditunda atau diteruskan pemeriksaannya dengan konsekuensi yuridis. Apabila pada hari sidang pertama yang telah ditentukan penggugat tidak hadir dan tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan patut dan sah maka gugatannya dinyatakan gugur. Akan tetapi, dia berhak mengajukan gugatannya sekali lagi setelah lebih dulu membayar biaya perkara tersebut. Ketua majelis hakim masih bisa mempertimbangkan agar penggugat yang tidak hadir itu dipanggil sekali lagi untuk hadir pada sidang yang ditentukan berikutnya. Apabila majelis hakim memanggil sekali lagi penggugat yang tidak hadir itu, berarti majelis hakim menunda sidang dan akan diteruskan pada sidang berikutnya lagi.

Sedangkan apabila tergugat tidak hadir dan tidak menyuruh wakilnya untuk hadir pada hari sidang pertama yang telah ditentukan, padahal telah dipanggil dengan patut, gugatannya dapat dikabulkan tanpa hadirnya tergugat (verstek), kecuali jika gugatan itu melawan hukum atau tidak beralasan. Akan tetapi, majelis hakim dapat memerintahkan untuk memanggil sekali lagi tergugat yang tidak hadir itu agar hadir pada hari sidang yang ditetapkan berikutnya dan majelis hakim menyatakan sidang ditunda (Muhammad, 2012).

Dalam proses pemanggilan para pihak harus dilakukan dengan pemanggilan yang sah dan patut sesuai dengan ketentuan yang telah berlaku yang dilaksanakan oleh juru sita. Juru sita

(7)

hanya berwenang melakukan pemanggilan dalam wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan, artinya apabila pihak yang hendak dipanggil berada di luar kota maka pemanggilan tersebut dilakukan dengan menggunakan prinsip delegasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Rv yang berbunyi (Witanto, 2013): “Jika tergugat bertempat tinggal di luar wilayah kekuasaan hakim yang menerima gugatan atau segera, dalam hal seperti diuraikan diatas atau atas pilihan penggugat dan atas permohonan pengacaranya dengan surat kepada hakim di tempat tinggal tergugat yang akan memberitahukannya dengan perantaraan juru sita yang ditunjukkannya.”

Setiap panggilan harus dilakukan dengan eksploit yang artinya dalam bentuk surat tertulis dan tidak diperkenankan dilakukan secara lisan karena panggilan secara lisan akan sulit dibuktikan kebenarannya, ada dua kemungkinan pemanggilan itu sah menurut Pasal 390 ayat (1) HIR yaitu jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Pemanggilan dilakukan secara langsung kepada si terpanggil sendiri di tempat kediamannya; dan 2) Panggilan dilakukan melalui kepala desa atau kepala lingkungan, jika juru sita tidak dapat bertemu langsung dengan si terpanggil di tempat kediamannya.

Memang undang-undang memberikan alternatif kemudahan jika juru sita tidak bertemu langsung dengan si terpanggil di tempat kediamannya, maka juru sita dapat menyampaikan pemanggilan itu kepada kepala desa atau kepala lingkungan dimana tempat tinggal si terpanggil, namun perlu diingat hal ini dilakukan jika juru sita benar-benar tidak dapat bertemu langsung dengan si terpanggil dan hal ini dilakukan sebagai jalan terakhir yang dapat ditempuh oleh juru sita (Witanto, 2013). Dan jika pihak yang akan dipanggil berada di luar negeri maka surat panggilan disampaikan melalui Departemen Kehakiman cq. Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler. Surat panggilan itu harus diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh seorang penerjemah yang telah disumpah sebelum menerjemahkan relaas panggilan tersebut (Witanto, 2013). Terhadap perkara perceraian yang tergugatnya tidak diketahui tempat tinggal atau tempat kediamannya, maka berdasarkan Pasal 27 dan Pasal 20 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 pengadilan dapat menjatuhkan putusan verstek setelah melalui tahapan sebagai berikut: 1) Pemanggilan pertama melalui surat kabar/mass media selama satu bulan; 2) Pemanggilan kedua melalui surat kabar/mass media selama 3 bulan; dan 3) Penjatuhan putusan verstek setelah tiga bulan dari pemanggilan terakhir.

Dan jika dihitung secara keseluruhan waktu yang dipergunakan untuk kemudian hakim bisa menjatuhkan putusan verstek adalah 4 bulan (Witanto, 2013). Perkara yang diputus dengan verstek, dianggap secara formal dan material sudah selesai diadili selengkapnya. Jadi tergugat yang kalah, tidak boleh lagi mengajukan perkara tersebut kembali (seperti dalam perkara yang diputus dengan digugurkan), kecuali mengajukan perlawanan yang disebut dengan istilah verzet. Namun dalam acara verstek terutama pada perkara perceraian, jarang sekali ada tergugat yang mengajukan verzet.

4. Penutup

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal, yaitu: 1) Putusan verstek adalah upaya perlindungan terhadap perempuan karena bisa melindungi hak perempuan. Hakim memberi hak-hak perempuan dalam putusan verstek dalam bentuk dalil gugatan yang diajukan oleh penggugat. Dalam menyelesaikan perkara ini memang putusan verstek untuk melindungi hak-hak perempuan dalam perceraian, tapi dalam mengambil keputusan hak-hak perempuan terpenuhi dalam dalil-dalil gugatan yang diajukan. Namun hakim dalam mengadili putusan verstek ini tidak terpenuhinya hak-hak perempuan akibat kurangnya hakim perempuan dalam perkara ini dan ketidakhadiran tergugat dalam persidangan;

2) Pertimbangan Pengadilan Agama Pekanbaru dalam menjatuhkan putusan verstek karena tergugat tidak pernah datang dan tidak pula memberi kuasa kepada pihak lain untuk mewakilinya, meskipun pengadilan telah memanggil secara resmi dan patut dan Pengadilan

(8)

Agama Pekanbaru dalam pemanggilanya sebanyak 4 kali melebihi dari yang ditetapkan undang-undang sebanyak 3 kali, maka majelis hakim berpendapat bahwa tergugat telah melepaskan hak jawabnya dan dianggap mengakui seluruh dalil gugatan penggugat. Pengadilan Agama Pekanbaru sebelum memutuskan perkara verstek terlebih dahulu melakukan pertimbangan dengan mendengarkan keterangan dari pihak saksi-saksi agar putusan yang dijatuhkan tersebut memiliki pertimbangan hukum yang kuat.

References

A. Rasyid, R. (2016). Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Asse, A. Putusan Verstek Mendominasi Putusan Perceraian Pengadilan Agama. Jurnal Nuansa, 8(1).

Bisri, C., H. (2003). Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Dewi (Ed), G. (2008). Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Djalil, A., B. (2010). Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Djamali, R.A. (2008). Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Effendi, S. & Tukiran (Ed.). (2014). Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Fauzan, M. (2007). Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Harahap, M.Y. (2005). Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap. M. Y. (2015). Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Khaira, U., & Yahya, A. (2018). Pelaksanaan Upaya Perdamaian Dalam Perkara Perceraian (Suatu Kajian terhadap Putusan Verstek pada Mahkamah Syar’iyah Bireuen)(Reconciliation Efforts in a Divorce Lawsuit (A review to the In-absentia Decision at the Shariah Court of Bireuen)). Jurnal Penelitian Hukum p-ISSN, 1410, 5632.

Makaro, M. T. (2009). Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: Rineka Cipta.

Manan, H. A., & SH, S. (20008). Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Ed. 2. Jakarta: Kencana.

Marbun, S. (1992). Hukum Acara Perdata di Indonesia. Pekanbaru: UIR Press Pekanbaru.

Mertokusumo, S. (2009). Hukum Acara Perdata. Yogyakarta: Liberty.

Morissan. (2012). Metode Penelitian Survei. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Muhammad, A. (2012). Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. Ke-9. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Nuruddin, A. (2004). Hukum perdata Islam di Indonesia: studi kritis perkembangan hukum Islam dari fikih, UU no. 1/1974, sampai KHI. Jakarta: Kencana.

PERMA No. 1 tahun 2016 tentang Medias.

Rahmawati, E., & Rachmainy, L. (2017). Penjatuhan Putusan Verstek Dalam Praktik di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Bandung Dalam Kajian Hukum Acara Perdata Positif di Indonesia. ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata, 2(2), 211-288.

Rambe, R & Agafi, A.M. (2001). Implementasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Perca.

Soepomo, R. (2004). Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta: Pradnya Paramita.

Subekti, R. (2001). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa.

Sugeng A.S, B., Sujayadi. (2012). Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sutantio, N.R., & Oeripkartawinata, I. (2009). Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek.

Bandung: Mandar Maju.

Syafrinaldi. (1992). Buku Panduan Penulisan Skripsi Fakultas Hukum. Pekanbaru: UIR Press.

Syaifuddin, M. (2014). Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika.

(9)

Syarifuddin, A. (2006). Hukum perkawinan Islam di Indonesia: antara fiqh munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.

Tresna, R. (2005). Komentar HIR. Jakarta: Pradnya Paramita.

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Witanto, D.Y. (2013). Hukum Acara Perdata tentang Ketidakhadiran Para Pihak dalam Proses Berperkara. Bandung: Mandar Maju.

Referensi

Dokumen terkait

2018) Kinerja dari tata kelola teknologi informasi di perusahaan XYZ Cargo yang sedang berjalan dengan beberapa aspek: efektivitas, efisiensi, unit fungsional

NGO menggunakan pelbagai mekanisme untuk memperolehi maklumat mengenai mangsa yang memerlukan bantuan kemanusiaan seperti daripada mangsa sendiri, hasil pemeriksaan

Penelitian dengan judul faktor kondisi, fekunditas, dan seks rasio ikan yang ditangkap di Sungai Serayu pada tempat bermuaranya Sungai Logawa wilayah Kecamatan

Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih

Tämän tutkielman tavoitteena on siis analysoida ja kuvailla sitä, miten lapset suhtautuvat matematiikkaa kohtaan tiedekerhoissa sekä millaisia asenteita heil- lä

Padahal jika dilihat dari potensi konsumen baik dari RTP dan maupun konsumen untuk usaha skala kecil (homestay) maka pengembangan energi terbarukan layak dilakukan, misalnya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor internal yang mempengaruhi pengembangan wisata mangrove di Pulau Kemujan adalah SDA (kondisi ekologi hutan mangrove), SDM

Model rekursif kedua dengan indeks h sebagai variabel dependen faktor yang mempengaruhi adalah Jumlah kutipan, Jumlah paper yang ditulis dalam bahasa Inggris, Pendidikan,