• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR KOMUNITAS DAN ESTIMASI TUTUPAN LAMUN MENGGUNAKAN UNMANNED AERIAL VEHICLE (UAV) DI PERAIRAN MRICAN, TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA, JEPARA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STRUKTUR KOMUNITAS DAN ESTIMASI TUTUPAN LAMUN MENGGUNAKAN UNMANNED AERIAL VEHICLE (UAV) DI PERAIRAN MRICAN, TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA, JEPARA SKRIPSI"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR KOMUNITAS DAN ESTIMASI TUTUPAN LAMUN MENGGUNAKAN UNMANNED AERIAL VEHICLE (UAV) DI PERAIRAN MRICAN, TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA,

JEPARA

SKRIPSI

Oleh:

GANDANG HERDANANTO NUGROHO 26020116140096

DEPARTMEN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2021

(2)

ii

STRUKTUR KOMUNITAS DAN ESTIMASI TUTUPAN LAMUN MENGGUNAKAN UNMANNED AERIAL VEHICLE (UAV) DI PERAIRAN MRICAN, TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA,

JEPARA

Oleh:

GANDANG HERDANANTO NUGROHO 26020116140096

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Derajat Sarjana S1 pada Program Studi Ilmu Kelautan Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Diponegoro

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2021

(3)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Struktur Komunitas dan Estimasi Tutupan Lamun Menggunakan Unmanned Aerial Vehicle (UAV) di Perairan Mrican, Taman Nasional Karimunjawa, Jepara

Nama : Gandang Herdananto Nugroho

Nim : 26020116140096

Departemen/Program Studi : Ilmu Kelautan/Ilmu Kelautan Fakultas : Perikanan dan Ilmu Kelautan

Mengesahkan:

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Ir. Raden Ario, MSc Dra. Rini Pramesti, MSi NIP. 19600105 198703 1 002 NIP. 19631223 199003 2 002

Dekan Ketua

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Departemen Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro

Prof. Ir. Tri Winarni Agustini, M.Sc., PhD DR. Ir. Chrisna Adhi Suryono, M. Phill NIP. 19650821 199001 2 001 NIP. 19640605 199103 1 004

(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Dengan ini saya, Gandang Herdananto Nugroho menyatakan bahwa karya ilmiah/skripsi ini adalah asli karya saya sendiri dan karya ilmiah ini belum pernah diajukan sebagai pemenuhan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan (S1) dari Universitas Diponegoro maupun perguruan tinggi lain.

Semua informasi yang dimuat dalam karya ilmiah ini berasal dari penulis baik yang dipublikasikan atau tidak telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis dengan benar dan semua ini dari karya ilmiah/skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya sebagai penulis.

Semarang, Penulis

Gandang Herdananto N 26020116140096

(5)

v

RINGKASAN

Gandang Herdananto Nugroho. 260 201 161 400 96. Struktur Komunitas dan Estimasi Tutupan Lamun di Perairan Mrican, Taman Nasional Karimunjawa, Jepara. (Pembimbing: Raden Ario dan Rini Pramesti)

Ekosistem Lamun (seagrass) merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang mempunyai peranan penting di laut. Ekosistem ini merupakan salah satu ekosistem bahari yang paling produktif sebagai habitat, tempat pemijahan dan feeding ground. Penelitian ini bertujuan untuk mendapat kondisi struktur komunitas lamun yang tersebar di perairan Pulau Kemujan, Karimunjawa dengan melihat dan mengkaji komposisi jenis, kerapatan, tutupan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, indeks dominasi, indeks morisita. Besar tutupan padang lamun didapatkan melalui hasil foto udara yang diolah dengan analisa indeks vegetasi. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif eksploratif dengan penentuan titik lokasi meggunakan metode purposive sampling. Lokasi penelitian dibagi menjadi 3 titik berdasarkan daerah ekosistem lamun dan daerah yang sering dimanfaatkan sebagai area wisata.

Metode pengambilan data lamun mengacu pada metode Line Transek Kuadran dan pengambilan foto udara menggunakan wahana drone dengan aplikasi pix4d.

Komposisi jenis spesies lamun yang ditemukan di Perairan Mrican Taman Nasional Karimunjawa adalah sebanyak 4 spesies, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halodule uninervis. Pola sebaran lamun tiap jenis tergolong mengelompok sedangnan lamun jenis E. acoroides tergolong merata pada stasiun 3. Nilai penutupan lamun tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu 21,3%;

dengan rata - rata penutupan sebesar 17,02%. Kerapatan tertinggi terdapata di stasiun 1 dan rata - rata kerapatan jenis spesies tertinggi, yaitu E. acoroides. Keanekaragaman lamun menghasilkan nilai rendah dan tergolong kategori sedang. Indeks keseragaman dengan kategori sedang terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 0,49; sedangkan dengan kategori tinggai pada stasiun 2 dan 3 dengan nilai berturut-turut 0,68 dan 0,7. Indeks dominansi dari ke-3 stasiun menunjukan nilai yang rendah sehingga tidak adanya dominansi yang terjadi di setiap stasiun. Estimasi tutupan lamun dengan foto udara dengan areal studi 4,68 ha adalah sebesar 16.210 m², sehingga estimasi tutupan lamun di perairan Pantai Mrican, Taman Nasional Karimunjawa sebesar 35%.

Kata Kunci: Lamun, Drone, Indeks Vegetasi, Taman Nasional Karimunjawa

(6)

vi

SUMMARY

Gandang Herdananto Nugroho. 260 201 161 400 96. Community Structure and Seagrass Cover Estimates in Mrican Waters, Taman Nasional Karimunjawa, Jepara.

(Raden Ario and Rini Pramesti)

The seagrass ecosystem is one of the shallow marine ecosystems that has an important role in marine life. This ecosystem is one of the most productive marine ecosystems as a habitat, spawning grounds and feeding ground. This purpose of the studies are to obtain the condition of the seagrass community structure that is scattered in the waters of Kemujan Island, Karimunjawa by looking at and examining the species composition, density, cover, diversity index, uniformity index, dominance index, morisita index and knowing the size of the cover of the seagrass beds through aerial photographs processed by vegetation index analysis. This study uses an exlorative description method by determining the location point using purposive sampling method. The research location is divided into 3 points based on the area of the seagrass ecosystem and areas that are often used by tourism activities. The seagrass data collection method refers to the quadrant Line transect method and aerial photography using a drone with the Pix4d application.

There were 4 species of segrass found in the study site; Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, and Halodule uninervis. The distribution pattern of seagrass for each species is classified as clusters and only at station 3 the distribution pattern that occurs in the E. acoroides type of seagrass is evenly distributed. The highest value of seagrass cover was found at station 2 with a value of 21.3% and an average closure of 17.02%. The highest density was found at station 1 and the highest average species density was E. acoroides. The uniformity index with moderate category is found at station 1 with a value of 0.49; while with the high category at stations 2 and 3 with a value of 0.68 and 0.7, respectively. The dominance index of the 3 stations shows a low value so that there is no dominance that occurs at each station. Estimated seagrass cover with aerial photographs with the study area:

4.68 ha. The results obtained: 16,210 m², so that the estimated seagrass cover in the waters of Mrican Beach, Karimunjawa National Park is 35%.

Key Words: Seagrass, Drone, Vegetation Index, Taman Nasional Karimunjawa

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul " Struktur Komunitas dan Estimasi Tutupan Lamun di Perairan Mrican, Taman Nasional Karimunjawa, Jepara". Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ir. Raden Ario, M. Sc dan Dra. Rini Pramesti, M. Si selaku pembimbing dalam pelaksanaan dan penulisan skripsi

2. Ir. Gunawan Widi Santosa, M.Sc selaku dosen wali atas bimbingan selama perkuliahan

3. Bapak Fajar Nugroho dan Ibu Sri Wuryani Catur selaku orang tua yang sudah memberikan dukungan.

4. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu menyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk perbaikan demi kesempurnaannya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Kelautan.

Semarang,

Penulis

(8)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... iv

RINGKASAN ... v

SUMMARY ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 5

1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Ekosistem Lamun ... 6

2.2. Morfologi dan Klasifikasi Lamun ... 7

2.2.1 Enhalus acoirides ... 9

2.2.2. Thalassia Hempricii ... 10

2.2.3. Cymodocea rottundata ... 11

2.2.4. Halodule uninervis ... 12

2.4. Habitat dan Ekologi Lamun ... 13

2.4.1.Substrat ... 14

2.4.2.Arus Laut ... 15

(9)

ix

2.4.3. Kedalaman ... 15

2.5 Kualitas Air ... 16

2.6. Penginderaan Jauh ... 18

III. MATERI DAN METODE... 21

3.1. Materi ... 21

3.1.1.Materi Penelitian... 21

3.1.2.Alat dan Bahan Penelitian ... 22

3.2. Metode Penelitian ... 23

3.2.1.Penentuan Lokasi Penelitian ... 23

3.3. Teknik Pengambilan Data Lamun ... 24

3.4. Proses Pengambilan Foto Udara ... 25

3.4.1. Perencanaan Jalur Terbang (Flight Plan)... 25

3.4.2. Proses Pengambilan Foto Udara ... 28

3.5. Analisis Data ... 29

3.5.1 Analisis Data Lamun ... 29

3.5.2 Pengolahan Foto Udara ... 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

4.1. Hasil ... 37

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 37

4.1.2. Hasil Fotogrametri Plot Area Perairan Mrican ... 38

4.1.3. Hasil Luasan Area Lamun Berdasarkan Fotogrametri ... 40

4.1.4. Nilai Penutupan Lamun ... 42

4.1.5. Kerapatan Lamun ... 44

4.1.6. Indeks Ekologi Lamun ... 45

4.1.7. Indeks Vegetasi ... 47

4.1.8. Perhitungan Kualitas Perairan ... 48

4.2. Pembahasan ... 49

4.2.1. Komposisi Lamun ... 49

4.2.2. Indeks Vegetasi ... 53

4.2.3. Kualitas Perairan ... 54

(10)

x

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

5.1. Kesimpulan ... 57

5.2. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

L A M P I R A N ... 62

RIWAYAT HIDUP ... 88

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Alat penelitian ... 22

2. Bahan penelitian pendataan lamun... 23

3. Spesifikasi drone dan kamera yang digunakan dalam penelitian ... 27

4. Parameter perencanaan foto udara dalam pelaksanaan penerbangan ... 28

5. Skala Kondisi Kerapatan Lamun ... 30

6. Skala Kondisi Padang Lamun Berdasarkan Penutupan ... 31

7. Hasil parameter akuisisi foto udara ... 38

8. Indeks NDVI dengan keraptan vegetasi hasil analisis image classification di perairan Pantai Mrican, Karimunjawa ... 40

9. Nilai Penutupan Lamun per-Jenis Perairan Mrican, Pulau Kemujan ... 42

10. Indeks Ekologi Pantai Mrican ... 45

11. Indeks Morisita Padang Lamun di Perairan Pantai Mrican ... 46

12. Hasil Pengukuran Parameter Perairan ... 48

(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Morfologi lamun ... 8

2. Enhalus acoroides (Hernawan et al., 2017) ... 9

3. Thalassia hemprichii (Hernawan et al., 2017) ... 10

4. Cymodocea rotundata (Hernawan et al., 2017) ... 11

5. Halodule uninervis (Hernawan et al., 2017) ... 12

6. Peta lokasi penelitian di Pantai Merican, Pulau Kemujan, Karimunjawa... 24

7. Transek garis 50 m dan Transek Kuadran 50 x 50 cm ... 25

8. Grid rencana penerbangan drone untuk melakukan foto udara dengan aplikasi Pix4d ... 26

9. Drone yang digunakan dalam penelitian... 27

10. Diagram alir pengolahan foto udara ... 36

11. Peta hasil fotogrametri di lokasi penelitian ... 39

12. Peta estimasi seberan lamun di Peraian Mrican ... 41

13. Diagram Rerata Nilai Penutupan Lamun per-Jenis di Setiap Stasiun ... 43

14. Diagram Kerapatan Lamun Pantai Mrican ... 44

15. Indeks Ekologi Pantai Mrican ... 46

16. Grafik hubungan Rapat Tegakan dan Indeks Vegatasi ... 47

17. Parameter Perairan ... 48

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Alat dan Bahan Penelitian ... 63

2. Worksheet Stasiun 1 ... 64

3. Worksheet Satsiun 2 ... 68

4. Worksheet Stasiun 3 ... 75

5. Koordinat Titik Sampling ... 77

6. Perhitungan Indeks Ekologi ... 78

7. Perhitungan Uji Akurasi ... 80

8. Perhitungan Indeks Morisita ... 81

9. Alat Ground Checking di Lapangan ... 82

10. Kondisi Lingkungan dan Proses Pendataan di Lapangan ... 84

11. Surat Izin Memasuki Wilayah Taman Nasional Karimunjawa... 86

12. Hasil foto diambil dengan drone di lokasi peneltian ... 87

(14)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Karimunjawa merupakan wilayah kepulauan di Laut Jawa yang termasuk dalam Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Lokasi tersebut kini dikembangkan menjadi pesona wisata Taman Laut yang mulai banyak digemari wisatawan lokal maupun mancanegara. Kepulauan Karimunjawa saat ini merupakan taman nasional yang memiliki kawasan pelestarian alam, yang terdiri dari 22 pulau-pulau kecil dengan 4 pulau yang berpenghuni (P. Kemujan, P. Karimunjawa, P. Nyamuk dan P Parang) (BTNKJ, 2012). Luas Taman Nasional Karimujawa (TNKJ) 111.625 ha dengan tipe ekosistem terbagi atas lima tipe yaitu hutan hujan tropis dataran rendah (1.285,5 ha), hutan pantai, ekosistem mangrove (222,2 ha), wilayah perairan yaitu ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang seluas 110.117,3 ha (BTNKJ, 2004; KKJI-KKP, 2015).

Balai Taman Nasional (BTN) Karimunjawa telah menetapkan zonasi pada wilayah perairan dan pulau di wilayahnya. Direktur Jenderal Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam No: SK. 28/IV-SET/2012 tentang zonasi Taman Nasional Karimunjawa tanggal 06 Maret 2012 menetapkan dalam peraturannya Pulau Kemujan termasuk kedalam zona budidaya dan zona pemukiman.

Ekosistem Lamun (seagrass) merupakan salah satu ekosistem laut dangkal yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan jasad hidup di laut. Ekosistem ini merupakan salah satu ekosistem bahari yang paling produktif sebagai habitat, tempat pemijahan, dan feeding ground. Eksistensi lamun di laut merupakan hasil dari berbagai

(15)

macam adaptasi yang dilakukan, termasuk toleransi terhadap salinitas yang tinggi.

Lamun memiliki kemampuan untuk menancapkan akar di substrat sebagai jangkar dan kemampuan untuk tumbuh serta melakukan reproduksi pada saat terbenam. Jumlah jenis tumbuhan lamun mencapai 58 jenis di seluruh dunia dengan konsentrasi utama berada di wilayah Indo-Pasifik. 16 spesies dari 7 genus diantaranya dapat ditemukan di perairan Asia Tenggara. Jumlah keseluruhan spesies lamun di Asia Tenggara ditemukan di Filipina, sedangkan di Indonesia ditemukan jumlah jenis lamun yang relatif lebih rendah, yaitu sebanyak 15 spesies dari 7 genus (Rustam et al., 2019).

Ekosistem padang lamun umumnya merupakan pendukung utama wilayah pesisir di daerah tropis. Produksi primer yang tinggi dan struktur habitat yang kompleks pada ekosistem ini mendukung kehidupan biota-biota bentik maupun pelagis yang hidup di ekosistem ini ataupun di sekelilingnya (Hartati et al., 2014). Peranan dan fungsi ekosistem lamun dapat dijadikan bioindikator kondisi lingkungan perairan pesisir.

Kriteria ini dapat dilihat berdasarkan KMNLH No. 200 Tahun 2004.

Ekosistem padang lamun secara ekologis memiliki fungsi penting, tetapi menurut Peristiwady (2009), ekosistem ini belum mendapatkan prioritas utama dalam pengelolaan wilayah pesisir, berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang yang dalam pengelolaannya menjadi prioritas utama. Hubungan timbal balik ketiga ekosistem ini dapat dikatakan sebagai satu kesatuan ekosistem yang tidak dapat dipisahkan. Pengetahuan masyarakat yang sedikit akan fungsi dan manfaat ekosistem lamun, mengakibatkan kelestariannya terancam punah. Minimnya upaya masyarakat dalam menjaga kelestarian, ekosistem ini sering kali dianggap sebagai tumbuhan hama

(16)

sehingga diabaikan atau dimusnahkan. Penelitian tentang ekosistem lamun masih sangat sedikit, khususnya di Perairan Pulau Kemujan, padahal kelestarian ekosistem lamun sudah semakin terancam. Penelitian ini akan dikaji mengenai struktur komunitas lamun dan keterkaitannya dengan keanekaragaman organisme di dalamnya. Penelitian ini berupaya untuk menjelaskan bagaimana pentingnya ekosistem lamun ini bagi kelimpahan biota-biota yang hidup di dalamnya, baik ikan, invertebrata, makrobentos, epifauna dan plankton. Kesadaran masyarakat diharapkan semakin tinggi dalam melestarikan ekosistem lamun dengan mengetahui fungsi dan manfaatnya.

Pemanfaatan metode penginderaan jauh untuk analisis estimasi tutupan lamun selain menggunakan citra satelit dapat menggunakan teknologi alternatif berupa pesawat tanpa awak atau dikenal drone. Pengambilan gambar dengan drone dilakakukan pada ketinggian di bawah awan sehingga gambar yang didapat terhindar dari awan yang menutupi lokasi penelitian. Gambar yang diperoleh memiliki hasil yang lebih tajam jika dibandingkan dengan citra satelit yang dipengaruhi oleh atmosfer (Riniatsih et al., 2021). Drone dilengkapi dengan sensor dan kamera untuk melakukan pengambilan gambar secara mudah. Data yang diperoleh juga memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi, sehingga kesalahan dalam identifikasi objek atau pengukuran suatu objek di lapangan dapat dihindari (Duffy et al., 2017).

Penelitian mengenai struktur komuniitas dan ekosistem tutupan lamun menggunakan drone sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Riniatsih et al. tahun 2021, namun lokasi penelitian terdapat pada perairan Teluk Awur Jepara sedangkan pada Pantai Mrican, penelitian ini diduga belum pernah dilakukan. Pemanfaatan drone dalam penelitian estimasi tutupan lamun cukup menjanjikan di mana hasil data drone

(17)

sangat mudah untuk dibandingkan. Penelitian ini menjadi lebih efektif, lebih murah dan hasil data menjadi lebih detail dikarenakan pemanfaatan teknologi drone sebagai metode untuk mengetahui estimasi penutupan lamun di area Perairan Pantai Macan Taman Nasional Karimunjawa merupakan data yang bersifat real time.

1.2. Perumusan Masalah

Ekosistem lamun merupakan komponen penting sebagai penyusun ekosistem pesisir dan sebagai pelingung abrasi. Perhatian perlindungan terhadap ekosistem lamun masih sangat minim dan terbatas, maka dirasa perlu dilakukan penelitian struktur komunitas lamun yang bertujuan sebagai dasar dalam pengelolaan kawasan pariwisata dan penangkaran tersebut di masa datang. Struktur komunitas diketahui dengan pendataan langsung ke lapangan (Rustam et al., 2019). Pengamatan estimisasi tutupan lamun yang biasa dilakukan kurang memiliki keefektifitasan dalam waktu dan biaya, sehingga diperlukan metode yang dapat melakukan pengambilan data lamun yang lebih mudah dan efisien namun tidak menghilangkan hasil yang akan didapatkan. Teknologi penginderaan jauh menjadi alasan penting penelitian ini dilakukan. Foto udara merupakan citra foto yang diperoleh dari survei udara menggunakan pesawat baik berawak ataupun nir-awak yang mengudara diatas permukaan bumi pada ketinggian yang rendah. Kemampuan tersebut membuat resolusi foto yang dihasilkan sangat detail yaitu kurang dari 25 cm per piksel sehingga data yang dihasilkan lebih efisiean dan real time (Ramadhani et al., 2015). Foto udara dengan segala macam kelebihannya dianggap dapat digunakan sebagai data penginderaan jauh untuk pemetaan tutupan

(18)

padang lamun di Perairan Pantai Mrian, Pulau Kemujan, Taman Nasional Karimunjawa.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui komposisi jenis, pola sebaran, indeks ekologi (Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi), dan kerapatan lamun di perairan Pantai Mrican, Taman Nasional Karimunjawa

2. Mengetahui besaran tutupan padang lamun melalui hasil foto udara lamun di perairan Pantai Mrican, Taman Nasional Karimunjawa

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh informasi mengenai struktur komunitas lamun di perairan Pulau Kemujan, Karimunjawa, Jepara, sehingga bermanfaat dalam penelitian lebih lanjut. Data yang didapat, bisa menjadi sebagai bahan dasar atau acuan bagi dinas pemerintahan setempat khususnya Badan Taman Nasional Karimunjawa.

1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 Desember hingga 27 Desember 2020 di perairan Mrican, Pulau Kemujan, Karimunjawa secara langsung. Pengolahan data hasil lapangan dilaksanakan pada tanggal 3 Januari hingga 15 Januari 2021.

(19)

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Lamun

Ekosistem pesisir umumnya terdiri atas 3 komponen penyusun yaitu lamun, terumbu karang serta mangrove yang bersama-sama membuat wilayah pesisir menjadi daerah yang relatif sangat subur dan produktif. Ekosistem padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan serta mampu hidup secara permanen di bawah permukaan air laut. Lamun senantiasa membentuk hamparan permadani di laut yang dapat terdiri dari satu spesies (monospecies; banyak terdapat di daerah temperate) atau lebih dari satu spesies (multispecies; banyak terdapat di daerah tropis) yang selanjutnya disebut padang lamun (Rajab et al., 2015).

Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi (Magnoliophyta) yang dapat menyesuaikan diri hidup terbenam di laut dangkal. Lamun memiliki bunga dan buah sehingga antara lamun dan rumput laut bisa dibedakan dengan mudah. Lamun tumbuh membentuk padang yang terdiri dari satu jenis sampai beberapa jenis yang disebut padang lamun. Padang lamun merupakan suatu ekosistem di kawasan pesisir yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang cukup tinggi dan sebagai penyumbang nutrisi yang sangat berpotensial bagi perairan disekitarnya karena memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Ekosistem padang lamun memberikan habitat bagi biota laut.

Disebut padang lamun karena ekosistem padang lamun tersebut berasosiasi dengan

(20)

berbagai jenis biota laut yang bernilai sangat penting dengan tingkat keragamannya yang tinggi (Kamaruddin et al., 2016).

Lamun akan membentuk padang yang luas di dasar perairan yang dangkal baik monospesies maupun multispesies dengan sirkulasi air yang baik untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkat hasil metabolism lamun ke luar padang lamun. Ekosistem pesisir yang ditumbuhi oleh lamun sebagai vegetasi yang dominan disebut padang lamun. Padang lamun dapat berbentuk vegetasi tunggal yang disusun oleh satu jenis lamun saja atau vegetasi campuran yang disusun mulai dari 2 sampai 12 jenis lamun yang tumbuh bersama dalam suatu substrat (Wirawan, 2014).

2.2. Morfologi dan Klasifikasi Lamun

Lamun merupakan tumbuhan berbunga (angiospermae) yang telah beradaptasi untuk hidup dalam keadaan terbenam di lingkungan laut dan estuaria. Tumbuhan ini terdiri atas daun dan seludang, batang menjalar yang biasanya disebut rimpang (rhizome), serta akar yang tumbuh pada bagian rimpang (Rochmady, 2019). Rhizoma yang dimiliki oleh spesies lamun berukuran kecil, umumnya lebih fleksibel sedangkan spesies lamun yang berukuran besar memiliki tekstur rhizoma hampir berkayu. Lamun memiliki rhizoma yang sudah berkembang dengan baik dan bentuk daun yang memanjang (linear) atau berbentuk sangat panjang seperti ikat pinggang (belt), kecuali jenis Halophila memiliki bentuk lonjong. Lamun terdiri dari organ dan jaringan yang sama dengan tumbuhan berbunga pada umumnya seperti yang dijumpai di daratan.

Tumbuhan berbunga yang telah dewasa, memiliki morfologi tersendiri untuk bagian

(21)

atas tanah (aboveground) dan bagian di bawah tanah (belowground). Bagian bawah substrat, umumnya tersusun atas akar untuk penjangkaran dan rhizoma sebagai penguat/ penyangga (Haviarini et al., 2019).

Gambar 1. Morfologi lamun (Sumber: McKenzie dan Yoshida, 2009).

Tumbuhan lamun terdiri dari akar, rhizoma, dan daun (Gambar 1). Rhizoma merupakan batang yang terpendam dan merayap secara mendatar dan berbuku-buku.

Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga. Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Rhizoma, bersama sama dengan akar, menancapkan tumbuhan ke dalam substrat. Rhizoma seringkali terbenam di dalam substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran yang utama pada reproduksi secara vegetatif dan reproduksi yang dilakukan secara vegetatif merupakan hal yang lebih penting dari pada reproduksi dengan pembibitan karena lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Rhizoma merupakan 60–80% biomas lamun (McKenzie dan Yoshida, 2009).

(22)

2.2.1 Enhalus acoirides

Enhalus acoroides berukuran terbesar dari lamun lainnya dan terdapat rambut pada rhizome. Tanaman lurus, 2 sampai 5 daun muncul dari rimpang yang tebal dan kasar dengan beberapa akar-akar kuat. Daun seperti pita atau pita rambut (panjang 40 sampai 90 cm, lebar 1 sampai 5 cm). Rimpang merambat, kasar, tidakbercabang atau bercabang (diameter 1 sampai 3 cm), dikelilingi oleh kulit luar yang tebal. Akar panjang dan berbulu (panjang 5 sampai 15 cm, diameter 2 sampai 4 mm) (Syukur, 2015).

Gambar 2. Enhalus acoroides (Hernawan et al., 2017) Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledonae

Ordo : Helobiae

Famili : Hydrocharitaceae Genus : Enhalus

Species : Enhalus acoroides

(23)

2.2.2. Thalassia Hempricii

Helai daun membujur sampai sedikit lebar (pita) dengan beberapa garis coklat, ujung daun membulat (panjang 5 sampai 20 cm, lebar 4 sampai 10 mm) bergaris pinggir seluruhnya, ujung daun tumpul. Seludang daun keras, panjang 3 sampai 7 cm.

Rimpang menjalar, diameter 3 sampai 5 mm, panjang antar ruas 4 sampai 7 mm.

Tumbuh di substrat pasir-lumpuran sampai pecahan karang dari daerah atas pasang tinggi sampai ke surut rendah, kadang-kadang muncul di atas permukaan air selama surut rendah (Syukur, 2015).

Gambar 3. Thalassia hemprichii (Hernawan et al., 2017) Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledonae

Ordo : Helobiae

Famili : Hydrocharitaceae Genus : Thalassia

Species : Thalassia hemprichii

(24)

2.2.3. Cymodocea rottundata

Tanaman ramping, mirip dengan Cymodocea serrulata, daun seperti garis lurus (panjang 6 sampai 15 cm, lebar 2 sampai 4 mm), bentuk daun lurus sampai agak bulat, tidak menyempit sampai ujung daun. Ujung daun bulat dan seludang daun keras.

Rimpang ramping (diameter 1 sampai 2 mm, panjang antarruas 1 sampai 4 cm). Lamun jenis C. rotundata dengan ciri khusus daun tidak tidak bergerigi tumbuh di pasir- lumpuran atau pasir dengan pecahan karang di daerah pasang surut, kadang-kadang bercampur dengan jenis lamun lain (Syukur, 2015).

Gambar 4. Cymodocea rotundata (Hernawan et al., 2017) Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledonae

Ordo : Helobiae

Famili : Potamogetonaceae Genus : Cymodocea

Species : Cymodocea rotundata

(25)

2.2.4. Halodule uninervis

Tanaman lurus, mirip dengan Halodule pinifolia. Daun kadang-kadang melengkung pada ujungnya dan sempit pada bagian pangkal (panjang 5 sampai 15 cm, lebar 1 sampai 4 mm), dan mempunyai sel-sel tanin yang kecil. Urat atau tulang daun bagian tengah jelas. Ujung daun dengan dua gigi bagian samping dan satu gigi di tengah yang berakhir pada tulang daun. Rimpang menjalar (diameter 1 sampai 2 mm).

Tumbuh di substrat pasir atau pasir dengan koral dari daerah pasang tinggi sampai pasang rendah, kadang-kadang bercampur dengan jenis lamun lain. Ha. uninervis dengan ciri khusus ujung daun seperti trisula (Syukur, 2015).

Gambar 5. Halodule uninervis (Hernawan et al., 2017) Divisi : Anthophyta

Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledonae

Ordo : Helobiae

Genus : Halodule

Species : Halodule uninervis

(26)

2.4. Habitat dan Ekologi Lamun

Lamun merupakan kelompok tumbuhan angiospermae yang memiliki kemampuan beradaptasi terhadap salinitas yang tinggi, menempati perairan laut dengan suhu sekitar 38-42oC dan berada di daerah intertidal sampai kedalaman 70m.

Lamun berperan sebagai penghubung ekosistem mangrove dengan ekosistem terumbu karang. Lamun adalah produsen primer dalam ekosistem padang lamun, sehingga merupakan komponen yang penting di wilayah perairan laut karena menghasilkan oksigen dan materi organik dari hasil fotosintesis. Padang lamun digunakan oleh biota laut sebagai tempat mencari makan (feeding ground), pemijahan (spawning ground), dan asuhan (nursery ground). Padang lamun juga berfungsi sebagai penyaring nutrient yang berasal dari sungai atau laut, pemecah gelombang dan arus, serta meningkatkan kualitas air laut dengan membantu pengendapan substrat dan menstabilkan sedimen (Purnomo et al., 2017).

Lamun hidup dan terdapat pada daerah mid-intertidal sampai kedalaman 0,5- 10 m, dan sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesies lebih banyak terdapat di daerah tropik dari pada di daerah ugahari. Habitat lamun dapat dilihat sebagai suatu komunitas, dalam hal ini suatu padang lamun merupakan kerangka struktur dengan tumbuhan dan hewan yang saling berhubungan. Habitat lamun dapat juga dilihat sabagai suatu ekosistem, dalam hal ini hubungan hewan dan tumbuhan tadi dilihat sebagai suatu proses yang dikendalikan oleh pengaruh-pengaruh interaktif dari faktor- faktor biologis, fisika, kimiawi. Ekosistem padang lamun pada daerah tropik dapat menempati berbagai habitat, dalam hal ini status nutrien yang diperlukan sangat

(27)

berpengaruh. Lamun dapat hidup mulai dari rendah nutrien dan melimpah pada habitat yang tinggi nutrien (Rajab et al., 2015).

Ekosistem lamun merupakan ekosistem yang dinamis sehingga apabila terjadi ganguan tersebut akan menurunkan keseimbangan ekologisnya. Gangguan tersebut dapat berupa ganguan fisik, seperti badai dan pasang rendah yang membuka dan mengeringkan ekosistem lamun sehingga dapat berubah struktur komunitas dan luasan wilayah ekosistem lamun. Ganguan biologi yang ditimbulkan aktivitas hewan pengali lubang (udang, kepeting, dan beberapa jenis ikan) serta aktivitas hewan pemakan lamun (bintang laut, bulu babi, dan duyung). Gangguan lain dalam, kerusakan ekosistem lamun juga disebabkan oleh kegiatan manusia terutama pulau-pulau yang dijadikan wisata, pemukiman dan kegiatan penambangan pasir laut. Kondisi substrat dasar, kecerahan perairan, dan adanya pencemaran sangat berperan dalam menentukan komposisi jenis, kerapatan jenis dan biomasa lamun (Minerva et al., 2014).

2.4.1. Substrat

Menurut Dahuri et.al. (2013), tumbuhan lamun mampu hidup pada berbagai macam tipe substrat mulai dari lumpur hingga karang. Kebutuhan substrat yang paling utama adalah kedalaman substrat yang cukup. Peranan kedalaman pada substrat dalam stabilitas sedimen, yaitu sebagai pelindung tanaman dari arus laut dan sebagai tempat pengolahan serta pemasok nutrien. Hampir semua tipe substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang.

(28)

2.4.2. Arus Laut

Arus laut merupakan pergerakan massa air yang mengalir yang disebabkan oleh perbedaan densitas air laut, angin, serta pergerakan periodik jangka panjang. Penyebab dari periodik jangka panjang adalah pasang surut (Nontji, 2009). Pasang surut mempengaruhi daya cahaya matahari yang menembus kedasar perairan serta berpengaruh terhadap kecepatan arus air laut (Syukur, 2015).

Peranan arus dalam pertumbuhan lamun dan biomassa yaitu membantu dalam distribusi nutrien, suhu, dan salinitas di perairan. Arus juga dapat merubah bentuk permukaan substrat secara perlahan yang membawa substrat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Perpindahan substrat akan menjadi masalah bagi jenis lamun yang berukuran kecil karena dapat menyebabkan lamun terkena sedimentasi dan tidak dapat melakukan fotosintesis (Dahuri et al., 2013).

2.4.3. Kedalaman

Kedalaman berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun dilihat dari kebutuhan lamun untuk mendapatkan intensitas cahaya yang cukup dalam proses fotosintesis.

Kedalaman yang sesuai untuk pertumbuhan lamun tergantung pada intensitas cahaya yang masuk. Kedalaman perairan yang menjadi tempat tumbuhnya lamun adalah daerah pasang surut hingga mencapai kedalaman 90 meter (Ariyati et al., 2007).

(29)

2.5 Kualitas Air 1. Suhu

Daerah tropis, lamun dapat tumbuh pada suhu 28-30 °C. Perubahan suhu dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun.

pengaruh suhu bagi lamun di perairan sangat besar, suhu mempengaruhi proses-proses fisiologis, yaitu proses fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi. Proses- proses fisiologis tersebut akan menurun tajam apabila temperatur perairan berada di luar kisaran optimal (Frediksen et al. 2010). Barber (1985) dalam peneletian sebelumnya mengatakan bahwa suhu yang tinggi dapat meningkatkan daya produksi lamun. Karena pada suhu kisaran 10-35 °C mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tumbuh kembang dan daya produksi lamun.

2. Salinitas

Lamun tumbuh pada daerah air asin atau yang memiliki salinitas tinggi, pada daerah subtidal lamun mampu menyesuaikan diri pada salinitas sekitar 35‰, dan juga mampu bertahan pada daerah estuari atau perairan payau. Lamun secara umum bersifat uerihalin atau memiliki kisaran salinitas yang lebar yaitu berkisar 10-45 ‰. Lamun yang berada pada kondisi hiposalin (<10 ‰) atau hipersalin (>45 ‰), akan mengalami stress dan mati (Zulkifli, 2003).

3. Kecerahan

Proses fotosintesis merupakan hal terpenting dalam pertumbuhan lamun sebagai produsen primer dalam kehidupan laut. Lamun membutuhkan sinar matahari untuk berfotosintesis. Kecerahan perairan mempengaruhi intensitas cahaya yang

(30)

masuk ke kolom perairan. Perairan dengan kecerahan tinggi maka intensitas cahaya yang masuk ke kolom air akan semakin dalam dan jika tingkat kecerahan perairan rendah, intensitas cahaya yang masuk akan dangkal. Faktor yang mempengaruhi kecerahan yaitu kekeruhan atau material tersuspensi, perairan dengan substrat lumpur akan memiliki tingkat kecerahan rendah dan tingkat kekeruhan tinggi. Perairan dengan substrat pasir atau batu, sebaliknya akan memiliki tingkat kecerahan yang lebih tinggi dan kekeruhan yang rendah. Cahaya menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan lamun pada perairan pantai yang keruh. Penetrasi cahaya yang kurang dapat menimbulkan gangguan terhadap produksi primer lamun (Dahuri et al., 2013).

4. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut atau dissolved oxigen (DO) merupakan salah satu parameter perairan yang sangat penting bagi pertumbuhan lamun. Oksigen terlarut digunakan untuk respirasi akar dan rhizome lamun, respirasi biota air dan proses nitrifikasi dalam siklus nitrogen di padang lamun. Oksigen terlarut di perairan berasal dari hasil fotosintesis lamun serta difusi dari udara (Haviarini et al., 2019). Feryatun et al., (2012) menyebutkan bahaw variabel oksigen terlarut yang berfungsi sebagai salah satu parameter kualitas perairan memiliki baku mutu yang sudah diatur untuk disamaratakan diseluruh perairan. Baku mutu oksigen terlarut suatu perairan adalah >

4 mg/l. Nilai kandungan oksigen terlarut (DO) yang termasuk dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan lamun adalah > 5 mg/l.

(31)

5. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman merupakan salah satu parameter kualitas perairan dimana nilainya dapat mewakili intensitas keasaman atau kebebasan dari suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Variabel tersebut digunakan untuk mengetahui keasaman suatu perairan (Effendi, 2003). Hutomo (1999), menjelaskan bahwa suatu perairan dapat dikategorikan dengan nilai derajat keasaman yaitu pH 5,5 - 6,5 adalah perairan yang tidak produktif, pH 6,5 - 7,5 adalah perairan yang produktif, pH 7,5 – 8,5 adalah perairan yang memiliki produktifitas yang sangat tinggi. pH diatas 8,5 termasuk perairan yang sudah tidak produktif lagi, sedangkan menurut Nybakken (1992), nilai pH yang optimal untuk perairan yaitu terdapat di kisaran 7,5 – 8,5.

Odum (2007), mendefinisikan derajat keasaman (pH) adalah salah satu parameter kualitas perairan yang sangat penting dan mempunyai pengaruh langsung dalam pengaturan system enzim pada organisme perairan. Philip dan Menez (1988), menyebutkan nilai derajat keasaman yang optimal bagi tumbuh kembangnya vegetasi lamun adalah pada saat pH air normal dengan nilai 7,8 – 8,5 dikarenakan pada saat kondisi tersebut ion karbonat yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis oleh lamun ada pada kondisi melimpah.

2.6. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan ilmu atau seni untuk mendapatkan data atau informasi suatu objek atau fenomena dengan bantuan suatu alat tanpa melakukan kontak langsung dengan objek tersebut. Sistem tenaga dalam penginderaan jauh ada

(32)

dua, yaitu sistem sensor aktif dan sistem sensor pasif. Sistem sensor aktif menggunakan sumber tenaga yang berintegasi terhadap wahana tersebut. Pancaran energi ditujukan pada objek dan radar yang akan memantulkan kembali objek tersebut ke arah sensor, sehingga dapat ditentukan jaraknya dan ditafsir objek yang dipantulkan. Pada sistem sensor pasif sumber tenaga utama yang dibutuhkan satelit tidak terintegrsi dalam wahana dapat berupa sumber matahari. Matahari mempunyai energi dan merambat melalui atmosfer dalam bentuk radiasi gelombang elektromagnetik. Sebagian gelombang elektromagnetik tersebut akan dipantulkan diserap dan diteruskan.

Kecepatan sensor tergantung karakteristik spektral terhadap objek (Syah, 2010).

2.7. UAV (Unmanned Aerial Vehicle)

Unmanned Aerial Vehicle (UAV) atau drone merupakan salah satu alternative teknologi baru untuk pemetaan khususnya pemotretan udara. Peneliti dan praktisi luar negeri maupun dalam negeri semakin banyak yang menggunakan dan mengembangkan UAV untuk berbagai aplikasi pemetaan. UAV menjadi salah satu alternatif teknologi penginderaan jauh yang murah sebagai sumber data spasial (Rokhmana, 2012).

Fotogrametri UAV dapat dijabarkan sebagai platform pengukuran fotogrametri yang dikendalikan dari jarak jauh, secara semiotomatis atau otomatis, tanpa ada pilot duduk di dalam wahana udara tersebut (Eisenbei, 2009). Platform ini dilengkapi dengan sistem pengukuran fotogrametri yang biasanya berupa kamera digital ukuran kecil ataupun sedang, kamera termal atau inframerah, sistem LiDAR atau kombinasi dari sistem tersebut (Pamungkasari et al., 2019).

(33)

Akurasi geometrik dari foto udara hasil akuisisi dengan teknologi UAV sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor seperti jenis wahana, jenis sensor, ketinggian terbang, waktu akuisisi, kondisi cuaca, perangkat lunak pemrosesan, dan kemampuan sumberdaya manusia atau operator. Pembuktian akurasi tersebut akan mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap peta yang dihasilkan. Peta dengan tingkat akurasi atau ketelitian tinggi dapat menambah kekuatan dari informasi untuk pengambilan keputusan bagi pemangku kebijakan (Meiarti et al., 2019).

2.7.1. Orthomosaic

Orthomosaicking merupakan proses menggabungkan foto-foto berdasarkan referensi koordinat dan nilai kedalaman piksel (Salim et al., 2018). Ortofoto adalah sebuah foto yang telah diperbaiki secara geometrik agar dapat sesuai pada setiap titik di peta, ditambah dengan penyajian grafis yang nyata. Penambahan ini dapat berasal dari informasi eksternal atau dari interpretasi foto tersebut. Ortofotografi digital saat ini menjadi produk yang mampu menggantikan kartografi klasik secara sempurna (Kasser dan Polidori, 2002).

(34)

21

III. MATERI DAN METODE

3.1. Materi

3.1.1. Materi Penelitian

Materi dalam penelitian ini berupa lamun, yang kemudian menghasilkan 2 jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data pokok yang didapatkan dari pengambilan secara langsung dilapangan yang berupa jenis-jenis lamun dan jenis biota yang berasosisasi serta foto udara padang lamun di perairan Pantai Mrican, Taman Nasional Karimunjawa, Jepara. Data sekunder sebagai data pendukung yang meliputi parameter lingkungan seperti kecerahan, kedalaman dan kecepatan arus.

(35)

3.1.2. Alat dan Bahan Penelitian

Daftar alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Berikut:

Tabel 1. Alat penelitian

No Alat Kegunaan Ketelitian

1. GPS Garmin Penentuan titik pengamatan -

2. Secchi disk Pengukur kecerahan 1

Centimeter (cm)

3. Penggaris 50 cm Pengukur kedalaman 1 Milimeter

(mm) 4. Buku Identifikasi Lamun Panduan untuk mengidentifikasi

jenis lamun

- 5. Transek Kuadran

50 x 50 cm

Pengukur sebaran lamun -

6. Alat tulis Pencatat hasil pengamatan -

7. Tabel data Pencatat data hasil di lapangan -

8. Kamera Canon Finepix Dokumentasi -

9. PC (Personal Computer) Lenovo V14

Alat bantu pengolahan data -

10. Roll meter Mengukur jarak antar titik 1 Milimeter (mm)

11 Kertas underwater Pencatat hasil data di lapangan

12. Pelampung Penunjang keselamatan saat

mengambil data

- 13. Skin dive Amscud Penunjang pengambilan data lamun

di lapangan

- 14. Drone DJI Phantom 4 Wahana pemotretan udara - 15. Water Quality Checker

YSI 556

Alat pengukuran kualitas air (Suhu, DO)

16. Refraktometer Alat pengukuran salinitas 0,1 Ppm

17. pH meter ATC Alat pengkuran pH 0,2

(36)

Daftar bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Berikut:

Tabel 2. Bahan penelitian pendataan lamun

3.2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskripsi eksloratif. Metode deskripsi eksploratif merupakan penelitian yang bersifat observasi terhadap suatu objek di lingkungan alaminya, tanpa ada perlakuan khusus terhadap objek yang di teliti.

Aryawati et al. (2018), menjelaskan bahwa metode deskriptif eksploratif merupakan penelitian dengan menyajikan data secara sistematik berdasarkan fakta yang ada di lapangan. Metode ini bertujuan untuk melihat keadaan suatu fenomena dan menggambarkanya dengan tidak menguji hipotesa.

3.2.1. Penentuan Lokasi Penelitian

Stasiun penelitian ditentukan dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu metode penentuan lokasi penelitian dengan mempertimbanagan karakteristik daerah ekosistem lamun dan daerah yang sering dimanfaatkan kegiatan wisata (Riniatsih, 2015). Lokasi penelitian dibagi menjadi 3 stasiun. Stasiun 1 berada didepan ekosistem mangrove, stasiun 2 berada di sekitaran dermaga yang banyak kapal

No Bahan Kegunaan

1. Perangkat Lunak ArcGIS 10.3 Pengolahan peta lokasi dan potensi karbon 2. Pix 4D Capture Pembuatan misi penerbangan drone 3 PCI Geomatika Pengolahan data DSM

4. Agisoft Pengolahan mozaik foto udara

5. Koordinat Lokasi Acuan lokasi dalam peta

6. Foto udara Data yang diolah

7. GeoEye ESRI Imager Peta Dasar

8. Microsoft Excel 2019 Pengolahan data hasil perhitungan 9. Microsoft Word 2019 Penyusunan laporan penelitian

10. DJI Go Aplikasi kalibrasi drone

(37)

bersandar dan stasiun 3 berada dekat pantai. Stasiun yang sudah ditentukan diharapkan dapat mewakili keseluruhan bagian dari perairan Pantai Mrican, Taman Nasional Karimunjawa.

Gambar 6. Peta lokasi penelitian di Pantai Merican, Pulau Kemujan, Karimunjawa 3.3. Teknik Pengambilan Data Lamun

Pengamatan dan pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan metode transek garis kuadran (line transect quadran) dengan seagrass watch. Ekosistem lamun diperoleh dengan membentangkan garis transek secara tegak lurus dari garis pantai ke arah laut sejauh 50 m, titik 0 (nol) dimulai dari ditemukannya lamun.

Tegakan lamun didata dengan menggunakan transek kuadran 50 x 50 cm. Pada satu stasiun terdapat 3 garis transek dengan setiap transek berjarak 25 m. Lamun yang

(38)

terdapat didalam transek kuadran tersebut dicatat jenis, kerapatan, presentase tutupan, substrat dan biota yang berasosiasi (Dewi dan Prabowo 2017).

Gambar 7. Transek garis 50 m dan Transek Kuadran 50 x 50 cm 3.4. Proses Pengambilan Foto Udara

3.4.1. Perencanaan Jalur Terbang (Flight Plan)

Perencanaan jalur terbang penting untuk kualitas foto udara yang dihasilkan, perencanaan meliputi pengenalan karakteristik wilayah yang dipotret, tujuan pemotretan, pemilihan wahana, penggambaran jalur terbang, estimasi waktu, dan biaya (Riniatsih, 2021). Karakteristik wilayah perlu diketahui agar saat pengambilan foto tidak ada hambatan dan terencana dengan baik. Karakteristik wilayah yang dimaksud seperti bentuk dan luas wilayah, iklim/cuaca, kecepatan dan arah hadap angin, kondisi topografi. Tujuan pemotretan udara dilakukan ataupun spesifikasi output yang diinginkan menjadi kunci awal dalam menentukan parameter pemotretan selanjutnya (Maulana dan Theresia, 2015).

50 cm

50 cm

(39)

Perencanaan yang telah dibuat kemudian diaplikasikan melalui software Pix4D Capture yaitu sebuah aplikasi berbasis Android digunakan untuk mengestimasi jumlah dan lamanya terbang berdasarkan parameter ketentuan terbang. Parameter tersebut meliputi penentuan arah jalur terbang sesuai bentuk dan luas wilayah, resolusi spasial, ketinggian terbang, perhitungan jumlah foto, rencana lokasi take-off dan landing, penentuan sidelap endlap (Meiarti et al., 2019).

Gambar 8. Grid rencana penerbangan drone untuk melakukan foto udara dengan aplikasi Pix4d

Teknologi UAV yang digunakan dalam penelitian menggunakan wahana drone yang ditunjukkan oleh Gambar 2, sedangkan spesifikasinya ditunjukkan pada Tabel 3.

UAV yang digunakan dalam penelitian ini adalah DJI Phantom generasi ketiga yang telah dilengkapi dengan spesifikasi mumpuni dibandingkan tipe-tipe sebelumnya (Wulan et al., 2017).

(40)

Gambar 9. Drone yang digunakan dalam penelitian Sumber: Foto pribadi

Tabel 3. Spesifikasi drone dan kamera yang digunakan dalam penelitian

Spesifikasi UAV Spesifikasi Kamera

Tipe Berat

Kecepatan Durasi Terbang Energi/Voltage Jarak Transmisi Remote Control

Quadcopter 1.380 gram (Termasuk baling-baling dan baterai) 20m/s 28 menit

81.3 Wh/15.2 V 3.5 km

Sensor Lensa Resolusi Resolusi Foto Format Foto

ISO

CMOS ½.3”

FOV 94 20mm 12.4 MP 4000x3000 MP

JPEG, DNG

(Raw)

100-1600 (Foto) 100-3200 (Video)

Sumber: Data pribadi

Akuisisi data foto udara menggunakan wahana DJI Phantom 3 dan kamera dengan resolusi 12.4 MP dilakukan untuk mendapatkan data foto objek area padang lamun perairan Mrican Pulau Kemujan, Karimunjawa. Pelaksanaan foto udara dilakukan sebanyak 6 misi terbang untuk mencakup area objek, grid rencana penerbangan dapat dilihat pada Gambar 5. Parameter perencanaan foto udara ditampilkan dalam Tabel 4.

(41)

Tabel 4. Parameter perencanaan foto udara dalam pelaksanaan penerbangan

No Parameter Foto Udara Nilai-Nilai

1 Orientasi angle kamera 90o

2 Front dan side overlap 80%

3 Drone speed Fast

4 Ketinggian terbang 50 m

5 Resolusi foto udara 3,13 cm/pixel

6 Total area cover 31,04 ha

7 Total Ground Control Point 10 GCP

8 Total mission 2 missions

9 Total waktu terbang 48 menit 30 detik

3.4.2. Proses Pengambilan Foto Udara

Pemotretan udara akuisisi data foto udara menggunakan wahana DJI Phantom 4 dan kamera dengan resolusi sebersar 12 MP yang dilakukan untuk mendapatkan data foto objek kawasan padang lamun Pulau Kemujan, Karimun Jawa. Luasan wilayah mencakup 1.8 km, ketinggian terbang 150m, kecepatan terbang 7.7m/detik, resolusi 2.61 cm/pix, dan waktu terbang 30 menit. Orientasi angle camera menggunakan posisi 90°, front overlap 75%, dan side overlap 70%, semakin rendah ketinggian penerbangan maka front overlap dan side overlap harus semakin tinggi begitupun sebaliknya. Nilai front overlap dan side overlap minimun adalah 60% untuk mendapatkan hasil foto yang maksimal. Kemampuan terbang setiap baterai yaitu 15 menit, maka berdasarkan perencanaan terbang diperlukan sebanyak 2 (dua) kali terbang.

(42)

3.5. Analisis Data

Jenis data yang akan dihasilkan dalam penelitian ini meliputi data struktur komunitas lamun (kerapatan, penutupan, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, indeks dominasi dan indeks nilai penting lamun), serta data persentase komposisi sedimen. Data ini kemudian di deskripsikan untuk mengetahui kondisi lamun di area penelitian. Data yang sudah didapatkan kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut:

3.5.1 Analisis Data Lamun

A. Kerapatan jenis (Ki) dan kerapatan relatif (KRi)

Kerapatan Jenis (Di), yaitu jumlah total individu jenis dalam suatu unit area yang diukur. Kerapatan jenis lamun dihitung dengan mengacu pada Fachrul (2007), sebagai berikut :

𝐷𝑖 =𝑁𝑖 𝐴

Keterangan :

Di = Kerapatan jenis ke-i

Ni = Jumlah total individu dari jenis ke-i A = Luas area total pengambilan sampel (m2)

Kerapatan Relatif (KDi), yaitu perbandingan antara jumlah individu jenis dan jumlah total individu semua jenis Fachrul 2007), sebagai berikut:

𝑁𝑖 𝐾𝐷𝑖 =

∑ 𝑁𝑖 Keterangan :

KDi = Kerapatan relatif ke-I (%) Ni = Jumlah individu spesies ke-i

(43)

∑ 𝑁𝑖 = Jumlah individu seluruh spesies

Menurut Braun-Blanquet (1965) dalam Gosari dan Haris (2012), berdasarkan kerapatan jenis lamun terdapat skala kondisi yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Skala Kondisi Kerapatan Lamun

Skala Kondisi (ind/ m2) Kerapatan (%)

5 >175 Sangat Rapat

4 125 – 175 Rapat

3 75 – 125 Agak Rapat

2 25-75 Jarang

1 <25 Sangat Jarang

B. Penutupan jenis (Ci) dan penutupan relatif (RCi)

Penutupan jenis merupakan perbandingan antara luas area yang ditutupi oleh jenis lamun ke-I dengan jumlah total area yang ditutupi lamun. Penutupan jenis lmun dapat dihitung dengan persamaan (Tuwo, 2011):

PJ = ɑi

A

Keterangan:

PJ = Penutupan lamun jenis ke-I (%/m2) ɑi = Luas total penutupan jenis ke-I (%)

A = Jumlah total area yang ditutupi lamun (m2)

Penutupan Relatif (RCi), yaitu perbandingan antara penutupan individu jenis ke-i dan total penutupan seluruh jenis. Penutupan relatif lamun dapat dihitung dengan rumus:

𝑅𝐶𝑖 = Penutupan jenis ke − i Penutupan seluruh jenis

(44)

Data hasil perhitungan penutupan lamun diketahui untuk menentukan status padang lamun menurut Kepmen LH No. 200 tahun 2004, dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Skala Kondisi Padang Lamun Berdasarkan Penutupan

Status Kondisi Penutupan (%)

Baik Kaya/Sehat ≥ 60

Rusak Kurang Kaya/ Kurang Sehat 30 – 59,9

Rusak Miskin < 29,9

C. Indeks Ekologi

Keanekaragaman jenis menyatakan banyaknya jenis (number of spesies) dan banyaknya pembagian atau penyebaran individu dalam tiap jenisnya. Mengetahui keanekaragaman jenis di dalam komunitas, maka salah satu cara yang paling umum untuk penelitian ekologis kelautan adalah dengan indeks kekayaan jenis/keragaman (richness) Shannon-Wiener (Krebs, 1989)

𝐻= − ∑ Pi log 𝑃𝑖

𝑠

𝑛=1

Keterangan:

H’ = Indeks keanekaragaman

Pi = Proporsi jumlah individu jenis ke-I dari jumlah total individu (Ni/N) S = Jumlah jenis

Klasifikasi indeks keanekaragaman Shannon-Wienner adalah sebagai berikut:

H’ < = Indeks keanekaragaman rendah 1≤ H’ ≤ 3 = Indeks keanekaragaman sedang H’ > 3 = Indeks keanekaragaman tinggi

(45)

Keseragaman jenis yaitu komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam komunitas (Krebs, 1989). Keseragaman jenis didapat dengan membandingkan indeks keanekaragaman dengan nilai maksimumnya, yaitu:

𝐸 = 𝐻′

H′𝑚𝑎𝑥 = 𝐸 = 𝐻′

LnS Keterangan:

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener H’max = LnS (Indeks keanekaragaman maksimum) S = Jumlah jenis

Menurut Krebs (1989), indeks keseragaman berkisar antara 0-1, dimana:

0,6 – 1 = Keseragaman spesies tinggi 0,4 < e < 0,6 = Keseragaman spesies sedang

3 – 0,4 = Keseragaman spesies rendah

D. Indeks dominansi (C)

Indeks dominansi jenis digunakan untuk memperoleh informasi mengenai jenis organisme yang mendominasi suatu komunitas pada tiap habitat. Sebab dalam suatu komunitas tidak semua jenis organisme mempunyai peran yang sama pentingnya dalam menentukan alam dan gawai pada komunitas tersebut. Hanya ada sedikit jenis saja yang merupakan pengendali utama (Krebs, 1989). Dominansi jenis menggunakan rumus:

𝐶 = − ∑𝑠𝑛=1(n/𝑁𝑖)2 =𝑠𝑛=1𝑃𝑖2 Keterangan:

ni = Jumlah individu jenis ke-i

(46)

N = Total nilai kepentingan

Nilai indeks dominansi Simpson berkisar antara 0 - 1 , dengan kriteria sebagai berikut:

C = 0, berarti didalam komunitas tidak ada jenis yang dominan atau komunitas berada dalam keadaan stabil.

C = 1, berarti didalam komunitas ada dominasi dari jenis tertentu atau komunitas berada dalam keadaan tidak stabil.

E. Distribusi Spasial Lamun

Untuk mengukur pola sebaran lamun menggunakan rumus Indeks Morisita menurut Brower dan Zar (1989) dalam adalah sebagai berikut:

𝑖𝑑 = 𝑛 (∑𝑛2− 𝑁) N (N − 1) Keterangan:

Id =Indeks Penyebaran Morsita N =Jumlah plot pengambilan contoh N =Jumlah individu dalam n plot x =Jumlah individu pada tiap-tiap plot

Kriteria nilai Indeks Morsita menurut Brower dan Zar (1989) (2015) adalah sebagai berikut:

Id = 1,0 : pola penyebaran individu acak Id < 1,0 : pola penyebaran individu merata

Id > 1,0 : pola penyebaran individu mengelompok

(47)

3.5.2 Pengolahan Foto Udara

3.5.2.1. Orthomozaik

Pengolahan data foto udara yang diperoleh menggunakan software Pix4D Mapper versi trial. Tahapan ini terdiri dari beberapa proses yaitu aligning photo, build dense cloud, texturing, orthomosaicking, build DSM hingga exporting peta ortho. Align photo adalah proses mensejajarkan atau meluruskan foto-foto sebelum proses penggabungan banyak foto menjadi suatu foto. Adapun build dense cloud memproses foto hasil alignment menjadi banyak titik yang memiliki nilai ketinggian atau kedalaman. Texturing merubah data yang berbentuk titik menjadi tekstur atau kekasaran dari permukaan bumi. Orthomosaicking merupakan proses menggabungkan foto-foto berdasarkan referensi koordinat dan nilai kedalaman piksel. Adapun Digital Surface Model (DSM) merupakan model tinggi rendahnya obyek di permukaan bumi hasil proses orthomosaic yang selanjutnya akan diekspor ke dalam format tiff (Salim et al., 2018).

Pengolahan foto udara format kecil dari data UAV menggunakan fotogrametri digital. Perangkat lunak yang digunakan adalah Agisoft Photoscan perangkat lunak ini menggunakan metode Structure from Motion (SfM) salah satu cabang pada computer vision untuk merekonstruksi blok foto udara menjadi mosaik foto dan Digital Surface Model (DSM). Pemrosesan ini membutuhkan input koordinat x, y, dan z di lapangan, yang diambil dengan GPS. Koordinat sebagai input proses tersebut dinamakan Ground Control Point (GCP), untuk mengoreksi koordinat model dari point cloud menjadi koordinat sebenarnya di lapangan (Meiarti et al., 2019).

(48)

3.5.2.2. Konversi Data DSM ke DTM

Data DSM hasil orthomosaic selanjutnya diubah ke DTM yang merupakan representasi dari tinggi permukaan tanah (tanpa bangunan dan objek lain di atasnya).

Proses konversi DSM ke DTM dilakukan dengan menggunakan software PCI Geomatika.

3.5.2.3. Pemotongan Citra

Pemotongan citra merupakan pembatasan citra yang akan digunakan sehingga sesuai dengan lokasi penelitian. Tahap ini dilakukan untuk memperkecil daerah pengamatan pada penelitian sehingga kapasitas file yang akan diolah lebih sedikit dan selanjutnya lebih cepat diproses oleh software citra satelit.

3.5.2.4. Analisis Tutupan Lahan

Analisis tutupan lahan dilakukan dengan menetapkan beberapa kelas area berdasarkan hasil ground check. Metode analisis tutupan lahan dilakukan dengan mendigit langsung pada citra satelit Google Earth menggunakan perangkat lunak Arcmap. Kegiatan penentuan kelas yang diambil melalui hasil ground check yaitu padang lamun (Riniatsih et al., 2021).

(49)

Gambar 10. Diagram alir pengolahan foto udara

(50)

37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kepulauan Karimunjawa terbentuk atas gugusan pulau-pulau yang terletak di bagian utara laut jawa Provinsi Jawa Tengah yang tergabung kedalam wilayah Kabupaten Jepara. Terdapat dua pulau besar yaitu Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan. Pulau Kemujan merupakan pulau yang berpenghuni, dengan luas wilayahnya yaitu 1.501 ha dan terletak pada koordinat koordinat 5°46’24” – 5°59’16” LS dan 110° 26’55” – 110° 29’38” BT. Batasan-batasan Pulau Kemujan adalah sebagai berikut.

Barat : Laut Jawa Utara : Laut Jawa Timur : Pulau Sintok

Selatan : Pulau Karimunjawa

Lokasi penelitian dilakukan di Pantai Mrican, Pulau Kemujan yang terletak di bagian barat Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, dimana pada lokasi tersebet terdapat aktivitas penduduk. Titik yang menjadi lokasi sampling dibagi menjadi 3 (tiga) staisun yang berada dekat dermaga aktif yang digunakan sebagai tempat sandar bagi kapal-kapal wisata dan nelayan. Lokasi peneletian di perairan Mrican tidak hanya ditemukan ekosistem lamun, namun juga terdapat ekosistem mangrove, dan ekosistem karang serta bebarapa tumbuhan laut seperti rumput laut.

Perairan Mrican tergolong kedalam peraiarn tenang namun keruh yang diakibatkan oleh aktivitas penduduk.

(51)

4.1.2. Hasil Fotogrametri Plot Area Perairan Mrican

Hasil foto udara yang telah diambil saat di area perairan Mrican terdapat total 615 foto dengan 437 foto yang digunakan. Hasil peta tersebut didapatkan dari pembuatan misi terbang sebanyak 3 kali penerbangan. Hasil parameter akuisisi foto udara ini dapat dilihat pada Tabel 7. Ketinggian foto yang diambil adalah 50 m dengan nilai pixel sebagai akurasi nilai foto yaitu 3,19 cm/pix. Total luasan area yang diakuisisi oleh foto udara seluas 4,68 Ha. Setelah dilakukan align foto dan pemotongan hasil foto udara luas lahan area ekosistem lamun secara actual adalah sebesar 4,68 Ha. Area tersebut disajikan pada peta Gambar 11.

Tabel 7. Hasil parameter akuisisi foto udara

No Parameter Nilai

1 Number of images 615

2 Images of alignment 437

3 Flying altitude 50 m

4 Ground resolution 3,19 cm/pix

5 Coverage area 4,68 ha

6 Camera stations 1.027

7 Tie points 615.085

8 Projections 3.478.305

9 Reprojection error 1,64 pix

(52)

Gambar 11. Peta hasil fotogrametri di lokasi penelitian

(53)

4.1.3. Hasil Luasan Area Lamun Berdasarkan Fotogrametri

Hasil fotogrametri digunakan sebagai acuan dalam menentukan nilai indeks vegetasi NDVI, dengan persamaan yang diberikan oleh Baloloy, (2018). Menurut Domiciano (2019), estimasi NDVI untuk indeks vegetasi dengan menggunakan drone memiliki peluang, sebagai syarat akurasi yang diperlukan dalam hasil foto.

Penelitian yang dilakukan Muda et al., (2012), menunjukan keberhasilan dalam melakukan pengukuran index vegetasi dengan menggunakan drone imagery dan dengan persamaan NDVI. Hasil image classification NDVI hasil fotogrametri foto udara menunjukan nilai indeks dibagi menjadi 2 kelas dimana nilainya terdiri dari 0,21 – 0,232; dan 0,232 – 0,26. Nilai 0,21 - 0,26 menunjukan klasifikasi batas bawah dan batas atas. Indeks vegetasi tersebut menjelaskan bahwa wilayah tersebut terdapat vegetasi (lamun). Estimasi tutupan lamun dengan foto udara dengan areal studi: 4,68 ha. diketahui dengan menjumlahkan luasan area dari 2 kelas indeks vegetasi, lalu didapatkan hasil: 16.210 m², sehingga estimasi tutupan lamun di perairan Pantai Mrican, Taman Nasional Karimunjawa sebesar 35%.

Tabel 8. Indeks NDVI dengan keraptan vegetasi hasil analisis image classification di perairan Pantai Mrican, Karimunjawa

Indeks NDVI Area (m²)

0,21 – 0,232 7447

0,232 – 0,26 8763

Total Area 16.210

(54)

Gambar 12. Peta estimasi seberan lamun di Peraian Mrican

(55)

4.1.4. Nilai Penutupan Lamun

Lamun yang ditemukan di Perairan Pantai Mrican secara morfologi terdiri dari 4 spesies. Keempat spesies lamun tersebut yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, dan Cymodocea rotundata. Nilai rata-rata penutupan lamun setiap jenisnya disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai Penutupan Lamun per-Jenis Perairan Mrican, Pulau Kemujan

NO STASIUN

RATA-RATA PENUTUPAN LAMUN (%)

PENUTUPAN JENIS JENIS (%)

Ea Th Hu Cr

1 Stasiun 1 14,77 11,10 3,67 0,00 0,00

2 Stasiun 2 21,33 13,14 1,55 6,36 6,36

3 Stasiun 3 14,96 8,60 2,16 4,20 0,00

Rata-Rata STDEV

17,02 10,95 2,46 3,52 2,12

3,73 2,28 1,09 3,24 3,67

Pengamatan nilai tutupan lamunn berdasarkan dari ketiga stasiun, lamun jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii ditemukan di setiap stasiun pendataan, namun lamun jenis Halodule uninervis ditemukan di stasiun 2 dan 3, serta Cymodocea rotundata hanya ditemukan di stasiun 1. Besaran nilai tutupan lamun dinyatakan dalam satuan persen (%). Persentase rata-rata tutupan lamun di Pantai Mrican hanya berkisar 0,2 – 15, tertinggi berada pada stasiun 2, sedangkan stasiun 1 dan 3 memiliki selisih 0,16, yaitu 14,77 untuk stasiun 1 dan 14,96 untuk stasiun 3. Berdasarkan perhitungan rata-rata, didapatkan besaran rata-rata penutupan lamun dari seluruh stasiun yaitu 17,02. Selain nilai rata-rata dilakukan juga perhitungan standar deviasi yang kemudian didapatkan hasil sebesar 3,73.

Nilai tutupan lamun tertinggi didapati pada lamun jenis Enhalus acoroides di setiap stasiunnya, dengan besaran berturut-turut yaitu 11,10; 13,14; dan 8,6. Nilai tutupan lamun jenis Enhalus acoroides memiliki rata-rata dari keseluruhan stasiun

(56)

yaitu 10,95 dan untuk standar deviasinya yaitu 2,28. Lamun yang ditemukan di setiap stasiun lainnya yaitu Thalassia hemprichii yang memiliki nilai tutupan lamun sebesar 3,67 di stasiun 1, 1,55 di stasiun 2, dan 2,16 di stasiun terakhir. Berdasarkan nilai tutupan ini, lamun jenis Thalassia hemprichii memiliki nilai rata-rata yaitu 2,46 dan standar deviasi 1,09. Lamun jenis ketiga yang ditemukan yaitu Halodule uninervis. Lamun jenis Halodule uninervis tidak ditemukan di stasiun 2, namun ditemukan di stasiun 2 dengan tutupan lamun sebesar 6,36 dan di stasiun 3 sebesar 4,20. Lamun ini memiliki rata-rata tertinggi setelah Enhalus acoroides yaitu senilai 3,52 dengan standar deviasi 3,24. Lamun jenis terakhir yang ditemukan ialah Cymodocea rotundata yang hanya ditemukan pada stasiun 2 dengan nilai tutupan 6,36. Besaran nilai rata-rata lamun jenis ini adalah yang terendah diantara keempat jenis lamun yang ditemukan, yaitu sebesar 2,12 dan standar deviasi 3,67.

Fluktuasi atau naik turunnya besaran nilai tutupan lamun yang ditemukan di Pantai Mrican, Taman Nasional Karimunjawa disajikan secara deskritif melalui diagram batang yang dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Diagram Rerata Nilai Penutupan Lamun per-Jenis di Setiap Stasiun

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Rerata Nilai Penutupan Lamun

Ea Th Cr Hu

Gambar

Gambar 1.  Morfologi lamun  (Sumber: McKenzie dan Yoshida, 2009).
Gambar 2.  Enhalus acoroides (Hernawan et al., 2017)  Divisi  : Anthophyta   Kelas  : Angiospermae   Subkelas   : Monocotyledonae   Ordo  : Helobiae   Famili    : Hydrocharitaceae   Genus    : Enhalus
Gambar 3. Thalassia hemprichii (Hernawan et al., 2017)  Divisi  : Anthophyta   Kelas  : Angiospermae   Subkelas   : Monocotyledonae   Ordo  : Helobiae   Famili    : Hydrocharitaceae   Genus    : Thalassia
Gambar 4. Cymodocea rotundata (Hernawan et al., 2017)  Divisi  : Anthophyta   Kelas  : Angiospermae   Subkelas :   Monocotyledonae   Ordo  : Helobiae   Famili    : Potamogetonaceae   Genus    : Cymodocea
+7

Referensi

Dokumen terkait

A. Korelasi antara variabel ekologi perairan dan kelimpahan ikan B. Pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan kelimpahan ikan.. Sebaran Jenis Lamun di Perairan Teluk Awur

Nilai tertinggi frekuensi kerapatan jenis Echinodermata di padang lamun perairan Desa Pengudang adalah jenis Archaster typicus yaitu 91,8%, sedangkan untuk nilai

Larva ikan yang tertangkap selama penelitian ini, lebih banyak ditemukan di lokasi Bandengan, karena diduga kondisi lingkungan perairan Bandengan dengan % Penutupan lamun

Untuk mengetahui komposisi jenis dilakukan dengan membandingkan antara jumlah individu masing-masing jenis dengan jumlah total individu jenis lamun yang ditemukan.. Frekuensi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah spesies/jenis lamun, mengetahui kerapatan dan tutupan lamun, dan mengetahui nilai biomassa dan estimasi simpanan

Tingginya kemelimpahan jenis ikan Gerres oyena diduga karena pada daerah padang lamun di pesisir barat Pulau Kei Besar banyak ditemukan perairan berpasir

lamun yang tinggi tidak selamanya linear dengan tingginya jumlah jenis maupun tingginya kerapatan jenis karena pengamatan penutupan yang dilihat adalah penutupan