• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kesehatan Dalam Pelaksanaan Kekarantinaan di Masa Pandemi Covid-19 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantiaan Kesehatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kesehatan Dalam Pelaksanaan Kekarantinaan di Masa Pandemi Covid-19 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantiaan Kesehatan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kesehatan Dalam Pelaksanaan Kekarantinaan di Masa Pandemi Covid-19 Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantiaan Kesehatan

Resi Arisandi,Rizal Rustam Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM

Email penulis: resioke@gmail.com; rizalrustam@iblam.ac.id ABSTRAK

Perlindungan hukum bagi keselamatan kerja tenaga kesehatan nyaris luput dari perhatian, padahal sebagai garda terdepan penanganan pandemi Covid-19 memiliki resiko kriminal dan kematian. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan urgensi perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya pada masa pandemi Covid-19 didasarkan pada hak dan kewajiban Tenaga Kesehatan itu sendiri. Tidak terlindunginya tenaga kesehatan, seperti contohnya dalam hal ini profesi dokter. Manakala dokter tidak mendapatkan haknya atau adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pasien yang tidak melaksanakan kewajibannya. Pelanggaran terhadap hak dokter terkait dengan pelayanan pasien Covid-19 yang sering terjadi adalah pasien tidak memberikan informasi secara jujur terhadap kondisinya sebagai ODP atau PDP sehingga semakin rawan penularan virus Covid-19 yang tentunya memberikan dampak efek domino baik pada dokter, paramedis, pasien lain dan bahkan keluarganya. Pelanggaran ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 50 huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran bahwa dokter berhak memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya. Aturan hukum yang diterapkan terhadap perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dalam pelaksanaan kekarantinaan tertuang dalam ketentuan Pasal 1 angka 11, Pasal 1 angka 7, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran, Pasal 57 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Kepmenkes No. HK. 01.07/MENKES/278/2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Covid-19, dan Kepmenkes No. HK. 01.07/MENKES/215/2020 tentang Pemanfaatan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan untuk Pencegahan dan Penanganan Covid-19 dan Surat Edaran Satgas Covid-19 Nomor 15 Tahun 2022 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Luar Negeri di Masa Pandemi Covid-19.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Tenaga Kesehatan, Kekarantinaan.

(2)

PENDAHULUAN

Pembangunan kesehatan bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi tingginya. Pembangunan kesehatan tersebut merupakan upaya dari seluruh masyarakat Indonesia, baik masyarakat swasta ataupun pemerintah. Untuk dapat memelihara kesehatan masyarakat, maka diperlukan berbagai sarana, salah satu sarana tersebut adalah tenaga kesehatan/medis, dapat dikatakan bahwa tenaga kesehatan adalah “Leader” dalam pelayanan kesehatan, meskipun demikian keberadaan tenaga kesehatan yang lain tetap memiliki kekhususan yang tidak dapat digantikan.90

Tenaga kesehatan merupakan komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan kesehatan yang sesuai dengan tujuan nasional sebagaimana diamanatkat oleh konstitusi. Selaku komponen utama pemberi pelayanan kesehatan tentunya keberadaan, peran, dan tanggung jawab tenaga kesehatan sangatlah penting dalam kegiatan pembangunan kesehatan. Pelaksanaan dan pendayagunaan terhadap keberadaan, peran, dan tanggung jawab tenaga kesehatan tersebut berjalan dengan baik, seimbang, teratur, terjaga mutunya, dan terlindungi baik bagi tenaga kesehatan itu sendiri maupun bagi masyarakat yang menerima pelayanan kesehatan tersebut tentu perlu pengaturan yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.91

Seorang tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya harus di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan rasa aman bagi para pihak karena hubungan yang terbentuk antara pasien dengan tenaga kesehatanatau tenaga kesehatan yang lain.

Sebagai pembanding, di Negara-negara yang menganut sistem hukum aglosaxson mereka mengenal dan menggunakan sebuah prinsip hukum yang disebut the good samaritan law yang dimana prinsip ini mendukung kesadaran moral dan tanggung jawab seseorang dalam melakukan upaya penyelamatan terhadap siapa saja yang sedang membutuhkan tanpa harus dibebankan tanggung jawab hukum atas tindakan dan hasil atau akibat yang ditimbulkannya, the good Samaritan law menyebutkan tentang pasal, yang menyatakan seorang tidak dapat dibebankan tanggung jawab atas perbuatannya yang didasarkan dengan itikad baik dilain pihak jika mereka melihat situasi yang membahayakan orang lain dan mereka memilih untuk tidak bereaksi, terhadapnya mereka dapat dikenakan tanggung jawab hukum atas sikap ketidakpeduliannya.92

Tentunya terhadap hal tersebut akan sangat berimpilikasi terhadap hubungan humanisme diantara sesama manusia. Saat ini, Indonesia sedang memasuki masa kritis pandemi Covid-19. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada tanggal 7 Januari 2021, dari 216 negara yang terkonfirmasi 87.000.000 orang dan yang meninggal 1.880.000 Sedangkan untuk wilayah Indonesia, terdapat 780.000 kasus positif Covid-19 yang menyebabkan korban meninggal dunia sebanyak 23.109 orang. Data ini tentu saja memperlihatkan fakta bahwa penyebaran

90 F. Tenket, Hak Pasien sebagai Penerima layanan kesehatan (HealtResiver), Cet. I, (Jakarta: Mandar Maju, 2003), 97.

91 Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, (Jakarta: Grafika Tama, 1991), 87.

92 Benac Nancy, Good Samaritan Law Common, Wisconsin State Journal, Vol. 77 No.2 July, 1997, 134.

(3)

Covid-19 sangat agresif, dalam masa kritis pandemi Covid-19, tenaga kesehatan merupakan profesi yang berada di garda depandan bertempur langsung berhadapan dengan Covid-19. Dalam kondisi seperti ini, adakalanya tenaga kesehatan harus mengorbankan nyawanya demi melindungi masyarakat dari penyebaran pandemi Covid- 19. Berdasarkan data yang telah dipublikasikan oleh Kementerian Kesehatan pada tanggal 7 Januari 2021, terdapat 237 Dokter yang gugur di tengah pandemi Covid-19.

Sedangkan berdasarkan data per tanggal 15 September 2020 yang dirilis oleh Persatuan perawat Nasional Indonesia (PPNI), angka terpapar Covid-19 para tenaga kesehatan (perawat) terus bertambah. Sekitar 75 orang perawat meninggal gugur dalam tugasnya, hal ini belum termasuk tenaga kesehatan lainnya.

Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya.93 Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.94

Berkaitan dengan profesi tenaga kesehatan dalam penanganan Covid-19, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak tenaga kesehatan akibat pandemi Covid-19. Perlindungan hukum bagi keselamatan kerja tenaga kesehatan nyaris luput dari perhatian, padahal sebagai garda terdepan penanganan pandemi Covid-19 memiliki resiko kriminal dan kematian. Sebagai profesi yang menjadi garda terdepan penanganan Covid-19, tenaga kesehatan sering kali tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya terpenuhi, seperti halnya ketersediaan alat pelindung diri (APD). Merujuk pada Pasal 57 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan menyebutkan bahwa Tenaga kesehatan dalam menjalankan

Profesi tenaga kesehatan sangat perlu mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya, serta berhak atas keselamatan dan kesehatan kerja dalam memberikan pelayanan kesehatan. Namun saat pandemi Covid-19 ini, banyak tenaga kesehatan yang harus mengorbankan nyawanya untuk menanggulangi penyebaran Covid-19 sampai terpapar dan meninggal. Tak hanya itu, pemerintah juga bertanggung jawab dalam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan bagi para tenaga kesehatan untuk menjalankan pekerjaannya.95

Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan dibuat dalam rangka pelaksanaan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan meskipun jauh terlambat, muncul, karena International Health Regulations (IHR) tahun 2005 mengharuskan Indonesia meningkatkan kapasitas dan kemampuan dalam surveilans kesehatan dan respons, serta Kekarantinaan Kesehatan di wilayah dan di Pintu Masuk, baik Pelabuhan, Bandar Udara,

93 Rachael D’amore, Coronavirus: Where did it come from and how did we get here?,2020, diakses dari https://globalnews.ca/news/6682629/coronavirus-how-didit-start/ . (Diakses pada 6 Maret 2020).

94 Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan Administrasi , (Jakarta: Rajawali Press, 2007), 87.

95 M. Nur Herawati, Aspek Hukum Dan Kesehatan Kerja Bagi Tenaga Medis Saat Pandemi, (Bandung: Alumni, 2020), 65.

(4)

maupun Pos Lintas Batas Darat Negara.

Untuk itu diperlukan penyesuaian perangkat peraturan perundang-undangan, organisasi, dan sumber daya yang berkaitan dengan Kekarantinaan Kesehatan dan organisasi pelaksananya. Hal ini mengingat peraturan perundang-undangan terkait Kekarantinaan Kesehatan yang ada, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Karantina Udara, sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Kedua undang-undang tersebut masih mengacu pada peraturan kesehatan internasional yang disebut International Sanitary Regulations (ISR) tahun 1953. ISR Kemudian diganti dengan International Health Regulations (IHR) pada tahun 1969 dengan pendekatan epidemiologi yang didasarkan kepada kemampuan sistem surveilans epidemiologi. Sidang Majelis Kesehatan Dunia Tahun 2005 telah berhasil merevisi IHR tahun 1969 sehingga menjadi IHR tahun 2005 yang diberlakukan sejak tanggal 15 Juni 2007.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan: “Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat”.

Berdasarkan uraian permmasalahan tersebut di atas, menarik untuk diteliti terkait

“Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Kekarantinaan di Masa Pandemi Covid 19 Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan”

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pendekatan secara secara yuridis normative, yaitu suatu penelitian melalui data sekunder atau data kepustakaan untuk mengkaji permasalahan dan menemukan peraturan hukumnya yang mempergunakan perumusan-perumusan yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan yang dijadikan dasar penelitian atau hendak yang diteliti.96

HASIL DAN PEMBAHASAN

Urgensi Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kesehatan Dalam Melaksakan Profesinya Pada Masa Pandemi Covid-19

Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberi pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.

Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Satjipto Raharjo, menurut Soedikno Mertokusumo, perlindungan hukum adalah jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun di dalam hubungan manusia.97

Menurut Muchsin, Perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia. Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan

96 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), 54

97 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), 76.

(5)

pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum.98

Berbicara mengenai perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan, tidak bisa dilepaskan dari hak dan kewajiban. Dasar dari adanya hak dan kewajiban ini tertuang dalam berbagai peraturan baik internasional maupun nasional. Akan tetapi mengingat implementasi pelayanan di bidang kesehatan yang terkadang masih menimbulkan permasalahan dilapangan, maka tetap diperlukan adanya kejelasan aturan hukum (hak- hak dan kewajiban) antara penyedia dan pengguna jasa kesehatan, khususnya dalam hal ini adalah Negara/pemerintah dengan warganya/masyarakat.99

Tidak terlindunginya tenaga kesehatan, seperti contohnya dalam hal ini profesi dokter. Manakala dokter tidak mendapatkan haknya atau adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pasien yang tidak melaksanakan kewajibannya. Pelanggaran terhadap hak dokter terkait dengan pelayanan pasien Covid-19 yang sering terjadi adalah pasien tidak memberikan informasi secara jujur terhadap kondisinya sebagai ODP atau PDP sehingga semakin rawan penularan virus Covid-19 yang tentunya memberikan dampak efek domino baik pada dokter, paramedis, pasien lain dan bahkan keluarganya. Pelanggaran ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 50 huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran bahwa dokter berhak memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.

Secara umum dikenal adanya dua hak dasar manusia, yaitu hak dasar sosial dan hak dasar individu. Dari adanya hak dasar sosial inilah muncul hak yang paling menonjol yaitu the right to health care (hak atas pemeliharaan kesehatan) yang kemudian memunculkan hak lain yang bersifat individu berupa hak atas pelayanan medis (the right to medical service). Menurut Fred Ameln, diantara hak sosial dan individu tetap terdapat hubungan berupa:100 Saling mendukung, Tidak saling bertentangan, Minimal berjalan parallel.

Selain itu terdapat beberapa hak-hak dasar lainnya yang sangat berkaitan erat dengan hak atas kesehatan, misalnya Hak untuk melindungi diri sendiri (the right of self determination), hak ini pada hakikatnya merupakan hak individual, yang kemudian menimbulkan hak lainnya yaitu:101, Hak atas privasi yang merupakan hak atas kebebasan dan keleluasaan pribadi serta, Hak atas badan kita sendiri. Hak atas kesehatan tidak selalu berarti hak agar setiap orang untuk menjadi sehat dan tidak menjadi sakit, atau kewajiban pemerintah untuk menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang mahal di luar kesanggupan pemerintah. Tetapi hak ini lebih menuntut agar pemerintah dan pejabat publik dapat membuat berbagai kebijakan dan rencana kerja yang mengarah kepada ketersediaan dan terjangkaunya sarana pelayanan kesehatan untuk semua dalam segala kemungkinan dan sebisa mungkin dalam waktu yang relatif singkat.102

Pasal 12 ayat (1) International Covenant on Economic, Social and Cultural Right (ICESCR), hak atas kesehatan dijelaskan sebagai “hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental” tidak mencakup area

98 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Tenaga Kesehatan di Indonesia, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press, 2003), 65.

99 Ibid.

100 Fred Ameln, op.cit,.

101 Ibid

102 Azrul Azwar, Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: FKUI, 2006), 12

(6)

pelayanan kesehatan. Sebaliknya, dari sejarah perancangan dan makna gramatikal Pasal 12 ayat (2) yang menyatakan bahwa langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada kovenan ini guna mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi hal-hal yang diperlukan untuk mengupayakan, Ketentuan-ketentuan untuk pengurangan tingkat kelahiran-mati dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat, Perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industry, Pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan, Penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang.

Dengan demikian hak atas kesehatan mencakup wilayah yang luas dari sekedar faktor ekonomi dan sosial yang berpengaruh pada penciptaan kondisi dimana masyarakat dapat mencapai kehidupan yang sehat, akan tetapi juga mencakup faktor-faktor penentu kesehatan seperti makanan dan nutrisi, tempat tinggal, akses terhadap air minum yang sehat dan sanitasi yang memadai, kondisi kerja yang sehat dan aman serta lingkungan yang sehat. Antara Hak Asasi Manusia dan Kesehatan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi. Seringkali akibat dari pelanggaran HAM adalah gangguan terhadap kesehatan demikian pula sebaliknya, pelanggaran terhadap hak atas kesehatan juga merupakan pelanggaran terhadap HAM. Hal ini dapat difahami, sebab terkadang hak hak individu merupakan kewajiban bagi individu lainnya, demikian sebaliknya.103

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Hal ini serupa dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM yang juga menyebutkan bahwa setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.

Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Diperkuat dengan Pasal 57 huruf a Undang-Undang Nomor 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan yang juga menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional.

Peraturan di atas, memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk menjalankan perintah hukum dalam memberikan jaminan atas perlindungan hukum kepada tenaga kesehatan. Sehubungan dengan gugus tugas penanganan percepatan Covid-19, maka Pemerintah memiliki kewajiban memberikan pengayoman dan mejamin hak-hak tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan termasuk di dalamnya adalah imbalan dan jaminan atas keselamatan dan kesehatan selama bertugas. Tak hanya itu, pemerintah juga bertanggung jawab dalam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan bagi para tenaga kesehatan untuk menjalankan pekerjaannya.104

Oleh karenanya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Hal ini diatur dan tertuang dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah

103 Ibid

104 Aris Prio Agus Santoso, “Perlindungan Hukum Tenaga Kesehatan dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Administrasi Negara”, Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan, 5 (Nomor 2, 2021), 15.

(7)

Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang berbunyi:

“Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”.

Mengingat wabah penyebaran Covid-19 saat ini bertatus bencana setelah dikeluarkannya SK Kepala BNPB Nomor 13 A Tahun 2020, maka seluruh jajaran Pemerintah wajib menjalankan seluruh kewajibannya sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku. Kewajiban yang seharusnya dipenuhi oleh Pemerintah ini, termasuk:

a. Mendukung ketersediaan peralatan kesehatan di lapangan;

b. Menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat dan para tenaga medis;

c. Transparansi informasi informasi kepada publik; dan

d. Pengambilan kebijakan yang memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi.

Aturan Hukum Yang Diterapkan Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kesehatan Dalam Pelaksanaan Kekarantinaan

Tenaga kesehatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan merupakan setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan untuk jenis tertentu yang memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Tenaga kesehatan juga memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga mampu mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi. Tenaga kesehatan memiliki beberapa petugas yang dalam kerjanya saling berkaitan yaitu dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan ketenagaan medis lainnya.105

Dalam pelayanan kesehatan di masa pandemi Covid-19, tenaga kesehatan adalah garda terdepan yang setiap hari merawat pasien Covid-19 dengan resiko sangat tinggi terhadap penularan virus tersebut. Perlindungan hukum bagi para tenaga kesehatan sering terabaikan, seolah mayarakat apatis dan beropini bahwa itu sudah sebagai tugas dan tanggungjawab sebagai tenaga medis. Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular mengatur bahwa Wabah penyakit menular yang selanjutnya disebut wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka. Penularan Covid-19 ini sudah berkategori wabah mengingat penularan sangat cepat dan dengan jumlah penderita semakin meningkat pada waktu dan daerah tertentu.106

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa berbicara perlindungan hukum tentunya tidak bisa dilepaskan dari hak dan kewajiban. Tidak terlindunginya tenaga kesehatan, dalam hal ini profesi dokter. Manakala dokter tidak mendapatkan haknya atau adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pasien yang tidak melaksanakan kewajibannya.

Pelanggaran terhadap hak dokter terkait dengan pelayanan pasien Covid-19 yang sering

105 Tatiana Siska Wardani, Etika Profesi Kefarmasian dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Trans Info Media, 2019), 16.

106 Aris Prio Agus Santoso, op.cit,.

(8)

terjadi adalah pasien tidak memberikan informasi secara jujur terhadap kondisinya sebagai ODP atau PDP sehingga semakin rawan penularan virus Covid-19 yang tentunya memberikan dampak efek domino baik pada dokter, paramedis, pasien lain dan bahkan keluarganya. Pelanggaran ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 50 huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran bahwa dokter berhak memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.107

Menurut salah satu pakar hukum, Erna Tri Rusmala hak dan kewajiban tenaga kesehatan dalam hal ini dokter secara lengkap tertuang dalam Pasal 50 Undang-Undang Praktek Kedokteran. Dokter mempunyai hak dalam melaksanakan praktek kedokterannya. Di samping pelanggaran terhadap hak informasi yang jujur, perlindungan yang harus diberikan kepada tenaga kesehatan baik dokter atau perawat adalah tersedianya Alat Pelindungan Diri (APD). APD merupakan hak dokter yang harus dipenuhi demi keselamatannya dan agar dapat bekerja sesuai dengan standar profesinya, sebagaimana yang diamanahkan di dalam Pasal 50 huruf (b) Undang-Undang Praktek Kedokteran yang menyatakan bahwa, dokter dalam melaksanakan praktek kedokteran mempunyai hak untuk memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional. Standar pelayanan medis untuk perawatan pasien dalam kategori penyakit wabah menular wajib dilengkapi dengan APD sesuai dengan standar medis.108

Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d hanya berlaku bagi Tenaga Kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perseorangan. Pemerintah dalam rangka memutus rangtai penyebaran Virus Covid-19, telah mengeluarkan beberapa aturan, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dijelaskan:

“Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”.109

Selain itu, bagi Pasien yang sudah terkonfirmasi positif Covid-19, Pemerintah dan tenaga kesehatan mewajibkam untuk dilakukan Isolasi. Isolasi adalah pemisahan orang sakit dari orang sehat yang dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan, hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Adapun bagi masyarakat yang telah melakukan perjalanan jauh, diwajibkan untuk karantina selama 14 Hari. Pasal 1 angka 6 UU Kekarantinaan Kesehatan menjelaskan:

“Karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan meskipun belum menunjukkan gejala apapun atau sedang berada dalam masa inkubasi, dan/atau pemisahan peti kemas, Alat Angkut, atau Barang apapun yang diduga terkontaminasi dari orang dan/atau Barang yang mengandung penyebab penyakit atau sumber bahan kontaminasi lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang

107 Theresia Louize Pesulima, dan Yosia Hetharie, “Perlindungan Hukum Terhadap Keselamatan Kerja Bagi Tenaga Kesehatan Akibat Pandemi Covid-19”, Jurnal SASI, 26, (Nomor 2, 2020), 32.

108 Lembaga Pendidikan Tinggi, “Covid-19: Urgensi Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kesehatan”, diakses pada tanggal 26 Juli 2022, Pukul 09:14 WIB.

109 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

(9)

dan/atau Barang di sekitarnya”.110

Aturan-aturan tersebut di atas, dibuat oleh Pemerintah dalam rangka memutus dan mengurangi rantai penyebaran Covid-19. Selain untuk memutus dan mengurangi rantai penyebaran Covid-19, aturan-aturan tersebut juga sebagai bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat khususnya bagi tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan di masa pandemi Covid-19, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi: “Adapun penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan bertujuan untuk:111

Perlindungan terhadap tenaga kesehatan juga telah diatur di dalam Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Pasal 8 ayat (1) Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Kepada mereka yang mengalami kerugian harta benda yang diakibatkan oleh upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat diberikan ganti rugi. Demikian juga di dalam Pasal 9 ayat (1) juga telah diatur secara tegas bahwa kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya. Pasal 9 UU Wabah Penyakit Menular ini sungguh telah adil dan sepadan dengan risiko yang dihadapi oleh para tenaga kesehatan.112

Perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan juga dapat diberikan melalui tuntutan tindak pidana kepada masyarakat yang masih tidak tertib untuk melaksanakan protokol penanggulangan wabah penyakit menular yang berdampak pada tertularnya tenaga kesehatan atau bahkan mengakibatkan meninggal dunianya tenaga kesehatan maupun orang lain yang ikut terpapar. Tidak tertibnya melaksanakan standar protokol kesehatan penanggulangan Covid-19 dapat dikatakan memenuhi unsur dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah penyakit menular Covid-19. Hal ini tertuang dalam Pasal 14 Undang-Undang Wabah Penyakit Menular.113

Demikian pula manakala pihak-pihak tertentu dengan sengaja ataupun alpa tidak secara baik mengelola bahan-bahan yang digunakan untuk penanggulangan wabah penyakit menular Covid-19 seperti pengelolaan bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit yang dinyatakan dapat menimbulkan wabah, misalnya pengiriman/pengangkutan bahan yang mengandung bibit penyakit harus dilakukan dengan memperhatikan persyaratan dan pengawasan yang ketat, sehingga bahan-bahan tersebut tidak dapat menimbulkan wabah maka dapat dijerat Pasal 15 Undang-Undang Wabah Penyakit Menular.

Menurut Sukendar dan Aris, sarana perlindungan hukum dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:114

a. Perlindungan hukum preventif adalah langkah atau cara yang dilakukan untuk mencegah suatu kejadian yang berakibat hukum.

b. Perlindungan hukum represif adalah langkah atau cara yang dilakukan apabila suatu kejadian yang berakibat hukum itu telah terjadi.

Secara preventif, untuk menjamin perlindungan terhadap masyarakat, Pemerintah

110 Ibid, Pasal 1 angka 6.

111 Ibid, Pasal 3.

112 M. Nur Sholikin Dan Herawati, “Aspek Hukum Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Bagi Tenaga Medis Dan Kesehatan di Masa Pandemi”, Jurnal Hukum Nasional, 50, (Nomor 2, 2021), 16.

113 Lembaga Pendidikan Tinggi, op.cit,.

114 M. Nur Sholikin Dan Herawati, op.cit,.

(10)

telah mengeluarkan kebijakan terkait Penanganan Covid-19, di antaranya; Keppres No.

2/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dan Permenkes No.

9/2020 tentang pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.115

Secara represif untuk menjamin hak tenaga kesehatan, Pemerintah menerbitkan kebijakan, di antaranya; Kepmenkes No. HK. 01.07/MENKES/278/2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Covid-19, dan Kepmenkes No. HK. 01.07/MENKES/215/2020 tentang Pemanfaatan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan untuk Pencegahan dan Penanganan Covid-19 Tahun Anggaran 2020.116

Perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dalam pelaksanaan kekarantinaan juga diatur dalam Surat Edaran Satgas Covid-19 Nomor 15 Tahun 2022 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Luar Negeri di Masa Pandemi Covid-19 yang mewajibkan karantina bagi Pelaku Perjalanan Luar Negeri baik untuk WNI maupun WNA.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis yang telah diuraikan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut Urgensi perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya pada masa pandemi Covid-19 didasarkan pada hak dan kewajiban Tenaga Kesehatan itu sendiri. Tidak terlindunginya tenaga kesehatan, seperti contohnya dalam hal ini profesi dokter. Manakala dokter tidak mendapatkan haknya atau adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pasien yang tidak melaksanakan kewajibannya.

Pelanggaran terhadap hak dokter terkait dengan pelayanan pasien Covid-19 yang sering terjadi adalah pasien tidak memberikan informasi secara jujur terhadap kondisinya sebagai ODP atau PDP sehingga semakin rawan penularan virus Covid-19 yang tentunya memberikan dampak efek domino baik pada dokter, paramedis, pasien lain dan bahkan keluarganya. Pelanggaran ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 50 huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran bahwa dokter berhak memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya.

Aturan hukum yang diterapkan terhadap perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dalam pelaksanaan kekarantinaan tertuang dalam ketentuan Pasal 1 angka 11, Pasal 1 angka 7, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran, Pasal 57 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Kepmenkes No. HK. 01.07/MENKES/278/2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Covid-19, dan Kepmenkes No. HK.

01.07/MENKES/215/2020 tentang Pemanfaatan Dana Alokasi Khusus Bidang Kesehatan untuk Pencegahan dan Penanganan Covid-19 dan Surat Edaran Satgas Covid-19 Nomor 15 Tahun 2022 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Luar Negeri di Masa Pandemi Covid-19.

Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Disarankan bagi Pemerintah agar membuat regulasi baru terkait Sanksi bagi

115 Ibid

116 Ibid

(11)

Pasien yang tidak menjalankan amanat sesuai Pasal 50 huruf c Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dalam penanganan Covid-19.

DAFTAR PUSTAKA

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006).

Aris Prio Agus Santoso, “Perlindungan Hukum Tenaga Kesehatan dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Administrasi Negara”, Jurnal Ilmu Sosial dan Pendidikan, 5 (Nomor 2, 2021).

Azrul Azwar, Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat, (Jakarta: FKUI, 2006).

Benac Nancy, Good Samaritan Law Common, Wisconsin State Journal, 77 (Nomor 2, 1997).

A. Tenket, Hak Pasien sebagai Penerima layanan kesehatan (HealtResiver), Cet. I, (Jakarta: Mandar Maju, 2003).

Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, (Jakarta: Grafika Tama, 1991).

Lembaga Pendidikan Tinggi, “Covid-19: Urgensi Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kesehatan”, diakses pada tanggal 26 Juli 2022, Pukul 09:14 WIB.

M. Nur Herawati, Aspek Hukum Dan Kesehatan Kerja Bagi Tenaga Medis Saat Pandemi, (Bandung: Alumni, 2020).

M Nur Sholikin Dan Herawati, “Aspek Hukum Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Bagi Tenaga Medis Dan Kesehatan di Masa Pandemi”, Jurnal Hukum Nasional, 50, (Nomor 2, 2021).

Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Tenaga Kesehatan di Indonesia, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press, 2003).

Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan Administrasi, (Jakarta: Rajawali Press, 2007).

Rachael D’amore, Coronavirus: Where did it come from and how did we get here?, diakses pada tanggal 15 Juli 2022.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000).

Tatiana Siska Wardani, Etika Profesi Kefarmasian dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Trans Info Media, 2019).

Theresia Louize Pesulima, dan Yosia Hetharie, “Perlindungan Hukum Terhadap Keselamatan Kerja Bagi Tenaga Kesehatan Akibat Pandemi Covid-19”, Jurnal SASI, 26, (Nomor 2, 2020).

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Referensi

Dokumen terkait

Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut, membaca dengan cermat dan seksama RPP yang disusun oleh guru, mengamati dan merekam

Penelitian perlindungan hukum bagi tenaga keperawatan dalam melakukan asuhan keperawatan dan pelayanan pasien dalam perspektif hukum positif di Indonesia menggunakan

Melakukan Turjawali Guna Mengedukasi Masyarakat di wilayah hukum Polsek Balai Karimun terkait Pelaksanaan Protokol Kesehatan untuk Memutus Mata Rantai Penyebaran COVID 19 oleh Tim

menjawab iya atau mendapatkan perlakuan yang tidak adil oleh instansi, dari hasil kuesioner yang didapatkan karena ketidakadilan yang dilakukan oleh instansi

Adapun metode pendekatan yang digunakan penulis untuk membahas permasalahan yang ada dalam penelitian ini, dilakukan dengan pendekatan hukum yuridis normatif, yaitu dengan

Jaminan Kesehatan Warganegara Dalam Pilkada Serentak di Masa Pandemi Covid-19; Perlindungan Hak Asasi Manusia Oleh Pemerintah Pada Masa Pandemi Covid-19; Reformasi Layanan

Graf yang mengandung sisi ganda atau gelang dinamakan graf tak-sederhana (unsimple graph).. Graf tak-berarah

Adapun evaluasi penyelenggaraan diklat teknis PPI Tingkat Lanjut bagi Tenaga Kesehatan di Fasyankes pada masa Pandemi COVID-19 secara daring dianalisa dengan menggunakan