9 A. Tes
1. Pengertian Tes
Tes adalah alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan (Arikunto, 2004: 53). Tes berasal dari bahasa Prancis yaitu testum, berarti piring yang digunakan untuk memilih logam mulia dari benda-benda lain seperti pasir, batu, tanah, dan sebagainya (Arifin, 2011: 117).
2. Macam-macam Tes
Arifin (2011: 117) menyatakan, dilihat dari jumlah peserta didik, tes dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu tes kelompok dan tes perorangan (individu). Sedangkan dilihat dari kajian psikologi, tes dibagi menjadi empat jenis yaitu tes intelegensia umum, tes kemampuan khusus, tes prestasi belajar, dan tes kepribadian.
Putra (2012: 207) menyatakan terdapat beberapa jenis tes, diantaranya tes standar, tes buatan guru dan tes objektif. Penjelasan mengenai jenis tes tersebut dapat diantaranya sebagai berikut.
a. Tes standar merupakan tes yang disusun oleh suatu tim ahli, memenuhi persyaratan tes yang baik, dapat digunakan untuk waktu yang relatif lama dan dapat diterapkan pada beberapa objek mencakup wilayah luas. Jenis tes standar diantaranya tes prestasi (achievement test), tes diagnostik (diagnostic test), tes kecerdasan (intelligence test), dan tes bakat (aptitude test). Berikut penjelasan mengenai jenis-jenis tes tersebut.
1) Tes prestasi bertujuan untuk mengukur prestasi individu atau kelompok dari berbagai mata pelajaran yang telah dipelajari atau keahlian yang telah dikuasai peserta didik (Putra, 2012: 211).
2) Tes diagnostik umumnya dititikberatkan pada mata pelajaan dan berbagai keterampilan tertentu yang dianggap penting dikuasai pada mata pelajaran tertentu. Tes diagnostik terdiri dari evaluasi area pembelajaran spesifik secara relatif mendalam (Arikunto, 2013: 61).
3) Tes kecerdasan dibuat untuk menilai, memberi indikasi atau mengetahui kemampuan peserta didik secara umum pada berbagai bidang. Tes kecerdasan dimaksudkan untuk memprediksi kemampuan peserta didik, baik secara individu maupun kelompok untuk mengukur berapa banyak yang telah dipelajari oleh peserta didik. Tes kecerdasan paling banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan intelektual secara umum.
4) Tes bakat merupakan tes yang bertujuan untuk mengetahui bakat dan kemampuan seseorang di bidang keilmuan. Tes ini juga dapat mencerminkan tingkat kecerdasan intelektual (IQ) seseorang.
Umumnya, tes bakat ini memiliki empat jenis soal, yakni tes verbal atau bahasa, tes numerik atau angka, tes logika, dan tes spasial atau gambar (Putra, 2012: 214).
b. Tes buatan guru merupakan tes yang dibuat oleh para guru itu sendiri.
Tes tersebut dimaksudkan untuk mengukur tingkat keberhasilan peserta didik mencapai kompetensi setelah berlangsungnya proses pembelajaran yang dikelola oleh guru kelas. Pada umumnya, penyusunan soal-soal tes dilakukan oleh para guru bidang studi yang bersangkutan. Guru yang bersangkutan merumuskan kompetensi dasar dan indikator yang akan dipelajari, memilih bahan, melaksanakan kegiatan pembelajaran, kemudian menilai capaian peserta didik (Putra, 2012: 221). Umumnya, tes buatan guru tidak diujikan terlebih dahulu karena berbagai hal, baik menyangkut masalah waktu, kesempatan, tenaga, biaya, dan kemampuan guru itu sendiri untuk menganalisisnya.
c. Tes objektif adalah tes dimana keseluruhan informasi yang diperlukan untuk menjawab tes telah tersedia dan peserta didik harus memilih salah satu alternatif yang disediakan tersebut. Dalam tes objektif,
peserta didik dituntut untuk memilih beberapa kemungkinan jawaban yang telah tersedia atau memberi jawaban singkat dengan mengisi titik-titik di tempat yang tersedia soal sudah disusun terstruktur dengan sempurna. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian tes objektif adalah tes yang keseluruhan informasi yag diperlukan untuk menjawab tes (soal) telah tersedia (Putra, 2012: 226).
3. Kriteria Tes yang Baik
Tes sebagai salah satu instrumen dalam evaluasi memiliki kriteria tertentu untuk menjadikannya baik digunakan sebagai alat evaluasi.
Kriteria tersebut diantaranya instrumen tes harus valid, reliabel, relevan, representatif, praktis, deskriminatif, spesifik dan proporsional, sebagaimana penjelasan berikut.
a. Valid
Suatu instrumen dikatakan valid jika benar-benar mengukur apa yang hendak diukur secara tepat. Misalnya, alat ukur untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), maka alat ukur tersebut hanya digunakan untuk mengukur kemampuan siswa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), tidak boleh dipadukan dengan materi pelajaran lain. Validitas instrumen evaluasi dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain validitas ramalan (predictive validity), validitas bandingan (concurent validity), validitas isi (content validity), dan validitas konstruk (construct validity) (Arikunto, 2013: 73).
b. Reliabel
Suatu instrumen dapat dikatakan reliabel atau handal jika memberikan hasil yang tetap apabila diujikan berkali-kali. Misalnya, seorang guru mengembangkan instrumen tes yang diberikan lagi kepada sekelompok peserta didik yang sama pada waktu yang berbeda, dan ternyata hasilnya sama atau yang mendekati sama, maka dapat dikatakan instrumen tersebut mempunyai reliabilitas yang tinggi (Arikunto, 2013: 74).
c. Relevan
Instrumen yang digunakan harus sesuai dengan kompetensi inti, kompetensi dasar, dan indikator yang telah ditetapkan. Jika dalam konteks penilaian hasil belajar, maka instrumen harus sesuai dengan domain hasil belajar, seperti domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotor (Arifin, 2009: 70).
d. Representatif
Representatif artinya materi instrumen harus benar-benar mewakili seluruh materi yang disampaikan, hal ini dapat dilakukan bila penyusunan instrumen menggunakan silabus sebagai acuan pemilihan materi tes. Guru juga harus memperhatikan proses seleksi materi, mana materi yang bersifat aplikatif dan mana yang tidak, mana yang penting dan mana yang tidak (Arifin, 2009: 70).
e. Praktis
Instrumen yang praktis artinya mudah digunakan. Jika instrumen itu sudah memenuhi syarat tetapi sukar digunakan, berarti tidak praktis. Kepraktisan ini bukan hanya dilihat dari teknik penyusunan instrumen, tetapi juga bagi orang lain yang ingin menggunakan instrumen tersebut (Arikunto, 2013: 77).
f. Deskriminatif
Instumen harus disusun sedemikian rupa, sehingga dapat menunjukkan perbedaan-perbedaan yang sekecil apapun. Semakin baik suatu instrumen, maka semakin mampu instrumen tersebut menunjukkan perbedaan secara teliti. Untuk mengetahui apakah suatu instrumen cukup deskriminatif atau tidak, biasanya dilakukan uji daya pembeda instrumen tersebut (Arifin, 2009: 70).
g. Spesifik
Suatu instrumen disusun dan digunakan khusus untuk objek yang dievaluasi. Jika evaluasi tersebut menggunakan tes, maka jawaban tes jangan menimbulkan ambivalensi atau spekulasi (Arifin, 2009: 70).
h. Proporsional
Suatu instrumen dikatakan proporsional jika memiliki persebaran yang seimbang antara soal yang sulit, sedang dan mudah (Arifin, 2009: 70).
4. Tes Pilihan Ganda
Witherington (dalam Arifin, 2009: 135) mengatakan, “there are many varieties of there new test, but four kinds are in most common use, true-false, multiple choice, completion, matching”. Ini berarti bahwa tes objektif meliputi beberapa jenis, diantanya adalah yang paling sering digunakan, yaitu tes benar-salah, pilihan ganda, uraian singkat, dan menjodohkan.
Tes berupa soal pilihan ganda merupakan jenis tes objektif yang dapat mengukur pengetahuan yang luas dengan tingkat domain yang bervariasi. Soal pilihan ganda memilki persyaratan sebagai tes yang baik, yakni dilihat dari objektifitas, realibilitas dan daya pembeda antara siswa yang berhasil dengan siswa yang gagal (Sukardi, 2011: 125).
Mulyadi (2010: 17) menyatakan, tes bentuk pilihan ganda ini merupakan bentuk tes objektif yang paling banyak digunakan karena banyak sekali materi yang dapat dicakup. Soal pilihan ganda terdiri dari dua bagian: soal, plus satu set jawaban yang harus dipilih yang benar.
Jawaban yang salah disebut distractor (pengecoh).
Item tes atau soal pilihan merupakan jenis tes objektif yang dapat mengukur pengetahuan yang luas dengan tingkat domain yang bervariasi.
Soal pilihan ganda memiliki semua persyaratan sebagai tes yang baik, yakni dilihat dari segi objektifitas, reliabilitas dan daya pembeda antara siswa yang berhasil dengan siswa yang gagal (Sukardi, 2011: 125).
Soal pilihan ganda merupakan bentuk soal yang jawabannya dapat dipilih dari beberapa kemungkinan jawaban yang telah disedikan.
Kontruksinya terdiri dari pokok soal dan pilihan jawaban. Pilihan jawaban terdiri atas kunci dan pengecoh. Kunci jawaban harus merupakan jawaban benar atau paling benar sedangkan pengecoh merupakan jawaban tidak
benar, namun daya jebaknya harus berfungsi, artinya siswa memungkinkan memilihnya jika tidak menguasai materinya.
Pengembangan soal-soal pilihan ganda dalam penelitian ini berupa soal pilihan ganda terdiri dari dua bagian: soal, plus satu set jawaban yang harus dipilih yang benar. Jawaban yang salah disebut distractor (pengecoh), siswa memilih salah satu jawaban yang tepat.
5. Kaidah Penulisan Tes Pilihan Ganda
Menurut Sudaryono (2012: 123 -124) dalam membuat soal-soal pilihan ganda, penulis butir soal harus memperhatikan kaidah-kaidah berikut:
a. Materi
Soal yang dibuat harus sesuai dengan rumusan indikator pembelajaran dan pilihan jawaban harus berfungsi serta setiap soal harus mempunyai hanya satu jawaban benar.
b. Konstruksi
Pokok soal yang benar harus dirumuskan secara jelas dan tegas, merupakan pertanyaan yang diperlukan saja, jangan memberi petunjuk ke arah yang benar, jangan mengandung pernyataan yang bersifat negatif ganda, dan tampilan berupa gambar, grafik, tabel, diagram dan sejenisnya yang terdapat pada soal harus jelas berfungsi.
c. Kaidah Bahasa
Setiap soal harus menggunakan bahasa Indonesia yang benar sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), menggunakan bahasa yang komunikatif, dan sesuai dengan jenjang pendidikan peserta didik, dan tidak menggunakan bahasa yang berlaku setempat/tabu.
6. Kelebihan dan Kelemahan Tes Pilihan Ganda
Sukardi (2011: 125) menyatakan bahwa item tes pilihan ganda memiliki kelemahan dan kelebihan. Kelebihan tes pilihan ganda diantaranya:
a. Tes pilihan ganda memiliki karakteristik yang baik untuk suatu alat pengukur hasil belajar siswa. Karakter yang baik tersebut yaitu lebih fleksibel dalam implementasi evaluasi untuk mengukur tercapai tidaknya tujuan belajar mengajar.
b. Item tes pilihan ganda yang dikonstruksi dengan inisiatif dapat mencakup seluruh bahan pembelajaran yang diberikan oleh guru dikelas item tes pilihan ganda adalah tepat untuk mengukur penguasaan informasi para siswa yang akan dievaluasi.
c. Item tes pilihan ganda dapat mengukur kemampuan intelektual atau kognitif, afektif dan psikomotor siswa.
Selain kelebihan, terdapat pula kelemahan tes pilihan ganda, diantaranya:
a. Konstruksi item tes pilihan lebih sulit serta membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding dengan penyusunan item tes bentuk lainnya (misalnya uraian, benar-salah atau menjodohkan)
b. Item tes pilihan ganda kurang dapat mengukur kecakapan siswa dalam mengorganisasi materi hasil pembelajaran
c. Item tes pilihan ganda memberi peluang siswa untuk menerka jawaban
7. Tahap-tahap Pengembangan Tes
Sukmadianata (2012: 190) menyatakan bahwa terdapat tiga tahapan dalam pengembangan tes, diantaranya : (1) studi pendahuluan yang meliputi studi literatur, studi lapangan dan penyusunan draf awal produk; (2) uji coba dengan sampel terbatas (uji coba terbatas) dan uji coba dengan sampel lebih luas (uji coba lebih luas); dan (3) uji produk melalui eksperimen dan sosialisasi produk.
Secara global menurut Menurut Adams dan Wieman (2010) menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan evaluasi ini melalui beberapa tahapan yaitu: Tahap 1. Penggambaran tujuan pengujian dan ruang lingkup konstruk atau tingkat domain yang akan diukur; Tahap 2.
Pengembangan dan evaluasi dari uji spesifikasi; Tahap 3. Pengembangan, pengujian lapangan, evaluasi, pemilihan item dan panduan skor dan
prosedur, dan Tahap 4. Rapat dan evaluasi dari tes untuk penggunaan operasional.
Tahapan pengembangan tersebut lebih detail dijelaskan oleh Putra (2012: 123-127) bahwa langkah-langkah penting yang dapat dilakukan sebagai berikut.
a. Menentukan tujuan penilaian. Tujuan penilaian sangat penting karena setiap tujuan memiliki penekanan yang berbeda-beda. Misalnya untuk tujuan tes prestasi belajar, diagnostik, atau seleksi.
b. Memperhatikan kompetensi yang ada pada silabus, merupakan acuan atau target utama yang harus dipenuhi, harus diukur melalui setiap kompetensi dasar yang ada.
c. Menyusun kisi-kisi tes dan menulis butir soal beserta pedoman penskorannya.
B. Representasi Visual
Presentasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti penyajian, sedangkan visual dapat diartikan sebagai melihat. Representasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sesuatu atau keadaan yang dapat mewakili, atau menyajikan kembali. Sehingga, representasi visual dapat diartikan sebagai penyajian kembali objek yang dapat dilihat. Sesuatu yang dapat dilihat tersebut dapat meliputi teks, gambar, warna, ilustrasi, desain grafis, grafik, tabel, dan sebagainya (Setiawan, 2014).
Representasi visual tidak hanya menghasilkan tingkat retensi yang lebih baik pada materi pelajaran yang hanya menggunakan teks namun akan meningkatkan hasil pemahaman terhadap materi pelajaran dibandingkan representasi lisan sederhana. Karena siswa memahami fenomena alam yang lebih baik ketika mempelajari teks dikombinasikan dengan gambar dibanding dengan ketika mempelajari teks saja (Anagnostopoulou dkk., 2012: 1).
Representasi visual dalam pembelajaran dapat dituangkan dalam bentuk media. Arsyad (2009: 29) menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis penggunaan media yang dapat diterapkan dalam pembelajaran, yaitu media
berbasis manusia, media berbasis cetakan, media berbasis visual, media berbasis audio-visual, dan media berbasis komputer.
Media berbasis visual (image) memegang perumpamaan yang sangat penting dalam proses pembelajaran, karena dapat memperlancar pemahaman (misalnya melalui elaborasi struktur dan organisasi) dan memperkuat ingatan.
Visual dapat pula menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata (kontekstual). Visual sebaiknya ditempatkan pada konteks yang bermakna agar menjadi efektif, dan siswa harus berinteraksi dengan mdia visual tersebut agar informasi tersampaikan.
Bentuk visual dapat berupa gambar representasi seperti gambar, lukisan atau foto yang menunjukkan bagaimana tampaknya suatu benda; diagram yang melukiskan hubungan-hubungan konsep, organisasi, dan struktur isi materi; peta, yang menunjukkan hubungan-hubungan antara unsur-unsur dalam isi materi; grafik seperti tabel dan bagan (chart) yang menyajikan gambaran atau kecenderungan data atau antarhubungan seperangkat gambar atau angka-angka. Terdapat beberapa prinsip umum yang perlu diketahui untuk membuat media visual menjadi media yang efektif, sebagaimana dinyatakan oleh Arsyad (2009: 92-93) seperti berikut.
1. Visual itu sesederhana mungkin dengan menggunakan gambar garis, kartun, bagan, dan diagram.
2. Visual digunakan untuk menekankan informasi sasaran (yang terdapat dalam teks) sehingga pembelajaran dapat terlaksana dengan baik.
3. Hindari visual yang tak berimbang.
4. Tekankan kejelasan dan ketepatan dalam semua visual.
5. Visual yang diproyeksikan harus dapat terbaca dan mudah dibaca.
6. Visual yang dimaksudkan untuk mengkomunikasikan gagasan khusus akan efektif jika (a) jumlah objek dalam visual yang akan ditafsirkan dengan benar sebaiknya terbatas, (b) jumlah aksi terpisah yang penting harus ditafsirkan dengan benar sebaiknya terbatas, dan (c) semua objek dan aksi yang dimaksudkan dilukiskan secara realistik sehingga tidak terjadi penafsiran ganda.
7. Unsur-unsur pesan dalam visual itu harus ditonjolkan dan dengan mudah dibedakan dari unsur-unsur latar belakang untuk mempermudah pengolahan informasi.
8. Caption (keterangan gambar) harus disiapkan terutama untuk menambah informasi yang sulit dilukiskan secara visual seperti lumpur misalnya, memberi nama orang, tempat, atau objek, menghubungkan kejadian atau aksi dalam lukisan dengan visual sebelum atau sesudahnya, dan menyatakan apa yang orang dalam gambar itu sedang kerjakan, pikirkan atau katakan.
9. Warna harus digunakan secara realistik.
10. Warna dan pemberian bayangan digunakan untuk mengarahkan perhatian dan membedakan komponen-komponen.
Anggraini dan Kirana (2014: 14) menyatakan komunikasi visual adalah sebuah rangkaian proses penyampaian informasi atau pesan kepada pihak lain.
Penyampaian pesan ini dapat berupa desain, ilustrasi, gambar, dan sebagainya yang dibuat oleh seseorang dengan tujuan agar orang lain memahami maksudnya.
Pesan visual berupa gambar dapat menjadi penarik minat belajar siswa secara efektif, dapat membantu siswa menalar dan mengingat materi yang berkaitan dengan gambar yang ditampilkan, jika berkaitan dengan materi yang sifatnya abstrak, gambar dapat membuat siswa lebih memahami materi dengan baik (Sudjana dan Ahmad, 2011: 12). Penggunaan gambar dan grafik dalam pembelajaran sebagaimana yang diteliti oleh James W Brown dkk (dalam Sudjana dan Ahmad: 11) dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Untuk memperoleh hasil belajar siswa secara maksimal, gambar harus erat kaitannya dengan materi pembelajaran, dan mudah diamati, sederhana, realistik dan menyatu dengan teks.
2. Gambar-gambar berwarna lebih menarik minat siswa dibandingkan gambar hitam putih, meskipun gambar-gambar berwarna tidak selamanya merupakan pilihan terbaik, karena kualitas warna pada gambar diperlukan untuk gambar yang sifatnya realistik.
3. Suatu penyajian visual yang yang sempurna realismenya adalah pewarnaan, karena pewarnaan pada gambar akan menumbuhkan impresi atau kesan realistik.
Media visual yang digunakan dalam pembelajaran biasa diistilahkan dengan grafis, yang berasal dari bahasa Yunani graphikos yang berarti melukiskan atau menggambarkan garis-garis. Sebagai kata sifat, grafis diartikan sebagai penjelasan yang hidup, uraian yang kuat atau penyajian yang efektif. Media grafis meliputi media visual terutama gambar berupa bagan, diagram, grafik, poster, kartun, dan komik Sudjana dan Ahmad (2009: 27-67).
Gambar fotografi merupakan salah satu media pengajaran yang sangat dikenal di dalam kegiatan pengajaran (Sudjana danAhmad, 2011: 71). Gambar fotografi juga sejalan dengan pemikiran Smaldino yang menyebut gambar fotografi sebagai visual non terproyeksi. Smaldino (2011: 325) membagi visual dalam proses pembelajaran menjadi visual non terproyeksi dan visual terproyeksi. Visual non terproyeksi tidak membutuhkan perlengkapan agar ditampilkan. Visual jenis ini bisa mengubah gagasan abstrak menjadi suatu format yang lebih realistik. Visual non terproyeksi memungkinkan pengajaran simbol-simbol abstrak menjadi tingkat yang lebih kongkret. Jenis visual non terproyeksi terdiri dari gambar diam, gambar (termasuk sketsa dan diagram), bagan, grafik, poster, dan kartun.
Visual terproyeksi diartikan Smaldino et. al (2011) sebagai visual yang dapat memusatkan perhatian karena layar berpendar dalam ruangan yang digelapkan. Gambar merupakan salah satu media visual yang dapat mewakili suatu keadaan, kejadian dan sebagai media untuk memperjelas teks, sehingga pemahaman siswa dapat meningkat dengan adanya gambar tersebut. Beberapa ahli memberi pernyataan tentang gambar, salah satunya adalah Elaine Hodges serta Haralick dan Shapiro (Indah, 2013). Elaine Hodges mendefinisikan,
“gambar merupakan pengoptimalan dari sebuah output tertentu yang terkadang dibutuhkan beberapa pencitraan yang bertujuan untuk membuatnya menjadi lebih baik” sedangkan menurut Haralick dan Shapiro, gambar adalah sebuah representasi spasial dari fenomena objek, adegan, atau lainnya.
C. Kemampuan Berpikir Kritis
Kemampuan merupakan aktivitas atau suatu gejala yang menunjukkan bahwa seseorang bisa melakukan sesuatu yang diinginkan atau yang ingin dicapainya. Kemampuan merupakan dasar dari keterampilan. Keterampilan merupakan kemampuan melaksanakan sesuatu secara efektif dalam keadaan tertentu (Hassoubah, dalam Kurniasih, 2011: 30).
Edward De Bono menyatakan keterampilan merupakan kemampuan melaksanakan sesuatu secara efektif dalam keadaan tertentu. Sedangkan mengenai berpikir Edward De Bono berpendapat bahwa berpikir adalah keterampilan mental yang memadukan kecerdasan dengan pengalaman.
Edward De Bono (dalam Kurniasih, 2011: 29) berpendapat mengenai berpikir adalah keterampilan mental yang memadukan kecerdasan dengan pengalaman.
Johnson (dalam Kurniasih, 2011: 32), mengemukakan keterampilan berpikir dapat dibedakan menjadi berpikir kritis dan berpikir kreatif. Selain itu, keterampilan berpikir dapat didefinisikan sebagai proses kognitif yang dipecah-pecah ke dalam langkah-langkah nyata yang kemudian digunakan sebagai pedoman berpikir. Satu contoh keterampilan berpikir adalah menarik kesimpulan (inferring), yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan berbagai petunjuk (clue) dan fakta atau informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki untuk membuat suatu prediksi hasil akhir yang terumuskan.
Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory (Arsyad, 2009). Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, berpikir kritis meliputi analisis dan evaluasi.
Taxonomy Bloom dalam Betsy Moore dan Tood Stanley (dalam Kurniasih, 2011: 35) dinyatakan sebagai: “Analysis question, sintetis question and evaluation question can also be asked using a multiple choice format”.
Ini berarti bahwa soal yang berbetuk analisis, sintetis dan evaluasi atau yang yang merupakan indikator berpikir kritis, bisa dibuat dalam bentuk soal pilihan ganda. Menurut Sukardi (2011: 36), cara menulis soal yang menuntut penalaran tinggi adalah:
a. Materi yang akan ditanyakan diukur dengan perilaku: pemahaman, penerapan, sintetis, analisis, atau evaluasi (bukan hanya ingatan).
b. Setiap pertanyaan diberikan dasar pertanyaan atau stimulus agar butir soal yang ditulis dapat menuntut penalaran tinggi atau berpikir tingkat tinggi, maka setiap butir soal selalu diberikan dasar pertanyaan (stimulus yang berbentuk sumber/bahan bacaan seperti : teks bacaan, paragraf, teks drama, penggalan novel/cerita/dongeng, puisi, kasus, gambar grafik, foto, rumus, tabel, daftar kata/symbol, contoh, peta, film atau suara yang direkam.
John Dewey (dalam Fisher, 2009: 2) memaknai berpikir kritis sebagai berpikir reflektif dan mendefinisikannya sebagai pertimbangan yang aktif, presistent (terus-menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya.
Richard Paul (dalam Fisher, 2009: 4) menyatakan berpikir kritis adalah metode berpikir mengenai hal, substansi atau masalah apa saja, dimana si pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan standar-standar intelektual padanya.
Robert Ennis (dalam Fisher, 2009: 4) mendefinisikan berpikir kritis sebagai pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang harus dipercaya atau dilakukan. Jadi, pengambilan keputusan merupakan berpikir kritis dalam konsepsi Ennis. Pada penelitian ini, yang diambil untuk diukur hanya kemampuan berpikir kritis siswa.
Adapun indikator berpikir kritis disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 2.1 Indikator Berpikir Kritis menurut Robert Ennis.
No. Kelompok Indikator Sub Indikator
1.
Memberikan penjelasan sederhana
Memfokuskan pertanyaan
a. Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan
b. Mengidentifikasi atau merumuskan kriteria untuk mempertimbangkan kemungkinan jawaban
c. Menjaga kondisi berfikir
1
Memberikan penjelasan
sederhana
Menganalisis argumen
a. Mengidentifikasi kesimpulan b. Mengidentifikasi alasan yang
dinyatakan
c. Mengidentifikasi alasan yang dinyatakan
d. Melihat persamaan dan perbedaan e. Mengidentifikasi dan menangani
penyimpangan
f. Melihat struktur dari suatu argumen
g. Membuat ringkasan
Bertanya dan
menjawab pertanyaan klarifikasi dan pertanyaan yang menantang
a. Mengapa?
b. Apa pokok pikiran utama?
c. Apa maksud…?
d. Apakah contoh dari?
e. Apakah yang bukan contoh dari?
f. Apa perbedaan dari perlakuan ini?
g. Bagaimana yang terjadi untuk kasus?
h. Apakah fakta dari?
i. Bagaimana pendapatmu?
j. Akankah kamu melengkapi pendapat tersebut?
2.
Membangun keterampilan dasar
Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak
a. Mempertimbangkan keahlian b. Mempertimbangkan kemenarikan
konflik
c. Mempertimbangkan kesesuaian sumber
d. Mempertimbangkan reputasi e. Mempertimbangkan penggunaan
prosedur yang tepat
f. Mempertimbangkan resiko untuk reputasi
g. Kemampuan untuk memberikan alas an
h. Kebiasaan berhati-hati Mengobservasi dan
mempertimbangkan laporan observasi
a. Melibatkan sedikit dugaan
b. Menggunakan waktu yang singkat antara observasi dan laporan c. Melaporkan hasil observasi
Merekam hasil observasi
d. Menggunakan bukti-bukti yang benar
e. Menggunakan akses yang baik f. Menggunakan teknologi
g. Mempertanggungjawabkan hasil observasi
3. Menyimpulkan
Mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi
a. Siklus logika Euler b. Mengkondisikan logika c. Menyatakan tafsiran
Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi
a. Mengemukakan hal umum
b. Mengemukakan kesimpulan dan hipotesis
c. Mengemukakan hipotesis d. Merancang eksperimen
e. Menarik kesimpulan sesuai fakta f. Menarik kesimpulan dari hasil
menyelidiki 3 Menyimpulkan Membuat dan
menentukan hasil pertimbangan
a. Membuat dan menentukan hasil pertimbangan berdasarkan latar belakang fakta-fakta
b. Membuat dan menentukan hasil pertimbangan berdasarkan akibat c. Membuat dan mempertimbangkan
hasil pertimbangan berdasarkan penarikan fakta
d. Membuat dan menentukan hasil 4. Memberikan
penjelasan lanjut
Mendefenisikan suatu
istilah dan
mempertimbangkan suatu defenisi
a. Membuat bentuk defenisi b. Strategi membuat defenisi
bertindak memberikan penjelasan lanjut
c. Mengidentifikasi dan menangani ketidakbenaran yang disengaja membuat isi definisi
Mengidentifikasi asumsi-asumsi
a. Penjelasan bukan pernyataan b. Mengontruksi argument 5. Mengatur
strategi dan teknik
Menentukan suatu tindakan
a. Mengungkap masalah
b. Memilih kriteria untuk mempertimbangkan solusi yang mungkin
c. Merumuskan solusi alternatif d. Menentukan tindakan sementara e. Mengulang kembali
f. Mengamati penerapannya Berinteraksi dengan
orang lain
a. Menggunakan argument b. Menggunakan strategi logika c. Menggunakan strategi retorik
Sedangkan menurut Fisher, berpikir kritis memiliki beberapa indikator, antara lain, mengidentifikasi alasan dan kesimpulan: bahasa penalaran, memahami penalaran: berbagai pola penalaran, memahami penalaran:
asumsi, konteks dan peta berpikir, mengklarifikasi dan menginterpretasi pernyataan dan gagasan, akseptabilitas alasan: termasuk kredibilitasnya, menilai kredibilitas sumber dengan terampil, mengevaluasi inferensi:
keshahihan deduktif dan alasan lain, mengevaluasi inferensi: asumsi dan alasan lain yang relevan, penalaran mengenai sebab-akibat,dan pengambilan keputusan: opsi, konsekuensi, nilai dan resiko.
D. Soal Pilihan Ganda Berbasis Visual
Soal-soal pilihan ganda yang mengacu pada representasi visual harus mengandung gambar, grafik, bagan dan lain-lain yang mengacu pada visual.
Penerapan representasi visual yang berupa gambar dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas soal menjadi tingkatan berpikir yang lebih tinggi (jenjang C4, C5, dan C6), sehingga diharapkan siswa dapat memiliki kemampuan berpikir yang lebih tinggi, yakni berpikir kritis. Tes pilihan ganda berbasis visual artinya tes pilihan ganda yang mengandung jenis-jenis visual seperti gambar, tabel, grafik, komik, atau terkait dengan gambar sehingga diharapkan kemampuan berpikir kritis siswa akan terlatih.
Adapun jenis-jenis visual tersebut dalam pengaplikasiannya pada soal juga terkait dengan level visual yang akan digunakan nantinya. Level visual menurut Anagnostopoulou (2012: 4), level visual di dalam sebuah soal terbagi atas tiga tingkatan, yaitu: Level 1: Pada tingkat terendah, representasi visual menampilkan informasi berlebihan terhadap pertanyaan-pertanyaan sendiri.
Grafis tersebut dipandang perlu untuk menjawab pertanyaan karena, tanpa dukungan grafis, pertanyaan masih bisa dijawab dengan benar.
Level 2: Pada tingkat ini, representasi visual memberikan informasi parsial yang diperlukan, tetapi tidak cukup, untuk menjawab pertanyaan.
Artinya, siswa harus memperoleh informasi dari representasi visual,
pertanyaan verbal, dan pengetahuan mereka sebelumnya dalam rangka untuk menyelesaikan tugas.
Level 3: Pada tingkat tiga, representasi visual berisi semua informasi yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan itu. Para siswa harus menafsirkan dan biasanya mereorganisasi informasi untuk menjawab pertanyaan itu. Namun, mereka tidak bergantung pada pengetahuan mereka sebelumnya, tetapi mereka perlu pengetahuan prosedural untuk menghasilkan jawaban yang memadai.
Hal ini juga sesuai dengan yang dikatakan J. Nitko (dalam Kurniasih, 2011: 25), soal yang termasuk pada kategori keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu terdapat suatu bacaan berupa materi sebelum pertanyaan, adanya gambar, grafik, tabel dan juga simbol. Selain itu, beliau juga mencontohkan soal berpikir tingkat tinggi dengan soal yang berbentuk uraian dan juga pilihan ganda.
Gardner (dalam Lazear, 2004: 4) berpendapat mengenai kriteria untuk mengetahui berbagai macam kecerdasan. Gardner mengatakan, “Much of human representation and communication of knowledge takes place via symbol systems–curturally contrived systems of meaning which capture important forms of information. Language, picturing, mathematics are but three of the symbol systems that have become important the world over for human survival and human productivity... while it may be possible for an intellegence to proceed without its own special symbol system, or without some other culturally devised arena, a primary characteristic of human intellegence may well be its “natural” gravitation toward embodiment in symbolic system”
Gardner (dalam Lazer, 2004: 5) mengelompokkan kecerdasan menjadi 8 kelompok utama, yaitu kecerdasan visual-spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan naturalis, kecerdasan musikal, kecerdasan verbal-linguistik, kecerdaasan interpersonal, dan kecerdasan interpersonal. Kecerdasan visual-spasial menggunakan berbagai bentuk, foto, pola, desain, warna, tekstur, gambar-gambar, simbol-simbol visual, and indera dalam (seperti imajinasi aktif, simulasi, dan visualisasi).
Tingkat pemikiran yang lebih tinggi melibatkan integrasi dan sintesis kecerdasan menjadi satu repertoar mirip yang biasa. Kecerdaan visual-spasial memiliki beberapa indikator penting, diantaranya gambaran mental, representasi grafis, imajinasi aktif, mengenali hubungan antar-objek, orientasi dalam ruang, persepsi akurat dari sudut pandang yang berbeda, dan manipulasi gambaran mental (Lazear, 2004: 8).
Gambaran mental diidentifikasikan dengan menciptakan gambaran mental dari hal-hal yang dirasakan di dunia nyata atau dunia eksternal, yang tidak bisa dibayangkan. Representasi grafis diidentifikasikan dengan menciptakan ilustrasi konsep visual, proses, ide, dan emosi. Imajinasi aktif diidentifikasikan dengan membentuk koneksi visual yang mengubah kekacauan jelas dalam gambar kreatif. Mengenali hubungan antar-objek diidentifikasikan dengan melihat hubungan antara objek yang berbeda.
Orientasi dalam ruang, diidentifikasikan dengan memahami informasi spasial dan mendapatkan lokasi geografis yang berbeda di sekitar. Persepsi akurat dari sudut pandang yang berbeda diidentifikasikan dengan mengenali persamaan dan perbedaan antara objek dari sudut pandang yang berbeda dan manipulasi gambaran mental diidentifikasikan dengan menciptakan ilusi visual seperti perspektif atau mampu mengubah perspektif gambar tiga dimensi.
Penerapan taksonomi Bloom pada multiple intelligence untuk kecerdasan visual-spasial, diantaranya dapat dilihat dari aspek dan aktivitas pada tingkat kegiatan seperti: synthesizing (sintesis), evaluating (evaluasi), processing (pengolahan), analyzing (analisis), gathering (pengumpulan), dan understanding (pemahaman).
Visual biasa terdapat dalam buku biologi. Konstruksi pengetahuan dan pengembangan di bidang ilmu pengetahuan biasanya telah dikaitkan dengan definisi dan penjelasan gambar dari objek-objek dan suatu fenomena alam.
Sejarah biologi mencatat bahwa, visual memerankan fungsi paling penting dalam ilmu pengetahuan. Penelitian yang telah dilakukan Wandersee menunjukkan bahwa para pelajar yang aktif mengubah dan berlatih menerapkan pengetahuan mereka dari biologi teks menjadi bentuk biologi
grafis (dan, sebaliknya, dari grafis menjadi teks) untuk mencapai pemahaman yang lebih tinggi.
Hayes dan Readence (dalam Wandersee, 2005: 130) telah menunjukkan gambar dalam teks meningkatkan pemahaman pembelajaran mendalam, serta teks tergantung pada gambar untuk pemahaman penuh dan mengintegrasikan pemahaman antara konsep kongkret dan abstrak.
Standar Pendidikan Sains Nasional (National Research Council) di Amerika Serikat mendukung pandangan penilaian baru, yaitu bahwa penilaian dan pembelajaran adalah dua sisi mata uang yang sama. Wandersee sependapat dengan pernyataan tersebut, bahwa pengujian biologi berbasis gambar selaras dengan pernyataan Standar tersebut dan karena pengujian biologi berbasis visual memperluas jangkauan kinerja evaluasi sehingga siswa memiliki kesempatan yang memadai untuk menunjukkan prestasi mereka, karena visual meningkatkan pemahaman siswa secara mendalam. Hal ini juga sejalan baik dengan prinsip Science for All Americans bahwa menuntut ilmu bukti dalam ilmu pengetahuan, penilaian besar ditempatkan pada instrumen dan teknik pengamatan, dan mengajar (dan pengujian) harus konsisten dengan sifat ilmiah. Berdasarkan karakteristik tersebut, jelas bahwa gambar dapat menginformasikan dan memfasilitasi desain item uji (soal) dan konstruksi biologi berbasis visual.
Teori dual coding adalah prinsip yang menyatakan bahwa teks diproses dan dikodekan dalam sistem lisan (dari korteks serebral) sedangkan gambar atau grafis yang diproses baik dalam gambar dan sistem verbal. Teori dual coding dipandang sebagai cara untuk menjelaskan mengapa memori untuk gambar mungkin lebih baik daripada teks (Wandersee, 2005: 132).
Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa gambar berisi informasi yang tidak terkandung dalam teks, informasi yang ditampilkan dalam gambar lebih mudah untuk diingat karena dikodekan dalam kedua sistem memori, bukan hanya teks, dan bahwa konsep verbal dan visual memberikan hubungan dapat memperkuat ingatan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa soal-soal berbasis visual dapat digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif siswa yang lebih
tinggi. Penerapan visual dalam soal-soal pilihan ganda dapat menjadikan soal mampu untuk mendorong dan mengukur sejauh mana kemampuan berpikir kritis siswa.
E. Analisis Materi Sel
Sel adalah unit fungsi yang paling sederhana yang memiliki berbagai macam bentuk variasi namun memiliki fungsi yang sama, memiliki tiga struktur utama yaitu membran plasma, nukleus dan sitoplasma. Struktur tersebut dapat melaksanakan semua kegiatan dalam sebuah sistem yang berkaitan dengan kehidupan (Champbell dkk, 2008: 102, Solomon dkk, 2008: 73).
Sel memiliki organel-organel yang sangat penting dalam menjalankan fungsinya diantaranya ada yang memiliki dua lapis membran dan ada yang memiliki satu lapis membran. Organel yang memiliki satu lapis membran diantaranya vakuola, reticulum endoplasma, ribosom, apparatus Golgi, dan lisosom. Organel yang memiliki dua lapis membran misalnya mitokondria dan kloroplas.
F. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Pertama, penelitian Rini Sulastri (2014), Pengembangan Soal-Soal Pilihan Ganda pada Pokok Bahasan Sistem Reproduksi untuk Mengukur Kemampuan Berargumen Siswa Kelas XI Semester II, Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan penelitian tentang pengembangan tes hasil belajar pada pokok bahasan Sistem Reproduksi, untuk mengetahui validasi secara logis dan validasi secara empiris, dan kriteria argumen setiap siswa.
Tes yang dikembangkan oleh penulis adalah tes objektif pilihan ganda untuk mengukur kemampuan berargumen siswa dengan jumlah soal awal 90 soal, hasil dengan menggunakan software TAP pada uji coba terbatas menghasilkan soal valid sebanyak 45 soal, pada uji coba lapangan 1 menghasilkan 30 soal yang valid, pada uji coba lapangan 2 menghasilkan 19 soal yang valid dengan konsistensi realibilitas tes yang baik dengan rata-rata realibilitas keseluruhan uji coba mendapatkan 0,52 (sedang) serta kemampuan berargumen siswa lebih kearah mengklasifikasi dan menganalisis.
Kedua, penelitian Linda Kurniasih (2011), Pengembangan Soal-Soal Pilihan Ganda pada Konsep Sistem Ekskresi untuk Menilai Keterampilan
Berpikir Tingkat Tinggi Siswa, bertujuan untuk mengetahui hasil analisis secara teoritik dalam pengembangan soal-soal pilihan ganda pada konsep sistem ekskresi untuk menilai keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa dan mengetahui hasil analisis secara empirik dalam pengembangan soal-soal pilihan ganda pada konsep sistem ekskresi untuk menilai keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa serta efektifitas soal dalam kegiatan evaluasi pembelajaran. Hasil penelitian berupa efektifitas dari pengembangan soal-soal pilihan ganda pada konsep sistem ekskresi untuk menilai keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa yang efektif untuk tingkat reliabilitas, tingkat kesukaran dan tingkat signifikansi, kecuali pada tingkat pengecoh atau distraktor. Hal itu karena hasil pengembangan menunjukkan presentase butir soal yang tidak efektif pengecohnya lebih besar dari presentase butir soal yang efektif tingkat pengecohnya.
Ketiga, penelitian Wendy K. Adams dan Carl E. Wieman (2010), Development and Validation of Instruments to Measure Learning of Expert- Like Thinking, bertujuan untuk membuat dan memvalidasi tes penilaian yang mengukur efektivitas instruksi dengan menelusuri seberapa baik instruksi yang menyebabkan siswa dalam satu kelas untuk berpikir seperti para ahli tentang bidang-bidang ilmu pengetahuan tertentu. Hasilnya, prinsip-prinsip desain dan proses itu menunjukkan bagaimana ini sejalan dengan standar profesional yang telah ditetapkan untuk pendidikan dan tes psikologi dan unsur-unsur penilaian baru-baru ini disebut dalam Penelitian Nasional Dewan studi tentang penilaian.
Keempat, penelitian A. L. Chandrasegara, David F. Treagustand Mauro Mocerino (2007), The Development of a Two-Tier Multiple-Choice Diagnostic Instrument for Evaluating Secondary School Students’ Ability to Describe and Explain Chemical Reactions using Multiple Levels of Representation. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan alat diagnostik pilihan ganda dua tingkat untuk menilai pemahaman siswa berusia 15 sampai 16 tahun di kelas 9 dan kelas 10, sehingga mereka mampu menjelaskan perubahan yang diamati dalam reaksi kimia (representasi makroskopik) dalam hal atom,
molekul, dan ion (representasi submicroscopik) serta dengan penggunaan simbol-simbol kimia, rumus dan persamaan (representasi simbolik).
Kelima, penelitian Walan Setia Pangastuti (2013), Pengembangan Alat Evaluasi Berbasis Berpikir Kritis pada Materi Sistem Gerak di SMA, penelitian ini bertujuan mengembangkan dan mengetahui kelayakan alat evaluasi menurut validator serta mengetahui karakteristik butir dan tes alat evaluasi berbasis berpikir kritis pada materi sistem gerak yang dikembangkan.
Hasilnya alat evaluasi berbasis berpikir kritis pada materi sistem gerak di SMA. Hasil pengembangan alat evaluasi dinyatakan sangat layak oleh validator. Analisis daya pembeda, tingkat kesukaran dan reliabilitas alat evaluasi yang dikembangkan baik. Daya pembeda soal ≥0,3, tingkat kesukaran soal antara 0,3-0,7 sebanyak 12 item, reliabilitas soal pilihan ganda 0,63 dan uraian 0,61.