• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUKURAN POLUSI CAHAYA KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN FOTOMETER PORTABEL DAN CITRA MALAM HARI DEFENSE METEOROLOGICAL SATELLITE PROGRAM.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGUKURAN POLUSI CAHAYA KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN FOTOMETER PORTABEL DAN CITRA MALAM HARI DEFENSE METEOROLOGICAL SATELLITE PROGRAM."

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUKURAN POLUSI CAHAYA KOTA BANDUNG

MENGGUNAKAN FOTOMETER PORTABEL DAN

CITRA MALAM HARI DEFENSE

METEOROLOGICAL SATELLITE PROGRAM

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari

Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Jurusan Pendidikan Fisika

Program Studi Fisika

Oleh

LUTHFIANDARI 0906983

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

Pengukuran Polusi Cahaya Kota Bandung

Menggunakan Fotometer Portabel dan Citra

Malam Hari Defense Meteorological Satellite

Program

Oleh

Luthfiandari

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

© Luthfiandari 2014

Universitas Pendidikan Indonesia

Februari 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,

(3)

LUTHFIANDARI

PENGUKURAN POLUSI CAHAYA KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN

FOTOMETER PORTABEL DAN CITRA MALAM HARI DEFENSE METEOROLOGICAL SATELLITE PROGRAM

disetujui dan disahkan oleh pembimbing:

Pembimbing I

Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc

NIP. 196302261990011001

Pembimbing II

Judhistira Aria Utama, M.Si

NIP. 197703312008121001

Mengetahui

Ketua Jurusan Pendidikan Fisika

Dr. Ida Kaniawati, M.Si

(4)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “PENGUKURAN POLUSI CAHAYA KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN FOTOMETER PORTABEL DAN CITRA MALAM HARI DEFENSE METEOROLOGICAL SATELLITE PROGRAM” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri. Saya tidak melakukan penjiplakan atau

pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku

dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung

resiko/sanksi apabila di kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran etika

keilmuan atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, Februari 2014

Yang membuat pernyataan,

Luthfiandari

(5)

PENGUKURAN POLUSI CAHAYA KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN

FOTOMETER PORTABEL DAN CITRA MALAM HARI DEFENSE

METEOROLOGICAL SATELLITE PROGRAM

Nama : Luthfiandari

NIM : 0906983

Pembimbing : 1. Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc.

2. Judhistira Aria Utama, M.Si.

Program Studi : S-1 Fisika, FPMIPA, UPI

ABSTRAK

Polusi cahaya (dalam bentuk sky glow) dapat merugikan pengamatan astronomi dan menyebabkan pemborosan energi listrik, maka dilakukanlah penelitian polusi cahaya di kota Bandung untuk mengetahui pengaruhnya terhadap astronomi dan ekonomi. Data kecerahan langit di kota Bandung (Sadang Serang dan Kopo), diambil dengan menggunakan fotometer portabel yaitu Sky Quality Meter (SQM-LU) yang telah dilaksanakan pada bulan Maret–Oktober 2013. Citra malam hari untuk rentang tahun 1992–2012 diperoleh dari Defense Meteorological Satellite Program (DMSP). Hasil penelitian mengindikasikan bahwa pada tahun 2013 kota Bandung termasuk ke dalam kategori region 0, sedangkan kualitas kecerahan langitnya termasuk ke dalam kelas 8 skala Bortle. Berdasarkan data SQM-LU, potensi pemborosan energi listrik kota Bandung selama tahun 2013 sebesar 968 ribu kWh yang setara dengan pemborosan Rp 898 juta, sedangkan berdasarkan data DMSP berpotensi terjadi pemborosan energi listrik sebesar 22 ribu kWh atau Rp 21 juta. Perbedaan hasil kedua pengukuran di atas memunculkan faktor konversi sebesar 3,3 × 10-4.

(6)

PENGUKURAN POLUSI CAHAYA KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN

FOTOMETER PORTABEL DAN CITRA MALAM HARI DEFENSE

METEOROLOGICAL SATELLITE PROGRAM

Nama : Luthfiandari

NIM : 0906983

Pembimbing : 1. Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc.

2. Judhistira Aria Utama, M.Si.

Program Studi : S-1 Fisika, FPMIPA, UPI

ABSTRACT

Light pollution (in sky glow form) can harm astronomers and it can be bringing on energy waste, then must be done study of light pollution on Bandung city to find out influence on astronomy and economy. Data of sky brightness on Bandung city (Sadang Serang and Kopo), has been taken by using portable photometer that is Sky Quality Meter (SQM-LU) which has been done at Mart– October 2013. Night earth images within years 1992–2012 are obtained from Defense Meteorological Satellite Program (DMSP). Result of this studied has been indicating on year 2013 that Bandung city included on region 0, whereas quality of sky brightness included on 8th class of Bortle-scale. Based on data of SQM-LU, potential of electric energy waste at Bandung city during 2013 is 968 thousands kWh which equivalent to 898 millions IDR, whereas based on DMSP data has amount potential of electric energy waste is 22 thousands kWh or Rp 21 millions IDR. Difference of these study result emerge converted factor amounts 3.3 × 10-4.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis limpahkan kehadirat Allah SWT. kerena berkat

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGUKURAN POLUSI CAHAYA KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN FOTOMETER PORTABEL DAN CITRA MALAM HARI DEFENSE METEOROLOGICAL SATELLITE PROGRAM”. Penyusunan skripsi ini ditujukan

untuk memenuhi sebagian dari syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains

Kegiatan penyusunan skripsi ini telah terlaksana pada tanggal 23 Maret

2013 hingga 30 Nopember 2013. Sebagaimana judul yang telah dipaparkan, maka

kegiatan penelitian ini menggunakan instrumen Unihedron SQM-LU yang

menghasilkan nilai kecerahan langit malam dalam satuan MPSAS (Magnitude per Square ArcSec). Selain itu untuk memperoleh perubahan kecerhan langit dalam jangka panjang digunakan pula citra malam hari yang berasal dari satelit DMSP.

Terselesaikannya skripsi ini tak luput dari bantuan berbagai pihak, baik

instansi maupun pihak tertentu. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc., selaku pembimbing I;

2. Judhistira Aria Utama, M.Si, selaku pembimbing II;

3. semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga dengan terselesaikannya skripsi ini dapat menjadi salah satu

sumber pengetahuan bagi pembaca.

Bandung, Februari 2014

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat

dan karunianya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa penulis

mengucapkan terimaksih pula kepada pihak-pihak terkait sehingga penelitian ini

dapat terselenggara. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ida Kaniawati, M.Si, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA

UPI.

2. Endi Suhendi, M.Si, selaku dosen Pembimbing Akademik.

3. Drs. Waslaluddin, M.T, selaku dosen koordinator mata kuliah skripsi.

4. Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc, selaku dosen Pembimbing I yang telah

memberi masukkan dalam penelitian dan penulisan skripsi.

5. Judhistira Aria Utama, M.Si, selaku dosen Pembimbing II yang telah

memberikan masukan dan saran dalam penyusunan skripsi.

6. Ibu Atit, selaku laboran laboratorium Bumi Antariksa.

7. Ibu Rita dan Ibu Elly, selaku tata usaha dan pengurus perpustakaan

Observatorium Bosscha.

8. Kedua orang tuaku, Bpk. Saimun dan Ibu Cholifah yang telah memberi

dukungan baik moril maupun materil.

9. Kartini Kartikasari, selaku teman yang membantu dalam pengamatan di

Kopo.

(9)

DAFTAR ISI

2.1.1 Sumber kecerahan langit malam ... 11

2.1.2 Besaran kecerahan langit... 12

(10)

2.3Detektor Portabel Pengukur Polusi Cahaya... 23

2.4.1 Defense Meteorological Satellite Program (DMSP) ... 28

2.4.2 Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRIS) ... 32

2.4.3 NightSat ... 32

BAB III METODE PENELITIAN, DATA, DAN REDUKSI DATA 3.1Metode Penelitian ... 33

3.6.2 Pengukuran tidak langsung ... 39

3.6.2.1Deskripsi arsip DMSP ... 39

(11)

3.9.3 Perubahan skala citra satelit DMSP dan metode penentuan

area pengukuran ... 45

3.9.3.1Penggunaan Google Earth ... 45

3.9.3.2Penggunaan resolusi satelit ... 50

3.9.4 Penentuan kadar polusi cahaya ... 51

3.10Interpretasi ... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengukuran SQM-LU ... 55

4.2 Satelit DMSP ... 63

4.3 Korelasi SQM-LU dan Satelit DMSP ... 75

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan ... 79

5.2 Rekomendasi ... 80

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Bortle Dark-Sky Scale ... 14

Tabel 2.2. Pembagian Situs Menurut Murdin ... 17

Tabel 3.1. Spesifikasi SQM ... 36

Tabel 3.2. Sebaran Satelit Setiap Tahunnya ... 42

Tabel 3.3. Jenis Lampu PJU Berdasarkan Karakteristiknya ... 52

Tabel 3.4. Keterangan Jenis Lampu PJU ... 52

Tabel 3.5. Tarif Tegangan Listrik untuk PJU pada Tahun 2013 ... 53

Tabel 4.1. Variasi Nilai Kecerahan Langit Tertinggi (Terelap) Kota Bandung ... 55

Tabel 4.2. Pemborosan Energi Listrik Kota Bandung selama 1 Bulan dengan Sampel Sadang Serang ... 59

Tabel 4.3. Biaya Pemborosan Listrik kota Bandung Selama Tahun 2013 dengan Sampel Sadang Serang ... 60

Tabel 4.4. Pemborosan Energi Listrik Kota Bandung selama 1 Bulan dengan Sampel Kopo ... 61

Tabel 4.5. Biaya Pemborosan Listrik kota Bandung Selama Tahun 2013 dengan Sampel Kopo ... 62

Tabel 4.6. Rata-rata Biaya Pemborosan Energi Setiap Jenis Lampu ... 62

(13)
(14)

DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1. Alur Proses Peneitian ... 35

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Jenis Pencahayaan Dalam dan Luar Ruangan ... 1

Gambar 1.2. Langit Berpolusi Cahaya (kiri) dan Langit Tanpa Polusi Cahaya (kanan) ... 2

Gambar 1.3. Glare ... 3

Gambar 1.4. Sky Glow arah kota Bandung dari kawasan Observatorium Bosscha ... 3

Gambar 1.5. Light Trespass ... 4

Gambar 1.6. Citra Bumi Malam Satelit F10 1992 ... 6

Gambar 1.7. Citra Bumi Malam Satelit F18 2010 ... 6

Gambar 2.1. Konstelasi Orion ... 12

Gambar 2.2. SQM-LU dengan koneksi USB ... 24

Gambar 2.3. Salah satu keping sensor CCD ... 26

Gambar 2.4. Tiga Puluh Array Sloan Digital Sky Survey ... 27

Gambar 2.5. Ilustrasi Satelit DMSP ... 29

Gambar 2.6. Profil Temperatur dari SSM/T ... 30

Gambar 2.7. Data Sensor SSM ... 31

Gambar 2.8. Ilustrasi Satelit VIIRIS ... 32

Gambar 2.9. Citra NightSat ... 32

Gambar 3.1. SQM-LU Terpasang pada Tripod ... 38

(16)

Gambar 3.3. Tampilan Google Earth untuk Pengukuran Jarak Sumedang –

Majalengka ... 46

Gambar 3.4. Tampilan Straight Lines di Sumedang – Majalengka ... 46

Gambar 3.5. Tampilan Menu Analyze untuk Set Scale ... 47

Gambar 3.6. Tampilan Jendela Set Scale ... 47

Gambar 3.7. Pendekatan Pencahayaan Lampu dengan Trigonometri ... 48

Gambar 3.8. Ilustrasi Trigonometri ... 49

Gambar 3.9. Area Batas Ukur Kota Bandung dengan Pendekatan Horizon Distance ... 49

Gambar 3.10. Tampilan Menu Analyze untuk Set Scale ... 50

Gambar 3.11. Tampilan Jendela Set Scale ... 50

Gambar 3.12. Area Batas Ukur Kota Bandung ... 51

Gambar 4.1. Ilustrasi Arah Pemasangan Lampu ... 60

Gambar 4.2. Ilustrasi Arah Pencahayaan ... 60

Gambar 4.3. Batas Area Pengukuran Kota Bandung untuk Satelit F18 Tahun 2010 (kiri: perbesaran 1200%, kanan: perbesaran 800%) ... 64

Gambar 4.4. Citra Satelit Kota Bandung DMSP F10 tahun 1992-1994 ... 65

Gambar 4.5. Citra Satelit Kota Bandung DMSP F12 tahun 1994 – 1999 ... 66

Gambar 4.6. Citra Satelit Kota Bandung DMSP F14 tahun 1997 – 2003 ... 66

Gambar 4.7. Citra Satelit Kota Bandung DMSP F15 tahun 2000 – 2007 ... 66

(17)

Gambar 4.9. Citra Satelit Kota Bandung DMSP F18 tahun 2010 – 2012 ... 67

(18)

DAFTAR GRAFIK

Grafik 3.1. Modifikasi Horizon Distance Kota Bandung ... 48

Grafik 4.1. Kecerahan Langit Malam di Sadang Serang pada 29 Maret 2013 57

Grafik 4.2. Kecerahan Langit Malam di Observatorium Bosscha pada 29 Maret 2013 ... 58

Grafik 4.3. Kecerahan Langit Malam di Kopo pada 30 Maret 2013 ... 58

Grafik 4.4. Perubahan Integrated Density Kota Bandung 1992 – 2012 ... 65

Grafik 4.5. Pertumbuhan Populasi Kota Bandung Tahun 2001-2010 ... 67

Grafik 4.6. Perubahan Integrated Density Jakarta 1992 – 2012 ... 68

Grafik 4.7. Perubahan Integrated Density Lembang 1992 – 2012 ... 69

Grafik 4.8. Rata-Rata Nilai Piksel Kota Bandung Tahun 1992-2012 ... 70

Grafik 4.9. Korelasi Integrated Density dengan Mean di Kota Bandung Tahun 1992-2012 ... 71

Grafik 4.10. Perubahan Integrated Density Hasil Smoothing di Kota Bandung Tahun 1992-2012 ... 71

Grafik 4.11. Perubahan Integrated Density Kota Bandung Tahun 2006-2012 72 Grafik 4.12. Perubahan Integrated Density Hasil Smoothing di Kota Bandung Tahun 2006-2012 ... 73

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh Data Hasil Pengukuran SQM-LU di Sadang Serang

pada 29 Maret 2013 ... 85

Lampiran 2. Contoh Data Hasil Pengukuran SQM-LU di Kopo pada 30 Maret 2013 ... 86

Lampiran 3. Contoh Data Hasil Pengukuran SQM-LU di Observatorium Bosscha pada 29 Maret 2013 ... 87

Lampiran 4. Citra MalamHari Satelit DMSP ... 88

Lampiran 5. Langkah Kerja Pengolahan Data SQM-LU ... 99

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penerangan buatan di malam hari sudah menjadi kebutuhan manusia

modern yang sangat penting dan hal ini sudah berkembang sejak akhir abad

ke-19. Sudah tak terhitung lagi pemasangan lampu untuk memenuhi kebutuhan

dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Dengan bertambahnya penerangan,

diikuti pula oleh bertambahnya aktivitas manusia hingga malam hari. Penerangan

ini dapat difungsikan untuk berbagai aspek kebutuhan khusus (lihat Gambar 1.1),

diantaranya sebagai penerangan khusus (task lighting), penerangan aksentuasi (accent lighting) dan penerangan sekitar (ambient lighting). Berbagai macam penerangan ini sangatlah wajar digunakan dan dapat bermanfaat besar dalam

menerangi lingkungan sekitar, terutama pada malam hari. Hal ini dapat menjadi

masalah jika dapat mengganggu habitat hewan liar dan/atau kehidupan manusia

yang dikenal sebagai polusi cahaya. Polusi cahaya yang berdampak langsung pada

astronomi diakibatkan oleh penerangan luar ruangan yang kurang baik.

Gambar 1.1. Jenis Pencahayaan Dalam dan Luar Ruangan

(Sumber gambar: Office of Energy Efficiency & Renewable Energy,U.S. Department of Energy)

Sekarang ini, masyarakat yang tinggal di pusat atau pinggiran kota sudah

kesulitan untuk melihat semesta (pemandangan langit malam). Bahkan hal ini

dapat terjadi pada kota-kota kecil juga pedesaan. Pemandangan langit malam yang

(21)

karena semakin banyaknya masyarakat yang tinggal di perkotaan, sehingga

kebutuhan pencahayaan luar ruangan pun bertambah. Oleh karena kebutuhan

pencahayaan luar ruangan inilah, langit malam semakin terang dan dapat

mengaburkan pandangan untuk melihat bintang-bintang ataupun objek langit lain.

Dengan besarnya efek yang ditimbulkan pada langit malam, hanya sebagian

lokasi yang jauh dari perkotaan saja yang dapat melihat lengan Galaksi Bima

Sakti (lihat Gambar 1.2).

Gambar 1.2. Langit Berpolusi Cahaya (kiri) dan Langit Tanpa Polusi Cahaya (kanan) (Sumber gambar: IDA Practical Guide)

Polusi cahaya dapat mengakibatkan berbagai efek pada setiap aspek

kehidupan. Efek yang yang ditimbulkan oleh polusi cahaya secara umum berupa

light trespass, glare, dan sky glow. Glare atau cahaya silau yang berasal dari penginstalasian lampu kurang tepat, sehingga dapat menyilaukan penglihatan

seseorang sehingga sulit untuk melihat ke arah lampu tersebut (lihat Gambar 1.3).

Hal ini dapat berakibat fatal bagi pengendara mobil ataupun motor karena dapat

mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Sky glow atau cahaya naik merupakan porsi cahaya lampu yang mengarah ke langit kemudian dihamburkan kembali ke bumi

oleh partikel atmosfer (lihat Gambar 1.4). Sky glow dapat mengurangi jumlah kenampakan dari bintang-bintang karena cahaya bintang teredupkan oleh sky glow

(22)

mengganggu kenyamanan seseorang karena cahaya tersebut tidak seharusnya

berada pada wilayah tersebut (lihat Gambar 1.5). Contohnya, pemasangan lampu

jalan yang kurang tepat dapat membuat cahayanya menyebar ke tempat yang tidak

seharusnya disinari, misalkan kamar tidur.

Gambar 1.3. Glare

(Sumber gambar: IDA Practical Guide)

Gambar 1.4. Sky Glow arah kota Bandung dari kawasan Observatorium Bosscha. Diambil tanggal 23 Juni 2010 jam 22.00 WIB dengan waktu bukaan 13 detik

(23)

Gambar 1.5. Light Trespass

(Sumber gambar: IDA Practical Guide)

Dalam beberapa penelitian, polusi cahaya berdampak pada aktivitas hewan

liar, seperti burung, kodok, serangga, dan penyu. Peningkatan penyinaran

diketahui dapat memperpanjang aktivitas binatang siang (diurnal) hingga

waktu di mana mereka seharusnya sudah beristirahat kembali ke sarang. Hill

(1992) mengemukakan dampak penerangan buatan terhadap perilaku burung air.

Schwartz dan Henderson (1991, dalam Utama dan Aviyanti, 2009 )

mengungkapkan bahwa sejumlah burung dan reptil didapati telah dapat

mengorientasi ulang diri mereka sendiri dalam pencarian makanan di bawah

cahaya buatan . Burung migran akan mengalami disorientasi saat terbang di dalam

kungkungan cahaya. Ogden dan Lesley (1996) mengemukakan bahwa jutaan

burung yang bermigrasi di Amerika Utara menabrak gedung tinggi dan jendela

yang dibuat manusia karena mengalami disorientasi akibat cahaya buatan.

Frank, dkk. (2005) mengemukakan hasil studinya terhadap ngengat

Heliothis zea, bahwa ngengat ini terindikasi tidak akan bereproduksi kecuali intensitas cahaya lingkungan kurang dari 0,05 lux, yang setara dengan cahaya

(24)

diungkapkan oleh Kempinger, dkk. (2009), bahwa serangga dapat sangat sensitif

terhadap cahaya yang berintensitas rendah, dengan menggunakan cahaya bulan

buatan ditemukan pada aktivitas nokturnal lalat buah (Clark, 2009).

Polusi cahaya berdampak pula pada sistem hormonal tubuh manusia yang

dapat meningkatkan resiko kanker dan obesitas. Viswanathan, Hankinson dan

Schernhammer (2007) menemukan bahwa wanita yang bekerja hingga larut dalam

jangka waktu yang lama dapat meningkatkan resiko kanker endometrium,

khususnya yang mengalami obesitas. Mereka berpendapat bahwa peningkatan

resiko ini terjadi karena efek melatonin dan metabolisme. Sebagaimana yang

diketahui, bahwa terpaparnya tubuh manusia oleh penerangan buatan di malam

hari dapat mengganggu sistem hormonal.

Disamping pengaruh terhadap lingkungan, polusi cahaya berpengaruh pula

pada sisi ekonomi. Semakin berkembangnya suatu wilayah, maka waktu kegiatan

manusia akan bertambah hingga larut malam. Hal inilah yang menjadi penyebab

bertambahnya konsumsi listrik untuk penerangan, baik penerangan yang bersifat

estetika ataupun aktivitas harian. Secara tidak sadar penerangan yang digunakan

untuk kebutuhan manusiapun berlebihan, dan hal ini akan merugikan manusia

serta makhluk lainnya. Pemborosan energi yang terjadi disebabkan oleh

penginstalasian lampu penerangan yang kurang baik sehingga terjadi pencahayaan

berlebih pada tempat yang seharusnya tidak perlu disinari. Selain itu, dapat

diakibatkan pula oleh pemilihan jenis lampu yang kurang tepat.

Berdasarkan penelitian Isobe dan Hamamura (1998), beberapa kota di

Jepang (Akita, Shizuoka, Hiroshima, Tokushima, dan Matsuyama) pada tahun

1993 hingga 1996 terindikasi telah terjadi peningkatan pemborosan energi sebesar

20 – 50 % dalam jangka waktu tiga tahun di saat perekonomian Jepang sedang

menurun. Hunter beserta rekan-rekannya pada tahun 1989 mempelajari energi

listrik yang hilang karena polusi cahaya di USA. Mereka menemukan bahwa

energi listrik yang terbuang sia-sia sebesar 17,4 milyar per tahun dengan biaya

(25)

Osman dkk. (2001) telah melakukan penelitian polusi cahaya di

Observatorium Kottamia untuk tahun 1980 hingga 1995 yang dipengaruhi oleh

cahaya buatan dari kota Kairo. Hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa

telah terjadi peningkatan polusi cahaya sebesar enam kali lipat dari tahun 1980

hingga 1995. Jika laju peningkatan pemborosan energi listrik diasumsikan sama,

maka pada tahun 2000 akan mencapai 45 juta kWh energi listrik yang terbuang

sia-sia.

Gambar 1.6. Citra Bumi Malam Satelit F10 1992. Area yang dilingkupi lingkaran merah adalah Indonesia

(Sumber gambar: National Geophysical Data Center. DMSP data collected by US Air Force Weather Agency)

Gambar 1.7. Citra Bumi Malam Satelit F18 2010. Area yang dilingkupi lingkaran merah adalah Indonesia

(26)

Citra satelit bumi di malam hari (seperti terlihat dalam Gambar 1.6 dan

Gambar 1.7) menegaskan bahwa telah terjadi kecenderungan peningkatan cahaya

buatan, misalkan negara-negara Eropa dan Amerika. Kota beserta

pencahayaannya dapat menjadi lebih terang dan terlebih lagi diperluas hingga ke

lingkungan sekitar pedesaan.

Dengan berlebihnya penerangan di malam hari, akan membuat langit

malam terlihat lebih terang, sehingga para astronom yang sedang mengamati

benda langit akan kesulitan dalam pengamatannya karena sky glow. Hal ini dikarenakan benda langit yang diamati akan menjadi kurang jelas terlihat dan

terhalang oleh pantulan cahaya lampu yang berlebih. Bahkan spektrum merkuri

(Hg) yang berasal dari lampu penerangan dapat menjadi pengotor dari spektrum

objek langit yang diamati. Saat itu para astronom di Observatorium Bosscha

sudah kesulitan untuk melakukan pengamatan pada jarak zenit >70° saat malam

hari. Untuk mencegah memburuknya kerusakan lingkungan di sekitar

Observatorium Bosscha, maka pemerintah memberlakukan beberapa peraturan.

Mahasena Putra, Kepala Observatorium Bosscha, memaparkan, tahun 2004

Bosscha dinyatakan sebagai benda cagar budaya oleh pemerintah. Keberadaannya

dilindungi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Selanjutnya, tahun 2008, pemerintah menetapkan Observatorium Bosscha sebagai

salah satu ”objek vital nasional” yang harus diamankan

Azzahidi dkk.(2011) melakukan penelitian kecerahan langit menggunakan

teleskop portabel dan CCD. Langit yang diukur merupakan langit Observatorium

Bosscha yang berada di Lembang, Indonesia. Dalam penelitian ini didapatkan

beberapa nilai koefisien ekstingsi untuk digunakan sebagai faktor koreksi pada

pengamatan fotometri. Nilai kecerahan langit mengecil nominalnya (lebih terang)

seiring dengan meningkatnya jarak zenit. Sementara itu pada arah jarak azimut,

nilai kecerahan langit berkurang dengan seiring mendekatnya area pengamatan

(27)

Penelitian yang dilakukan oleh Senja (1999) di Observatorium Bosscha

adalah untuk menentukan nilai kecerahan langit malam yang mengarah ke

Lembang. Hasil pengukurannya menunjukan bahwa pada jarak zenit 25,1°

kecerahan langit rata-ratanya sebesar 15,95 mag/[″]2. Nilai kecerahan langit ini

memiliki nilai yang cukup mengganggu untuk pengamatan objek langit redup.

Dengan munculnya berbagai dampak dari polusi cahaya, maka diperlukan

penelitian terhadap polusi cahaya di kota besar agar dapat diketahui sejauh mana

efek yang ditimbulkannya terhadap bidang astronomi maupun bidang lainnya.

Penelitian ini pula akan bermanfaat dalam bidang ekonomi, kependudukan, dan

kesehatan sebagai salah satu referensi.

1.2 Batasan Masalah

Sampel pengukuran menggunakan fotometer portabel, yaitu Sky Quality

Meter (SQM) hanya dilakukan pada dua lokasi di kota Bandung, yakni Sadang

Serang dan Kopo. Sedangkan satu lokasi di kota Lembang, yaitu Observatorium

Bosscha. Minimnya lokasi ini dikarenakan keterbatasan jumlah alat, untuk

memonitor secara bersamaan dan kelemahan perangkat lunak yang mengharuskan

pengamat mengoperasikan secara manual. Polusi cahaya yang diukurpun

Untuk mengetahui sejauh mana efek yang ditimbulkan penerangan

perkotaan pada kecerahan langit, baik dari aspek astronomi maupun aspek

(28)

“Berapakah tingkat sky glow yang terjadi di kota Bandung berdasarkan data Sky Quality Meter (SQM-LU) dan data citra malam hari satelit Defense

Meteorological Satellite Program (DMSP) ?”

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh nilai kecerahan langit

akibat efek yang ditimbulkan polusi cahaya, baik secara astronomi ataupun

aspek-aspek lainnya. Tujuan ini dicapai melalui pengukuran tingkat sky glow yang terjadi di kota Bandung berdasarkan data hasil pengamatan fotometer portabel

SQM-LU pada tahun 2013 dan data citra malam hari satelit DMSP mulai tahun

1992 sampai tahun 2012.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk mengedukasi dan membangkitkan

kepedulian masyarakat mengenai dampak polusi cahaya terhadap aspek

astronomi, lingkungan dan energi. Penelitian ini pula dapat menginformasikan

besarnya kontribusi polusi cahaya kota, sehingga diperoleh gambaran potensi

perkembangan ekonomi sekaligus pemborosan energi listrik yang terjadi. Selain

itu, juga dapat diketahui perkembangan urbanisasi kota dari tahun 1992 hingga

2012 berdasarkan citra satelit.

1.6 Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bagian, diantaranya Pendahuluan;

Tinjauan Pustaka; Metode Penelitian, Data dan Reduksi Data; Hasil Penelitian

dan Pembahasan; Kesimpulan dan Rekomendasi. Bab Pendahuluan berisi latar

(29)

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika

penulisan. Selanjutnya Bab Tinjauan Pustaka berisi pemaparan polusi cahaya

beserta formula dan instrumen yang digunakan untuk mengukur kadar polusi

cahaya. Dalam Bab Metode Penelitian, Data, dan Reduksi Data berisi metode

dalam melakukan penelitian yang berisi objek penelitian, waktu dan lokasi

penelitian, alur proses penelitian, alat yang digunakan, cara pengukuran dan

pengolahan data, serta interpretasinya. Selain itu terdapat pula penjelasan data

beserta reduksi data. Bab Hasil Penelitian dan Pembahasan tentunya berisi hasil

pengolahan data yang selanjutnya dilakukan interpretasi terhadap hasil yang telah

terukur. Dalam bab terakhir berisi kesimpulan beserta rekomendasi dari hasil

(30)

BAB III

METODE PENELITIAN, DATA, DAN REDUKSI DATA

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini disusun menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode

observasi langsung dan tidak langsung. Metode ini dilakukan dengan mengukuran

kecerahan langit secara langsung menggunakan SMQ-LU sehingga mendapatkan

data primer, sedangkan citra satelit DMSP didapatkan dalam bentuk data sekunder

(tanpa pengamatan langsung).

3.2 Objek Penelitian

Objek penelitian yang digunakan yakni fenomena kecerahan langit malam

hari di tiga lokasi yang berbeda di kota Bandung menggunakan fotometer portabel

SQM-LU untuk mengetahui pemborosan energi kota. Objek penelitian lain yang

digunakan yaitu berupa citra malam hari yang berasal dari satelit DMSP untuk

setiap tahunnya dalam periode tahun 1992 - 2012 untuk kota Bandung. Data

satelit yang diunduh adalah Version 4 DMSP-OLS Nighttime Lights Time Series.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini diselenggarakan selama 5 bulan sejak Maret – Juli 2013 di tiga lokasi yang berbeda, yakni sebagai berikut:

1. Observatorium Bosscha; 6⁰49'28,37"S dan 107⁰36'57,19"E dengan elevasi 1306,07 meter dpl.

2. Sadang Serang; 6⁰53'31,65"S dan 107⁰37'39,24"E dengan elevasi 738,53 meter

dpl.

(31)

Untuk mengukur kecerahan langit digunakan SQM-LU yang

dioperasikakan selama 12 jam/hari pada pukul 18.00 WIB hingga 06.00 WIB

keesokan harinya. Data direkam secara kontinu setiap 5 detik menggunakan

perangkat komputer. Untuk citra satelit, data sekunder didapatkan dengan

mengunduhnya pada situs DMSP (www.ngdc.noaa/dmsp) untuk periode tahun

yang tersedia secara bebas, yakni tahun 1992 - 2012.

3.4 Alur Proses Penelitian

Proses dalam penelitian terbagi menjadi dua bagian, yakni proses

berdasarkan data primer (SQM-LU) dan data sekunder (DMSP). Hasil pengolahan

kedua data ini digabungkan sehingga mendapatkan prediksi kadar polusi cahaya

(32)

Bagan 3.1. Alur Proses Penelitian

3.5 Alat yang Digunakan

Terdapat dua alat yang digunakan dalam penelitian ini, baik secara

langsung maupun tidak langsung. SQM-LU digunakan secara langsung untuk Mulai

Pengamatan

Kecerahan Unduh data citra satelit/digital

Citra Satelit

Pengolahan menggunakan ImageJ

Pengolahan menggunakan Excel dan Formula Walker

Grafik Integrated Density dan rata-rata terhadap

waktu (tahun)

Energi penerangan berlebih

Tingkat polusi cahaya

Analisis

(33)

mendapatkan data primer berupa nilai kecerahan langit malam. Satelit DMSP

tidak digunakan secara langsung, melainkan mengambil data sekunder yang

tersedia dalam situs NGDC untuk kemudian selanjutnya diolah.

3.5.1 SQM-LU

Kerja SQM diawali dengan perintah yang dikirim dari PC melalui kabel

USB ke penghubung USB untuk disampaikan ke mikrokontroler. Kemudian

mikrokontroler merespon perintah dengan mengirimkan data ke penghubung USB

yang akan disampaikan ke PC.

Bagan 3.2. Alur Kerja SQM-LU (sumber gambar: SQM-LU User Manual)

Perangkat lunak yang digunakan untuk mejalankan SQM-LU adalah SQM

Display yang digunakan di Sadang Serang dan Kopo, sedangkan SQM Reader Pro

digunakan di Observatorium Bosscha.

Tabel 3.1. Spesifikasi SQM (sumber: SQM-LU User Manual)

Koneksi USB Penghubung USB B (5 m USB A ke

kabel penghubung USB B)

Ukuran 3,6 × 2,6 × 1,1″

Presisi Setiap SQM-L terkalibrasi oleh pabrik.

(34)

(±0,10 mag/sq arcsec)

Daya masukan 18 mA (berasal dari 5V koneksi USB)

Rentang temperatur beroperasi -40°C hingga 85°C

Akurasi temperatur ±2°C maksimum pada 25°C

Laju perubahan temperatur 4,3 detik, 256 sampel didapatkan setiap

60Hz kemudian dirata-ratakan

3.5.2 Satelit DMSP

Satelit DMSP merupakan satelit yang disinkronkan dengan Matahari ( sun-synchronous) dengan ketinggian 830 km dan mempunyai orbit polar. Data yang dihasilkan dari satelit ini berupa citra profil muka bumi maupun atmosfernya,

sehingga data satelit ini sering digunakan untuk memantau keadaan muka bumi

dan untuk mengantisipasi kemungkinan fenomena yang terjadi di wilayah

tertentu. Seri terakhir satelit DMSP yaitu seri F18 diluncurkan pada tanggal 18

Oktober 2009.

3.6 Metode Pengukuran

Pengukuran yang hanya dilakukan yaitu pengukuran langsung

menggunakan SQM-LU yang dipasang di luar ruangan. Sedangkan pengukuran

tidak langsung adalah pengukuran melalui satelit DMSP dengan instrumen OLS

yang mengorbit bumi.

(35)

3.6.1 Pengukuran langsung

SQM-LU dipasangkan pada tiang di luar ruangan dengan mengarah ke

zenit untuk pengukuran di kota Bandung (Sadang Serang dan Kopo), sedangkan

SQM-LU di Observatorium Bosscha diarahkan 45° ke arah Bandung. Pengukuran

dilakukan pada tiga tempat yang berbeda agar dapat dibedakan antara kecerahan

langit akibat polusi cahaya dan kecerahan langit latar belakang. Kecerahan langit

latar belakang yaitu kecerahan langit yang relatif tidak dipengaruhi oleh polusi

cahaya, sehingga ditentukanlah lokasi pengukurannya di Observatorium Bosscha.

Gambar 3.1. SQM-LU Terpasang pada Tripod. Busur dan bandul digunakan untuk mengarahkan SQM-LU secara presisi

Gambar 3.2. Tabung SQM untuk pengukuran di luar (kiri) dan Pemasangan SQM pada Tiang (kanan). Lokasi pengamatan di Sadang Serang

Berikut langkah-langkah dalam metode pengukuran:

1. SQM-LU yang disertai wadah pelindung (pralon 3 inci) dipasangkan pada

(36)

2. SQM-LU dihubungkan ke komputer menggunakan kabel melalui port-USB.

3. Pembacaan variabel ukur menggunakan perangkat lunak tertentu yang sudah

terpasang pada komputer yaitu SQM Reader atau SQM Display. SQM Reader

dalam pembacaannya hanya dapat mengambil data secara kontinu minimal 1

menit, sedangkan SQM Dispaly dapat mengambil data setiap 1 detik, maka dalam penelitian ini digunakan SQM Display. Perangkat lunak ini hanya digunakan untuk pengukuran di kota Bandung, yaitu di Sadang Serang dan

Kopo, sedangkan pengukuran untuk di Observatorium Bosscha menggunakan

SQM Reader Pro. Serial port yang dipilih untuk pembacaan data harus disesuaikan dengan serial port instrumen ini, melalui menu Contro Panel System.

3.6.2 Pengukuran tidak langsung

Pengukuran tidak langsung merupakan pengukuran yang dilakukan oleh

organisasi terkait untuk menghasilkan data sekunder berupa citra bumi malam

hari. Data primer ini didapatkan dari satelit DMSP yang mengorbit bumi.

3.6.2.1Deskripsi arsip DMSP

Data DMSP dihubungkan ke Thule AFB dan ditransmisikan ke AFWA

(Air Force Weather Agency) melalui komunikasi satelit. Di AFWA, data dideskripsikan dan dikirim ke NGDC melalui koneksi T1 (Catatan: Maret 1992 – November 1996 data dikirim melalui pita berukuran 8mm). Data yang telah tiba

disimpan dan disalin ke pita (tape). Data kemudian diproses menggunakan perangkat lunak yang dibuat oleh staf NGDC dan kontraktor perangkat lunak.

Sekarang NGDC menerima dan dan memproses sekitar 8,5 GB data perhari dari

keempat satelit. Pengolahan data terdiri dari navigasi ulang menyeluruh dari

(37)

memperbaiki masalah data karena bit membalik selama transmisi, mengatur data

ke orbit dan menulis data ke sistem tape perpustakaan robotik.

3.6.2.2Pengolahan sensor OLS

Data sensor OLS didekompresi, diatur kembali, direstrukturisasi dan

digabungkan. Posisi orbit satelit dihitung menggunakan program empat badan

orbital mekanik yang diamati. Penilaian kualitas terbuat dari setiap piksel dan

dikarakterisasi untuk setiap scan line yang lengkap.

NGDC telah menyimpan citra analog aurora dari sensor DMSP-OLS sejak

1972. National Snow and Ice Data Center (NSIDC) mempertahankan arsip data analog OLS yang lain pada tahun 1979 – 1992. Sebuah file arsip terdiri dari orbit

header dan data terekam yang dilakukan oleh scan line. Resolusi scan line yang halus terdiri dari 1465 visibel piksel, 1465 IR piksel, posisi orbit satelit, penilaian

kualitas dan satelit lainnya beserta parameter-parameter astronomi. Sebuah scan line beresolusi tinggi terdiri dari 7325 dan informasi pendukung yang sama dari resolusi halus.

3.7 Data

Data primer SQM-LU berupa nilai kecerahan langit malam dalam satuan

MPSAS yang telah terkalibrasi oleh temperatur lingkungan disaat beroperasi.

Nilai kecerahan ini akan menunjukkan langit malam yang semakin gelap dengan

semakin membesarnya nilai. Untuk pengambilan data kontinu dipilih setiap 5

detik dan secara otomatis selama 12 jam sepanjang malam. Hasil pembacaan

tersimpan dalam format .csv yang berukuran sekitar 700 kb. Penamaan yang digunakan terdiri dari tanggal pengamatan dan nomor seri instrumen (hanya di

(38)

seri 1112. Contoh data yang digunakan dapat dilihat pada lampiran 1, lampiran 2,

dan lampiran 3.

Data sekunder DMSP berupa citra satelit bumi saat malam hari yang dapat

diakses secara bebas pada situs NGDC (http://ngdc.noaa.gov/eog/dmsp/

downloadV4composites.html). Data ini berukuran 286 Mb per tahun dalam

bentuk terkompresi yang berisi tiga jenis citra terkompresi pula (692 Mb

berformat .tif), sehingga diperlukan ruang penyimpanan (hard-disk) dan memori komputer yang memadai. Citra ini berasal dari sensor OLS, Version 4 DMSP-OLS Nighttime Lights Time Series. Berkas-berkas citra ini merupakan data komposit bebas awan yang dibuat menggunakan arsip DMSP – OLS beresolusi tinggi. Ketika dua satelit mengumpulkan data, maka dua data pun dihasilkan untuk

digabungkan. Hasil dari satelit dalam 30 grid detik busur, yang memutar -180 hingga 180 derajat garis bujur dan -65 hingga 75 derajat garis lintang. Berikut

beberapa kriteria yang digunakan untuk memilih data terbaik yang akan

dimasukan dalam data komposit:

1. Lebar data merupakan setengah pusat 3000 km petak OLS. Cahaya di separuh

pusat memiliki geolokasi yang lebih baik, lebih sempit, dan memiliki

radiometri yang lebih konstan.

2. Data pengaruh cahaya matahari dihilangkan yang didasarkan pada sudut

elevasi matahari.

3. Glare dihilangkan yang didasarkan pada sudut elevasi matahari.

4. Data pengaruh cahaya bulan dihilangkan yang didasarkan pada perhitungan

iluminans bulan.

5. Pengamatan yang disertai awan dihilangkan yang didasarkan pada identifikasi

(39)

6. Fitur cahaya dari aurora dihilangkan pada belahan bumi utara menggunakan

inspeksi visual.

Setiap data komposit dinamai dengan satelit dan tahun (F121995 berasal

dari satelit F12 untuk tahun 1995). Data yang tersedia dalam Version 4 DMSP-OLS terdiri dari tiga jenis, yaitu cloud-free coverages, raw avg_vis, dan

stable_lights. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah stable_lights yang merupakan pembersihan dari avg_vis yang terdiri dari cahaya kota besar, kota kecil, dan wilayah lain yang memiliki pencahayaan, termasuk flare gas. Kejadian yang berlangsung tak lama, seperti kebakaran telah dihilangkan. Gangguan latar

belakang telah teridentifikasi dan digantikan dengan nilai 0. Nilai data memiliki

rentang 1 – 63. Area dengan pengamatan bebas awan diwakili dengan nilai 255.

Data satelit yang digunakan terdiri dari 33 citra stable light berukuran 692 Mb dari berbagai macam satelit. Data yang tersedia mulai tahun 1992 hingga

2012 dengan satelit F10, F12, F14, F15, F16, F18. Sebaran satelit dari setiap

tahunnya ditunjukkan oleh tabel 3.2. Contoh citra satelit yang digunakan dapat

dilihat pada lampiran 4.

Tabel 3.2. Sebaran Satelit Setiap Tahunnya

(40)

2002 F14 F15

Reduksi data ditujukan untuk memfokuskan data yang masih melebar,

sehingga data yang akan diolah lebih jelas. Langkah ini hanya digunakan untuk

data satelit yang masih meliputi citra seluruh dunia. Citra ini direduksi

menggunakan bantuan pengolah citra ImageJ. Citra diperbesar pada pulau Jawa terlebih dahulu, kemudian diperbesar lagi pada kota Bandung sehingga

pengukuran dapat dilakukan dengan mudah. Langkah reduksi ini terdapat dalam

langkah pengolahan data bagian 3.9.2.

3.9 Pengolahan Data

Data yang akan diolah terdiri dari dua jenis yaitu data primer berformat

.csv yang berasal dari pembacaan SQM-LU dan data sekunder berformat .tif yang berasal dari satelit DMSP. Oleh karena format dan ukuran dari kedua data

berbeda, maka dilakukan pengolahan yang berbeda pula. Untuk data berformat

(41)

nilai kecerahan langit pada satu waktu (mengurutkan data), sedangkan data

berformat .tif menggunakan pengolah citra ImageJ.

3.9.1 Pengolahan data SQM-LU

Terdapat dua cara untuk menentukan nilai kecerahan langit yang

digunakan berdasarkan data hasil pengukuran menggunakan SQM-LU. Nilai

kecerahan langit yang dipilih yakni pada saat malam tergelap yang ditunjukkan

oleh nilai kecerahan terbesar. Cara pertama, yaitu dengan mengurutkan nilai

kecerahan langit yang dimulai dari terbesar hingga terkecil, sehingga urutan

pertama didapatkan sebagai malam tergelap. Sedangkan cara kedua, yaitu dengan

membuat grafik perubahan kecerahan langit sepanjang malam, malam tergelap

pada grafik ditunjukkan oleh puncak tertinggi. Langkah ini terdapat dalam

lampiran 5.

3.9.2 Pengolahan data satelit DMSP

Perangkat lunak pengolah citra nir biaya ImageJ digunakan untuk mengolah data satelit DMSP yang berupa citra malam hari. ImageJ merupakan aplikasi yang berbasis Java. ImageJ dapat diunduh dari situs rsbweb.nih.gov/ij/‎ Langkah pengolahan citra satelit dapat dilihat pada lampiran 6. Setelah langkah

ini selesai dilakukanlah smoothing.

Smoothing data ditujukan untuk memperhalus data yang akan diolah, sehingga data mendekati normal. Cara ini dibutuhkan untuk data satelit DMSP

karena nilai setiap piksel tidak bisa langsung dibandingkan dengan tahun-tahun

yang berbeda. Untuk melakukan ini, diperlukan pengukuran nilai piksel untuk

wilayah pengamatan setiap tahunnya menggunakan perangkat pengolah citra

ImageJ. Pengukuran tersebut terdiri dari Area, Mean, StdDev, Max, Min, dan

(42)

Area Mean

IntDen  (12)

Persamaan (12) merupakan persamaan yang menghubungkan antara Mean

dan IntDen dari daerah yang dipilih (ROI = Region Of Interest), misalkan kota Bandung. Karena luas area yang diukur selalu konstan setiap tahunnya (kota yang

sama), maka: Dari grafik ini didapatkan persamaan linear yang nantinya akan digunakan untuk

membuat grafik IntDen terhadap tahun. Grafik ini dibuat dengan memasukkan data mean yang telah diukur beserta standar deviasi . Persamaan dari grafik inilah yang akan digunakan untuk menghitung potensi kadar polusi cahaya kota pada

tahun-tahun mendatang.

3.9.3 Perubahan skala citra satelit DMSP dan metode penentuan area

pengukuran

Perubahan skala ini ditujukan untuk mengetahui luas area sebenarnya

(dalam km) pada wilayah yang akan dilakukan pengukuran. Skala yang diubah

dengan bantan Google Earth memiliki metode tersendiri untuk menentukan batas area pengukuran. Sedangkan, untuk skala yang diubah berdasarkan resolusi citra

satelit DMSP, batas area pengukuran ditentukan dengan penyesuaian secara visual

(mengambil area dalam kota/ bagian terang).

3.9.3.1Penggunaan Google Earth

Skala pada citra diubah menjadi satuan kilometer dengan bantuan peta

(43)

cukup berdekatan pada citra satelit untuk ditentukan jaraknya. Penentuan jarak ini

digunakan bantuan Google Earth. Dua lokasi yang dipilih yakni Sumedang – Majalengka karena memiliki jarak yang cukup dekat dengan Bandung dan jarak

antara keduanya pun tidak terlalu jauh sehingga pengaruh kelengkungan bumi

relatif tidak berpengaruh dalam penentuan jaraknya. Kedua kota ini memiliki luas

area yang tidak terlalu luas sehingga mudah untuk menentukan pusat kota ataupun

pusat keramaian. Jarak kedua kota ini setelah dilakukan pengukuran dengan

bantuan Google Earth yaitu 33,9 km. Kemudian pada ImageJ digunakan menu

toolbar Straight Lines untuk menghubungkan kedua lokasi. Setelah selesai ditandai, kemudian skala citra satelit diubah menggunakan menu utama Analyze/

Set Scale. Selajutnya muncul jendela baru Set Scale untuk mengubah skala, dengan Known distance diisi sebagai jarak yang diketahui (33,9 km) dan Unit length diisi sebagai satuan km.

Gambar 3.3. Tampilan Google Earth untuk Pengukuran Jarak Sumedang – Majalengka. Ujung-ujung garis penghubung terletak pada pusat kota yang telah

(44)

Gambar 3.4. Tampilan Straight Lines di Sumedang – Majalengka

Gambar 3.5. Tampilan Menu Analyze untuk Set Scale

(45)

Untuk menentukan batas area kota Bandung yang akan diukur polusi

cahayanya, digunakan Horizon Distance (HD) yang berkaitan dengan ketinggian wilayah tersebut. Karena wilayah kota Bandung memiliki ketinggian 768 m dpl,

maka HD yang didapatkan 7,31 km. Hal ini berkaitan dengan trigonometri untuk

melingkupi seluruh area kota Bandung. HD yang digunakan merupakan

modifikasi dari HD yang telah ada. Modifikasi ini dilakukan agar wilayah

Bandung dapat terukur secara optimal yang disesuaikan dengan ketinggiannya.

Formula dari modifikasi ini merupakan fungsi trigonometri dari ketinggian kota

Bandung.

Grafik 3.1. Modifikasi Horizon Distance Kota Bandung

Kota Bandung memiliki luas wilayah L=167,67 km2

(http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bandung), sehingga jika didekati dengan luas

area lingkaran, kota Bandung akan memiliki jari-jari atau Horizon Distance (HD): 2

r

L (14)

L r

(15a)

km

(46)

Horizon distance dan ketinggian suatu wilayah dihubungkan oleh trigonometri. Hal ini berkaitan dengan luas area yang dapat diterangi oleh lampu

yang memiliki ketinggian tertentu.

Gambar 3.7. Pendekatan Pencahayaan Lampu dengan Trigonometri (Sumber gambar: The Institution of Lighting Engineers-ILE). HD: Horizon

Distance dan e: Elevation

Karena kota Bandung memiliki jari-jari atau HD 7,31 km dan ketinggian 768

mdpl (e = 0,768 km dpl), maka sudut pencahayaan yang berkaitan adalah:

e

terlingkupi oleh batas area pengukuran pada ImageJ.

Gambar 3.8. Ilustrasi Trigonometri

Lingkaran area yang melingkupi kota Bandung digambarkan pada citra

satelit menggunakan menu toolbar Oval. Diameter lingkaran disesuaikan dengan diameter kota Bandung, yakni dua kali HD sebesar 14,62 km (pada ImageJ

didekati dengan nilai 14,05 km karena tidak bisa mendapatkan nilai yang sama).

Diameter akan muncul sebagai “w” dan “h” pada ImageJ sehingga akan memudahkan dalam pembentukan lingkaran. Pinggiran (sisi kiri atas) dari

e

HD

(47)

lingkaran muncul sebagai koordinat X,Y sehingga memudahkan dalam

menempatkan lingkaran pada citra pada tahun yang berbeda. Koordinat tersebut

[32329,33 ; 9202,95].

Gambar 3.9. Area Batas Ukur Kota Bandung dengan Pendekatan Horizon Distance

3.9.3.2Penggunaan resolusi satelit

Skala pada citra diubah menjadi satuan kilometer yang disesuaikan dengan

resolusi citra satelit DMSP, yaitu 0,56 km. Dengan menggunakan menu utama

Analyze/ Set Scale. Selajutnya muncul jendela baru Set Scale untuk mengubah skala, dengan Known distance diisi oleh resolusi yang diketahui dan Unit length

diisi sebagai satuan km. Kemudian bagian Global ditandai (√) agar setiap citra

yang akan dilakukan pengukuran tidak perlu disesuaikan kembali skalanya.

(48)

Gambar 3.11. Tampilan Jendela Set Scale

Citra diperbesar pada kota Bandung sebesar 800%. Kemudian lingkaran

area yang melingkupi kota Bandung digambarkan pada citra satelit menggunakan

menu toolbar Oval. Diameter lingkaran disesuaikan dengan area kota Bandung

yang terang, yakni 8,4 km. Diameter akan muncul sebagai “w” dan “h” pada

ImageJ sehingga akan memudahkan dalam pembentukan lingkaran. Pinggiran (sisi kiri atas) dari lingkaran muncul sebagai koordinat X,Y sehingga

memudahkan dalam menempatkan lingkaran pada citra ditahun yang berbeda.

Koordinat tersebut [19322,80 ; 5500,88].

Gambar 3.12. Area Batas Ukur Kota Bandung

3.9.4 Penentuan kadar polusi cahaya

Berdasarkan data SQM-LU, dapat diketahui potensi polusi cahaya terkini

di suatu kota atau wilayah tertentu. Kadar polusi cahaya ini dapat

(49)

menggunakan skala pengukuran Bortle Dark-Sky Scale dan Pembagian Situs menurut Murdin. Sedangkan untuk pengukuran kadar polusi cahaya secara

kuantitatif dapat menggunakan formula Walker yang ditunjukkan oleh persamaan

(11). Formula ini digunakan untuk data hasil pengamatan SQM-LU yang

mengukur kecerahan langit latar belakang dan kecerahan langit akibat polusi

cahaya (Sky Glow).

Untuk menentukan pemborosan energi dan biaya yang dikeluarkan

tentulah diperlukan nilai L (efficacy) bergantung terhadap jenis lampu yang digunakan dan biaya per kWh. Sky Glow yang dihasilkan akibat penerangan berlebih didominasi oleh lampu Penerangan Jalan Umum (PJU), sehingga untuk

menghitung kadar polusi cahaya digunakanlah efficacy untuk berbagai jenis lampu PJU. Lampu PJU terdiri dari bermacam-macam jenis berdasarkan

karakteristik dan penggunaannya.

Tabel 3.3. Jenis Lampu PJU Berdasarkan Karakteristiknya (sumber: SNI7391 tentang Spesifikasi Penerangan Jalan di Perkotaan)

(50)

tekanan tinggi (SON) 20.000 250; 400

Tabel 3.4. Keterangan Jenis Lampu PJU

(Sumber: SNI7391 tentang Spesifikasi Penerangan Jalan di Perkotaan)

Jenis Lampu Keterangan

Lampu tabung

fluorescent tekanan rendah

 Untuk jalan kolektor dan lokal;

 Efisiensi cukup tinggi tetapi berumur pendek;

 Jenis lampu ini masih digunakan untuk hal-hal yang terbatas.

Lampu gas

merkuri tekanan

tinggi (MBF/U)

 Untuk jalan kolektor, lokal, dan persimpangan;  Efisiensi rendah, umur panjang, dan ukuran lampu

 Untuk jalan kolektor, lokal, persimpangan, terowongan, tempat peristirahatan (rest area);

 Efisiensi sangat tinggi, umur cukup panjang, ukuran lampu besar sehingga sulit untuk mengontrol

cahayanya dan cahaya lampu sangat buruk karena

 Untuk jalan tol, arteri, kolektor, persimpangan besar/luas dan interchange;

 Efisiensi tinggi, umur sangat panjang, ukuran lampu kecil, sehingga mudah pengontrolan cahayanya;  Jenis lampu ini sangat baik dan sangat dianjurkan

untuk digunakan.

(51)

Bulan Harga/kWh (Rp)

Januari – Maret 861

April – Juni 904

Juli – September 949

Mulai Oktober 997

Untuk penentuan kadar polusi cahaya berdasarkan data satelit DMSP

digunakan ImageJ seperti pada pengolahan data. Secara kualitatif, kadar polusi cahaya dapat dilihat perkembangannya setiap tahun sejak tahun 1992 hingga

2012. Potensi polusi cahaya ditahun mendatang dapat diprediksi pula

menggunakan ekstrapolasi dari pendekatan persamaan yang dibentuk oleh grafik

Integrated Density. Selain secara kualitatif, kadar polusi cahaya berdasarkan data satelit DMSP dapat diprediksi secara kuantitatif. Kadar polusi cahaya dalam

bentuk Integrated Density dapat diubah ke dalam besaran energi, tetapi hanya untuk satelit F12 dan F16 karena kedua satelit ini telah dikalibrasi sebelum

peluncurannya. Konversi tersebut yakni, F12: 1,47864 × 10-10 Watt/cm2/sr dan

F16: 1,51586 × 10-10 Watt/cm2/sr.

3.10 Interpretasi

Hasil pengolahan data satelit DMSP ditampilkan dalam bentuk grafik

perubahan polusi cahaya setiap tahunnya. Grafik ini didekati dengan beberapa

persamaan, sehingga dapat menginterpretasikan kadar polusi cahaya kota

Bandung di tahun-tahun mendatang. Data hasil pengamatan SQM-LU di kota

Bandung merupakan data polusi cahaya terbaru pada tahun 2013, sedangkan data

satelit DMSP merupakan data polusi cahaya terdahulu (1992 – 2012). Kedua data ini dapat dikombinasikan sehingga mendapatkan grafik perkembangan polusi

cahaya kota Bandung dan dapat diketahui laju pertumbuhannya. Selain itu, grafik

ini dapat dibandingkan dengan perkembangan populasi kota Bandung sehingga

(52)

Untuk melihat pengaruh polusi cahaya terhadap perekonomian kota

Bandung, dapat dilihat dari nilai pemborosan energi listrik yang digunakan pada

tahun 2013. Sedangkan untuk melihat pengaruh polusi cahaya terhadap astronomi,

dapat dilihat dari nilai kecerahan langit yang terukur. Nilai kecerahan yang

terukur ini dapat dibandingkan dengan Bortle Dark Sky Scale, sehingga dapat dianalisis pengaruh polusi cahaya terhadap para astronom. Dapat pula lokasi

pengamatan diidentifikasi menggunakan pembagian situs menurut Murdin,

(53)

BAB V mengindikasikan tidak dapat terlihatnya galaksi Bima Sakti, planet dapat terlihat

cukup jelas dengan mata telanjang, dan hanya beberapa bintang terang yang

terlihat. Selain itu, kota Bandung termasuk pula dalam kategori region 0 menurut

pembagian situs Murdin karena wilayah penelitian merupakan pusat kota yang

relatif tidak terdapat aktivitas astronomi.

Kadar energi yang terukur di Kopo lebih besar dari Sadang Serang karena

memiliki jarak yang lebih jauh dengan Observatorium Bosscha, sesuai dengan

formula Walker (intensitas cahaya akan berbanding terbalik dengan jarak).

Berdasarkan kadar energi ini, maka kota Bandung memiliki energi rata-rata dari

sky glow selama tahun 2013 sebesar 968 ribu kWh dengan biaya Rp 898 juta.

Data satelit DMSP mengukur kadar polusi cahaya berdasarkan intensitas

dari pencahayaan kota. Polusi cahaya ini teridentifikasi sebagai Integrated density

yang mengalami kecenderungan peningkatan sejak tahun 1992-2012. Pada tahun

tertentu, Integrated density mengalami penurunan yang signifikan sehingga untuk menghitung kadar polusi cahaya di tahun mendatang digunakan data sejak tahun

2006 hingga 2012. Penyebab dari penurunan Integrated density dikarenakan perubahan gain pada satelit untuk mendapatkan citra satelit yang baik. Peningkatan kadar polusi cahaya yang terjadi pada tahun 2006 – 2012

menunjukkan laju sebesar 74,8 Watt/tahun dalam setiap 55,5 km2. Berdasarkan

laju perkembangan polusi cahaya ini, maka kota Bandung pada tahun 2013

berpotensi terjadi pemborosan energi listrik sebesar 22 ribu kWh dengan biaya Rp

(54)

Korelasi antara kadar polusi cahaya menggunakan SQM-LU dan satelit

DMSP dapat dihubungkan dengan membandingkan energi sky glow. Faktor koreksi yang didapat merupakan perbandingan antara besar energi sky glow tiap satuan luas hasil data satelit DMSP dengan hasil SQM-LU. Nilai faktor konversi

ini sebesar 3,3 × 10-4 yang menunjukkan energi sky glow hasil pengukuran SQM-LU lebih besar. Hal ini dikarenakan data SQM-SQM-LU masih terpengaruh oleh awan

dan cahaya bulan.

5.2 Rekomendasi

Dengan berkembangnya kadar polusi cahaya setiap tahunnya, maka

diharapkan pemerintah dapat mengontrol pemakaian listrik untuk PJU.

Pengontrolan ini dapat berupa penginstalasian lampu yang optimal dengan

mengganti jenis lampu LPS dan pemberian tudung. Untuk mendapatkan data yang

lebih baik, maka penelitian selanjutnya diharapkan melakukan hal-hal di bawah

ini:

1. Pengamatan kecerahan langit menggunakan SQM dilaksanakan pada musim

kemarau, sehingga memiliki kondisi langit yang relatif cerah tak berawan.

2. Pengamatan spektroskopi langit dekat horison (jarak zenith > 450) untuk

mengetahui sumber dan jenis lampu. Atau dapat pula dengan mengetahui

persentase keberadaan masing-masing jenis lampu di kota Bandung.

3. Penambahan lokasi pengambilan sampel kecerahan langit agar dapat

merepresentasikan kota Bandung.

4. Pengolahan citra satelit untuk tahun 2013 sehingga didapatkan korelasi secara

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Bortle, J.E. (2001) Introducing The Bortle Dark-Sky Scale. Sky & Telescope.

Cinzano, P., (2005) Night Sky Photometry with Sky Quality Meter. First draft, ISTIL Internal Report, n. 9, v.1.4 2005, ©2005 ISTIL, Thiene.

Clark, B.A.J. (2009) A Rationale for The Mandatory Limitation of Outdoor Lighting. Astronomical Society of Victoria Inc. Australia.

Cline, J. (2013) Charge-coupled device. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia. org/wiki/Charge-coupled_device [Diakses 4Oktober 2013].

Commons, F. (2006). File:Orion1 big.jpg. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia. org/wiki/File:Orion1_big.jpg [Diakses 5 Oktober 2013].

DMSP Data Availability. [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/ availability.html [Diakses 8 Nopember 2013].

DMSP Archive Description. [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/ archive.html [Diakses 19 Juni 2013].

DMSP-OLS Nighttime Lights Time Series Version 4. [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/dmsp/downloadV4composites.html [Diakses 20 Juni 2013].

Eteq. (2008). File:SDSSFaceplate.gif. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia. org/wiki/ File:SDSSFaceplate.gif [Diakses 4 Oktober 2013].

F. Azzahidi, M. Irfan, J. A. Utama (2011) The Measurement of Bosscha Observatory Sky Brightness Using Portable Telescope and CCD. Paper of Bosscha User Meeting

Herdiwijaya D., Nurlaela, S., Fadilah, Y., Kurnia, S. dan Adam. (2011) Waktu Penentuan Gerhana Bulan Total 16 Juni 2011 Berdasarkan Sky Quality Meter.

Prosidings Seminar Himpunan Astronomi Indonesia.

(56)

Hoffman, R.E. (2005) Rational Design of Lunar-Visibility Criteria. Jurnal Observatory, Vol.125 p.156-168

IDA, Estimating the Level of Sky Glow Due to Cities. International Dark-Sky Association (IDA) — Information Sheet #11

International Dark-Sky Association (IDA) Practical Guide

Isobe, S., Hamamura, S. (1998) Ejected City Light of Japan Observed by a Defense Meteorological Satellite Program. Preserving the Astronomical Windows, ASP Conference Series, Vol. 139.

Komaruzaman, R. (2013). Kota Bandung [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia. org/wiki/Kota_Bandung [Diakses 11Oktober 2013].

Kusterer, J.M. (2013). Appendix C.2: DMSP | 1.1 SSM/I Description | 1.2 SSM/T2 Description [Online]. Tersedia: https://eosweb.larc.nasa.gov/ ACEDOCS/data/appen.c.2.html#dmsp [Diakses 26 Nopember 2013].

Menteri Energi dan Sumber Daya Meneral (2012) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No.30 Tahun 2012 tentang Tarif Tegangan Listrik.

Nightsat [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/night_sat/nightsat.html [Diakses 20Juni 2013].

NOAA NGDC [Online]. Tersedia: www.ngdc.noaa.gov/dmsp [Diakses 20 Juni 2013].

Ogden, E. dan Lesley, J. (1996) Collision Course: The Hazards of Lighted Structures and Windows to Migrating Birds. Fatal Light Awarness Program (FLAP), Paper 3

OLS - Operational Linescan System [Online. ] Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/ sensors/ols.html [Diakses 19 Juni 2013].

(57)

Schaefer, B.E. (1990) Telescopic Limiting Magnitudes. Publications of The Astronomical Society of The Pacific, 102: 212-229.

Senja, M. A. (1999) Penentuan Kecerlangan Langit Malam di Obsevatorium Bosscha-Lembang: Observasi dan Model. Skripsi, Jurusan Astronomi FMIPA, Institut Teknologi Bandung.

SNI7391:2008. Spesifikasi Penerangan Jalan di Kawasan Perkotaan.

Soerfm. (2013) File:CCD.jpg [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/ File:CCD.jpg [Diakses 4 Oktober 2013].

SQM-LU User Manual, Revision 1.3. (2011). Unihedron.

SSIES Ion Scintillation Monitor [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/ sensors/ssies.html [Diakses 19 Juni 2013].

SSJ/4- Precipitating Electron and Ion Spectrometer [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/sensors/ssj4.html [Diakses 19 Juni 2013].

SSM Magnetometer [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/sensors/ ssm.html [Diakses 19 Juni 2013].

SSM/I- Microwave Imager [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/sensors/ ssmi.html [Diakses 19 Juni 2013].

SSMT/2 Atmospheric Water Vapor Profiler [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa. gov/eog/sensors/ssmt2.html [Diakses 19 Juni2013].

SSM/T- Atmospheric Temperature Profiler [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa. gov/eog/sensors/ssmt.html [Diakses 19 Juni 2013].

Utama, J.A. “Polusi Cahaya: Permasalahan dan Solusi”. Makalah pada Mata Kuliah Astronomi ITB, Bandung.

Utama, J.A., Aviyanti, L. (2009) Polusi Cahaya: Dampak dan Solusi yang Ditawarkan. Dalam: Premadi et al.(penyunting) Proceedings of the Conference of the Indonesia Astronomy and Astrophysics, 29-31 October 2009.

(58)

0957393/Penyelamatan.Observatorium.Bosscha.dari.Polusi.Cahaya.Didorong [Diakses 9 Januari 2014].

Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) [Online]. Tersedia: npp.gsfc. nasa.gov/viirs.html [Diakses 23 Agustus 2013].

Gambar

Gambar 4.10. Ilustrasi Sudut Pengukuran SQM-LU ......................................
Gambar 1.2. Langit Berpolusi Cahaya (kiri) dan Langit Tanpa Polusi Cahaya (kanan) (Sumber gambar: IDA Practical Guide)
Gambar 1.4. Sky Glow arah kota Bandung dari kawasan Observatorium Bosscha. Diambil tanggal 23 Juni 2010 jam 22.00 WIB dengan waktu bukaan 13 detik (Sumber gambar:Alfan Nasrulloh)
Gambar 1.5. Light Trespass  IDA Practical Guide
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penentuan ukuran partikel dan percobaan pembagian serbuk dapat dikerjakan dengan pengayakan; yaitu melewati serbuk dengan goncangan mekanis menembus suatu susunan ayakan

In my capacity as the UK Director of Operations for One World Tours Limited, one of my jobs is to ensure every client has the best tour possible, so here are my top 5 suggestions

The limitation capability of a circuit breaker is that characteristic whereby only a current less than the prospective fault current is allowed to flow under short-circuit

Sehubungan dengan adanya libur Idul Fitri 1 dan 2 Syawal 1436 H dan dilanjutkan oleh cuti bersama, maka dengan ini disampaikan kepada semua pihak yang terkait

39 Bali Indi (Ex Rani) Danau Buyan No.. 127 Taman Wisata

Verifikator PPK melakukan pengecekan dan penilaian terhadap keabsahan peserta Jamkesmas yang telah dilegalisasi oleh PT Askes dalam bentuk Surat Keabsahan Peserta (SKP). Peserta

Küresel rekabet ve bu rekabette örgütlerin dayanma noktası olarak öne çıkan yüksek bilgi seviyesine sahip çalışanlar, bir dönemin hiyerarşik ve katı yapılı

Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa masih rendahnya hasil belajar anak tunarungu di SLB yaitu SLB Negeri Banjar dan SLB YPPP Pasundan khusunya