PENGUKURAN POLUSI CAHAYA KOTA BANDUNG
MENGGUNAKAN FOTOMETER PORTABEL DAN
CITRA MALAM HARI DEFENSE
METEOROLOGICAL SATELLITE PROGRAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari
Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Jurusan Pendidikan Fisika
Program Studi Fisika
Oleh
LUTHFIANDARI 0906983
JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
Pengukuran Polusi Cahaya Kota Bandung
Menggunakan Fotometer Portabel dan Citra
Malam Hari Defense Meteorological Satellite
Program
Oleh
Luthfiandari
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
© Luthfiandari 2014
Universitas Pendidikan Indonesia
Februari 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,
LUTHFIANDARI
PENGUKURAN POLUSI CAHAYA KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN
FOTOMETER PORTABEL DAN CITRA MALAM HARI DEFENSE METEOROLOGICAL SATELLITE PROGRAM
disetujui dan disahkan oleh pembimbing:
Pembimbing I
Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc
NIP. 196302261990011001
Pembimbing II
Judhistira Aria Utama, M.Si
NIP. 197703312008121001
Mengetahui
Ketua Jurusan Pendidikan Fisika
Dr. Ida Kaniawati, M.Si
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “PENGUKURAN POLUSI CAHAYA KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN FOTOMETER PORTABEL DAN CITRA MALAM HARI DEFENSE METEOROLOGICAL SATELLITE PROGRAM” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri. Saya tidak melakukan penjiplakan atau
pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku
dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung
resiko/sanksi apabila di kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran etika
keilmuan atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.
Bandung, Februari 2014
Yang membuat pernyataan,
Luthfiandari
PENGUKURAN POLUSI CAHAYA KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN
FOTOMETER PORTABEL DAN CITRA MALAM HARI DEFENSE
METEOROLOGICAL SATELLITE PROGRAM
Nama : Luthfiandari
NIM : 0906983
Pembimbing : 1. Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc.
2. Judhistira Aria Utama, M.Si.
Program Studi : S-1 Fisika, FPMIPA, UPI
ABSTRAK
Polusi cahaya (dalam bentuk sky glow) dapat merugikan pengamatan astronomi dan menyebabkan pemborosan energi listrik, maka dilakukanlah penelitian polusi cahaya di kota Bandung untuk mengetahui pengaruhnya terhadap astronomi dan ekonomi. Data kecerahan langit di kota Bandung (Sadang Serang dan Kopo), diambil dengan menggunakan fotometer portabel yaitu Sky Quality Meter (SQM-LU) yang telah dilaksanakan pada bulan Maret–Oktober 2013. Citra malam hari untuk rentang tahun 1992–2012 diperoleh dari Defense Meteorological Satellite Program (DMSP). Hasil penelitian mengindikasikan bahwa pada tahun 2013 kota Bandung termasuk ke dalam kategori region 0, sedangkan kualitas kecerahan langitnya termasuk ke dalam kelas 8 skala Bortle. Berdasarkan data SQM-LU, potensi pemborosan energi listrik kota Bandung selama tahun 2013 sebesar 968 ribu kWh yang setara dengan pemborosan Rp 898 juta, sedangkan berdasarkan data DMSP berpotensi terjadi pemborosan energi listrik sebesar 22 ribu kWh atau Rp 21 juta. Perbedaan hasil kedua pengukuran di atas memunculkan faktor konversi sebesar 3,3 × 10-4.
PENGUKURAN POLUSI CAHAYA KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN
FOTOMETER PORTABEL DAN CITRA MALAM HARI DEFENSE
METEOROLOGICAL SATELLITE PROGRAM
Nama : Luthfiandari
NIM : 0906983
Pembimbing : 1. Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc.
2. Judhistira Aria Utama, M.Si.
Program Studi : S-1 Fisika, FPMIPA, UPI
ABSTRACT
Light pollution (in sky glow form) can harm astronomers and it can be bringing on energy waste, then must be done study of light pollution on Bandung city to find out influence on astronomy and economy. Data of sky brightness on Bandung city (Sadang Serang and Kopo), has been taken by using portable photometer that is Sky Quality Meter (SQM-LU) which has been done at Mart– October 2013. Night earth images within years 1992–2012 are obtained from Defense Meteorological Satellite Program (DMSP). Result of this studied has been indicating on year 2013 that Bandung city included on region 0, whereas quality of sky brightness included on 8th class of Bortle-scale. Based on data of SQM-LU, potential of electric energy waste at Bandung city during 2013 is 968 thousands kWh which equivalent to 898 millions IDR, whereas based on DMSP data has amount potential of electric energy waste is 22 thousands kWh or Rp 21 millions IDR. Difference of these study result emerge converted factor amounts 3.3 × 10-4.
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis limpahkan kehadirat Allah SWT. kerena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGUKURAN POLUSI CAHAYA KOTA BANDUNG MENGGUNAKAN FOTOMETER PORTABEL DAN CITRA MALAM HARI DEFENSE METEOROLOGICAL SATELLITE PROGRAM”. Penyusunan skripsi ini ditujukan
untuk memenuhi sebagian dari syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains
Kegiatan penyusunan skripsi ini telah terlaksana pada tanggal 23 Maret
2013 hingga 30 Nopember 2013. Sebagaimana judul yang telah dipaparkan, maka
kegiatan penelitian ini menggunakan instrumen Unihedron SQM-LU yang
menghasilkan nilai kecerahan langit malam dalam satuan MPSAS (Magnitude per Square ArcSec). Selain itu untuk memperoleh perubahan kecerhan langit dalam jangka panjang digunakan pula citra malam hari yang berasal dari satelit DMSP.
Terselesaikannya skripsi ini tak luput dari bantuan berbagai pihak, baik
instansi maupun pihak tertentu. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc., selaku pembimbing I;
2. Judhistira Aria Utama, M.Si, selaku pembimbing II;
3. semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga dengan terselesaikannya skripsi ini dapat menjadi salah satu
sumber pengetahuan bagi pembaca.
Bandung, Februari 2014
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunianya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa penulis
mengucapkan terimaksih pula kepada pihak-pihak terkait sehingga penelitian ini
dapat terselenggara. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ida Kaniawati, M.Si, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA
UPI.
2. Endi Suhendi, M.Si, selaku dosen Pembimbing Akademik.
3. Drs. Waslaluddin, M.T, selaku dosen koordinator mata kuliah skripsi.
4. Dr. Dhani Herdiwijaya, M.Sc, selaku dosen Pembimbing I yang telah
memberi masukkan dalam penelitian dan penulisan skripsi.
5. Judhistira Aria Utama, M.Si, selaku dosen Pembimbing II yang telah
memberikan masukan dan saran dalam penyusunan skripsi.
6. Ibu Atit, selaku laboran laboratorium Bumi Antariksa.
7. Ibu Rita dan Ibu Elly, selaku tata usaha dan pengurus perpustakaan
Observatorium Bosscha.
8. Kedua orang tuaku, Bpk. Saimun dan Ibu Cholifah yang telah memberi
dukungan baik moril maupun materil.
9. Kartini Kartikasari, selaku teman yang membantu dalam pengamatan di
Kopo.
DAFTAR ISI
2.1.1 Sumber kecerahan langit malam ... 11
2.1.2 Besaran kecerahan langit... 12
2.3Detektor Portabel Pengukur Polusi Cahaya... 23
2.4.1 Defense Meteorological Satellite Program (DMSP) ... 28
2.4.2 Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRIS) ... 32
2.4.3 NightSat ... 32
BAB III METODE PENELITIAN, DATA, DAN REDUKSI DATA 3.1Metode Penelitian ... 33
3.6.2 Pengukuran tidak langsung ... 39
3.6.2.1Deskripsi arsip DMSP ... 39
3.9.3 Perubahan skala citra satelit DMSP dan metode penentuan
area pengukuran ... 45
3.9.3.1Penggunaan Google Earth ... 45
3.9.3.2Penggunaan resolusi satelit ... 50
3.9.4 Penentuan kadar polusi cahaya ... 51
3.10Interpretasi ... 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengukuran SQM-LU ... 55
4.2 Satelit DMSP ... 63
4.3 Korelasi SQM-LU dan Satelit DMSP ... 75
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan ... 79
5.2 Rekomendasi ... 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Bortle Dark-Sky Scale ... 14
Tabel 2.2. Pembagian Situs Menurut Murdin ... 17
Tabel 3.1. Spesifikasi SQM ... 36
Tabel 3.2. Sebaran Satelit Setiap Tahunnya ... 42
Tabel 3.3. Jenis Lampu PJU Berdasarkan Karakteristiknya ... 52
Tabel 3.4. Keterangan Jenis Lampu PJU ... 52
Tabel 3.5. Tarif Tegangan Listrik untuk PJU pada Tahun 2013 ... 53
Tabel 4.1. Variasi Nilai Kecerahan Langit Tertinggi (Terelap) Kota Bandung ... 55
Tabel 4.2. Pemborosan Energi Listrik Kota Bandung selama 1 Bulan dengan Sampel Sadang Serang ... 59
Tabel 4.3. Biaya Pemborosan Listrik kota Bandung Selama Tahun 2013 dengan Sampel Sadang Serang ... 60
Tabel 4.4. Pemborosan Energi Listrik Kota Bandung selama 1 Bulan dengan Sampel Kopo ... 61
Tabel 4.5. Biaya Pemborosan Listrik kota Bandung Selama Tahun 2013 dengan Sampel Kopo ... 62
Tabel 4.6. Rata-rata Biaya Pemborosan Energi Setiap Jenis Lampu ... 62
DAFTAR BAGAN
Bagan 3.1. Alur Proses Peneitian ... 35
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Jenis Pencahayaan Dalam dan Luar Ruangan ... 1
Gambar 1.2. Langit Berpolusi Cahaya (kiri) dan Langit Tanpa Polusi Cahaya (kanan) ... 2
Gambar 1.3. Glare ... 3
Gambar 1.4. Sky Glow arah kota Bandung dari kawasan Observatorium Bosscha ... 3
Gambar 1.5. Light Trespass ... 4
Gambar 1.6. Citra Bumi Malam Satelit F10 1992 ... 6
Gambar 1.7. Citra Bumi Malam Satelit F18 2010 ... 6
Gambar 2.1. Konstelasi Orion ... 12
Gambar 2.2. SQM-LU dengan koneksi USB ... 24
Gambar 2.3. Salah satu keping sensor CCD ... 26
Gambar 2.4. Tiga Puluh Array Sloan Digital Sky Survey ... 27
Gambar 2.5. Ilustrasi Satelit DMSP ... 29
Gambar 2.6. Profil Temperatur dari SSM/T ... 30
Gambar 2.7. Data Sensor SSM ... 31
Gambar 2.8. Ilustrasi Satelit VIIRIS ... 32
Gambar 2.9. Citra NightSat ... 32
Gambar 3.1. SQM-LU Terpasang pada Tripod ... 38
Gambar 3.3. Tampilan Google Earth untuk Pengukuran Jarak Sumedang –
Majalengka ... 46
Gambar 3.4. Tampilan Straight Lines di Sumedang – Majalengka ... 46
Gambar 3.5. Tampilan Menu Analyze untuk Set Scale ... 47
Gambar 3.6. Tampilan Jendela Set Scale ... 47
Gambar 3.7. Pendekatan Pencahayaan Lampu dengan Trigonometri ... 48
Gambar 3.8. Ilustrasi Trigonometri ... 49
Gambar 3.9. Area Batas Ukur Kota Bandung dengan Pendekatan Horizon Distance ... 49
Gambar 3.10. Tampilan Menu Analyze untuk Set Scale ... 50
Gambar 3.11. Tampilan Jendela Set Scale ... 50
Gambar 3.12. Area Batas Ukur Kota Bandung ... 51
Gambar 4.1. Ilustrasi Arah Pemasangan Lampu ... 60
Gambar 4.2. Ilustrasi Arah Pencahayaan ... 60
Gambar 4.3. Batas Area Pengukuran Kota Bandung untuk Satelit F18 Tahun 2010 (kiri: perbesaran 1200%, kanan: perbesaran 800%) ... 64
Gambar 4.4. Citra Satelit Kota Bandung DMSP F10 tahun 1992-1994 ... 65
Gambar 4.5. Citra Satelit Kota Bandung DMSP F12 tahun 1994 – 1999 ... 66
Gambar 4.6. Citra Satelit Kota Bandung DMSP F14 tahun 1997 – 2003 ... 66
Gambar 4.7. Citra Satelit Kota Bandung DMSP F15 tahun 2000 – 2007 ... 66
Gambar 4.9. Citra Satelit Kota Bandung DMSP F18 tahun 2010 – 2012 ... 67
DAFTAR GRAFIK
Grafik 3.1. Modifikasi Horizon Distance Kota Bandung ... 48
Grafik 4.1. Kecerahan Langit Malam di Sadang Serang pada 29 Maret 2013 57
Grafik 4.2. Kecerahan Langit Malam di Observatorium Bosscha pada 29 Maret 2013 ... 58
Grafik 4.3. Kecerahan Langit Malam di Kopo pada 30 Maret 2013 ... 58
Grafik 4.4. Perubahan Integrated Density Kota Bandung 1992 – 2012 ... 65
Grafik 4.5. Pertumbuhan Populasi Kota Bandung Tahun 2001-2010 ... 67
Grafik 4.6. Perubahan Integrated Density Jakarta 1992 – 2012 ... 68
Grafik 4.7. Perubahan Integrated Density Lembang 1992 – 2012 ... 69
Grafik 4.8. Rata-Rata Nilai Piksel Kota Bandung Tahun 1992-2012 ... 70
Grafik 4.9. Korelasi Integrated Density dengan Mean di Kota Bandung Tahun 1992-2012 ... 71
Grafik 4.10. Perubahan Integrated Density Hasil Smoothing di Kota Bandung Tahun 1992-2012 ... 71
Grafik 4.11. Perubahan Integrated Density Kota Bandung Tahun 2006-2012 72 Grafik 4.12. Perubahan Integrated Density Hasil Smoothing di Kota Bandung Tahun 2006-2012 ... 73
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Contoh Data Hasil Pengukuran SQM-LU di Sadang Serang
pada 29 Maret 2013 ... 85
Lampiran 2. Contoh Data Hasil Pengukuran SQM-LU di Kopo pada 30 Maret 2013 ... 86
Lampiran 3. Contoh Data Hasil Pengukuran SQM-LU di Observatorium Bosscha pada 29 Maret 2013 ... 87
Lampiran 4. Citra MalamHari Satelit DMSP ... 88
Lampiran 5. Langkah Kerja Pengolahan Data SQM-LU ... 99
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penerangan buatan di malam hari sudah menjadi kebutuhan manusia
modern yang sangat penting dan hal ini sudah berkembang sejak akhir abad
ke-19. Sudah tak terhitung lagi pemasangan lampu untuk memenuhi kebutuhan
dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Dengan bertambahnya penerangan,
diikuti pula oleh bertambahnya aktivitas manusia hingga malam hari. Penerangan
ini dapat difungsikan untuk berbagai aspek kebutuhan khusus (lihat Gambar 1.1),
diantaranya sebagai penerangan khusus (task lighting), penerangan aksentuasi (accent lighting) dan penerangan sekitar (ambient lighting). Berbagai macam penerangan ini sangatlah wajar digunakan dan dapat bermanfaat besar dalam
menerangi lingkungan sekitar, terutama pada malam hari. Hal ini dapat menjadi
masalah jika dapat mengganggu habitat hewan liar dan/atau kehidupan manusia
yang dikenal sebagai polusi cahaya. Polusi cahaya yang berdampak langsung pada
astronomi diakibatkan oleh penerangan luar ruangan yang kurang baik.
Gambar 1.1. Jenis Pencahayaan Dalam dan Luar Ruangan
(Sumber gambar: Office of Energy Efficiency & Renewable Energy,U.S. Department of Energy)
Sekarang ini, masyarakat yang tinggal di pusat atau pinggiran kota sudah
kesulitan untuk melihat semesta (pemandangan langit malam). Bahkan hal ini
dapat terjadi pada kota-kota kecil juga pedesaan. Pemandangan langit malam yang
karena semakin banyaknya masyarakat yang tinggal di perkotaan, sehingga
kebutuhan pencahayaan luar ruangan pun bertambah. Oleh karena kebutuhan
pencahayaan luar ruangan inilah, langit malam semakin terang dan dapat
mengaburkan pandangan untuk melihat bintang-bintang ataupun objek langit lain.
Dengan besarnya efek yang ditimbulkan pada langit malam, hanya sebagian
lokasi yang jauh dari perkotaan saja yang dapat melihat lengan Galaksi Bima
Sakti (lihat Gambar 1.2).
Gambar 1.2. Langit Berpolusi Cahaya (kiri) dan Langit Tanpa Polusi Cahaya (kanan) (Sumber gambar: IDA Practical Guide)
Polusi cahaya dapat mengakibatkan berbagai efek pada setiap aspek
kehidupan. Efek yang yang ditimbulkan oleh polusi cahaya secara umum berupa
light trespass, glare, dan sky glow. Glare atau cahaya silau yang berasal dari penginstalasian lampu kurang tepat, sehingga dapat menyilaukan penglihatan
seseorang sehingga sulit untuk melihat ke arah lampu tersebut (lihat Gambar 1.3).
Hal ini dapat berakibat fatal bagi pengendara mobil ataupun motor karena dapat
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Sky glow atau cahaya naik merupakan porsi cahaya lampu yang mengarah ke langit kemudian dihamburkan kembali ke bumi
oleh partikel atmosfer (lihat Gambar 1.4). Sky glow dapat mengurangi jumlah kenampakan dari bintang-bintang karena cahaya bintang teredupkan oleh sky glow
mengganggu kenyamanan seseorang karena cahaya tersebut tidak seharusnya
berada pada wilayah tersebut (lihat Gambar 1.5). Contohnya, pemasangan lampu
jalan yang kurang tepat dapat membuat cahayanya menyebar ke tempat yang tidak
seharusnya disinari, misalkan kamar tidur.
Gambar 1.3. Glare
(Sumber gambar: IDA Practical Guide)
Gambar 1.4. Sky Glow arah kota Bandung dari kawasan Observatorium Bosscha. Diambil tanggal 23 Juni 2010 jam 22.00 WIB dengan waktu bukaan 13 detik
Gambar 1.5. Light Trespass
(Sumber gambar: IDA Practical Guide)
Dalam beberapa penelitian, polusi cahaya berdampak pada aktivitas hewan
liar, seperti burung, kodok, serangga, dan penyu. Peningkatan penyinaran
diketahui dapat memperpanjang aktivitas binatang siang (diurnal) hingga
waktu di mana mereka seharusnya sudah beristirahat kembali ke sarang. Hill
(1992) mengemukakan dampak penerangan buatan terhadap perilaku burung air.
Schwartz dan Henderson (1991, dalam Utama dan Aviyanti, 2009 )
mengungkapkan bahwa sejumlah burung dan reptil didapati telah dapat
mengorientasi ulang diri mereka sendiri dalam pencarian makanan di bawah
cahaya buatan . Burung migran akan mengalami disorientasi saat terbang di dalam
kungkungan cahaya. Ogden dan Lesley (1996) mengemukakan bahwa jutaan
burung yang bermigrasi di Amerika Utara menabrak gedung tinggi dan jendela
yang dibuat manusia karena mengalami disorientasi akibat cahaya buatan.
Frank, dkk. (2005) mengemukakan hasil studinya terhadap ngengat
Heliothis zea, bahwa ngengat ini terindikasi tidak akan bereproduksi kecuali intensitas cahaya lingkungan kurang dari 0,05 lux, yang setara dengan cahaya
diungkapkan oleh Kempinger, dkk. (2009), bahwa serangga dapat sangat sensitif
terhadap cahaya yang berintensitas rendah, dengan menggunakan cahaya bulan
buatan ditemukan pada aktivitas nokturnal lalat buah (Clark, 2009).
Polusi cahaya berdampak pula pada sistem hormonal tubuh manusia yang
dapat meningkatkan resiko kanker dan obesitas. Viswanathan, Hankinson dan
Schernhammer (2007) menemukan bahwa wanita yang bekerja hingga larut dalam
jangka waktu yang lama dapat meningkatkan resiko kanker endometrium,
khususnya yang mengalami obesitas. Mereka berpendapat bahwa peningkatan
resiko ini terjadi karena efek melatonin dan metabolisme. Sebagaimana yang
diketahui, bahwa terpaparnya tubuh manusia oleh penerangan buatan di malam
hari dapat mengganggu sistem hormonal.
Disamping pengaruh terhadap lingkungan, polusi cahaya berpengaruh pula
pada sisi ekonomi. Semakin berkembangnya suatu wilayah, maka waktu kegiatan
manusia akan bertambah hingga larut malam. Hal inilah yang menjadi penyebab
bertambahnya konsumsi listrik untuk penerangan, baik penerangan yang bersifat
estetika ataupun aktivitas harian. Secara tidak sadar penerangan yang digunakan
untuk kebutuhan manusiapun berlebihan, dan hal ini akan merugikan manusia
serta makhluk lainnya. Pemborosan energi yang terjadi disebabkan oleh
penginstalasian lampu penerangan yang kurang baik sehingga terjadi pencahayaan
berlebih pada tempat yang seharusnya tidak perlu disinari. Selain itu, dapat
diakibatkan pula oleh pemilihan jenis lampu yang kurang tepat.
Berdasarkan penelitian Isobe dan Hamamura (1998), beberapa kota di
Jepang (Akita, Shizuoka, Hiroshima, Tokushima, dan Matsuyama) pada tahun
1993 hingga 1996 terindikasi telah terjadi peningkatan pemborosan energi sebesar
20 – 50 % dalam jangka waktu tiga tahun di saat perekonomian Jepang sedang
menurun. Hunter beserta rekan-rekannya pada tahun 1989 mempelajari energi
listrik yang hilang karena polusi cahaya di USA. Mereka menemukan bahwa
energi listrik yang terbuang sia-sia sebesar 17,4 milyar per tahun dengan biaya
Osman dkk. (2001) telah melakukan penelitian polusi cahaya di
Observatorium Kottamia untuk tahun 1980 hingga 1995 yang dipengaruhi oleh
cahaya buatan dari kota Kairo. Hasil penelitian yang didapat menunjukkan bahwa
telah terjadi peningkatan polusi cahaya sebesar enam kali lipat dari tahun 1980
hingga 1995. Jika laju peningkatan pemborosan energi listrik diasumsikan sama,
maka pada tahun 2000 akan mencapai 45 juta kWh energi listrik yang terbuang
sia-sia.
Gambar 1.6. Citra Bumi Malam Satelit F10 1992. Area yang dilingkupi lingkaran merah adalah Indonesia
(Sumber gambar: National Geophysical Data Center. DMSP data collected by US Air Force Weather Agency)
Gambar 1.7. Citra Bumi Malam Satelit F18 2010. Area yang dilingkupi lingkaran merah adalah Indonesia
Citra satelit bumi di malam hari (seperti terlihat dalam Gambar 1.6 dan
Gambar 1.7) menegaskan bahwa telah terjadi kecenderungan peningkatan cahaya
buatan, misalkan negara-negara Eropa dan Amerika. Kota beserta
pencahayaannya dapat menjadi lebih terang dan terlebih lagi diperluas hingga ke
lingkungan sekitar pedesaan.
Dengan berlebihnya penerangan di malam hari, akan membuat langit
malam terlihat lebih terang, sehingga para astronom yang sedang mengamati
benda langit akan kesulitan dalam pengamatannya karena sky glow. Hal ini dikarenakan benda langit yang diamati akan menjadi kurang jelas terlihat dan
terhalang oleh pantulan cahaya lampu yang berlebih. Bahkan spektrum merkuri
(Hg) yang berasal dari lampu penerangan dapat menjadi pengotor dari spektrum
objek langit yang diamati. Saat itu para astronom di Observatorium Bosscha
sudah kesulitan untuk melakukan pengamatan pada jarak zenit >70° saat malam
hari. Untuk mencegah memburuknya kerusakan lingkungan di sekitar
Observatorium Bosscha, maka pemerintah memberlakukan beberapa peraturan.
Mahasena Putra, Kepala Observatorium Bosscha, memaparkan, tahun 2004
Bosscha dinyatakan sebagai benda cagar budaya oleh pemerintah. Keberadaannya
dilindungi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Selanjutnya, tahun 2008, pemerintah menetapkan Observatorium Bosscha sebagai
salah satu ”objek vital nasional” yang harus diamankan
Azzahidi dkk.(2011) melakukan penelitian kecerahan langit menggunakan
teleskop portabel dan CCD. Langit yang diukur merupakan langit Observatorium
Bosscha yang berada di Lembang, Indonesia. Dalam penelitian ini didapatkan
beberapa nilai koefisien ekstingsi untuk digunakan sebagai faktor koreksi pada
pengamatan fotometri. Nilai kecerahan langit mengecil nominalnya (lebih terang)
seiring dengan meningkatnya jarak zenit. Sementara itu pada arah jarak azimut,
nilai kecerahan langit berkurang dengan seiring mendekatnya area pengamatan
Penelitian yang dilakukan oleh Senja (1999) di Observatorium Bosscha
adalah untuk menentukan nilai kecerahan langit malam yang mengarah ke
Lembang. Hasil pengukurannya menunjukan bahwa pada jarak zenit 25,1°
kecerahan langit rata-ratanya sebesar 15,95 mag/[″]2. Nilai kecerahan langit ini
memiliki nilai yang cukup mengganggu untuk pengamatan objek langit redup.
Dengan munculnya berbagai dampak dari polusi cahaya, maka diperlukan
penelitian terhadap polusi cahaya di kota besar agar dapat diketahui sejauh mana
efek yang ditimbulkannya terhadap bidang astronomi maupun bidang lainnya.
Penelitian ini pula akan bermanfaat dalam bidang ekonomi, kependudukan, dan
kesehatan sebagai salah satu referensi.
1.2 Batasan Masalah
Sampel pengukuran menggunakan fotometer portabel, yaitu Sky Quality
Meter (SQM) hanya dilakukan pada dua lokasi di kota Bandung, yakni Sadang
Serang dan Kopo. Sedangkan satu lokasi di kota Lembang, yaitu Observatorium
Bosscha. Minimnya lokasi ini dikarenakan keterbatasan jumlah alat, untuk
memonitor secara bersamaan dan kelemahan perangkat lunak yang mengharuskan
pengamat mengoperasikan secara manual. Polusi cahaya yang diukurpun
Untuk mengetahui sejauh mana efek yang ditimbulkan penerangan
perkotaan pada kecerahan langit, baik dari aspek astronomi maupun aspek
“Berapakah tingkat sky glow yang terjadi di kota Bandung berdasarkan data Sky Quality Meter (SQM-LU) dan data citra malam hari satelit Defense
Meteorological Satellite Program (DMSP) ?”
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh nilai kecerahan langit
akibat efek yang ditimbulkan polusi cahaya, baik secara astronomi ataupun
aspek-aspek lainnya. Tujuan ini dicapai melalui pengukuran tingkat sky glow yang terjadi di kota Bandung berdasarkan data hasil pengamatan fotometer portabel
SQM-LU pada tahun 2013 dan data citra malam hari satelit DMSP mulai tahun
1992 sampai tahun 2012.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk mengedukasi dan membangkitkan
kepedulian masyarakat mengenai dampak polusi cahaya terhadap aspek
astronomi, lingkungan dan energi. Penelitian ini pula dapat menginformasikan
besarnya kontribusi polusi cahaya kota, sehingga diperoleh gambaran potensi
perkembangan ekonomi sekaligus pemborosan energi listrik yang terjadi. Selain
itu, juga dapat diketahui perkembangan urbanisasi kota dari tahun 1992 hingga
2012 berdasarkan citra satelit.
1.6 Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bagian, diantaranya Pendahuluan;
Tinjauan Pustaka; Metode Penelitian, Data dan Reduksi Data; Hasil Penelitian
dan Pembahasan; Kesimpulan dan Rekomendasi. Bab Pendahuluan berisi latar
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika
penulisan. Selanjutnya Bab Tinjauan Pustaka berisi pemaparan polusi cahaya
beserta formula dan instrumen yang digunakan untuk mengukur kadar polusi
cahaya. Dalam Bab Metode Penelitian, Data, dan Reduksi Data berisi metode
dalam melakukan penelitian yang berisi objek penelitian, waktu dan lokasi
penelitian, alur proses penelitian, alat yang digunakan, cara pengukuran dan
pengolahan data, serta interpretasinya. Selain itu terdapat pula penjelasan data
beserta reduksi data. Bab Hasil Penelitian dan Pembahasan tentunya berisi hasil
pengolahan data yang selanjutnya dilakukan interpretasi terhadap hasil yang telah
terukur. Dalam bab terakhir berisi kesimpulan beserta rekomendasi dari hasil
BAB III
METODE PENELITIAN, DATA, DAN REDUKSI DATA
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini disusun menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode
observasi langsung dan tidak langsung. Metode ini dilakukan dengan mengukuran
kecerahan langit secara langsung menggunakan SMQ-LU sehingga mendapatkan
data primer, sedangkan citra satelit DMSP didapatkan dalam bentuk data sekunder
(tanpa pengamatan langsung).
3.2 Objek Penelitian
Objek penelitian yang digunakan yakni fenomena kecerahan langit malam
hari di tiga lokasi yang berbeda di kota Bandung menggunakan fotometer portabel
SQM-LU untuk mengetahui pemborosan energi kota. Objek penelitian lain yang
digunakan yaitu berupa citra malam hari yang berasal dari satelit DMSP untuk
setiap tahunnya dalam periode tahun 1992 - 2012 untuk kota Bandung. Data
satelit yang diunduh adalah Version 4 DMSP-OLS Nighttime Lights Time Series.
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini diselenggarakan selama 5 bulan sejak Maret – Juli 2013 di tiga lokasi yang berbeda, yakni sebagai berikut:
1. Observatorium Bosscha; 6⁰49'28,37"S dan 107⁰36'57,19"E dengan elevasi 1306,07 meter dpl.
2. Sadang Serang; 6⁰53'31,65"S dan 107⁰37'39,24"E dengan elevasi 738,53 meter
dpl.
Untuk mengukur kecerahan langit digunakan SQM-LU yang
dioperasikakan selama 12 jam/hari pada pukul 18.00 WIB hingga 06.00 WIB
keesokan harinya. Data direkam secara kontinu setiap 5 detik menggunakan
perangkat komputer. Untuk citra satelit, data sekunder didapatkan dengan
mengunduhnya pada situs DMSP (www.ngdc.noaa/dmsp) untuk periode tahun
yang tersedia secara bebas, yakni tahun 1992 - 2012.
3.4 Alur Proses Penelitian
Proses dalam penelitian terbagi menjadi dua bagian, yakni proses
berdasarkan data primer (SQM-LU) dan data sekunder (DMSP). Hasil pengolahan
kedua data ini digabungkan sehingga mendapatkan prediksi kadar polusi cahaya
Bagan 3.1. Alur Proses Penelitian
3.5 Alat yang Digunakan
Terdapat dua alat yang digunakan dalam penelitian ini, baik secara
langsung maupun tidak langsung. SQM-LU digunakan secara langsung untuk Mulai
Pengamatan
Kecerahan Unduh data citra satelit/digital
Citra Satelit
Pengolahan menggunakan ImageJ
Pengolahan menggunakan Excel dan Formula Walker
Grafik Integrated Density dan rata-rata terhadap
waktu (tahun)
Energi penerangan berlebih
Tingkat polusi cahaya
Analisis
mendapatkan data primer berupa nilai kecerahan langit malam. Satelit DMSP
tidak digunakan secara langsung, melainkan mengambil data sekunder yang
tersedia dalam situs NGDC untuk kemudian selanjutnya diolah.
3.5.1 SQM-LU
Kerja SQM diawali dengan perintah yang dikirim dari PC melalui kabel
USB ke penghubung USB untuk disampaikan ke mikrokontroler. Kemudian
mikrokontroler merespon perintah dengan mengirimkan data ke penghubung USB
yang akan disampaikan ke PC.
Bagan 3.2. Alur Kerja SQM-LU (sumber gambar: SQM-LU User Manual)
Perangkat lunak yang digunakan untuk mejalankan SQM-LU adalah SQM
Display yang digunakan di Sadang Serang dan Kopo, sedangkan SQM Reader Pro
digunakan di Observatorium Bosscha.
Tabel 3.1. Spesifikasi SQM (sumber: SQM-LU User Manual)
Koneksi USB Penghubung USB B (5 m USB A ke
kabel penghubung USB B)
Ukuran 3,6 × 2,6 × 1,1″
Presisi Setiap SQM-L terkalibrasi oleh pabrik.
(±0,10 mag/sq arcsec)
Daya masukan 18 mA (berasal dari 5V koneksi USB)
Rentang temperatur beroperasi -40°C hingga 85°C
Akurasi temperatur ±2°C maksimum pada 25°C
Laju perubahan temperatur 4,3 detik, 256 sampel didapatkan setiap
60Hz kemudian dirata-ratakan
3.5.2 Satelit DMSP
Satelit DMSP merupakan satelit yang disinkronkan dengan Matahari ( sun-synchronous) dengan ketinggian 830 km dan mempunyai orbit polar. Data yang dihasilkan dari satelit ini berupa citra profil muka bumi maupun atmosfernya,
sehingga data satelit ini sering digunakan untuk memantau keadaan muka bumi
dan untuk mengantisipasi kemungkinan fenomena yang terjadi di wilayah
tertentu. Seri terakhir satelit DMSP yaitu seri F18 diluncurkan pada tanggal 18
Oktober 2009.
3.6 Metode Pengukuran
Pengukuran yang hanya dilakukan yaitu pengukuran langsung
menggunakan SQM-LU yang dipasang di luar ruangan. Sedangkan pengukuran
tidak langsung adalah pengukuran melalui satelit DMSP dengan instrumen OLS
yang mengorbit bumi.
3.6.1 Pengukuran langsung
SQM-LU dipasangkan pada tiang di luar ruangan dengan mengarah ke
zenit untuk pengukuran di kota Bandung (Sadang Serang dan Kopo), sedangkan
SQM-LU di Observatorium Bosscha diarahkan 45° ke arah Bandung. Pengukuran
dilakukan pada tiga tempat yang berbeda agar dapat dibedakan antara kecerahan
langit akibat polusi cahaya dan kecerahan langit latar belakang. Kecerahan langit
latar belakang yaitu kecerahan langit yang relatif tidak dipengaruhi oleh polusi
cahaya, sehingga ditentukanlah lokasi pengukurannya di Observatorium Bosscha.
Gambar 3.1. SQM-LU Terpasang pada Tripod. Busur dan bandul digunakan untuk mengarahkan SQM-LU secara presisi
Gambar 3.2. Tabung SQM untuk pengukuran di luar (kiri) dan Pemasangan SQM pada Tiang (kanan). Lokasi pengamatan di Sadang Serang
Berikut langkah-langkah dalam metode pengukuran:
1. SQM-LU yang disertai wadah pelindung (pralon 3 inci) dipasangkan pada
2. SQM-LU dihubungkan ke komputer menggunakan kabel melalui port-USB.
3. Pembacaan variabel ukur menggunakan perangkat lunak tertentu yang sudah
terpasang pada komputer yaitu SQM Reader atau SQM Display. SQM Reader
dalam pembacaannya hanya dapat mengambil data secara kontinu minimal 1
menit, sedangkan SQM Dispaly dapat mengambil data setiap 1 detik, maka dalam penelitian ini digunakan SQM Display. Perangkat lunak ini hanya digunakan untuk pengukuran di kota Bandung, yaitu di Sadang Serang dan
Kopo, sedangkan pengukuran untuk di Observatorium Bosscha menggunakan
SQM Reader Pro. Serial port yang dipilih untuk pembacaan data harus disesuaikan dengan serial port instrumen ini, melalui menu Contro Panel – System.
3.6.2 Pengukuran tidak langsung
Pengukuran tidak langsung merupakan pengukuran yang dilakukan oleh
organisasi terkait untuk menghasilkan data sekunder berupa citra bumi malam
hari. Data primer ini didapatkan dari satelit DMSP yang mengorbit bumi.
3.6.2.1Deskripsi arsip DMSP
Data DMSP dihubungkan ke Thule AFB dan ditransmisikan ke AFWA
(Air Force Weather Agency) melalui komunikasi satelit. Di AFWA, data dideskripsikan dan dikirim ke NGDC melalui koneksi T1 (Catatan: Maret 1992 – November 1996 data dikirim melalui pita berukuran 8mm). Data yang telah tiba
disimpan dan disalin ke pita (tape). Data kemudian diproses menggunakan perangkat lunak yang dibuat oleh staf NGDC dan kontraktor perangkat lunak.
Sekarang NGDC menerima dan dan memproses sekitar 8,5 GB data perhari dari
keempat satelit. Pengolahan data terdiri dari navigasi ulang menyeluruh dari
memperbaiki masalah data karena bit membalik selama transmisi, mengatur data
ke orbit dan menulis data ke sistem tape perpustakaan robotik.
3.6.2.2Pengolahan sensor OLS
Data sensor OLS didekompresi, diatur kembali, direstrukturisasi dan
digabungkan. Posisi orbit satelit dihitung menggunakan program empat badan
orbital mekanik yang diamati. Penilaian kualitas terbuat dari setiap piksel dan
dikarakterisasi untuk setiap scan line yang lengkap.
NGDC telah menyimpan citra analog aurora dari sensor DMSP-OLS sejak
1972. National Snow and Ice Data Center (NSIDC) mempertahankan arsip data analog OLS yang lain pada tahun 1979 – 1992. Sebuah file arsip terdiri dari orbit
header dan data terekam yang dilakukan oleh scan line. Resolusi scan line yang halus terdiri dari 1465 visibel piksel, 1465 IR piksel, posisi orbit satelit, penilaian
kualitas dan satelit lainnya beserta parameter-parameter astronomi. Sebuah scan line beresolusi tinggi terdiri dari 7325 dan informasi pendukung yang sama dari resolusi halus.
3.7 Data
Data primer SQM-LU berupa nilai kecerahan langit malam dalam satuan
MPSAS yang telah terkalibrasi oleh temperatur lingkungan disaat beroperasi.
Nilai kecerahan ini akan menunjukkan langit malam yang semakin gelap dengan
semakin membesarnya nilai. Untuk pengambilan data kontinu dipilih setiap 5
detik dan secara otomatis selama 12 jam sepanjang malam. Hasil pembacaan
tersimpan dalam format .csv yang berukuran sekitar 700 kb. Penamaan yang digunakan terdiri dari tanggal pengamatan dan nomor seri instrumen (hanya di
seri 1112. Contoh data yang digunakan dapat dilihat pada lampiran 1, lampiran 2,
dan lampiran 3.
Data sekunder DMSP berupa citra satelit bumi saat malam hari yang dapat
diakses secara bebas pada situs NGDC (http://ngdc.noaa.gov/eog/dmsp/
downloadV4composites.html). Data ini berukuran 286 Mb per tahun dalam
bentuk terkompresi yang berisi tiga jenis citra terkompresi pula (692 Mb
berformat .tif), sehingga diperlukan ruang penyimpanan (hard-disk) dan memori komputer yang memadai. Citra ini berasal dari sensor OLS, Version 4 DMSP-OLS Nighttime Lights Time Series. Berkas-berkas citra ini merupakan data komposit bebas awan yang dibuat menggunakan arsip DMSP – OLS beresolusi tinggi. Ketika dua satelit mengumpulkan data, maka dua data pun dihasilkan untuk
digabungkan. Hasil dari satelit dalam 30 grid detik busur, yang memutar -180 hingga 180 derajat garis bujur dan -65 hingga 75 derajat garis lintang. Berikut
beberapa kriteria yang digunakan untuk memilih data terbaik yang akan
dimasukan dalam data komposit:
1. Lebar data merupakan setengah pusat 3000 km petak OLS. Cahaya di separuh
pusat memiliki geolokasi yang lebih baik, lebih sempit, dan memiliki
radiometri yang lebih konstan.
2. Data pengaruh cahaya matahari dihilangkan yang didasarkan pada sudut
elevasi matahari.
3. Glare dihilangkan yang didasarkan pada sudut elevasi matahari.
4. Data pengaruh cahaya bulan dihilangkan yang didasarkan pada perhitungan
iluminans bulan.
5. Pengamatan yang disertai awan dihilangkan yang didasarkan pada identifikasi
6. Fitur cahaya dari aurora dihilangkan pada belahan bumi utara menggunakan
inspeksi visual.
Setiap data komposit dinamai dengan satelit dan tahun (F121995 berasal
dari satelit F12 untuk tahun 1995). Data yang tersedia dalam Version 4 DMSP-OLS terdiri dari tiga jenis, yaitu cloud-free coverages, raw avg_vis, dan
stable_lights. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah stable_lights yang merupakan pembersihan dari avg_vis yang terdiri dari cahaya kota besar, kota kecil, dan wilayah lain yang memiliki pencahayaan, termasuk flare gas. Kejadian yang berlangsung tak lama, seperti kebakaran telah dihilangkan. Gangguan latar
belakang telah teridentifikasi dan digantikan dengan nilai 0. Nilai data memiliki
rentang 1 – 63. Area dengan pengamatan bebas awan diwakili dengan nilai 255.
Data satelit yang digunakan terdiri dari 33 citra stable light berukuran 692 Mb dari berbagai macam satelit. Data yang tersedia mulai tahun 1992 hingga
2012 dengan satelit F10, F12, F14, F15, F16, F18. Sebaran satelit dari setiap
tahunnya ditunjukkan oleh tabel 3.2. Contoh citra satelit yang digunakan dapat
dilihat pada lampiran 4.
Tabel 3.2. Sebaran Satelit Setiap Tahunnya
2002 F14 F15
Reduksi data ditujukan untuk memfokuskan data yang masih melebar,
sehingga data yang akan diolah lebih jelas. Langkah ini hanya digunakan untuk
data satelit yang masih meliputi citra seluruh dunia. Citra ini direduksi
menggunakan bantuan pengolah citra ImageJ. Citra diperbesar pada pulau Jawa terlebih dahulu, kemudian diperbesar lagi pada kota Bandung sehingga
pengukuran dapat dilakukan dengan mudah. Langkah reduksi ini terdapat dalam
langkah pengolahan data bagian 3.9.2.
3.9 Pengolahan Data
Data yang akan diolah terdiri dari dua jenis yaitu data primer berformat
.csv yang berasal dari pembacaan SQM-LU dan data sekunder berformat .tif yang berasal dari satelit DMSP. Oleh karena format dan ukuran dari kedua data
berbeda, maka dilakukan pengolahan yang berbeda pula. Untuk data berformat
nilai kecerahan langit pada satu waktu (mengurutkan data), sedangkan data
berformat .tif menggunakan pengolah citra ImageJ.
3.9.1 Pengolahan data SQM-LU
Terdapat dua cara untuk menentukan nilai kecerahan langit yang
digunakan berdasarkan data hasil pengukuran menggunakan SQM-LU. Nilai
kecerahan langit yang dipilih yakni pada saat malam tergelap yang ditunjukkan
oleh nilai kecerahan terbesar. Cara pertama, yaitu dengan mengurutkan nilai
kecerahan langit yang dimulai dari terbesar hingga terkecil, sehingga urutan
pertama didapatkan sebagai malam tergelap. Sedangkan cara kedua, yaitu dengan
membuat grafik perubahan kecerahan langit sepanjang malam, malam tergelap
pada grafik ditunjukkan oleh puncak tertinggi. Langkah ini terdapat dalam
lampiran 5.
3.9.2 Pengolahan data satelit DMSP
Perangkat lunak pengolah citra nir biaya ImageJ digunakan untuk mengolah data satelit DMSP yang berupa citra malam hari. ImageJ merupakan aplikasi yang berbasis Java. ImageJ dapat diunduh dari situs rsbweb.nih.gov/ij/ Langkah pengolahan citra satelit dapat dilihat pada lampiran 6. Setelah langkah
ini selesai dilakukanlah smoothing.
Smoothing data ditujukan untuk memperhalus data yang akan diolah, sehingga data mendekati normal. Cara ini dibutuhkan untuk data satelit DMSP
karena nilai setiap piksel tidak bisa langsung dibandingkan dengan tahun-tahun
yang berbeda. Untuk melakukan ini, diperlukan pengukuran nilai piksel untuk
wilayah pengamatan setiap tahunnya menggunakan perangkat pengolah citra
ImageJ. Pengukuran tersebut terdiri dari Area, Mean, StdDev, Max, Min, dan
Area Mean
IntDen (12)
Persamaan (12) merupakan persamaan yang menghubungkan antara Mean
dan IntDen dari daerah yang dipilih (ROI = Region Of Interest), misalkan kota Bandung. Karena luas area yang diukur selalu konstan setiap tahunnya (kota yang
sama), maka: Dari grafik ini didapatkan persamaan linear yang nantinya akan digunakan untuk
membuat grafik IntDen terhadap tahun. Grafik ini dibuat dengan memasukkan data mean yang telah diukur beserta standar deviasi . Persamaan dari grafik inilah yang akan digunakan untuk menghitung potensi kadar polusi cahaya kota pada
tahun-tahun mendatang.
3.9.3 Perubahan skala citra satelit DMSP dan metode penentuan area
pengukuran
Perubahan skala ini ditujukan untuk mengetahui luas area sebenarnya
(dalam km) pada wilayah yang akan dilakukan pengukuran. Skala yang diubah
dengan bantan Google Earth memiliki metode tersendiri untuk menentukan batas area pengukuran. Sedangkan, untuk skala yang diubah berdasarkan resolusi citra
satelit DMSP, batas area pengukuran ditentukan dengan penyesuaian secara visual
(mengambil area dalam kota/ bagian terang).
3.9.3.1Penggunaan Google Earth
Skala pada citra diubah menjadi satuan kilometer dengan bantuan peta
cukup berdekatan pada citra satelit untuk ditentukan jaraknya. Penentuan jarak ini
digunakan bantuan Google Earth. Dua lokasi yang dipilih yakni Sumedang – Majalengka karena memiliki jarak yang cukup dekat dengan Bandung dan jarak
antara keduanya pun tidak terlalu jauh sehingga pengaruh kelengkungan bumi
relatif tidak berpengaruh dalam penentuan jaraknya. Kedua kota ini memiliki luas
area yang tidak terlalu luas sehingga mudah untuk menentukan pusat kota ataupun
pusat keramaian. Jarak kedua kota ini setelah dilakukan pengukuran dengan
bantuan Google Earth yaitu 33,9 km. Kemudian pada ImageJ digunakan menu
toolbar Straight Lines untuk menghubungkan kedua lokasi. Setelah selesai ditandai, kemudian skala citra satelit diubah menggunakan menu utama Analyze/
Set Scale. Selajutnya muncul jendela baru Set Scale untuk mengubah skala, dengan Known distance diisi sebagai jarak yang diketahui (33,9 km) dan Unit length diisi sebagai satuan km.
Gambar 3.3. Tampilan Google Earth untuk Pengukuran Jarak Sumedang – Majalengka. Ujung-ujung garis penghubung terletak pada pusat kota yang telah
Gambar 3.4. Tampilan Straight Lines di Sumedang – Majalengka
Gambar 3.5. Tampilan Menu Analyze untuk Set Scale
Untuk menentukan batas area kota Bandung yang akan diukur polusi
cahayanya, digunakan Horizon Distance (HD) yang berkaitan dengan ketinggian wilayah tersebut. Karena wilayah kota Bandung memiliki ketinggian 768 m dpl,
maka HD yang didapatkan 7,31 km. Hal ini berkaitan dengan trigonometri untuk
melingkupi seluruh area kota Bandung. HD yang digunakan merupakan
modifikasi dari HD yang telah ada. Modifikasi ini dilakukan agar wilayah
Bandung dapat terukur secara optimal yang disesuaikan dengan ketinggiannya.
Formula dari modifikasi ini merupakan fungsi trigonometri dari ketinggian kota
Bandung.
Grafik 3.1. Modifikasi Horizon Distance Kota Bandung
Kota Bandung memiliki luas wilayah L=167,67 km2
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bandung), sehingga jika didekati dengan luas
area lingkaran, kota Bandung akan memiliki jari-jari atau Horizon Distance (HD): 2
r
L (14)
L r
(15a)
km
Horizon distance dan ketinggian suatu wilayah dihubungkan oleh trigonometri. Hal ini berkaitan dengan luas area yang dapat diterangi oleh lampu
yang memiliki ketinggian tertentu.
Gambar 3.7. Pendekatan Pencahayaan Lampu dengan Trigonometri (Sumber gambar: The Institution of Lighting Engineers-ILE). HD: Horizon
Distance dan e: Elevation
Karena kota Bandung memiliki jari-jari atau HD 7,31 km dan ketinggian 768
mdpl (e = 0,768 km dpl), maka sudut pencahayaan yang berkaitan adalah:
e
terlingkupi oleh batas area pengukuran pada ImageJ.
Gambar 3.8. Ilustrasi Trigonometri
Lingkaran area yang melingkupi kota Bandung digambarkan pada citra
satelit menggunakan menu toolbar Oval. Diameter lingkaran disesuaikan dengan diameter kota Bandung, yakni dua kali HD sebesar 14,62 km (pada ImageJ
didekati dengan nilai 14,05 km karena tidak bisa mendapatkan nilai yang sama).
Diameter akan muncul sebagai “w” dan “h” pada ImageJ sehingga akan memudahkan dalam pembentukan lingkaran. Pinggiran (sisi kiri atas) dari
e
HD
lingkaran muncul sebagai koordinat X,Y sehingga memudahkan dalam
menempatkan lingkaran pada citra pada tahun yang berbeda. Koordinat tersebut
[32329,33 ; 9202,95].
Gambar 3.9. Area Batas Ukur Kota Bandung dengan Pendekatan Horizon Distance
3.9.3.2Penggunaan resolusi satelit
Skala pada citra diubah menjadi satuan kilometer yang disesuaikan dengan
resolusi citra satelit DMSP, yaitu 0,56 km. Dengan menggunakan menu utama
Analyze/ Set Scale. Selajutnya muncul jendela baru Set Scale untuk mengubah skala, dengan Known distance diisi oleh resolusi yang diketahui dan Unit length
diisi sebagai satuan km. Kemudian bagian Global ditandai (√) agar setiap citra
yang akan dilakukan pengukuran tidak perlu disesuaikan kembali skalanya.
Gambar 3.11. Tampilan Jendela Set Scale
Citra diperbesar pada kota Bandung sebesar 800%. Kemudian lingkaran
area yang melingkupi kota Bandung digambarkan pada citra satelit menggunakan
menu toolbar Oval. Diameter lingkaran disesuaikan dengan area kota Bandung
yang terang, yakni 8,4 km. Diameter akan muncul sebagai “w” dan “h” pada
ImageJ sehingga akan memudahkan dalam pembentukan lingkaran. Pinggiran (sisi kiri atas) dari lingkaran muncul sebagai koordinat X,Y sehingga
memudahkan dalam menempatkan lingkaran pada citra ditahun yang berbeda.
Koordinat tersebut [19322,80 ; 5500,88].
Gambar 3.12. Area Batas Ukur Kota Bandung
3.9.4 Penentuan kadar polusi cahaya
Berdasarkan data SQM-LU, dapat diketahui potensi polusi cahaya terkini
di suatu kota atau wilayah tertentu. Kadar polusi cahaya ini dapat
menggunakan skala pengukuran Bortle Dark-Sky Scale dan Pembagian Situs menurut Murdin. Sedangkan untuk pengukuran kadar polusi cahaya secara
kuantitatif dapat menggunakan formula Walker yang ditunjukkan oleh persamaan
(11). Formula ini digunakan untuk data hasil pengamatan SQM-LU yang
mengukur kecerahan langit latar belakang dan kecerahan langit akibat polusi
cahaya (Sky Glow).
Untuk menentukan pemborosan energi dan biaya yang dikeluarkan
tentulah diperlukan nilai L (efficacy) bergantung terhadap jenis lampu yang digunakan dan biaya per kWh. Sky Glow yang dihasilkan akibat penerangan berlebih didominasi oleh lampu Penerangan Jalan Umum (PJU), sehingga untuk
menghitung kadar polusi cahaya digunakanlah efficacy untuk berbagai jenis lampu PJU. Lampu PJU terdiri dari bermacam-macam jenis berdasarkan
karakteristik dan penggunaannya.
Tabel 3.3. Jenis Lampu PJU Berdasarkan Karakteristiknya (sumber: SNI7391 tentang Spesifikasi Penerangan Jalan di Perkotaan)
tekanan tinggi (SON) 20.000 250; 400
Tabel 3.4. Keterangan Jenis Lampu PJU
(Sumber: SNI7391 tentang Spesifikasi Penerangan Jalan di Perkotaan)
Jenis Lampu Keterangan
Lampu tabung
fluorescent tekanan rendah
Untuk jalan kolektor dan lokal;
Efisiensi cukup tinggi tetapi berumur pendek;
Jenis lampu ini masih digunakan untuk hal-hal yang terbatas.
Lampu gas
merkuri tekanan
tinggi (MBF/U)
Untuk jalan kolektor, lokal, dan persimpangan; Efisiensi rendah, umur panjang, dan ukuran lampu
Untuk jalan kolektor, lokal, persimpangan, terowongan, tempat peristirahatan (rest area);
Efisiensi sangat tinggi, umur cukup panjang, ukuran lampu besar sehingga sulit untuk mengontrol
cahayanya dan cahaya lampu sangat buruk karena
Untuk jalan tol, arteri, kolektor, persimpangan besar/luas dan interchange;
Efisiensi tinggi, umur sangat panjang, ukuran lampu kecil, sehingga mudah pengontrolan cahayanya; Jenis lampu ini sangat baik dan sangat dianjurkan
untuk digunakan.
Bulan Harga/kWh (Rp)
Januari – Maret 861
April – Juni 904
Juli – September 949
Mulai Oktober 997
Untuk penentuan kadar polusi cahaya berdasarkan data satelit DMSP
digunakan ImageJ seperti pada pengolahan data. Secara kualitatif, kadar polusi cahaya dapat dilihat perkembangannya setiap tahun sejak tahun 1992 hingga
2012. Potensi polusi cahaya ditahun mendatang dapat diprediksi pula
menggunakan ekstrapolasi dari pendekatan persamaan yang dibentuk oleh grafik
Integrated Density. Selain secara kualitatif, kadar polusi cahaya berdasarkan data satelit DMSP dapat diprediksi secara kuantitatif. Kadar polusi cahaya dalam
bentuk Integrated Density dapat diubah ke dalam besaran energi, tetapi hanya untuk satelit F12 dan F16 karena kedua satelit ini telah dikalibrasi sebelum
peluncurannya. Konversi tersebut yakni, F12: 1,47864 × 10-10 Watt/cm2/sr dan
F16: 1,51586 × 10-10 Watt/cm2/sr.
3.10 Interpretasi
Hasil pengolahan data satelit DMSP ditampilkan dalam bentuk grafik
perubahan polusi cahaya setiap tahunnya. Grafik ini didekati dengan beberapa
persamaan, sehingga dapat menginterpretasikan kadar polusi cahaya kota
Bandung di tahun-tahun mendatang. Data hasil pengamatan SQM-LU di kota
Bandung merupakan data polusi cahaya terbaru pada tahun 2013, sedangkan data
satelit DMSP merupakan data polusi cahaya terdahulu (1992 – 2012). Kedua data ini dapat dikombinasikan sehingga mendapatkan grafik perkembangan polusi
cahaya kota Bandung dan dapat diketahui laju pertumbuhannya. Selain itu, grafik
ini dapat dibandingkan dengan perkembangan populasi kota Bandung sehingga
Untuk melihat pengaruh polusi cahaya terhadap perekonomian kota
Bandung, dapat dilihat dari nilai pemborosan energi listrik yang digunakan pada
tahun 2013. Sedangkan untuk melihat pengaruh polusi cahaya terhadap astronomi,
dapat dilihat dari nilai kecerahan langit yang terukur. Nilai kecerahan yang
terukur ini dapat dibandingkan dengan Bortle Dark Sky Scale, sehingga dapat dianalisis pengaruh polusi cahaya terhadap para astronom. Dapat pula lokasi
pengamatan diidentifikasi menggunakan pembagian situs menurut Murdin,
BAB V mengindikasikan tidak dapat terlihatnya galaksi Bima Sakti, planet dapat terlihat
cukup jelas dengan mata telanjang, dan hanya beberapa bintang terang yang
terlihat. Selain itu, kota Bandung termasuk pula dalam kategori region 0 menurut
pembagian situs Murdin karena wilayah penelitian merupakan pusat kota yang
relatif tidak terdapat aktivitas astronomi.
Kadar energi yang terukur di Kopo lebih besar dari Sadang Serang karena
memiliki jarak yang lebih jauh dengan Observatorium Bosscha, sesuai dengan
formula Walker (intensitas cahaya akan berbanding terbalik dengan jarak).
Berdasarkan kadar energi ini, maka kota Bandung memiliki energi rata-rata dari
sky glow selama tahun 2013 sebesar 968 ribu kWh dengan biaya Rp 898 juta.
Data satelit DMSP mengukur kadar polusi cahaya berdasarkan intensitas
dari pencahayaan kota. Polusi cahaya ini teridentifikasi sebagai Integrated density
yang mengalami kecenderungan peningkatan sejak tahun 1992-2012. Pada tahun
tertentu, Integrated density mengalami penurunan yang signifikan sehingga untuk menghitung kadar polusi cahaya di tahun mendatang digunakan data sejak tahun
2006 hingga 2012. Penyebab dari penurunan Integrated density dikarenakan perubahan gain pada satelit untuk mendapatkan citra satelit yang baik. Peningkatan kadar polusi cahaya yang terjadi pada tahun 2006 – 2012
menunjukkan laju sebesar 74,8 Watt/tahun dalam setiap 55,5 km2. Berdasarkan
laju perkembangan polusi cahaya ini, maka kota Bandung pada tahun 2013
berpotensi terjadi pemborosan energi listrik sebesar 22 ribu kWh dengan biaya Rp
Korelasi antara kadar polusi cahaya menggunakan SQM-LU dan satelit
DMSP dapat dihubungkan dengan membandingkan energi sky glow. Faktor koreksi yang didapat merupakan perbandingan antara besar energi sky glow tiap satuan luas hasil data satelit DMSP dengan hasil SQM-LU. Nilai faktor konversi
ini sebesar 3,3 × 10-4 yang menunjukkan energi sky glow hasil pengukuran SQM-LU lebih besar. Hal ini dikarenakan data SQM-SQM-LU masih terpengaruh oleh awan
dan cahaya bulan.
5.2 Rekomendasi
Dengan berkembangnya kadar polusi cahaya setiap tahunnya, maka
diharapkan pemerintah dapat mengontrol pemakaian listrik untuk PJU.
Pengontrolan ini dapat berupa penginstalasian lampu yang optimal dengan
mengganti jenis lampu LPS dan pemberian tudung. Untuk mendapatkan data yang
lebih baik, maka penelitian selanjutnya diharapkan melakukan hal-hal di bawah
ini:
1. Pengamatan kecerahan langit menggunakan SQM dilaksanakan pada musim
kemarau, sehingga memiliki kondisi langit yang relatif cerah tak berawan.
2. Pengamatan spektroskopi langit dekat horison (jarak zenith > 450) untuk
mengetahui sumber dan jenis lampu. Atau dapat pula dengan mengetahui
persentase keberadaan masing-masing jenis lampu di kota Bandung.
3. Penambahan lokasi pengambilan sampel kecerahan langit agar dapat
merepresentasikan kota Bandung.
4. Pengolahan citra satelit untuk tahun 2013 sehingga didapatkan korelasi secara
DAFTAR PUSTAKA
Bortle, J.E. (2001) Introducing The Bortle Dark-Sky Scale. Sky & Telescope.
Cinzano, P., (2005) Night Sky Photometry with Sky Quality Meter. First draft, ISTIL Internal Report, n. 9, v.1.4 2005, ©2005 ISTIL, Thiene.
Clark, B.A.J. (2009) A Rationale for The Mandatory Limitation of Outdoor Lighting. Astronomical Society of Victoria Inc. Australia.
Cline, J. (2013) Charge-coupled device. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia. org/wiki/Charge-coupled_device [Diakses 4Oktober 2013].
Commons, F. (2006). File:Orion1 big.jpg. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia. org/wiki/File:Orion1_big.jpg [Diakses 5 Oktober 2013].
DMSP Data Availability. [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/ availability.html [Diakses 8 Nopember 2013].
DMSP Archive Description. [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/ archive.html [Diakses 19 Juni 2013].
DMSP-OLS Nighttime Lights Time Series Version 4. [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/dmsp/downloadV4composites.html [Diakses 20 Juni 2013].
Eteq. (2008). File:SDSSFaceplate.gif. [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia. org/wiki/ File:SDSSFaceplate.gif [Diakses 4 Oktober 2013].
F. Azzahidi, M. Irfan, J. A. Utama (2011) The Measurement of Bosscha Observatory Sky Brightness Using Portable Telescope and CCD. Paper of Bosscha User Meeting
Herdiwijaya D., Nurlaela, S., Fadilah, Y., Kurnia, S. dan Adam. (2011) Waktu Penentuan Gerhana Bulan Total 16 Juni 2011 Berdasarkan Sky Quality Meter.
Prosidings Seminar Himpunan Astronomi Indonesia.
Hoffman, R.E. (2005) Rational Design of Lunar-Visibility Criteria. Jurnal Observatory, Vol.125 p.156-168
IDA, Estimating the Level of Sky Glow Due to Cities. International Dark-Sky Association (IDA) — Information Sheet #11
International Dark-Sky Association (IDA) Practical Guide
Isobe, S., Hamamura, S. (1998) Ejected City Light of Japan Observed by a Defense Meteorological Satellite Program. Preserving the Astronomical Windows, ASP Conference Series, Vol. 139.
Komaruzaman, R. (2013). Kota Bandung [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia. org/wiki/Kota_Bandung [Diakses 11Oktober 2013].
Kusterer, J.M. (2013). Appendix C.2: DMSP | 1.1 SSM/I Description | 1.2 SSM/T2 Description [Online]. Tersedia: https://eosweb.larc.nasa.gov/ ACEDOCS/data/appen.c.2.html#dmsp [Diakses 26 Nopember 2013].
Menteri Energi dan Sumber Daya Meneral (2012) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No.30 Tahun 2012 tentang Tarif Tegangan Listrik.
Nightsat [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/night_sat/nightsat.html [Diakses 20Juni 2013].
NOAA NGDC [Online]. Tersedia: www.ngdc.noaa.gov/dmsp [Diakses 20 Juni 2013].
Ogden, E. dan Lesley, J. (1996) Collision Course: The Hazards of Lighted Structures and Windows to Migrating Birds. Fatal Light Awarness Program (FLAP), Paper 3
OLS - Operational Linescan System [Online. ] Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/ sensors/ols.html [Diakses 19 Juni 2013].
Schaefer, B.E. (1990) Telescopic Limiting Magnitudes. Publications of The Astronomical Society of The Pacific, 102: 212-229.
Senja, M. A. (1999) Penentuan Kecerlangan Langit Malam di Obsevatorium Bosscha-Lembang: Observasi dan Model. Skripsi, Jurusan Astronomi FMIPA, Institut Teknologi Bandung.
SNI7391:2008. Spesifikasi Penerangan Jalan di Kawasan Perkotaan.
Soerfm. (2013) File:CCD.jpg [Online]. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/ File:CCD.jpg [Diakses 4 Oktober 2013].
SQM-LU User Manual, Revision 1.3. (2011). Unihedron.
SSIES Ion Scintillation Monitor [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/ sensors/ssies.html [Diakses 19 Juni 2013].
SSJ/4- Precipitating Electron and Ion Spectrometer [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/sensors/ssj4.html [Diakses 19 Juni 2013].
SSM Magnetometer [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/sensors/ ssm.html [Diakses 19 Juni 2013].
SSM/I- Microwave Imager [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa.gov/eog/sensors/ ssmi.html [Diakses 19 Juni 2013].
SSMT/2 Atmospheric Water Vapor Profiler [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa. gov/eog/sensors/ssmt2.html [Diakses 19 Juni2013].
SSM/T- Atmospheric Temperature Profiler [Online]. Tersedia: http://ngdc.noaa. gov/eog/sensors/ssmt.html [Diakses 19 Juni 2013].
Utama, J.A. “Polusi Cahaya: Permasalahan dan Solusi”. Makalah pada Mata Kuliah Astronomi ITB, Bandung.
Utama, J.A., Aviyanti, L. (2009) Polusi Cahaya: Dampak dan Solusi yang Ditawarkan. Dalam: Premadi et al.(penyunting) Proceedings of the Conference of the Indonesia Astronomy and Astrophysics, 29-31 October 2009.
0957393/Penyelamatan.Observatorium.Bosscha.dari.Polusi.Cahaya.Didorong [Diakses 9 Januari 2014].
Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) [Online]. Tersedia: npp.gsfc. nasa.gov/viirs.html [Diakses 23 Agustus 2013].