• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyederhanaan Prosedur Perolehan Izin Untuk Mendirikan Perumahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyederhanaan Prosedur Perolehan Izin Untuk Mendirikan Perumahan"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional di Indonesia bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Masyarakat yang adil dan makmur tersebut diartikan tidak hanya cukup sandang, pangan, dan papan saja tetapi justru harus diartikan sebagai cara bersama untuk memutuskan masa depan yang dicita-citakan dan juga turut secara bersama mewujudkan masa depan tersebut. Semangat untuk mewujudkan masa depan tersebut merupakan amanah dari mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 juncto Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 UUD 1945.1

Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pengembang merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Pembangunan perumahan ditujukan agar seluruh rakyat Indonesia menempati

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tempat tinggal mempunyai peran strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian bangsa serta sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif. Oleh karena itu, negara sertanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak akan tempat tinggal dalam bentuk rumah yang layak dan terjangkau.

1

(2)

rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Rumah yang layak adalah bangunan rumah yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya. Lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur adalah lingkungan yang memenuhi persyaratan penataan ruang, persyaratan penggunaan tanah, penguasaan hak atas tanah, dan kelayakan prasarana dan sarana lingkungannya.2

Meningkatnya kebutuhan akan perumahan dan permukiman sangat erat kaitannya dengan kependudukan, seperti jumlah penduduk, laju pertumbuhannya, dan perubahan rata-rata jumlah jiwa keluarga. Hal tersebut merupakan masalah yang dihadapi, terutama di kota-kota besar di Indonesia, sepeti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Semarang.3

Peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan dan kesejahteraan tersebut bagi setiap keluarga Indonesia, pembangunan perumahan dan

Pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, perumahan dan permukiman yang layak, sehat, aman, serasi, dan teratur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat mutu kehidupan serta kesejahteraan rakyat dalam masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

2

Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta : Kencana Prenada Group, 2010), hlm 75

3

(3)

permukiman sebagai bagian dari pembangunan nasional perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah, berencana, dan berkesinambungan.

Peningkatan dan pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman dengan berbagai aspek permasalahannya perlu diupayakan sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya untuk mendukung ketahanan nasional, mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup, dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia Indonesia dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Mencapai tujuan penyelenggaraan perumahan perlu di kembangkan wawasan dan paradigma baru di bidang perumahan agar investasi, inovasi, dan pemberdayaan dalam bidang perumahan terus berlanjut dan meningkat. Sebagai upaya untuk mendorong pertumbuhan dan pengembangan perumahan, pemerintah telah mengambil langkah-langkah di bidang penyederhanaan perizinan perumahan melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku.4

Kewenangan administrasi negara perlu di atur dalam peraturan perundang-undangan, agar dalam melaksanakan aktivitasnya aparatur negara tidak menyalah gunakan kekuasaannya. Hukum perizinan sangat erat sekali dengan kewenangan administrasi negara karena kewenangan merupakan dasar dari aktivitasnya. Hak tidak ada tanpa adanya keputusan pemberian izin. Di dalam memperoleh izin para pelaku usaha pembangunan perumahan harus memenuhi persyaratan yang telah diterapkan atau di atur oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung yang mengatur fungsi bangunan gedung,

4

(4)

persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, termasuk hak dan kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung pada setiap tahap penyelenggaraan bangunan gedung, ketentuan tentang peran masyarakat dan pembinaan oleh pemerintah, sanksi, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

Keseluruhan maksud dan tujuan pengaturan tersebut dilandasi oleh asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya, bagi kepentingan masyarakat yang berperikemanusiaan dan berkeadilan. Masyarakat diupayakan untuk terlibat dan berperan secara aktif bukan hanya dalam rangka pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung untuk kepentingan mereka sendiri, tetapi juga dalam meningkatkan pemenuhan persyaratan bangunan gedung dan tertib penyelenggaraan bangunan gedung pada umumnya.

Perwujudan bangunan perumahan juga tidak terlepas dari peran penyedia jasa konstruksi berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi baik sebagai perencana, pelaksana, pengawas atau manajemen konstruksi maupun jasa-jasa pengembangannya, termasuk penyedia jasa pengkaji teknis bangunan gedung. Pengaturan bangunan perumahan ini juga harus berjalan seiring dengan pengaturan jasa konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam rangka penyederhanaan perizinan pembangunan perumahan yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel guna mempercepat penyelenggaraan pembangunan perumahan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan rumah, maka dikeluarkanlah Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2016.

(5)

perumahan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat atas rumah. Seluruh jajaran terkait mengambil langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing secara terkoordinasi untuk menyederhanakan perizinan dalam pembangunan perumahan di Kementerian atau pemerintah daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2016 juga secara khusus menugaskan Menko Perekonomian berkoordinasi dan mengevaluasi pelaksanaan inpres dan melaporkan hasilnya pelaksanaan inpres kepada Presiden, Menteri Dalam Negeri bertugas menyederhanakan kebijakan, persyaratan, dan proses penerbitan Izin gangguan serta mendorong para gubernur, bupati/wali kota segera mendelegasikan kewenangan terkait perizinan pembangunan perumahan kepada Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Selain itu, berdasarkan Inpres Nomor 3/2016, Mendagri ditugaskan untuk mendorong gubernur, bupati/wali kota mempercepat penyederhanaan perizinan pembangunan perumahan melalui PTSP.

(6)

pendelegasian kewenangan terkait perizinan pembangunan perumahan kepada Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), penyederhanaan perizinan pembangunan perumahan melalui Pelayan Terpadu Satu Pintu (PTSP), dan pelaksanaan proses perizinan pembangunan perumahan melalui sistem online.

Berdasarkan latar belakang di atas, dipilih judul tentang "Penyederhanaan Prosedur Perolehan Izin Untuk Mendirikan Perumahan ".

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan izin mendirikan perumahan di Indonesia ? 2. Apa hambatan hukum dalam pemberian izin mendirikan perumahan ?

3. Bagaimana penyederhanaan prosedur pemberian izin mendirikan perumahan yang diinstruksikan dalam Inpres No. 3 Tahun 2016 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan izin mendirikan perumahan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui hambatan hukum dalam pemberian izin mendirikan perumahan.

3. Untuk mengetahui penyederhanaan prosedur pemberian izin mendirikan perumahan yang diinstruksikan dalam Inpres No. 3 Tahun 2016.

(7)

1. Secara teoritis.

a. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan secara teoritis dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan ilmu hukum, khususnya dalam bidang Hukum Administrasi Negara.

b. Untuk mengetahui secara konkrit sejauhmana perkembangan mengenai penyederhanaan prosedur pemberian izin mendirikan perumahan yang diinstruksikan dalam Inpres No. 3 Tahun 2016.

2. Secara praktis :

a. Diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya mengenai prosedur pemberian izin mendirikan perumahan dan pengawasan izin mendirikan perumahan

b. Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang cara memperoleh izin usaha mendirikan perumahan.

D. Keaslian Penulisan.

Berdasarkan informasi yang diketahui dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan skripsi terkait dengan “Penyederhanaan Prosedur Perolehan Izin Untuk Mendirikan Perumahanbelum pernah ditulis sebelumnya.

(8)

internet yang dijadikan referensi dengan menyebut sumbernya. Berdasarkan asas-asas keilmuan yang rasional, jujur, dan terbuka, maka penelitian dan penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan.

1. Perizinan

Perizinan adalah salah satu instrument yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi negara. Dengan dikeluarkannya izin, maka orang-orang atau perusahaan memohonkannya kepada pemerintah akan dapat melaksanakan aktivitasnya sesuai dengan materi yang ada dalam konsep izin itu.

Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau aturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan perundangan.5

Izin merupakan keputusan yang memperkenankan dilakukannya perbuatan yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh pembuat peraturan.

Pengertian di atas merupakan arti izin dalam arti sempit. Sehingga dalam kalimat tersebut dapat dipahami bahwa suatu pihak tidak dapat melakukan sesuatu kecuali diizinkan. Dalam hal ini izin didapat dari pihak pemerintah.

6

Ateng Syafudin mengatakan bahwa izin sebagai suatu instrumen pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat.7

5

Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, (Jakarta: Yuridiks, 1993), hlm 2 6

Ibid. 7

Ateng Syafudin, Pengurusan Perizinan, (Bandung: Pusat Pendidikan dan Pelatihan ST Alosius, 1992), hlm. 4.

(9)

dikeluarkan pemerintah dimaksudkan untuk memberikan keadaan yang tertib dan aman sehingga yang menjadi tujuannya akan sesuai dengan yang menjadi peruntukannya pula.

Sjahran Basah memberikan pengertian tentang izin yaitu, sebagai perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang menghasilkan peraturan berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku.8

Prajudi Atmosudirdjo menyebutkan izin adalah suatu penetapan yang merupakan dispensasi dari pada larangan oleh undang-undang. Dispensasi disini adalah pernyataan dari pejabat administrasi negara yang berwenang bahwa suatu ketentuan undang-undang tertentu, menjadi tidak berlaku terhadap kasus yang diajukan seseorang dalam surat permohonannya.9

Marbun dan Mahfud menyebutkan izin adalah apabila pembuat peraturan secara umum, tidak melarang suatu perbuatan asal saja dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Perbuatan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin.10

Izin adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang digunakan bagi pemohon sebagai legitimasi terhadap kegiatan yang sebenarnya dilarang dan sebagai sarana bagi

8

Sjahran Basah, Pencabutan Izin Sebagai Salah satu Sanksi Hukum Administrasi Negara, (Surabaya: FH. UNAIR, 1995), hlm. 3

9

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, ( Jakarta:Ghalia Indonesia,1988), hlm 25

10

(10)

pemerintah untuk mengawasi kegiatan tertentu yang dilarang. Dengan pengertian tersebut, maka izin merupakan tindakan hukum pemerintah.

Selain pengertian izin yang diberikan oleh beberapa sarjana tersebut, ada pengertian izin yang dimuat dalam peraturan yang berlaku, misalnya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah. Dalam ketentuan tersebut izin diberikan sebagai dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lain yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Sehingga pengertian izin dalam hal ini berbentuk tertulis yakni berupa dokumen, sehingga pemberian izin secara lisan tidak termasuk.

Kesimpulan dari pengertian izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu baik dalam bentuk izin maupun tanda daftar usaha.

Umumnya sistem perizinan terdiri dari larangan, persetujuan yang merupakan dasar perkecualian (izin) dan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan izin. Menurut Philipus M. Hadjon sistem perijinan dibagi menjadi tiga bagian pokok yaitu:11

11

(11)

a. Larangan.

Merupakan bagian pokok dari perizinan, karena izin ada karena adanya larangan dan ketentuan. Larangan harus ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. ketentuan-ketentuan dalam larangan menurut teknik perundang-undangan dapat diformulasikan dua cara, yaitu :

1) Larangan dan persetujuan dituangkan dalam suatu ketentuan Contoh : Dilarang mendirikan bangunan tanpa izin tertulis.

2) Norma larangan ditetapkan dalam suatu ketentuan tersendiri, sehingga larangan itu memperoleh tekanan tertentu

Contoh : Dilarang mendirikan perumahan dijalur hijau. b. Izin

Izin adalah bagian kedua dari sistem perijinan yang merupakan persetujuan atau perkenan dari pihak penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk melanggar atau menyimpangi suatu larangan dalam keadaan tertentu. Penguasa memberikan perkenaan berdasarkan kewenangan yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan.

c. Ketentuan-ketentuan.

(12)

2. Kebijakan Perumahan

Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kebijakan berasal dari kata bijak yang artinya selalu menggunakan akal budinya, pandai, mahir. Selanjutnya dijelaskan bahwa kebijakan diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi dan sebagainya), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran, garis haluan.

Abdul Wahab Solichin menjelaskan, bahwa istilah kebijakan lazim digunakan dalam kaitannya atau kegiatan pemerintah, serta perilaku negara pada umumnya dan kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan.12 Irfan Islamy merumuskan bahwa kebijakan adalah suatu tindakan yang mempunyai tujuan yang dilakukan sesorang pelaku atau sejumlah pelaku untuk memecahkan suatu masalah. Selanjutnya Irfan Islamy mengklasifikasi kebijakan, menjadi dua: substantif dan prosedural. Kebijakan substantif yaitu apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah sedangkan kebijakan prosedural yaitu siapa dan bagaimana kebijakan tersebut diselenggarakan. Ini berarti, kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah.13

12

Abdul Wahab Solichin, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, (Jakarta : Bumi Aksara, 2007), hlm.41.

13

Irfan Islamy, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, (Jakarta : Bumi Aksara, 2001), hlm.12

(13)

Hanif Nurcholis memberikan definisi kebijakan sebagai keputusan suatu oragnisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu, berisikan ketentuan-ketentuan yang dapat dijadikan pedoman perilaku dalam hal:14

a. Pengambilan keputusan lebih lanjut, yang harus dilakukan baik kelompok sasaran ataupun (unit) organisasi pelaksanaan kebijakan.

b. Penerapan atau pelaksanaan dari suatu kebijakan yang telah ditetapkan baik dalam hubungan dengan (unit) organisasi pelaksana maupun dengan kelompok sasaran yang dimaksudkan.

Menurut Arifin Tahir, bahwa kebijakan adalah keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan (repetiveness) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Sekalipun definisi menimbulkan beberapa pertanyaan atau masalah untuk menilai beberapa pertanyaan atau masalah untuk menilai berapa lama sebuah keputusan dapat bertahan atau hal apakah yang membentuk konsistensi dan pengulangan tingkah laku yang dimaksud serta siapa yang sebenarnya malakukan jumlah pembuat kebijakan dan pematuh kebijakan tersebut, namun demikian definisi ini telah memperkenalkan beberapa komponen kebijakan publik.15

Menurut Sahya Anggara, ada empat ciri pokok masalah kebijakan, yaitu sebagai berikut:

16

a. Saling kebergantungan. Kebijakan bukan merupakan suatu kesatuan yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari seluruh sistem masalah.

14

Hanif Nurcholis, Hanif, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007), hlm.263

15

Arifin Tahir, Kebijakan Publik & Transparansi Penyelenggaran Pemerintah Daerah, (Bandung : Alfabeta, 2014), hlm.62

16

(14)

b. Subyektifitas. Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu permsalahan didefinisikan, diklarifikasikan, dijelaskan, dan dievaluasi secara selektif.

c. Sifat bantuan. Masalah-masalah kebijakan dipahami, dipertahankan, dan diubah secara sosial.

d. Dinamika masalah kebijakan. Cara pandang orang terhadap masalah pada akhirnya akan menentukan solusi yang ditawarkan untuk memecahkan masalah tersebut.

Empat hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan mengandung berbagai pertimbangan, terlebih jika menyangkut masyarakat banyak. Artinya dapat berhubungan dengan prinsip kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, dan prinsip demokrasi.

Irfan Islami menyebutkan bahwa kebijakan mempunyai beberapa implikasi, yaitu sebagai berikut:17

a. Bahwa kebijakan publik itu dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan dari Pemerintah.

b. Bahwa kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang nyata.

c. Bahwa kebijakan publik itu, baik untuk melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu.

d. Bahwa kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat.

17

(15)

Persoalan perumahan dan permukiman di Indonesia sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika yang terjadi dalam kehidupan masyarakat maupun kebijakan pemerintah di dalam mengelola perumahan dan permukiman. Penyusunan arahan untuk penyelenggaraan perumahan dan permukiman, sesungguhnya secara lebih komprehensif telah dilakukan sejak Pelita V. Seiring perkembangan sosial politik yang ada; tuntutan reformasi; perubahan paradigma penyelenggaraan pembangunan nasional, dan dalam upaya menjawab tantangan serta agenda bidang perumahan dan permukiman ke depan.

Kebijakan dan strategi nasional perumahan dan permukiman, yang sekaligus merupakan reformasi dalam bidang perumahan dan permukiman. Kebijakan baru tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri KIMPRASWIL, No. 217/KPTS/M/2002 tentang Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP), yang merupakan arahan dasar yang masih harus dijabarkan secara lebih operasional oleh berbagai pihak yang berkepentingan di bidang penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Penjabaran secara teknis melalui kegiatan penyiapan perangkat pengaturan, perencanaan, pemrograman, pelaksanaan, dan pengendalian serta pengelolaan pembangunan dilakukan secara menyeluruh di semua tingkatan pemerintahan, baik di Pusat maupun Propinsi, Kabupaten dan Kota, yang dapat dicerminkan melalui penyiapan Propeda, RP4D dan Repetada di tingkat daerah.18

Ada 3 (tiga) kebijakan dan strategi nasional dalam pembangunan perumahan dan pemukiman yaitu:19

18

Iwan Suprijanto, Reformasi Kebijakan dan Strategi Penyelenggaraan Perumahan & Permukiman, Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 32, No. 2, Desember 2004, hlm.16

19

(16)

a. Melembagakan sistem penyelenggaraan perumahan dan permukiman dengan melibatkan masyarakat (partisipatif) sebagai pelaku utama, melalui strategi: 1) Penyusunan, pengembangan dan sosialisasi berbagai produk peraturan

perundang-undangan dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman.

2) Pemantapan kelembagaan perumahan dan permukiman yang handal dan responsif.

3) Pengawasan konstruksi dan keselamatan bangunan gedung dan lingkungan.

b. Mewujudkan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi seluruh lapisan masyarakat, melalui strategi :

1) Pengembangan sistem pembiayaan dan pemberdayaan pasar perumahan (primer dan sekunder), meliputi :

a) Peningkatan kualitas pasar primer melalui penyederhanaan perijinan, sertifikasi hak atas tanah, standarisasi penilaian kredit, dokumentasi kredit, dan pengkajian ulang peraturan terkait;

b) Pelembagaan pasar sekunder melalui SMF (Secondary Mortgage Facilities), biro kedit, asuransi kredit, lembaga pelayanan dokumentasi

kredit; dan lembaga sita jaminan.

2) Pengembangan pembangunan perumahan yang bertumpu keswadayaan masyarakat, meliputi :

(17)

b) Pengembangan dan pendayagunaan potensi keswadayaan masyarakat; c) Pemberdayaan para pelaku kunci perumahan swadaya;

d) Pengembangan akses pembiayaan perumahan swadaya.

3) Pengembangan berbagai jenis dan mekanisme subsidi perumahan, dapat berbentuk subsidi pembiayaan; subsidi prasarana dan sarana dasar lingkungan perumahan dan permukiman ataupun kombinasi kedua subsidi tersebut.

4) Pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat miskin, meliputi :

a) Pemberdayaan masyarakat untuk mengembangkan kemampuan usaha dan hidup produktif;

b) Penyediaan kemudahan akses kepada sumber daya serta prasarana dan sarana usaha bagi keluarga miskin,

c) Pelatihan teknologi tepat guna, pengembangan kewirausahaan, serta keterampilan lainnya.

5) Pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman akibat dampak bencana alam dan kerusuhan sosial, meliputi :

a) Penanganan tanggap darurat;

b) Rekonstruksi dan rehabilitasi bangunan, prasarana dan sarana dasar perumahan dan permukiman;

c) Pemukiman kembali pengungsi.

(18)

bencana alam atau kerusuhan sosial, sebelum proses lebih lanjut seperti pemulangan, pemberdayaan, dan pengalihan (relokasi).

6) Pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara, melalui pembinaan teknis penyelenggaraan dan pengelolaan aset bangunan gedung dan rumah negara.

c. Mewujudkan permukiman yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan guna mendukung pengembangan jatidiri, kemandirian, dan produktivitas masyarakat, melalui strategi:

1) Peningkatan kualitas lingkungan permukiman, dengan prioritas kawasan permukiman kumuh di perkotaan dan pesisir, meliputi :

a) Penataan dan rehabilitasi kawasan permukiman kumuh; (b) Perbaikan prasarana dan sarana dasar permukiman;

b) Pengembangan rumah sewa, termasuk rumah susun sederhana sewa (rusunawa).

2) Pengembangan penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman, meliputi :

a) Pengembangan kawasan siap bangun (Kasiba) dan lingkungan siap bangun (Lisiba);

(19)

skala besar secara terencana dan terpadu dalam manajemen kawasan yang efektif. Dalam pengembangan Kasiba dan Lisiba serta kaitannya dengan pengelolaan tata guna tanah, juga perlu dipertimbangkan pengembangan Bank Tanah untuk lebih mengendalikan harga tanah. 3) Penerapan tata lingkungan permukiman, meliputi :

a) Pelembagaan RP4D, yang merupakan pedoman perencanaan, pemrograman, pembangunan dan pengendalian pembangunan jangka menengah dan panjang secara sinergi melibatkan kemitraan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat

b) Pelestarian bangunan bersejarah dan lingkungan permukiman tradisional;

c) Revitalisasi lingkungan permukiman strategis;

d) Pengembangan penataan dan pemantapan standar pelayanan minimal lingkungan permukiman untuk mencegah perubahan fungsi lahan, menghindari upaya penggusuran, mengembangkan pola hunian berimbang, menganalisis dampak lingkungan melalui Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), serta Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) secara konsisten.

F. Metode Penelitian.

1. Jenis Penelitian.

(20)

pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.20

2. Spesifikasi Penelitian

Pendekatan yuridis normatif dalam penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, yang meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat menganalisa permasalahan yang akan dibahas.

Penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis peraturan hukum.21 Dengan menggunakan sifat deskriptif ini, maka peraturan hukum dalam penelitian ini dapat dengan tepat digambarkan dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian ini. Pendekatan masalah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (statute approach).22

3. Sumber data

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menganalisa yang dilakukan dengan cara memaparkan atau menggambarkan permasalahan mengenai prosedur perolehan izin mendirikan perumahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 ditinjau dari hukum administrasi negara.

Dalam penelitian ini diperlukan jenis sumber data yang berasal dari literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian, sebab penelitian ini

20

Soerjono Soekanto dan Sri Mamadji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hlm 1.

21

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm 10 22

(21)

merupakan penelitian dengan pendekatan normatif yang bersumber pada data sekunder. Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah sekunder yang terdiri dari:.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang berkaitan.23

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berupa buku, penelusuran internet, jurnal, surat kabar, makalah, skripsi, tesis maupun disertasi.

.

24

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan ensiklopedia. Selain itu juga buku mengenai metode penelitian dan penulisan hukum untuk memberikan penjelasan mengenai teknik penulisan.25

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka untuk memperoleh data sekunder berupa buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, termasuk peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:26

23

Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm 6. 24

Sri Mamuji, Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: UI Press, 2006), Hlm 12 25

Soerjono Soekanto, Ibid, hlm 7. 26

Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghlmia Indonesia, 1990), hlm. 63.

(22)

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan degan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

5. Analisis Data.

Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara kualitatif27 yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti sehingga dengan logika deduktif,28

a. Inventarisasi aturan hukum yang terkait dengan fakta hukum

yaitu berpikir dari hal yang umum menuju hal yang lebih khusus, dengan menggunakan perangkat normatif, yakni interpretasi dan konstruksi hukum sehingga diharapkan dapat dihasilkan suatu kesimpulan yang bersifat umum terhadap permasalahan dan tujuan.

Dalam menganalis data berupa peraturan perundang undangan maka akan dilakukan langkah langkah sebagai berikut :

b. Klasifikasi aturan hukum dan buat sistematika pengaturannya c. Deskripsi konsistensi, kontradiksi pada aturan hukum.

27

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.10

28

(23)

Dalam proses ini akan dipergunakan asas hukum untuk menganalis penyederhanaan prosedur pemberian izin mendirikan perumahan yang diinstruksikan dalam Inpres No. 3 Tahun 2016 ditinjau dari hukum administrasi negara. Selanjutnya akan diperhatikan sifat pengaturan (bersifat umum atau khusus) dalam aturan, bentuk hukum (hierarchi) dari aturan dan pengundangan dan atau pengumuman (lama atau baru) dari aturan hukum.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap tiap bab terbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini kemudian dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan ditutup dengan memberikan sistematikan dari penulisan skripsi ini.

(24)

BAB III HAMBATAN HUKUM DALAM PEMBERIAN IZIN MENDIRIKAN PERUMAHAN B. Bab ini menguraikan mengenai: Kendala dalam Pemberian Izin Mendirikan Perumahan, Upaya yang dilakukan Mengatasi Kendala dalam Pemberian Izin Mendirikan Perumahan.

BAB IV PENYEDERHANAAN PROSEDUR PEMBERIAN IZIN MENDIRIKAN PERUMAHAN YANG DIINSTRUKSIKAN DALAM INPRES NOMOR 3 TAHUN 2016

Bab ini menguraikan mengenai : Prosedur Pemberian Izin Mendirikan Perumahan, Pengawasan terhadap Izin Mendirikan Perumahan, Sanksi terhadap Pihak yang Belum Memiliki Izin Mendirikan Perumahan. BAB IV PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Sumadi Suryabrata (2000:72) variabel penelitian diartikan sebagai faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala-gejala yang diteliti. Variabel dalam

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar biaya yang dikeluarkan petani untuk usahatani bunga potong krisan dengan menghitung semua biaya yang dikeluarkan

1. Variabel yang mempengaruhi nilai pasar tanah kosong di Pakuwon Indah adalah lebar jalan. Sedangkan untuk perumahan Graha Famili dan CitraRaya, variabel luas tanah dan lebar

Fundamentalmente, como veremos adelante, el proceso de mejoramiento requerirá de implementar ac- ciones de formación y educación del personal involucrado en el manejo del cultivo,

Pengembangan multiple intelligences dalam pembelajaran di SDIT Harapan Bunda Purwokerto dilakukan melalui kegiatan intrakurikuler, yaitu berupa aktivitas-aktivitas

proses pembelajaran dalam penerapan kurikulum 2013 yaitu kurang siapnya siswa dengan model pembelajaran yang ada pada kurikulum 2013, kurangnya sarana dan prasarana di

Struktur ekonomi Kabupaten Kutai Barat dapat dilihat melalui kontribusi sektor- sektor produksi yang membentuk nilai PDRBnya. Sepanjang tahun 2008, Sektor

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena potensi produksi Eucheuma cottonii yang cukup tinggi, sehingga perlu adanya metode yang sederhana untuk