• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem I (4)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem I (4)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNOLOGI PENGEINDERAAN JAUH JAUH DAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM

PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

JALIN ELSAPRIKE

1ProgramPascasarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pertanian, Universitas

Bengkulu. Jalam WR Supratman, Kandang Limun, Bengkulu 38371 A, Indonesia Tel/Fax. +62-736-21170/ +62-736-22105, email : jalin_rike@yahoo.com

ABSTRAK

Implementasi teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) dalam pengelolaan terumbu karang pada perairan dangkal dengan metode secara Citra Landsat TM mempermudah pemetaan. Tujuannya adalah untuk mengetahui sebaran ekosistem terumbu karang pada perairan dangkal. Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan teknik menganalisis informasi tentang bumi dimana informasi tersebut khusus berbentuk radiasi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan dari permukaan bumi. Secara teknis sistem sensor yang mendeteksi radiasi elektromagnetik dan mengubahnya dalam bentuk sinyal, dapat diproses atau direkam serta obyek yang dideteksi oleh satelit.

Kata Kunci : Penginderaan jauh , Citra Landsat TM, sistem informasi geografis (SIG), elektromagnetik

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Memiliki lautan yang luasnya 70% dari total keseluruhan luas negaranya, perairan Indonesia menyimpan kekayaan terumbu karang terbaik dunia. Kelompok terumbu karang yang hidup berdampingan dengan sejenis tumbuhan alga, membentuk koloni karang yang terdiri atas ribuan hewan kecil, menjadikannya sebagai “surga” di bawah laut. Ditambah lagi dengan kawanan ikan-ikan yang beraneka warna, membuatnya semakin indah. Kekayaan biologi serta kejernihan airnya, membuat kawasan

(2)

jernih. Terumbu karang selalu terdapat diperairan tropis yang dangkal, kurang dari 50 m, hidup menempel didasar yang keras, bisa berupa batu atau benda keras lainnya dengan temperatur air laut tidak pernah lebih rendah dari 18° C, dengan salinitas ideal antara 32 – 34 permil (Viles dan Spencer, 1995 dalam Ipranta). Sebagian besar terumbu karang ini berlokasi di bagian timur Indonesia. Terumbu karang Indonesia memiliki berbagai macam keanekaragaman hayati, tercatat ada lebih kurang 590 spesies karang keras, 76 yang mewakili lebih dari 95% jumlah spesies yang tercatat di Pusat Segitiga Terumbu Karang. Menurut Nurjannah Nurdin, et al., 2013 Ekosistem terumbu karang memiliki peranan yang sangat penting, baik dilihat dari sisi manusia maupun keanekaragaman dan keberlanjutan biota laut. Fungsi alami terumbu karang yaitu (1) Habitat dan tempat berlindung, tempat mencari makan serta tempat berkembang biak biota yang ekonomis penting seperti berbagai jenis

(3)

Pembahasan

Teknologi penginderaan jauh dapat diimplementasikan ke bidang kelautan khususnya dalam pendeteksian obyek di dasar perairan dangkal (terumbu karang). Pemantauan terumbu karang hingga sampai pada penilaian kondisi terumbu karang memang sangat dimungkinkan, akan tetapi metode yang dilakukan masih dalam taraf pengembangan. Pada saat ini teknologi penginderaan jauh hanya dapat membantu memberikan data penyebaran dan kondisi secara umum saja. Pada awalnya, pemanfaatan penginderaan untuk memantau wilayah perairan dangkal dilakukan oleh Smith, et al. in Jupp, et al. (1985) yaitu salah satunya mengunakan metode sistem Citra Landsat, dalam karya tulis ini akan dibahas beberapa hasil terapan metode yang telah digunakan untuk mengidentifikasi sebaran keberadaan terumbu karang pada wilayah perairan dangkal di Indonesia agar nantinya dapat menjadi masukan positif bagi pengelolaan terumbu karang. Penginderaan jauh (remote sensing) adalah teknik yang dikembangkan untuk memperoleh dan menganalisis informasi tentang bumi dimana informasi tersebut khusus berbentuk radiasi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan dari

(4)

Gambar 1. Komponen Penting Teknologi Penginderaan Jauh

(Sutanto, 1986 )

Berdasarkan perkembangannya ada beberapa metode identifikasi dan pemetaan terumbu karang, menurut Muchlisin Arief, 2013 dalam identifikasi dan pemetaan dapat menggunakan data satelit multi spektral resolusi berorde puluhan meter (Lyzenga, 198, Dobson and Dutsan, 2000, Hochberg and Atkinsson, 2003, Maritorena. S, 1996) hingga data satelit resolusi tinggi (very high resolution) berorde puluhan centimeter seperti QuicBIRD maupun IKONOS (Ahmad, Invariant Index/DII”. Metode tersebut beranggapan bahwa dasar perairan nilai indeks yang merupakan perbaikan informasi dasar perairan. Sedangkan menurut Kennie dan Methhews, 1983, Sutanto, 1995 dalam Bambang Sulistyo, 2007 bahwa penggunaan metode

(5)

transfer, kemampuan penetrasi panjang gelombang tampak biru pada kedalaman 20 meter hanya sekitar 60% (Engman and Gurney, 1991). classifier).

Penginderaan jauh untuk terumbu karang memanfaatkan sifat radiasi elektromagnetik pada daerah spektrum sinar tampak. Spektrum ini dapat menembus air sehingga dapat mendeteksi terumbu karang yang yang berada di bawah permukaan air. Secara kasar spektrum sinar tampak dapat dibagi tiga bagian yaitu spektrum sinar biru (panjang gelombang kecil), sinar hijau (panjang gelombang sedang) dan sinar merah (panjang gelombang besar). Semakin kecil panjang gelombang, maka spektrum sinarnya akan semakin dalam menembus air.

Menurut Bambang Sulistyo, 2017 ada 2 metode klasifikasi yaitu Klasifikasi Terselia (Survised Clasification) dan Klasifikasi Tak Terselia (Unsurvised Clasification). Dikatakan klasifikasi terselia apabila kita mengambil sampel diketahui nama objeknya. Objek ini keseragaman dapat dilihat dari feature spacenya, bentuk agihan normalya (apakah terdiri dari 1 kelas atau lebih)

(6)

Berikut tahapan-tahapan penyusunan pemetaan sebaran ekosistem terumbu karang dengan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis yang disusun oleh penulis dan secara umum banyak digunakan :

Gambar 2. Diagram Alir

Tahap I : Pengolahan Data Citra Awal

Empat bagian utama yang harus dilakukan untuk pengolahan awal citra satelit Landsat_TM, yaitu pembatasan wilayah penelitian (cropping citra), penajaman citra (image enhancement), koreksi radiometrik dan koreksi geometrik.

Tahap II: Desain Data Transformasi Citra

Pengolahan ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi obyek dasar perairan, karena informasi yang didapat dari citra awal masih tercampur dengan informasi lain seperti kedalaman air, kekeruhan, dan pergerakan permukaan air. Pengolahan ini meliputi penghilangan efek air, ekstraksi informasi obyek dasar laut dengan menggunakan metode yang didasari oleh “Model Pengurangan Eksponensial” (Exponential Attenuation Model) oleh Lyzengga (1978).

Liz = Li^ + (0,54 Lib – Li^)exp –2 kiz Penurunan dari persamaan ini telah menghasilkan persamaan berikut (Lyzengga, 1981; Engel, 1988 dan Siregar (1995) :

Y = ln (TM1) + ki/kj . ln (TM2)

Tahap III: Klasifikasi Citra Perkelas

(7)

Tahap IV: Survei Lapangan (Groundcheck)

Dua kegiatan pokok yang dilakukan dalam survei lapangan, yaitu penentuan stasiun dan pengambilan data. Dalam penentuan stasiun dan lokasi penelitian didasarkan pada pengamatan kualitatif, yaitu dengan melihat keragaman penutupan karang yang dilakukan secara visual pada hasil pengolahan citra awal. Hasil pengolahan citra awal dapat diperoleh gambaran tentang kondisi dan penyebaran terumbu karang secara umum, sehingga dapat ditentukan daerah yang tepat untuk dijadikan stasiun/lokasi pengamatan. Informasi tentang distribusi dan kondisi terumbu karang pada kedalaman sekitar 0 – 10 meter dapat dilakukan dengan pengamatan bawah air secara langsung melalui metode transek garis (line transect method) (English, et all, 1994). Kegiatan transek yang dilakukan sejajar dengan garis pantai pada kedalaman yang berbeda, yaitu 1-3 m, 3-5 m dan 5-10 m sebanyak 36 transek dengan panjang transek masing-masing 30 meter.

Tahap V: Pengolahan Akhir

Pada dasarnya tahap ini hampir sama dengan tahap pengolahan citra awal, hanya saja dalam interpretasi citra dan identifikasi suatu objek harus dikonfirmasikan dengan data lapangan,

artinya klasifikasi tersebut harus didasarkan pada data lapangan dengan posisi yang sudah dicatat sebelumnya. Analisa lanjutan inilah yang disebut analisa dengan klasifikasi supervised, yaitu klasifikasi yang didasarkan pada data lapangan yang sudah ada (klasifikasi terbimbing).

Berikut ini contoh gambar hasil pemetaan terumbu karang dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam pengelolaan terumbu karang

Gambar 3 : Peta Sebaran Terumbu Karang Berdasarkan Hasil Klasifikasi (Maximum likelihood

Classification) Data Lansat-TM

Tahun 1997 (a) dan 2002 (b) di Kepulauan Spermonde (Abdul Rauf,

(8)

(a)

(b)

Gambar 4. Hasil citra perekaman (a) tanggal 13 September 2000, (b)

tanggal 16 Oktober 2006, hasil transformasi algoritma Lyzenga di

sekitar titik lokasi pengamatan Perairan Bagian Barat Daya Pulau

Moyo, Sumbawa (Rita Aitiando Pasaribu, 2008)

Gambar 5 : Informasi spasial terumbu karang hasil proses

algorithma yang disusulkan algorithma Lyzenga di Perairan

Pantai Ringgung Kabupaten Pesawaran (Muchlisin Arief, 2013)

Gambar 6 : Peta terumbu karang hasil perbandingan di Pulau Enggano

Kabupaten Bengkulu Utara (Bambang Sulistyo, 2007)

Gambar 7: Peta terumbu karang hasil analisis bermacam-macam vegetasi dari Citra Landsat TM Satelit (Bambang Sulistyo, 2017)

Kesimpulan

(9)

diketahui tingkat pertumbuhan dan presentase penutupannya dari hasil analisis citra terklasifikasi.

Daftar Pustaka

Bambang Sulistyo. 2007. “Uji Ketelitian Identifikasi Penyebaran Terumbu Karang Berdasarkan Landsat TM (Studi kasus di Pulau Enggano Kabupaten Bengkulu

Utara)” Majalah Geografi

Indonesia, Vol 21, http ://www.researchgate.net/publicati on/303005701.

Nurjannah Nurdin, et al., 2013 “Dinamika Spasial Terumbu Karang Pada Perairan Dangkal Menggunakan Citra Landsat, Di Pulau Langkai, Kepulauan Spermonde”. Jurnal Ilmiah Geomatika. Universitas Hasanudin.

Surahman & Rustam Efendi, 2015. “Penentuan Sebaran Terumbu Karang Dengan Menggunakan Algoritma Lyzenga Di Pulau Maitara”. Prosiding Seminar Nasional Kemaritiman dan Sumber Daya Pulau-Pulai Kecil. pp. 101-107.

Teguh Harianto & Alhadir Lingga, 2016. “Analisa Perubahan Luasan Terumbu Karang Dengan (Studi Kasus : Di Perairan Pantai

Ringgung Kabupaten

Pesawaran). Jurnal Penginderaan Jauh. Vol. 10. No. 2. pp. 71-82. Jeprry. C.M, et al., 2014 “Analisis

Perubahan Luasan Terumbu Karang Dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh Di Perairan Pulau Pramuka

Kabupaten Administrasi

Kepulauan Seribu”. Maspari Journal. Vol. 6. No. 2. pp 124-132. ISSN 2087-0558. satellite landsat thematic

mapper”. Biodeversitas.

(10)

Faculty of Agriculture, Universitas Bengkulu. ISSN 1412-033X. Vol. 18. No. 1. pp. 351-358.

Riza A. Pasaribu, 2008. “Studi Perubahan luasan Terumbu Karang Dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh Di Perairan Bagian Barat Daya Pulau Moyo, Sumbawa”. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Abdul Rauf & Muh. Yusuf, 2004. “Studi Distribusi Dan Kondisi Terumbu Karang Dengan

Menggunakan Teknologi

Penginderaan Jauh Di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan”. Journal Ilmu Kelautan. Vol 9. No. 2. ISSN 0853-7291. pp 74-81.

Lalu. M. J & Zulfahmi. A, 2016. “Studi Pemetaan Pemutihan Terumbu Karang Dengan Citra Resolusi Tinggi (Studi Kasus : Perairan PLTU Paiton Probolinggo)”. Journal Geoid. Vol. 11. No. 2. pp 142-150.

Ipranta, “Perubahan Sebaran Terumbu Karang Di Teluk Banten Berdasarkan Interpretasi Citra Landsat TM 1994-1997”. di browing via www.google.com. Tanggal 1/12/2017. Jam 10.15 WIB

Gambar

Gambar 2. Diagram Alir
Gambar 3 : Peta Sebaran Terumbu
Gambar 4. Hasil citra perekaman (a)

Referensi

Dokumen terkait

Reaksi transesterifikasi pembentukan metil ester (biodiesel) dari limbah minyak tepung ikan sar- din menggunakan NaOH sebagai katalis.. Tujuan penelitian adatah

Keunggulan beras analog tidak hanya karena berbentuk menyerupai butiran beras, selain itu komposisi gizinya dapat didesain dengan menggunakan berbagai bahan baku sehingga

1) Perjalanan yang bertanggungjawab, dimana seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan ekowisata harus berupaya melakukan perlindungan alam atau setidak-tidaknya

Penelitian ini bertryuan untuk rnengkaji intenelasi antara faktor fisik, non fisik tlan pcrilaku petani dalam manajemen sumber daya pertanian, dan menemukan faktor yang

Variabel respon yaitu angkatan kerja yang bekerja dan tidak bekerja (pengangguran), dengan variabel prediktor jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, status dalam rumah

Hasil Penelitian menunjukkan kualitas pelayanan sistim informasi akademik berbasis e-administrassion yang ada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry belum cukup

Indikator kemampuan motorik halus menurut permendiknas (2009) yang bisa dilakukan melalui finger painting meliputi (1) Melatih gerakan otot jari jemari dan kedua tangan,

Umroh Paket Hemat Mei 2015 - Seiring dengan semakin meningkatnya para calon jamaah yang ingin menunaikan ibadah umroh, terutama di bulan mei ini, kami Travel Umroh Murah di