• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keunggulan dan Kelemahan Implemetasi MBS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Keunggulan dan Kelemahan Implemetasi MBS"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Keunggulan dan Kelemahan Implemetasi MBS

Oleh: Herdayati, S.Pd dan Syahrial, S.Th.I

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi MBS dari sudut pandang keunggulan dan kelemahannya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan melakukan kajian pustaka, bahwa kelas akselerasi dalam pelaksanaannya sangat membantu bagi siswa yang mempunyai kemampuan, kecerdasan istimewa perlu mendapatkan pelayanan khusus sesuai dengan kecepatan belajarnya. Secara umum sejak tahun 1974 pemerintah sudah mengupayakan pelayanan yang terbaik bagi siswa-siswa yang demikian, terbukti dengan diterbitkannya undang-undang, pasal, permendiknas tentang pelayanan tersebut. Tetapi kelas akselerasi disamping bermanfaat yang membantu siswa berbakat, ada juga kelemahannya.

Kata Kunci: Implementasi MBS, Keunggulan dan Kelemahannya.

A. Pendahuluan

Tatanan kehidupan masyarakat yang tidak beraturan merupakan dampak atau akibat dari lemahnya sistem perekonomian yang menjadikan krisis yang berkepanjangan. Krisis itu terjadi dalam berbagai bidang karena rendahnya kualitas, dan kemampuan masyarakatnya. Peningkatan kualitas dalam masyarakat merupakan syarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan.

Pendidikan merupakan suatu upaya sadar untuk menciptakan manusia yang seutuhnya yang dapat berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pendidikan berguna untuk membentuk pribadi yang berkarakter tangguh, berbudi pekerti, mandiri, dan berpengetahuan yang dilakukan secara terus-menerus dan berlangsung seumur hidup (long life learner).

(2)

kemajuan suatu bangsa dapat ditandai dan diukur dari kemajuan pendidikannya (Moch. Idochi Anwar, 2004 : 40-41). Kemajuan beberapa negara didunia tidak terlepas dari kemajuan yang dimulai dan dicapai dari pendidikannya.

Saat ini mutu pendidikan di Indonesia kurang memuaskan banyak pihak, sehingga perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pengembangan mutu pendidikan terletak pada efektifitas belajar-mengajar dan sumber daya pendidik seperti guru yag bermutu, dana yang memadai, serta fasilitas dan infrastruktur yang memadai pula.

Pada pertengahan tahun 1998 telah terjadi reformasi di negara Indonesia, yang pada dasarnya bersifat untuk mengejar kebebasan. Demonstrasi-demonstrasi sering terjadi untuk menuntut hak dan keadilan. Reformasi ini pun turut berdampak pada sistem pendidikan, yang didahului oleh perubahan Undang-Undang Pendidikan yang menghendaki paradigma sentralistik bergeser menjadi paradigma desentralistik pada sistem pendidikan (Zainuddin, 2008 : 60-62).

Pendidikan merupakan salah satu bidang yang disentralisasikan yang berkaitan erat dengan filosofi otonomi daerah. Secara esensial filosofis otonomi daerah adalah pemberdayaan dan kemandirian daerah menuju kematangan dan kualitas masyarakat yang dicita-citakan. Melalui pendidikan diharapkan pemberdayaan, kematangan dan kemandirian serta mutu bangsa secara menyeluruh dapat terwujud. Upaya peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan dengan melakukan reformasi pendidikan, untuk memperbaiki sistem pendidikan persekolahan agar dapat menjawab tantangan nasional, regional, dan global yang berada dihadapan kita.

(3)

peranan sekolah dan masyarakat dalam mendukung pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah (Zainuddin, 2008 : 60-62).

MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) merupakan wujud perubahan sistem (reformasi) pendidikan. Istilah reformasi sendiri dipersamakan dengan revolusi dalam hal perubahan secara besar-besaran. Hal ini merupakan perombakan dan sistem pembangunan pendidikan yang lebih didominasi oleh pemerintah. Dimana pembangunan pendidikan oleh pemerintah memang harus dirombak, karena terbukti kurang efektif, efisien dan produktif. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa beberapa karakteristik reformasi dalam bidang tertentu, yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa lalu, keinginan untuk memperbaikinya.

Sehubungan dengan hal itu, keberhasilan implementasi MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) dalam desentralisasi pendidikan sedikitnya dilihat dari tiga dimensi yaitu efektivitas, efisiensi, dan produktivitas. Ketiga dimensi tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi.

Efektivitas, efisiensi, dan produktivitas MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) dan selanjutnya akan ditulis MBS saja, harus sejak awal ditetapkan agar dapat diketahui dampaknya sejak awal terhadap pencapaian pendidikan. Dengan demikian, sejak awal dapat diketahui kelemahan-kelemahan atau kekurangan-kekurangan sementara kelebihan dan kekuatannya dapat dipertahankan.

B. Pembahasan

1.

Definisi Operasional Implementasi MBS 1.1 Secara Etimologi

(4)

menerapkan; 2) pemasangan; (3) pemanfaatan; perihal mempraktikkan (Depdikbud, 1990 : 488, 935).

Sama halnya dalam Kamus Indonesia Inggris, implementation berarti implementasi (John M. Echols & Hassan Shadily, 2007 : 221), sementara dalam Kamus Oxford, kata implementasi mengandung makna kata sifat (adjectives), kata kerja (verb), dan kata benda (noun), sebagai berikut :

a. Adjectives : 1) effevtive, successful; 2) full; 3) large-scale, widespread; 4) detailed; 5) smooth; 6) actual, practical; 7) early, immediate; 8) gradual; 9) policy.

b. Verb : 1) achieve, ensure; 2) accelerate, expedite, facilitate, simplify; 3) delay, hinder; 4) monitor, oversee, supervise; 5) consider, discuss.

c. Noun : 1) plan, strategy; 2) process; 3) phase; 4) problem (Colin Mclntosh, 2012 : 417).

(terjemahan, a. Kata sifat : 1) efektif, sukses; 2) penuh; 3) skala besar, luas; 4) terperinci; 5) halus; 6) yang sebenarnya, praktis; 7) awal, segera; 8) bertahap; 9) kebijakan. b. Kata kerja : 1) mencapai, memastikan; 2) mempercepat, mempermudah, menyederhanakan; 3) delay, menghalangi; 4) memantau, mengawasai, 5) mempertimbangkan, membahas. c. Kata benda : 1) rencana, strategi; 2) proses; 3) fase; 4 ) masalah.)

Sedangkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) secara leksikal berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berari dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberikan pelajaran Depdikbud, 1990 : 553, 83, 796).

1.2

Secara terminologi

(5)

Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan”(Nurdin Usman, 2002 : 70).

Pengertian implementasi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa implementasi adalah bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana (sistematis) dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu implementasi tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh objek berikutnya.

Menurut Guntur Setiawan dalam bukunya yang berjudul Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan mengemukakan pendapatnya, yaitu : “Implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif”(Guntur Setiawan, 2004 : 39).

Pengertian implementasi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa implementasi yaitu merupakan proses untuk melaksanakan ide, proses atau seperangkat aktivitas baru dengan harapan orang lain dapat menerima dan melakukan penyesuaian dalam tubuh birokrasi demi terciptanya suatu tujuan yang bisa tercapai dengan jaringan pelaksana yang bisa dipercaya.

Menurut Hanifah Harsono dalam bukunya yang berjudul Implementasi Kebijakan dan Politik mengemukakan pendapatnya, yaitu : “Implementasi adalah suatu proses untuk melaksanakan kebijakan menjadi tindakan kebijakan dari politik ke dalam administrasi. Pengembangan kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu program”(Hanifah Harsono, 2002 : 67).

Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS) sangat terkait dengan istilah manajemen, sedangkan pengertian manajemen menurut Kartono sebagai penyelenggaraan usaha penyusunan dan pencapaian hasil yang diinginkan, dengan mengggunakan upaya kelompok, terdiri atas penggunaan bakat-bakat dan sumber daya manusia (Kartini Kartono,1994:148).

(6)

sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu (Malayu Hasibuan. 1995: 3).

Dengan manajemen yang baik maka tujuan yang akan dicapai dapat diukur. Manajemen di perlukan untuk merumuskan tujuan organisasi, menetapkan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan itu, mengkomunikasikan kepada orang-orang yang akan mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan untuk mencapai tujuan dan menetapkan bagaimana mengukur keberhasilan pencapaian tujuan tersebut. Jadi dapat dilihat bahwa manajemen itu diperlukan untuk pencapaian tujuan tertentu secara efektif dan efisien.

Dari pengertian manajemen tersebut diatas, maka bila dihubungkan dengan Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) hal ini sangat berdekatan, karena antara pengelolaan sebuah sekolah sudah barang tentu menyangkut segala perencanaan dan pelaksanaan sekolah.

Beberapa ahli memberi batasan tentang pengertian MBS sesuai dengan sudut pandangan masing-masing sehingga telah terjadi perbedaan, namun intinya terdapat kesamaan. Pendapat E. Mulyasa (2004 : 24) MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Hal ini mengisaratkan, bahwa otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staff, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.

Pendapat Nanang Fatah (2003 : 8), MBS merupakan pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, komite sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.

(7)

yang melibatkan langsung semua warga sekolah yang dilayani dengan tetap selaras pada kebijakan nasional pendidikan.

Manajemen berbasis sekolah merupakan istilah yang berasal dari tiga kata yaitu : manajemen, berbasis, dan sekolah. Masing-masing mepunyai arti pertama, manajemen adalah “pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan, kedua, berbasis adalah berdasarkan pada atau berfokus pada, ketiga, sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan ‘bekal kemampuan dasar’ kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (Slamet PH, 2000 : 609).

MBS adalah “pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara otomatis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan” (Taufiqurrahman, 2002 : 14).

2. Ruang Lingkup Implementasi MBS

Secara yuridis ketetapan lahirnya MBS di Indonesia bergulir sejak era reformasi. Hal ini telah ditetapkan dalam peraturan perundangan tentang UU Otonomi Daerah, UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, dan UU No. 25 tentang perimbangan kekuatan keuangan antara Pusat dan Daerah (kini disempurnakan menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004), yang telah mengubah segala peraturan dari yang bersifat sentralistik (top down) menjadi desentralisasi. Pemerintah pusat telah memberikan kewenangan bagi masing-masing daerah untuk mengatur atau mengurus segalah urusan rumah tangga daerahnya masing-masing termasuk dalm hal pendidikan (Hasbullah, 2007 : 66).

(8)

melatar belakangi penetapan manajemen berbasis sekolah sebagai bagaian dari revolusi pendidikan, di antaranya:

a. Penerapan manajemen berbasis sekolah merupakan adopsi dari semakin majunya manajemen moderen dalam bidang industri dan organisasi konvensional (Nurkholis, 2006 : 16-19). Secara praksis manajemen dalam bidang industri memang sesuai untuk diterapkan dalam dunia pendidikan. Di mana manajemen ini menuntut pihak pengelola dan stake holder, serta masyarakat untuk saling berperan aktif.

b. Gerakan reformasi sekolah efektif, sekolah mandiri, pengembangan kurikulum berbasis sekolah, pengembangan staff sekolah dan lain-lain. c. Masyarakat mulai mempertanyakan relevansi dan korelasi hasil

pendidikan dengan kebutuhan masyarakat, ini seperti yang terjadi di Amerika.

d. Adanya ketimpangan kekuasaan dan kewenangan yang terlalu terpusat pada atasan dan cenderung mengesampingkan bawahan.

e. Kinerja pendidikan yang cenderung menurun.

f. Kesadaran birokrat dan desakan pecinta pendidikan uintuk merestrukturisasi pengelola pendidikan.

g. Sentralisasi pendidikan yang otoriter.

Berikut ini disebutkan beberapa contoh negara-negara maju yang menerapkan model MBS dengan istilah yang berlainan, namun pada prinsipnya sama, dalam makalah online Syamsuddin yang dirangkum dari para penulis.

1. Model MBS di Hongkong

Di Hongkong, MBS disebut The School Management Initiatif (SMI) atau sekolah manajemen sekolah inisiatif. Latar belakang munculnya MBS di Hongkong adalah karena kondisi pendidikan yang kurang baik sehingga perlu adanya perbaikan. Struktur dan manajemen yang tidak memadai, peran dan tanggung jawab masing-masing pihak kurang dijabarkan secara jelas, kurang memadainya alat pengukuran prestasi, saat itu masih dipentingkan kontrol secara ketat namun kurangnya kerangka kerja tanggung jawab dan akuntabilitas, dan lebih mementingkan kontrol pembiayaan daripada efektivitas pembiayaan.

(9)

pembelanjaan anggaran pemerintah, perlunya evaluasi secara sistematis terhadap hasil, hubungan yang erat antara tanggung jawab sumber daya dan tanggung jawab manajemen, perlu adanya organisasi dan kerangka kerja yang sesuai, hubungan yang jelas antara pembuat kebijakan dengan agen-agen pelaksana.

2. Model MBS di Kanada

Model MBS di Kanada adalah School-site Decision Making (SSDM) atau pengambilan keputusan diserahkan pada tingkat sekolah. Di mulai pada tahun 1970 dengan tujuh sekolah sebagai pecobaan . desentralisasi yang diberikan kepada sekolah adalah alokasi sumber daya bagi staff pengajar dan administrasi, peralatan dan pelayanan. Pada tahun 1980-1981 di adopsi secara besar-besaran ke berbagai sekolah dengan pendekatan manajemen mandiri.

ciri-ciri MBS di Kanada sebagai berikut : penentuan alokasi sumber daya ditentukan sekolah, anggaran pendidikan diberikan secara lumpsum, alokasi anggaran pendidikan tersebut dimasukkan ke dalam anggaran sekolah, adanya program efektivitas guru dan adanya program profesionalisme tenaga kerja.

Penekanan model MBS di kanada ini dalam hal pengambilan keputusan diserahkan kepada masing-masing sekolah secara langsung. Akan tetapi terbatas pada beberapa hal saja, yaitu yang menyangkut pengangkatan, promosi, penghargaan dan penghentian tenaga guru dan administrasi, pengadaan perlatan sekolah, pelayanan kepada pelangganan sekolah.

Sebelum diterapkan MBS tiga bidang yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Pertama, pengadaan pegawai sekolah semuanya diangkat dari pusat. Kedua, pengadaan peralatan

(10)

bahkan semakin berkurang perannya. Terutama pada area khusus, yaitu dukungan pendanaan.

Saat itu muncul berbagai rekomendasi baik dari individu maupun organisasi yang berpengaruh untuk mengadopsi MBS. Dukungan datang dari Asosiasi Gubernur Nasional (National Governor’s Association), persatuan guru terbesar di Amerika Serikat, yaitu The National Education Asssociation dan asosiasi kepala sekolah menengah pertama (The National Association of secondary school Principal). Mereka menyarankan bahwa sebagai syarat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan maka otoritas pengambilan keputusan harus berada pada tingkat sekolah melihat sejarah kemunculannya seperti tersebut itu maka model MBS di Amerika Serikat disebut dengan Site-Based Management.

4. Model MBS di Inggris

Kebijakan pemerintahan Thatcher (1986) memberi bukti yang paling nyata dalam reformasi pendidikan di Inggris. Saat itu, si tangan besi tersebut mengemukakan bahwa keseimbangan otonomi, kekuasaan dan akuntabilitas pendidikan sedang dilakukan definisi ulang. Beberapa inisiatif reformasi pendidikan kemudian dimasukkan ke dalam Undang-Undang Pendidikan (Education Act) tahun 1988, antara lain berisi adanya kurikulum inti nasional, adanya ujian nasional, serta pelaporan nasional.

Kontrol terhadap anggaran sekolah diberikan kepada lembaga pengelola/pengawas beserta para kepala sekolah menengah atas (secondary school) dan sebgaian sekolah dasar (primary school) dalam waktu lima tahun. Sementara itu, bantuan dana pendidikan dari pemerintah pusat diberikan langsung kepada masing-masing sekolah. Itulah kiranya mengapa model MBS di Inggris disebut Grant Maintained School (GMS) atau manajemen dana swakelola pada tingkat lokal.

Awal dari pelaksanaan model MBS di Inggris adalah dalam hal pengelolan pembiayaan pendidikan yang semula diatur ketat oleh pemerintah kemudian diserahkan pengelolaannya kepada masing-masing sekolah. Pengelolaan anggaran dimulai dari penentuan kebutuhan oleh masing-masing sekolah hingga pada pengalokasian dananya berdasarkan prioritas.

(11)

5. Model MBS di Australia

Di Australia lebih dari seratus tahun hingga waktu 1970an, pengelolaan pendidikan ditangani secara langsung oleh pemerintah pusat, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas (primary and secondary school) diadministrsikan oleh masing-masing negara bagian (state) di bawah pengelolaan sentralistik yang kuat oleh Departemen Pendidikan.

Namun, sejak awal 1970an telah terjadi perubahan yang dramatis dalam pengelolaan pendidikan di negara Kangguru itu. Perubahan yang nyata adalah pemerintah federal mulai memiliki keterlibatan peran yang amat penting dalam pengelolaan pendidikan mulai Australian Commonwealh School Commision yang dibentuk tahun 1973. Oleh karena itu, peran Departemen Pendidikan pusat semakin kompleks yang akhirnya mendorong untuk melimpahkan pengambilan keputusan pada tingkat sekolah yang berkaitan dengan hal-hal terpenting dalam pengelolaan dana, misalnya yang terjadi di negara bagian Tasmania.

Karakteristik dari MBS di Australia dapat dilihat dari aspek kewenangan sekolah yang meliputi, pertama, menyusun dan mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Kedua, melakukan pengelolaan sekolah yang dapat dipilih di antara tiga kemungkinan, yaitu Standard Flexibility Option (SO), Enhanced Flexibility Option-1 (EO1), dan Enhanced Flexibility Option-2 (EO2). Ketiga, membuat perencanaan, melaksanakan dan mempertanggungjawabkannya. Kempat, adanya akuntabilitas dalam pelaksanaan MBS. Kelima, menjamin dan mengusahakan sumber daya manusia dan sumber daya keuangan. Keenam, adanya fleksibilitas dalam penggunaan sumber daya sekolah.

6. Model MBS di Perancis

Perancis adalah negara maju yang agak lambat dalam mereformasi pendidikan. Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Australia sudah memulainya sejak awal tahun 1970-an, namun Perancis baru melakukan desentralisasi pendidikan secara sunguh-sungguh mulai tahun 1980-an.

(12)

sekolah yang dipimpinnya. Disini terdapat hubungan atas (secondary school) masih dilihat sebgai sekolah tradisoinal sentralistis (Traditionally school centered) dimana pelaksanaan desentralisasi masih dibayang-bayangi oleh sentralisasi pendidikan.

Kemajuan yang sangat berarti terjadi untuk hampir setiap sekolah pada tahun 1982-1984 di mana otoritas lokal memiliki tanggung jawab terhadap dukungan finansial. Kekuasaan badan pengelola sekolah menengah atas diperluas ke beberapa area. Sementara itu, pengangkatan dan pemilihan guru masih dilakukan oleh pusat dengan ketat. Masing-masing sekolah menerima anggaran secara lumpsum terhadap jam

Masih dalam perdebatan akan dimulainya desentralisasi pemerintahan di Nikaragua. Namun, salah satu pertanda yang terjadi pada tahun 1982 adalah pemerintah Sandinista berusaha meningkatkan partisipasi dan pengelolaan berbagai pelayanan yang dipindahkan dari pemerintah pusat ke enam pemerintahan regional.

Dalam bidang pendidikan sebuah uji coba terjadi di pemerintahan Chamorro di tahun 1993 untuk mentransformasikan pendelegasian wewenang ke dewan sekolah di dua puluh sekolah menengah. Selanjutnya, pada tahun 1994 sebanyak 33 sekolah menengah setuju untuk menjadi sekolah otonom. Pada akhir 1995 terdapat penambahan sebanyak 350 sekolah dasar dan menengah ikut berpartisipasi dalam reformasi pendidikan.

(13)

Sepanyol disebut Normativa de Funcionnamiento de Centros Autonomos.

Model MBS Nikaragua difokuskan pada mendesentralisasikan pengelolaan sekolah dan anggaran sekolah yang keputusannya diserahkan kepada dewan sekolah (consenjos directivos). Teori kebijakan berpendapat bahwa bila aktor ditingkat sekolah mencakup orang tua, guru, dan pimpinan sekolah memiliki kontrol dalam politik dan keuangan sekolah, sekolah akan memiliki akuntabilitas dan sumber daya sekolah akan dipergunakan secara rasional dalam rangka meningkatkan prestasi siswa.

MBS sebagai bentuk desentralisasi pendidikan di Nikaragua menyangkut empat tahapan penting yaitu desentralisasi kebijakan, perubahan organisasi sekolah, kondisi lokal dan sejarah organisasi, serta hasil yang diharapkan.

Dewan sekolah di Nikaragua juga memiliki otoritas legal yang luas mencakup kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan staff sekolah, mengangkat dan memberhentikan piminan sekolah, menyesuaikan insentif dan gaji guru, memantapkan dan menarik sumbangan pendidikan dari siswa, pemilihan buku pelajaran dan melakukan evaluasi terhadap para guru sekolah. Dalam teorinya dewan sekolah tersebut juga memiliki kewenangan untuk mengalokasikan dana untuk pengajaran, mengelola pendapatan sekolah, program pelatihan, dan dalam hal kurikulum yang di anggap sesuai.

8. Model MBS di Selandia Baru

Di Selandia Baru, perhatian masyarakat luas untuk terlibat dalam pendidikan sudah tampak sejak tahun 1970an dengan adanya konferensi Pengembangan Pendidikan (Education Development Conference) yang melibatkan 60.000 orang dalam 4.000 kelompok diskusi.

Salah satu hal yang mempermudah pelaksanaan implementasi MBS di Selandia Baru adalah keterbukaan pemerintah untuk menerima rekomendasi laporan Picot.

Laporan Picot menyimpulkan bahwa saat itu struktur administrasi pendidikan di Selandia Baru terlalu sentralistis dan terlalu kompleks dengan adanya titik-titik pengambilan keputusan yang terlalu banyak. Ia meyakini bahwa sistem administrasi yang efektif harus sesederhana mungkin dan keputusan harus dibuat sedekat mungkin dengan tempat pelaksanaan pendidikan.

(14)

mengalami reformasi besar-besaran. Berbagai bentuk perubahan dalam pengelolaan pendidikan di Selandia Baru didasarkan pada laporan Picot yang berjudul “ Administering for Excellence; Effective Administration in Education” yang memuat lima kritik terhadap sistem pendidikan di Selandia baru, yaitu pengambilan keputusan yang terlalu sentralistik, kompleksitas titik-titik pengambilan keputusan kurangnya informasi dan pilihan, kurangnya efektifitas praktik menajemen, dan perasaan ketidakberdayaan.”

Sebagian sekolah menengah atas (secondary school) dikontrol dan dikelola oleh dewan gubernur yang keanggotaannya kebanyakan dari orang tua siswa dan anggota masyakat lainnya.

Kerangka kerja kurikulum nasional masih akan berlaku, namun masing-masing sekolah mengembangkan pendidikan khusus kepada siswanya. Dukungan pendanaan pendidikan di sekolah dijalankan dengan sistem quasi-free market di mana sekolah akan membuat perencanaan dan keleluasaan pengelolaan dana sekolah.

9. Model MBS di El Salvador

Dilatarbelakangi oleh keadaan pasca perang pada tahun 1991, menteri Pendidikan El Salvador menciptakan model MBS baru untuk melayani siswa-siswa pendidikan prasekolah dan siswa sekolah dasar di daerah-daerah pedesaan dan daerah Participacion de la Comunided). Maksud dari model ini untuk mendesaentralisasikan pengelolaan sekolah negeri dengan cara meningkatkan keterlibatan orang tua di dalam tanggung jawab menjalankan sekolah.

(15)

personilnya. ACE dapat mengangkat dan memberhentikan guru serta bertanggung jawab untuk mensupervisi kinerja dan kehadiran para guru.

Model MBS tersebut menjadi program nasional untuk pendidikan di El Salvador. Sasaran utama pendidikan disana adalah mencapai sasaran pada tahun 2005, sedikitnya 90% anak-anak di El Salvador harus menyelesaikan pendidikan dasar, yaitu dari kelas satu hingga kelas sembilan.

10. Model MBS di Madagaskar

Model MBS di Madagaskar difokuskan pada pelibatan masyarakat pada pengontrolan pendidikan dasar sejak tahun 1994. Dengan dukungan Bank Dunia maka Kementerian Pendidikan telah mengembangkan dan mempraktikkan prinsip-prinsip, strategi dan prosedur yang mengarah pada tujuan MBS. Implementasi MBS diarahkan di dalam kerangka kerja dengan melibatkan masyarakat desa tidak hanya untuk merehabilitasi, membangun dan memelihara sekolah-sekolah dasar, tetapi juga dilibatkan dalam pengelolaan dan supervisi sekolah dasar.

Model MBS di Madagaskar tidak terlepas dari latar belakang sejarah yang kurang baik. Sejak awal tahun 1990an, pendaftaran ke sekolah Madagaskar merosot sebagai akibat dari kurangnya investasi, memburuknya kualitas pendidikan, dan merosotnya moral para orang tua dan guru. Setelah adanya kajian dari sector pendidikan dan adanya dukungan dai Bank Dunia maka dibentuklah sebuah tim pengambilan keputusan inovatif di tahun 1994, yaitu program rintisan yang dipusatkan pada pendekatan sekolah berbasis masyarakat. Program itu dimulai di dua lokasi distrik di suatu provinsi, jumlah provinsi di sana sebanyak enam provinsi dengan total distrik sebanyak 111 buah. Kemudian, program itu diperluas ke 20 distrik. Kesuksesan implementasi pada tahap awal itu mendorong pemerintah untuk menerapkannya di seluruh sekolah pada seluruh tingkat pada tahun 1997, dan telah menjadi rencana nasional pengembangan pendidikan. Sejak tahun 1998, berbagai donor mengalir dan hingga tahun 2001 lalu program ini telah diterapkan lebih dari separuh distrik yang ada.

(16)

tua siswa dan masyarakat, ahli waris, dan sektor swasta. Sarana untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan program sekolah berbasis masyarakat. Maksudnya adalah melibatkan masyarakat di dalam tugas-tugas pendidikan. Tugas-tugas pendidikan tersebut di antaranya dengan memberi kemungkinan kepada semua siswa untuk memiliki keterampilan dasar membaca, menulis, berbicara, memahami, dan menghitung dalam rangka mengintegrasikan masyarakat dan mengembangkan kemampuan untuk melanjutkan pendidikan.

Beberapa fenomena di atas pun telah membumi di negara kita yang sampai sejauh ini belum terlihat adanya keterpaduan sebuah sistem pendidikan yang utuh. Salah satu yang paling menonjol dari keadaan ini adalah perubahan kurikulum yang sudah sering berganti di negara ini. Setidaknya beberapa kali mengalami pergantian, mulai dari kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi dan yang terakhir adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pergantian yang terus terjadi karena belum adanya sistem kurikulum pendidikan yang sistematis. Tentunya ini sangat berdampak pada output pendidikan yang selalu didambakan baik oleh orang tua didik, institusi pendidikan dan juga pemerintah secara umum. Di samping itu, kebijakan-kebijakan pendidikan selalu bergantung pada kabinet pemerintahan yang menangani, di mana dalam penetatapannya selalu dilandasi kepentingan politis. Ini memungkinkan sekali terjadinya mis-konsepsi dari sistem yang telah diberlakukan sebelumnya. Padahal, idealnya sebuah sistem kurikulum haruslah progresif dan berkembang secara berkelanjutan dengan saling melengkapi kekurangan yang ada.

(17)

Bank Dunia merekomendasikan perlunya diberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah disertai manajemen sekolah yang bertanggung jawab. Dalam hal in terkait dengan pemberlakuan Kurikulum Berbasis Sekolah. Artinya pemberian otonomi yang lebih besar harus diberikan kepada sekolah dalam pemanfaatan sumber daya dan pengembangan strategi-strategi berbasis sekolah sesuai dengan kondisi setempat. Langkah ini juga harus diikuti dengan pemilihan kepala sekolah yang lebih baik, yang memiliki keterampilan dan karakteristik yang diperlukan untuk mengelola sekolah dengan nuansa otonom, memberikan penghargaan bagi kepala sekolah yang baik dan mengganti mereka yang kurang, dan juga memberikan pelatihan pengembangan keterampilan manajemen sekolah dan program training modular (E. Mulyasa, 2004 : 12). Dengan cara ini walaupun otonomi pendidikan sepenuhnya menjadi hak pengelolaan masing-masing daerah, institusi pendidikan khususnya, namun pemerintah tetap andil dalam penyelenggaraan sistem pendidikan yang baik dan terarah. Ini tentunya akan memberikan nuansa pendidikan yang harmoni dan dinamis di masing-masing institusi pendidikan walaupun dengan penuh aneka keragaman dan kompleksitas sosio-budayanya.

Implementasi MBS dalam sistem pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.

(18)

berbasis sekolah yang baik sesuai dengan kurikulum sendiri yang dipadupadankan dengan kurikulum Nasional.

Secara terperinci, ruang lingkup implementasi MBS, menurut E. Mulyasa (2004 : 82), adalah efektivitas, efisiensi, dan produktivas MBS. Efektivitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju. Efektivitas bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memanfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional. Efektivitas MBS berarti bagaimana MBS berhasil melaksanakan semua tugas pokok sekolah, menjalin partisipasi masyarakat, mendapatkan serta memanfaatkan sumber daya, sumber dana, dan sumber belajar utnuk mewujudkan tujuan sekolah. Efektivitas MBS ini dapat dilihat berdasarkan teori sistem dan dimensi waktu.

Berdasarkan teori sistem, kriteria efektivitas harus mencerminkan keseluruhan siklus input-output yaitu harus mencerminkan hubungan timbal balik antara manajemen berbasis sekolah dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan yang berdasarkan dimensi waktu, efektivitas MBS dapat diamati dalam beberapa jangkauan yaitu: 1) efisiensi jangka pendek yang berfungsi untuk menunjukkan hasil kegiatan dalam kurun waktu sekitar satu tahun dengan kriteria kepuasan, efisisensi, dan produksi; 2) efisiensi jangka menengah dalam waktu sekitar lima tahun, dengan kriteria perkembangan serta kemampuan beradaptasi dengan lingkungan dan perusahaan; dan 3) efisiensi jangka panjang adalah untuk menilai waktu yang akan datang di atas lima tahun digunakan kriteria kemampuan untuk melangsungkan hidup dan kemampuan membuat perencanaan strategis bagi kegiatan di masa depan.

3. Keunggulan dan Kelemahan Implementasi MBS 3.1 Keunggulan Implementasi MBS

Dengan adanya implementasi MBS di sekolah yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi akan memberikan beberapa keuntungan (Keunggulan), yaitu :

(19)

2. Bertujuan bagaimana memanfatkan budaya local;

3. Efektif dalam melakukan pembinaan peeserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, dan iklim sekolah;

4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah dan perubahan perencanaan (Nanang Fatah dalam E. Mulyasa, 2004 : 24-25).

Sedangkan keuntungan (keunggulan) dari adanya penerapan model MBS menurut Nurkholis (2006 : 107), adalah :

1. Secara formal MBS dapat memahami keahlian dan kemampuan orang-orang yang bekerja di sekolah.

2. Meningkatkan moral, moral guru harus meningkatkan karena adanya komitmen dan tanggung jawab dalam setiap pengambilan keputusan di sekolah.

3. Keputusan yang diambil oleh sekolah memiliki akuntabilitas. Hal ini terjadi karena kostituen sekolah memiliki andil yang cukup dalam setiap pengambilan keputusan

4. Menyesuaikan sumber daya keuangan terhadap tujuan instruksional yang dikembangkan di sekolah. Keputusan yang di ambil pada tingkat sekolah yang akan lebih rasional karena mereka tahu kekuatan sendiri, terutama kekuatan keunganan. 5. Menstimulasi munculnya pemimpin baru di sekolah.

Pengambilan keputusan ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya peran seorang pemimpi.

6. Meningkatkan kualitas, kuantitas, dan fleksibelitas komunikasi sekolah dalam rangka mencapai kebutuhan sekolah. Kebersamaan dalam pemecahan masalah di sekolah telah memperlancar alur komunikasi di antar warga sekolah.

3.2 Kelemahan Implementasi MBS

Di samping itu ada beberapa kelemahan (hambatan) yang sering ditemui dalam penerapan MBS ini yang disimpulkan Sriudin (makalah online) di antaranya adalah sebagai berikut:

(20)

dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.

2. Tidak Efisien; Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.

3. Pikiran Kelompok: Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi, hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.

4. Memerlukan Pelatihan; Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.

5. Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru; Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.

(21)

yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi. Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.

C. Penutup

Tulisan ini berjudul “Keunggulan dan Kelemahan Implementasi MBS”, dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Implementasi MBS adalah pelaksanaan dan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (BS), supaya sekolah menjadi efektif, efisien dan produktivitas;

b. Ruang lingkup implementasi MBS adalah efektivitas, efisienitas, dan produktivitas sekolah;

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Moch. Idochi, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan (Teori, Konsep, dan Isu), Alfabeta, Bandung, 2004

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990

Echols, John M., dan Hassan Shadily, Kamus Indonesia Inggris, Gramedia, Jakarta, 2007

Fatah, Nanang, Konsep Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2003

Harsono, Hanifah, Implementasi Kebijakan dan Politik, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

Hasbullah, Otonomi Pendidikan (Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007

Hasibuan, Malayu, Manajemen Dasar (Pengertian dan Masalah), Gunung Agung, Jakarta, 1995

Kartono, Kartini, Manajemen Umum Sebuah Pengantar, BPFE, Yogyakarta, 1994

Mclntoch, Colin, Oxford Collocations Dictionary for Students of English, Oxford University Press, New York, 2012

Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah (Teori, Model, dan Aplikasi), Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006

PH, Slamet, Manajemen Berbasis Sekolah, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang Depdiknas, Jakarta, November 2000

Setiawan, Guntur, Implementasi Dalam Birokrasi Pembangunan, Alfabeta, Bandung, 2004

Sriudin, http://s1pgsd.blogspot.com/2010/09/penerapan-manajemen-berbasis-sekolah.html, diakses tanggal 9 September 2016

Sudjanto, Bedjo, Mensiasati Manajemen Berbasis Sekolah di Era Krisis yang Berkepanjangan, ICW, Jakarta, 2004

(23)

Taufiqurrahman, Manajemen Berbasis Sekolah, Jurnal Studi Keislaman, STAIN Pamekasan, Februari 2002

Usman, Nurdin, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, Alfabeta, Bandung, 2002

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah membangun aplikasi sistem pakar untuk menentukan kerusakan dini pada mobil Daihatsu Sigra 1.2 R Deluxe Automatic berbasis

Tujuan dari penelitian tersebut adalah 1) untuk mengetahui peran penyidik Kepolisian dan peran penyidik KPK dalam menangani kasus tindak pidana korupsi 2) untuk mengetahui

Matumizi ya takriri yanajitokeza katika methali nyingi za jamii ya Kisimbiti kutokana na hali halisi kwamba methali hutumika katika kusisitiza mambo muhimu katika maisha

Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif terhadap objek orang, barang, dan

Diana  Karitas  dan  Fransiska,  2017.  Panas  dan  Perpindahannya  Jakarta:  Penerbit  Pusat  Perbukuan  Balitbang  Kementerian  Pendidikan  dan  Kebudayaan 

Pasien merasa tidak nyeri dalam proses therapi menggunakan continuous passive motion elbow yang ada di rumah sakit karena gerakan motor sesuai yang diperlukan dalam proses

Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan

Diisi Pengadilan Tingkat Banding masing-masing Unit Kerja (Contoh: PT. Jawa Timur).. Diisi Pengadilan/ Unit Kerja masing-masing (Contoh: PN. Surabaya) Diperbolehkan isi