• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buddhism and Democracy in Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Buddhism and Democracy in Indonesia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Penanggungjawab Elga Sarapung

Pemimpin Redaksi Noegroho Agoeng

Redaksi Wiwin Siti Aminah

Haryandi Listia

Alfred Benedictus J.E.

Desain/Layout Haryandi & Sarnuji

Keuangan Eko Putro

Sekretaris Wiwin Siti Aminah Octavia Christiani

Distributor Susanto, Sarnuji

Newsletter ini diterbitkan oleh: Institut DIAN/Interfidei

Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Jogjakarta, 55581 - Indonesia,

Ph./Fax. : 0274-880149, E-mail:

dianinterfidei@yahoo.com

Edi si M ar et 20 0 4

Newsletter

interfidei

Editorial ... 1

Fokus ... 2

Opini ... 6

Potret ...8

Kronik ...10

Refleksi ... 15

Agenda...16 Konsultan

IGB Harimurty

To write or to discuss on

Editorial

the relations between religion and democracy, is most fascinating and Menulis atau mendiskusikan

a engaging thing to do, especially relasi antara agama dan demokrasi,

menarik dan aktual, khususnya dalam seen in the Indonesian context for

konteks Indonesia. Karena agama dan religion and democracy are closely demokrasi adalah dua tema yang interrelated topics.

berhubungan erat dengan kehidupan This issue will highlight masyarakat Indonesia. on the theme of “Religions' Role in Newsletter Interfidei tahun Democracy in Indonesia.” The 2004 ini mengangkat tema “Peran theme will be discussed in serial A g a m a - A g a m a d a l a m P r o s e s issues of our Newsletters to Demokratisasi di Indonesia”. Tema ini

provide ample opportunities to all

akan dibuat secara serial untuk

religious and faiths groups to share

memberi kesempatan kepada semua

their experiences, causes as well as

agama dan kepercayaan

membagi-their concepts on democracy.

bagikan pengalaman, pergumulan

In this edition the readers

serta perspektif mereka dalam proses

will gain a deeper understanding of demokratisasi di Indonesia.

the Buddhist experience and Harapan kami, melalui terbitan

kali ini, para pembaca semakin concepts as well as the challenges

memahami, apa pengalaman serta faced by Indonesian Hindus with

gagasan yang ada dalam agama regard to democracy. These Buddha, apa yang perlu dilakukan insights are brought to the fore oleh masyarakat, khususnya umat respectively in our Focal Point Hindu Indonesia berkaitan dengan column by Daniel Johan and in the tema tersebut. Hal ini dapat dibaca Opinion column by Ari Dwipayana. dalam Fokus yang ditulis oleh Daniel

In addition there is a Snapshot article Johan dan Opini oleh Ari Dwipayana,

which features the Veluvana Vihara serta Potret yang menampilkan

at Ampel, Central Java.

Vihara Veluvana, Ampel. Readers will also find

P e m b ac a j u g a d i a j a k reports from Samarinda, Medan and

berkunjung ke Samarinda, Medan dan Manado on activities organised Manado, melihat kegiatan yang jointly by our local partners and us in diselenggarakan oleh teman-teman

their respective areas. We also jaringan Interfidei di sana bersama

compared notes on our field dengan Interfidei. Kami juga

experiences with National Human m e m b a g i - b a g i k a n p e n g a l a m a n

Rights Committee (Komnas HAM)

b e r s a m a d e n g a n P o k j a A n t i

-Work Committee as well as with

Diskriminasi KOMNAS HAM dan

G a j a h M a d a U n i v e r s t i t y ' s

Program Pasca Sarjana Studi

P e r b a n d i n g a n A g a m a d a n Comparative Religion and Cross

L i n t a s b u d a y a , U G M d a l a m Cultural Studies Post-Graduate

menyelenggarakan Program Studi Program in conducting Religion

Agama dan Masyarakat. and Society Study Program.

(2)

Fokus interfidei new sletter

Buddhisme dan Proses Demokratisasi

di Indonesia

* Daniel Johan W.

akekat sejati demokrasi adalah kedaulatan rakyat, bahwa setiap manusia adalah

H

sama. Ia merupakan antitesis dari feodalisme purba di mana raja atau penguasa sebagai dewa atau wakil Tuhan harus ditaati. Buddhis menolak konsep ini, karena menurut Dharma, setiap orang dilahirkan sama. Ini merupakan akar dari demokrasi.

Sangha sendiri merupakan wujud dari d e m o k r a s i .

Istilah ini telah ada jauh sebelum zaman Buddha. S a n g h a m e r u p a k a n sebuah bentuk d a r i r e p u b l i k , suatu organisasi demokratis yang berlaku di salah satu negara kecil di India Utara. N e g a r a S a k y a milik Buddha dan negara Koliya yang berbentuk

sangha. Mereka memilih perwakilan untuk memerintah.

Sangha para bhikkhu yang didirikan Buddha merupakan tiruan dari sistem yang ada saat itu dalam bentuk yang paling maju. Sangha terbuka untuk siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, kelas atas maupun bawah. Sekali seseorang bergabung ke dalam Sangha, dari orang terpandang, orang miskin, pelacur, pengemis, atau bahkan raja sekalipun, mereka menjadi sama. Persamaan merupakan kunci memasuki Sangha. Sangha merupakan nilai pembebasan itu sendiri. Pembebasan dari segala macam kasta, harta dan kepemilikan, bahkan sejatinya bebas dari keserakahan, kebencian, kelahiran dan kematian.

Buddhism and Democracy in

Indonesia

Daniel Johan W.*

he quintessence of democracy is the sovereignity of the people, that all men are created equally. Democracy is antithetical

T

to ancient feudalism whereby the king or ruler is treated like a god or God's emmissary that need to be obeyed. But Buddhists reject concepts of these kinds, for according to Dharma, everyone is born and created equal, and this in other words is the roots of democracy.

Sangha in i t s e l f i s a n embodiment of democracy. This concept has been e s p o u s e d l o n g before Buddha's time. Sangha in fact had then the structures of a republic, i.e. a d e m o c r a t i c o r g a n i s a t i o n which existed in one of the small states in North I n d i a : t h e Buddha's own Sakya and the Koliya state which took the form of a Sangha. In both cases cited, the people elect their representatives to govern them.

The bhikhus' Sanghas founded by the Buddha were copies of the existing system of the time, albeit already the most advanced. The Sangha is open to anyone, male or female, regardless of social positions. Once a person joins the Sangha, regardless of his/her respected position, ecomical prosperity, immoral life, beggar, or even kings, they become equal. Equality is the key factor in joining the Sangha. Sangha is the the liberation value itself, liberation from all social stratification, wealth and ownership, indeed liberation from greed, hatred, * Penulis mantan Sekjend Himpunan Mahasisw a

Buddhis Indonesia (HIKMA HBUDHI), anggota Institut Transformasi Sosial (ITS)

Former General Secretary of Indonesian Buddhist Students Association (Hikmahbudhi), member of Social Transformation Institute

(3)

Edisi M aret 2004 Focus

Sangha merupakan kunci dari prinsip-prinsip demokrasi di dalam Buddhis.

Salah satu tokoh pembebasan Buddhis yang secara keras mengkritik keberadaan Sangha masa kini adalah Dr. Ambedkar, Bapak Konstitusi India. Saat ia didaulat untuk berbicara pada Konferensi Persaudaraan Buddhis Dunia (WFB) ke-4 di Kathmandu, dengan tegas ia berkata: “Bila saya boleh menyimpulkan, bila ada marabahaya yang muncul terhadap Dharma di negara-negara Buddhis, maka kesalahan harus diarahkan kepada para Bikkhu, karena saya secara pribadi melihat kalau mereka tidak menjalankan tugas yang diemban mereka. Di manakah Dharma itu berada? Sahabat, saya ingin menegaskan bahwa saya tidak bermaksud mengkritik siapa pun, tapi agar agama dapat menjadi kekuatan moral bagi pembebasan dan pembaharuan masyarakat, kalian harus terus-menerus membeberkan 'kebenaran' ke telinga rakyat”.

Ambedkar sejak awal memang dikenal sebagai tokoh pembebasan yang meletakkan dasar-dasar demokrasi bangsa India. Ia pembela kaum Dalit (kaum tak tersentuh yang lebih rendah dari kasta terendah, bahkan menyentuh bayangannya saja dianggap nista) secara kukuh. Bagi Ambedkar, istilah persaudaraan, persamaan, dan pembebasan yang tercetus pada Revolusi Perancis, sesungguhnya telah lama digunakan oleh Buddha, yang kemudian dikonkretkan dengan dibentuknya Sangha. Namun Ambedkar tidak melihat semangat demokrasi Sangha ini mampu memberi pengaruh kepada masyarakat dan sistem politik yang ada. Sebaliknya, Sangha cenderung mengambil jarak dengan persoalan derita masyarakat, bersifat pasif-apatis, bahkan menjadi pendukung kekuasaan dan terjebak ke dalam kultur feodal. Sekarang ditambah menjadi pendukung kapitalis yang banyak menimbulkan ketidakadilan dan kesengsaraan. Padahal menurut Ambedkar, hakekat Sangha adalah pembebasan (nibbana). Pembebasan dari “dikuasai” oleh realitas derita manusia.

Kritik lain terhadap Sangha juga muncul dari Dr. Sulak Sivaraksa, tokoh demokrasi Thailand. Bagi Sulak, kesadaran demokrasi di dalam Buddhis amat fundamental. Manusia harus memiliki kesadaran atas dirinya sendiri dan masyarakat, sadar atas apa yang sesungguhnya

birth and death. In Buddhism, Sangha forms the key to democratic tenets.

One of the Buddhist liberation proponent who strongly lambasted the current state of the Sangha was Dr. Ambedkar, the Father of the Indian Constitution. When he was chosen to speak at the 4th World Fraternity of Buddhists (WFB) in Kathmandu, he firmly emphasised: “If I may sum it all up, should there arise dangers threatening the Dharma in Buddhist countries, then the blaming finger should be pointed at the Bikkhus, for as I witnessed it myself they are not doing the tasks assigned to them. So where is the Dharma to be found? My dear friend, I would like to emphasise here that I do not intend to criticise anyone, other than the religion may become a moral force for the liberation and renewal of the people, you all have to reveal 'truth' to the ears of the people.”

From the start Ambedkar was well-known for being the liberation figure that laid down the foundations for the Indian nation. He was the staunch defender of the Dalit people (the untouchable people who are considered lower than the lowest castes, even touching or to be touched by their shadows alone were considered a despicable thing). To Ambedkar, the cry of fraternity, equality and liberation which was proclaimed at the French Revolution, in fact has been in use for a long time by the Buddha, which later took its implementation in the forming of the Sangha. But Ambedkar saw that the Sangha's democratic spirit was not affecting the society or the existing political system. Instead, the Sangha even distanced itself from issues of the people's sufferings, became passive and apathetic, supporting the reigning power and got bogged down in the feudalistic culture. Lately it has also lent support to the capitalists that have caused many acts of injustices and untold sufferings. To Ambedkar, this is in stark contrast to the essence of the Sangha which is liberation (nibbana). Liberation from being “ruled” by the reality of human suffering.

(4)

Fokus interfidei new sletter

terjadi. Namun kelemahan di dalam komunitas Buddhis adalah “kesadaran atas apa yang sesungguhnya terjadi” selalu dipahami hanya di dalam dunia ide dan pikiran. Yang diperlukan saat ini adalah kesadaran mengenai apa yang benar-benar terjadi di dalam “praktek dan realitas”, terutama mengenai realitas derita yang senyatanya berlangsung di masyarakat: realitas kaum buruh, kaum tani, kaum miskin lainnya, dan bagaimana proses pemiskinan dan kesengsaraan ini disebabkan. (Hal ini memerlukan pembahasan yang lebih lanjut).

Kesadaran juga menyangkut apa yang terjadi di dalam diri sendiri, untuk melihat di dalam praktek apakah manusia sedang dikontrol oleh cinta, solidaritas, keserakahan, kebencian atau rasa takut. Hal ini bagi Sulak penting untuk diatasi. Karena bila ketakutan mengontrol kehendak bebas manusia, justru akan membuat nilai-nilai yang seharusnya diperjuangkan menjadi mati, demikian juga terhadap para bikkhu. Bila para bikkhu ingin berguna bagi masyarakat, mereka harus kritis terhadap kekuasaan. Dan inilah politik yang diajarkan Buddha.

Politik dan kekuasaan di dalam Buddhis dipahami seperti sebuah kereta. Ia tergantung kepada kedua rodanya, yakni roda kekuasaan (anacakka) dan roda kebenaran (dhammacakka). Bila roda kekuasaan tidak dikendalikan oleh penguasa dengan baik, ia akan menjadi kekuasaan yang korup. Dan dalam kondisi ini, Sangha atau komunitas spiritual, harus mengimbanginya dengan roda kebenaran. Sayangnya seperti yang diungkapkan Sulak bahwa peran Sangha untuk mengimbangi roda kekuasaan dengan roda kebenaran sering tidak berjalan. Sebaliknya banyak bikkhu yang ikut hanyut dan menjadi pendukung kekuasaan dan kemapanan yang korup.

Dalam konteks Indonesia, peran komunitas Buddhis kurang nampak, terutama di masa-masa rezim feodal-militeristik Orde Baru yang menghegemoni kehidupan masyarakat. Sekalipun diakui bahwa ada sekelompok kaum muda Buddhis yang turut bersama kelompok kaum muda umumnya, para mahasiswa, di dalam “ruang” demokrasi yang ada saat itu.

Hal ini dapat dipahami, karena perjuangan meletakkan demokrasi ke dalam konteks masyarakat dan negara tidak harus selalu dari sudut agama sebagai lembaga. Ia lebih kepada nilai dan filsafat yang menuntun dan menyemangati. Ini berkaitan dengan pemahaman Buddhis tentang harkat dan martabat k e m a n u s i a a n y a n g h a r u s d i b e l a d a n diperjuangkan.

currently needed is an awareness of what is really taking place in “the practice and reality,” especially on the reality of suffering which is in fact taking place within the society: the reality of the laborers, peasants, and other poor people, as well as how this pauperisation process and suffering is caused. (This certainly necessitates a further discussion).

Awareness also has to do with what is taking place within oneself, to see in real practice whether a person is under the control of love, solidarity, greed, hatred or even fear. To Sulak this needs to be overcome, and very much so. For when fear is controlling a person's free will, this will unavoidably results in the death of the values being so fervently fought for. The same case can happen to the bikkhus. If the bhikkhus want to be of service to the community, they have to adopt a critical attitude toward power. This is the the politics taught by the Buddha.

In Buddhism, politics and power are seen as it were as a vehicle. It relies on its two wheels, i.e. the wheel of power (aacakka), and the wheel of truth (dhammacakka). When a ruler is not properly in control of the wheel of power, then the power will become corrupted. In such a situation, the Sangha or the spiritual community, has to balance it with the wheel of truth. Unfortunately, says Sulak, the Sangha's role to balance the wheel of power with the wheel of truth often does not seem to work. Instead, many bikkhus in fact got carried away and became supporters of the corrupt power and establishment.

Seen in the Indonesian context, the role of the Buddhist community does not seem prevalent, notably during the periods of the New Order's feudal-militaristic regime which reigned supreme over the everyday lives of the people. This is not to dispute that there were groups of Buddhist youths who took part, along with other youth groups in general, i.e. the students, in the existing democratic “space” at the time.

The low-profile role of the Buddhist community can be explained by the fact that the efforts in laying the foundation of democracy with respect to the people and the state do not alwasy have to be seen from the perspective of institutionalised religion. Its role is more seen through its the guiding and inspiring values which has to do with the Buddhist understanding of human values and dignity that need to be safeguarded and fought for.

(5)

Focus Edisi M aret 2004

Dalam banyak hal demokrasi sering

mengilusi manusia tentang perwakilan, bahwa semua orang memiliki hak yang sama, kekuasaan sejati ada di tangan rakyat. Lalu rakyat menyerahkan nasibnya kepada orang yang dipilih sebagai wakilnya. Hal ini membuat demokrasi di dalam praktek menjadi pelimpahan kekuasan dan kekuatan masyarakat kepada segelintir orang yang disebut parlemen atau pemerintah. Segelintir orang ini kemudian mengkristal menjadi orang-orang yang hidup “khusus” untuk berkuasa, “khusus” untuk menerima limpahan kekuasaan rakyat. Kekuasaan ada di tangan mereka. Persoalan muncul ketika kekuasaan yang mengkristal itu, atas nama “demokrasi-kepentingan bersama-pembangunan-hukum-konstitusional”, melakukan penindasan terhadap orang-orang yang mereka wakili, para pemilik otentik dari kekuasaan sejati, yaitu rakyat.

Komitmen terhadap nilai-nilai inilah yang membuat Sangha tidak dapat berdiam diri tetapi terlibat di dalam proses demokrasi.

Meski pada awalnya terjadi tarik menarik antara kaum tua yang cenderung arif dengan kaum muda y a n g s e d a n g b e r s e m a n g a t menggelorakan jiwa demokrasi, Sangha secara diam-diam berperan di balik layar. Di dalam Buddhis memang dikenal istilah peran kebodhisattvaan atau kenabian. Di mana di dalam kondisi damai, Sangha cenderung menjalankan p e r a n k e b i k k h u a n y a n g

mempertahankan status quo,

bersifat konservatif dan keras dalam menghadapi perubahan. Namun dalam kondisi kacau yang penuh ketidakadilan, Sangha diminta u n t u k m e n i n g g a l k a n p e r a n

kebikkhuannya dengan menjalankan peran kebodhisattvaannya yang akan memanfaatkan ketidakstabilan untuk mendukung suatu perubahan. Itulah yang sempat dilakukan oleh sebagian bikkhu di Indonesia. Namun, mengapa peran itu harus dilakukan di balik layar?

Mungkin ini selain soal latar belakang riwayat hidup dan kondisi posisi aktual para bikkhu, juga karena soal perhitungan pilihan dan kesetiaan kepada panggilan situasi. Atau mungkin juga persoalan sejarah Indonesia.[]

people with its concept of representation, that everyone has equal right, that the real power is in the hands of the people. What follows was the submission of the people's fate to the people elected as their representatives. In practice, this results in the transfer of power and power of the people to a handful few called the parliament or government. These handful few then developed itself to become people who lead “special” life to rule, “exclusively” to receive the relegation of power from the people. The power is in their hands. The problem arises, when the this devolved and amorphous power, in the name of “democracy-common interest- development-law-and constitution,” oppresses the people they represent, the authentic owner of the real power i.e. the people.

It is commitment to intrinsic values such as these that does not allow the Sangha to sit back and stay mum but rather to take an engaged role in the upholding of the true democracy. Although in the beginning there were many acts of tug-of war among the older Sangha members that tend to be reserved and t h e y o u n g e r members, that are burning with the fiery idealism of d e m o c r a c y, t h e

S a n g h a

nevertheless, in their unobtrusive way, so far have managed to play their role behind t h e s c e n e s . I n Buddhism, there is a c o m m o n understanding and general acceptance of the bodhisattvic or prophetic role of the Sangha that will take the benefit of the instabillity to support and effect change. That has been the case so far for some of the engaged bikkhus of Indonesia. The question is, why should their role be limited to behind the scenes efforts?

The answer lies in the background or personal history as well as the actual social postion and conditions of the bikkhus, which may be also due in part to the Indonesian historical issues.[ ]

(6)

OPINION:

THE LONG and WINDING ROAD:

Four Issues Facing Hindus in

Democratic Life in Indonesia

AA GN Ari Dwipayana*

hen it comes to discussing democracy, there are four crucial issues that need to

W

be considered and thought out by anyone, including Hindus, claiming to subscribe to a democratic ideal. Firstly, whether the existing political system allows for the creation of a truly democratic political system; the strengthening of the party system allows room for the citizens to form associations and organizations; a general election system that guarantees fair political participation and competition; a political representation system resulting in the balance of power and lastly, the safeguarding of civil liberties.

Secondly, whether democracy is seen as a process toward the realization of social welfare? Or in other words, whether economic democracy will follow in the wake of political democracy. In other words, freedom granted by democracy will have no meaning if it is not accompanied with efforts to increase the poor people's say, access, as well as control thereby allowing them to take benefit of the economic prosperity.

T h i r d l y , w h e t h e r democracy has induced the rise in civil and democratic poliitical culture. Democracy, indeed has t o e n t a i l t h e g r o w t h i n participatory, critical, nonviolent culture as well as tolerance to differing views (pluralism)

F o u r t h l y , w h e t h e r democracy is developed upon the foundation of a strong sense of national “self-respect” as well as national self-reliance? The orientation of democracy should be determined by a sovereign

Opini interfidei new sletter

OPINI:

JALAN MASIH PANJANG:

Empat Agenda Umat Hindu dalam

proses Demokratisasi di Indonesia

AA GN Ari Dwipayana*

alam proses demokratisasi, setidaknya, ada empat persoalan krusial yang perlu

D

dipikirkan oleh seluruh elemen warga bangsa, termasuk seluruh umat Hindu di Indonesia. Pertama, apakah penataan sistem politik yang ada memungkinkan terbentuknya sistem politik yang demokratik? Penataan yang mencakup : penguatan sistem kepartaian yang memberi ruang bagi warga negara untuk berserikat dan mengorganisir diri; penataan sistem pemilihan umum yang menjamin prinsip partisipasi dan kompetisi politik berjalan dengan fair; penataan sistem perwakilan politik sehingga terjadi perimbangan kekuasaan dan terakhir terjaminnya kebebasan sipil (civil liberties).

Kedua, apakah demokratisasi di Indonesia sudah dipahami sebagai proses untuk mewujudkan kesejahteraan bersama (social walfare)? Atau dengan kata lain: apakah demokratisasi politik diikuti oleh demokratisasi ekonomi? Kebebasaan yang diberikan oleh demokrasi tidak akan berarti sama sekali apabila tidak diikuti dengan upaya memperluas voice,

akses, dan kontrol dari kelompok masyarakat miskin sehingga mereka juga merasakan kemakmuran ekonomi.

Ketiga, apakah demokratisasi di Indonesia telah mendorong terbangunnya budaya politik yang civility dan demokratik? Demokratisasi harus mencakup tumbuhnya budaya partisipan, kritis, nir kekerasan serta menghargai perbedaan (pluralisme).

Keempat, apakah demokratisasi di I n d o n e s i a d i b a n g u n d i a t a s u p a y a memperkokoh 'harga diri' dan kemandirian

nasional? Arah demokratisasi seharusnya lebih ditentukan oleh rakyat yang berdaulat bukan oleh kekuatan global, seperti lembaga donor global (IMF

Patung Brahma, Creator

* Penulis adalah Dosen FISIPOL UGM

(7)

Opinion Edisi M aret 2004

atau Bank Dunia) atau n e g a r a - n e g a r a ' s u p e r power'.

Memang, harus diakui bahwa jawaban atas keempat persoalan krusial di atas belum memuaskan. Bahkan, beberapa kalangan yang kritis berpendapat bahwa, transisi politik pasca keruntuhan rezim Orde Baru tidak mengarah pada konsolidasi demokrasi, tetapi masuk pada jebakan otoritarianisme dan liberalisme baru.

Apa yang harus dilakukan oleh umat Hindu dalam kondisi seperti ini? Pertama, umat Hindu bersama-sama dengan seluruh elemen bangsa harus berusaha untuk memperjuangkan agenda reformasi konstitusional. Karena dalam konstitusi diatur dan dijamin hak-hak ekonomi, politik, sosial dan kultural dari warga negara, termasuk kebebasan untuk memeluk agama, beribadah sesuai agama dan kepercayaan yang dianutnya. Di luar itu, konstitusi juga seharusnya memperkuat kedaulatan di tangan rakyat (swaraj) bukan di tangan orang per orang ataupun partai politik.

Agenda kedua, adalah memperkuat keyakinan bahwa demokratisasi bukanlah tujuan melainkan sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama. Seperti yang dikatakan oleh Mohandas Karamchand Gandhi, bahwa kekuasaan politik bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya satu s a r a n a y a n g m e m un g k i n k a n r a k y a t memperbaiki nasibnya dalam setiap bidang kehidupan.

Agenda ketiga, membangun budaya politik yang demokratis dan pluralis sehingga timbul penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan.

Agenda terakhir adalah, ikut serta dengan elemen bangsa yang lain untuk m e m b a n g u n “ h a rg a d i r i ” n a s i o n a l . Sebagaimana yang dikatakan Bung Karno, “Indonesia bukanlah bangsa yang terdiri dari 'kuli-kuli' ataupun 'bangsa kuli' di antara bangsa-bangsa.

Perjalanan masih panjang, tetapi harus tetap jalan dan diusahakan terus-menerus sampai mencapai tujuan. Karena itu perlu ada kerjasama yang kuat dan konkrit dari semua umat beragama, termasuk umat Hindu.

people and not by a global power, such as the global donor institution (IMF or World Bank) or “superpower” countries.

It need to be acknowledged that the answers to the four crucial issues are far from satisfactory. In fact, some critical observers noted that the political transitions in the aftermath of the downfall of the New Order regime have not been going toward the strengthening of democracy, but rather became entrapped in authoritarianism and neoliberalism.

Then what Hindus need to do when faced with such conditions? Firstly, Hindus, along with other groups in Indonesia have to stick to the fight for constitutional reform for the constitution stipulates the economic, political, social and cultural rights of every citizen as well as his/her faith. Beyond that, the constitution should also strengthen that sovereignity remain in the hands of the people (swaraj) and not in the hands of a delegated person or political party.

Second in the agenda, is a better understanding of democracy as not being an end in itself but rather as a means in achieving mutual w e l f a r e . M o h a n d a s K a r a m c h a n d G a n d h i could not sum it better when he said that political power is not the ultimate aim, but rather one of the means in enabling the people to improve their lot in every aspect of their lives.

Third on the agenda, is building a democratic and pluralist political culture resulting in the cultivation of attitudes t h a t r e s p e c t a n d appreciate differences.

Lastly on the agenda, to join hands with other segments of people in Indonesia in cultivating a sense of natioal “dignity.” Bung Karno has aptly stated it, “Indonesia is not a nation of coolies or a coolie nation among nations.”

The road to be trodden is still long and winding, but we have to keep on moving and keep on trying until the goal is reaced. In light of this awesome journey to be undertaken, a robust and coordinated cooperation is needed among people of all faiths,

Patung Lakshmi, Prosperity

(8)

interfidei new sletter Potret

POTRET:

DINAMIKA KEHIDUPAN DAN

PENDIDIKAN SPIRITUAL

DI VIHARA VELUVANA

Oleh: S. Kittiphalo

Pendahuluan

ihara (bahasa Pali), Wihara (bahasa Sansekerta) secara etimologis berarti suatu tempat yang disucikan atau

V

ditinggikan, merupakan tempat atau pusat k e g i a t a n r e l i g i u s - s p i r i t u a l d a n s o s i a l kemasyarakatan serta pendidikan. Vihara berfungsi sebagai sarana pelaksanaan Puja atau tempat Ibadah bagi umat Buddha. Suatu kompleks Vihara terdiri dari beberapa bangunan, yaitu Uposathagara (bangunan induk untuk k e g i a t a n S a n g h a ) , B h a k t i s a l a ( u n t u k sembahyang), Dhammasala (untuk Ceramah),

Kuti (tempat tinggal/asrama bagi para Bhikkhu/Bhikshu/Bikshuni) dan sarana pendukung lain seperti perpustakaan. Vihara sebagai tempat tinggal para Bhikkhu/Bhikshu juga berfungsi sebagai pusat kegiatan Pendidikan Buddhis bagi para Bhikkhu/Bhikshu. Di sana mereka bersama-sama mempelajari ajaran Buddha (Dhamma/Dharma) dengan Sangha (pasamuan para Bhikkhu/Bhikshu). Institusi pendidikan tradisional Buddhis ini tidak hanya bertugas mendidik para Bhikkhu/Bhikshu tetapi juga membimbing para pelaku kerumahtanggaan.

Aliran-aliran Buddha di Indonesia

Buddha mengajarkan ajaran-Nya dengan mempertimbangkan dasar, pola pikir serta konteks yang dimiliki oleh para pengikut beliau (Saddharmapundarika Sutra.V). Ada beberapa metode yang digunakan, yang kemudian menimbulkan banyak penafsiran. Akibatnya lahir berbagai aliran atau sekte, sehingga agama Buddha kaya dengan berbagai tradisi.

including the Hindus.

SNAPSHOT:

THE DYNAMICS OF SPIRITUAL

LIFE AND EDUCATION

AT THE VELUVANA VIHARA

By: S. Kittiphalo

Introduction

tymologically speaking, Vihara (in the Pali language) or Wihara (Sanskrit), means a

E

sanctified or revered place. Or in other words, a place or a center for religious-spiritual, social and educational activities. Vihara serves as a place to carry out puja or to worship for Buddhists.

A vihara complex consists of several buildings, i.e., Uposathagara (main building for Sangha's activities), Bhaktisala (a building for worship), Dhammasala (for the purpose of lectures), Kuti (living quarters/boarding house for the bhikkhu/bhikshu/bhiksuni) and supporting facilities such as library. In addition to functioning as a place to live for the bhikkhus/bhisuni, the Vihara also serves as a center for education activities for bhikkhus/bhiksunis. Here they learn collectively on the teaching of the Buddha (Dhamma/Dharma) with the Sangha (the gathering of the Bhikkhus/Bhiksus). This traditional Buddhist educational institution does not only serve to teach the Bhikkhus/Bhikshu but also to give guidance to householders in their daily life.

Buddhist Sects in Indonesia

Buddha taught, through His teachings, by taking into account the base and thought pattern as well as the contextual understandings of his disciples (Saddharmapundarika Sutra. V). There are several methods applied by the Buddha, which later gave rise to numerous interpretations. As a

(9)

Snapshot Edisi M aret 2004

Perkembangan Agama Buddha di Indonesia secara historis terbagi dalam beberapa tahap, yang dimulai sejak jaman Sriwijaya dan Majapahit. Kemudian ketika Majapahit runtuh (tahun 1950-an), terjadi kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia. Kebangkitan ini ditandai dengan pelaksanaan Waisaka Puja pertama di Candi Borobudur, pada tahun 1953 yang dipelopori oleh Alm. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, dihadiri oleh Duta dari Srilanka, Bhikkhu Narada Mahathera.

Sampai dengan tahun 1999, komunitas Buddhis di Indonesia, yang tadinya terhimpun dalam wadah yang disebut WALUBI, pecah menjadi 2 (dua) : Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI Baru) di satu

pihak dan Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) di pihak yang lain.

Sekarang perkembangan agama Buddha di Indonesia berwujud dalam sejumlah sekte atau aliran, yaitu : Theravada (Sthaviravada) atau Hinayana, Mahayana, Tantrayana, Nichiren, Maitreya dan Kasogatan.

Vihara Veluvana dan penulis sendiri berada dibawah n a u n g a n S a n g h a A g u n g I n d o n e s i a d a n M a j e l i s Buddhayana Indonesia

Kehidupan dan dinamika di Vihara Veluvana

Kompleks Vihara Veluvana sesuai dengan namanya berarti Vihara Hutan Bambu, terletak di lereng Gunung Merbabu dengan hamparan Hutan Bambu serta dibelah oleh sungai kecil. Vihara ini berlokasi di Dk. Ngelo, Ds. Kaligentong, Kec. Ampel Kab. Boyolali, dengan alamat: Jl. Semarang-Solo Km.60 Ampel Boyolali 57352. Dibangun pada awal tahun 1992 atas prakarsa Y.A. MNS. Ashin Jinarakkhita dan beberapa tokoh Buddhis lain. Digunakan sebagai pusat pendidikan dan latihan Sangha. Kehidupan sehari-hari yang dijalani di Vihara Veluvana, adalah latihan yang sudah tertata dengan pengaturan waktu sedemikian rupa sehingga tetap mengutamakan sebuah kedisiplinan, tanpa meninggalkan pola hidup bersama dengan masyarakat sekitar. Kegiatan

result thereof, various sects or subfaiths thrived, making Buddhism rich with different traditions.

In Indonesia, historically speaking, the development of the Buddha religion is grouped into several stages, starting from the time of the Kingdom Sriwjaya and Majapahit. When Majapahit went into decline (around 1450 AD), there was a revival of Buddhism in the archipelago. The revival climaxed in the celebration of the first Waisak Puja at Candi Borobudur, in 1953 at the instigation of the Late Mahathera.

Up to the year 1999, the Buddhist community in Indonesia, which was formerly grouped in an entity called WALUBI, were divided into two large g r o u p i n g s : T h e R e p r e s e n t a t i o n s o f I n d o n e s i a n B u d d h i s t s (NewWALUBI) and the Indonesian Grand Sangha Conference (KASI).

N o w a d a y s , t h e Buddhist faith in Indonesia encompasses a number of sects and streamings, i.e. Theravada (Sthaviravada) or H i n a y a n a , M a h a y a n a , Ta n t r a y a n a , N i c h i r e n , Maitreya and Kasogatan.

The Veluvana Vihara and the writer himself belong to and member of Indonesian Grand Sangha as well as the Indonesian Buddhayana Council.

A brief sketch of Veluvana Vihara

The Veluvana Vihara complex derives its name from the Bambo Forest (Veluvana) area n the slope of Mt. Merbabu with miles and miles of bamboo forests split by a little river. The vihara itself is located at Ngelo hamlet (address: Jl. Semarang-Solo Km. 60, Ampel, Boyolali 57352), Kaligentong village, Subdistrict Ampel in the Boyolali regency.

(10)

interfidei new sletter Potret

y a n g dijalankan , al. ritual, l a t i h a n meditasi, k e g i a t a n pembelaja

r a n ,

bimbingan c e r a m a h , d a n l a i n sebagainy a. Vihara Veluvana j u g a berfungsi s e b a g a i laboratori

um dan pusat kajian Agama dan studi lintasbudaya bagi Mahasiswa. Hal ini juga ditunjang dengan keberadaan Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha (STIAB) Smaratunga.

Penutup

Demikian, sekilas pandang tentang Vihara Veluvana sebagai salah satu komunitas Buddhis yang berkembang di Indonesia. Akhir kata semoga semua makhluk hidup berbahagia dan sejahtera.

KRONIK:

Studi Agama dan Masyarakat:

Agama dan Politik Diskriminasi

ema “Agama dan Politik Diskriminatif” dipilih karena relevan dan aktual dengan konteks Indonesia. Banyak kebijakan

T

yang dikeluarkan oleh negara justru berimplikasi langsung melanggar hak-hak warga negara. Misalnya menafsir pasal 29 UUD 1945 dengan cara membatasi agama yang diakui oleh negara hanya Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Akibatnya banyak warga yang menganut agama lain, seperti Konghucu, Baha'i atau penganut Penghayatan, Kepercayaan, Kerohanian serta agama-agama lokal (agama suku) tidak mendapat pengakuan, dan mengalami

w a y t h a t p r i o r i t i z e s d i s c i p l i n e , b u t s t i l l w i t h i n t h e c o n t e x t o f c o m m u n a l life pattern w i t h t h e surrounding c o m m u n i t y. The activities include, daily r i t u a l s , m e d i t a t i o n t r a i n i n g , l e a r n i n g a c t i v i t i e s , guidance lectures, etc. The vihara also functions as a laboratory and center for discussions on religions as well as intercultural studies for university students. These activities get the support from the Buddhist Science Institute (STIAB) Smaratunga.

Closing

Thus is the view on Veluvana Vihara as one of Buddhist community developing in Indonesia. To end it, may all living creatures live happily and prosperously.

CHRONICLE:

Religion and Society Studies

Religion and the Politics of Discrimination

he topic of Religion and the Politics of Discrimination has been chosen because of

T

its current relevance and actuality to Indonesian context. There are many policies adopted by the government which in fact violate the rights of citizens. For instance, in interpreting article 29 of the 1945 Constitution by limiting the number of the authorised religions to only, Islam, Catholicism, Protestantism, Hinduism and Buddhism. As a result many people who espouse

(11)

Edisi M aret 2004

kesulitan dalam m e n e r i m a p e l a y a n a n a d m i n i s t r a t i f u n t u k u r u s a n pernikahan, akte k e l a h i r a n , sumpah jabatan d a n f a s i l i t a s p e n d i d i k a n agama.

S t u d i A g a m a d a n

Masyarakat (SAM) adalah salah satu program Bidang Pendidikan Institut Dian/Interfidei yang dilaksanakan secara berkala. SAM tahun ini dilaksanakan dalam kerjasama dengan Program Pasca Sarjana Ilmu Perbandingan Agama dan Lintasbudaya (CRCS) - UGM dan Kelompok Kerja (Pokja) Anti Diskriminasi KOMNAS HAM pada tanggal 29 Januari - 1 Februari 2004.

Biasanya program ini dilaksanakan di ruang kelas di kantor Interfidei. Tetapi kali ini dibuka dengan studium generale di Aula Fakultas Filsafat UGM Lantai 3, Jl. Olah Raga Bulak Sumur, dengan pembicara: Daniel Dhakidae (perspektif politik), Sulistyawati Sugondo (perspektif hukum) dan Sabikhis (perspektif negara). Studium generale diikuti oleh 97 orang peserta, di luar peserta

studi kelas. Mereka adalah mahasiswa S1, pasca sarjana, wartawan, aktifis LSM, Dosen dan Tokoh Agama.

Bagian kedua dari kegiatan ini adalah studi kelas. Interaksi di antara para peserta, juga dengan para pembicara, berkisar pada pengalaman serta g a g a s a n t e n t a n g persoalan umat beragama y a n g m e n g a l a m i d i s k r i m i n a s i a t a u m e n y a k s i k a n

kelompoknya sendiri melakukan diskriminasi terhadap kelompok lain.

Studi kelas ini dilaksanakan di Ruangan

other religion, i.e. Konghucu, Baha'i or other Spiritual b e l i e f s ( P e n g h a y a t a n , Kepercayaan, Kerohanian) as well as local religions (ethnic r e l i g i o n s ) d o n o t g e t r e c o g n i t i o n f o r t h e i r faiths/beliefs, and thereby undergo difficulties in getting administrative services for matters such as marriages, birth certificates, taking of oaths in official situations as well as facilities for religious education.

The Study of Religion and Society (SAM) is one of Dian/Interfidei Institute's Education Department programs which is organised periodically. This year, the SAM's program is carried out in cooperation with Gajah Mada University's (UGM) Comparative Religion and Crosscultural Studies (CRCS) Post-Graduate Program with Human Rights Committee's (Komnas HAM) Work Committee at one of the university's auditorium on Jan. 29th to Feb. 1st.

Departing from the usual venue of Interfidei's classrooms, the studium generale was opened at UGM's Philosophy Dept. auditorium. The main speakers were Daniel Dhakidae (providing the political perspectives), Sulistyawati Sugondo (legal perspective) and S a b i k h i s (state/government perspective). The Studium Generale was attended by no less than 97 invitees, other t h a n c l a s s participants pre-degree students, p o s t - g r a d u a t e s t u d e n t s , journalist, NGO activists, lecturers a n d r e l i g i o u s figures.

The second part of the activities was class study. Topics of the discussion among the participants, as well as with the speakers, ranged from experiences as well as ideas on issues faced by religious followers that underwent

Para Pembicara dalam Studium Generale:

Elga Sarapung, S. Soegondo, D aniel D hakidae dan Sabikhis

Foto bersama peserta Studi Agama dan M asyarakat

(12)

interfidei new sletter Kronik

306 CRCS, Jl. Teknika Utara Pogung, diikuti oleh 34-40 orang peserta. Narasumber adalah: Munir Mulkan (Islam), Gerrit Singgih (Protestan), Toto Baroto (Sapto Dharma), Nunuk P. Murniati (Katolik), Candra Setiawan (Konghuchu), Hasto Bramantyo (Buddha), Pande Made Kutanegara (Hindu), dan Rudy Soraya (Baha'i).

Dari hasil evaluasi tertulis yang dibuat oleh peserta studi kelas, dikatakan bahwa kegiatan seperti ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Mereka butuh ruang untuk membicarakan pengalaman konkrit yang berhubungan dengan kehidupan beragama di dalam konteks masyarakt pluralis. Diharapkan dengan meluasnya forum-forum seperti ini akan mengembangkan suasana saling memahami a n t a r k e l o m p o k . D a n l e b i h p e n t i n g , memunculkan kemauan bersama untuk menolak k e b i j a k a n - k e b i j a k a n p o l i t i k y a n g mendiskriminasi sesama warga negara oleh negara.(LS)

SEMILOKA:

Pluralisme, Otonomi Daerah dan Pemilu Di Samarinda, Medan dan Manado

e b i j a k a n O t o n o m i D a e r a h d a n Pelaksanaan Pemilu 2004, merupakan

K

dua agenda yang sangat membutuhkan kajian mendalam. Keduanya memberi dampak yang signifikan bagi dinamika kehidupan masyarakat pluralis. Secara khusus, dalam kaitan dengan fokus kegiatan ini, yang menjadi pertanyaan adalah, apa implikasi keduanya terhadap dinamika pluralisme agama di Indonesia?

Menjawab kebutuhan di atas, Interfidei bekerjasama dengan LSM Lapang Berdaya, Samarinda mengadakan Semiloka tanggal 4-7 Februari 2004. Seminarnya dilaksanakan pada tanggal 5 Februari 2004 di Hotel Mesra Internasional, Samarinda. Melibatkan 92 peserta, dengan narasumber Esthi Susanti (Surabaya), Mohtar Mas'oed (Jogjakarta), KH. Arifin Assegaf (Manado), Ari Dwipayana (Jogjakarta), dan Sugeng Haryandi (Samarinda). Sedangkan

discrimination or witnessing their own group applying discriminative actions against other groups.

The class study was conducted at CRCS, Jl. Teknika Utara, Pogung, attended by some 40 participants. Speaking to the group were Munir Mulkan (representing the Moslem section of the community), Gerrit Singgih (Protestantism), Toto Broto (Sapto Dharma), Nunuk P. Murniati ((Catholicism), Candra Setiawan (Konghuchu), Hasto Bramantyo (Buddha), Pande Made Kutanegara (Hindu) and Rudy Soraya (Baha'i).

Judging from the written inputs from the class' participants, most say that activities such as these are indispensable. There is common agreement on the need of a public space to air their real-life experiences on matters related to religious lives within a pluralist society. They express their hope that forums such as these will foster mutual understanding among differring groups. And last but not least, they will engender mutual resolve to reject government policies that are discriminating against some part of the society. (LS)

WORKSHOP:

Regional Seminars on Pluralism, Regional Autonomy and General Election In Samarinda, Medan and Manado

overnmet policies on Regional Autonomy and 2004 General Election were two

G

agendas that needed a more fundamental appraisal. These two topics impact significantly on the life dynamics of a pluralist society. And to be more precise, with respect to the focus of this activity, the sticking question is, what are the impacts of both policies on pluralis religious life in Indonesia?

(13)

A r i f i n A s s a g a f ( M a n a d o ) , A r i Dwipayanan (Jogja karta) and Sugeng Haryadi (Samarinda). The workshop was held at Grand Jamrud Hotel, attended by 45 persons comprising of NGO activists, students, teachers, community elders, party cadres, candidate MPs and Senators as well as journalists. Three persons served as anchors to the workshop: Listia, Dadang Juliantara and Yustinus. One of the results of these activities was, the setting up of workshop's alumni communication forum (JAMRUD), with two activities'agenda: to build a local network as well as to plan a workshop on conflict contingency and resolution.

In addition, working hand-in-hand with the Pluralist Community, Dian/Interfidei organised a seminar and workshop on the same theme at Wisma Humanitas, Pematang Siantar, from Febr. 11 to 15th. The seminar was attended by some 150 participants

from various groupings: students, NGO people, religious/adat informal leaders as well as partay cadres. Speaking at the forum were:Mohtar Mas'oed (Jogjakarta), Ridwan Manik (Simalungun), Jabanten Damanik (Simalungun) Nur Ahmad fadil Lubis (Medan) dan Monang Naipospos (Parmalim-Medan).

There were some 28 people attending the workshop, with Yustinus, Wayan Suweta, Sabar Saragih serving as anchors. The upshot of these activities, among others, the setting up of an interfaith forum at Pematang Siantar, with a modest agenda as a

Edisi M aret 2004

O pinion

l o k a k a r y a n y a dilaksanakan di Hotel Grand Jamrud, diikuti 4 5 p e s e r t a d a r i k a l a n g a n a k t i f i s LSM, mahasiswa, G u r u , s e s e p u h masyarakat, kader Parpol dan Caleg DPD serta wartawan, didampingin oleh 3 (tiga) orang fasilitator : L i s t i a , D a d a n g

Juliantara dan Yustinus. Salah satu output dari kegiatan ini adalah, terbentuknya sebuah forum komunikasi alumni peserta lokakarya (JAMRUD), dengan dua agenda kegiatan : membentuk jaringan pada tingkat lokal dan merencanakan lokakarya antisipasi dan resolusi konflik.

Selanjutnya Dian/Interfidei bekerjasama dengan Komunitas Pluralis, Sumatera Utara (Komplu Sumut) menyelenggarakan Semiloka dengan tema yang sama di Wisma Humanitas, Pematang Siantar, 11-15 Februari 2004. Acara seminar dihadiri oleh 150 peserta, dari berbagai kalangan: mahasiswa, LSM, tokoh agama/adat dan masyarakat, parpol hingga birokrat. Pembicara adalah Mohtar Mas'oed (Jogjakarta), Ridwan Manik (Simalungun), Jabanten Damanik (Simalungun), Nur Ahmad Fadil Lubis (Medan) dan Monang Naipospos (Parmalim-Medan).

Peserta lokakarya berjumlah 28 orang. Mereka didampingi oleh Yustinus, Wayan Suweta, Sabar Saragih sebagai fasilitator. Output dari kegiatan ini, antara lain, terbentuknya forum antariman di Pematang Siantar, dengan agenda sederhana sebagai langkah awal untuk menghidupkan forum tersebut, yaitu : kelompok diskusi.

Terakhir, bekerjasama dengan Yayasan Pelita Kasih Abadi (PEKA), Manado, menyelenggarakan kegiatan yang sama di Manado, 18 21 Februari 2004. Seminar diadakan di Hotel Sahid, Teling, Manado, dihadiri kurang lebih 130 peserta dari berbagai kalangan. Hadir sebagai narasumber, adalah : Yong Ohoitimur (Manado), Budhy Munawar-Rachman (Jakarta), Zakaria Ngelow (Makassar); J. Kaloh (Manado), Suhendro Boroma (Manado).

Acara Lokakarya diadakan di Kawanua Cottage, Walian, Tomohon, diikuti oleh 32 peserta yang terdiri dari berbagai elemen: LSM, Aktivis Kampus, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Pengurus

Foto bersama peserta Semiloka Samarinda

(14)

interfidei new sletter Kronik

Partai, dan Jurnalis.

Output dari kegiatan ini, para peserta membuat pesan moral kepada seluruh warga masyarakat dan pemerintah se Sulawesi Utara, dalam menghadapi Pemilu dan proses pelaksanaan Otonomi

Daerah. Pesan tersebut disebarkan melalui media lokal. Semiloka ini didampingi oleh fasilitator: Nurchoolis Madjid (Banjarmasin), Elga Sarapung (Jogjakarta), dan Andre Haryadi (Manado).

Sebagai tindaklanjut dari ketiga kegiatan tersebut, peserta di masing-masing daerah melakukan pemantauan selama proses persiapan dan pelaksanaan Pemilu. Mendatakan hal-hal yang muncul sebagai implikasi terhadap dinamika kehidupan agama-agama di masing-masing daerah. Lalu bahan ini akan diolah, dan menjadi bahan kajian lebih lanjut dalam kegiatan tahap kedua di daerah yang sama dengan peserta yang sama. (LS, Wets, X'tie).

Perpisahan dengan Simone Sinn

14 Februari 2004

elama enam bulan, terhitung sejak Agustus 2003-Februari 2004, Simone Sinn, seorang relawan dari Jerman tinggal di Interfidei.

S

Keinginan untuk tinggal Indonesia tersebut terdorong oleh minatnya untuk menambah wawasan tentang pluralisme dan dinamika pergerakan perempuan Muslim di Indonesia.

Selama berada di Interfidei, Simone mungkin termasuk salah satu orang asing yang cepat belajar bahasa Indonesia. Sebab baru dua

preliminary step toward activating the forum i.e. discussion group.

Last in the series of seminars and workshop during the first half of this year was one held in tandem with the Pelita Kasih Abadi (Peka) Foundation, in Manado from Feb. 18th to 21st. The seminar was held at Hotel Sahid, Teling, Manado, attended by some 130 participants from various segments of the Manado community. Speaking at the seminar were: Yong Ohoitimur (Manado), J. Kaloh (Manado), Suhendro Boroma (Manado).

Meanwhile, the workshop was held at Kawanua Cottage, Walian, Tomohon, attended by some 35 people from various sectors of the North Sulawesi society: NGOs, student leaders, religious figures, informal leaders, party bureaucrats as well as journalists.

The upshot of these activities: participants drafted a moral appeal to all members of the North Sulawesi community as well as the local government in the run-up to general election and the implementation of Regional Autonomy. The appeal was transmitted through the local media. The

workshop was chaired by Nurcholis Madjid

(Banjarmasin), Elga Sarapung (Jogjakarta) and Andre Haryadi (Manado).

As a followup to these three regional seminars and workshops, participants in the respective region conducted monitoring activities during the election process and putting on the record anything that crop up as excesses in the religious lives of the people in the respective area. The collected material will later be appraised, and evaluated in the second stage activities in the same region and with the same participants (LS, Wets, X'tie).

A Farewell Party with Simone Sinn

February 14 2004

ince August 2003 - February 2004, Simone Sinn, a volunteer from Germany, stayed at

S

Interfidei. Her wish to stay in Indonesia was prompted by her interest to broaden her knowledge on pluralism and the dynamics of Moslem women movement in Indonesia.

During her staying here, Simone was pretty quick in studying Indonesian language,

(15)

Edisi M aret 2004

minggu, dia sudah mulai bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, meski diselingi dengan bahasa Inggris. Bahkan, dia juga cukup kritis dengan materi pelajaran yang dia terima di Wisma Bahasa, yang katanya terlalu mudah.

C a l o n P e n d e t a , yang menamatkan S2 di Dublin, Irlandia ini selain berminat pada masalah gender dan pergerakan

perempuan Muslim, juga berminat pada masalah pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia. Untuk memenuhi rasa ingin tahunya, beberapa kali ia mengunjungi pesantren putri di Yogyakarta dan Solo untuk mengenal dan mengetahui lebih dalam tentang pergerakan Perempuan Muslim.

Selama di Indonesia, dia sering terlibat dalam acara-acara yang diadakan baik di daerah seperti Bali, Banjarmasin dan Medan, juga pernah diundang sebagai pembicara di Central for Religious and Culture Studies (CRCS) UGM.

Untuk mengiringi kepulangannya ke Jerman, segenap warga Interfidei dan beberapa undangan mengadakan perpisahan sederhana pada malam tanggal 14 Februari 2004.

Terima kasih atas kebersamaan dan partisipasinya terhadap Interfidei. Bila ada kesalahan mohon dimaafkan. Selamat jalan, semoga kalau sudah jadi pendeta jangan takut untuk ke Indonesia (Interfidei) lagi.

REFLEKSI

gama dan demokrasi”, dua kata yang memiliki makna yang sangat konkrit

A

berhubungan dengan kehidupan. Agama,

adalah sesuatu yang berhubungan dengan umat, dengan orang-orang. Demokrasi, berhubungan dengan rakyat yang adalah umat atau orang-orang itu juga. Agama sebagai “langkah”, “jalan” yang menuntun orang-orang kepada kehidupan. Demokrasi adalah salah satu wujud dari hidup beragama yang benar. Agama memberi inspirasi kepada umat dan mendorong untuk berprilaku demokratis. Demokrasi yang secara kualitatif memberi ruang kepada agama-agama untuk hidup dan berkembang.

since only after a two-week stay, she had been able to communicate in I n d o n e s i a n already, though m i x e d w i t h English. She was even quite critical to the lessons she received at Wisma Bahasa, which she c o n s i d e r e d t o o easy.

A cleric candidate taking her graduate program in Dublin, Ireland, Simone pays a lot of attention to the problems of gender, the movement of Moslem women, and on religious education at Indonesian schools. To fulfill her curiosity, she had visited some Islamic boarding schools for girls in Yogyakarta and Solo to find out and understand more the movement of Moslem women.

While in Indonesia, she was also involved in the programs we conducted in several regions such as in Bali, Banjarmasin, and Medan, and was invited as a speaker at the Central for Religious and Culture Studies (CRCS).

To accompany her leaving to Germany, the members of Interfidei and a number of invitations held a simple farewell party at the night of February 14 2004.

Thank you for our togetherness, Simone. Farewell, don't be afraid to go back to Indonesia (Interfidei) again!!

REFLECTION

eligion and democracy,” are two words having a most vital significance to the people's lives.

R

Religion is closely related with its followers/believers, and thereby people. Democracy, is tied to the people who are also religious, therefore the very same people. Religion is “the path,” “way” that guides the people on the road of life. Democracy is one of the embodiment of correct religious life. Religion provides the

Foto waktu perpisahan dengan Simone

(16)

interfidei new sletter Agenda

Bagaimana korelasi keduanya dalam dinamika kehidupan bermasyarakat? Keduanya saling memberi makna yang terpusat pada kehidupan. Kehidupan yang berlangsung dalam sebuah masyarakat pluralis. Kehidupan dinamis yang memberi ruang, pengakuan serta kemungkinan kepada semua orang, siapa pun dan dari latarbelakang apa dan mana pun, untuk dapat hidup bersama, berinteraksi, saling menghargai dan membangun kepentingan bersama, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil, sejahtera dan damai.

AGENDA:

1. Mei: - monitoring kegiatan Studi Agama dan

M a s y a r a k a t d i 3 ( t i g a ) d a e r a h : di Samarinda, Pematang Siantar dan

Manado.

- terbit buku :

1. “Dialog, Kritik dan Identitas Agama”

2. “Agama dan Aspirasi Rakyat” - Newsletter edisi khusus

2. Juni: -pelaksanaan program Seminar dan Lokakarya Guru-guru Agama se-Kota

Yogyakarta.

-terbit buku saku tentang Pluralisme dan Dialog Antariman

-penjajakan lapangan untuk tahap kedua penelitian “Pendidikan Agama di

sekolah”.

4. Kepada seluruhrekan, kenalan masyarakat Buddhis, kami ucapkan Selamat Hari Raya Waisak 2004

3. Juli: pelaksanaan Studi Agama dan Masyarakat di beberapa daerah.

inspiration to the people and prompts them to behave democratically. Qualitatively speaking, democracy provides living space for religious people to practice their faiths and spread its message.

How are the two related to one another in everyday life? Both give significance to one another and have the same focus on lives of the people. A sustainable life in the multifacetted life. A vital life that provides space, acknowledgement as well as possibilities to everyone, regardless of his background, to be able to live together, to communicate, to respect one another and to develop and cultivate common interest i.e. creating a just, welfare and peaceful society.

AGENDA:

1. May: - monitoring of Religious and Sosiety Study’s activities in 3 (three) regions: in Samarinda, Pematang Siantar and Manado

- publishing of books:

1.“Dialogue,Critics and Religious Identity”

2 . “ R e l i g i o n a n d t h e P e o p l e ' s Aspirations”

- Newsletter Special Edition

2. June:- implementation of Seminar & Workshop p r o g r a m f o r R e l i g i o n Te a c h e r s o f

Yogyakarta.

- P o c k e t b o o k a b o u t P l u r a l i s m a n d Intefaith Dialog will be published.

- field survey for second phase of research on “Religious Education in Schools.”

4. We would like to congratulate our Buddhist’s brothers and sisters Happy Waisak 2004

3. Juli: - implementation of Religion and Society Study in several regions.

Yayasan Dian/Interfidei

Dian/Interfidei Foundation

Ketua/Chairman : Eka Darmaputra, Ph.D, W akil Ketua/Vice Chairman : Dr. Djohan Effendi, Daniel Dhakidae

Ph.D, Sekretaris/Secretary : Elga Sarapung, Bendahara/Treasure : Zulkifli Lubis, Pelaksana Harian/Executive : Elga Sarapung (Direktur); Abidin Wakano, Wayan Suweta (Diskusi/ seminar) ; Noegroho Agoeng, Haryandi, Alfred B. Jogo Ena, Sarnuji (Penerbitan/ Dokumentasi/ Perpustakaan); Syafa’atun Elmirzanah, Listia (Penelitian); Wiwin St. Aminah, Elga Sarapung (Pendidikan/ Pelatihan/ Lokakarya); Eko Putro (Keuangan); Octavia Christiani, Sarnuji, Supriyanto, (Sekretaris Administrasi). Alamat/Address : Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Yogyakarta, 55581-Indonesia Ph./ Fax.: 0274-880149, E-mail : dianinterfidei@yahoo.com. No. Rek: Yayasan DIAN-Interfidei, Bank BNI Cabang UGM, Capem Pasar Colombo, No.228.000601034.001

Demi Pengembangan Newsletter ini, kami terbuka terhadap saran dan kritik anda.

Gambar

Gambar Para Bikkhu sedunia, saat Conference of World Buddhist Sangha Council (WBSC),

Referensi

Dokumen terkait

perencanaan pembangkit listrik tenaga air dengan tinggi jatuh maka jenis turbin yang digunakan adalah turbin

1) Keuchik, disamping melaksanakan tugas pemerintahan pada tingkat gampong, keuchik juga berwenang dan mempunyai tugas lain yaitu menyelesaikan perselisihan atau

Namun dalam ke- adaan tertentu Jual beli secara di bawah tangan atau jual beli tanpa menggunak- an akta Pejabat Pembuat Akta dapat di- daftarkan ke Kantor Pertanahan, hal ini

Bisa dijelaskan bahwa dalam pemberian Bimbingan dan Konseling Islam dengan Terapi Ruqyah Syariah yang telah dilaksanakan konselor dapat dinyatakan berhasil karena

Hal ini desebabkan ketiga pulau tersebut terbentuk dari satu bentukan batuan gunungapi dasar laut, terdiri dari lava bantal, yang memiliki tiga tinggian dan ditumbuhi terumbu

Seperti disampaikan Remark, sastra bandingan adalah suatu studi perbandingan dua karya sastra atau lebih yang berasal dari negara yang berbeda, atau bisa juga

Permasalahan yang muncul berkaitan dengan perlindungan terhadap benda bersejarah diatas adalah masalah pelaksanaan Peraturan Daerah kabupaten Rembang Nomor 5 Tahun

Seiring perkembangan teknologi begitu pesat, kebutuhan akan informasipun sangat dibutuhkan terlebih lagi informasi yang dihasilkan mengandung nilai yang benar dan akurat,