• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PEMBAGIAN KERJA PERSPEKTIF JENDER (Teori Fungsionalis Struktural) Salma Sunaiyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "1 PEMBAGIAN KERJA PERSPEKTIF JENDER (Teori Fungsionalis Struktural) Salma Sunaiyah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAGIAN KERJA PERSPEKTIF JENDER

(Teori Fungsionalis Struktural) Salma Sunaiyah1

Abstrak: Mayoritas kelompok masyarakat menggunakan jenis kelamin sebagai kriteria dalam pembagian kerja. Pembagian kerja secara seksual, laki-laki sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai pengasuh (nurture) dalam masyarakat modern masih dijumpai. Misalnya, dalam dunia bisnis, perempuan diarahkan menjadi sekretaris dan laki pemimpin. Karena laki-laki (maskulin) mempunyai karakter sangat agresif, lebih ambisi dan perempuan (feminin) mempunyai karakter tidak terlalu agresif, kurang ambisi, maka hubungan keduanya pada hakekatnya adalah hubungan kemitraan, hubungan yang saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan.. Kemitraan dalam hubungan suami-istri sebagai hubungan timbal balik.. Sehingga teori strukutral-fungsional tetap relevan diterapkan dalam masyarakat modern. Suami-ayah mengambil peran instrumental (instrumental role) sementara istri-ibu mengambil peran ekspresif (ekspresif role). Jika terjadi penyimpangan atau tumpang tindih fungsi, maka sistem keutuhan keluarga akan mengalami ketidakseimbangan. Pembagian fungsi yang mengacu kepada perbedaan anatomi biologis masih sulit ditinggalkan. Dalam kenyataanya masyarakat industri dan liberal cenderung tetap mempertahankan pendapat ini karena sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi industri yang menekankan produktivitas.

Kata Kunci: jender, pembagian kerja

A. Pendahuluan

Zaman menuntut kita untuk menyelidiki dan menimbang sekali lagi berbagai hal. Sistem tanggung jawab keluarga merupakan salah satu di antaranya. Sedangkan, jenis kelamin yang terlibat di dalamnya berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan. Alam telah memberi kepada kedua anggota keluarga ini kecenderungan, sifat, serta temperamen yang berbeda-beda. Struktur sosial keluarga bersifat semialami dan semikonvensional; artinya ia menempati suatu posisi tengah antara struktur sosial instinktif-yang seluruh batas perilaku, hak, dan hukumnya ditentukan oleh alam-dan struktur sosial yang berdasarkan konvensi, seperti struktur masyarakat sipil manusia yang mempunyai komponen alami.

Para filosuf kuno, seperti kita ketahui, memandang falsafah kehidupan keluarga sebagai suatu cabang independen dari falsafah praktis; mereka percaya bahwa masalah kehidupan keluarga mempunyai logika dan kriteria sendiri.

Laki-laki dan perempuan adalah patner dalam kemanusiaan, bahwa perempuan adalah manusia yang sejati, yang karenanya berhak menikmati hak-hak manusia yang tidak dapat disangkal dan ditolak bagaimana halnya kaum laki-laki, dan bahwa mereka sederajat dengan laki-laki. Dalam terminologi akademis, persamaan dan kebebasan adalah hak manusia sesuai derajatnya sebagai manusia. Karena perempuan adalah manusia, maka ia diciptakan dalam keadaan bebas sebagaimana semua manusia lainya, dan dengan demikian ia mempunyai hak yang sama. Tetapi perempuan adalah manusia dengan suatu kondisi, dan laki-laki adalah manusia dengan kondisi yang lain. Laki-laki dan perempuan sama dalam kedudukannya sebgai 1

(2)

manusia, tetapi keduanya merupakan manusia dengan dua jenis karakter dan dua jenis jiwa. Perbedaan ini bukanlah hasil dari suatu faktor geografis, historis, atau sosial; ia telah digariskan dalam rencana penciptaaan manusia sendiri. Alam mempunyai tujuan tertentu dalam kedua kondisi yang berbeda ini. Karenanya, tindakan apapun yang bertentangan dengan alam dan tatanan alam pasti akan menimbulkan korban yang tidak diinginkan. Sebagaimana keluarga, apakah unit keluarga sekurang-kurangnya merupakan suatu unit sosial yang semialami atau tidak.

Walaupun diskursus tentang jender akhir-akhir ini semakin menggelinding, menembus sekat-sekat birokrasi, Perguruan Tinggi, rumah tangga, bahkan pondok pesantren. Meskipun perbincangan tentang jender sudah semakin merebak-setidak dalam sepuluh tahun terakhir- namun dari pengamatan, masih sering terjadi kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep jender. Kesalahpahaman tentang jender bukan hanya terjadi di kalangan awam, tetapi juga menimpa kalangan terpelajar. Istilah jender seringkali dirancukan dengan istilah jenis kelamin, dan lebih rancu lagi karena jender diartikan dengan jenis kelamin perempuan. Ini jelas salah. Istilah jender bukan hanya menyangkut jenis kelamin perempuan, melainkan juga jenis kelamin laki-laki. Karena itu, penting sekali memahami perbedaan antara jenis kelamin(sex) dan jender.

Dalam setiap masyarakat selalu ada pembagian kerja seksual antara perempuan dan laki-laki, sehingga dikenal peran jender yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja seksual tersebut ada yang secara ketat diterapkan, ada pula yang longgar, tergantung lingkungan. Misalnya secara biologis perempuan mempunyai organ reproduksi untuk hamil, melahirkan dan menyusui, lalu berkembanglah peran jender bahwa peran utama perempuan adalah perawat dan pendidik anak. Konsekwensi logis dari peran tersebut adalah bahwa pekerjaan di rumah tangga merupakan tugas dan kewajiban pokok perempuan. Pandangan yang demikian itulah yang menimbulkan berbagai masalah dan ketidakadilan bagi perempuan.

Perbedaan jender sesungguhnya merupakan hal yang biasa atau suatu kewajaran sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan jender(gender inequalities). Akan tetapi, realita di masyarakat menunjukan bahwa perbedaan jender telah melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan jender, antara lain terwujud dalam bentuk pemberian kerja yang lebih panjang dan lebih berat kepada perempuan, dan ini terutama dialami kaum perempuan yang bekerja di luar rumah. Sebab, perempuan selain dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga -yang di masyarakat selalu dipersepsikan sebagai kewajiban perempuan- ia juga harus menunjukkan prestasi kerja yang baik di tempat kerjanya. Beban kerja yang lebih panjang dan lebih berat.

Berpijak dari itu, penulis harus mempelajari lagi tentang bagaimana pandangan teori fungsionalis struktural (perspektif jender) tentang pembagian kerja dalam pengertian yang sesungguhnya, apakah sudah sesuai tatanan alam dan dapat dinikmati oleh manusia laki-laki dan perempuan.

B. Pembahasan 1. Pembagian Kerja

(3)

jenis kelamin, meskipun sebagian diantaranya ada yang dipandang cocok dan wajar untuk dilakukan oleh kedua jenis kelamin.

Pekerjaan yang diperuntukkan kepada laki-laki umumnya yang dianggap sesuai dengan kapasitas biologis, psikologis, dan sosial sebagai laki-laki, yang secara umum dikonsepsikan sebagai orang yang memiliki otot lebih kuat, tingkat risiko dan bahayanya lebih tinggi karena bekerja di luar rumah, dan tingkat ketrampilan dan kerjasamanya di dalam kelompok masyarakat lebih tinggi. Sementara itu, pekerjaan yang diperuntukkan kepada perempuan ialah yang umumnya sesuai dengan kapasitas biologisnya sebagai perempuan, yang secara umum dikonsepsikan sebagai orang lemah dengan tingkat risiko lebih rendah, cenderung bersifat mengulang, tidak memerlukan konsentrasi yang intensif, dan lebih mudah terputus-putus. Karena itu tingkat ketrampilan perempuan dianggap rata-rata lebih rendah dibanding laki-laki.

Menurut penelitian George Peter Murdock "di antara 185 kelompok masyarakat yang diteliti, laki-laki lebih konsisten kepada pekerjaan yang disebutnya sebagai pekerjaan maskulin dan perempuan lebih konsisten kepada pekerjaan feminin".2 Pembagian kerja secara seksual selalu ditemukan. Adapun adil atau tidaknya perbedaan itu adalah persoalan lain, yakni persoalan subyektifitas pada setiap masyarakat. Mungkin dari perspektif pembagian kerja masyarakat tertentu tidak adil tetapi oleh masyarakat yang bersangkutan dianggap adil.

Sehubungan dengan pembagian secara seksual Michelle Rosaldo dan Louise Lamphere "mengidentifikasi pembagian kerja secara seksual berdasarkan ciri-ciri universal dalam berbagai kelompok budaya, yaitu masyarakat pemburu dan peramu, masyarakat holtikultura, masyarakat agraris, dan masyarakat industri".3

Dasar pembagian lapangan kerja antara lain adalah relasi kuasa dan status. Dalam masyarakat tradisional dikenal pembagian kerja secara seksual, laki-laki sebagai pemburu dan perempuan sebagai pengasuh, sedangkan dalam masyaraakat modern masih juga dijumpai hal yang yang sama. Misalnya dalam dunia bisnis, perempuan diarahkan menjadi sekretaris dan laki-laki pemimpin. Urusan-urusan produktif seolah-olah menjadi tugas laki-laki dan urusan produksi dan kerumahtanggaan adalah tugas perempuan. Pembagian fungsi yang mengacu kepada perbedaan anatomi biologis masih sulit ditinggalkan.

2. Kedudukan Laki-laki dan Perempuan

Dan orang laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman yang setengahnya adalah pemimpin bagi yang setengah mereka (sama-sama) menyuruh berbuat yang ma'ruf dan sama) mencegah daripada yang munkar, dan sama) mendirikan sembahyang dan sama) mengeluarkan zakat dan (sama-sama) taat kepada Allah dan rasul-Nya. Itulah orang-orang akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah adalah kuasa, maha bijaksana.(QS. Al-Taubah: 71).4

"Telah menjanjikan Tuhan Allah kepada orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, surga-surga yang mengalir didekatnya sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan tempat kediaman yang baik di dalam surga Aden. Dan keridlaan dari Allah, itulah yang lebih besar, demikianlah dan itulah kemenangan yang besar".(QS. Al-Taubah: 72)5

Kedua ayat tersebut memberikan jaminan dan kedudukan yang sama kepada mu'min laki-laki dan mu'min perempuan di hadapan Tuhan. Tugas bersama yang 2

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 2001), 77

3

Ibid., h.79

4

Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004), 275

5

(4)

mereka hadapi adalah menegakkan agama, amar ma'ruf, menegakkan kebenaran dan keadilan, mengokohkan akhlak yang tinggi dalam membangun masyarakat, dan nahyi anil munkar.

Dalam rumah-tangga dan dalam masyarakat umumnya, sangatlah terasa bahwa laki-laki dan perempuan adalah lengkap melengkapi. Sebagai contoh ini dapat kita lihat dalam kehidupan rasulullah saw.sebagai tersebut dalam tarikh menerangkan bahwa "ketika beliau menerima wahyu dan beliau turun dari gua hira' bahwa beliau segera pulang ke rumahnya, meminta kepada isterinya yang amat dicintainya, khadijah mengambilkan selimut, badannya mendingin, supaya diselimuti zammiluuni, zammiluuni (selimuti aku, selimuti aku)".6 Khadijah selalu membangkitkan jiwa Muhammad, memberi semangat, dan bahkan khadijah membawa beliau menemui pamannya yang jauh lebih mengerti tentang seluk beluk wahyu itu. Maka tercatatlah dalam sejarah betapa penting artinya sikap yang diambil oleh isteri tercinta dalam saat yang menentukan. Sehingga dapat dipahami bahwa perempuan itu adalah tiang negara, kalau perempuan itu baik, baiklah negara, dan kalau mereka bobrok, bobrok pulalah negara. Ba'dhuhum auliyau ba'dhin, yang setengah memimpin kepada yang setengah, jaga-menjaga, bela-membela dan naik-menaikkan, sehingga bukan mu'min laki-laki saja yang dapat menaikkan martabat jiwanya yang iman, malahan yang perempuan demikian pula, sehingga mereka sama-sama besar dalam bidangnya masing-masing. Bukan saja orang laki-laki yang memimpin perempuan, bahkan orang perempuan memimpin orang laki-laki.

Masyarakat manusia adalah gabungan antara keaktifan kepasifan laki-laki dan keaktifan kepasifan perempuan. Jelas sekali rumah-tangga yang damai, aman, dan harmonis adalah gabungan antara tegapnya laki-laki dan halusnya perempuan. Tidak bisa satu rumah-tangga berdiri kalau hanya kemauan laki-laki saja yang berlaku dan tidak bisa rumah-tangga berdiri kalau hanya kehalusan lemah lembut perempuan saja yang terdapat.

Walaupun sama hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, bukan berarti pekerjaan yang hanya bahu laki-laki yang kuat memikulnya, akan tetapi perempuan juga ikut memikulnya. Sehingga meskipun sama berhak dan sama-sama berkewajiban, namun pekerjaan meski dibagi. Perempuan modern tidak perlu cemas, perempuan tidak perlu bersujud kepada selain Allah swt.. Perempuan tidak diperintahkan bersujud kepada suaminya. Yang diperintahkan hanyalah kesetiaan.

3. Implikasi Perbedaan Biologis laki-laki dan Perempuan terhadap perilakunya

Anatomi biologis dan komposisi kimia dalam tubuh manusia memiliki beberapa keunggulan sebagaimana dapat dilihat dalam perilaku manusia. Potensi keunggulan itu menjadikan manusia sebagai penguasa di bumi.

Tentang perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuaan tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi efek perbedaan biologis terhadap perilaku manusia, khususnya dalam perbedaan relasi jender, menimbulkan banyak perdebatan. Unger, misalnya mengidentifikasi perbedaan emosional dan intelektual antara laki-laki dan perempuan sebagai berikut:

Laki-laki (maskulin) mempunyai karakter antara lain sangat agresif, independen, tidak emosional, dapat menyembunyikan emosi, lebih objektif, tidak mudah terpengaruh, sangat menyukai pengetahuan eksakta, tidak mudah goyah terhadap krisis, lebih aktif, lebih kompetitif, lebih logis, lebih mendunia, lebih terampil berbisnis, lebih berterus terang, memahami seluk beluk perkembangan dunia, tidak mudah tersinggung, suka berpetualang, mudah mengatasi persoalan, jarang 6

(5)

menangis, tampil sebagai pemimpin, penuh rasa percaya diri, lebih banyak mendukung sikap agresip, lebih ambisi, mudah membedakan rasa dan rasio, lebih merdeka, tidak canggung dalam penampilan, pemikiran lebih unggul, lebih bebas berbicara.

Sedangkan perempuan (feminin) mempunyai karakter tidak terlalu agresif, Tidak terlalu independen, lebih emosional, sulit menyembunyikan emosi, lebih subjektif, mudah terpengaruh, lebih submisif, kurang menyenangi eksakta, mudah goyah menghadapi krisis, lebih pasif, kurang kompetitif, kurang logis, berorientasi ke rumah, kurang terampil berbisnis, kurang berterus terang, kurang memahami seluk beluk perkembangan dunia, berperasaan mudah tersinggung, tidak suka berpetualang, sulit mengatasi persoalan, lebih sering menangis, tidak umum tampil sebagai pemimpin, kurang percaya diri, kurang senang terhadap sikap agresif, kurang ambisi, sulit membedakan rasa dan rasio, kurang merdeka, lebih canggung dalam penampilan, pemikiran kurang unggul, kurang bebas berbicara.7.

Anggapan bahwa laki-laki lebih kuat, lebih cerdas, dan emosinya lebih stabil, sementara perempuan lemah, kurang cerdas, dan emosinya kurang stabil, hanyalah persepsi stesreotip jender. Para feminin menunjuk beberapa faktor yang dianggap sebagai agen pemasarakatan (agents of socialization) streotip jender, anatara lain "pengaruh bahasa, suasana keluarga, kehidupan ekonomi, dan suasana sosial politik".8 Padahal sejumlah masyarakat primitif pernah ditemukan "memberikaan peran jender yang seimbang antara laki-laki dan perempuan".9Begitu juga ahli genetika pun mengakui bahwa manusia adalah makhluk biologis yang mempunyai karakteristik tersendiri, perkembangan kesadaraan dan kecerdasannya tidak semata-mata ditentukaan oleh faktor genetika melainkan juga faktor lingkungan..

Perempuan dan laki-laki bagaimana pun memiliki potensi akal yang sama. Realitas sejarah kehidupan manusia sejak dulu sampai sekarang membuktikan bahwa tidak setiap laki-laki memiliki akal lebih cerdas dari setiap akal perempuan atau sebaliknya. Untuk menyebut contoh ada ratu Bilqis dari saba', Cleopatra dan syajarat al dur dari mesir,aisyah bin Abu Bakar, Rabiah al 'Adawiyaah dari baghdad, Indira Gandhi (India) dan sederet nama perempuan lainya. Semuanya adalah perempuan-perempuan cerdas daan sukses memimpin masyarakat dan bangsanya yang besar bahkan melebihi sukses pemimpin laki-laki. Jadi, kekurangan akal perempuan bukanlah sesuatu yang fitrah (kodrat).

Tapi perlu juga dicermati pandangan psikolog wanita, Cleo Dalson. Wanita terpelajar ini mengatakan bahwa sebagai seorang psikolog wanita, ia sangat tertarik dan menaruh perhatian dalam kajian mengenai mentalitas kaum pria. Belum lama ini, katanya, ia ditugaskan untuk riset tentang faktor-faktor psikologis dalam diri perempuan dan laki-laki, dan kesimpulan yang diperolehnya ialah "semua perempuan suka bekerja di bawah orang lain".10. Dengan kata lain, perempuan lebih suka bekerja di bawah pengawasan seorang atasan. Semua perempuan ingin merasakan bahwa eksistensi mereka adalah menciptakan kebutuhan dan memang merupakan kebutuhan.

Cleo Dalson juga mengemukakan pendapatnya sendiri bahwa menurut keyakinannya, keinginan perempuan itu berakar pada kenyataan bahwa perempuan itu berada di bawah perintah perasaannya, sedang laki-laki tunduk pada pertimbangan pikirannya. Telah sangat sering diamati, bahwa perempuan tidak saja sama dengan 7

Lihat Nasaruddin Umar, Op.Cit., h.43

8

Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Islam, Op.Cit., h. 22

9

Baca, ,Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, Op.Cit., h. 23

10

(6)

laki-laki dalam hal intelegensia, tetapi kadang-kadang bahkan lebih daripada laki-laki. Satu-satunya kelemahan perempuan ialah intensitas perasaannya. Laki-laki selalu berpikir lebih praktis, mencapai kesimpulan-kesimpulan yang lebih baik, organisator yang lebih baik, dan memberikan intruksi-intruksi yaang lebih baik. Jadi, superioritas mental laki-laki atas perempuan, menurut penalarannya, adalah sesuatu yang direncanakan oleh alam. Betapapun perempuan ingin memerangi kenyataan ini, usahanya itu tidak akan berhasil. Karena lebih sensitif dari laki-laki, perempuan harus menerima kenyataan bahwa mereka memerlukan kepemimpinan laki-laki dalam hidupnya. Tujuan yang paling penting dalam hidup perempuan ialah keamanan, dan bila ia telah berhasil mencapai tujuan ini, ia tidak aktif lagi. Perempuan takut menghadapi bahaya yang terlibat dalam usaha mencapai tujuannya. Ketakutan adalah satu-satunya perasaan dimana perempuan memerlukan bantuan untuk melenyapkannya. Tugas yang menuntut usaha mental terus-menerus adalah membosankan dan meletihkan perempuan.hak-hak.

4. Kemitraan Laki-laki dan Perempuan

Hakekatnya hubungan suami dan istri, laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan, hubungan yang saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Kemitraan dalam hubungan suami istri sebagai kebutuhan timbal balik.

Keistimewaan kodrati yang dimiliki laki-laki dan perempuan mengantar pada perbedaan fungsi dan peranan utama yang dituntut dari keduanya. Atas dasar keistimewaan kodrati masing-masing pula, maka perempuan diberi tanggungjawab untuk mendidik anak-naknya, tetapi perlu digarisbawahi pula bahwa mendidik anak, bukanlah merupakan tugas ibu semata-mata, tetapi juga bapak.

Bahkan kemitraan dalam hubungan suami istri dinyatakan Al-Quran sebagai kebutuhan timbal-balik. Allah SWT. Berfirman yang terjemahnya "Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka". (QS. Al-Baqarah: 187).11

5. Pembagian Kerja Secara Seksual

Sehubungan dengan pembagian kerja secara seksual Michelle Rosaldo Louse Lamphere "mengindentifikasi pembagian kerja secara seksual berdasarkan ciri-ciri universal dalam berbagai kelompok budaya, yaitu masyarakat pemburu dan peramu, masyarakat holtikultura, masyarakat agraris, dan masyarakat industri"12.

Dalam masyarakat pemburu dan peramu umumnya peran sosial-ekonomi terpola kepada dua bagian, yaitu pemburu untuk kaum laki-laki dan peramu untuk kaum perempuan. Meskipun laki-laki terkadang berpartisipasi dalam kegiatan meramu dan perempuan juga terkadang melakukan pemburuan binatang kecil-kecil, menangkap ikan, terlibat dalam kegiatan bercocok tanam. Pemburuan binatang besar-besar dan hewan liar dan penangkapan di lepas pantai adalah tugas utama kaum laki. Sanderson menyatakan dalam masyarakat seperti pemburu peramu ini kaum laki-laki memperoleh pengakuan dan prestise. Semakin besar jumlah hasil buruan semakin besar pula kekuasaan yang diperoleh seorang laki-laki. Sebaliknya semakin kecil hasil buruan yang diperoleh semakin kecil pula peran kontrol seorang laki-laki kepada perempuan. Mayoritas masyarakat abad 21 masuk kategori masyarakat pemburu dan peramu. Sedangkan menurut Agnes Estiko-Griffin namun jika dibandingkan dengan

11

Mahmud Yunus, Op.Cit., h. 39

12

(7)

kelompok masyarakat agraris dan industri, partisipasi perempuan dalam kelompok masyarakat pemburu peramu ini lebih besar.13

Masyarakat holtikultura mengandalkan usaha perkebunan. Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin tidak terlalu tampak dalam kelompok masyarakat ini, karena kaum perempuan dianggap dapat mampu untuk melakukan usaha itu. Dibanding dengan kelompok masyarakat pemburu peramu, kaum perempuan dalam kelompok masyarakat ini memperoleh kedudukan lebih tinggi dan secara umum dalam pola relasi jender terjadi keseimbangan. Bahkan dalam beberapa kelompok masyarakat seperti iroquos, suatu kelompok masyarakat indian Amerika Utara, kaum perempuan mempunyai status dan pengaruh yang sangat tinggi. Namun secara umum peran politik dalam masyarakat ini masih tetap didominasi kaum laki-laki.

Masyarakat agraris membawa perubahan penting, terutama dalam bidang relasi jender. Kalau dalam masyarakat holtikultura pembagian kerja secara seksual tidak terlalu menonjol dan akibatnya dalam pola relasi jender belum dirasakan adanya ketimpangan yang menonjol, maka dalam agraris, terutama masyarakat yang berpola pertanian menetap, kaum perempuan pada umumnya tersisih dari peranan produktif secara ekonomis, dan produksi lebih didominasi oleh kaum laki-laki. Laki-laki mengendalikan produksi sementara perempuan terpojok untuk menjalankan fungsi-fungsi kerumahtanggaan. Dalam masyarakat ini berkembang pola apa yang disebut M. Kay "sebagai dikotomi luar-dalam (inside-outside dichotomy) atau lingkungan publik -domestik (domestic-public sphere)".14

Yang dimaksud lingkungan publik adalah lingkungan di luar rumah, yang didominasi kaum laki-laki. Lingkungan ini antara lain meliputi ekonomi, politik, kehidupan agama, pendidikan, dan kegiatan lain di luar tempat kediaman. Adapun lingkungan domestik ialah kegiatan rumah tangga yang dipandang bersifat kewanitaan, seperti urusan masak memasak, membersihkan, mencuci, mengurus dan mengasuh anak-anak. Dikotomi ini membawa akibat berupa lahirnya ideologi jender yang menjunjung superioritas alamiah laki-laki dan inferioritas alamiah perempuan.

Pola relasi jender dalam masyarakat agraris ditandai dengan ciri-ciri masyarakat patriakhi, yang memberian peranan lebih besar kepada laki-laki, dimana perempuan disisihkan dan dibatasi dari berbagai kegiatan mereka, seperti dilarang memilki hak milik, terlibat dalam politik, mengejar pendidikan, mendapat pengawasan ketat dalam berbagai kegiatan, dituntut mesti tetap perawan sebelum menikah, mendapat hukuman berat jika melakukan seks di luar nikah, tidak dibenarkan minta cerai, dan dituntut menggunakan pakaian yang menutup sebagaian besar tubuhnya. Karena dikategorikan makhluk emosional, lemah, dan kecerdasannya di bawah laki-laki, maka perempuan tidak diprioritaskan pada lapangan pekerjaan yang menuntut kecerdasan dan kekuatan.

Masyarakat industri secara umum kaum perempuan diupayakan untuk terlibat di dalam kegiatan perekonomian, namun masih banyak warisan pola agraris dipertahankan di dalamnya. Secara umum substansi pola pubik-domestik masih dipertahankan, karena partisipasi perempuan masih dihargai lebih rendah daripada laki-laki. Lagi pula perempuan masih lebih umum dialokasikan pada bidang-bidang tertentu seperti bidang tulis-menulis, kesekretriatan, jasa dan yang berhubungan dengan kegiatan pengasuhan dan perawatan, seperti guru, perawat, dan masih sangat sedikit perempuan masuk di dalam lingkaran profesional dan eksekutif.

13

Nasaruddin Umar, Op.Cit., h. 80

14

(8)

Laki-laki masih tetap dominan disektor profesi yang mempunyai status dan prestise lebih tinggi, seperti teknik, arsitek, dokter, kontraktor, manajer, dan lain sebagainya. Laki-laki mendominasi industri hulu yang produktivitasnya lebih tinggi, sementara perempuan pada umumnyaa terlibat dalam industri hilir, khususnya menangani proses akhir dari sebuah produk, yang upah dan produktifitasnya kemungkinan besar lebih rendah.

Perempuan memang diberi peluang berkiprah di sektor publik tetapi di samping persyaratannya cukup berat juga terlalu mahal yang harus dibayar, karena peran reproduksi tidak dianggap sebagai peran ekonomi. Memang banyak isu-isu hak asasi perempuan yang diangkat, tetapi solusi yang ditawarkan cenderung tidak bersifat permanen, karena faktor produktivitas dijadikan ukuran dalam menilai segala sesuatu. Kondisi standar ganda ini dianggap oleh Hisam Sharabi sebagai "era baru sistem patriakhi".15

Tegasnya, dalam masyarakat industri, pembagian kerja secara seksual cenderung dipertahankan di dalam masyarakat industri. Masarakat industri mengacu kepada orientasi produktif (produktivity oriented). Perempuan dianggap kelas dua karena fungsi produksinya mereduksi fungsi produktivitasnya. Pola relasi jender masih berlangsung tidak seimbang dan dengan demikian status dan kedudukan perempuan tetap lemah.

6. Pandangan Fungsionalis-Struktural tentang Pembagian Kerja

Teori ini muncul tahun 30-an. Teori ini dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Pandangan teori ini adalah "bagaimana memandang masyarakat sebagai sistem yang terdiri atas bagian yang saling berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik sampai rumah tangga). Masing-masing bagian secara terus-menerus mencari keseimbangan (equilibrium) dan harmoni".16

Menurut R. Dahrendolf meringkaskan bahwa prinsip-prinsip teori fungsionalis struktural adalah sebagai berikut:

1. Suatu masyarakat adalah suatu kesatuan dari berbagai bagian

2. Sistem-sistem sosial senantiasa terpelihara karena mempunyai perangkat mekanisme kontrol

3. Ada bagian-bagian yang tidak berfungsi tetapi bagian-bagian itu dapat dipelihara dengan sendirinya atau hal itu melembaga dalam waktu yang cukup lama

4. Perubahan terjadi secara berangsur-angsur

5. Integrasi sosial dicapai melalui persepakatan mayoritas anggota masyarakat terhadap seperangkat nilai. Sistem nilai adalah bagian yang paling stabil di dalam suatu sistem masyarakat.17

Harmoni dan stabilitas suatu masyarakat, sangat ditentukan oleh efektifitas konsensus nilai-nilai. Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan keseimbangan dalam masyarakat. meskipun konflik dan masalah sewaktu-waktu dapat muncul, tetap dalam batas yang wajar, dan bukan ancaman yang bakal merusak sistem sosial, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan pelestarian keharmonisan daripada bentuk persaingan.

15

Hisyam Sharabi, Neopatriachy: a Theory of Distorted Change in Arab Society, (New York: Oxford University Press, 1998)

16

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1987)

17

(9)

Dalam hal peran jender, pengikut teori ini menunjuk masyarakat pra-industri sebagai contoh, betapa masyarakat tersebut terintregrasi di dalam sistem sosial. Laki-laki berperan sebagai pemburu dan perempuan sebagai peramu. Sebagai pemburu, laki-laki lebih banyak berada di luar rumah dan bertanggungjawab untuk membawa makanan kepada keluarga. Peran perempuan lebih terbatas di sekitar rumah dalam urusan reproduksi, seperti mengandung, memelihara dan menyusui anak. Pembagian kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dan berhasil menciptakan kelangsungan masyarakat yang stabil. Dalam masyarakat seperti ini stratifikasi peran jender sangat ditentukaan oleh jenis kelamin.

Para penganut teori ini berpendapat bahwa teori struktural-fungsional tetap relevan diterapkan dalam masyarakat modern. Talcott Parsons dan Bales, dua tokoh pendukung teori ini, menilai bahwa pembagian peran secara seksual adalah sesuatu yang wajar. Suami-ayah mengambil peran instrumental (instrumental role), membantu memelihara sendi-sendi masyarakat dan keutuhan fisik keluarga dengan menyediakan bahan makanan, tempat perlindungan, dan menjadi penghubung keluarga dengan dunia luar (the world outside the home). Sementara istri-ibu mengambil peran ekspresif (expressive role), membantu mengentalkan hubungan, memberikan dukungan emosional dan pembinaan kualitas yang menopang keutuhan keluarga, dan menjamin kelancaran urusan rumah tangga. Jika terjadi penyimpangan atau tumpang tindih fungsi antara satu dengan yang lainnya, maka sistem keutuhan keluarga akan mengalami ketidakseimbangan.

Relasi kuasa dan status yang berbeda antara laki-laki dan perempuan menjadi dasar dalam pembagian lapangan kerja. Kalau dalam masyarakat tradisional dikenal pembagian kerja secara seksual, laki-laki sebagai pemburu (hunter) dan perempuaan sebagai pengasuh (nurture), maka hal yang sama juga dijumpai dalam masyarakat modern. Misalnya dalam dunia bisnis, perempuan diarahkan menjadi sekretaris dan laki-laki pemimpin. Dalam dunia sains perempuan sebagai operator laboratorium dan laki-laki sebagai saintis. Urusan-urusan produktif seolah-olah menjadi tugas laki-laki dan urusan reproduksi dan kerumahtanggaan adalah tugas perempuan. Masih selalu menjadi perdebatan panjang mengapa pembagian kerja tetap saja tidak bisa menghilangkan pengaruh faktor perbedaan biologis. Teori ini mengonsepsikan tugas laki-laki untuk mengurusi urusan luar (external world), sementara perempuan bertugas untuk mengurus urusan internal kebutuhan anggota keluarga. Laki-laki lebih banyak terlibat dalam urusan produksi, sementara perempuan dipolakan untuk lebih banyak terlibat dalam urusan reproduksi.

Pembagian fungsi yang mengacu kepada perbedaan anatomi biologis masih sulit ditinggalkan. Dalam kenyataannya masyarakat industri dan masyarakat liberal cenderung tetap mempertahankan pendapat ini karena sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi industri yang menekankan aspek produktifitas. Tentu saja pendapat ini menimbulkan kritik dari kalangan feminis karena teori ini tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan secara universal.

Teori fungsionalisme berupaya menjelaskan bagaimana sistem itu senantiasa berfungsi untuk mewujudkan keseimbangan di dalam suatu masyarakat. Keseimbangan itu dapat terwujud bila tradisi peran jender senantiasa mengacu kepada posisi semula. Dengan kata lain, kerancuan peran jender menjadi unsur penting dalam suatu perceraian. Hal ini sesuai dengan prinsip islam al-Musawah baina an-Nas

Kesetaraan antar manusia, yang merupakan konsekwensi logis dari prinsip tauhid. Islam tidak mengabsahkan diskriminasi dan subordinasi terhadap manusia, termasuk perempuan.

(10)
(11)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, Irwan, Sangkan Paran Gender (Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan, 1997)

Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemah, (Semarang: Toha Putra, 1971) Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Tranformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2001)

Muhammad, Sayyid bin Alawi al-Maliki, 2003, Surga Bernama Keluarga Membina Rumah Tangga Islami. (Pustaka Hidayah, 2003)

Mernisi, Fatima, Peran Intlektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslim. (Bandung: Mizan, 1999)

Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1973)

Keadilan dan Kesetaraan JenderPerspektif Islam (Jakarta: Tim Pemberdayaan perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001)

Muthahhari, Murtadha, Hak-hak Wanita dalam Islam (Bandung: Lentera Basritama, !995)

Sharma, Arvind (Ed.), 2002, Perempuan dalam Agama-Agama Dunia. Direktoraat perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI Bekerjasama dengan CIDA-McGill-Project

Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan jender perspektif al-Quran (Jakarta: Paramadina, 2001)

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat kerusakan DNA sperma diukur dengan Sperm-Bos-Halomax® dari dua straw sampel semen beku sapi Brahman (40002,40885) dan tingkat kebuntingan diukur dari

Kecombrang (Etlingera elatior) yang merupakan hasil alam dengan kandungan saponin yang memiliki sifat menghasilkan busa adalah tumbuhan yang digunakan masyarakat Baduy untuk mandi

Dalam menganalisa data, penelitian, terlebih dahulu memaparkan data yang diperoleh dari lapangan, mengenai bagaimana pelaksanaan kerjasama maro sawah antara pemilik

Salep Obat Untuk Wasir Bengkak Yang Bagus Salep Obat Untuk Wasir Bengkak Yang Bagus_Selamat datang di web Spesialis Wasir D-24 dengan hotline: 085646457211 yang akan

Jadi secara keseluruhan dari pra siklus, siklus I dan siklus II, pelaksanaan proses pembelajaran menyelesaikan soal cerita pada pokok bahasan dalil pythagors menunjukan

petani kecil yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian kedelai mereka. Bukankah ini kewajiban mereka untuk melindungi produk

Di dalam proses pembelajaran, guru sebagai pengajar sekaligus pendidik memegang peranan dan tanggung jawab yang besar dalam rangka membantu meningkatkan keberhasilan peserta

Hal ini dilakukan karena efisiensi dalam waktu pengerjaan dalam membuat keramik bakaran tinggi karena bentuk yang dibuat peneliti untuk produk keramik berupa mangkok