Dengan WIlayah sekITarnya
The Distribution of Crops in Semarang and Surrounding
area
libra hari Inagurasi
Pusat Arkeologi Nasional
Jln. Raya Condet Pejaten No.4 Jakarta Selatan E-mail: librainagurasi@yahoo.com
Naskah diterima redaksi: 25 Januari 2015 – Revisi terakhir: 5 Juni 2015 Naskah disetujui terbit: 6 Juni 2015
Abstract
The scope of this article is within the Dutch-Indie’s colonial period during 19th up to
early 20th centuries A.D. The central focus is to re-describe the distribution of natural
products as commodities from outside the city of Semarang (Ambarawa, Salatiga, Kend
-al) to the main destination, Semarang. The targets are economically significant colonial
buildings in Semarang and its surrounding areas as the means of distribution. Through surveys, as well as study of old maps and literatures, it is revealed that the remains related to the distribution of sugar, kapuk, tea, and coffee that can still be retraced are railway stations, warehouses, sugar factories, kapuk/textile factories, and export-import
trading offices. The economic network between Semarang and its surrounding areas was and still is a production and distribution network. The position of Semarang was the centre of trade activities, from marketing to export of trade commodities through Sema-rang harbor. The railway system connected SemaSema-rang to the surrounding areas, while the commodities from the plantations were the boosters of economic life of Semarang and the surrounding areas.
Keywords: Semarang, outside Semarang, the Dutch Indie, plantation product commodity, railway.
abstrak
perdagangan melalui Pelabuhan Semarang. Jaringan kereta api menjadi penghubung antara Kota Semarang dengan wilayah-wilayah di sekelilingnya. Komoditas perkebunan menjadi penggerak perekonomian di Semarang dan sekitarnya.
kata kunci: Semarang, luar Kota Semarang, Hindia Belanda, komoditas perkebunan, kereta api
penDahuluan
Kolonialisme Belanda di Indonesia
merupakan sebuah fakta sejarah yang
tidak dapat dipungkiri. Jejak-jejak
yang ditinggalkan selama kolonialisme
Belanda akhir abad ke-19 hingga awal
abad ke-20 adalah tumbuhnya
kota-kota, pembangunan jaringan kereta api,
pembangunan pelabuhan, dan munculnya
usaha-usaha perkebunan. Tumbuhnya
kota-kota besar seperti Semarang merupakan
salah satu jejak dari kolonialisme Belanda
di Indonesia. Secara geografis
kota-kota berciri kolonial tersebut dibangun
di daerah pantai (pesisir), dan ada juga
di daerah pedalaman. Sebagai contoh
adalah kota Batavia (Jakarta), Semarang,
Surabaya, Malang, dan Medan. Batavia
merupakan kota berciri kolonial yang
pertama dibangun Belanda. Terdapat
beberapa pokok pikiran di dalam tulisan ini
yakni Kota Semarang, wilayah pinggiran,
dan jaringan ekonomi antara Semarang
dengan wilayah pinggirannya. Cakupan
tulisan ini adalah arkeologi kolonial,
khususnya membahas pertumbuhan Kota
Semarang dan konektivitas perdagangan
komoditas hasil bumi dengan wilayah di
sekelilingnya di luar Kota Semarang.
Kota Semarang yang dimaksud di
dalam tulisan ini adalah kawasan kota
lama Semarang, yang dibangun sejak
zaman
Vereenigde Oost Indie Compagnie
(VOC) abad ke-17. Pada masa kolonial
Hindia Belanda (
Nederlandsch Indie
)
berbagai pembangunan dilakukan di
Semarang, pendirian pelabuhan, jaringan
jalan kereta api, hingga tumbuh sebagai
pusat perniagaan atau pusat perdagangan.
Sementara pada masa yang bersamaan
perusahaan perkebunan tumbuh di
luar wilayah Semarang. Wilayah yang
berada di luar Semarang di antaranya
adalah Ambarawa dan Salatiga di
sebelah selatan, Grobogan di sebelah
timur, dan Kendal di sebelah barat.
Apabila dibuat garis imajiner,
wilayah-wilayah di luar Semarang menyerupai
garis melingkar yang mengelilingi Kota
Semarang. Wilayah-wilayah di luar
Kota Semarang pada awal abad ke-20
tergabung dalam wilayah Karesidenan
Semarang. Disimak dari budaya materi,
Kota Semarang dan wilayah-wilayah
pinggiran di sekelilingnya memiliki
peninggalan-peninggalan yang cukup
beragam dari masa kolonial Belanda sejak
masa VOC hingga masa Hindia Belanda.
Peninggalan tersebut meliputi
bangunan-bangunan komersial di kawasan kota
lama Semarang, pelabuhan lama di tepi
Sungai Semarang, stasiun-stasiun kereta
api, dan bangunan-bangunan pabrik. Di
Kota Semarang keragaman peninggalan
kolonial telah tersusun hingga membentuk
kota tersebut tumbuh sebagai sebuah kota,
pusat pemerintahan, dan pusat perniagaan.
heterogen, munculnya asas pembagian
kerja, dan munculnya masyarakat golongan
spesialis nonagraris (Nas, 1979: 29). Di
dalam tema tentang kota muncul istilah
atau terminologi yang disebut dengan
pusat kota. Pusat kota disebut dengan
urban center
, ada pula yang menyebut
dengan
central bussines district
, dan
kawasan kompleks pusat pemerintahan
atau
civic center
. Munculnya istilah
pusat kota memunculkan pula istilah
lain yakni yang disebut dengan kawasan
pinggiran kota (Handinoto, 2010: 422).
Selain isu sosiologi, arsitektur, sebuah
kota juga memiliki aspek yang lain yakni
perekonomian.
Dengan latar belakang kurun waktu
abad ke-19 hingga awal abad ke-20
pada masa pembangunan pelabuhan,
pembangunan jaringan kereta api di
Semarang, dan era perekonomian hasil
bumi, tulisan ini bertujuan sebagai sebuah
upaya untuk menggambarkan kembali
jaringan atau pertalian perekonomian yang
berlangsung antara Semarang dengan
beberapa daerah yang berada di sekitarnya.
Posisi Semarang adalah sebagai wilayah
pusat, sedangkan wilayah sekeliling
yang berada di luar Kota Semarang
sebagai kawasan pinggiran. Pusat
Arkeologi Nasional telah melaksanakan
penelitian arkeologi dengan objek-objek
yang diamati adalah kota-kota kolonial
dan wilayah di sekitarnya, misalnya di
wilayah Bogor (dahulu
Buitenzorg
) dan
Semarang. Pertumbuhan Bogor sebagai
daerah permukiman, peristirahatan,
perkebunan orang-orang Belanda
berkaitan erat dengan keberadaan Kota
Batavia. Dalam arti bahwa Bogor muncul
dan berkembang setelah VOC berhasil
membangun kota Batavia. Bogor yang
berada di daerah pinggiran pedalaman
sebelah selatan Batavia adalah penghasil
komoditas perdagangan misalnya kopi,
teh, dan karet. Posisi Batavia sebagai pusat
perdagangan. Komoditas perkebunan
dari Bogor diekspor melalui pelabuhan
di Batavia (Tim Penelitian, 2010). Pusat
Arkeologi Nasional melaksanakan
penelitian di Kota Semarang pada tahun
2012, yang menyoroti awal pembangunan
transportasi kereta api di Indonesia (Tim
Penelitian, 2012). Seperti halnya dengan
Bogor, fenomena pertalian perdagangan
antara pusat dengan pinggiran juga terjadi
di Semarang.
Penyajian tulisan ini melalui
tahap-tahap penelusuran literatur, survei untuk
penjaringan data arkeologi, survei
lingkungan perkotaan, penelusuran peta
kuna Karesidenan Semarang. Sasaran
pengamatan dalam tulisan ini adalah
beberapa wilayah misalnya kota lama
Semarang, Ambarawa, dan Kendal.
Data utama berupa bangunan-bangunan
kolonial diperoleh melalui survei pada
penelitian pembangunan jaringan kereta
api di Semarang tahun 2012 dan survei
tahun 2009 pada penelitian untuk
menyusun tesis. Bangunan-bangunan
kolonial dianalisis kronologi dan fungsi,
kemudian diintegrasikan dengan peta-peta
kuna Semarang.
hasIl Dan pembahasan
awal pertumbuhan kota lama
semarang sebagai pusat perniagaan
Kota lama Semarang pada tulisan ini
dijelaskan pada gambaran ciri-ciri kota
lama Semarang. Secara umum bentang
alam Kota Semarang terdiri dari dua
bagian yaitu bagian bawah dan bagian atas.
Adanya bentang lahan tersebut kemudian
muncul istilah kota atas dan kota bawah.
Kota atas berada di bagian selatan berupa
daerah perbukitan. Adapun kota bawah
berada bagian utara berupa dataran rendah
dan pantai yang berbatasan dengan Laut
Jawa. Letak kawasan kota lama Semarang
berada di bagian bawah di sebelah utara.
Denah, morfologi, kota lama Semarang
saat ini sudah tidak banyak diketahui.
Pengetahuan tentang gambaran kota lama
Semarang diidentifikasi melalui
jejak-jejak bangunan-bangunan kolonialnya,
jaringan jalan, jaringan jalan kereta api,
dan pelabuhan-pelabuhan kuna. Selain
itu pemahaman kota lama Semarang
dapat ditelusuri melalui peta kuna. Awal
pertumbuhan kota lama Semarang dirintis
sejak era pembangunan benteng-benteng
oleh VOC pada abad ke-18. Sebelum
kedatangan Belanda, Semarang merupakan
daerah pesisir termasuk wilayah Kerajaan
Mataram Islam. Semarang diserahkan
oleh Amangkurat II Raja Mataram Islam
kepada VOC pada tahun 1678. Sejak itu
Semarang yang semula sebagai wilayah
Kerajaan Mataram berubah menjadi
daerah kekuasaan VOC (Purwanto, 2012:
47–48).
Sesudah penyerahan Semarang
oleh Raja Mataram Islam kepada VOC,
Semarang memasuki era benteng, yaitu
masa pembangunan benteng-benteng di
Semarang yakni Benteng
de Vijfhoek
,
Benteng
Prins van Oranje
, dan tembok
kota oleh Belanda. Benteng
de Vijfhoek
dibangun oleh VOC pada tahun 1708.
Pembangunan benteng tersebut menandai
perpindahan pusat kekuasaan VOC dari
Jepara ke Semarang. Benteng berjarak
sekitar satu kilometer dari pantai, dibangun di
sisi timur belokan Kali (Sungai) Semarang.
Denah benteng segilima (pentagonal)
dengan lima
bastion
pada setiap sudutnya.
Benteng dikelilingi kanal di bagian utara
dan timur yang merupakan sodetan Kali
Semarang. Benteng
de Vijfhoek
difungsikan
sebagai permukiman, perdagangan, dan
militer VOC. Pelabuhan berada di tepi Kali
Semarang. Benteng kemudian dibongkar
pada tahun 1758. Selanjutnya muncul nama
Benteng
Prins van Oranje,
letaknya berada
di sebelah barat dari Benteng
de Vijfhoek
.
Selain dua benteng tersebut juga dibangun
tembok kota pada tahun 1741. Jalan-jalan
yang berada di kota lama Semarang diduga
merupakan bekas dinding tembok kota yang
telah dihancurkan, karena kondisi telah
aman (Sumalyo, 1993: 40). Pemukiman
Belanda yang semula berada di dalam
benteng kemudian berkembang berada di
luar benteng. Orang-orang Belanda mulai
mendirikan bangunan ke arah selatan dan
barat yakni di Jalan Bojong (Jalan Pemuda),
Jalan Pandanaran (Purwanto, 2012: 53;
Krisprantono, 2009: 45–55).
Boom
1atau Boom Lama, sebagai tempat
merapatnya perahu memuat komoditas
perdagangan, yang akan dikirim
melalui laut dari Pelabuhan Semarang
(Krisprantono, 2013; Knaap, 1996: 19).
Selanjutnya Pemerintah Kolonial Belanda
pada tahun 1873 membangun pelabuhan
kedua di tepi Kali Semarang, serta
menyelesaikan semua fasilitas pelabuhan
hingga tahun 1875 sehingga awal tahun
1900 pelabuhan ini bisa digunakan.
Lokasinya berada di Jalan Sleko, depan
Kota Lama, sebelah utara Jembatan
Mberok, yang dinamakan pelabuhan
Sleko atau
Kleine Boom
. Pelabuhan Sleko
berfungsi sebagai dermaga bongkar muat
kapal untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari warga Kota Semarang. Oleh karena
itu, pelabuhan dilengkapi dengan
Uitkijk
(menara pandang) untuk mengawasi
dermaga dan bisa melihat sekeliling kota
dari atas menara. Pemerintah Kolonial
Belanda pada tahun 1910 kemudian
memperluas dermaga serta membangun
pelabuhan ketiga dengan cara menyodet
Kali Semarang langsung lurus ke arah
laut. Oleh karena pembangunan pelabuhan
yang ketiga dengan cara membuat
sodetan baru maka pelabuhan ketiga
ini dinamakan Pelabuhan Kalibaru atau
Nieuw Havenkanaal
. Ada tiga alasan
pembangunan Pelabuhan Kalibaru.
Alasan pertama, pendangkalan muara Kali
Semarang akibat endapan lumpur yang
1 Boom, sebuah nama dari bahasa Belanda, memiliki arti: pohon, benda yang menyerupai batang pohon, tiang pancang, tonggak, dan balok. Benda tersebut ditempatkan di dekat muara sungai, di tepi sungai, digunakan untuk merapat kapal atau perahu. Sehubungan dengan hal tersebut, pelabuhan-pelabuhan kuna yang dibangun oleh Belanda di tepi muara sungai atau tepi aliran sungai menggunakan tiang pancang, tonggak, atau balok dinamakan Boom.
terbawa air sungai sehingga kapal yang
akan bongkar muat tidak bisa merapat
di tepi dermaga. Kedua, pelabuhan lama
sudah tidak mampu menampung bongkar
muat kapal yang semakin ramai. Ketiga,
pelabuhan yang dibangun terakhir ini lebih
representatif sehingga kapal besar dapat
merapat ke dermaga. Pelabuhan Kalibaru
itu lokasinya semakin menjorok ke utara
sehingga lebih dekat ke tengah laut.
Dengan digunakannya Pelabuhan Kalibaru
ini maka sejak tahun 1910, pelabuhan
pertama yaitu
Groot Boom
di ujung
muara Sungai Semarang ditinggalkan
(Krisprantono, 2013; Supriyono, 2007).
Pembangunan jalan kereta api
pertama di Semarang tahun 1867 sekaligus
pembangunan kereta api pertama di
Indonesia. Maskapai atau perusahaan
pengelola kereta api di Semarang yang
dikenal di antaranya
Nederlandsch
Indische Spoorweg Maatschappij
(NIS),
Staatsspoorwegen
, SJS (
Samarang
Joana Stoomtram Maatschappi
(SS),
dan
de Semarang Cirebon Stoomtram
Maatschappij
(SCS) (Tim Penelitian,
Semarang. SCS membangun jalan
kere-ta api jalur Semarang Cirebon (Tim
Penelitian, 2012: 42). Pembangunan jalan
kereta tersebut menghubungkan antara
Kota Semarang dengan wilayah-wilayah
di sekitarnya. Kereta api digunakan
untuk mengangkut barang antara lain
komoditas perkebunan dari
wilayah-wilayah pinggiran luar menuju Semarang.
Kereta api ketika itu untuk pengangkut
penumpang dan barang.
Wilayah pinggiran semarang dan
komoditas hasil bumi
Sejak awal kedatangan bangsa
Belanda di Kepulauan Indonesia awal
abad ke-17 bertujuan untuk berdagang.
Mereka mencari rempah-rempah dan hasil
bumi lainnya yang terdapat di Kepulauan
Indonesia. Motivasi kedatangan bangsa
Belanda berdagang dikukuhkan dengan
dibentuknya perusahaan perkumpulan
para pedagang Belanda yakni
Verenigde
Oost Indie Compagnie
(VOC)
pada tahun 1602. VOC merupakan
kumpulan pedagang, namun memiliki
keistimewaan yakni memiliki pasukan
yang dipersenjatai untuk mengamankan
kegiatan perdagangan mereka. VOC
mengalami kebangkrutan dan dibubarkan
pada tahun 1799 (Ponto dkk., 1990:
60–-72). Sejak itu koloni VOC diambil alih
oleh pemerintah Kerajaan Belanda dan
dinamakan dengan periode
Nederlands
Indie
atau disebut juga Hindia Belanda.
Tidak jauh berbeda dengan VOC, masa
kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda
tetap berorientasi pada perdagangan untuk
memperoleh keuntungan. Menyadari akan
diperolehnya keuntungan maka berbagai
bentuk usaha milik swasta didirikan
pada masa Hindia Belanda. Usaha-usaha
yang besar misalnya usaha perkebunan.
Komoditas perkebunan itulah yang
menjadi andalan bagi perekonomian
Hindia Belanda. Perusahaan
perkebunan-perkebunan terdapat di beberapa wilayah
di luar Kota Semarang.
Masa kolonial Hindia Belanda
akhir abad ke-19, Semarang merupakan
sebuah wilayah Karesidenan yang
terdiri dari delapan
afdeeling
, yakni
afdeeling
Semarang,
afdeeling
Salatiga,
afdeeling
Kendal,
afdeeling
Demak,
afdeeling
Grobogan,
afdeeling
Pati,
afdeeling
Kudus, dan
afdeeling
Jepara.
Ibukota Karesidenan Semarang berada di
Semarang. Dibandingkan dengan wilayah
lainnya Residensi Semarang merupakan
daerah terpenting di Jawa Tengah
(Susilowati, 1984: 19–23). Semarang
ditetapkan sebagai kotapraja oleh
pemerintah Belanda Hindia Belanda pada
tahun 1 April 1906. Kedudukan kotapraja
(
gemeente
) setingkat dengan kota pada
saat ini.
Afdeeling-afdeeling
itulah
merupakan wilayah-wilayah yang berada
di luar atau pinggiran yang mengelilingi
Kota Semarang.
dimaksud bukanlah perkebunan rakyat
melainkan perkebunan milik perusahaan
swasta Eropa. Pengetahuan menyangkut
komoditas di wilayah pinggiran Semarang
yakni Kendal, Salatiga, Ungaran, dan
Ambarawa, diperoleh melalui arsip
memori Residen Semarang tahun 1930–
an dan informasi dari
Koninklijk Instituut
Voor Taal, Land-en Volkenkunde
(KITLV).
Perkembangan usaha perkebunan di
Jawa dimulai ketika era perekonomian
kolonial liberal tahun 1870. Ketika
itu modal swasta diberi peluang untuk
membuka usaha khususnya perkebunan
besar (Leirissa, 1993: 118).
Perusahaan-perusahaan perkebunan antara lain terdapat
di Salatiga, Ambarawa, dan Kendal.
Wilayah-wilayah tersebut merupakan
afdeeling
dari Karesidenan Semarang.
Salatiga dan Ambarawa berada di sebelah
selatan Semarang, Kendal berada di
sebelah barat Semarang. Bentang alam
daerah Salatiga dan Ambarawa berupa
perbukitan. Gunung Telomoyo merupakan
sebuah gunung yang berada di Salatiga.
Salatiga dan Ambarawa pada masa
Hindia Belanda merupakan kawasan yang
dipilih untuk lokasi usaha perkebunan
(
onderneming
), penghasil komoditas hasil
bumi. Perusahaan-perusahaan perkebunan
di Salatiga dan Ambarawa di antaranya
adalah
NV Bibitonderneming
berlokasi
di Banyubiru, Ambarawa. Perkebunan
tersebut menyewa tanah penduduk.
Perusahaaan perkebunan di daerah
pegunungan sebelah selatan Semarang
ini mengusahakan beberapa hasil bumi
untuk komoditas ekspor misalnya: kopi,
teh, kina, kapuk, kakao, lada dan vanili
(ANRI,1977:XXXVI). Perusahaan
perkebunan lainnya adalah
Onderneming
Ngobo Semarang.
Onderneming
Ngobo
memiliki usaha perkebunan kapuk,
kakao, dan pala, lokasi perkebunan
berada di Ungaran, berada di antara
Semarang dan Salatiga (
http://media-kitlv.
nl/image/20ee86a4-3ab4-4220-a559-edc13cde0a88
).
gambar 1. Gedung administrateur Pabrik Gula Cepiring, Kendal (Sumber: Dokumen Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional,
2004).
Selain terdapat di daerah Salatiga dan
Ambarawa, perusahaan perkebunan juga
terdapat di Kendal. Bentang alam wilayah
Kendal berupa perbukitan dan dataran
rendah. Perbukitan berada di bagian
selatan dan dataran rendah di bagian utara.
Dataran rendah berbatasan dengan Laut
Jawa. Seperti halnya dengan Salatiga dan
Ambarawa, pada masa Hindia Belanda,
Kendal termasuk wilayah yang dipilih
untuk lokasi usaha perkebunan, beberapa
komoditas hasil bumi dihasilkan di daerah
tersebut.
Cultuur Maatschappij
Siluwok
Sawangan merupakan sebuah perusahaan
perkebunan di Kendal. Hasil perkebunan
meliputi teh, kapuk, dan kakao (http://
media-kitlv.nl/image/313f068f-8ae8-4217-a090-3229db0a419a).
Perusahaan-perusahaan lainnya adalah
NV tot
Exploitatie der Kendalsche Suikerfabrieken
dan
NV Cultuuronderneming
adalah perusahaan perkebunan tebu dan
pemilik pabrik-pabrik gula di Kendal.
Terdapat tiga buah pabrik gula di Kendal yang
dibangun sejak tahun 1835, yakni pabrik gula
Kaliwungu, Gemuh, dan Cepiring.
NV tot
Exploitatie der Kendalsche Suikerfabrieken
merupakan sebuah perusahaan perkebunan
tebu dan pemilik pabrik gula Cepiring dan
Gemuh. Adapun
NV Cultuuronderneming
Kaliwungu-Plantaran
adalah perusahaan
perkebunan tebu dan pemilik pabrik gula
Kaliwungu. Penjualan gula, dilakukan oleh
Cultuur Maatschappij der Vorstenlanden
(ANRI, 1977: XLII; Inagurasi, 2010: 32–
41).
gambar 2. Bekas bangunan Pabrik Gula
Gemuh, Kendal, sekarang digunakan untuk sekolah (Sumber: Dokumen Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional, 2009).
semarang dan Wilayah sekitarnya
dalam Jalinan Distribusi hasil bumi
Seiring dengan munculnya
usaha-usaha perkebunan maka komoditas
hasil bumi yang berasal dari wilayah
sekitar Semarang perlu didistribusikan.
Sehubungan dengan hal tersebut diikuti
pula dengan pendirian
bangunan-bangunan untuk pendistribusiannya. Guna
keperluan pendistribusian komoditas hasil
bumi, diperlukan sarana-sarana, antara
lain bangunan stasiun kereta api, bangunan
pabrik, gudang, kantor perdagangan,
dan bangunan syahbandar. Semenjak
Nederlandsch Indische Spoorweg
Maatschappij
(
NIS
) membangun jaringan
kereta api tahun 1867 di Semarang
yang terhubung dengan daerah kerajaan
(Yogyakarta dan Surakarta) di pedalaman
sebelah selatan Semarang maka telah
berdiri bangunan-bangunan stasiun kereta
api. Samarang, Alastua, Brumbung,
Tanggung, Kedungjati, Bringin, Tuntang,
Ambarawa merupakan nama-nama stasiun
kereta api milik
NederlandschIndische
Spoorweg Maatschappij
(
NIS
) sepanjang
jalur Semarang hingga Ambarawa. Stasiun
kereta api adalah tempat untuk menaikkan
dan menurunkan penumpang. Penumpang
dapat membeli karcis, menunggu kereta,
dan mengurus bagasinya. Di stasiun kereta
api juga ada kesempatan untuk mengirim
barang (Tim Penelitian, 2012: 29).
Komoditas ekspor yang dikirim dari
Pelabuhan Semarang, yakni gula, tapioka,
tembakau, kayu, kapuk, jagung, dan karet.
Sebaliknya barang-barang impor yang
masuk ke Pelabuhan Semarang adalah
besi, mesin-mesin, kain katun, dan
bahan-bahan kimia (De Vries, tanpa tahun:
165–166). Ekspor dan impor barang di
Semarang melalui Pelabuhan Semarang,
selanjutnya distribusi barang perdagangan
melalui kereta api, sebagai penghubung
antara antara Semarang dengan wilayah
lain.
Tanggung, Kedungjati, Bringin, Tuntang,
dan Ambarawa. Saat ini stasiun Samarang
telah rusak, peninggalan-peninggalan
hampir seluruhnya punah.
Peninggalan-peninggalan yang dapat diamati adalah
perkampungan rumah-rumah petak berderet
dan gudang. Perkampungan tersebut
ditempati oleh para mantan pegawai kereta
api. Lingkungan sekitar stasiun sering
terkena banjir karena air laut pasang (
rob
)
(Tim Penelitian, 2012: 47–56).
gambar 3. Sisa bangunan gudang di Stasiun Samarang (Sumber: Dokumen Pusat Arkeologi
Nasional, 2012).
Stasiun Tuntang merupakan sebuah
stasiun kecil yang berlokasi di luar Kota
Semarang. Secara administratif, saat
ini Stasiun Tuntang berada di Dusun
Daleman, Desa Tuntang, Kecamatan
Tuntang, Kabupaten Semarang. Posisi
Stasiun Tuntang terletak di
tengah-tengah di antara Stasiun Ambarawa yang
berada di sebelah barat dan Bringin yang
berada di sebelah timur. Kondisi saat ini
bangunan dalam kondisi baik, namun
stasiun tidak berfungsi seperti pada awal
mulanya. Stasiun Tuntang dilengkapi
dengan bangunan gudang yang berfungsi
sebagai tempat penyimpanan barang.
Keberadaan gudang di stasiun kereta api
Tuntang tersebut terkait dengan fungsinya
sebagai pos pengangkutan komoditas hasil
bumi (Tim Penelitian, 2012: 90–93).
Stasiun Ambarawa awalnya adalah
Stasiun Willem I, berada di Jalan
Stasiun, Kampung Tumengungan,
Kelurahan Panjang, Kecamatan
Ambarawa, Kabupaten Semarang. Posisi
Stasiun Ambarawa berada di antara
Stasiun Tuntang dan Stasiun Bedono.
Untuk ukuran Kota Ambarawa yang
merupakan sebuah kota kecil, stasiun
kereta api Ambarawa tergolong stasiun
besar. Stasiun Ambarawa lebih besar
dibandingkan dengan Stasiun Tuntang,
Bedono, Tanggung, dan Brumbung.
Awalnya Stasiun Ambarawa digunakan
sebagai sarana transportasi militer di
sekitar Ambarawa dan Semarang. Kondisi
saat ini Stasiun Ambarawa sudah tidak
digunakan lagi sebagai stasiun kereta api
seperti pada awalnya, namun difungsikan
sebagai museum kereta api. Beberapa
benda koleksi disimpan dan dipamerkan di
Stasiun Ambarawa, antara lain
lokomotif-lokomotif tua (Tim Penelitian, 2012: 83–
89). Selain lokomotif, stasiun kereta api
Ambarawa juga menyimpan satu benda
koleksi berupa timbangan, ini memberikan
petunjuk bahwa pada masa itu stasiun
kereta api juga sebagai pos pengiriman
barang yang akan dikirim ke tempat lain.
gambar 4. Gudang di Stasiun Kereta Api Tuntang (Sumber: Dokumen Pusat Arkeologi Nasional,
gambar 5. Timbangan, Koleksi Stasiun/Museum Kereta Api Ambarawa (Sumber: Dokumen Pusat
Arkeologi Nasional, 2012)
Semarang selain berbatasan dengan
daerah Salatiga dan Ambarawa, juga
berbatasan dengan Kendal. Komoditas hasil
bumi dari daerah Kendal antara lain ialah
gula dan kapuk. Adapun pengiriman
hasil-hasil bumi tersebut menuju ke Semarang
menggunakan kereta api. Stasiun-stasiun
kereta api di Kendal di antaranya adalah
Stasiun Weleri dan Stasiun Gemuh.
Kedua stasiun itu merupakan perusahaan
kereta api milik
de Semarang Cirebon
Stoomtram Maatschappij
(
SCS
), yang
memiliki rute dari Semarang ke arah barat
hingga Cirebon.
gambar 6. Bangunan NV Cultuur Maatschappij
Der Vorstenlanden di Semarang, sekarang gedung
PTP XIV (Sumber: Purwanto, 2012: 23)
Beberapa stasiun kereta api di
Semarang dan sekitarnya dilengkapi
dengan gudang (
pakhuis
), yang berfungsi
untuk menyimpan berbagai komoditas
hasil bumi sebelum dan sesudah diangkut
menggunakan kereta api. Selain di stasiun
kereta api, banyak gudang dapat dijumpai di
kota lama Semarang sebagai kawasan pusat
perdagangan. Keberadaan gudang-gudang
di Semarang tersebut ditunjukkan peta-peta
lama, di antaranya (1)
Kaart van de stad
Semarang en omstreken
1880 (Peta Kota
Semarang dan sekitarnya tahun 1880
),
(2)
Kaart Semarang en Omstreken
1909 (Peta
Kota Semarang dan sekitarnya tahun 1909),
dan (3) peta kuna jaringan kereta api di
dalam Kota Semarang, digambar ulang oleh
PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Daerah
Operasional (Daop) IV Semarang Tahun
1177. Menurut peta Kota Semarang dan
sekitarnya tahun 1880 gudang-gudang yang
terdapat di Semarang, misalnya
petroleum
pakhuis
,
kant pakhuis
, dan
pakhuizen van
Doore paalen
. Adapun peta Kota Semarang
dan sekitarnya tahun 1909 mencantumkan
bangunan-bangunan
Cultuur maatshappij
der Vorstenlanden
,
Semarangsche
Spaarbank
,
Koloniale Bank
,
kapuk
fabriek
dan
kalk pakhuis
. Adapun
gudang-gudang dan bangunan komersial menurut
peta jaringan kereta api di dalam Kota
Semarang tahun 1909 adalah
zoutpakhuis
,
pakhuis der Handel Svereeniging Kian
Gwon
(gudang perdagangan Kian Gwon),
pakhuis Van Jacobson v/d Berg En Co.
(gudang Jacobson v/d Bergen Co.),
pakhuis Van The Ing Tjiang
(gudang Van
Ing Tjiang),
pakhuis Van Kam Kienj Hok
(gudang Van Kam Kienj Hok),
pakhuis v/d
Ham-Jels Vereniging Kim Gwan
(gudang
Kim Gwan),
pakhuis v/d Mirandoll Voteg
(gudang Mirandoll Voteg),
pakhuis NIS
(gudang NIS),
pakhuis v/d Firma Mac Neiv
pakhuis v/d Fir Mas Neil En Co.
(gudang
Fir Mas Neil En Co.),
pakhuis Maddenoer
(gudang
Maddenoer
).
Berdasarkan tiga buah peta kuna
tersebut diketahui bahwa di Semarang
banyak didirikan gudang dan bangunan
komersial untuk menyimpan minyak
bumi (
petroleum
), kapur (
kalk
), garam
(
zout
), dan gudang menyimpan barang
perdagangan (
handel pakhuis
). Selain
gudang terdapat pula bangunan komersial
misalnya bank, kantor perdagangan (firma)
eksportir-importir, dan pabrik pengolahan
kapuk. Gedung
NV Cultuurmaatshappij
der Vorstenlanden
berada di kota lama
Semarang, didirikan tahun 1886. Ketika
dibangun, gedung tersebut adalah
kantor perusahaan perdagangan yang
mendistribusikan (menjual) gula yang
diproduksi pabrik-pabrik gula di Kendal
(Pabrik Gula Cepiring, Pabrik Gula Gemuh,
dan Pabrik Gula Kaliwungu). Gedung
Cultuurmaatshappij der Vorstenlanden
,
saat ini milik PT Perkebunan (PTP) XII
(Purwanto, 2012: 23). Apabila diamati
dari nama-nama bangunan komersial
dan gudang tersebut, pemiliknya adalah
perusahaan dan perorangan, yakni
perusahaan atau orang Belanda dan Cina.
Selanjutnya, keletakan Kota Semarang,
gambar 7. Peta keletakan Kota Semarang dan daerah-daerah di sekitarnya dalam wilayah Karesidenan Semarang, tahun 1915. (Sumber: media-kitlv.nl.Image code:
Pelabuhan Semarang, wilayah-wilayah
pinggiran di sekelilingnya,
perusahaan-perusahaan perkebunan, stasiun kereta
api, disajikan pada peta sebagai berikut.
sImpulan
Melalui uraian beserta pembahasannya
dapat disampaikan hal-hal berikut sebagai
penutup tulisan ini. Akhir abad ke-19
merupakan periode meningkatnya usaha
perkebunan di Hindia Belanda sebagai
koloni Belanda. Peningkatan usaha
perkebunan diikuti dengan pendirian
bangunan-bangunan yang saat ini
dinamakan dengan bangunan kolonial.
Jalinan disribusi komoditas hasil bumi
merupakan jalinan yang berlangsung
antara pedalaman dengan pesisir. Wilayah
pedalaman yang dimaksud adalah wilayah
yang berada di luar Semarang yakni
Ambarawa, Salatiga, dan Kendal.
Kota-kota tersebut merupakan Kota-kota kecil yang
sebagian besar berada di pedalaman,
penghasil komoditas hasil-hasil bumi.
Daerah pesisir adalah Semarang, kota
pusat perdagangan, berada di daerah
dataran rendah dan pantai. Perdagangan
di Semarang berpusat di kota lama
dan pelabuhan. Komoditas hasil bumi
dari luar Kota Semarang di daerah
pedalaman dikirim menggunakan kereta
api ke Semarang untuk diangkut diekspor
menggunakan kapal. Antara Semarang
den
g
an Ambarawa, Salatiga, dan Kendal,
terhubung dengan jalan kereta api.
Peninggalan-peninggalan yang terkait
dengan distribusi hasil bumi berupa
bangunan-bangunan monumental: pabrik,
stasiun, gudang, dan kantor perusahaan
perdagangan ekspor impor.
Bangunan-bangunan tersebut memiliki makna sebagai
bangunan ekonomi. Antara bangunan
pabrik gula, stasiun kereta api, gudang yang
terdapat di luar Kota Semarang, dengan
gudang, kantor perusahaan perdagangan
di Semarang memiliki hubungan pertalian,
yakni yang muncul dari adanya distribusi
hasil bumi dari daerah pedalaman menuju
ke pesisiran yakni Semarang. Penggerak
perekonomian antara Kota Semarang dan
sekitarnya adalah komoditas perkebunan
yang dihasilkan oleh perusahaan
perkebunan yang merupakan perusahaan
besar. Jaringan distribusi adalah memusat
dari beberapa daerah menuju ke satu titik
pusat yakni Semarang.
DaFTar pusTaka
ANRI. 1977. Memori Residen Semarang, P.J. Bijleveld, 2 Juni 1930. Memori Serah Jabatan
1921—1930 Jawa Tengah. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.
Cultuur-Maatschappij Siloewok-Sawangan te Weleri bij Kendal 1910. (http://media-kitlv.nl/
image/20ee86a4-3ab4-4220-a559-edc13cde0a88, diakses 12 September 2014). De Vries, H. M. tanpa tahun. The Importance of Java Seen From The Air. Batavia: G. Kolff.
Handinoto. 2010. Arsitektur dan Kota-Kota di Jawa pada Masa Kolonial. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Inagurasi, Libra Hari. 2010. Pabrik Gula Cepiring Kendal, Sebuah Studi Arkeologi Industri. Tesis. Program Magister. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Kapuk-en Mustkaatbomen op Onderneming Ngobo in Residentie Semarang 1931. (
http://media-kitlv.nl/image/313f068f-8ae8-4217-a090-3229db0a419a, diakses 12 September 2014). Knaap, Gerrit J. and Shallow Waters. 1996. Rising Tide: Shipping And Trade in Java around
1775. Netherlands: KITLV Press.
Krisprantono. 2009. Mencari Jejak Benteng de Vijfhoek di Kota Lama Semarang melalui Pendekatan Sejarah. Amerta 27 (1): 44-60.
Krisprantono. 2013. Pelaksanaan Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) Kota Semarang, Direktorat Perkotaan. Laporan Antara. Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum.
Leirissa, R. Z. (Ed.). 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.
Nas, P. J. M. 1979. Kota di Dunia Ketiga, Pengantar Sosiologi Kota dalam Tiga Bagian. Jakarta: Bhratara Karya.
Ponto, Christian D., A.B. Lapian, Usman Salim, A.D. Haris, W.P. Lumintang, S. Hikam. 1990. Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Jilid I. Jakarta: Yayasan Pusat Studi Pelayaran Niaga Di Indonesia.
Purwanto, L.M.F. dan R. Soenarto. 2012. Menapak Jejak-Jejak Sejarah Kota Lama Semarang. Bandung: Bina Manggala Widya.
Sumalyo, Yulianto. 1993. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Supriyono, Agustinus. 2007. Buruh Pelabuhan Semarang; Pemogokan-pemogokan dan Zaman Kolonial Belanda, Revolusi dan Republik 1900 - 1965. Disertasi Doktor. Amsterdam: Vrije Universiteit.
Susilowati, Endang. 1984. Peranan Tram Semarang-Juana sebagai Sarana Pengangkutan pada Tahun 1885—1900. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Tim Penelitian. 2010. Pengaruh Kolonial DAS Ciliwung dan Sekitarnya Tahap II Regentschap
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Tim Penelitian. 2012. Arkeologi Trans Jawa: Pembangunan Sistem Jaringan Kereta Api di