• Tidak ada hasil yang ditemukan

ULYAN DEKONSTRUKSI MITOS KANJENG RATU KIDUL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ULYAN DEKONSTRUKSI MITOS KANJENG RATU KIDUL"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

DEKONSTRUKSI MITOS KANJENG RATU KIDUL

DALAM PENDIDIKAN AKIDAH

PERSPEKTIF KH. IBNU HAJAR SHOLEH PRANOLO

(1942 M

SEKARANG (2017))

TESIS

Disusun Dan Diajukan Kepada Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Purwokerto

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister Pendidikan (M.Pd)

Oleh

MOHAMMAD `ULYAN NIM. 1522606043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

PURWOKERTO

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

(6)

v

DEKONSTRUKSI MITOS KANJENG RATU KIDUL DALAM PENDIDIKAN AKIDAH

PERSPEKTIF KH. IBNU HAJAR SHOLEH PRANOLO (1942 M – SEKARANG (2017))

Mohammad „Ulyan

email: mohammadulyan@gmail.com NIM. 1522606043

Program Studi Pendidikan Agama Islam

Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto

ABSTRAK

Mitos Kanjeng Ratu Kidul merupakan salah satu mitos yang sangat populer di Pesisir Selatan Pulau Jawa. Mayoritas penduduk melakukan berbagai upacara yang diselenggarakan untuk memohon dilimpahkan rejeki serta dijauhkan dari berbagai bencana. Salah satu bentuk persembahan pada Kanjeng Ratu Kidul tersebut dapat nampak pada upacara labuhan. Kata “labuhan” berasal dari bahasa Jawa, yaitu labuh. Labuh memiliki arti sama dengan larungan, yaitu membuang sesuatu ke dalam air yang mengalir ke laut. Kata “larung” juga berarti memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa disuatu tempat. Hal ini seakan-akan peran Allah swt sebagai khalik telah digantikan oleh makhluk. Jika dilihat dari sisi akidah, maka hal ini merusak keimanan.

Penelitian ini berusaha mendeskripsikan tokoh KH. Ibnu Hajar Sholeh Pranolo dalam dekonstruksi mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam pendidikan akidah menggunakan pendekatan fenomenologi. Penulis menggunakan metode wawancara dan observasi untuk mendapatkan data penelitian.

Hasil penelitian ini dekonstruksi dilakukan dengan tiga proses yaitu identifikasi logosentris, pembalikan kontradiksi internal dan differance atau pembentukan konstruksi baru. Proses identifikasi tanda-tanda atau logo yang mengarah pada ide dasar baik secara fisik maupun pemaknaannya. Setelah itu, hasil identifikasi tersebut dibandingkan secara kontras dan muncul makna baru yang berbeda 180°. Dalam konteks ini, KH. Ibnu Hajar mengidentifikasi bahwa Kanjeng Ratu Kidul adalah makhluk seperti manusia yang diberi amanat sebagai

Auliya’. Ada tanda lafal Allah pada mahkotanya. Perbandingan secara kontras dilakukan bahwa Kanjeng Ratu Kidul bukanlah penguasa yang harus diberikan sesaji dalam bentuk labuhan dan larungan. Keyakinan tersebut membentuk konstruksi tauhid yang baru dan sesuai dengan ajaran Islam.

(7)

vi

DEKONSTRUKSI MITOS KANJENG RATU KIDUL DALAM PENDIDIKAN AKIDAH

PERSPEKTIF KH. IBNU HAJAR SHOLEH PRANOLO (1942 M – SEKARANG (2017))

Mohammad „Ulyan

email: mohammadulyan@gmail.com NIM. 1522606043

Program Studi Pendidikan Agama Islam

Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto

ABSTRACT

The myth of Kanjeng Ratu Kidul is one of the most popular myths in the South Coast of Java Island.The majority of the residents perform various ceremonies held to a lot of grace and kept away from various disasters. One form of offerings on Kanjeng Ratu Kidul can be seen at the Labuhan ceremony. The word "labuhan" comes from the Javanese language, the labuh. Labuh has the same meaning as the larung, which is to throw something into the water that flows into the sea. The word "larung" also means giving offerings to the ghost in power somewhere. It is as if the role of Allah swt as khalik has been replaced. When viewed from the side of the creed, then this destroys the faith.

This research tries to describe character KH. Ibnu Hajar Sholeh Pranolo in the deconstruction of Kanjeng Ratu Kidul myth in aqidah education using phenomenology approach. The author uses interview and observation methods to obtain research data.

The result of this research deconstruction is done by three process that is logosentris identification, reversal of internal contradiction and differance or new construction formation. The process of identifying signs or logos that lead to the basic idea both physically and meaning. After that, the results of the identification are compared in contrast and emerging a new meaning that is 180 ° different. In this context, KH. Ibn Hajar identifies that Kanjeng Ratu Kidul is a human-like creature who is mandated as Auliya '. There is a sign of God's pronunciation on his crown. Contrast comparison is done that Kanjeng Ratu Kidul is not a ruler who must be given offerings in the form of labuhan and larungan. These beliefs constitute the construction of a new monotheism and in accordance with the rules of Islam.

(8)

vii MOTTO

َفوُنَزََْ ْمُ َََك ْمِهْيَلَع ٌؼْوَخ ََ َِللا َءاَيِلْكَأ َفِإ َََأ

(9)

viii

PERSEMBAHAN

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Alh}amdulilla>h, puji syukur selalu terpanjat kehadirat Allah swt yang telah

memberikan karunia yang tak terhitung kepada semua hamba-Nya. Salawat beserta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad saw. Nabi yang menjadi prototipe manusia sempurna sebagai panutan agar umatnya selamat di

dunia hingga akhirat.

Hanya dengan izin Allah Swt yang telah menggerakkan hati penulis sehingga muncul keinginan untuk berbuat baik, sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis dengan judul: Dekonstruksi Mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam Pendidikan Akidah Perspektif KH. Ibnu Hajar Sholeh Pranolo (1942 M – sekarang). Tesis ini penulis susun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Program Pascasarjana IAIN Purwokerto.

Bersamaan dengan selesainya tesis ini, penulis hanya bisa mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan kontribusi dalam berbagai aspek, terutama kepada yang terhormat:

1. Dr. H. Abdul Basit, M.Ag., Direktur Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto atas kebijakan dan kebijaksanaannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi tepat waktu 2. Dr. H. Rohmad, M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam atas

arahan dan dukungannya

3. Dr. H. Suwito, M.Ag., pembimbing yang telah menyempatkan waktu, tenaga, dan pemikirannya untuk membimbing penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini

4. KH. Ibnu Hajar Sholeh Pranolo, narasumber utama dalam penelitian ini yang telah membuka cakrawala keilmuan penulis

5. Ibunda penulis yang selalu berjuang dengan bekal cucuran keringat, air mata,

dan doa

(11)

x

7. “Fried Rice Mbah Shofi” selaku penyumbang dana terbesar selama studi penulis, semoga Allah memberikan balasan yang lebih baik

8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Tesis ini yang tidak disebutkan satu persatu.

Tiada kata yang pantas penulis ucapkan selain ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya, semoga amal serta serta budi baik yang telah diberikan

dengan ikhlas kepada penulis mendapatkan balasan pahala berlipat dari Allah SWT. Jazakumullah aḥsanal jaza’.

Penulis menyadari Tesis ini masih banyak kekurangan di sana-sini. Oleh karena itu, kritik dan saran selalu penulis harapkan. Akhirnya penulis berdoa semoga Tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya.

Purwokerto, 23 Januari 2018

(12)

xi

PEDOMAN TRANSLITERASI1

A. Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ا

alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

ب

ba b be

ت

ta t te

ث

ṡa s\ es (dengan titik di atas)

ج

jim j je

ح

ḥa h} ha (dengan titik di bawah)

خ

kha kh ka dan ha

د

dal d de

ذ

żal ż zet (dengan titik di atas)

ر

ra r er

ز

za z zet

س

sin s es

ش

syin sy es dan ye

ص

ṣad s} es (dengan titik di bawah)

ض

ḍad d} de (dengan titik di bawah)

ط

a t} te (dengan titik di bawah)

ظ

ẓa z} zet (dengan titik di bawah)

ع

„ain …. „ …. koma terbalik ke atas

غ

gain g ge

ؼ

fa f ef

1 Pedoman transliterasi yang digunakan dalam penulisan Tesis ini adalah Pdoman

(13)

xii

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

ؽ

qaf q ki

ؾ

kaf k ka

ؿ

lam l el

ـ

mim m em

ف

nun n en

ك

wawu w we

ق

ha h ha

ء

hamzah ` apostrof

ي

ya y ye

B. Vokal

1. Vokal tunggal (monoftong)

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf latin Nama

َ

fathah a a

َ

kasrah i I

َ

ḍammah u u

2. Vokal rangkap (diftong)

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:

Tanda dan huruf Nama Gabungan huruf Nama

َ

ي

fatḥah dan ya ai a dan i

َ

(14)

xiii Contoh:

َفْيَك

= kaifa

َؿْوَ

= haula C. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Huruf dan

tanda Nama

Huruf dan

tanda Nama

َ

ا

fatḥah dan alif ā a dan garis di atas

َ

ي

kasrah dan ya ī i dan garis di atas

و َ

ḍammah dan wawu ū u dan garis di atas

Contoh:

َؿاَق

= qāla

َلْيِق

= qīla

ىَمَر

= ramā

ُؿْوُقَػي

= yaqūlu

D. Ta Marbūṭah

Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua: 1. Ta marbūṭah hidup

Ta marbūṭah hidup atau mendapatkan arakat fatah, kasrah, dan ammah transliterasinya adalah /t/.

2. Ta marbūṭah mati

Ta marbūṭah yang mati atau mendapat arakat sukun, transliterasinya adalah /h/.

Kalau pada suatu kata yang akhir katanya ta marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka ta marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h), namun apabila

pembacaannya disambung maka ta marbūah ditransliterasikan dengan /t/. Contoh:

(15)

xiv

ةرو ما ة يدما

= al-madinah al-munawwarah atau al-madinatul munawwarah

ةحلط

= alḥah

E. Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda syaddah atau tanda tasydid. Dalam transliterasi ini tanda syaddah tersebut dilambangkan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu.

Contoh:

اّبر

= rabbanā

ؿّزن

= nazzala

F. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu

لا

, namun dalam transliterasinya kata sandang itu dibedakan

antara kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah dengan kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah.

1. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah, kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu huruf /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu.

2. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah, ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya.

Baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah, kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan bisa atau tidak dihubungkan dengan tanda sambung atau hubung. Penulis lebih

memilih menghubungkannya dengan tanda sambung. Contoh:

(16)

xv G. Hamzah

Dinyatakan di depan bahwa hamzah ditransliterasikan dengan apostrof. Namun bila hamzah itu terletak di awal kata, ia dilambangkan. Contoh:

ركب وبأ

= Abū Bakr

H. Ya’ Nisbah

Ya’ nisbah untuk kata benda muzakkar (masculine), tanda majrur untuk al-asmā’ al-khamsah dan yang semacamnya ditulis /ī/.

Contoh:

ّيراخبلا

= al-Bukhārī

يأ

= Abī

وبأ

= Abūhu

I. Penulisan Kata

Pada dasarnya setiap kata, baik fi’il, isim maupun huruf, ditulis

terpisah. Bagi kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab yang

(17)

xvi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PENGESAHAN ... i

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... ii

NOTA DINAS PEMBIMBING ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xi

DAFTAR ISI ... xvi

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR BAGAN/SKEMA ... xix

DAFTAR SINGKATAN ... xx

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 5

C.Pembatasan Masalah ... 6

D.Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

G.Tinjauan Pustaka ... 7

H.Metode Penelitian ... 12

I. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II : DEKONSTRUKSI MITOS DAN PENDIDIKAN AKIDAH A.Dekonstruksi Mitologi ... 17

1.Pengertian Dekonstruksi ... 17

2.Pengertian Mitos ... 32

(18)

xvii

B.Pendidikan Akidah ... 37

1. Pengertian Pendidikan Akidah ... 37

2. Ruang Lingkup Pendidikan Akidah ... 42

3. Urgensi Pendidikan Akidah ... 47

BAB III : BIOGRAFI KH. IBNU HAJAR SHOLEH PRANOLO A. Riwayat Hidup KH. Ibnu Hajar ... 50

B. Kondisi Sosial Politik dan Intelektual KH. Ibnu Hajar 54

C. Pola Berpikir KH. Ibnu Hajar ... 56

D. Latar Sosial Masyarakat Gunungkidul terhadap Mitos Kanjeng Ratu Kidul ... 58

BAB IV : PANDANGAN KH. IBNU HAJAR TERHADAP MITOS KANJENG RATU KIDUL A. Pandangan KH. Ibnu Hajar terhadap mitos Kanjeng Ratu Kidul ... 61

1. Asal Usul Kanjeng Ratu Kidul ... 61

2. Kanjeng Ratu Kidul: Min Ba’d}il al-Auliya’ ... 71

3. Kanjeng Ratu Kidul dan Diaspora Keislaman ... 76

B. Pandangan KH. Ibnu Hajar tentang Akidah, Ushuluddin dan Tarbiyah ... 78

C. Proses Dekonstruksi Mitos Kanjeng Ratu Kidul ... 95

D. Persepsi Masyarakat terhadap Mitos Kanjeng Ratu Kidul ... 107

BAB V : PENUTUP A. Simpulan ... 112

B. Saran-saran ... 112

(19)

xviii

DAFTAR TABEL

(20)

xix

DAFTAR BAGAN/SKEMA

(21)

xx

DAFTAR SINGKATAN

cet. : cetakan

dkk. : dan kawan-kawan

DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta

ed. : editor

KH. : Kyai Haji

MUI : Majelis Ulama Indonesia

no. : nomor

P.B.U.H : Peace and blessing Be Upon Him PHK : Pemutusan Hubungan Kerja PKI : Partai Komunis Indonesia Q.S. : Alquran Surat

SAW : Ṣallallāhu„alaihi wasallam SWT : Subḥānahu wa ta’ālā t.k. : tanpa kota

(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagian besar bangsa di dunia mengenal adanya mitos yang berkenaan dengan dewa-dewa atau makhluk adi kodrati lain. Mitologi juga dapat berkenaan dengan leluhur bangsa atau suku bangsa.1 Walaupun banyak orang yang mempertanyakan kebenaran mitos tersebut, namun banyak juga orang yang mempercayainya. Walaupun mitos sukar dilacak keberadaannya secara empiris, namun yang jelas mitos selalu ada dalam pikiran orang yang mempercayainya.

Indonesia memiliki garis pantai yang sangat panjang. Secara geografis Indonesia membentang dari 6° Lintang Utara sampai 11° Lintang Selatan dan 92° sampai 142° Bujur Timur, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya kurang lebih 17.504 pulau. Tiga perempat wilayahnya adalah laut (5,9 juta km2), dengan panjang garis pantai 95.161 km. Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada.2 Tidak heran jika sejak dulu penduduk Indonesia terkenal sebagai pelaut yang ulung. Hidup menantang bahaya yang bisa datang setiap waktu.

Sebagian besar masyarakat pesisir selatan pulau Jawa percaya pada mitos tentang kekuatan besar yang menguasai laut selatan (Samudera Hindia). Banyak yang menyebut dengan Kanjeng Ratu Kidul, Nyi Roro

1 Agus Aris Munandar, “Mitos dan Peradaban Bangsa”,

Porsiding The 4th International

Confrence on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”, (Tahun 2012) hlm. 3.

http://icssis.files.wordpress.com

2 Ridwan Lasabuda, “Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Lautan Dalam Perspektif Negara

(23)

2

Kidul, Nyai Blorong ataupun Ratu Pantai Selatan.3 Terhadap nama-nama tersebut ada yang membedakan ada juga yang menyamakannya. Namun penulis lebih setuju dengan yang membedakannya.

Masyarakat Jawa pedesaan itu masih memiliki sistem berpikir suka pada apa yang disebut mitos. Menurut A.G.Honig Jr, sebagaimana yang dikutip oleh Damawi, bahwa kerangka berpikir mitos tersebut jelas nampak

bahwa manusia mengalami kenyataan-kenyataan yang sifatnya emosional dan mendorong orang untuk bertindak aktif dalam kaitannya dengan peristiwa kosmik yang dipenuhi daya-daya alam. Dari kerangka mitos tersebut kemudian timbul subur upacara-upacara keagamaan yang dianggap dapat membina ketertiban daya-daya alam (peristiwa kosmik).4 Upacara-upacara tersebut banyak yang menggunakan sesaji sebagai persembahan diberikan kepada kekuatan supranatural atau kekuatan gaib yang diyakini mampu memberikan kemakmuran dan mencegah marabahaya. Misalnya masyarakat yang takut terhadap mitos Kanjeng Ratu Kidul sehingga melakukan berbagai hal termasuk memberikan sesaji. Hal ini dilakukan agar diberi keselamatan dan dijauhkan dari marabahaya.

Salah satu bentuk persembahan pada Kanjeng Ratu Kidul tersebut dapat nampak pada upacara labuhan. Kata “labuhan” berasal dari bahasa Jawa, yaitu labuh. Labuh memiliki arti sama dengan larungan, yaitu membuang sesuatu ke dalam air yang mengalir ke laut. Kata “larung” juga berarti memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa disuatu tempat.5 Upacara ini memiliki nama yang berbeda pada tempat lain di Pantai Selatan Pulau Jawa.

Bagi nelayan setempat, Nyai Roro Kidul adalah Ratu Pantai Selatan

3 Mohamad Ikhwan Rosyadi, “Keperempuanan, Emansipasi, dan Penghambaan dalam

Mitos “Nyi Roro Kidul Ratu Pantai selatan”, “Roro Mendut”, “Dewi Candra Kirana”: Analisis dalam Perspektif Strukturalisme Lévi-Strauss”, Ibda`, Vol. 5 No. 2 Tahun 2007

4 Muhammad Dawami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: LESFI,

2002), hlm. 18-19.

5Abdul Jalil, “Memaknai Tra

(24)

3

yang menjaga, mengatur serta menghidupi kelangsungan kehidupan di Pantai Selatan Jawa. Mereka juga meyakini bahwa penghasilan baik dan buruknya mereka melaut adalah tergantung dari bagaimana kebaikan dari Ratu Pantai Selatan. Oleh sebab itu untuk menarik supaya mendapatkan berkah dan keselamatan dari Sang Ratu, maka setiap tahun masyarakat melakukan persembahan kepada Nyai Roro Kidul dalam bentuk larung sesaji ini.6

Bahkan sesajen yang dihanyutkan ke laut tersebut dapat dikatakan inti dari seluruh bentuk ritual Sedekah Laut itu sendiri.7 Meskipun kegiatan ini dilakukan bagi masyarakat luas, kepercayaan nelayan tersebut sering disebut

sebagai kepercayaan masyarakat yang masih “meyakini mitos”.8

Pemberian sesaji kepada roh halus yang diyakini memiliki kekuatan supranatural tersebut menurut pandangan Islam merupakan hal yang bertentangan dengan akidah. Hal ini dapat menggeser keyakinan sehingga menyebabkan seseorang terjebak pada syirik.

Perbuatan syirik besar dapat menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam. Tradisi sinkretisme, seperti memberi persembahan kepala binatang ke laut, dan lain sebagainya sebenarnya amat rentan menjadikan pelakunya syirik. Sebab tanpa disadari, penyembelihan tersebut akan menggeser keyakinan dan tauhid. Apalagi sampai meyakini bahwa ruh-ruh halus dalam laut mampu mendatangkan bahaya atau memberi keuntungan. Jika tidak diberi sesaji, maka akan membuat khawatir akan datangnya kekuatan dahsyat yang akan membuat bencana pada penduduk di sekitar pantai.9 Hal ini banyak terjadi di masyarakat pesisir selatan Pulau Jawa, termasuk daerah Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta. Oleh karena itu,

sangat diperlukan pemahaman melalui pendidikan akidah kepada masyarakat.

6 Badruzzaman, “Keluwesan Berdakwah dalam Pelestarian Tradisi Pesisir :Kajian

Mengenai Bilasan pada Kegiatan Sedekah Laut di Kabupaten Rembang”, Jurnal Bima s Islam Vol.8. No.II 2015, hlm. 365.

7Badruzzaman, “Keluwesan…, hlm. 371. 8Badruzzaman, “Keluwesan…, hlm. 365. 9

(25)

4

Ada hal yang menarik dari pola pendidikan yang diterapkan dalam rangka meluruskan akidah masyarakat. Salah satunya seperti dilakukan pada

Jamaah Aolia’. Jamaah ini merupakan pengajian yang didirikan dan dipimpin

oleh KH. Ibnu Hajar Sholeh Pranolo. Masyarakat biasa akrab memanggil KH. Ibnu Hajar dengan panggilan Mbah Benu.

Rumah KH. Ibnu Hajar di Dusun Panggang III, Desa Giriharjo,

Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta. Gunungkidul merupakan daerah kabupaten di wilayah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bagian selatan. Disana terdapat pegunungan kapur yang menjulang tinggi. Pada musim kemarau Gunungkidul tampak pepohonan yang kering, karena tanahnya tidak dapat menyimpan air.10

Ada sesuatu yang menarik ketika penulis melakukan observasi ke kediaman KH. Ibnu Hajar Sholeh Pranolo (Mbah Benu). Berbagai hiasan yang mengisi ruang tamu. Selain keris, kaligrafi dan akuarium yang besar, penulis juga menemukan sekitar tujuh gambar perempuan muda cantik dengan mengenakan kebaya hijau dengan pose yang berbeda. Ada yang mengenakan mahkota, menari di atas ombak, rambut diikat, rambut terurai, dan beberapa duduk di singgasana. Penulis mencoba menanyakan kepada KH. Ibnu Hajar11, tentang foto tersebut apakah itu benar foto Nyi Roro Kidul? Beliau menjawab bahwa itu bukan Nyi Roro Kidul, tetapi Kanjeng Ratu Kidul. Mereka merupakan dua sosok yang berbeda.12

Mayoritas masyarakat Gunungkidul dahulu banyak yang terlibat dalam G30S/PKI. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tingkat keberagamaan masyarakat masih tergolong lemah. Dengan kata lain pemahaman tentang

Islam masih kurang mendalam. Sehingga tidak heran jika masyarakat Gunungkidul masih percaya, bahkan takut kepada mitos Kanjeng Ratu Kidul.

Banyak dari masyarakat yang memberikan sesaji melalui berbagai ritual agar

10 Observasi pada tanggal 6 September 2017.

11 Penulis penasaran untuk menanyakan tentang gambar tersebut karena selama pengalaman

penulis sowan ke rumah kiyai belum pernah menemukan gambar wanita muda terpampang di ruang tamu. Kebanyakan mereka memajang foto tokoh ulama yang terkenal.

(26)

5

keinginan mereka terwujud dan juga terhindar dari bencana.13

Proses meluruskan akidah masyarakat dilakukan melalui ceramah keagamaan yang disampaikan dalam pengajian sewelasan. Selain itu untuk memahamkan juga melalui ngobrol, ketika masyarakat sowan ke rumah KH. Ibnu Hajar. Masyarakat yang berkunjung pasti akan melihat foto ataupun lukisan Kanjeng Ratu Kidul. Disitulah kemudian KH. Ibnu Hajar

memberikan pemahaman bahwa Kanjeng Ratu Kidul adalah sosok yang baik dan beriman. Karena itu, dia tidak butuh sesaji/sajen. Kalau ada orang yang memberikan sesaji, berarti dia ikut Nyai Roro Kidul atau Blorong, makhluk yang tidak beriman dan mengikuti setan. Sehingga nanti kalau meninggal akan ikut masuk neraka.14

Hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Apalagi di tengah pemahaman masyarakat daerah pesisir selatan Pulau Jawa yang mayoritas masih mempunyai kepercayaan kuat terhadap mitos Nyai Roro Kidul. Mitos tersebut seolah-olah menganjurkan pemberian sesaji kepada penunggu laut selatan demi keselamatan. Oleh karena itu, harus diperjelas posisi akidah Islam di tengah mitos tersebut agar masyarakat tidak terjebak dalam perbuatan syirik.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut peneliti mengidentifikasi masalah menjadi:

1. Berkembangnya mitos Kanjeng Ratu Kidul di masyarakat khususnya pesisir selatan Pulau Jawa mengakibatkan tumbuh suburnya berbagai ritus pemujaan dengan cara pemberian sesaji.

2. Pelaksanaan berbagai ritus melalui pemberian sesaji tersebut dapat menyebabkan pelakunya terjebak kepada perbuatan syirik.

3. Diperlukan pendidikan akidah kepada masyakarat secara tepat untuk menekan mitos tersebut.

13

Wawancara dengan KH. Ibnu Hajar Shaleh Pranolo pada tanggal 6 September 2017.

(27)

6

Berkaitan dengan permasalahan tersebut, penulis mengkaji lebih lanjut terkait dengan dekonstruksi mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam pendidikan akidah perspektif KH. Ibnu Hajar Sholeh Pranolo. Hal tersebut meliputi bagaimana KH. Ibnu Hajar dalam rangka memahami pendidikan akidah dan mitos Kanjeng Ratu Kidul serta memberikan pemahaman kepada masyarakat Gunungkidul, khususnya Jamaah Aoliya.

C. Batasan Masalah

Kajian dalam tesis ini dibatasi pembahasannya tentang dekonstruksi mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam pendidikan akidah perspektif KH. Ibnu Hajar. Penelitian ini menggambarkan pemikiran KH. Ibnu Hajar Sholeh Pranolo dalam mendekonstruksi mitos Kanjeng Ratu Kidul agar masyarakat memiliki pemahaman yang baik serta tidak terjebak perbuatan syirik.

D. Rumusan Masalah Penelitian

Dari latarbelakang masalah yang ditemukan, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana dekonstruksi mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam Pendidikan Akidah Perspektif KH. Ibnu Hajar Sholeh Pranolo?

2. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap mitos Kanjeng Ratu Kidul?

E. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan dan menganalisis konsep dekonstruksi mitos Kanjeng Ratu Kidul dalam Pendidikan Akidah Perspektif KH. Ibnu Hajar.

2. Menganalisis persepsi masyarakat terhadap mitos Kanjeng Ratu Kidul.

F. Manfaat Penelitian

Temuan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara

teoritis maupun secara praktis. 1. Secara Teoritis

a. Memperkaya khazanah keilmuan khususnya dalam kaitannya dengan dekonstruksi mitologi Kanjeng Ratu Kidul dalam Pendidikan Akidah Perspektif KH. Ibnu Hajar Sholeh Pranolo.

2. Secara Praktis

(28)

7

terkait dengan dekonstruksi mitologi Kanjeng Ratu Kidul yang kaitannya dengan pendidikan akidah agar terhindar dari perbuatan syirik.

G. Tinjauan Pustaka

Setelah mengkaji beberapa literatur, penulis menemukan beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan judul yang penulis teliti.

Hasil penelitian Suwito NS yang merupakan disertasi dan telah dicetak menjadi buku dengan judul “Eko-Sufisme: Konsep, Strategi, dan Dampak” dengan tebal 308 halaman. Hasil penelitian tersebut mengungkap bahwa konsep Eko-Sufisme pada Jamaah Ilmu Giri dan Jamaah Aolia’ Panggang bertumpu pada pemahaman tentang sistem wujud. Pemahaman tersebut bersifat dinamik-korelasional. Modal sosial (sosial capital) dan modal spiritual (spiritual capital) yang dimiliki kyai menjadi faktor penting dalam proses mitigasi berlingkungan. Eko-Sufisme dalam penelitian tersebut memiliki kontribusi bagi pelestarian lingkungan. 15

Penelitian tersebut memiliki kaitan dengan penelitian yang penulis lakukan terkait dengan subjek dan lokasi penelitian yang sama yaitu pada

Jamaah Aoliya’ Desa Giriharjo Kecamatan Panggang Kabupaten

Gunungkidul. Namun penelitian tersebut terfokus pada praktik Sufi yang berdampak pada kelestarian lingkungan. Sedangkan penelitian penulis lebih kepada dekonstruksi mitologi Kanjeng Ratu Kidul perspektif KH. Ibnu Hajar. Kemudian pada tahun 2016, penelitian pada lokasi yang sama

dilakukan oleh Arif Budianto dengan judul “Resepsi terhadap Ayat-ayat al-Qur’ān pada Manāqib Syaikh Abd al- Qādir al- Jailāni dalam Kitab Al-Nūr al-Burhāni fi Tarjamati al-lujjaini al-Dāni (Studi Kasus Jamaah Masjid Aolia’, Dusun Panggang III, Desa Giriharjo, Kecamatan Panggang,

Kabupaten Gunungkidul)”. Hasil penelitian ini yaitu:16

15 Suwito NS, Eko-Sufisme: Konsep, Strategi dan Dampak, (Purwokerto: STAIN Press,

2011), hlm. 258-259.

16 Arif Budianto, “

Resepsi terhadap Ayat-ayat al-Qur’ān pada Manāqib Syaikh Abd al-

(29)

8

Pertama, amalan Manāqib Syaikh Abd al- Qādir al- Jailāni pada masyarakat Panggang III disebabkan karena adanya faktor yang menjadikan ini muncul, yaitu Mbah Benu sebagai tokoh sentral mendapatkan wasiat dari orang tuanya untuk melanjutkan ritual amalan manāqib yang sudah menjadi rutinan sejak orangtua dan leluhur Mbah Benu.17

Masyarakat yang saat itu masih sangat awam dan sangat kering akan

agama Islam menemukan kegiatan yang tepat yang bisa membawa jiwa para jamaah menuju kualitas mental dan rohani yang baik.18

Proses manāqib dimulai dengan bertawasul dengan pembacaan al-Fātihah yang ditunjukan untuk Nabi, sahābat Nabi, tabi’in, sālihin, para auliya’ terutama Syaikh Abd al- Qādir al- Jailāni. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa dalam kitab manāqib al-Nūr al- Burhāni. Dalam pembacaan ini, dari awal hingga akhir, semua bacaannya dipimpin Mbah Benu dan diikuti oleh seluruh jamaah.19

Kedua, mayoritas jamaah dalam meresepsi atas beberapa ayat al-Qur’ān, selama ini ternyata tidak banyak yang mengerti dan memahami atas ayat-ayat yang memiliki beberapa keutamaan tersebut. Umumnya, mereka mengikuti pembacaan manāqib ini karena merasa nyaman dan untuk benar-benar mengharap rahmat Allah Swt. Dalam segi sosial memiliki makna yang sangat positif, yaitu silaturahmi dan dalam bidang pendidikan dikemas dengan adanya pengajian setelah pembacaan manāqib selesai.20

Penelitian Herning Puspitarini dengan judul “Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul terhadap Kekuasaan Jawa dalam Novel Sang Nyai Karya Budi

Sardjono”. Penelitian tersebut menganalisis bentuk-bentuk hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dalam novel Sang Nyai meliputi Sang Nyai sebagai ratu,

Jama’ah Masjid Aolia, Dusun Panggang III, Desa Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten

Gunungkidul)”, Skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2016) (di akses dari

http://digilib.uin-suka.ac.id) hlm. 79.

17Arif Budianto, “Resepsi…, hlm. 79. 18Arif Budianto, “Resepsi…, hlm. 80. 19Arif Budianto, “

Resepsi…, hlm. 80.

(30)

9

Sang Nyai mendukung eksistensi raja, Sang Nyai sebagai penguasa kosmis, dan Sang Nyai dalam tradisi. Akibat dari hegemoni mitos Nyai Roro Kidul dengan ideologi tradisional tersebut, maka terjadi perlawanan dari tokoh dengan ideologi modern yang rasional terhadap hegemoni yang ada. Namun, perlawanan tersebut kalah dengan ideologi tradisional masyarakat Jawa yang terdapat dalam novel Sang Nyai karya Budi Sardjono. 21

Hegemoni Nyai Roro Kidul juga dirasakan oleh masyarakat melalui tradisi yang masih berjalan hingga sekarang. Hal ini ditandai dengan pelaksanaan ziarah di Cepuri Parangkusumo pada malam Jum’at Kliwon. Tradisi yang lain yaitu upacara labuhan. Upacara ini dimulai dengan pengadaan sesajen, kemudian dilanjutkan rangkaian ritual yang terdiri atas selamatan, kenduri, diakhiri dengan prosesi labuhan.22

Penelitian Endra Maelan yang berjudul “Fungsi Ritual Sedekah Laut

bagi Masyarakat Nelayan Pantai Gesing Gunungkidul di Tengah Arus

Perubahan Sosial” menganalisis tentang ritual sedekah laut di Pantai Gesing yang dilakukan oleh masyarakat nelayan Gesing berakar pada kepercayaan masyarakat nelayan yang mempercayai bahwa ada kekuatan di luar dunia nyata manusia. Kekuatan ini ditunjukan kepada Nyi Roro Kidul dan Kyai Panjolo Mulyo yang dipercaya sebagai penghuni atau penguasa Pantai Selatan. Sehingga ritual ini dijadikan perwujudan ekspresi dari sistem keagamaan yang merefleksikan hubungan masyarakat nelayan dengan alam spiritual, dan merupakan cara yang pantas dilakukan untuk mendekatkan diri kepada kekuatan –kekuatan di luar dunia nyata manusia.23

Penelitian Abdul Jalil yang dimuat dalam jurnal el-Harkah dengan

judul “Memaknai Tradisi Upacara Labuhan dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Parangtritis” menyimpulkan bahwa sebagaimana masyarakat

21

Herning Puspitarini, “Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul terhadap Kekuasaan Jawa dalam Novel Sang Nyai Karya Budi Sardjono”, Skripsi (Semarang: Universitas Diponegoro, 2014),

22 Herning Puspitarini, “Hegemoni…, hlm. 108.

23 Endra Maelan, “Fungsi Ritual Sedekah Laut bagi Masyarakat Nelayan Pantai Gesing

(31)

10

Jawa pada umumnya, penduduk Desa Parangtritis masih percaya terhadap roh-roh nenek moyang mereka serta kekuatan gaib lainnya sehingga mereka masih melakukan tradisi alam, sejenis tradisi Labuhan yang usianya sudah ratusan tahun. Upacara Labuhan yang dilakukan oleh seluruh masyarakat Yogyakarta, antara lain Labuhan Ageng, Labuhan Alit, Pisusung Jaladri

Bhekti Pertiwi, Labuhan dari para nelayan, Labuhan Khusus Umat Hindu,

Labuhan dari Yayasan Hendrodento, dan Labuhan Pen Chu. Dari masing-masing labuhan itumemiliki tujuan yang sama, yaitu memohon kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Labuhan itu dilaksanakan dengan cara melabuh uburampe yang sudah disiapkan. Adapun uburampe yang akan dilabuh adalah nasi tumpeng, jajan pasar, buah-buahan, dan berbagai macam bunga, namun bagi Labuhan yang dilakukan oleh pihak keraton, seperti Labuhan Ageng ditambahkandengan pakaian Sultan. Setelah uburampe dilabuh, maka diperebutkan olehpara pengunjung yang memang hadir untuk ngalap berkah yang menceburkan diri. Begitu kuatnya kepercayaan masyarakat tersebut, sehingga berpengaruh bagi masyarakat Parangtritis. Pengaruh tersebut berpengaruh pada bidang keagamaan, ekonomi, maupun bidang keamanannya.24

Penelitian Mohammad Ikhwan Rosyidi yang berjudul

“Keperempuanan, Emansipasi, dan Penghambaan dalam Mitos Nyi Roro

Kidul Ratu Pantai Selatan, Roro Mendut, Dewi Candra Kirana: Analisis dalam Perspektif Strukturalisme Lévi-Strauss” dalam jurnal Ibda’ menyimpulkan bahwa sebuah mitos bisa menjadi model of dan model for akan realitas manusia. Bagi orang Sunda,Nyi Rara Kidul Ratu Pantai Selatan

dapat menjadi modeldari kenyataan yang mereka hadapi, demikian pulaRoro Mendut dan Dewi Candra Kirana bagi orang Jawa karena di dalam cerita

tersebut terdapat kontradiksi-kontradiksi dan oposisi-oposisi yang saling mengait. Di lain pihak, cerita-cerita ini dapat menjadi model untuk realitas yang dihadapi, baik orang Sunda maupun Jawa, baik itu dalam kerangka

(32)

11

emansipasi atau penghambaanperempuan Jawa dan Sunda. Melalui aktivitas ini, orang Jawa dan Sunda dapat menemukan identitas budaya masing-masing, melestarikan dan meneguhkan budaya mereka sendiri. Disamping itu juga menguak makna-makna yang tersembunyi dalam setiap peristiwa.25

Penelitian Sardjuningsih yang berjudul “Islam Mitos Indonesia (Kajian Antropologi-Sosiologi)” yang dimuat dalam jurnal Kodifikasi

menjelaskan bahwa mitos sebagai basis spiritual masyarakat, memiliki makna yang setara dengan agama, tradisi, magis, dan mistik. Semuanya menyangkut aspek kepercayaan, keyakinan, pengetahuan, emosional, dan kekuatan batin. Jadi agama bagi masyarakat menjadi struktur yang kompleks, yakni sebagai kepercayaan, doktrin, dan ideologi. Sebagai kepercayaan terhadap makhluk gaib yang mengikat batin, emosi, dan perasaan masyarakat, bahwa alam ini dikuasai oleh kekuatan supranatural. Sebagai doktrin, semuanya dilihat sebagai ajaran luhur yang berisi tuntunan moral untuk dipedomani. Sebagai ideologi, semuanya dipandang sebagai cara pandang masyarakat terhadap alam dan kehidupan.26

Dalam praktek Islam mitos di Indonesia, peranan pemujaan kekuatan gaib, dan nenek-moyang, upacara-upacara kurban dalam ritual, peranan roh dalam lingkungan alam, peranan yang Illahidalam norma sosial sebagai alat kontrol sosial, atau peranan ritus inisiasi dalam mendorong kedewasaan, bukanlah usaha-usaha yang tidak penting. Tetapi mengusahakan semua itu merupakan pandangan akal sehat yang dapat menentukan nasib hidup mereka.Hal ini dapat disaksikan dalam praktek Adewatang, Tolotang, Islam Sasak, Islam Keraton, Islam Palang, Islam Suku Tengger, Islam Pesisir

Selatan dan Kejawen.27

Penelitian Suwito NS dan Arif Budiono memiliki persamaan lokasi

25

Mohammad Ikhwan Rosyidi, “Keperempuanan, Emansipasi, dan Penghambaan dalam Mitos Nyi Roro Kidul Ratu Pantai Selatan, Roro Mendut, Dewi Candra Kirana: Analisis dalam Perspektif Strukturalisme Lévi-Strauss”, Jurnal Ibda’ Vol. 5 No. 2 (Tahun 2007), hlm. 14.

26 Sardjuningsih, “Islam Mitos Indonesia (Kajian Antropologi-Sosiologi)”, Jurnal

Kodifikasia, Vol. 9 No.1 (Tahun 2015), hlm. 96-97.

(33)

12

penelitian dengan penulis. Penulis banyak mendapatkan gambaran data terkait dengan kondisi Jamaah Aoliya’ serta profil KH. Ibnu Hajar sebagai pengasuh Jamaah tersebut. Namun fokus penelitian penulis lebih membidik kepada dekonstruksi mitologi Kanjeng Ratu Kidul sebagai upaya dalam pendidikan akidah kepada masyarakat.

Penelitian Herning Puspitarini, dan Mohammad Ikhwan Rosyidi

membahas tentang kepercayaan masyarakat Jawa terutama pesisir pantai selatan terhadap mitos Kanjeng Ratu Kidul ataupun Nyai Roro Kidul. Kepercayaan tersebut dapat ditemukan dalam berbagai tradisi termasuk memberikan sesaji kepada penguasa laut selatan tersebut.

Penelitian Endra Maelan, Abdul Jalil dan Sarjuningsih lebih terfokus pada interpretasi ritual kepada penguasa Laut Selatan oleh masyarakat nelayan sedangkan penulis lebih terfokus kepada pendidikan akidah dalam rangka meluruskan pemahaman masyarakat kepada mitos tersebut.

H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan menggunakan jenis penelitian tokoh. Menurut Abdul Mustaqim, hakikat studi tokoh yaitu studi kajian secara mendalam, sistematis, kritis mengenai sejarah tokoh, ide atau gagasan orisinal, serta konteks sosio-historis yang melingkupi sang tokoh yang dikaji. Tujuan penelitian atau kajian tokoh sesungguhnya untuk mencapai sebuah pemahaman yang komprehensif tentang pemikiran, gagasan, konsep dan teori dari seseorang tokoh yang dikaji. Studi tokoh merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif (qualitative research).28

Menurut Sugiono, hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.29

Secara spesifik tujuan penelitian tokoh adalah:

28 Abdul Mustaqim, “Model Penelitian Tokoh (Dalam Teori Dan Aplikasi)”, Jurnal

Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis, Vol. 15, No. 2, (Juli 2014), hlm.263-264.

29

(34)

13

a. Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang persepsi, motivasi,

aspirasi, dan “ambisi’ dan bahkan prestasi sang tokoh tentang bidang yang digeluti.

b. Untuk memperoleh deskripsi yang utuh dan objektif tentang teknik dan strategi (baca: metodologi) yang digunakan dalam melaksanakan bidang yang digeluti.

c. Untuk memperoleh deskripsi yang utuh dan objektif tentang teknik dan strategi (metodologi) yang digunakan dalam melaksanakan bidang yang digeluti.

d. Untuk menemukan relevansi dan kontekstualisasi pemikiran tokoh yang dikaji dalam konteks kekinian.30

Satu hal yang penting untuk diingat bahwa kajian tokoh sesungguhnya tidak harus menunggu sang tokoh telah wafat terlebih dahulu.31

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian yang penulis lakukan menggunakan pendekatan fenomenologi. Husserl dalam Clive Erricker berpendapat bahwa “Two of

the concept that underpinned his work provided valuable methodological

starting-points for the phenomenological study of religion: epoche and eidetic vision”.32

(Dua konsep yang ditopang pekerjaannya dalam menyajikan nilai metodologi poin awal untuk studi fenomenologi agama yaitu epoche dan pandangan eidetic).

Basic to Husserl’s sense of phenomenology is the notion that the adoption of the phenomenological attitude requires a radical reversal in

the movement of conscious life.33

(Dasar pengertian Husserl dari fenomenologi yaitu dugaan bahwa fenomenologi memerlukan pembalikan

30Abdul Mustaqim, “Model…, hlm. 266.

31Abdul Mustaqim, “Model…, hlm. 266.

32 Clive Erricker, “Phenomenological Approaches”, dalam

Approach to the Study of Religion, ed. Peter Connoly, (New York: Cassel, 1999), hlm. 77.

33

(35)

14

secara radikal dalam gerakan kesadaran hidup).

Fenomenologi menganggap bahwa kebenaran sesuatu itu dapat diperoleh dengan cara menangkap fenomena atau gejala yang memancar dari objek yang diteliti. Apabila peneliti melakukan penangkapan secara profesional, maksimal dan bertanggung jawab, maka akan dapat diperoleh variasi refleksi dari objek. Bagi objek manusia, gejala dapat berupa

mimik, pantomimik, ucapan, tingkah laku, perbuatan dan lain-lain. tugas peneliti adalah memberikan interpretasi terhadap gejala tersebut.34

3. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini yaitu KH. Ibnu Hajar yang bertempat tinggal di Dusun Panggang III Desa Giriharjo Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul. Objek penelitian ini mengenai pemikiran KH. Ibnu Hajar mengenai dekonstruksi mitologi Kanjeng Ratu Kidul dalam pendidikan akidah.

Alasan penulis memilih untuk melakukan penelitian disana yaitu pertama KH. Ibnu Hajar merupakan kiyai yang kharismatik dan unik. Pendidikan akidah dilakukan dengan cara yang unik, salah satu media yang digunakan dengan memajang foto dan lukisan di ruang tamu. Hal ini sangat jarang dilakukan oleh seorang kiyai. Kebanyakan mereka memajang foto ulama-ulama yang shalih, tetapi KH. Ibnu Hajar malah memajang foto dan lukisan Kanjeng Ratu Kidul.

Kemudian terdapat perubahan pola pikir dan tindakan masyarakat

Gunungkidul, khususnya yang mengikuti Jamaah Aoliya’. Mereka sudah

tidak memberikan sesaji untuk memohon keselamatan. Mereka juga tidak

takut lagi terhadap sosok Kanjeng Ratu Kidul.

Kedua, KH. Ibnu Hajar merupakan tokoh yang memiliki spiritual

capital dan sosial capital yang kuat. Salah satu karya nyata yang telah diteliti sebelumnya yaitu keberhasilannya dalam melakukan penghijauan

34

(36)

15

di bukit karstyang tandus bersama anggota Jamaah Aoliya’. Semangat ini muncul melalui kegiatan pengajian keagamaan yang dipimpin oleh KH. Ibnu Hajar.

4. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian yang penulis lakukan di Dusun Panggang III Desa Giriharjo Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul tepatnya di

komplek Masjid Aoliya’. Disanalah pusat dari kegiatan Jamaah Aoliya’

serta di rumah KH. Ibnu Hajar sebagai tempat untuk interaksi antara kiyai dan santri dalam melakukan interaksi. Selain itu, jika memungkinkan penulis mengikuti pengajian-pengajian yang diisi oleh KH. Ibnu Hajar ketika ceramah di wilayah Gunungkidul. Waktu penelitian penulis lakukan pada bulan Oktober sampai Desember 2017.

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data penelitian, penulis menggunakan teknik wawancara dan observasi. Wawancara penulis lakukan kepada KH.

Ibnu Hajar, para ustadz, dan Jamaah Aoliya’ untuk mendapatkan data

terkait dengan metode dan media dalam rangka mendekonstruksi mitos Kanjeng Ratu Kidul. Kemudian teknik observasi penulis gunakan untuk mendapatkan data tentang proses dekonstruksi mitologi serta interaksi

sosial yang berlangsung pada Jamaah Aoliya’.

6. Teknik Analisis Data

Penulis menggunakan teknik analisis data model Miles and Huberman, sebagaiman yang dikutip oleh Sugiono, yang meliputi data

reduction, data display, dan conclusion drawing/verivication.35 I. Sistematika Penulisan

Bab kesatu berisi tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang

masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika pembahasan.

(37)

16

Bab kedua memaparkan tentang definisi dan teori tentang dekonstruksi mitologi yang meliputi pengertian dekonstruksi, pengertian mitos, dan dekonstruksi derrida dalam mitologi. Kemudian sub bab pendidikan akidah yang terdiri dari pengertian pendidikan akidah, ruang lingkup pendidikan akidah, serta urgensi pendidikan akidah.

Bab ketiga berisi tentang biografi KH. Ibnu Hajar yang meliputi

riwayat hidup, kondisi sosial politik dan intelektual, pola berpikir KH. Ibnu Hajar, serta latar sosial masyarakat Gunungkidul.

(38)

17 BAB II

DEKONSTRUKSI MITOS DAN PENDIDIKAN AKIDAH

A. Dekonstruksi Mitos 1. Pengertian Dekonstruksi

Menurut Kamus Bahasa Indonesia “dekonstruksi” berarti penataan ulang. 1 Menurut paham dekonstruksi bahasa bukan lagi semacam jendela transparan terhadap kenyataan asli yang belum dibahasakan. Bahasa tidak mencerminkan kenyataan, melainkan menciptakan.2

Dekonstruksi berasal dari Bahasa Prancis Deconstruire yang berarti membongkar mesin, akan tetapi membongkar untuk dipasang kembali. Karena itu, dekonstruksi berarti positif karena membongkar dan menjungkirbalikkan makna teks tapi bukan dengan tujuan membongkar saja, akan tetapi membangun teks atau wacana baru dengan makna baru yang berbeda dengan teks yang didekonstruksi. Metode dekonstruksi sendiri bertolak dari kritik Derrida3 terhadap metode hermeneutika modern yang berasumsi dapat memahami makna teks secara objektif serta kritik Derrida terhadap strukturalisme Saussure yang menganggap adanya makna kata yang stabil dan objektif. Dekonstruksi Derrida menolak pandangan yang menyatakan kesejajaran atau kesamaan antara

1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Pusat Bahasa, 2008), hlm. 334.

2

Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian Ilmu, 2003), hlm. 199.

3 Jasques Derrida lahir pada tahun 1930 di El-Biar, dekat Aljir, pada masa penjajahan

Prancis di Aljazair (Barry Stocker, Derrida on Deconstruction, (New York: Routledge, 2006). Derrida adalah seorang keturunan Yahudi. Ia lahir di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair yang agak terpencil, pada tanggal 15 Juli 1930. Pada tahun 1980, Derrida mempertahankan tesis doktoralnya (These d`Etat) yang berjudul “The Time of a Thesis:

(39)

18

bahasa dengan realitas. Artinya, menolak bahasa (teori) sebagai pencerminan realitas secara transparan sebagaimana diakui pendukung positivisme logis.4

Pola minimal strategi dekonstruksi dilakukan dalam tiga tahap, yaitu rekonstruksi, dekonstruksi, dan reinskripsi. 5 Heiddeger menawarkan konsep destruksi yang kemudian diambil alih oleh Derrida

dengan istilah baru yang lebih radikal, yaitu dekonstruksi.6 Istilah dokonstruksi awalnya digunakan oleh Heidegger, bahwa: "...konstruksi dalam filsafat itu dengan sendirinya harus serentak destruksi, yaitu dekonstruksi konsep tradisional dengan cara kembali....”.7

Hal yang perlu digarisbawahi rekonstruksi yang dilakukan dalam perspektif dekonstruksi Derrida tidak bertujuan untuk mengembalikan teks kepada yang asli atau kepada kondisi asal, melainkan “what deconstruction attempts to do is to articulate the often hidden or

repressed-conditions according to which it is possible for any structure

to be constituted in the first place.” Rekonstruksi merupakan wujud praksis dari pilihan filosofis Derrida untuk mendekonstruksi dari dalam. Melalui rekonstruksi diungkapkan logika “dominan” yang ada dalam

teks. Kata kunci untuk proses ini adalah “pengulangan”. Setelah

merekonstruksi teks akan terungkap kondisi teks baik struktural maupun logika yang bekerja di dalamnya. Dalam proses rekonstruksi tersebut juga dikemukakan konteks asli dan konteks resepsi dominan atas teks tersebut. Konteks resepsi dominan perlu dikemukakan karena cara suatu

teks dibaca juga dipengaruhi “common procedures of reading”.8 Dalam teks-teks filsafat, kehadiran logos ditampilkan dengan hadirnya

“pengarang” (author) sebagai subjek yang memiliki otoritas terhadap

4Mas’udi, “Posmodernisme Dan Polemik Keber

agamaan Masyarakat Modern (Antitesis Posmodernisme atas Dinamika Kehidupan Modernisme)”, Jurnal Fikrah,Vol. 2, No. 1, (Tahun 2014), hlm. 242-243.

5

Marceolus Ungkang,... hlm. 37.

(40)

19

makna yang hendak disampaikannya. “Kehadiran” pengarang sebagai

representasi dari atau bahkan logos inilah yang diisyaratkan secara

metaforis oleh Derrida denga istilah “metafisika kehadiran”.9

Strategi kedua, Derrida membaca dan menafsirkan teks-teks filsafat lalu membandingkannya satu sama lain untuk menemukan

“kontradiksi internal” yang tersembunyi di balik logika atau tuturan teks

tersebut. Hampir semua karya Derrida dihasilkan dari pembacaan

“dekonstruktif” semacam ini. Derrida memilih sebuah teks yang

dianggap cukup representatif, misalnya karya Husserl, The Origin of Geometry, lalu membubuhinya dengan catatan kaki untuk mengorek dan

mengusik “logika” yang stabil dari teks itu. Strategi ini terbukti jitu karena menawarkan pembacaan yang sama sekali radikal, sehingga membuat teks yang dia kaji tidak lagi utuh sebagai karya, melainkan jalin-menjalin dengan karya-karya lain yang juga dikomentarinya. Karena kegemarannya dalam membaca teks secara dekonstruktivis, gaya berfilsafat Derrida pun terbilang unik dan tak lazim. Tulisan-tulisannya sering dijuluki tulisan-tulisan “parasit”, karena “menunggangi” teks untuk mencari kelemahan yang tersamar di dalamnya.10 Menurut Derrida dalam Ungkang, “The movements of deconstruction do not destroy structures from the outside”(Gerakan dekonstruksi tidak menghancurkan struktur dari luar).11

Derrida mengajak untuk berpikir “tanpa konsep tentang kehadiran

atau absensi, tanpa sejarah, tanpa tujuan, tanpa archia ataupun telos, berpikir tentang suatu tulisan yang akan mengacaukan dialektika, teologi,

teleologi ataupun ontologi”. Semua ini dilakukan dalam rangka merombak seluruh bangunan filsafat yang telah dikuasai logosentrisme.

Bila ditelaah sekali lagi kutipan tersebut akan terlihat bahwa proyek

9

Muhammad Al-Fayyadl, Derrida..., hlm. 16.

10 Muhammad Al-Fayyadl, Derrida ..., hlm. 16-17.

11Marcelus Ungkang, “Dekonstruksi Jaques Derrida Sebagai Strategi Pembacaan Teks

(41)

20

dekonstruksi Derrida tidak hendak membangun pemikirannya di atas konsep-konsep lama yang dipergunakan filsafat/metafisika tradisional.12

Dekonstruksi sering dipahami secara keliru, misalnya, hanya sebagai bentuk penghancuran segala yang mapan. Kekeliruan tersebut disebabkan karena para pembaca tidak atau belum memahami dimensi etis dari dekonstruksi yang berusaha membuka diri kepada “yang lain”.

Pembalikkan Derrida kepada etika secara tidak langsung mematahkan label nihilistik yang diberikan kepada dekonstruksi Derrida.13

Setiap tanda yang mengkonstruksi suatu teks selalu membawa

“yang lain” sebagai hal yang konstitutif bagi identitasnya. Dengan kata lain, Derrida memandang teks sebagai jaringan perbedaan atau pabrik tilas yang terus-menerus mengacu kepada sesuatu yang bukan dirinya.

Dalam konteks pembacaan, “yang lain” tidak selalu berupa subjek atau

manusia, tetapi juga dapat berupa “other logic” atau “other message” yang sebenarnya berusaha dieliminasi atau ditolak oleh suatu teks.14

Pertama, Derrida menolak dikotomi konseptual antara

“kehadiran” (presence) dan absensi (absence). Dengan kata lain antara metafisika yang didasarkan pada kehadiran subjek dan ketiadaan subjek lainnya. Dalam tradisi metafisika yang logosentris, dikotomi kehadiran/ absensi dipertahankan sedemikian rupa melalui pemilahan antara pikiran/ tubuh, kesadaran/ kegilaan, rasionalitas/ irasionalitas, dan lain seterusnya. Jika dikotomisasi ini ditolak maka yang terjadi adalah terbukanya peluang bagi subjek-subjek yang selama ini ditiadakan secara sistematis oleh filsafat/ metafisika Barat untuk tampil ke permukaan. Oleh

karenanya, tubuh, kegilaan, irasionalitas, mitos dan berbagai subjek yang terekpresi menemukan momentumnya di sini.15

12

Muhammad Al-Fayyadl, Derrida..., hlm. 25.

(42)

21

Kedua, Derrida menolak adanya “asal usul” (archia, origins) yang diyakini secara metafisik sebagai sumber kebenaran atau fondasi bagi filsafat untuk membangun asumsi-asumsi filosofisnya. Kata archia dalam kutipan di atas mengandung makna yang sangat padat. Dalam metafisika tradisional, archia melambangkan kepenuhan, orisinilitas, dan transendentalitas. Segala bentuk realitas di dunia fenomenal kemudian

harus merujuk kepada hal-hal tersebut untuk menemukan “legitimasi” bagi keberadaannya.16

Dalam konteks bahasa, arti dari suatu konstruksi kalimat juga ditentukan oleh medan asosiatif atau sumbu paradigmatik dari kata-kata yang tidak hadir. Dengan kata lain, yang hadir ditentukan yang tidak

hadir. “Tilas” dari tanda-tanda lain akan selalu membayangi suatu tanda.17

Sembari membuang jauh-jauh ide archia, Derrida juga menyarankan untuk menanggalkan konsep “tujuan” (telos) yang diandaikan dalam filsafat tradisional sebagai titik akhir dari seluruh proses pencapaian filosofis. Konsep telos banyak bersangkut paut dengan

gagasan “kausal final” dalam paradigma Aristotelian, yang sering dimaknai sebagai tujuan akhir dari tiga rangkaian kausa material, kausa efisien, dan kausa formal.18

Pembacaan karya sastra, menurut paham dekonstruksi, tidak dimaksudkan untuk menegaskan makna sebagaimana halnya yang lazim dilakukan sebab, sekali lagi, tidak ada makna yang dihadirkan oleh suatu yang sudah menentu melainkan justru untuk menemukan makna

kontradiktifnya, makna ironisnya.19

Derrida melihat bahwa baik archia maupun telos menunjukkan

tabiat logosentrisme yang senantiasa melihat sejarah secara linear,

16 Muhammad Al-Fayyadl, Derrida..., hlm. 26.

17Marcelus Ungkang, “Dekonstruks

i..., hlm. 32.

18 Muhammad Al-Fayyadl, Derrida..., hlm. 26.

19 Ronidin, “Pembacaan Dekonstruksi Cerpen "Zina"Karya Putu Wijaya”, Jurnal

(43)

22

seolah-olah semuanya terjadi secara alamiah. Dengan mendekonstruksi kedua konsep tersebut, Derrida menolak adanya realitas onto-teologis yang mendasari seluruh bangunan epistimologi filsafat/ metafisika Barat.20

Kritik Derrida secara umum berkisar pada apa yang disebutnya

sebagai “kehadiran” atau “logosentrisme”, yakni kecenderungan

metafisika untuk mengukuhkan kebenaran absolut dalam bahasa atau fenomena. 21 Esensi yang bersifat transenden disebut logosentrisme karena kegiatan pembacaan diarahkan untuk menemukan pusat makna tertentu yang telah ada.22

Teori dekonstruksi secara tegas menolak pandangan bahwa bahasa telah memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungkapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang dipergunakan untuk membahasakan objek yang bermakna tertentu dan pasti. Hal ini merupakan alasan mengapa paham dekonstruksi disebut juga sebagai poststrukturalisme.23

Pada prinsipnya, “tulisan” adalah metafor Derrida tentang suatu

kenyataan yang berjalin-kelindan dan saling bertautan, yang bekerja tanpa dimediasi oleh subjek, entah itu berupa pengarang, ego transedental, cogito, ataupun pikiran. Derrida meyakini adanya suatu teks yang tidak lagi bergantung pada subjek apa pun, melainkan membiarkan dirinya terurai dan otonom dalam medan pemaknaan yang tak ada habis-habisnya. Mesti dikatakan sekali lagi disini bahwa upaya Derrida untuk

menjadikan filsafat sebagai tulisan dilakukan dalam rangka mengeliminasi struktur-dasar logosentrisme yang berpusat pada

kehadiran subjek. Derrida bahkan lebih jauh membayangkan adanya

20

Muhammad Al-Fayyadl, Derrida..., hlm. 27.

21 Muhammad Al-Fayyadl, Derrida..., hlm. 4. 22Ronidin, “Pembacaan..., hlm. 34.

(44)

23

suatu jenis tulisan primordial yang diistilahkan “archi-writing” ( archi-ecriture), yakni tulisan yang mengatasi segala bentuk metafisika dan kehadiran. Melalui pembacaannya atas tradisi metafisika Barat, Derrida sampai pada kesimpulan bahwa tradisi itu mesti diakhiri. Dekonstruksi adalah perayaan terbuka terhadap the end of metaphysics.24

Oposisi biner berperan penting dalam metafisika untuk

menciptakan kestabilan struktur. Salah satu unsur harus menjadi pusat, sedangkan unsur lain berstatus sebagai pelengkap yang menegaskan pusat tersebut. Dalam karya sastra, misalnya novel atau cerpen, oposisi biner sering menjadi kerangka yang menopang struktur cerita. Ada tokoh antagonis-protagonis, kebaikan-kejahatan, tuan rumah-tamu, dan sebagainya. Berbagai oposisi biner dalam teks yang dibaca dapat menjadi fokus pembacaan dekonstruksi.25

Dekonstruksi Derrida merupakan sebentuk upaya untuk memberdayakan pemaknaan tersirat – logika yang cenderung dilupakan atau diapkir karena prioritas dan pilihan tertentu dari sebuah teks.26

Gagasan diseminasi Derrida dapat dipahami dengan memperhatikan langkah-langkah berikut ini: (1) Tulislah berbagai jenis interpretasi baik istilah kunci, asumsi-asumsi, logika, dan lain-lain yang ditawarkan teks. (2) Tunjukkan bagaimana interpretasi-interpretasi tersebut berkonflik antara satu dengan yang lain. (3) Tunjukkan bagaimana konflik tersebut terus menghasilkan interpretasi-interpretasi lain, yang juga menghasilkan konflik, yang kembali menghasilkan intepretasi-interpretasi. (4) Gunakan langkah 1, 2, dan 3 untuk

menyatakan bahwa teks tersebut tidak bisa dirumuskan dalam satu pengertian (undecidability).27

24

Muhammad Al-Fayyadl, Derrida..., hlm. 28.

(45)

24

Tulisan-tulisan Derrida selalu menyuntikkan rangsangan tersendiri untuk mempermainkan teks. Dissemination menyajikan sebuah strategi unik yang memperlihatkan betapa nyaris tidak mungkin menangkap makna kecuali jika benar-benar memanfaatkan teks sebagai arena permainan terus menerus ditransformasi dengan mensubtitusi penanda-penanda lama dengan penanda baru. Dengan mempermainkan

tanda, maka tinanda atau referens yang hendak disimpulkan dari sebuah teks dengan sendirinya tertunda. Penyebaran tanda membuat seluruh tatanan teks yang ingin distabilkan kembali berantakan. Derrida kemudian menyusun puing-puing yang tertinggal dari bangunan teks, menghancurkannya kembali, menatanya, lalu merombaknya kembali.28

Operasi teks dan diseminasi tanda merupakan konsekuensi-konsekuensi langsung dari pembacaan dekonstruktif. Menurut Barbara Johnson, dekonstruksi merupakan strategi mengurai teks. Istilah “de

-konstruksi” sendiri sebenarnya lebih dekat dengan pengertian etimologis dari kata “analisis”, yang berarti “mengurai, melepaskan, membuka” dari pada kata “destruksi”.29

Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat

wacana.30

Istilah differance pertama kali diperkenalkan oleh Derrida dalam

ceramahnya di depan Societe francaise de philosophie pada 27 Januari 1968. Kosakata ini merupakan neologi yang khusus diciptakan oleh

(46)

25

Derrida untuk menggantikan kosakata-kosakata lama yang menurutnya telah usang atau tidak memadai. Selintas, differance mirip dengan kata

difference, yang berarti “perbedaan”. Namun, differance lebih dari sekedar perbedaan yang menunjukkan ketidaksamaan dua hal. Lebih dari itu, differance juga menunjuk pada “penundaan” yang tidak memunginkan huruf a dalam differ(a)nce, yang memiliki dua makna:

“membedakan/ menjadi berbeda” (to differ) dan “menunda” (to defer). Huruf a menggabungkan sekaligus dua makna tersebut dalam satu kata. Penggantian huruf e dengan a pada kata differ(e)nce, menurut Derrida, merupakan strategi tekstual untuk menunjukkan watak ambigu bahasa.31 Struktur bahasa menurut Derrida adalah sesuatu yang dinamis atau

senantiasa “bergerak” melalui proses perbedaan dan penundaan.32

Selain ambigu dan berwajah ganda, differance juga menandakan perlawanan terhadap dominasi tuturan dalam metafisika, karena ternyata perbedaan antara a dan e dalam differ(...)nce tidak dapat dibunyikan dengan suara. Dalam bahasa Prancis, akhiran a dan e dalam sufiks-ance atau –ence dibunyikan dengan tanda fonetik yang sama, yaitu [a>:s].

Dengan demikian, differance dan difference, jika dilafalkan dengan suara, sama-sama berbunyi [defe`ra>:s]. Perbedaan keduanya tidak terasa dalam tuturan dan hanya bisa diketahui jika keduanya ditulis. Keduanya dapat dikenali jika sudah diterakan dalam aksara, namun akan terdengar kabur jika diucapkan dengan suara. Karena itu, Derrida mengibaratkan

differance laiknya sebuah “kuburan”, yang menandai kematian

fonosentrisme atau kedudukan phone dalam bahasa.33

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai konsep

differance, berikut ada empat definisi yang menjelaskan hal tersebut. Pertama, differance adalah sebuah gerakan (aktif atau pasif) yang terdiri dari penundaan, keran penundaan, putusan, penundaan hukuman,

(47)

26

penyimpangan, penangguhan, dan penyimpanan. Artinya, differance tidak didahului oleh satuan yang asli dan individual dari kemungkinan dan atau kemungkinan hadir yang ditempatkan pada penyimpanan. Kehadiran dinyatakan atau diinginkan dalam sifat representatif, tanda, atau jejaknya. Dalam hal ini, differance merupakan penundaan atau penangguhan, namun masih tetap tanpa ekstase waktu.34

Kedua, gerakan differance adalah akar umum dari semua pertentangan konsep-konsep di dalam bahasa. Dalam hal ini, differance tetap merupakan unsur yang sama, yang menimbulkan pertentangan atau perlawanan tersebut. Ketiga, differance yang menghasilkan perbedaan adalah syarat dari semua makna dan struktur. Perbedaan-perbedaan yang dihasilkan tersebut merupakan akibat dari adanya differance itu sendiri. Perbedaan-perbedaan tersebut ada secara nyata, bukan khayalan. Oleh karena itu, konsep differance bukanlah sebuah konsep yang hanya sederhana. Keempat, differance adalah berbeda secara khusus, namun perbedaan tersebut benar-benar ada dan tampak secara ontologis. Dalam arti ini, differance dan dekonstruksi sering terlihat sama. Dekonstruksi membatalkan ekspreksi ganda seperti dalam ucapan atau penulisan.35

Derrida mengakui bahwa differance sama sekali bukanlah kata-kata atau konsep, karena kata-kata-kata-kata atau konsep selalu menunjuk pada referens yang tetap. Karena itu, differance tidak memiliki eksistensi atau esensi, dan tidak dapat dikategorikan ke dalam satu bentuk kehadiran atau absensi. Differance hanyalah strategi untuk memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang implisit sekaligus menyodorkan tantangan

terhadap totalitas makna dalam teks. Sebagai sebuah strategi, differance dapat ditemukan dalam setiap sistem pemikiran, institusi penafsiran,

sejarah, atau apa pun yang berupaya membakukan makna, memberi tafsiran tunggal terhadap realitas, atau menghadirkan satu model

pembacaan atas segala sesuatu. Semua ini, bagi Derrida, adalah “teks”.

(48)

27

Dan sejauh dipahami sebagai teks, maka sejauh itu pula ia terbuka untuk dibaca, dibongkar, dan ditafsirkan ulang secara tak berhingga.36

Menurut Sugiharto, strategi dekonstruksi Derrida terdiri dari beberapa langkah. Pertama, mengidentifikasi hirerarki oposisi dalam teks di mana biasanya lantas terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematik. Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik, misalnya dengan

menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang berlawanan itu, atau dengan mengusulkan priviese secara terbalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama.37

Sejarah metafisika Barat, menurut Derrida, hidup dari pengalaman dan budaya yang dibentuk oleh tulisan fonetik, yaitu konsep tulisan yang memprioritaskan phone dan mengandaikan bahwa sang penutur hadir di dalam teks yang ditulisnya. Tulisan fonetik ini, dalam linguistik Saussure, sebenarnya merupakan derivasi dari wicara dalam bentuknya yang konkret. Dengan kata lain, tulisan fonetik menerjemahkan kehadiran di dalam teks. Kata-kata yang ditulis dianggap mewakili suara penutur, sehingga tulisan menjadi abstraksi dari suara yang dapat didengar langsung dari mulut penutur. Dalam tulisan fonetik, apa pun yang ditulis dianggap representasi dari suara dan kehadiran penulis.38

To pave the way for another key move in his argument, Derrida

contends that logocentrism prioritises speech (phone) over writing

(gramme) as the original or privileged means by which the presence of

the logos is expressed.39 (Untuk memberikan jalan bagi perpindahan kunci yang lain pada pendapatnya, Derrida melawan logosentrisme

36 Muhammad Al-Fayyadl, Derrida..., hlm. 111.

37 I Bambang Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, (Yogyakarta:

Kanisius, 1996), hlm. 45-46.

38 Muhammad Al-Fayyadl, Derrida..., hlm. 112-113.

39 Arthur Bradley, Derrida’s Of Grammatology:An Edinburgh Philosophical Guide,

Gambar

Tabel 1.1 Proses Dekonstruksi
Gambar 1.1 Proses Dekonstruksi Mitos Kanjeng Ratu Kidul

Referensi

Dokumen terkait