• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Intervensi Amerika Serikat ter

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kebijakan Intervensi Amerika Serikat ter"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN INTERVENSI AMERIKA SERIKAT TERHADAP

KUBU LOYALIS QADDAFI PADA MASA PERANG SIPIL

LIBYA 2011

Untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Analisa Politik Luar

Negeri

Dosen pengampu : Achmad Fathoni Kurniawan, S.IP, MA.

Disusun oleh :

Safira Nur Muchlisina (135120401111021)

HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Politik luar negeri merupakan salah satu bidang kajian studi Hubungan Internasional. Politik Luar Negeri merupakan suatu studi yang kompleks karena tidak saja melibatkan aspek-aspek eksternal akan tetapi juga aspek-aspek internal suatu negara.1 Dalam

mempelajari ha tersebut, pengertian dasar yang harus kita ketahui bahwa politik luar negeri adalah“action theory”, atau kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan kepada negara lain untuk mencapai kepentingan tertentu. Secara pengertian umum, politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional. Suatu komitmen yang pada dasarnya merupakan strategi dadar untuk mencapai suatu tujuan baik dalam konteks dalam negeri dan luar negeri serta sekaligus menentukan keterlibatan suatu negara di dalam isu-isu internasional atau lingkungan sekitarnya. 2

Sedangkan kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.3

Howard Lentner mengklasifikasikan faktor-faktor dalam pengambilan suatu kebijakan luar negeri ke dalam dua kelompok, yaitu determinan luar negeri dan determinan domestik.4

Determinan luar negeri mengacu pada keadaan sistem internasional dan situasi pada suatu waktu tertentu. Sistem internasional didefinisikan sebagai pola interaksi diantara negara-negara yang terbentuk/dibentuk oleh struktur interaksi diantara pelaku-pelaku yang paling kuat (most powerful actors). Sistem internasional setelah periode Perang Dunia II yang dikenal sebagai bipolaritas (dua kutub) adalah contoh dari sistem

1 James N.Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An Introduction. New

York: The Free Press, hal. 15.

2 Yanyan Mochamad Yani. 2000. Politik Luar Negeri. Bandung : Unpad hal. 1.

3 Jack C. Plano dan Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Bandung: Abardin, hal. 5.

4 Howard Lentner. 1974. Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach. Ohio: Bill

(3)

internasional yang pernah berlaku dalam politik global. Sedangkan konsep situasi diartikan sebagai pola-pola interaksi yang tidak tercakup/ mencakup keseluruhan sistem internasional. Sebagai contoh pola hubungan diantara negara-negara di Asia Tenggara yang terlibat dalam ASEAN akan dibahas sebagai suatu situasi.5

Determinan domestik menunjuk pada keadaaan di dalam negeri yang terbagi ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu untuk berubah, yaitu:

Highly stable determinants; terdiri atas luas geografi, lokasi, bentuk daratan, iklim, populasi, serta sumber daya alam.

Moderately stable determinants; terdiri atas budaya politik, gaya politik, kepemimpinan politik, dan proses politik.

Unstable determinants; yaitu sikap dan persepsi jangka panjang serta faktor-faktor ketidaksengajaan6

Jika dilihat melalui asumsi Howard Lentner dalam memandang tema pembahasan yang diambil oleh penulis, makalah ini lebih cenderung mengambil asumsi determinan luar negeri karena Amerika Serikat sebagai most powerful actors tidak ingin mengalami kekurangan pasokan energi minyak dan gas dunia bagi kepentingan negaranya. Disini sangat terlihat sekali bagaimana Amerika Serikat begitu memperjuangkan Libya sebagai negara yang memiliki peranan amat penting bagi keamanan dunia, karena di sisi lain Amerika Serikat juga sangat bergantung kepada Libya atas sumber daya alam yang Libya miliki. Kepentingan Amerika Serikat untuk tetap mempertahankan Libya sebagai negara yang menjadi salah satu pondasi pertahanan Amerika direalisasikan melalui kebijakan “Humanitarian Intervention” dengan alasan pemerintahan Qaddafi yang sudah melebihi batas dalam melakukan kejahatan terhadap warga sipil Libya yang mana perang ini disebut Perang Sipil Libya. Perang Sipil Libya ini terjadi karena pemerintahan Qaddafi selama 41 tahun dianggap tidak bisa mengayomi dan mensejahterakan warga sipil Libya, malah justru hanya memberikan kerugian bagi rakyatnya dan seluruh keuntungan negara masuk ke dalam pundi-pundi Pemerintah Qaddafi sendiri. Dari kecurangan-kecurangan Qaddafi inilah, memunculkan kaum pemberontak yang ingin menggulingkan pemerintahan Qaddafi dan mereka menyebut dirinya sebagai National Transition Council (NTC).

Adanya serangan pemerintah Qaddafi terhadap warga sipil yang tidak bersenjata tersebut dinilai sebagai bentuk kejahatan atas kemanusiaan. PBB pun mengeluarkan resolusi 1973 yang mengizinkan negara anggota PBB untuk menjalankan langkah apapun yang diperlukan dalam upaya melindungi warga sipil di Libya dari kekerasan

(4)

pasukan pemerintah Qaddafi (Azra, 2011). Humanitarian intervention yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Libya sangat menekankan norma Responsibility to Protect

(RtoP) yang dikaitkan dengan pelanggaran HAM dan kejahatan-kejahatan yang terjadi selama kepemimpinan Qaddafi.7 Selain itu, Amerika Serikat menggunakan strategi

intervensi militer di Libya dengan dalih kemanusiaan, yakni Operation Odyssey Dawn.8 1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Model Kepemimpinan Qaddafi sehingga terjadi Perang Sipil Libya pada tahun 2011?

2. Bagaimana Kebijakan “Humanitarian Intervention” dan “Operation Odyssey Dawn”

Amerika Serikat mempengaruhi Libya pada masa kepemimpinan Qaddafi?

3. Bagaimana teori Leadership memandang Pemerintahan Qaddafi menjadi penyebab Perang Sipil Libya pada tahun 2011?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui sejarah terjadinya Perang Sipil Libya pada tahun 2011.

2. Untuk mengetahui Intervensi Amerika Serikat terhadap Perang Sipil Libya pada tahun 2011.

3. Untuk mengetahui pemahaman tentang kebijakan Humanitarian Intervention dan

Operation Odyssey Dawn Amerika Serikat terhadap pemerintahan Qaddafi.

4. Untuk mengetahui bagaimana teori Leadership memandang Pemerintahan Qaddafi yang menjadi penyebab Perang Sipil Libya pada tahun 2011.

1.4 Manfaat

1. Sebagai sarana informasi mengenai Politik Luar Negeri dan Kebijakan Luar Negeri. 2. Sebagai sarana untuk mengetahui sejarah terjadinya Perang Sipil Libya pada tahun

2011.

3. Sebagai sarana untuk mengetahui intervensi Amerika Serikat terhadap Perang Sipil Libya pada tahun 2011.

4. Sebagai sarana untuk mengetahui pemahaman tentang kebijakan Humanitarian Intervention dan Operation Odyssey Dawn Amerika Serikat terhadap pemerintahan Qaddafi.

5. Sebagai sarana untuk mengetahui bagaimana teori Leadership memandang Pemerintahan Qaddafi yang menjadi penyebab Perang Sipil Libya pada tahun 2011. 6. Sebagai sarana untuk para pembaca agar lebih kritis dan solutif dalam memandang

kebijakan luar negeri yang dikeluarkan suatu negara.

7 Andriana AF. 2014. “Kebijakan Luar Negeri AS terkait Intervensi di Libya”. Diakses melalui http://andraina_af-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-116702-Perbandingan

%20Politik%20Luar%20Negeri.html pada tanggal 3 Januari 2014

(5)
(6)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Perang Sipil Libya 2011

Sejak Kolonel Muammar Al-Qaddafi (atau Gaddafi) naik menjadi pemimpin baru Libya di tahun 1969 lewat kudeta yang juga mengakhiri era kerajaan, Libya menjadi salah satu negara Timur Tengah yang kondisi sosial politiknya amat tertutup. Sebagai gambaran singkat, rakyat Libya dilarang mengkritik kinerja pemerintah Libya & dilarang mendirikan partai politik. Qaddafi juga mendesain sistem perpolitikan Libya sedemikian rupa sehingga ia tetap memiliki kekuatan untuk mempengaruhi aneka kebijakan dari pemimpin berkuasa Libya kendati secara konstitusional, Qaddafi tidak lagi menjadi pemimpin tertinggi dari negara berbendera hijau tersebut. Di luar negeri, Qaddafi dikenal kerap menjalankan aneka kebijakan yang kontroversial dengan dalih menyokong revolusi di luar negeri. Sebagai contoh, secara tidak langsung ia ikut mengobarkan konflik-konflik di negara lain dengan cara mendanai & melatih aneka kelompok pemberontak seperti IRA (Irlandia Utara), Brigade Merah (Jerman), FARC (Kolombia), serta MILF (Filipina). Libya juga beberapa kali mengirimkan agen rahasianya ke luar negeri untuk melakukan aksi-aksi pemboman di tanah Eropa & membunuh para perantauan Libya yang mengkritik rezim Qaddafi. Sebagai akibatnya, Libya pun dimusuhi oleh negara-negara Barat. AS bahkan bertindak lebih jauh dengan melancarkan serangan udara ke Libya pada tahun 1986, namun serangan tersebut gagal membunuh Qaddafi.9

Seperti yang dipaparkan diatas tentang track record Qaddafi dan pemerintahannya dalam memimpin Libya begitu sangat menyiksa warga sipil Libya. Qaddafi justru tidak mengedepankan kemauan rakyatnya, tidak mensejahterakan rakyatnya, pendapatan negara yang seharusnya diperuntukkan warga sipil Libya malah masuk ke dalam pundi-pundi Qaddafi, keluarga dan kerabat dekatnya. Selain dalam bidang ekonomi, warga sipil Libya pun dalam berpendapat sangat dibatasi oleh pemerintahan Qaddafi.

Model pemerintahan Qaddafi yang seperti ini justru membuat kondisi Libya memburuk. Mulai munculnya gerakan pemberontak yang ingin menggulingkan pemerintahan

(7)

Qaddafi, yang telah memerintah selama 41 tahun dan membatasi seluruh hak berpendapat para warga sipil sehingga Qaddafi bisa melanggengkan kekuasaannya dalam memimpin Libya sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Gerakan pemberontak ini menamakan dirinya sebagai National Transition Council (NTC). Dengan adanya gerakan ini membuat Libya menjadi krisis politik dan terbelah menjadi dua kubu yang saling berseteru yaitu kubu loyalis Qaddafi dan kubu oposisi yang dimobilisasi oleh NTC. Kedua kubu ini memiliki kepentingan yang berbeda, di satu sisi kubu loyalis Qaddafi ingin tetap melanggengkan kekuasaannya dalam memerintah Libya, sementara kubu NTC menginginkan Qaddafi turun dari jabatannya. Kubu NTC pun mengklaim bahwa dirinya adalah badan pemerintahan yang berdaulat di Libya. Kemunculan NTC sekaligus membuka fase baru dalam konflik sipil di Libya dari yang awalnya hanya sebatas kerusuhan sipil menjadi perang berskala nasional.

Sejak tanggal 15 Februari 2011, timbul aksi demonstrasi di sejumlah kota di Libya seperti di Benghazi, Bayda, & Zintan menuntut mundurnya Qaddafi. Dalam aksi demonstrasi di kota-kota tertentu semisal Bayda, para demonstran juga dilaporkan melakukan aneka tindakan vandalisme seperti penyerangan & pembakaran gedung-gedung perkantoran milik pemerintah.10 Tidak hanya berhenti sampai disitu saja, kubu NTC juga semakin terus-menerus

menentang pemerintahan Qaddafi. Aksi-aksi yang mereka lakukan semakin lama semakin membesar dan mengkhawatirkan. Pemerintah pun tidak mau kalah garang dengan kubu pemberontak. Sejak tanggal 21 Februari pesawat tempur sampai dikerahkan untuk membombardir para demonstran di Tripoli, ibukota Libya. Tak hanya itu, pemerintah Libya juga mematikan sambungan telepon di seantero Libya untuk memblokir informasi yang keluar masuk Libya. 11 Kemudian semakin hari semakin banyak warga sipil yang tidak

berdosa menjadi korban dalam peperangan ini.Kondisi Libya semakin mengkhawatirkan dan memburuk. Perang ini terus berlanjut, kedua kubu yaitu kubu loyalis Qaddafi dan kubu NTC terus menyerang satu sama lain, terus berebut daerah kekuasaan di seluruh Libya, mulai dari kota-kota kecil hingga kota-kota terbesar dan menguntungkan bagi Libya. Ketika kubu NTC bisa menguasai daerah timur Libya, kubu loyalis Qaddafi berusaha merebut daerah barat Libya dan hal ini terus-menerus terjadi hingga pada akhirnya, kubu loyalis Qaddafi nyaris membuat kubu NTC babak belur karena berhasil menguasai daerah-daerah yang mana sebelumnya diblokade oleh kubu NTC. Dari segi kemiliteran memang kubu loyalis Qaddafi lebih kuat karena memiliki senjata-senjata negara untuk digunakan dalam berperang. Tetapi, intervensi dari pihak luar negara Libya mulai memasuki wilayah Libya, pihak eksternal ini

(8)

berusaha untuk menyerang kubu loyalis Qaddafi yang mana sebagai pemerintahan suatu negara, pemerintahan Qaddafi dianggap buruk karena menjadi salah satu pihak yang bertikai, tidak mampu menengahi atau menahan dirinya. Selain itu, apa yang dilakukan pemerintahan Qaddafi dirasa sudah sangat keterlaluan, karena diperkirakan korban jiwa yang tewas sebanyak 1.000-4.000 korban jiwa.12

Pada 20 Oktober 201113, kubu NTC berhasil menguasai kota Sirte sepenuhnya dan

beberapa kota besar lainnya atas bantuan pihak eksternal juga seperti NATO (AS), Inggris, Perancis. Qaddafi dalam pengawalan kubu loyalisnya berusaha melarikan diri dari kota tersebut tetapi gagal karena berhasil diendus oleh pesawat NATO yang kemudian melancarkan serangan ke arah mereka tetapi Qaddafi berhasil kabur dan masuk ke dalam gorong-gorong, namun ia akhirnya berhasil ditemukan & diseret keluar oleh sejumlah anggota pemberontak. Pada saat inilah, Qaddafi yang saat itu dikepung oleh orang-orang yang menangkapnya tewas ditembak di bagian kepala. Mayatnya lalu dibawa & "dipamerkan" di sebuah toko daging di kota Misrata. Dengan tewasnya Qaddafi, maka perang sipil di Libya yang sudah berlangsung selama 9 bulan pun oleh pihak NTC dinyatakan berakhir. Berakhirnya perang sipil di Libya lantas diikuti dengan keputusan NATO untuk menghentikan seluruh operasi militernya di Libya pada akhir bulan Oktober 2011.

2.2 Kebijakan Amerika Serikat kepada Pemerintahan Qaddafi

Ketika masa Perang Sipil Libya pada tahun 2011 lalu, terdapat intervensi dari pihak luar yang turut memberikan kontribusinya kepada Libya dengan berbagai cara. Contohnya saja, negara super power Amerika Serikat. Amerika Serikat memberikan kontribusinya dengan memberikan 2 kebijakan luar negerinya bagi Libya.

Pertama adalah kebijakan “Humanitarian Intervention”. Menanggapi krisis Libya tersebut, Amerika Serikat yang dipimpin oleh Presiden Barrack Obama menyusun strategi, yakni menggunakan kekuatan militer sebagai last resort dan berkoalisi dengan pihak yang lebih luas, serta mendapat legitimasi dari Dewan Keamanan PBB (Patrick, 2011). Dengan strategi tersebut, Amerika Serikat memiliki tujuan jangka pendek yakni untuk menghentikan kejahatan yang dilakukan oleh Muammar Qaddafi terhadap rakyat sipil Libya, serta tujuan jangka panjang untuk melengserkan Qaddafi dari kepememimpinan di Libya. Amerika

12 Republik Eusosialis Tawon. 2012. “Perang Sipil Libya yang Mengakhiri Rezim panjang Qadhafi”. Diakses melalui http://republik-tawon.blogspot.com/2012/02/perang-sipil-libya-yang-mengakhiri.html pada tanggal 3 Januari 2014

(9)

Serikat pun berhasil mencapai kedua tujuan tersebut melalui kebijakan humanitarian intervention. Humanitarian intervention yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Libya sangat menekankan norma Responsibility to Protect (RtoP) yang dikaitkan dengan pelanggaran HAM dan kejahatan-kejahatan yang terjadi selama kepemimpinan Qadhafi. Kemudian pada 4 Agustus 2011, pemerintahan Obama mengeluarkan Presidential Study Directive on Mass Atrocities (PSD-10). PSD-10 mendefinisikan mass atrocities sebagai inti kepentingan akan keamanan nasional dan inti tanggung jawab moral dari Amerika Serikat. PSD-10 ini mencakup beberapa tindakan dalam menghadapi mass atrocities seperti tidak bertindak sama sekali, diplomasi preventif, sanksi ekonomi dan finansial, embargo senjata dan tindakan pemaksaan (Patrick, 2011).

Kedua adalah kebijakan “Operation Odyssey Dawn” yang merupakan strategi intervensi militer Amerika Serikat di Libya dengan dalih kemanusiaan. Operasi militer ini dilaksanakan sebagai bentuk enforcement dari resolusi PBB 1973, yang diadopsi pada 17 Maret 2011, yakni Bab VII dari Piagam PBB yang mengesahkan penggunaan kekuatan militer, termasuk penegakan aturan no-fly zone and untuk melindungi rakyat sipil di Libya. Operasi militer AS di Libya juga disebut dengan Operation Odyssey Dawn (OOD) yang didefinisikan oleh James G. Foggo dan Michael Beer (2013: 92) sebagai respon yang dikeluarkan oleh AS atas Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973 yang menyerukan adanya pembentukan sebuah no-fly zone di atas Libya dan perlindungan warga sipil dari ancaman dan kekrasan yang dilakukan oleh militer yang digerakan oleh rezim Qaddafi. OOD ini secara bertahap mengintegrasikan lebih banyak elemen dari intervensi militer multinasional dalam menanggapi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973. Sehingga pada perkembanganya semakin banyak negara yang tergabung dalam operasi ini, namun meskipun begitu operasi ini masih dianggap operasi militer AS semata, mengingat AS menjadi komando utamanya. Kelemahan dari Operation Odyssey Dawn (OOD) ini dijelaskan oleh Quartararo et al. (n.d: 145) sebagai: “U.S. solo intervention in Libya could be perceived by some in the Muslim world community as another U.S. attack on Islam. Hal ini mengingat AS disini dianggap oleh dunia internasional sebagai satu-satunya aktor dalam operasi yang dijalankanya tersebut.

(10)

termasuk di Benghazi; (3) resolusi khusus tidak termasuk pembentukan pendudukan kekuatan asing dalam bentuk apapun di seluruh bagian wilayah Libya; (4) menyerukan negara-negara anggota Liga Arab untuk bekerjasama dalam implementasi resolusi PBB ini; (5) memberi otoritas pembentukan no-fly zone di wilayah udara Libya, namun tidak termasuk larangan penerbangan dengan tujuan bantuan kemanusiaan dan evakuasi warga negara asing (Taylor & Smith, 2011). Sistem kerja dari Operation Odyssey Dawn sendiri menurut Gretler (2011: 11) adalah “operations in Operation Odyssey Dawn included strikes on “mechanized forces, artillery...those mobile surface-to-air missile sites, interdicting their lines of communications which supply their beans and their bullets, their command and control and any opportunities for sustainment of that activity” when forces were “attacking civilian populations and cities.

Dua kebijakan ini diaplikasikan di Libya pada masa Perang Sipil Libya. Amerika Serikat melakukan ini bukan semata-mata karena ingin membantu tetapi Amerika Serikat juga memiliki kepentingan di dalamnya. Libya merupakan negara pemasok energi minyak dan gas dunia yang cukup besar. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang bergantung pada minyak dan gas Libya. Semenjak, Qaddafi memimpin Libya dan pemerintahan Qaddafi membuat Libya menjadi negara yang tertutup serta membatasi hak warga sipilnya untuk berpendapat. Hal ini tentu membuat Amerika Serikat menjadi kesusahan, karena pada pemerintahan Libya sebelum Qaddafi, hubungan Amerika Serikat dengan Libya terbilang berjalan dengan baik, AS bisa membawa kepentingan operasional pangkalan militer dan kepentingan minyak di Libya. Namun, semenjak Qaddafi berhasil menggulingkan pemerintahan sebelumnya dan dipegang oleh rezim Qaddafi pada tahun 1969, hubungan Amerika Serikat dan Libya semakin memburuk. Rezim Qaddafi pun dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan-kepentingan Amerika Serikat tersebut, sehingga concern

pembuatan kebijakan luar negeri Amerika Serikat didominasi oleh isu-isu terkait Libya.14

2.3 Teori Leadership

Berdasarkan catatan perkuliahan yang diberikan oleh salah satu dosen FISIP, Universitas Brawijaya (Achmad Fathoni, 2014). Seorang Leader atau pemimpin memang sosok yang paling menonjol dalam suatu kebijakan. Namun, pemimpin tersebut sejatinya

14 Andriana AF. 2014. “Kebijakan Luar Negeri AS terkait Intervensi di Libya”. Diakses melalui http://andraina_af-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-116702-Perbandingan

(11)

1 2 3

memiliki bawahan-bawahan seperti menteri yang telah membuat kebijakan terlebih dahulu secara signifikan, akan lebih baik jika seorang pemimpin memiliki rekan bawahan yang selaras pemikirannya. Seorang pemimpin juga merupakan penanggung jawab sebuah organisasi dan kebijakan. Negara adalah bagian dari organisasi. Pada dasarnya, seorang

leader tidak dapat berdiri-sendiri, dia pasti membutuhkan bantuan dan nasehat dari para advisornya. Dalam teori ini, advisor dibagi menjadi 3 dalam Ice Berg Theory, antara lain ;

a. Eksekutif

Keterangan pada level eksekutif :

1.Formalistik yaitu melihat kedudukan pemimpin tersebut seperti apa. Misal, pada sistem parlementer, yang memiliki andil besar dalam kebijakan bukan presiden melainkan seorang perdana menteri.

2.Kompetitif yaitu mengatakan sistem itu tumpang tindih sehingga semua memiliki hak untuk membuat kebijakan atau mengusulkan kebijakan. Memungkinkan terjadinya konflik karena adanya persaingan.

3.Kolega yaitu memiliki interpersonal relations dengan salah satu orang eksekutif karena hubungan kekerabatan atau lainnya.

b. Birokrasi

Keterangan pada level birokrasi :

1.Rational Model yaitu harus memiliki pemahaman dalam mencari kebijakan yang bersifat rasional.

2.Organizational Model yaitu ciri utamanya struktur. Jika ada anggota maka akan dapat membuat tujuan, biasa disebut dengan Operasional Prosedur/Aturan.

3. Bureaucracy Approach yaitu adanya tarik-menarik kepentingan (political bargaining) karena setiap birokrat yang ada adalah orang-orang yang ahli pada bidangnya.

c. Small Group

Keterangan pada level small group :

1. Think Tank yaitu wadah bagi para pemikir (non-eksekutif, birokrat, profesional) untuk membahas isu sampai muncul rekomendasi dan diserahkan pada eksekutif karena para pemikir tersebut tidak memiliki kewenangan.

2. Command Centre yaitu mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang ada dan bagaimana cara untuk menyampaikan aspirasi masyarakat.

(12)

2.3 Analisa

Terjadinya Perang Sipil Libya 2011 yang disebabkan karena adanya kelompok pemberontak yang ingin menggulingkan Qaddafi selaku kepala pemerintahan Libya, yang mana selama menjabat sebagai kepala pemerintahan, Qaddafi dianggap tidak mementingkan kepentingan rakyat Libya, malah pendapatan negara yang sejatinya merupakan wewenang bagi kesejahteraan rakyat Libya justru disalahgunakan pada pemerintahn Qaddafi, selain itu Qaddafi selalu terus-menerus berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan cara membuat Libya menjadi negara yang tertutup.

Dalam hal ini, penulis mencoba menganalisis fenomena ini dengan Teori Leadership Small Group – Command Centre yang mana, para rakyat mulai berani menyuarakan pendapatnya terhadap pemimpin negara yaitu Qaddafi. Melalui Command Centre, rakyat mulai melakukan aksi demonstrasi terhadap pemerintahan Qaddafi namun pemerintah yang ada justru tidak mau mendengar keinginin para rakyatnya. Sehingga karena “pengabaian” yang terjadi, rakyat mulai membentuk kubu penentang Qaddafi yang berusaha mengakomodasi kepentingan rakyat yaitu melalui National Transition Council (NTC). NTC sendiri beranggotakan kubu oposisi Qaddafi, aparat Qadaffi yang kemudian berbalik menentang pemimpinnya dan rakyat anti-Qaddafi.

Kemudian apabila dilihat dalam kacamata Teori Leadership – Birokrasi. Fenomena tersebut termasuk dalam Bureaucracy Approach karena adanya tarik-menarik kepentingan antara kubu loyalis Qaddafi dan kubu NTC yang mana keduanya memiliki kepentingan yang sama untuk mengambil alih kepemimpinan Libya.

(13)

Sedangkan apabila intervensi AS dilihat melalui kacamata Teori Leadership – Birokrasi. Fenomena tersebut dikategorikan ke dalam Rational Model karena AS dalam hal ini berusaha menjaga hubungan baik dengan Libya karena AS membutuhkan pasokan minyak dari Libya sehingga dalam keadaan krisis karena peperangan tersebut, Libya pasti membutuhkan bantuan dari negara lain untuk bisa kembali memperbaiki fasilitas yang ada, mengatasi kerugian yang diakibatkan pasca perang, membangun kembali infrastruktur Libya yang rusak pasca perang. Dalam hal ini, pilihan yang diambil AS sangatlah rasional agar Libya tetap memberikan kepercayaan terhadap AS jika Libya sudah mulai kembali bangkit dari keterpurukannya.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Melalui pembahasan pada makalah ini, dapat ditarik beberapa poin penting yang bisa menjadi kesimpulan, antara lain :

(14)

melanggengkan kekuasaannya dalam memimpin Libya sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Dengan adanya gerakan ini membuat Libya menjadi krisis politik dan terbelah menjadi dua kubu yang saling berseteru yaitu kubu loyalis Qaddafi dan kubu oposisi yang dimobilisasi oleh NTC. Kedua kubu ini memiliki kepentingan yang berbeda, di satu sisi kubu loyalis Qaddafi ingin tetap melanggengkan kekuasaannya dalam memerintah Libya, sementara kubu NTC menginginkan Qaddafi turun dari jabatannya. Kubu NTC pun mengklaim bahwa dirinya adalah badan pemerintahan yang berdaulat di Libya. Kemunculan NTC sekaligus membuka fase baru dalam konflik sipil di Libya dari yang awalnya hanya sebatas kerusuhan sipil menjadi perang berskala nasional.

2. AS melakukan intervensi pada Perang Sipil Libya yang terjadi pada tahun 2011 dengan mengeluarkan dua kebijakan, yaitu :

a. Humanitarian Intervention

Kebijakan ini menekankan pada norma Responsibility to Protect (RtoP) yang dikaitkan dengan pelanggaran HAM dan kejahatan-kejahatan yang terjadi selama kepemimpinan Qaddafi. Selain itu, AS juga mengeluarkan PSD-10 sebagai aplikasi kebijakan tersebut.

b. Operation Odyssey Dawn

Kebijakan ini merupakan strategi intervensi militer Amerika Serikat di Libya dengan dalih kemanusiaan. Kebijakan ini sebagai respon yang dikeluarkan oleh AS atas Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973 yang menyerukan adanya pembentukan sebuah no-fly zone di atas Libya dan perlindungan warga sipil dari ancaman dan kekrasan yang dilakukan oleh militer yang digerakan oleh rezim Qaddafi.

3. Kronologi terjadinya Perang Sipil Libya dianalisis melalui Teori Leadership : Small Group – Command Centre dan Birokrasi : Bureaucracy Approach. Sedangkan intervensi AS dalam Perang Sipil Libya dianalisis melalui Teori Leadership :

Eksekutif – Formalistik dan Birokrasi : Rational Model.

(15)

Setelah intervensi-intervensi positif yang dilakukan oleh Amerika Serikat diharapkan ketika Libya sudah bisa bangun dari keterpurukannya untuk berhati-hati terhadap Amerika Serikat karena keputusan Amerika Serikat untuk melakukan intervensi dan operasi militer di Libya tidak terlepas dari situasi domestik dan internasional, yakni adanya krisis politik di wilayah Timur Tengah yang menjadi ancaman bagi Amerika Serikat dalam mencapai kepentingan-kepentingannya disana. Kepentingan Amerika Serikat adalah untuk menguasai sumber cadangan minyak yang dimiliki oleh Libya yang notabene Libya merupakan negara yang memiliki sumber cadangan minyak terbesar ketiga di dunia. Sehingga apabila Amerika Serikat mampu menguasai Libya, Amerika akan mendapatkan legitimasi internasional karena telah membantu pelaksanaan resolusi PBB 1973, serta menanamkan kekuatan dan pengaruhnya di Libya untuk mendapatkan akses penguasaan sumber daya minyak di Libya dengan menumbangkan rezim Qaddafi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Lentner, Howard. 1974. Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach. Ohio: Bill and Howell Co

Plano, Jack C. & Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Bandung: Abardin

Rosenau, James N, etc. 1976. World Politics: An Introduction. New York: The Free Press

(16)

Andriana AF. 2014. “Kebijakan Luar Negeri AS terkait Intervensi di Libya”. Diakses melalui http://andraina_af-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-116702-Perbandingan %20Politik%20Luar%20Negeri.html pada tanggal 3 Januari 2014

Azra, A, 2011. “Anatomi Krisis Libya, Yaman, Bahrain” [online]. dalam

http://internasional.kompas.com/read/2011/02/25/03120395/Anatomi.Krisis.Libya.Yaman.Ba hrain [diakses pada 7 Januari 2015].

Foggo, James G. Dan Beer, Michael. 2013. “The New Operational Paradigm: Operation Odyssey Dawn and The Maritime Operation Center” [pdf]. dalam

http://ndupress.ndu.edu/Portals/68/Documents/jfq/jfq-70/JFQ-70_91-93_Foggo-Beer.pdf

[diunduh pada 7 Januari 2015].

Gertler, Jeremiah, 2011. “Operation Odyssey Dawn (Libya): Background and Issues for Congress” [pdf]. dalam http://fas.org/sgp/crs/natsec/R41725.pdf [diunduh pada 25 November 2014].

Patrick, S, 2011. “Libya and the Future f Humanitarian Intervention” [online]. dalam

http://www.foreignaffairs.com/articles/68233/stewart-patrick/libya-and-the-future-of-humanitarian-intervention?page=2 [diakses pada 7 Januari 2015].

Quartararo, Joe et all. N.d. “Libya’s Operation Odyssey Dawn Command and Control” [pdf]. Dalam http://cco.dodlive.mil/files/2014/02/prism141-156_quartararo-all.pdf. [diunduh pada 7 Januari 2015].

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, hasil pembahasan yang di deskripsikan diatas lewat penelitian kualitatif dengan pendekatan triangulasi maka terkait

margin yang lebih tinggi dengan menerapkan harga premium dan mengurangi ketergantungan pada promosi, sehingga dapat diperoleh laba yang lebih tinggi. Brand

Penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik umur responden yang mengalami cedera akibat kecelakaan sepeda motor mayoritas terjadi pada kelompok umur <45 tahun dan juga

Menggali tanda-tanda estetik yang mungkin untuk dihadirkan dalam penciptaan seni keramik dengan tema perempuan pada momen identifikasi diri dengan bantuan Teori

Karyawan atau satuan staf tidak secara langsung terlibat dalam kegiatan utama organisasi.. Perbedaan penting antara personel lini dan personel staf adalah otoritas.Ada dua tipe

Wortel merupakan salah satu jenis sayuran yang sangat baik bagi kesehatan mata karena wortel mengandung beta-karoten, yang mana beta-karoten tersebut akan diubah oleh tubuh

Oogenesis hanya dapat menghasilkan satu sel telur matang dalam sekali waktu, berbeda dengan spermatogenesis yang menghasilkan satu sel telur matang dalam sekali waktu, berbeda

ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki,