• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intelektual and Ulama vis a vis Penguasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Intelektual and Ulama vis a vis Penguasa"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

I

NTELEKTUAL DAN

U

LAMA

VIS-À-VIS

P

ENGUASA

Syamsuddin Arif

Dosen Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor

M

ereka bangun tatkala orang lain

tertidur. Berdiri tegar ketika orang lain tertunduk. Bersuara padahal orang lain terdiam, dan awas di saat orang lain terlena. Begitulah intelektual. Melawan walau orang lain menyerah. Menyanggah meski orang lain mengalah. Berani menggebrak dan mendobrak tirani. Mampu mengubah dan menggugah nurani. Namun, siapakah intelektual itu? Apakah mereka sama dengan ulama? Jika jawabannya negatif, dimanakah letak perbedaan antara intelektual dan ulama? Mengapa masyarakat memerlukan mereka? Bagaimana sikap mereka terhadap penguasa? Pertanyaan-pertanyaan ini penting dikemukakan mengingat pengaruh golongan ini sebagai kekuatan moral yang mesti diperhitungkan. Bagian pertama dari tulisan ini akan mengulas asal-usul intelektual dan perannya di masyarakat Barat, sedangkan bagian kedua tulisan ini akan membahas definisi dan misi ulama sebagai penerus para nabi serta posisi dan relasi mereka dengan penguasa secara

normatif maupun historis.

Asal-usul Intelektual

Alkisah, pada 1898, seorang perwira keturunan Yahudi bernama Albert Dreyfus dipecat dari dinas ketentaraan Perancis. Ia dicurigai menjadi agen mata-mata asing. Masyarakat gempar, dan kaum menengah negeri itu pun terbelah dua. Kelompok pembelanya mengutuk para penuduh Dreyfus itu anti-semit dan rasis, manakala lawan-lawannya menjuluki

para pembela si tertuduh sebagai les intellectuels.1

Konon dari sinilah asal-muasal konotasi negatif

1 Kelompok anti-Dreyfus dimotori Maurice Barrès dan

Ferdinand Brunetière, manakala pembelanya diwakili oleh Emile Zola, Emile Durkheim dan Anatole France. Ulasan mengenai kasus Dreyfus dan dampaknya di kalangan cendekiawan Perancis dapat dilihat di J.-D. Bredin, The Affair: the Case of Albert Dreyfus (New York: Braziller, 1986) dan Pascal Ory dan Jean-François Sirinelli, Les Intellectuels en France de l’affaire Dreyfus à nos jours (Paris: Armand Colin, 1986); cf. Pascal Ory, “Qu’est-ce qu’un intellectuel?” dalam Dernières questions aux intellectuels, ed. Pascal Ory (Paris: Olivier Orban, 1990), hlm. 9-50 dan Jeremy Jennings, Intellectuals in Twentieth Century France (Basingstoke: Macmillan, 1993).

(2)

pada istilah ‘intelektual’ di Barat. Sejak itu, istilah intelektual lebih bermaksud penghinaan daripada sanjungan. Hal ini berlaku tidak hanya

di Perancis,2 tapi juga di Inggris3 dan Amerika.4

Sejak itu, intelektual menjadi sebutan buruk bagi mereka yang tidak setia dan tidak tunduk kecuali pada pemikirannya sendiri (bahkan tidak kepada bangsa, negara, dan agamanya sekalipun –sehingga berarti juga tidak nasionalis, tidak patriotis, dan tidak religius). Intelektual ialah mereka yang selalu berseberangan dengan penguasa, senantiasa kritis dan memberontak

terhadap segala bentuk kemapanan atau status

quo. Mereka adalah orang-orang yang ‘berumah

di atas angin’, tidak membumi (déracinés), tak

berkuasa, dan hanya pandai bicara.5

Intelektual dan Intelligentsia

Adalah Julien Benda (1867-1956) yang memantik perdebatan seputar intelektual dan perannya di Barat. Dalam karya monumentalnya,

La trahison des clercs, yang diterbitkan pada tahun

1927, Benda memperhadapkan kaum intelektual

dengan kaum awam. Intelektual adalah pejuang kebenaran dan keadilan. Intelektual sejati ialah mereka yang tekun menikmati bidang keahliannya –sebagai saintis, pemikir, atau budayawan- bukan karena imbalan materi atau kepentingan sesaat. Seorang intelektual sejati

2 “Sekarang semakin jelas bahwa intelektual ialah mereka yang

sok tahu ikut campur urusan orang lain,” tulis Jean-Paul Sartre dalam Plaidoyer pour les intellectuels (Paris: Gallimard, 1972); cf. Alain Besançon, “Les intellectuels,” dalam L’Express, no. 1834 (5 Sept. 1986), hlm. 37.

3 Max Beloff, “Intellectuals,” dalam The Social Science

Encyclopedia, ed. A. Kuper (London: Routledge, 1996), hlm. 418 menyatakan: “Few British people would have wished or would now wish to be called intellectuals”; cf. Raymond Williams, Keywords: A Vocabulary of Culture and Society (New York: Oxford University Press, 1985), hlm. 170: “Until the middle twentieth century unfavourable uses of intellectuals, intellectualism and intelligentsia were dominant in English and it is clear that such uses persist.”

4 John Caroll, “In Spite of Intellectuals,” dalam Theory and

Society 6 (1978), hlm. 33 menulis bahwa pada kenyataannya intelektual itu macam-macam, terdiri dari para badut, orang sinting dan sebagainya (“a bizarre array of types, in fact quite a pantomime of clowns, mountebanks, lunatics and obsessives”), sementara Edward Said mendapati aktivis di Amerika lebih suka disebut sebagai professional, ‘scholar’ atau akademisi daripada intelektual: “I’ve noticed that among the left the use of the word “intellectual” has fallen into disrepute and disuse”. Lihat “American Intellectuals and Middle East Politics,” dalam Intellectuals: Aesthetics, Politics, Academics, ed. Bruce Robbins (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1990), hlm. 141.

5 Lihat D. Bering, Die Intellektuellen. Geschichte eines Schimpfwortes

(Stuttgart: Klett-Cotta, 1978), hlm. 45.

akan berkata, “Kerajaan saya bukan di dunia

ini”,6 meski tidak berarti intelektual harus

mengucilkan diri dan asyik dengan dunianya sendiri.

Intelektual bukanlah intelektual, tulis Benda, kecuali jika mereka berani keluar dari ‘sarang’nya untuk memprotes ketidakadilan dan menyuarakan kebenaran, betapa pun mahal resikonya. Sebagaimana dicontohkan oleh orang-orang semacam Socrates dan Yesus, kata Benda. Intelektual menjadi pengkhianat tatkala idealismenya luntur. Tatkala nilai-nilai kemanusiaan diabaikannya. Tatkala mereka tunduk atau bersekutu dengan penguasa, takut dipenjara, dan tidak mau susah.

Berkali-kali diingatkannya agar intelektual menjaga jarak dari tiga kepentingan: negara (politik), kasta (golongan), dan bangsa (rasial). Intelektual harus bisa melampaui ‘kotak-kotak’ sempit ini. Jelas bahwa pandangan Benda sebenarnya adalah reaksi terhadap skandal Dreyfus. Secara implisit ia mengimbau kelompok terdidik Eropa waktu itu agar membela kaum terpinggir dan tertindas di sekeliling mereka, yaitu komunitas Yahudi yang tersebar dari Spanyol hingga Russia. Sebagai keturunan Yahudi, tak heran jika dalam edisi kedua bukunya, Benda amat mengecam para saintis dan intelektual pendukung Nazi Jerman.

Namun, setidaknya ada tiga hal yang melemahkan gagasan Benda. Pertama, jika ditilik lebih dalam, konsepnya tentang intelektual cenderung muluk dan mengawang-awang. Kalau menurut Ernest Gellner, intelektual yang peduli

dan engagé mau tidak mau bakal mengkhianati

idealisme Benda.7 Kedua, seperti diungkapkan

Edward Said, pengertian intelektual yang disodorkan Benda terlalu ketat: intelektual digambarkan layaknya sosok-sosok manusia

super, raja-filsuf penjelma nurani manusia (“a

tiny band of super-gifted and morally endowed

philosopher-kings who constitute the conscience of mankind”). Maka

sebagai makhluk-makhluk unggul, intelektual ideal semacam itu –kalaupun ada– tentu amat

6 Julien Benda, The Treason of the Intellectuals, terj. Inggris oleh

Richard Aldington (New York: William Morrow, 1928), hlm. 43 = The Betrayal of the Intellectuals (Boston: The Beacon Press, 1955), hlm. 30.

7 Ernest Gellner, “La trahison de ‘la trahison des clercs’,”

(3)

langka. Mereka tidak akan pernah banyak

kita temukan dan tidak mungkin perempuan.8

Ketiga, masih menurut Edward Said, tidak diterangkan oleh Benda kebenaran seperti apakah yang mesti diperjuangkan oleh para intelektual dan jalan manakah yang mesti

mereka tempuh untuk meraihnya.9

Soal mengapa Julien Benda memakai istilah ‘clerc’ dan bukan ‘intellectuel’ maka hal itu dikarenakan masyarakat

Barat sejak dahulu hingga abad ke-19, menurutnya, t e r b a g i d a l a m d u a kelompok besar, yakni kelas atas (terdiri dari k a u m b a n g s a w a n , agamawan dan ilmuwan) dan kelas bawah (petani, buruh atau budak yang tak mengerti dan tak memiliki apa-apa). Maka

istilah ‘clerc’ menunjuk

kelompok pertama itu (dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi ‘cleric’ dan ‘clerk’).

D a l a m k o n t e k s Perancis, penting kita simak pengamatan Régis Debray, seorang sosiolog dan mantan penasehat politik Presiden François Mitterand. Dibaginya generasi intelektual abad kedua-puluh dalam tiga

periode. Generasi pertama, yang hidup antara tahun 1898 dan 1930, terdiri dari kaum terpelajar yang kompak membela Albert Dreyfus. Di antara mereka ada Èmile Zola, Èmile Durkheim dan Anatole France. Generasi berikutnya, yang aktif antara tahun 1930 hingga 1960 dan diwakili oleh orang-orang semacam André Gide, adalah para penulis (sastrawan dan budayawan). Adapun sejak

8 Lihat Edward W. Said, Representations of the Intellectual: The 1993

Reith Lectures (New York: Vintage Books, 1996), hlm. 4 dan 7.

9 Bandingkan dengan esei reflektif Martin Hollis, “What

truth? For whom and where?” dalam Intellectuals in Politics: From Dreyfus Affair to Salman Rushdie, ed. Jeremy Jennings dan Anthony Kemp-Welch (London: Routledge, 1997), hlm. 289-299.

tahun 1960 hingga sekarang yang muncul adalah generasi “intelektual selebriti”, yakni intelektual yang lebih suka tampil di media massa, mempunyai pesona, gemar sensasi, dan gila popularitas sehingga acapkali mengabaikan

standar keilmuan dan kejujuran.10

Hal inilah yang memantik kesimpulan tajam dari Jean-François Sirinelli. Mengamati kian sukarnya dijumpai intelektual yang peduli

(engagé) pada

persoalan-persoalan nyata di lapangan dan semakin banyak mereka yang tak

lagi dihiraukan (moins

écoutés) oleh masyarakat,

Sirinelli pun bertanya a p a k a h l o n c e n g kematian intelektual t e l a h b e r d e n t a n g :

“Faut-il sonner le glas des intellectuels?”11

P e n g e r t i a n i n t e l e k t u a l y a n g a g a k b e r b e d a k i t a peroleh dari Antonio G r a m s c i d a n K a r l Mannheim. Gramsci, s e o r a n g w a r t a w a n dan pemikir Marxist asal Italia, mengkritik Benda yang terkesan m e l u p a k a n p e r a n dan tugas intelektual d a l a m n e g a r a . I a m e m p e r t a n y a k a n konsepsi intelektual ‘Dreyfusard’ yang diusung Benda: “Apakah intelektual merupakan kelompok tersendiri dalam masyarakat ataukah bagian yang tak terpisahkan dari suatu masyarakat, sehingga setiap kelompok ada intelektualnya masing-masing?” Dengan tegas Gramsci memilih pandangan kedua.

10 Lihat Régis Debray, Teachers, Writers, Celebrities: The Intellectuals

of Modern France (London: Verso, 1981); aslinya berjudul Le pouvoir intellectual en France (Paris: Ramsay, 1979).

11 Jean-François Sirinelli, Intellectuels et passions françaises: manifestes

(4)

Menurut aktifis yang sempat dibui oleh rejim Mussolini itu, jika kaum borjuis punya sejumlah intelektual, maka kaum proletar pun ada para intelektualnya. Ia menyebut mereka ‘intelektual organik’ (karena sama-sama mempunyai hubungan dengan dunia produksi), dan membedakannya dengan ‘intelektual tradisional’ yang terdiri dari para tokoh agama, guru/dosen dan birokrat dan menganggap diri mereka sebagai kelas tersendiri. Intelektual tipe kedua inilah, bagi Gramsci, yang tidak membumi; mereka hidup dalam delusi dan utopia (angan-angan). Sebaliknya, intelektual organik aktif terlibat –dalam arti memanfaatkan maupun dimanfaatkan- dalam perjuangan

kelompok yang melahirkannya.12 Intelektual

jenis ini tidak pernah diam dan senantiasa

berbuat sesuatu untuk masyarakatnya (“always

on the move, on the make”―meminjam ungkapan

Edward Said.13

Lain lagi pendapat Karl Mannheim. Menurutnya, kekeliruan Benda terletak pada pengerucutan makna intelektual sebagai suatu

kelompok eksklusif yang sibuk sendiri (

self-oriented), merasa diri mereka hebat dan serba

cukup (self-sufficient), merasa tak bergantung

pada apapun dan siapapun. Dalam karyanya

yang masyhur, Ideologie und Utopie (1929),

pelarian politik asal Hungaria ini memandang kaum intelektual sebagai orang-orang tanpa kelas, bukan bagian dari kasta atau kelompok sosial manapun. Dengan kata lain, ia menolak pendapat Benda dan Gramsci sekaligus.

Intelektual tak dapat dikotak-kotakkan, kata Mannheim. Mereka berdiri di atas dan untuk semua golongan. Hal ini dimungkinkan oleh tingkat pendidikan mereka yang sebagian besar lulusan perguruan tinggi. Maka sejarah menyaksikan intelektual muncul di setiap kelas masyarakat. Mereka lahir dari kalangan konservatif, golongan borjuis, maupun kaum proletar. Afiliasi tidak berarti submisi. Intelektual bisa diterima dan dihormati karena semua lapisan masyarakat memerlukan dukungan dan kontribusi mereka. Intelektual berperan menumbuhkembangkan kesalingmengertian dan sekaligus meredakan potensi benturan antar

12 Lihat Antonio Gramsci, The Prison Notebooks: Selections, terj.

Quintin Hoare dan Geoffrey Nowell-Smith (New York: International Publishers, 1971).

13 Edward Said, Representations of the Intellectual, hlm. 4.

kelompok.14

Istilah intelektual di Barat juga kerap

bersanding dengan istilah ‘intelligentsia’, yang

muncul pada paruh abad ke-19 di Polandia dan Russia. Persisnya, ketika Polandia dibagi-bagi menjadi tiga oleh kerajaan Prussia (nama negara Jerman sebelum 1871), Russia dan Austria. Para

lulusan sekolah menengah (disebut matura)

dan mereka yang mengerti bahasa dan sejarah Polandia menganggap diri mereka pengawal warisan budaya bangsa, dan karenanya merasa lebih layak memimpin dan mengelola negara ketimbang kaum borjuis yang korup dan tidak punya idealisme. Meski pada awalnya membentuk gerakan oposisi, kelompok yang disebut ‘intelligentsia’ ini kemudian berhasil masuk ke dalam pemerintahan menyusul pengembalian kedaulatan Polandia pada 1918. Pasca Perang Dunia II (1945-1989) Polandia dikuasai Partai Komunis yang menindas dan menghabisi semua lawan, sehingga kaum intelligentsia boleh dibilang punah sama sekali. Mengikut rumusan Marxisme, dalam satu negara hanya boleh ada dua kelas sosial yang tidak bertentangan, yaitu buruh dan tani. Adapun intelligentsia tidak dianggap sebagai

social class, tetapi merupakan stratum. Ini karena

meskipun dari segi produksi sama dengan kaum buruh, dari segi pendidikan dan kesadaran kaum intelligentsia berbeda. Kelompok khusus ini terdiri dari tamatan perguruan tinggi yang kebanyakan adalah saintis ataupun insinyur. Kenyataan tersebut melahirkan klasifikasi

sebagai berikut: budayawan (cultural intelligentsia)

yang masih setia pada cita-cita lama, dan

teknokrat (technical intelligentsia). Perubahan iklim

politik turut mempengaruhi sikap intelligentsia dari masa ke masa, dari oposisi ke oportunisme,

atau dari reformis kembali menjadi oposisi.15

Di Russia, intelligentsia ialah kalangan bangsawan yang menjaga jarak dari kaum borjuis kapitalis dan merasa diri mereka terpanggil

14 Lihat Karl Mannheim, Ideology and Utopia, terj. L. Wirth dan E.

Shils (San Diego: Harcourt B. Jovanovich, 1985), khususnya hlm. 153-164 yang berjudul “The Sociological Problem of the “Intelligentsia”; cf. Karl Mannheim, “The Sociology of Intellectuals,” terj. D. Pels, dalam Theory, Culture, Society 10 (1993): 369-380; dan Karl Mannheim, “The Problem of the Intelligentsia,” dalam Essays on the Sociology of Culture (London: Routledge & Kegan Paul, 1956), 91-170.

15 Lihat David Jary and Julia Jary, Dictionary of Sociology (New

(5)

untuk memimpin bangsa. Kelompok inilah yang menuntut penghapusan sistem feodal dan kerajaan (Tsarisme), menghendaki perombakan menyeluruh tatanan politik, ekonomi dan sosial di negeri itu, dengan tetap berpegang pada nilai-nilai lokal (sehingga dijuluki ‘Slavophile’). Pasca Revolusi Oktober 1917, dimana Tsar berhasil digulingkan, kaum intelligentsia sempat tumbuh tetapi kemudian ditumpas habis oleh Stalin. Namun begitu, kelompok yang lebih

dianggap sebagai ‘lapisan’ (prosloika alias social

layer) ketimbang kasta ini tidak pernah lenyap

sama sekali.

Konsep intelligentsia sebagai kaum terpelajar yang memihak rakyat (populis atau dalam

bahasa Russianya narodniks―sahabat rakyat)

dan progressif, seperti kata N.K. Mikhailovsky, ataupun sebagai kelompok yang berpikiran kritis (menurut Peter Lavrov), terus tertancap di benak orang Russia. Dari yang radikal (dalam arti militan dan revolusioner dalam melawan rezim totalitarian, sanggup berkorban nyawa demi idealismenya) semisal Alexander Radishchev, Pavel Pestel, atau Nikolai Chernyshevsky, hingga yang moderat seperti Dostoevsky, Leo Tolstoy dan Ivan Turganev. Yang radikal disebut

“intelligentsia,” manakala yang moderat dan lebih menekankan moralitas dan nilai-nilai

kemanusiaan disebut ‘intelligentnost’. Namun

demikian tidak berarti semua kalangan di Russia menerima dan memuji mereka. Tidak sedikit orang di sana yang menilai kaum intelligentsia

itu angkuh dan ‘belum matang’ (half-baked), suka

bikin sensasi dan hobinya mengumbar jargon.16

Begitu pula halnya di Inggris dan di Amerika. Istilah intelektual berkonotasi negatif. Edmund Burke, misalnya, mencibir kaum Revolusioner Perancis pengikut telunjuk intelektual yang

disebutnya les philosophes. Bagi masyarakat

Inggris, intelektual merupakan sebutan bagi orang-orang yang irrasional, egois, dan ‘sok pintar’. Sikap anti-intelektual ini jadi lumrah dan bahkan cenderung menguat seperti tercermin dalam pernyataan Sir Geoffrey Howe (sekretaris luar negeri Inggris di zaman PM Margaret Thatcher) yang menyifatkan Salman Rushdie sebagai ‘arrogant’, ‘a dangerous

opportunist’, dan ‘a multiple renegade’.17

Demikian pula majlis professor universitas Cambridge yang menentang pemberian gelar doktor kepada Jacques Derrida melalui

pernyataan negatif mereka: “non placet”.18

Derrida dinilai lebih tepat digolongkan sebagai intelektual daripada akademisi. Jika kasus ini memperlihatkan ketidaksukaan terhadap intelektual yang eksentris dan anarkis, hal ini karena, menurut Jennings dan Kemp-Welch, para intelektual di Inggris telah terserap masuk dan menjadi bagian dari kekuasaan (‘political

16 Timo Vihavainen, “The Petty Bourgeoisie and its

Enemies “Philistinism” and the “Intelligentsia” in the Nineteenth Century,” di http://www.newacademia.com/ VihavainenCoverPop/VihavainenExcerpt.pdf ; aslinya berjudul Sovetskaâ vlast’ - narodnaâ vlast’? : ocerki istorii narodnogo vospriâtiâ sovetskoj vlasti v SSSR (Sankt-Peterburg: Evropejskij Dom, 2003), hlm. 114-140; cf. M. Raeff, The Origins of the Russian Intelligentsia (New York: Harcourt, 1966); B. Shragin dan A. Todds, Landmarks: A Collection of Essays on the Russian Intelligentsia (New York: Karz Howard, 1977); Isaiah Berlin, “The Birth of the Russian Intelligentsia,” dalam bukunya, Russian Thinkers (London: Hogarth Press, 1978), hlm. 114-135; dan C. Read, Religion, Revolution and the Russian Intelligentsia, 1900-1912: The ‘Vekhi’ Debate and Its Intellectual Background (London: Macmillan, 1979).

17 Jeremy Jennings dan Anthony Kemp-Welch, “The Century

of the Intellectual: From Dreyfus Affair to Salman Rushdie,” dalam Intellectuals in Politics: From Dreyfus Affair to Salman Rushdie (London: Routledge, 1997), hlm. 2-4.

18 Pemungutan suara (voting) untuk memutuskan apakah

(6)

establishment’) itu sendiri, entah karena kesamaan latarbelakang pendidikan, pergaulan sosial ataupun keanggotaan dalam klub-klub elit. Jadi, nyaris tidak ada lagi intelektual yang berada di luar kampus.

Maka tak mengherankan kalau di mata

politisi Inggris, intelektual bukanlah outsider,

akan tetapi insider yang ikut mempengaruhi

kebijakan publik melalui institusi-institusi politik maupun sosial. Oleh karena itu, tokoh-tokoh seperti Matthew Arnold, Oscar Wilde, atau Bertrand Russell yang berada di luar sistem dianggap pengecualian.

Juga terbukti lewat buku yang ditulis Paul

Johnson, Intellectuals dan karya John Carey,

The Intellectuals and the Masses (1992). Dengan

menyingkap kehidupan pribadi maupun aib-aib Rousseau, Marx, Hemingway dan banyak lagi, Johnson tampak ingin mengatakan bahwa para intelektual itu hipokrit, elok di luar tetapi

busuk di dalam, “no wiser as mentors, or worthier

as exemplars, than the witch doctors or priest of old.”

Adapun Carey menyoroti berbagai prejudice,

pretensi dan elitisme kaum intelligentsia Inggris termasuk Virginia Woolf, George Bernard Shaw, D.H. Lawrence dan T.S. Eliot, yang secara tidak langsung ditengarai punya andil

mengkondisikan terjadinya Holocaust.19

Situasi di Amerika tak jauh berbeda. Intelektual di sana juga sejak lama menjadi bagian integral dari berbagai institusi publik. Demokrasi, akses informasi, dan birokratisasi disebut-sebut sebagai faktor penyebab susutnya peran intelektual di Amerika. Seperti disinyalir

Richard Hofstadter dalam Anti-Intellectualism in

American Life, makin hari intelektual makin tak

diindahkan. Masyarakat Amerika yang nota bene pragmatis dan materialistis kini tak lagi peduli dengan para intelektual. Intelektual menjadi terpinggir, dianggap tidak realistis dan tak lebih dari sekadar pemimpi yang berbahaya

(dangerous dreamers), tulis Steve Kimball dalam

Tenured Radicals.

Sekarang ini sukar sekali menemukan

19 Lebih jelasnya lihat Paul Johnson, Intellectuals (London:

Weidenfeld and Nicolson, 1988) dan John Carey, The Intellectuals and the Masses: Pride and Prejudice among the Literary Intelligentsia 1880-1939 (London: Faber & Faber, 1992); diterjemahkan kedalam bahasa Jerman dengan judul Hass auf die Massen (1996) dan bahasa Spanyol dengan judul Los Intelectuales y Las Masas (2009).

intelektual independen di Amerika, karena hampir semua cerdik-cendekia di negeri itu telah diserap ke dalam dunia akademis dan birokrasi, menjadi ‘orang gaji’ di lembaga-lembaga swasta maupun pemerintah seperti halnya di Inggris. Walhasil, mereka lebih mementingkan karir

dan jabatan daripada menjadi intelektual.20

Alih-alih mengkritisi kebijakan pemerintah dan mendidik masyarakat, para intelektual Amerika justru ‘mengabdi’ pada pemerintah dan mengikuti selera publik. Maklumlah, kata Theodor Roszak, imbalan yang mereka terima amat menggiurkan apabila terlibat –sebagai kontributor, kollaborator, konspirator alias ‘think-tank’- dalam proyek-proyek garapan dinas intelijen Amerika (CIA), lembaga semacam RAND Corporation, ataupun sebagai penasehat Gedung Putih untuk urusan

kebijakan luar negeri.21

* * *

Ulama sebagai Intelektual

Istilah ‘intelektual’ memang tidak dikenal di Dunia Islam kecuali di zaman modern. Masyarakat di Timur Tengah sekarang meyebut

intelektual itu “mutsaqqaf” (budayawan)

dan “mufakkir” (pemikir) atau “rawsyan-fikr

(dalam bahasa Farsi), sementara di Indonesia diistilahkan “cendekiawan”. Namun, hal ini tidak berarti sebelum zaman modern tidak ada intelektual atau cendekiawan.

Jika kita renungkan secara mendalam, konsep yang kurang-lebih sama dengan mudah dapat kita temukan dalam sejarah dan tradisi maupun kitab suci umat Islam, yaitu pada istilah ‘nabi’ dan ‘ulama’. Memang sesungguhnya nabi-nabi utusan Allah dan pewaris mereka boleh kita sebut intelektual atau cendekiawan dalam arti orang-orang yang memiliki akal sehat, jiwa besar, ilmu dan hikmah. Mereka adalah orang-orang yang hidup dengan panduan wahyu, mempunyai misi dan visi sebagai pelopor

20 Demikian menurut Russel Jacoby dalam bukunya, The Last

Intellectuals: American Culture in the Age of Academe (New York: Basic Books, 1987).

21 Theodor Roszak, “On Academic Delinquency,” dalam The

(7)

perubahan masyarakat (agents of social change) untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan

kepada cahaya (yukhrijËnahum min az-ÐulumÉt

ila ’n-nËr). Sudah barang tentu juga ini tidak

berarti sebaliknya. Yakni, belum tentu semua intelektual adalah ulama, dan pula tidak berarti para intelektual itu adalah nabi.

Bila demikian halnya, mengingat tidak ada lagi nabi sesudah Nabi Muhammad SAW, maka peran intelektual para nabi kini dimainkan oleh para ulama, karena merekalah pewaris nabi-nabi.

Sabda Rasulullah, “wa inna ’l-‘ulamÉ’ waratsat

al-anbiyÉ’(Hadis riwayat Abu DardÉ’ r.a.).

Lantas, pertanyaan yang mengemuka tentunya, siapakah yang disebut ulama?

Di dalam kitab suci al-Qur’an kita temukan lafaz ‘ulama’ dua kali disebut. Pertama, berkaitan

dengan masyarakat Yahudidi dalam surah

as-Syu‘arÉ’ ayat 197: awa-lam yakun lahum Éyatan

an ya‘lamahu ‘ulamÉ’u banÊ isrâ’Êl. Menurut ahli

tafsir al-QurÏubÊ, ulama yang dimaksud adalah orang-orang berilmu dari kalangan mereka yang paling tahu dan paham isi kitab-kitab

suci (kullu man kÉna lahu ‘ilm bi-kutubihim).

Beberapa nama pun disebut, yaitu Asad, AsÊd, Ibn YÉmÊn, Tsa‘labah, dan ‘AbdullÉh

ibn SalÉm.22 Kedua, terkait pengetahuan yang

dalam mengenai aneka ragam ciptaan Allah di alam raya dan muka bumi. Ayatnya terdapat di

surah FÉÏir 28: innamÉ yakhsyÉ AllÉha min ‘ibÉdihi

al-‘ulamÉ’. Di sini ditegaskan bahwa yang takut

kepada Allah itu hanyalah para ulama, karena merekalah yang kenal Allah dan benar-benar mengesakanNya. Kata seorang ulama TÉbi‘in, “Cukuplah mawas diri, takut kepada Allah itu sebagai ilmu. Dan cukuplah terpedaya setan itu sebagai kebodohan. Siapa yang paling mengenal Allah niscaya paling besar takutnya kepadaNya

(kafÉ bi-khasyatillÉhi ‘ilman wa kafÉ bi ’l-ightirÉr

jahlan. Fa-man kÉna a‘lama billÉhi kÉna akhsyÉhum

lahu).” 23 Sa‘Êd ibn Jubayr menerangkan bahwa

takut dalam ayat tersebut berarti sesuatu yang menghalangi kita dari perbuatan dosa, maksiat

atau durhaka kepada Allah (al-khasyyah hiya

al-llatÊ taÍËlu baynaka wa bayna ma‘ÎiyatillÉh ‘azza

22 JalÉluddin as-SuyËtÊ, ad-Durr al-MantsËr fi at-TafsÊr bi

’l-Ma’tsËr, ed. ‘Abdullah ibn ‘Abd al-MuÍsin at-TurkÊ (Kairo: Markaz Hajar li ’l-BuÍËts wa ’d-DirÉsÉt al-‘Arabiyyah wa ’l-IslÉmiyyah, 1424/2003), jilid 11, hlm. 300.

23 as-SyawkÉnÊ (w. 1250/1797), FatÍ al-QadÊr (Beirut: Dar

al-Khayr, 1412/1991), jilid 4, hlm. 398.

wa jalla).24

Selain lafaz ‘ulama’, kita juga menemukan beberapa istilah terkait dengan lafaz berbeda. Pertama, istilah ulË al-‘ilm (لمعلا ولوأ�) yang berarti orang-orang yang memiliki ilmu. Mereka ini disebutkan bersama dengan para malaikat yang bersaksi tiada tuhan melainkan Allah (Ali ‘Imran 18). Di sejumlah ayat lain (an-NaÍl 27, al-QaÎaÎ 80, al-‘AnkabËt 49, Saba’ 6, dan al-MujÉdalah 11) mereka ini disebut juga orang-orang yang dianugerahi ilmu (alladzÊna ËtË al-‘ilm: لمعلا اوتوأ� نيلذا)

dan orang-orang yang mengetahui (alladzÊna

ya‘lamûn - az-Zumar 9). Kedua, istilah ahludz-dzikr

yang bermakna orang yang berpengetahuan mengenai kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi terdahulu (an-NaÍl 43) dan secara khusus orang yang memahami al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw

karena ia sendiri adalah adz-dzikr (an-NaÍl 44

dan al-×ijr 9). Dan ketiga, istilah ulË al-albâb

(بابلألاولوأ�) yang disebutkan di banyak tempat

dalam al-Qur’an (al-Baqarah 179 dan 197, Ali ‘ImrÉn 190, IbrÉhÊm 51). Menurut Imam

ar-RÉzÊ, istilah ini berarti orang-orang berakal yang

mengetahui konsekuensi perbuatan mereka dan

mengerti berbagai dimensi rasa takut (al-‘uqalÉ’

alladzÊna ya‘rifËn ‘awÉqib wa ya‘lamËn jihat

al-khawf), karena akal itulah yang merupakan inti

atau lubb dari manusia, bukan tubuhnya.25

24 Ibn KatsÊr (w. 774/1373), TafsÊr al-Qur’an al-AÐÊm (Riyadh:

DÉr as-SalÉm, 1424/2004), hlm. 2339.

25 Fakhr ad-DÊn ar-RÉzÊ (w. 606/1209), MafÉtÊÍ al-Ghayb (Beirut:

(8)

Definisi Ulama

Agak sukar mencari definisi ulama, karena para ulama sendiri tidak memerlukannya.Hanya bila kita membaca karya-karya mereka niscaya dapat kita rumuskan beberapa kriteria yang membedakan ulama dan bukan ulama. Pertama-tama cukup jelas bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah mereka yang menguasai ilmu-ilmu agama Islam, memahami hukum-hukum Allah dan mengikuti Sunnah Nabi SAW. Ini merupakan kriteria yang tidak diperdebatkan lagi.

Para ulama adalah sekelompok orang yang tekun mendalami ajaran agama Allah

(ÏÉ’ifah yatafaqqahËna fÊ ’d-dÊn), yang bepergian,

mengembara atau merantau untuk mencari ilmu, supaya nantinya pulang ke kampung halamannya untuk mengajar dan menuntun masyarakat ke jalan Allah agar menjadi hamba-hamba Allah yang beriman dan beramal soleh

(li-yundzirË qawmahum idzÉ raja‘Ë ilayhim la‘allahum

yaÍdzarËn).

Ulama adalah mereka yang pengetahuan dan pemahamannya telah mencapai tahap cukup tinggi untuk membolehkan mereka menarik kesimpulan hukum langsung dari sumbernya, mengadili atau memutuskan

perkara dan memberikan fatwa (al-mujtahidËn

al-bÉlighËna darajÉt al-futyÉ fÊ ’d-dÊn). Kriteria ini

sejalan dengan firman Allah: la‘alimahu al-ladzÊna

yastanbiÏËnahu minhum. Dengan kata lain, mereka

adalah orang-orang yang berkemampuan tidak hanya mengetahui dan menguasai, akan tetapi juga menalar dan berargumentasi.

Ulama adalah mereka yang mendalam ilmunya (ar-rÉsikhËn fÊ ’l-‘ilm) seperti disinyalir oleh Allah di dalam kitab suci al-Qur’an. Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751/1350), mereka itu orang-orang yang begitu kokoh pengetahuannya sehingga kalaupun datang kepadanya aneka ragam persoalan dan keraguan laksana gulungan ombak di lautan niscaya tidak akan goyah atau runtuh keyakinannya. Kata beliau: li-annahu qad rasakha fi ’l-‘ilm fa-lÉ tastafizzuhu

s-syubuhÉt.26 Adapun mufassir Ibn as-Sa‘dÊ

mengatakan bahwa seseorang itu tidak kukuh

keilmuannya sehingga ia menjadi ‘Élim muÍaqqiq

26 Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751/1350), MiftÉÍ DÉr

as-Sa‘Édah wa MansyËr WilÉyat al-‘Ilm wa ’l-IrÉdah, 2 jilid (Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), jilid 1, hlm. 140.

dan ‘Érif mudaqqiq, yakni mampu menetapkan

yang benar dan menerangkan secara terperinci, saking pakarnya dan saking kenalnya ia dengan apa yang ditanganinya. Dan ini dikarenakan Allah telah memberinya ilmu eksternal maupun internal, eksoteris maupun esoteris, sedemikian kuat dasarnya mengenai rahasia-rahasia Syari’ah

baik secara keilmuan dan perbuatan (fa-rasakha

qadamuhu fÊ asrÉr as-SyarÊ ‘ah ‘ilman wa ÍÉlan wa

‘amalan).

Tiga Ciri Ulama

Sampai di sini dapat kita simpulkan bahwa ulama adalah orang-orang yang mempunyai kepahaman akan agama Allah kemudian ia

menguasai dan mengajarkannya (man faquha fi

dÊnillah fa-‘alima wa ‘allama). Bukan hanya itu,

para ulama adalah orang-orang yang terdapat padanya sifat-sifat [i] keilmuan, [ii] kebaikan,

dan [iii] keunggulan (man ijtama‘at fÊhim khiÎÉl

al-‘ilm wa al-khayr wa al-faÌl).

Karakteristik pertama bisa diketahui dari kesaksian para ulama lain, pandangan, penilaian, pengakuan dan pujian dari mereka kepadanya. Kata Imam as-SyÉÏibÊ (w. 790/1388) dalam

kitab al-I‘tiÎÉm, “Seorang alim yang tidak atau

belum diakui keilmuannya oleh para ulama maka statusnya masih seperti sebelumnya, yaitu dianggap tidak berilmu sampai ada yang memberikan kesaksian berdasarkan apa yang ia

ketahui sesungguhnya (wa l-‘Élim idzÉ lam yasyhad

lahu l-‘ulamÉ’ fa-huwa ‘ala l-aÎl min ‘adami l-‘ilm ÍattÉ yasyhada fihi ghayruhu wa ya‘lama huwa min nafsihi

ma syahida lahu).27

Karakteristik kedua mestilah seorang ulama itu dikenal luas sebagai orang sholeh, berkata benar dan bisa dipercaya serta dapat menjadi panutan umat dan penyuluh bagi masyarakat. Meminjam ungkapan Ibn Taymiyyah (w.

728/1328), “Wa man lahu fi l-ummah lisÉnu Îidqin

‘Émm bi-Íaytsu yutsnÉ ‘alayhi wa yuÍmadu fi jamÉhÊri ajnÉsi l-ummah, fa-hÉ’ulÉ’i a’immatu l-hudÉ wa maÎÉbÊÍu d-dujÉ”.28

Begitu pula karakteristik ketiga, yaitu kelebihan atau keunggulan dibanding orang-orang sekelasnya baik secara mental, moral,

27 AbË IsÍÉq as-SyÉÏibÊ (w. 790/1388), al-I‘tiÎÉm, ed. AbË

‘Ubaydah Ól-SalmÉn 4 jilid (Bahrain: Maktabat at-TawÍÊd, 1421/2000),jilid 3, hlm 242.

28 Ibn Taymiyyah (w. 728/1328), MajmË ‘ FatÉwÉ Syaykh al-IslÉm

(9)

spiritual maupun kecerdasan sosial dan lain-lain. Ini pun dapat diketahui atau mudah terlihat oleh orang-orang yang mempunyai kualitas tersebut,

seperti kata ahli hikmah, “la ya‘rifu l-faÌla illÉ dzË

faÌlin”.

Di samping dan di atas itu semua, ulama adalah orang-orang yang berjuang di jalan

Allah (yujÉhidËna fi sabÊlillah), membela dan

menyiarkan agama Allah, berusaha menegakkan dan meninggikan kalimat Allah di muka bumi ini, dengan segala apa yang dimilikinya –harta

maupun jiwa raganya (bi-amwÉlihim wa anfusihim)-

tanpa keragu-raguan (tsumma lam yartÉbË)

walau sedikitpun dan tanpa pamrih karena mengharapkan keridhoan Allah semata-mata. Mereka itulah ulama

sejati, ulama rabbani, d a n u l a m a a k h i r a t (dalam istilah Imam al-GhazÉlÊ).

Ulama dan Pemerintah

Sebagai orang-orang cerdas dan bijak, para ulama sebagaimana nabi-nabi terdahulu sangat peduli kepada nasib bangsa dan tanah tumpah darahnya. Para ulama sadar betul akan tugas mereka sebagai penuntun dan pembela

umat seperti dicontohkan Nabi NËh dan Nabi IbrÉhÊm a.s. yang menyeru para penyembah berhala supaya tobat sebelum turun azab. Pun Nabi LËÏ a.s. yang menyuruh bangsanya berhenti melakukan hubungan sesama jenis (homoseksual), Nabi Syu‘ayb a.s. yang berjuang menghentikan kecurangan (korupsi) para pedagang, dan Nabi MËsÉ a.s. yang melawan tirani Fir‘aun beserta hulu-balangnya. Dengan petunjuk wahyu, ilmu, hikmah dan mukjizat dari Allah, para nabi itu secara konsisten menggempur kebatilan dan kemungkaran, menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka bahkan berani mempertaruhkan nyawa berhadapan dengan aparat negara, seperti halnya Nabi MËsÉ, Nabi ZakariyyÉ dan Nabi

‘ÔsÉ a.s. yang diburu oleh ‘polisi’ Romawi. 29

Hubungan ulama dengan para penguasa memang cukup variatif. Pada kurun pertama Hijriah, dimana para ulama’ yang merupakan Sahabat Nabi berperan aktif dalam politik dan pemerintahan, tidak terjadi kesenjangan antara ulama dan khulafÉ’. Sayyidina ‘AlÊ yang berperan sebagai penasehat kepala negara pada masa pemerintahan Khalifah AbË Bakr, ‘Umar dan ‘UtsmÉn r.a. kita ketahui kemudian menjabat sebagai khalifah yang keempat. Baru di masa sesudahnya kita mendapat laporan mengenai ketegangan hubungan antara sebagian ulama dengan penguasa. Misalnya kasus al-×ajjÉj ibn YËsuf (w. 95/714). Gubernur Iraq yang sangat otoriter dan opresif kepada rakyat ini suka main tangkap, memenjarakan dan bahkan menghukum mati lawan-lawan politik maupun orang-orang yang dicurigainya. Termasuk para ulama yang menjadi korban kezalimannya adalah JÉbir bin ‘AbdillÉh, Sa‘Êd bin Jubayr dan Kumayl ibn ZiyÉd r.a.

M u n g k i n k a r e n a kecenderungan penguasa di manapun untuk berlaku korup dan zalim, tidak sedikit ulama generasi berikutnya yang mulai mengambil jarak dari para penguasa. Bukan karena takut, akan tetapi untuk menjaga independensi mereka sebagai pemegang otoritas agama. Sebutlah sebagai contoh Imam Ja‘far aÎ-ØÉdiq (w. 148/765) yang menolak bay‘at politik kaum Syi‘ah, dan Imam Abu ×anÊfah (w. 150/767) yang, meski dipaksa

dengan kekerasan, tetap menolak jabatan qÉÌÊ

(semacam hakim agung) dari khalifah waktu itu.

29 Lihat: Ibn KatsÊr, QiÎaÎ al-AnbiyÉ’ (Kairo: DÉr al-Kutub,

1968/1388); al-KisÉ’Ê, QiÎaÎ al-AnbiyÉ’, ed. Isaac Eisenberg (Leiden: Brill, 1923) = The Tales of the Prophets of al-KisÉ’Ê, terj. W. M. Thackston Jr. (Boston: Twayne Publishers, 1987); Tilman Nagel, DieQiÎaÎ al-AnbiyÉ’: Ein Beitrag zur arabischen Literaturgeschichte (PhD diss. Univ. of Bonn, 1967); ‘ArÉ’is al-majÉlis fÊ qiÎaÎ al-anbiya’ OrLives of the Prophets as Recounted by AbË IsÍÉq AÍmad Ibn MuÍammad Ibn IbrÉhÊm Al-Tha‘labÊ, terj. William Brinner (Leiden: Brill, 2002); dan Robert Tottoli, Biblical Prophets in the Qur’an and Muslim Literature (Richmond, Surrey: Curzon Press, 2002).

“Sebagian ulama bahkan

tidak takut berhadapan

dengan pemerintah yang

(10)

Mereka ini lebih memilih untuk menjadi guru

dan mufti daripada menjadi pejabat negara.30

Sebagian ulama bahkan tidak takut berhadapan dengan pemerintah yang zalim dengan segala resikonya. Contohnya Imam AÍmad ibn ×anbal (w. 241/855) yang gigih mempertahankan kebenaran. Tatkala semua orang dipaksa oleh pemerintah untuk menelan doktrin keberwaktuan, kebaharuan, dan kemakhlukan al-Qur’an, Imam AÍmad dengan tegas menentangnya. Akibat keteguhan sikapnya itu beliau ditangkap, dipenjara dan

disiksa oleh aparat negara di Baghdad.31 Bagi

para ulama sejati sekaliber beliau, masalah akidah tidak bisa ditawar-tawar.

Sikap prihatin terhadap kondisi masyarakat dan kritis terhadap pemerintah telah banyak dicatat oleh ahli-ahli sejarah. Suatu hari, MÉlik bin DÊnÉr, seorang tokoh ulama yang disegani, mendatangi Gubernur Basrah waktu itu dan berkata kepadanya, “Wahai pemimpin, aku telah membaca di salah satu kitab bahwa Allah berfirman: Tidak ada yang lebih dungu dari penguasa, dan tidak ada yang lebih bodoh dari pendosa, dan tidak ada yang lebih mulia dari orang mengagungkanKu! Wahai ‘penggembala’ yang buruk, Aku titipkan kepadamu kambing-kambing yang sehat gemuk, kemudian kamu makan dagingnya, pakai bulunya, dan tinggalkan

tulang-tulangnya berserakan!”32

Pernah juga dalam perjalanan ke Mekkah, SulaymÉn bin ‘Abdil Malik, penguasa Bani Umayyah mengirim utusan kepada Abu ×Ézim al-MakhzËmÊ, yang dijuluki al-A‘raj (w.

30 Untuk ulasan seputar ini, lihat: Muhammad Khalid Masud,

“A Study of WakÊ‘’s (d. 306/917) AkhbÉr al-QuÌÉt” dalam The Law Applied: Contextualizing the Islamic Shari‘a, ed. Peri Bearman, Bernard G. Weiss, Wolfhart Heinrichs (London: I.B. Tauris, 2008), hlm. 120-125; Knut S. Vikør, Between God and the Sultan: A History of Islamic Law (Oxford: Oxford University Press, 2005), hlm. 188; dan Islam and Power (RLE: Politics of Islam), ed. Alexander S. Cudsi dan E. Hillal Dessouki (London: Routledge, 2015).

31 Tentang kehidupan dan keilmuan beliau, lihat Ibn al-JawzÊ

(w. 597/1201), ManÉqib al-ImÉm AÍmad ibn ×anbal (Kairo: Maktabat al-KhÉnjÊ, 1349/1930) = The Life of Ibn ×anbal, terj. Michael Cooperson (Albany: New York University Press, 2016); Walter M. Patton, AÍmed ibn ×anbal and the MiÍna: A Biography of the Imam including an Account of the Mohammedan Inquisition called the MiÍna, 218-234 A.H (Leiden: E.J. Brill, 1897); Nimrod Hurvitz, AÍmad Ibn ×anbaland the Formation of Islamic Orthodoxy (PhD Diss. Princeton University, 1994); dan Christopher Melchert, AÍmad ibn ×anbal (Oxford: Oneworld, 2006).

32 Imam al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ ‘ulËm ad-dÊn, cet. Ke-4 (Damaskus:

DÉr al-Khayr, 1417/1997), jilid 2, hlm. 230.

140/757), seorang ahli hadis dan fiqh yang menjadi hakim di Madinah waktu itu. Setibanya beliau di hadapannya, sang penguasa bertanya, “Wahai Abu ×Ézim, apa sebab kami membenci kematian?” Beliau menjawab, “Karena kalian telah memporak-porandakan kehidupan akhirat kalian dan menata megah kehidupan dunia kalian, sehingga kalian tidak ingin berpindah dari tempat yang tertata megah ke tempat yang

hancur porak-poranda.” 33 Demikianlah para

ulama sejati menasehati dan mengingatkan para penguasa yang lupa akhirat

Namun, hubungan relatif dekat antara ulama dan pemerintah juga cukup banyak dilaporkan. Kedekatan ini dalam arti persahabatan ataupun hubungan guru-murid, dimana ulama memosisikan diri mereka sebagai pendamping dan pembimbing pemerintah. Inilah yang kita temukan dalam hubungan yang terjalin, misalnya, antara Imam FakhruddÊn ar-RÉzÊ dan ‘AlÉ’uddÊn MuÍammad ibn Tekisy yang memerintah propinsi Khwarazm/Transoxania dari tahun 596/1200 hingga 617/1220. Penguasa yang nota bene panglima militer ini sangat menghormati dan memuliakan ulama. Imam

ar-RÉzÊtidak hanya diberikan tanah wakaf untuk

membangun sekolah tinggi tetapi juga sebuah

‘istana’ untuk tempat tinggal beliau sekeluarga.34

33 Imam al-GhazÉlÊ, IÍyÉ’ ‘ulËm ad-dÊn, cet. Ke-4 (Damaskus:

DÉr al-Khayr, 1417/1997), jilid 2, hlm. 230.

34 Frank Griffel, “On Fakhr al-DÊn al-RÉzÊ’s Life and the

(11)

Kedudukan ulama sebagai penasehat khalifah atau sultan, meskipun tidak berbentuk lembaga semacam ‘dewan pertimbangan presiden’ (Wantimpres), semakin kukuh di masa

pemerintahan Mameluk35 dan Turki Utsmani.36

Tidak sedikit para ulama yang memangku jabatan resmi di pemerintahan sebagai penasehat, duta

besar, dan hakim pengadilan (“The Umayyad

and ‘Abbasid caliphs relied on scholars as advisers and

ambassadors and employed ‘ulama’ as judges”), tulis

J.E. Gilbert mengungkap hasil penelitiannya terhadap sumber-sumber sejarah Islam Abad

Tengah.37 Dengan kata lain, mereka menjadi

bagian dari birokrasi negara.38 Mungkin karena

ini beberapa sarjana Barat memasukkan ulama ke dalam golongan kaum ‘elit sipil’, yang berada di tengah antara elit militer yang berkuasa dan

rakyat biasa yang diperintah.39

Penting juga diketahui bahwa di era modern, yakni sesudah tahun 1500 Masehi hingga abad keduapuluh, pengaruh ulama yang justru menguat walaupun gelombang kritik dari golongan modernis dan nasionalis sekularis bertubi-tubi menerpa membuktikan bahwa

The Khwarazmshah gave Fakhr al-DÊn the Ghurid palace in Herat as a residence, where his family continued to live even after his death.” Sumbernya antara lain Ibn al-AtsÊr, al-KÉmil fi ’t-TarÊkh, xii. 149–52, 162, 172–6 dan Ibn AbÊ Usaybi‘ah, ‘UyËn al-anbÉ’ 2:24.24 dan 2:26.20.

35 Mengenai ini lihat Yaacov Lev, “Symbiotic Relations: Ulama

and the Mamluk Sultans” dalam jurnal Mamluk Studies Review vol. XIII, no.1 (2009), hlm. 1-26; Daniella Talmon-Heller, “Religion in the Public Sphere: Rulers, Scholars, and Commoners in Syria under the Zangid and Ayyubid Rule (1150–1260),” dalam The Public Sphere in Muslim Societies, ed. Miriam Hoexter et al. (Jerusalem, 2002), hlm. 59ff; Bernadette Martel-Thoumian, Les civils et lʼadministration dans lʼetat militaire mamlūk (IXe/XVe siècle) (Damaskus: IFAO, 1992); dan Ira M. Lapidus, Muslim Cities in the Later Middle Ages (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1967), hlm. 107-115.

36 Richard Repp, “Some Observations on the Development

of the Ottoman Learned Hierarchy,” dalam Scholars, Saints, and Sufis, ed. by Nikki Keddie (Berkeley: University of California Press, 1972), hlm. 17-32 dan Amit Bein, Ottoman Ulema, Turkish Republic: Agents of Change and Guardians of Tradition (Stanford, CA.: Stanford University Press, 2011).

37 Joan E. Gilbert, “Institutionalization of Muslim Scholarship

and Professionalization of the ‘Ulamā’ in Medieval Damascus,” dalam jurnal Stvdia Islamica (Paris) vol. 52 (1980), hlm. 113.

38 Tentang ulama yang menjadi menteri, lihat Herbert W.

Mason, Two Statesmen of Medieval Islam. Vizier Ibn Hubayra (499–560 AH/ 1105–1165 AD) and Caliph an-NÉÎir li-DÊn Allah (553–622 AH/1158–1225 AD) (Den Haag: Mouton, 1972) dan Angelika Hartmann, an-NÉÎir li-DÊn AllÉh (1180–1225): Politik, Religion, Kultur in der späten ‘Abbasidenzeit (Berlin: de Gruyter, 1975).

39 Carl F. Petry, The Civilian Elite of Cairo in the Later Middle Ages

(Princeton: Princeton University Press, 1981).

umat tidak mungkin hidup tanpa ulama. Umat membutuhkan tuntunan dan teladan ulama. Di tengah situasi politik yang sering tidak menentu, ulama menjadi panutan dan rujukan, tumpuan harapan dan kekuatan moral tersendiri dalam menentang kezaliman dan keangkuhan penjajah asing. Pada zaman kolonial dan pasca kemerdekaan, semangat membela tanah air amat jelas terlihat dari Aceh hingga Ternate. Para ulama ketika itu berperan aktif dalam peperangan melawan Belanda. Sebagian melalui tulisan, sebagaimana dilakukan oleh Syekh ‘Abdus-Øamad al-FalimbÉnÊ dengan risalah jihadnya dan K.H. Hasyim Asy‘ari dengan resolusi jihadnya, sementara sebagian yang lain terjun langsung ke medan perang untuk bertempur seperti halnya Syekh Yusuf di Banten, Fatahillah di Jakarta, dan K.H. Noer Ali di Bekasi. Patriotisme ulama memang bukan fenomena baru. Ibn Taymiyyah yang ikut dalam pertempuran menghadang invasi tentara Tatar di Mesir salah satu contohnya.

Bagaimanakah posisi ulama di zaman kita sekarang? Apakah mereka sudah dipinggirkan atau ditinggalkan? Kendati banyak yang mengira demikian, kenyataan di berbagai belahan dunia Islam justru menunjukkan sebaliknya. Pengaruh ulama tetap kukuh dan kiprah mereka semakin terasa, baik melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan, karya-karya yang diterbitkan, maupun lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi-organisasi yang mereka dirikan, seperti yang kita saksikan di Indonesia dengan ribuan pesantren Nahdlatul Ulama (NU), sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis, Hidayatullah, dan lain sebagainya. Maka tidak berlebihan jika ada yang menyimpulkan bahwa para ulama telah berhasil merespon tantangan zaman dan masyarakat yang terus berubah:

the ‘ulama have not only continued to respond—

(12)

of learning have grown dramatically in recent decades.” 40

Pengamatan ini tentunya perlu diimbangi dengan pendapat yang menafikan keseragaman ulama karena adanya sebagian dari mereka yang konservatif menolak perubahan, modernisasi dan sekularisasi padahal sebagian lain yang

‘progresif’ beramai-ramai menerimanya: “During

the course of Islamic history the ulama have been both proponents of social change and preventers of it. In diverse times and places ‘ulama’ have either shunned or accepted state appointments”.41

Penutup

Jika ‘intelektual’ di Eropa adalah sebutan bagi mereka yang tidak mau setia atau terikat kecuali pada pemikirannya sendiri (bahkan tidak kepada bangsa, negara, dan agamanya sekalipun –sehingga berarti juga tidak nasionalis, tidak patriotis dan tidak religius); dan jika intelektual ialah mereka yang selalu berseberangan dengan penguasa, senantiasa kritis dan memberontak

terhadap segala bentuk kemapanan atau status

quo; dan jika mereka adalah orang-orang yang

‘berumah di atas angin’ serta tidak membumi

(déracinés), tak punya kuasa dan hanya pandai

bicara; maka intelektual bukanlah ulama. Lafaz ulama memang secara bahasa berarti orang berilmu, tetapi menurut Imam al-GhazÉlÊ tidak semua orang berilmu layak disebut ulama. Hal ini karena, menurut beliau, keulamaan bukan semata-mata soal pengetahuan atau kepakaran, akan tetapi soal ketakwaan dan kedekatan pada Tuhan. Ulama sejati adalah mereka yang tidak hanya dalam dan luas ilmunya tetapi juga tinggi rasa takutnya kepada Allah dan bersih batinnya dari bayangan

palsu (ightirÉr alias ghurËr) mengenai dirinya.

Beliau menamakan orang-orang berilmu yang mengidap penyakit rohani ini sebagai “ulama

busuk” (‘ulamÉ’ as-sË’), yang tidak hanya sia-sia

ilmunya akan tetapi justru membahayakan diri mereka sendiri maupun orang lain. Di zaman

Nabi Musa, peran ‘ulamÉ’ sË’ ini dimainkan

40 Muhammad Qasim Zaman, The Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change (Princeton: Princeton University Press, 2002), hlm. 2.

41 Joan E. Gilbert, “Institutionalization of Muslim Scholarship and Professionalization of the ‘Ulamā’ in Medieval Damascus,” dalam jurnal Stvdia Islamica (Paris) vol. 52 (1980), hlm. 106.

oleh as-SÉmirÊ. Adapun di zaman kita sekarang,

‘ulama’ semacam ini cenderung nyeleneh, suka

memutarbalikkan yang benar dan yang salah, menisbikan kebenaran dan kebaikan atas nama hak asasi manusia (HAM), konsitutusi dan demokrasi, menganjurkan sekularisme dan pluralisme, membolehkan perilaku LGBT, dan sebagainya.

Berbeda dengan para ulama yang telah digambarkan ciri-cirinya di atas, intelektual boleh jadi ateis, komunis, hedonis, liberalis, sekularis, dan pluralis. Para ulama sejati sudah pasti muslim yang beriman. Mereka tidak akan durhaka kepada Allah dan tidak mungkin mengikuti ideologi-ideologi keliru serta menyesatkan. Maka, andaikata ada orang-orang yang disebut ulama, dianggap ulama, ataupun merasa dirinya ulama, tetapi menunjukkan ciri-ciri yang aneh, itulah yang diistilahkan oleh

Imam al-GhazÉlÊ sebagai ulama su’ -- atau ulama

yang kualitasnya rendah, buruk, dan rusak. Ulama jelas tidak sama dengan intelektual, meskipun mereka boleh jadi sama-sama tidak

terikat baik dari segi ide (non-committal) maupun

aksi (independent) kepada kelompok, organisasi,

aliran atau mazhab tertentu, berdiri di atas

dan untuk semua golongan (non-sectarian), dan

tidak memihak (non-partisan) secara fanatis, dan

justru senantiasa kritis, pantang menyerah (

non-conformist), dan menentang arus (oppositional),

atau berani berbeda (dissident) dan menunjukkan

perlawanan (resistant) terhadap tirani, kebodohan

dan ketidakadilan. Perbedaan antara intelektual

dan ulama terletak pada niat, manhaj, aqidah dan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menunjukan bahwa hasil pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) metode westergreen manual dengan metode automatic menggunakan alat Caretium XC- A30 dengan nilai p =

Hasil penelitian Syukor (2017) menunjukan penurunan perbandingan volume sampel terhadap antikoagulan mengakibatkan terjadinya peningkatan nilai Prothrombin Time

Jika dibandingkan dengan kontrol yang merupakan keju tanpa pemeraman yang memiliki jumlah mikrobanya sebesar 12, 15x 10 -4 cfu -g , keju peram pada penelitian ini memiliki jumlah

Keberadaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang menjadi potensi pembangunan daerah turut diperhitungkan, dan dengan motto Gertak Saburai Sikep

Maka dalam langkah define hal pertama yang harus dilakukan dalam penelitian ini agar dapat menemukan masalah-masalah yang terjadi pada konveksi Cindy Garment yaitu

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh perceived ease to use dan subjective norm terhadap intention to use dengan perceived usefulness

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pengurangan risiko bencana banjir di Desa Gunungreja Kecamatan

Maka hasil pengukuran nilai nisbah untuk pelet dengan komposisi yang sama dari proses milling baik HEM-SPEX 8000M maupun HEM E3D yang masing-masing mencapai nilai 40% dan 20% pada