• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN KASUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN KASUS"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DALAM BEBERAPA KASUS HAM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah : HUKUM DAN HAM

Disusun Oleh :

SUNU DIPTA WIBIAKSO

NIM : A.131.09.0100

FAKULTAS ILMU HUKUM

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1. Temuan Komnas HAM Harus Dikembangkan Kejaksaan Agung

Di banyak Negara termasuk di Indonesia sering terjadi kecenderungan adanya penolakan untuk menyelidiki atau mengadili perkara perkara masa lalu. Di berbagai negara tersebut sikap melindungi secara terangterangan dipertunjukkan oleh para penguasa yang warga negaranya terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Perlindungan seperti itu tercermin dari kesengajaan rezim yang berkuasa untuk tidak membuat ketentuan perundangundangan yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat atau tidak menerapkan ketentuan perundangundangan yang sudah ada, atau memberikan interpretasi yang berbeda dengan apa yang dimaksud oleh peraturan perundangundangan mengenai kejahatan itu, sematamata hanyalah untuk menciptakan impunity bagi para pelaku kejahatan itu.

BAB II RUMUSAN PERMASALAHAN

Contoh kasus kejahatan pada Perang Dunia ke II: Adolf Hitler dan Mussolini selaku pihak yang bertanggung jawab dalam kejahatan perang waktu itu telah mati sebelum diadili, sementara Kaisar Hirohito – dengan berbagai pertimbangan, kasusnya tidak pernah terungkap dan tidak sempat diadili hingga yang bersangkutan wafat. Sedangkan contoh kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang terkesan ditutuptutupi adalah: kasus dugaan pelanggaran HAM berat Trisakti Semanggi I, II, Penculikan Paksa Aktivis Tahun 1997/1998, kasus Talangsari (di Lampung), kasus Waisor, Wamena (di Papua) yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM selalu terganjal oleh berbagai kepentingan politis tertentu.

(3)

Kejaksaan Agung dengan Komnas HAM setelah Jaksa Agung mengembalikan semua berkas pelanggaran HAM berat tersebut kepada Komnas HAM tertanggal 1 April 2008.

Dikembalikannya semua berkas tersebut, menurut Jaksa Agung selaku penyidik dan penuntut, karena berkas tersebut ‘masih kurang lengkap’, artinya belum memenuhi syarat formal dan materiil yang ditentukan. Namun sayangnya Jaksa Agung tanpa memberi petunjuk yang jelas di mana kekurangan hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut.

Padahal menurut ketentuan Pasal 20 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dalam hal ketidaklengkapan tersebut, Jaksa Agung wajib memberi petunjuk, perihal kekurangan hasil penyelidikan Komnas HAM. Bahkan sesuai Pasal 19 ayat (1) huruf (g) UU No. 26 Tahun 2000 penyidik Jaksa Agung dapat “mengembangkan” kasus tersebut dengan memerintahkan penyelidik Komnas HAM melakukan tindakan berupa: pemeriksaan surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat dan mendatangkan ahli dalam hubungannya dengan penyelidikan. Bila perlu Jaksa Agung sesuai wewenangnya dalam Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000, “dapat melakukan penangkapan dan penahanan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran HAM berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup”.

Mengenai pemanggilan paksa (subpoena) seorang saksi karena tidak bersedia dipanggil oleh Komnas HAM, hal ini sudah jelas diatur oleh Pasal 95 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang mengatakan: “Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”.

(4)

Sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, DPR tak mungkin menerbitkan rekomendasi politik terlebih dahulu kepada TNI/Polri tanpa terlebih dahulu Komnas HAM melakukan pemanggilan terhadap saksi saksi terkait untuk mencari fakta fakta berupa bukti ada tidaknya dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat. Berdasarkan hasil investigasi/penyelidikan Komnas HAM inilah akan ditindaklanjuti oleh penyidik Jaksa Agung apakah telah terdapat bukti permulaan yang cukup untuk selanjutnya dikembangkan oleh Jaksa Agung.

Jika pelanggaran HAM berat terjadi ‘sebelum’ berlakunya UndangUndang Pengadilan HAM, maka pemanggilan paksa seorang saksi belum bisa dilaksanakan oleh Pengadilan HAM, sebab Pengadilan HAM Adhocnya harus terlebih dahulu dibentuk atas usul DPR sesuai Pasal 43 ayat (2) Undang Undang Pengadilan HAM. Jika tetap dipaksakan pemanggilan saksi tersebut, akibat hukumnya pemanggilan itu tidak sah menurut hukum, alias “batal demi hukum”.

Yang bisa dilakukan Komnas HAM terhadap saksi yang tidak bersedia hadir terhadap kasus yang terjadi ‘sebelum’ berlakunya Undang Undang Pengadilan HAM Adhoc adalah, pertama: bersabar menunggu terbentuknya pengadilan HAM Adhocnya berdasarkan Keputusan Presiden. Kedua: demi penegakan hukum di bidang HAM, selaku warga negara yang baik dan taat hukum seharusnya saksi dimaksud secara ‘legowo’ menghadiri panggilan Komnas HAM tersebut. Ke tiga : jika saksi tidak memenuhi pemanggilan dimaksud, maka ketika sidangnya digelar, Majelis Hakim HAM dapat memanggil dia sebagai saksi dipersidangan, sekalipun dia tidak masuk dalam daftar Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

BAB III PEMBAHASAN MASALAH

Contoh kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi ‘sebelum’ berlakunya Undang Undang Pengadilan HAM yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Adhoc Jakarta adalah: pelanggaran HAM berat Timor Timur tahun 1999 dan pelanggaran HAM berat Tanjung Priok Tahun 1984.

(5)

tidak perlu mendapat rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM oleh DPR kepada Presiden, karena dengan sendirinya Pengadilan HAM sudah ada seperti di Jakarta, Medan, Surabaya dan Makasar sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Undang Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dan nama pengadilannya di sini bukan Pengadilan HAM Adhoc, tetapi Pengadilan HAM saja (tanpa adhocnya)

Contoh kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi ‘sesudah’ terbentuk Undang Undang Pengadilan HAM adalah: pelanggaran HAM berat Abepura tahun 2000 yang pernah ditangani oleh Pengadilan HAM Makasar.

Aneh : Jaksa Agung justru meminta agar terlebih dahulu DPR menerbitkan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM Adhoc kepada Presiden. Dan menurut Ketua Komisi III DPR: Trimedya Panjaitan mengatakan: “secara prosedural kejaksaan baru bisa melakukan penyidikan setelah mendapat rekomendasi dari DPR”. Pendapat ini menurut penulis telah “mengaburkan” makna dan penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Terhadap kasus yang terjadi ‘sebelum’ berlakunya Undang Undang Pengadilan HAM, DPR di sini tak boleh menolak atau memberi pendapat, bahwa temuan Komnas HAM dan Jaksa Agung bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seperti yang pernah terjadi pada periode DPR tahun 1999- 2004. Sebab kewenangan DPR di sini hanyalah memberi rekomendasi atau mengusulkan kepada Presiden agar diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) atas dugaan peristiwa pelanggaran HAM yang berat.

Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa DPR tidak berwenang menetapkan ada tidaknya pelanggaran HAM Berat, namun yang berwenang menetapkan ada tidaknya pelanggaran HAM berat adalah Pengadilan HAM Adhoc melalui proses pemeriksaan pokok perkara di persidangan. Soal apakah nantinya para pelaku dugaan pelanggaran HAM berat terbukti bersalah atau tidak adalah menjadi kewenangan Pengadilan HAM Adhoc.

(6)

penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Jaksa Agung berdasarkan peristiwa tertentu di Timor Timur dan Tanjung Priok ‘diduga’ telah terjadi pelanggaran HAM yang berat.

2. Pertanggungjawaban Komandan/Atasan

Negara tidak dapat menjalankan hak dan kewajibannya sendiri tanpa dilakukan oleh segenap instrumen (organnya) yang terdiri dari: para individu melalui institusi hukum atau institusi negara. Mereka yang menjalankan kewenangan negara dikenal sebagai aparatur negara dan aparatur penegak hukum. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh negara kepada aparatur Negara atau aparatur penegak hukum yang didalamnya terdiri dari individu inilah yang bertindak mewakili untuk dan atas nama negara. Mereka yang kemudian melakukan tindakan salah dan menimbulkan kerugian, akibatnya harus dipertanggungjawabkan kepada negara dan hukum. Sejumlah kasus yang membuktikan adanya peran institusi negara yang diwujudkan dalam suatu kebijakan (policy) yang “salah”, misalnya terlihat pada kasus apartheid mantan Presiden Afrika Selatan PW. Botha, dan disappearances mantan orang kuat Chile, Jenderal Augusto Pinochet serta pemberian Opsi merdeka atau integrasi kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh mantan Presiden Republik Indonesia BJ. Habibie kepada masyarakat Timor Timur, melalui “jajak pendapat” (referendum) tanggal 30 Agustus 1999.

Dalam kasus kasus pelanggaran HAM berat, terdapat kecenderungan untuk menerapkan prinsip tanggung jawab pidana yang bersifat individual terhadap para pelaku. Sebab yang melaksanakan tugas kewenangan Negara adalah para individu atas nama institusi negara.

(7)

menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat. Unsur unsure pidana pada ketentuan tersebut harus terbukti.

Mengenai pertanggungjawaban komandan/atasan ini diatur secara spesifik dalam Statuta Roma yaitu dalam Pasal 28 yang kemudian diadopsi oleh Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang terdapat dalam Pasal 42.

Menurut praktik Peradilan Internasional, dalam kasus pertanggung jawaban (commander’s responsibility), maka pihak yang bertanggungjawab secara hokum untuk “militer” adalah “komandan” (commander’s), sedangkan “atasan lainnya adalah: untuk “polisi” dan “sipil” (responsibility of other superiors). Bagi Negara Indonesia, maka yang dimaksud dengan Komandan “militer” adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) di lingkungan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara, sedangkan istilah “atasan lainnya:” adalah untuk kepolisian dan sipil dan disingkat dengan “atasan” saja.

Ketika digelar persidangan kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur di Pengadilan HAM Adhoc Jakarta pada tahun 2002 – 2004, ternyata pertanggungjawaban komandan/atasan tersebut diatas telah menimbulkan multitafsir yang berbeda antara hakim, jaksa penuntut umum, pembela, saksi ahli dan terdakwa. Hal itu terjadi karena menurut Pasal 9 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan kata “ditujukan secara langsung” (directed).

Hal ini dapat diinterpretasikan “hanya bagi para pelaku yang melakukan perbuatan secara langsung yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana”, sedangkan yang “tidak melakukan perbuatan secara langsung” (indirected) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Sementara menurut Pasal 42 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tersebut, secara khusus mengatur pertanggungjawaban komandan/ atasan terhadap perbuatan pasukan/bawahan yang dilakukan secara tidak langsung (indirected) atau delict by omission, dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah menjadi kontroversial dengan Pasal 9 tersebut.

(8)

ternyata perbuatan komandan/atasan tidak dilakukan secara langsung/aktif, melainkan karena “tidak dilakukan pengendalian pasukan/bawahan secara patut”, artinya komandan/atasan itu mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pasukan/bawahan sedang melakukan pelanggaran HAM berat, tetapi dia tidak mencegahnya secara patut dan layak.

Mestinya menurut ketentuan Pasal 42 tersebut perbuatan komandan/atasan yang dilakukan secara tidak langsungpun tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Karena menurut doktrin Pertanggungjawaban Komandan/atasan secara internasional, perbuatan tidak langsungpun (indirect) atau yang disebut perbuatan pasif (delict by omission) tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pelanggaran HAM berat, artinya pasukan tersebut tidak melakukan pencegahan atau gagal untuk menghentikan terjadinya pelanggaran HAM berat, pasukan tersebut sudah termasuk sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat.

Mengenai pertanggungjawaban pidana dari komandan/ atasan yang menyimpang dari pertanggungjawaban pidana harus diketahui hubungan antara “posisi” komandan/atasan dengan “perbuatan” yang didakwakan kepadanya. Artinya makna tanggungjawab komandan/atasan tidak hanya bertanggung jawab kepada bawahan saja, tetapi bertanggung jawab kepada sikap komandan yang “membiarkan” (crimes by omission) perbuatan melawan hukum dari pasukan/bawahannya atau tidak melakuan upaya yang diperlukan dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan atas perbuatan itu.

(9)

terjadinya pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pasukan/bawahannya (indirect command responsibility).

Di sini harus dibedakan pula mengenai pertanggungjawaban komandan/atasan yaitu “perbuatan yang didasarkan pada perintah komandan/atasan yang melawan hukum” dan “perbuatan pasukan/bawahan yang melawan hukum, tetapi tidak berdasarkan perintah komandan/atasan”. Jika perbuatan melawan hukum yang terjadi itu adalah karena adanya perintah komandan/atasan, maka yang harus dibuktikan terlebih dahulu adalah “adanya perintah komandan/atasan yang melawan hukum itu”. Sementara jika perbuatan itu tanpa adanya perintah komandan, maka yang harus dibuktikan terlebih dahulu adalah adanya perbuatan melawan hukum dari pasukan/bawahan itu sendiri, baru kemudian membuktikan sejauh mana komandan/atasan melakukan “pembiaran” terhadap perbuatan itu.

Dengan melihat pada unsur-unsur yang harus dibuktikan dalam kasus pertanggungjawaban komandan/atasan itu, maka unsur-unsur “perbuatan” (unsur material, actus reus) dan unsur-unsur “tidak berbuat secara langsung” (by omission) harus dibuktikan secara berurutan (chronologically), yaitu mulai dari komandan/atasan hingga bawahan/pasukan. Jika hal itu terbukti, atas dasar itulah baru dikatakan adanya kasus pelanggaran HAM berat yang berhubungan dengan tanggung jawab komandan/atasan.

Dalam pertanggungjawaban komandan, garis komando bisa ditarik garis ke atas dengan syarat harus memenuhi elemen/unsur-unsur sebagai berikut:

1. Harus terlebih dahulu terbukti anggotanya melakukan pelanggaran HAM berat. Jika tidak terbukti, maka tidak akan ada pertanggungjawaban komando.

(10)

3. Komandan tidak melaksanakan atau gagal melaksanakan kekuasaan yang ada padanya untuk menghentikan atau menyerahkan kepada yang berwajib. Contoh, jika Komandan Kodimnya tidak berbuat sesuatu, maka dia harus bertanggung jawab akan hal itu, kemudian diusut ke atas. Kalau Danremnya juga tidak berbuat sesuatu, maka dia harus bertanggung jawab begitu berturut-turut sampai ke Pangdam, ke atas.

Mengacu kepada doktrin pertanggungjawaban komandan/atasan langsung maupun tidak langsung, komandan yang melakukan pembiaran atau gagal bertindak atas kejahatan yang terjadi di dalam pengendaliannya yang efektif tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana. Hal ini karena ada 4 (empat) elemen/unsur utama pertanggungjawaban komando, antara lain:

1. Adanya hubungan langsung antara bawahan dengan atasan baik secara de jure maupun de facto.

2. Atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui bahwa telah terjadi atau sedang dilakukan tindak pidana.

3. Atasan memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mencegah dan menahan terjadinya tindak pidana.

4. Atasan gagal mengambil langkahlangkah yang diperlukan guna mencegah atau menghentikan tindak pidana.

Khusus elemen “mengetahui” (had knowledge) di sini, Prof. Bantekas merinci tanggung jawab komandan itu menjadi 3 hal, antara lain:

1. Apabila Komandan telah mengetahui (had knowledge) bahwa kejahatan telah atau akan dilakukan dan tidak mencegah atau menghukum pelakunya. Di sini terdapat elemen “actual knowledge” (betulbetul mengetahui).

2. Apabila seorang Komandan seharusnya mengetahui. Di sini terdapat elemen “dianggap mengetahui” (presumtion of knowledge).

(11)

sini terdapat “alasan untuk mengetahui” yang disebut the reason to know element of knowledge.

Dalam kasus pertanggungjawaban komandan/atasan, maka standar “mengetahui” dari seorang komandan/atasan – terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh pasukan/bawahannya – merupakan pertimbangan penting untuk menentukan sejauh mana tanggung jawab komandan/atasan itu. Sebab semakin tinggi pangkat komandan/atasan tersebut semakin tinggi persyaratan untuk “mengetahui” suatu keadaan. Terminologi “mengetahui” dalam kasus-kasus pertanggungjawaban komandan/atasan mengenal beberapa tingkatan, di mana tingkatan paling rendah adalah “actual knowledge” (mengetahui secara pasti), sampai pada tingkatan yang lebih tinggi seperti “had reason to know” (memiliki alasan untuk mengetahui) atau “should have known” (seharusnya mengetahui).

Menurut Brigjen PLT. G, selaku saksi ahli pada persidangan Pengadilan HAM Adhoc Jakarta atas nama terdakwa Mayjen I mengatakan, bahwa untuk “elemen pengetahuan komandan” telah terjadi atau sedang terjadi pelanggaran HAM berat, tidak mesti komandan itu mengetahuinya berdasarkan laporan resmi dari bawahan, tetapi misalnya pemberitaan di media massa baik cetak atau elektronika yang menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM, maka hal itu sudah dapat dijadikan sebagai bukti sudah terjadi pelanggaran HAM berat. Ilias Bantekas menganalisis situasi-situasi dalam hal mana komandan/atasan bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan pasukan/bawahannya, yaitu:

“International humanitarian law recognizes two distinct duties that are incumbent on superiors: the duties to prevent and punish the crimes of one’s subordinates” (Hukum kemanusiaan internasional mengakui adanya kewajiban yang muncul berupa pertanggungjawaban komandan/atasan yaitu kewajiban untuk mencegah dan menghukum kejahatan yang dilakukan oleh anak buah/bawahannya).

(12)

untuk mencegah tindakan mereka ataupun menghukum anak buah tersebut ketika suatu kejahatan terjadi).

Dengan demikian, terdapat dua unsur penting dalam pertanggungjawaban komandan/atasan ini yaitu “tugas untuk mencegah perbuatan itu” dan “untuk menghukum pasukan/ bawahan yang melakukannya”.

Pandangan Banteks ini sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 28 Statuta Roma 1988 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengenai tanggung jawab komandan/atasan.

Menurut penulis, berdasarkan doktrin tersebut ada jaminan dari terdakwa (selaku komandan) untuk mencegah atau menghukum setiap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan pasukan/anak buah) baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan langkah pertama yang akan menentukan apakah “pelaku langsung atau tidak langsung” dari kejahatan itu benar-benar melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang kekuasaan (abuse of power) atau gagal bertindak dalam pengendaliannya yang efektif, terlebih setelah diterapkannya keadaan darurat militer dalam wilayah tertentu sebagaimana dalam dakwaan/tuntutan Jaksa, “harus dapat dibuktikan dalam proses persidangan”.

(13)

Contoh kasus sebagai sampel dari pihak TNI yang dibebaskan oleh Mahkamah Agung, adalah terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo (mantan Dandim 1627 Dili) Terdakwa Brigjen Mohammad Noer Muis (mantan Dandrem Timor Timur) dan terdakwa Mayjen (TNI) Adam R. Damiri (mantan Pangdam Udayana) dalam kasus Pelanggaran HAM berat Timor Timur tentang pertanggungjawaban komandan militer di Pengadilan HAM Adhoc Jakarta pada tahun 2002 – 2004, masing-masing telah divonis bersalah 5 tahun Penjara, karena terbukti melakukan Pelanggaran HAM berat berupa: “kejahatan terhadap kemanusiaan pada tingkat pertama.”

Kesalahan Terdakwa Soedjarwo ketika itu secara “tiba-tiba menarik pasukan” dari kediaman Uskup Belo pada tanggal 5 September 1999 sekitar pukul 06.00 WIB yang sebelumnya telah dijaga ketat oleh petugas keamanan dua peleton pasukan sebanyak 60 orang setelah pengumuman jajak pendapat Timor Timur tanggal 4 September 1999. Alasan penarikan pasukan tersebut menurut Kapten Hartono (Pasi Ops) dan Mayor Salman Manafe (Kasdim) selaku anak buah terdakwa Soedjarwo, karena akan diadakan “missa kudus” pada pagi hari itu. Namun berselang ± 2 jam pihak prointegrasi (pihak yang kalah dalam pengumuman jajak pendapat) langsung melakukan penyerangan secara membabi buta di kediaman Uskup Belo yang menelan banyak korban.

(14)

karena secara institusi Terdakwa Soedjarwo selaku Dandim Dili, berada di bawah wewenang kekuasaan terdakwa Mohammad Noer Muis dan Adam R. Damiri.

Namun, putusan Pengadilan Tingkat Banding dan Kasasi di Mahkamah Agung telah membatalkan putusan majelis hakim tingkat pertama tersebut, yaitu membebaskan semuanya terdakwa dengan alas an “tidak terbukti” melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur.

Contoh kasus serupa pernah dipraktikkan dalam sebuah kasus yang sangat dikenal luas setelah Perang Dunia ke II, yaitu kasus kejahatan perang yang dilakukan oleh terdakwa Jenderal Yamashita dari Tokyo – Jepang. Yamashita adalah seorang Jenderal yang memimpin pasukan Jepang waktu menduduki kepulauan Filipina pada Perang Dunia ke II. Yamashita sebagai seorang Jenderal gagal untuk mencegah tindakan pasukannya di wilayah Filipina hingga terjadi pelanggaran HAM berat seperti pemerkosaan, pembunuhan, dan pembumi hangusan pemukiman penduduk di wilayah Filipina dan ibukota Manila. Kejadian berdarah yang terjadi dalam rentang waktu antara 9 Oktober 1944 hingga 3 September 1945 itu telah menelan ribuan korban jiwa baik di pihak sipil Filipina maupun militer Amerika saat itu.

Dalam persidangan Mahkamah Militer Amerika Serikat, Yamashita memberikan pembelaan bahwa pasukannya dalam keadaan kacau balau, dan bahwa ia berada jauh dari pasukannya dan terputus hubungan komunikasinya dari pasukan yang melakukan kejahatan-kejahatan. Dan tidak ada cara apapun untuk mengetahui perbuatan pasukannya yang jaraknya ratusan mil dari tempatnya. Namun Mahkamah Militer tetap mengatakan bahwa Yamashita bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan pasukannya itu “hanya” dengan pertimbangan bahwa ia adalah komandan (superior) pasukan tersebut, karena tidak mengambil langkah-langkah untuk mencegah kejahatan atau menghukum kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku.

(15)

kejahatan itu Yamashita telah dihukum dengan “Pidana Mati”, dan putusan tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat.

Dalam kasus berikutnya, Slobodan Milosevic (mantan Presiden Bosnia di Yugoslavia) gagal mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat internasional berdasarkan kesaksian dari Komandan Nato Wesley Clark mengatakan bahwa pada tahun 1995 di Srebenica yang menyebabkan lebih dari 8.000 jiwa tereksekusi dan kira-kira 354 orang lainnya terbunuh. Milosovic gagal menghukum semua pelaku yang bertanggung jawab terhadap pelaku pembantaian tersebut. Dan Milosovic juga gagal mengirim para pelaku pembantaian itu ke Pengadilan. Namun sangat disayangkan, sebelum kasus ini diputus oleh Pengadilan, Milosovic meninggal dunia, karena sakit jantung.

Berdasarkan doktrin pertanggungjawaban komandan/atasan tersebut, maka keprofesionalitasan seorang Hakim di sini dituntut memiliki pengetahuan di bidang HAM dan memiliki latar belakang konsentrasi hukum pidana dan Tata Negara, serta hubungan internasional, karena konsentrasi ilmu pengetahuan tersebut akan seiring sejalan dalam melahirkan suatu putusan HAM yang berkualitas, manusiawi, berhati nurani dan independen.

BAB IV PENUTUP KESIMPULAN

(16)

Komnas HAM memanggil seseorang yang menolak untuk datang menghadap memberikan keterangannya, Komnas HAM sesuai kewenangannya dalam Pasal 95 Undang Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dapat memanggilnya secara paksa lewat bantuan Ketua Pengadilan HAM.

Menurut penulis, mana mungkin DPR mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden tanpa terlebih dahulu Jaksa Agung menindaklanjuti hasil temuan kesimpulan penyelidikan Komnas HAM? Sebab menurut penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU tersebut secara eksplisit mengatakan, bahwa “dalam hal DPR RI mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Adhoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya UU ini”. Artinya, bahwa dasar DPR menyatakan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat adalah didasarkan pada hasil penyelidikan Komnas HAM dan hasil penyidikan dari Jaksa Agung. SARAN

Referensi

Dokumen terkait

Biji yang dipanen sebelum tingkat kemasakan fisiologisnya tercapai, tidak mempunyai viabilitas tinggi, bahkan pada beberapa jenis tanaman benih demikian tidak

Hubungan Pengetahuan dan Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS) Ibu dengan Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kuin Raya Kota Banjarmasin Tahun 2015..

Secara tidak langsung, program itu dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai suatu bentuk legalisasi terhadap keberadaan permukiman di daerah bantaran Sungai Code, sehingga mereka

Penerapan data anthropometri ukuran tubuh manusia dalam merancang mesin penyayat bambu ternyata dapat berpengaruh dalam merubah posisi kerja operator yang semula hanya

Protective factor dari perkembangan hidup pelaku yang paling utama adalah perhatian dan kepedulian orangtua (parental affection), menumbuhkan kedekatan emosional

Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemberdayaan yang dilakukan oleh kelompok Maju Pemuda Makmur sudah terlaksana dengan baik dan salah satu diantara pemberdayaan

Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji normalitas. Untuk menentukan statistik apa yang harus digunakan dalam pengujian hipotesis. Uji

Jenjang Pendidikan Kepala Desa % kriteria SMP 77,2 Tinggi SMU 73,8 Tinggi Sarjana 74,1 Tinggi Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa indikator tentang