• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Kebebasan Beragama dalam Perspektif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hak Kebebasan Beragama dalam Perspektif"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Buku 4

Subtema: Multicultural Education in Indonesia:

Challenges and Opportunities

PROCEEDING

AICIS XIV

Editor:

Muhammad Zain

Mukhammad Ilyasin

Mustakim

Kerjasama Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI

(3)

ii | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Copyright 2014 by Annual International Conference on Islamic Studies XIV

All rights reserved. Not part of this publication my be reproduced, stored in a retrieval system or transmitted, in any from or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording, otherwise, without the prior permission in writing of the Annual International Conference on Islamic Studies.

International Standard Book Number: 978-602-7774-43-8

978-602-7774-39-1 (Jilid Lengkap)

Editor. Proceeding Annual International Conference on Islamic Studies AICIS) XIV. STAIN Samarinda, 2014

(4)

Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities | iii

Sekapur Sirih

Panitia Pelaksana

Annual International Conference on Islamic Studies dulu disebut ACIS, Annual Conference on Islamic Studies. Sejak tahun 2012 di Surabaya ACIS menjadi konferensi tahunan yang berskala internasional. Konferensi ini dimaksudkan sebagai mimbar akademik bagi peminat kajian keislaman dari berbagai mazhab pemikiran, pendekatan, ragam dan lokus kajian Islam di Indonesia. Selain itu, AICIS juga menjadi barometer perkembangan kajian Islam di Indonesia.

Dari tahun ke tahun, AICIS membahas tema utama sesuai dengan kecenderungan kajian Islam Indonesia pada kurun waktu tertentu, sehingga tema-tema AICIS cukup variatif. Sebagai contoh tahun 2011 membahas tema: “Merangkai Mozaik Islam dalam Ruang Publik untuk Membangun Karakter Bangsa”. Tahun 2010 mengkaji topik: Re-inventing Indonesian Islam (Menemukan Kembali Jati Diri Islam Indonesia/Nusantara). Tahun 2009 mengusung tema: Merumuskan Kembali Kajian Keislaman di Indonesia. Tahun 2008 mengusung tema: Penguatan Peran PTAI dlm Meningkatkan Daya Saing Bangsa. Tahun 2007 membahas: Kontribusi ilmu-ilmu Keislaman dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Kemanusiaan Pada Milenium Ketiga. Tahun 2006 mengkaji: Relasi Kajian Islam dan Science dalam Merespon Tantangan Lokal dan Global. Tahun 2005 membahas tema: Quo Vadis Islamic Studies in Indonesia. Demikian seterusnya.

Tahun 2013, DIKTIS Kementerian Agama RI bekerjasama dengan IAIN Mataram, Nusa Tenggara Barat menyelenggarakanAICIS yang ke-13. AICIS ke-13 mengusung tema:“Paradigma Unik Kajian Keislaman Indonesia: Menuju Kebangkitan Peradaban Islam” (Distinctive Paradigm of Indonesian Islamic Studies: Towards Renaissance of Islamic Civilization).

Tahun 2014, AICIS dilaksanakan di Balikpapan dengan kerja sama STAIN/IAIN Samarinda, tanggal 21 sampai 24 Nopember 2014. AICIS kali ini sangat meriah dan dihadiri oleh 1.600-an peserta dan undangan. Terdapat 1.006 paper yang mendaftar secara on line. Dari proses seleksi dan total makalah yang diundang untuk presentasi sebanyak 375, termasuk 200 makalah dalam kategori poster session.

Poster session baru kali ini diselenggarakan. Sesi poster, para presenter membawa poster sendiri dengan ukuran tertentu yang memuat temuan dan hasil penelitiannya. Mereka difasilitasi oleh panitia dalam ruangan tersendiri dan terpisah dengan sesi paralel dan pleno. Para pengunjung dan sesama presenter saling berdebat dan membincangkan current issues riset mereka. Mereka bertukar pikiran, dan berdiskusi serta membangun intellectual networking.

(5)

iv | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

AICIS ini ibarat “panggung akademik” yang telah disediakan Kementerian Agama RI. Kualitas, hasil dan performance panggung bergantung kepada pemilik tradisi kajian keislaman Indonesia, para dosen, pakar dan peneliti di PTKI. Mari kita berfokus membesarkan AICIS dengan terus menerus menyempurnakannya serta menggunakan momentum AICIS untuk kemajuan PTKI. Agar dokumen AICIS dapat dikenang dan menjadi bahan kajian, panitia berupaya untuk mencetak proceeding AICIS pada setiap event-nya.

Akhirnya, kami menyampaikan prmohonan maaf atas kekurangan yang ada. Sesungguhnya, kami sudah berusaha untuk mempersembahkan yang terbaik. Kami sadar, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Selaku panitia, kami terhibur dengan sebuah kalimat bijak “…ketika engkau menginginkan sesuatu tetapi belum tercapai, itu berarti Tuhan sedang memberitahumu, bahwa engkau harus bekerja lebih keras lagi”. Salam AICIS.

Jakarta, November 2014 Panitia Pelaksana,

(6)

Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities | v

Pengantar

Direktur Pendidikan Tinggi Islam

Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A

Assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh

Salah satu kekayaan bangsa Indonesia adalah Kajian Keislaman khas Nusantara yang sudah berlangsung sejak lama. Proses pemaknaan terhadap ajaran Islam pada masa lalu berlangsung di dunia pesantren. Di sini, kajian keislaman dipahami sebagai wilayah yang berhadapan dengan masalah dunia, yaitu ad-din dalam pengertian akhirat. Proses kedua adalah pemahaman ajaran Islam pada masa-masa awal pendirian perguruan tinggi keislaman. Masa ini berlangsung beberapa waktu pasca kemerdekaan bangsa Indonesia. Di sini, orientasi pembelajaran keislaman masih berkisar kepada wilayah akherat, namun sudah menggunakan logika kritis. Proses ketiga adalah era mulai digagasnya konversi IAIN dan STAIN menjadi UIN. Ini terjadi pada awal tahun 2000.

Munculnya pemikiran untuk mendirikan universitas keislaman negeri menandai meluaskan wilayah kajian keislaman, yang semula berkutat kepada wilayah abstrak filosofis berkembang menjadi kritis-humanis. Kajian keislaman mulai melibatkan teori-teori ilmu social dan diupayakan menyentuh kepada problem masyarakat kontemporer. Dalam konteks inilah, tema Annual International Conference on Islamic Studies atau AICIS ke-14 tahun 2014 ini menjadi penting untuk dibicarakan.

AICIS atau Konferensi Tahunan Kajian Islam dimaksudkan sebagai event tahunan untuk mempresentasikan, mengevaluasi, sekaligus menjadi tolok ukur derap laju perkembangan ilmu-ilmu keislaman di Indonesia. Di sini, para peminat kajian keislaman sebisa mungkin mengupayakan agar ilmu keislaman yang dikembangan Perguruan Tinggi Keislaman Islam semakin menyentuh problem dan tantangan masyarakat Indonesia dewasa ini yang semakin beragam.

Atas pertimbangan inilah tema AICIS ke-14 Tahun 2014 ini adalah “Merespon Tantangan Masyarakat Multikultural: Kontribusi Kajian Islam Indonesia” (Responding the Challenges of Multicultural Societies: The Contribution of Indonesian Islamic Studies).

Ada perkembangan menarik. Dari tahun ke tahun, peminat konferensi kajian keislaman kelas dunia yang diselenggarakan Kementerian Agama RI ini menyedot minat masyarakat akademisi dan pemerhati kajian Islam dunia. Mereka yang mengirimkan paper untuk mengikuti seleksi panitia terus meningkat.

Ada banyak hal yang bisa diperoleh dari forum konferensi ini, selain memaparkan dan mendengarkan temuan-temuan penting dari setiap paper yang dipresentasikan para pembicara dan ada juga yang disosialisasikan dalam bentuk poster. Forum tahunan ini juga menjadi semacam forum pertemuan antar pimpinan perguruan tinggi Islam, ajang untuk membangun relasi di bidang dunia akademik oleh para sarjana, ilmuwan dan intelektual dari berbagai bidang.

(7)

vi | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Sebagai penghargaan dan apresiasi yang tinggi terhadap hasil kajian dan karya para pembicara AICIS XIV, seluruh materi/makalah, baik sessi pleno maupun sessi paralel, Diktis membuat Proceeding dalam bentuk buku yang berisi sejumlah kumpulan materi/makalah yang dipresentasikan dalam forum AICIS XIV, dengan harapan agar bisa memberikan nilai tambah terutama bagi para penulis dan presenter, disamping juga sebagai laporan dokumentasi tentunya.

Akhirnya, kami ucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan terlibat dalam pembuatan Proceeding AICIS XIV ini, semoga memberikan manfaat yang besar bagi semua kalangan.

Wassalamu ‘alaikum wr.wb.

Jakarta, Desember 2014

Direktur Diktis,

(8)

Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities | vii

Sambutan

Direktur Jenderal Pendidikan Islam

Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A

Assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh

Alhamdulilah, atas hidayah dan inayah-Nya AICIS ke-14 bisa diselenggarakan dengan lancar, tertib dan sesuai harapan. Shalawat dan do’a kita sampaikan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, karena teladan dan pandangan serta berkat perjuangan beliau beserta sahabat dan keluarganya, sehingga Islam masih jaya hingga dewasa ini.

AICIS XIV di Balikpapan dilaksanakan bekerjasama antara Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dengan STAIN Samarinda yang sebentar lagi akan diresmikan sebagai Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda. AICIS kali ini adalah perhelatan yang ke-14. AICIS adalah festival akademik yang prestisius di Kementerian Agama. Halmana, pada forum ini para guru besar, dosen, peneliti dan pemerhati kajian Islam berkumpul, berdiskusi yang berskala internasional. Mereka datang dan mempresentasikan current issues dan temuan-temuan ilmiyahnya sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing.

Dari tahun ke tahun, AICIS semakin diminati. Hal ini dapat dilihat dari jumlah paper yang masuk pada panitia penyelenggara terus meningkat, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Dalam catatan panitia, acara AICIS dihadiri sedikitnya 1.601 (seribu enam ratus satu) peserta, partisipan, tamu undangan dan pembicara AICIS. Jumlah paper yang masuk via on line adalah 1.000 artikel. Terdapat 580 artikel yang memenuhi syarat administratif untuk diseleksi. Dan hasil seleksi tim penilai sebanyak 160 presenter yang diundang dalam kategori parallel session, dan 200 orang sebagai poster presentation. Total paper yang dipresentasikan sebanyak 375 (ditambah dengan sesi pleno dan teleconference).

Teleconference diadakan sebagai pertanda bahwa jarak bukanlah suatu kendala untuk berbagi ide, gagasan dan pengalaman. The world is flat. Dunia sudah datar.

Islam yang terbentang dari Maroko sampai Merauke, dari Amerika Serikat sampai Eropa—menurut John L.Esposito--sedang berada di persimpangan jalan besar sebagaimana juga agama-agama besar lainnya dalam menghadapi perubahan yang sangat cepat. Islam seharusnya sebagai solusi alternatif bagi tatanan dunia global, jika ditilik dari mayoritas Islam yang sedang mengembangkan demokrasi, hak asasi manusia, sikap saling menghormati, saling bekerjasama antar komunitas beriman untuk membangun a strong civil society.

Demikian pula halnya dengan Islam Nusantara mestinya menjadi center of excellence dan kiblat dunia. Karena pergumulan Islam Nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Pengalaman Islam Indonesia yang menunjukkan bahwa Islam dan demokrasi adalah compatible menjadi branding

untuk dikenalkan kepada masyarakat dunia.

(9)

viii | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Sebagai rasa syukur atas penyelenggaraan AICIS XIV ini dan untuk mendokumentasikan hasil-hasil kajian dan paper/makalah para presenter baik makalah sessi pleno maupun sessi paralel, Ditjen Pendidikan Islam melalui Direktorat Pendidikan Tinggi Islam memandang perlu untuk membuat Proceeding AICIS XIV.

Untuk itu kepada semua pihak kami ucapkan terima kasih, atas terbitnya proceeding ini. Semoga buku sederhana ini akan memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan kajian keislaman Indonesia khususnya dan masyarakat luas umumnya.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Jakarta, Desember 2014 Direktur Jenderal,

(10)

Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities | ix

Sambutan Menteri Agama RI Pada Pembukaan Annual

International Conference on Islamic Studies XIV

Tanggal 21 November 2014 di Balikpapan

Assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh

Yth Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Yth Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Tmur, Yth Bupati dan Walikota se-Kalimantan Timur; Yth Para Pejabat Kementrian Agama

Yth Para Pimpinan Perguruan Tinggi Islam,

Yth Para Direktur Sekolah Pascasarjana se-Indonesia Yth Para Profesor, Guru Besar, tokoh agama/masyarakat Yth Para Pembicara dari dalam dan luar luar negeri

Yth Para peneliti, nara sumber parallel dan poster presentation.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan ‘inayah-Nyalah, sehingga kita dapat menghadiri dan menyelenggarakan Annual International Confence on Islamic Studies (AICIS) ke-14, di Balikpapan. Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, teladan umat manusia sampai akhir zaman.

Saudara-saudara hadirin yang berbahagia,

Saya menyambut gembira dan memberikan apresiasi atas penyelenggaraan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) sebagai pertemuan ilmiah berskala internasional di Tanah Air kita. Saya ikut bangga kegiatan AICIS kali ini, selain dihadiri oleh para pembicara dari dalam negeri, juga hadir pembicara tamu dari luar negeri, seperti dari Maroko, Mesir, Inggris, Netherlands, Qatar, Amerika, Australia, dan negeri serumpun Malaysia.

Sejalan dengan tema “Merespon Tantangan Masyarakat Multikultural, Kontribusi Kajian Islam Indonesia”, tidak berlebihan jika saya menyatakan bahwa dinamika masyarakat Indonesia dan tatanan global dengan segala problematikanya dewasa ini menantikan peran para ilmuwan dan cendekiawan muslim sebagai pembawa misi Islam yang mencerahkan peradaban. Dalam konteks ini studi Islam harus dilihat lebih luas sebagai unsur yang harus tampil memberi makna terhadap pembangunan karakter dan turut memberi arah bagi revolusi mental bangsa Indonesia.

(11)

x | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Toleransi dan multikulturalisme bukan berarti melepaskan akidah agama dan menanggalkan identitas sebagai penganut agama tertentu, demi persamaan dan kebersamaan. Akan tetapi toleransi dan multikulturalisme, perlu dipahami sebagai sikap positif dan apresiatif dalam memandang dan memperlakukan golongan lain yang berbeda dengan kita. Dalam ungkapan lain, toleransi adalah saling memberi untuk... ayat (1) ayat (2).

Saudara-saudara hadirin yang berbahagia,

Islam di Indonesia adalah kekuatan pendorong demikrasi. Islam yang compatible dengan demikrasi, dengan merujuk pada pengalaman Indonesia, memberi harapan baru bagi tatanan perdamaian global. Harapan dunia bahkan kini tertuju kepada Islam Indonesia sebagai model dan referensi dunia dalam membangun demokrasi tanpa berbenturan dengan agama sebagai keyakinan hidup masyarakat.

Dalam spektrum yang sama kita melihat jejak perkembangan intelektualisme Islam sebagai pemberi kontribusi penting dalam keindonesiaan modern. Kita dapat mengatakan, studi Islam sebagai disiplin keilmuan dengan misi dan daya tarik tersendiri telah turut mewarnai kemajuan dunia pendidikan Indonesia. Studi Islam yang dibangun dan dikembangkan di lembaga pendidikan tinggi Islam di seluruh Tanah Air telah memberi andil besar dalam membentuk mainstream wajah umat Islam Indonesia yang moderat.

Kontribusi dan peran strategis lembaga pendidikan Islam di bawah naungan Kementerian Agama, dalam upaya menciptakan pemahaman agama yang rahmatan lil ‘alamin, merupakan fakta dan fenomena yang selalu menarik untuk dikaji. Perguruan Tinggi Agama Islam senantiasa mengajarkan Islam dan keberagamaan yang toleran. Islam garis keras bukanlah pilihan umat dan juga bukan Islam yang mainstream di Nusantara ini.

Dewasa ini agama-agama besar dunia terus berbenah diri. Belakangan, kita melihat gerakan Karen Armstrong yang sedang gencar-gencarnya mengkampayekan “agama cinta kasih”. Pengembaraan Armstrong yang panjang dalam menggeluti studi agama-agama besar dunia seperti Katolik, Yahudi, Buddha dan Islam, mengantarkannya untuk berpendapat bahwa ternyata kita harus segera menampilkan agama-agama pada masa Aksial. Masa Aksial adalah masa sekitar Nabi Ibrahim a.s hidup. Di sanalah sisi-sisi agama yang paling otentik. Dalam sejarahnya sangat kecil peranan agama dan konflik, kekerasan, dan tragedi berdarah. Kalau ada konflik yang ditengarai sebagai konflik atas nama agama, pastilah bukan karena ajaran agama tertentu, tetapi karena latar kekuasaan, politik dan ekonomilah yang menjadi pemicunya.

Hadirin peserta konferensi yang berbahagia,

(12)

Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities | xi tentang jihad yang hanya ditafsirkan sebagai qital (perang), padahal makna generiknya adalah setiap usaha yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan ridla Allah SWT.

Saya sungguh amat prihatin, sebagian kita sekarang begitu mudahnya mengatakan sesama saudara seiman sebagai kafir, murtad. Beda penafsiran hadis, beda penafsiran ayat Al-Qur’an, sebagian kita saling mengkafirkan, sunni dan syi’ah saling bunuh, padahal Al-Ghazali...

Hadirin yang saya hormati,

Segi lain yang menarik yang perlu menjadi perhatian ialah kebijakan pendidikan yang dicanangkan pemerintah untuk perluasan akses pencerdasan masyarakat. Sampai saat ini Angka Partisipasi Kasar Indonesia masih berkisar 30 persen yang berarti ada 70 persen anak usia belajar/kuliah yang berada di luar perguruan tinggi. Dan hanya 8,5 persen total angkatan kerja kita yang pernah mengenyam pendidikan di pergruan tinggi, Sehingga, ketika mereka memasuki pasar kerja, akan digaji rendah sebagai buruh kasar, dan begitupun kalau mereka keluar negeri.

Padahal pendidikan memiliki peran penting sebagai pemutus mata-rantai kemiskinan, baik kemiskinan struktural maupun kemiskinan kultural, serta untuk mengangkat harga diri bangsa di mata internasional. Oleh karena itu perguruan tinggi harus memperluas orientasi menjadi kampus nonkognitif. Sekolah dan perguruan tinggi yang sangat kognitif sulit bisa menolong peserta didik atau mahasiswa untuk memutus mata rantai kemiskinan.

Menurut sebuah data, dewasa ini hanya 3 persen anak yang berasal dari keluarga miskin yang bisa menyelesaikan kuliah, sedangkan keluarga yang berkecukupan mencapai 46 persen yang menyelesaikan pendidikan. Masalah ini harus menjadi perhatian kita bersama untuk mengatasi dan menanggulanginya. Untuk itu mari kita terus membangun dan memajukan studi Islam sebagai jembatan emas menuju masa depan peradaban yang gemilang. Secara khusus, sebelum akhiri sambutan ini, saya ingin sampaikan wacana tentang perlu/tidaknya perguruan tinggi agama pindah ke kementerian ristek dikti…..

Hadirin yang berbahagia,

Demikian beberapa hal yang dapat saya sampaikan dalam kesempatan ini, akhirnya dengan memohon ridha Allah SWT dan ucapan Bismillahirrahmanirrahim, Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-14 tahun 2014 saya nyatakan secara resmi dibuka.

Selamat mengikuti konferensi dan semoga tercapai hasil yang diharapkan dari pertemuan ilmiah ini.

Semoga Allah SWT senantiasa menuntun kita semua di jalan yang diridhai-Nya. Sekian dan terima kasih.

Wallahul Muaffiq ila Aqwamithoriq

Wassalamu ‘alaikum waramatullah wabarakatuh.

Balikpapan, 21 November 2014 Menteri Agama RI

(13)
(14)

Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities | xiii

Closing Remarks The 14

th

Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS)

“Responding to The Challenges of Multicultural Societies: The Contribution of Indonesian Islamic Studies”

Senyiur Hotel Balikpapan, November 21-24, 2014

The 14th International Conference on Islamic Studies (AICIS) was held by the State Institute for Islamic Studies (IAIN) Samarinda in Balikpapan, 21-24 November 2014 under the auspicious of Directorate of Higher Education Institutions of the Ministry of Religious Affairs. The main theme is “Responding the Challenges of Multicultural Societies: the Contribution of Indonesian Islamic Studies.” By this theme the Steering Committee expects that the conference will give significant contribution to the making of multicultural Indonesia which is made up from extremely diverse socio-cultural and religious traditions. There were 160 selected papers that have been presented throughout the conference and 200 researches in poster sessions.

The first part of the closing remarks is to briefly summarize the discourse aroused in AICIS 14th. It is divided into four major sub-themes as follows: a) religion and science in multicultural societies; b) Islamic jurisprudence in resolving contemporary problems; c) Nusantara Islamic civilization: value, history and geography, and; d) multicultural education in Indonesia: Challenges and opportunities. Most of the papers presented in the conference is research reports, whether literary or field research. A great deal of them deals with how the Indonesian Islamic studies accommodate the local articulations of Islam; how they respond and give solution to the challenges of multiculturalism, and; how Indonesian Islamic studies can resolve contemporary problems and tensions as a result from the dynamics of encounter between localities and universalities of socio-religious values.

To sum up, the degree of complexity in response to challenges that Indonesian Islamic studies have been facing will always multiply from time-to-time. It is timely now to reflect upon how Indonesian Islamic studies must respond all those challenges with deserved care. The growth of multicultural citizenship, the emergence of new religious movements, the rise of minority groups, and still many others, must be taken care of as elegantly and comprehensively as possible by the Indonesian Islamic studies if they wish to keep their vitality in resolving the contemporary problems in Indonesia. Indonesian Islamic studies must open their coverage to address not only old theological issues but also new interdisciplinary ones.

In addition, it is also imperative that Indonesian Islamic studies develop their own methods and traditions in improving their adaptability to universal values as well as modern ones. Viewed from the salient characteristics of Indonesian Islam, it is not exaggerating that Islamic studies as developed outside of Indonesia should learn, comprehend and adopt how Islamic teachings are being harmoniously orchestrated in accordance with locality and universality aspects. Eclecticism and cultural borrowings, therefore, have accordingly colored the entity of Indonesian Islam which, in turn, contributes to the making of moderate, peaceful and civilized Islam in general.

(15)

xiv | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

AICIS 14th is important to promote and reactivate mutual understanding and respect in five continents. Hence, it is to strengthen the networking among intellectuals all over the world in facing new challenges and better opportunities.

Resource persons and participants of AICIS 14th recommend three kinds of areas to develop Islamic studies. First of all, there must be institutional development, secondly human capacity enhancement and third is the revitalization of interdisciplinary Islamic studies.

A. Institutional Development

It is recommended that AICIS will have a special team work that dedicated themselves to the implementation of AICIS in collaboration with Islamic universities and institutes of Islamic Studies in Indonesia. Nowadays, the 8 full-fledged Islamic universities, 14 institute for Islamic studies and schools of Islamic studies which are under the supervision of the Directorate of Islamic Education in the Ministry of Religious Affairs, offer a multi directional and multi-optional study programs that extend from theology to tafsir (exegesis of the Qur’an) and historical sociology of Muslim societies, from hadith (traditions of the Prophet) and fiqh (Islamic Jurisprudence) to modern Islamic thought.

The partners of the AICIS Team Work are the state-owned higher learning education along with all Islamic higher education institutions all over the world.

B. Human Capacity Enhancement

One of the stakeholders of the successful implementation of AICIS is the active participation of thinkers and capable human resources in research sphere. Other requirements are respect for multicultural societies and the involvement in national development, socially, economically, politically, ect. On top of offering the current paradigm, AICIS should offer themes of wider Islamic studies that aim to bring human resources in contact with the history and classics of Islamic studies and modern development of various walks of life.

C. Revitalization of Interdisciplinary Islamic Studies

The aim of the Islamic higher learning education is to equip its students with knowledge and skills that will enable them to have inter-subjective type of religiosity and an in-depth understanding of Islamic civilization, as well as a closer comprehension of today’s world.

The distinctive paradigms of Indonesia Islamic studies are expected to open doors to the great heritage of Islamic civilization for its components and enable them to discover the philosophy of the modern world and the future knowledge that will be produced for the good of humanity.

Balikpapan, East Kalimantan, November 23, 2014

(16)

Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities | xv

DAFTAR ISI

Sekapur Sirih Panitia

Dr. Muhammad Zain, M.Ag. & Dr. Mukhammad Ilyasin, MA ... iii Pengantar Direktur Pendidikan Tinggi Islam

Prof. Dr. H. Dede Rosyada, M.A ... v Sambutan:Direktur Jenderal Pendidikan Islam

Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, M.A ... vii Sambutan Menteri Agama RI Pada Pembukaan Annual International Conference on Islamic Studies XIV

Lukman Hakim Saifuddin ... ix Closing Remarks The 14th Annual International Conference on Islamic Studies

(AICIS)

Dr. Masdar Hilmy & Prof. Dr. Hj. Amany Lubis ... xiii

KEYNOTE SPEECH

لمعلا ليعفت في اهراودأو وكسيسيلإا فادهأب ماع فيرعت ةيبترلا ةيريدم يملاسلإا لماعلا في ةيبترلا ريوطت تايدحت

كترشلما يملاسلإا:

Dr. Majdi H. Ibrahim ... 1 Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities

Janet McIntyre-Mills ... 12 Pendidikan Multikultural dalam Komunikasi

Prof. Dr. Andi Faisal Bakti ... 57 The Engaged University’s Contributions to Equitable and Sustainable Development: An Introductory Framework

Hal A. Lawson, Ph.D. ... 70

PARALEL SESSION 4

SUBTEMA: MULTICULTURAL EDUCATION IN INDONESIA: CHALLENGES AND OPPORTUNITIES

Contemporary Religious Education Model on The Challenge of Indonesian Multiculturalism

Dr. Muhammad Thoyib, S.Pd.I., M.Pd. ... 72 Pluralisme dalam Kehidupan Pemeluk Beda Agama: Studi Kasus di Rahtawu

Kabupaten Kudus

(17)

xvi | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Agama dan Keberagamaan: Tinjauan Agama dan Upaya Meneguhkan Harmoni antar Umat Beragama

Dr. Rusydi Sulaiman, M.Ag. ... 104 Reinterpretasi Tafsir Gender dalam Mengkonstruk Paradigma Kesetaraan dalam

Masyarakat Multikultural: Tela'ah Penafsiran Edip Yuksel, Dkk. Terhadap Ayat-ayat Gender dalam Qur'an: A Reformist Translation

Akrimi Matswah ... 114 Studi Penerapan Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di STAIN Kerinci Masnur Alam ... 131

ةيسينودنلاا و ةيبرعلا ةغللا فى ةيردنجلا ةاواسلماب ةقلعتلما تمالكلا

Dr. Akmaliyah, M.Ag ... 147 To Go Online or Not to Go Online: The Use of Social Media for Reseach Setting in Islamic Context

Nurdin. M.Com., P.hD. ... 160 Mengalami Keberagaman, Menjadi Multikulturalis: Studi atas Pengalaman

Multikulturalisme Siswa Muslim SMA Don Bosco Padang

Andri Ashadi ... 177 Membangun Etika Pemahaman Keislaman di Tanah Multikultur-Multireligius

Melalui Hermeneutika Pro(f)etik

Adang Saputra ... 191 Revitalisasi Peran dan Budaya Akademik PTKI dalam Mewujudkan Alumni

Pelopor Pendidikan Islam Multikultural

Muhaemin ... 208

Jangan Sampai Kampus Islam Lupa al-Qur'an: Kajian Hermeneutika Fenomenologis Hai’ah Tahfizh Al-Qur’an UIN Maliki Malang

Angga Teguh Prastyo ... 219 Al-Ghazali Tentang Dihliiz sebagai Seni Hermeneutika Imajinatif

Chafid Wahyudi ... 231 Principles of Inclusive Da'wa in the Qur'an Toward Multicultural Society

Iftitah Jafar ... 244

اجذونم سيينودنلإا عمتجلما تافاقثلا ددعتم عمتجم فى ةيملاسلإا ةوعدلا

Muhammad Aniq ... 257 Pendidikan Hak Asasi Manusia dalam Mengantisipasi Radikalisme dan Terorisme

Isep Ali Sandi ... 271 Dakwah in Multicultural Societies: Pursuing Dakwah through Innovating Madrasa Education in Singapore

Mohd Amin Bin Kadir ... 256 Rekonstruksi Spirit Harmoni Melalui Spiritualisasi Pendidikan dalam Kurikulum

2013

(18)

Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities | xvii Pemikiran Pendidikan Multikultural Ki Hadjar Dewantara: Tantangan, Peluang, dan

Relevansinya terhadap Pendidikan Islam di Indonesia

Dr. Muthoifin, M.Ag. ... 317 Penanaman Nilai Karakter Pada Anak Usia Dini di Masyarakat Samin Dusun

Jepang, Margomulyo Bojonegoro

Putri Ismawati ... 333 Penerapan Pendidikan Islam Berwawasan Multikultural Upaya Membangun

Ukhuwah Islamiyah: Studi Kasus di SMAN 5 Samarinda Drs. H. Akh. Bukhari, M.Ag, dan

Rostanti Toba, M.Pd. ... 343

يملاسلإا لياعلا ميلعتلا ىوتسم ةيقرت

Dr. H. Lalu Supriadi bin Mujib, Lc. MA ... 382 Multikulturalisme di Lereng Gunung Merbabu: Studi terhadap Kearifan Lokal Para Pemeluk Agama di Desa Sampetan, Kec. Ampel Kab. Boyolali, Jawa Tengah

Achmad Maimun ... 394 Toleransi dalam Perbedaan Studi Konstruksi Toleransis Umat Beragama di

Pengungsian Bencara Erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara DR. Silfia Hanani, M.Si. ... 410 Analisis Kebijakan dan Pengembangan Sekolah Ramah Anak dalam Upaya

Pencegahan Kekerasan pada Anak

Abd. Rachman Assegaf ... 422

Minoritas yang Terlindungi: Tantangan dan Kontinuitas GKJW Jemaat Mojowarno di Kota Santri Jombang

Muhammad Ainun Najib ... 436 Pesan-Pesan Ideologis Liberalisme pada Akun Twitter @Ulil: Sebuah Analisis

Wacana Kritis

Fitria Sis Nariswari ... 448 Engagement, Outreach, and ICTD: A New Horizon for Islamic Higher-Education

Institution

Azhar Arsyad ... 464

ايسنودناب تاعماجلا في ةيبرعلا ةغللا ميلعت ةيعقاو

M. Masrur Huda, M.Pd.I. ... 473

Dakwah Konstektual Kepada Muallaf Tionghoa Melalui Program Konseling Komprehenshif

Sri Hidayati ... 482 Hukum Rimba di Bukit Dua Belas Propinsi Jambi: Antara Peluang dan Tantangan

Dr. Muh. Shohibul Itmam, MH ... 500 Relevansi Pengelolaan Konflik Sosial Keagamaan Melalui Sistem Informasi:

Sebuah Pelajaran dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

(19)

xviii | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Studi Islam di Era Multikultural: Respons UIN terhadap Kebijakan Rumpun Ilmu Agama

Dr. Toto Suharto, M.Ag. ... 526 Pelayanan Bimbingan Rohani Islam Bagi Pasien: Pengembangan Metode Dakwah

Bagi Mad’u Berkebutuhan Khusus

Ema Hidayanti, S. Sos.I., M.SI. ... 544 Tradisi Pengajaran Al-Qur'an di Asia Tenggara: Upaya Umat Islam Mengkaji dan

Memahami Isi Kandungan Al-Qur'an

DR. H. Adib, M.Ag. ... 560 Taking Apart the Multicultural Awareness Through Multicultural Education in

Curriculum 2013

Dr. Evi Fatimatur Rusydiyah, M.Ag. ... 574

ايسينودنإ في ةيبرعلا ةغللا ميلعت في هقيبطتو تافاقثلا برع ةغللا ميلعت

Dr. Nasaruddin, M.Ed ... 582 Dakwah di Sarang Kriminalitas: Studi Kasus di Kampung Beting Kota Pontianak,

Kalimantan Barat

Zulkifli Abdillah ... 596 Psikologi Santri Usia Dini: Kasus Ponpes Anak Salafiyah Safi’iyah Kabupatan

Pekalongan

Siti Mumun Muniroh, S.Psi., M.A. ... 612 Teologi Terorisme di Indonesia: Identifikasi Terhadap Perkembangan Teologi

Terorisme di Kota Samarinda

Dr. M. Abzar Duraesa, M.Ag. ... 628

Agama dan Pendidikan Bagi Pembangunan Bangsa: Studi Komparatif Pemikiran Soedjatmoko dan Abdurrahman Wahid

Dr. Maemonah, M.Ag. ... 652

A Model of Lifelong Education Planning for Private Islamic Universities in Indonesia

Hasrita Lubis ... 674 Hak Kebebasan Beragama dalam Perspektif Pluralisme dan Demokrasi

(20)

662 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Oleh: Mardian Sulistyati

Mahasiswa Program Magister Konsentrasi Jender dan Kajian Islam SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak:

Berhadapan dengan berbagai kekhawatiran dan pertanyaan atas nasib kemanusiaan dan nilai-nilai kebebasan beragama di masa depan—yang dikarenakan ambivalensi agama, dibutuhkan pendekatan ganda dalam mengantisipasinya: pertama, pendekatan internal dengan paham pluralisme agama; kedua, pendekatan eksternal dengan penegakan HAM melalui regulasi negara. Dalam konteks regulasi negara inilah demokrasi memainkankan peranannya, karena memang demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan persamaan hak di depan hukum dengan idiom-idiom seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), dan human right (hak asasi manusia).

Kata kunci: kebebasan beragama, HAM, pluralisme, demokrasi.

Introduksi

Agama di dalam konteks sosial, tidak semata dimaknai sebagai ritus, doa, dan pengalaman mistik yang bersifat personal dan unik, namun juga hadir dengan fungsi manifes dan laten yang kadang tidak dikehendaki oleh pemeluknya sendiri. Di satu sisi agama dapat menjadi sarana integrasi sosial, mengikat solidaritas sesama penganutnya dalam jamaah, gereja, sangha, komunitas-komunitas keagamaan; serta sebagai wahana pencipta, pembangun, dan pemelihara perdamaian dan kedamaian. Namun di lain sisi, agama dapat menjadi instrumen yang cukup efektif bagi disintegrasi sosial, konflik, ketegangan, friksi, kontradiksi, hingga perang.

Dari sini dapat dipahami bahwa keberadaan agama mengemban dua fungsi sekaligus, yaitu memupuk persaudaraan dan perpecahan.1299 Keanekaragaman, tak terkecuali keanekaragaman agama, dapat membawa konsekuensi pada perbedaan-perbedaan dan batas-batas golongan sosial. Ketika bersinggungan dengan faktor-faktor lain, perbedaan-perbedaan dan batas-batas sosial ini akan semakin dipertegas sehingga pemahaman terhadap orang lain akan lebih didasarkan pada stereotip dan prasangka. Hubungan semacam ini tentu akan mudah memicu munculnya variasi ketegangan dan konflik. Dalam keadaan demikian, maka potensi integratif pada keragaman semakin terkalahkan oleh potensi konflik yang pada akhirnya akan merusak sistem sosial yang sudah ada.

Dari sisi teologis, dampak sosiologis krisis keagamaan tersebut menurut beberapa ahli agama bersumber dari cara pandang agama, atau yang dalam istilah Arthur J. D’Adamo disebut sebagai

Religion’s Way of Knowing. Cara pandang agama tersebut mengklaim bahwa agamanya dan Kitab Sucinya: pertama, bersifat konsisten dan penuh dengan klaim kebenaran (tanpa kesalahan sama sekali);

kedua, bersifat lengkap dan final, jadi tidak ada kebenaran (apalagi kebenaran dalam agama) lain; ketiga, teks-teks keagamaan itu dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk keselamatan, pencerahan atau pembebasan; keempat, dalam bahasa asli D’Adamo, have an inspired or divine author (God who is their true Author).1300 Dari sini maka tidak berlebihan bila secara teologis diperlukan adanya

1299Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1984), 151.

1300Lihat Arthur J. D’Adamo, Science without Bounds, A Synthesis of Science, Religion and Mystiism (1995). Sesuai

(21)

Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities | 663 suatu pendekatan baru dalam pemahaman agama yang lebih pluralis, sehingga kita bisa lebih optimis untuk kehidupan keagamaan di masa depan dan tidak terjebak pada truth claim dan peggunaan double standard yang ada dalam masing-masing agama.

Selain itu, dalam proses usaha mencipta-menjaga masyarakat yang humanis dan menghindari wajah destruktif agama, terdapat instrumen HAM yang meskipun relatif baru, namun telah menjadi kepedulian etis utama masa kini. Terbukti dalam diskusi-diskusi keagamaan, para humanis memiliki dua tema utama: fungsi sipil agama dan toleransi beragama.1301 Sebut saja M. Dawam Rahardjo yang lebih memilih untuk memperjuangkan kebebasan beragama dalam konteks hak fundamental seorang warga negara ketimbang terjebak dalam perdebatan teologis yang tiada akhir. Ia percaya bahwa pertikaian antaragama tidak bisa diselesaikan oleh pihak terkait semata, tetapi harus pula disertai jaminan hak dan/ atau kebebasan beragama oleh negara bagi seluruh warganya.1302

Kewajiban negara melindungi dan memenuhi hak atas kebebasan beragama dan kepercayaan warganya mengandung pengertian, bahwa negara tidak mempunyai wewenang mencampuri urusan agama dan kepercayaan setiap warga negaranya. Sebaliknya, negara harus memberikan perlindungan terhadap setiap warga negaranya untuk melaksanakan ibadah keagamaan atau kepercayaan. Dalam konteks inilah demokrasi memainkankan peranannya. Sebab, demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan persamaan hak di depan hukum dengan idiom-idiom seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty

(kebebasan), human right (hak asasi manusia), dan seterusnya.

Pendekatan Pluralis

Kemajemukan sudah menjadi realitas dunia ini. Keragaman dapat dijumpai di berbagai pelosok ruang kehidupan. Pun kehidupan beragama. Saat ini, hampir tidak ada suatu negara yang seluruh masyarakatnya menganut agama yang seragam (uniform). Bahkan kalaupun ada, pluralitas tetap bisa terjadi pada level penafsiran atas ajaran agama itu sendiri. Pluralitas pada wilayah tafsir inilah kemudian pada gilirannya akan melahirkan pluralitas pada level aktualisasi dan pelembagaannya.1303

Guna menghadapi realitas dunia—khususnya agama yang semakin plural, yang dibutuhkan bukanlah bagaimana menjauhkan diri dari pluralitas, melainkan bagaimana cara atau mekanisme untuk menyikapi pluralitas tersebut. Di sini, para agamawan sekurang-kurangnya terpolarisasi ke dalam tiga jenis paradigma dan penyikapan:1304

Pertama, sikap eksklusif. Sikap ini memandang agama lain sebagai agama buatan manusia, sehingga tidak layak dijadikan pedoman. Umat agama lain dinyatakan sebagai sekumpulan orang yang berada dalam kegelapan, kekufuran, dan tidak mendapat petunjuk Tuhan. Kitab suci agama lain dianggap tidak asli karena di dalamnya telah ada perubahan (tah}ri>f) menyesatkan yang dilakukan oleh para tokoh agamanya. Di dalam agama lain tidak ada jalan keselamatan, karena jalan itu hanya ada satu, yaitu melalui nabinya. Mereka yang tergolong kelompok ini akan berusaha agar orang lain memeluk agama dirinya. Kedekatan kelompok eksklusif dengan kalangan agama lain bukan untuk nilai persahabatan,

kutipan dari Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta: Paramadina, 2001), 36-37. 1301Nicola Abbagnano, “Humanism”, dalam Paul Edwards, ed., The Encyclopedy of Philosophy, vol. 3 (New York: Macmillan Publishing Co., Inc. & The Free Press, 1967), 71.

1302M. Dawam Rahardjo, “Agama dan Hak-hak Sipil”, dari http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtCat=2. 1303Uraian lebih lanjut mengenai hal ini, lihat Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, cet. 2 (Depok: KataKita, 2009), 1-2.

(22)

664 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

melainkan untuk dakwah atau misi agar kalangan lain melakukan apostasy atau pindah agama.

Kedua, sikap inklusif. Paradigma ini menyatakan tentang pentingnya memberi toleransi terhadap orang lain, terlebih umat lain yang mendasarkan pandangan keagamaannya kepada sikap tunduk dan patuh hanya kepada Tuhan. Paradigma ini hendak merangkul agama lain dengan cara halus.

Ketiga, sikap pluralis yang berpendirian bahwa setiap agama memang punya jalan sendiri-sendiri. Jalan-jalan menuju Tuhan beragam, banyak, dan tidak tunggal. Semua bergerak menuju tujuan yang satu, Tuhan. Tuhan Yang Satu memang tak mungkin dipahami secara tunggal oleh seluruh umat beragama. Sebab itulah paradigma pluralis menegaskan bahwa yang lain harus dipahami sebagai yang lain. Paradigma pluralis tidak menilai agama lain. Semua agama memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang, termasuk hak pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara bebas. Tidak perlu ada pemaksaan pindah agama sebagaimana dikehendaki paradigma eksklusif, atau diakui sebagai orang yang terselamatkan sekalipun berada di luar agama dirinya sebagaimana dinyatakan paradigma inklusif.

Dalam menghadapi realitas agama yang plural, sejumlah intelektual menilai bahwa pandangan eksklusif tidak memadai untuk diterapkan. Pandangan eksklusif cenderung bersikap negatif dan merendahkan agama orang lain. Eksklusivisme potensial berujung pada malapetaka bagi kerukunan antarumat beragama. Sikap eksklusivistik yang menutup diri dipandang bukan merupakan suatu kekokohan dasar yang sejati dalam beriman, melainkan kegoyahan. Dalam konteks tersebut, ketertutupan adalah cermin dari ketakutan yang merupakan cermin dari kegoyahan. Kekokohan dasar dalam beriman bagi seseorang justru terbukti ketika ia berani berhadapan dengan pihak lain yang berbeda pandangan dengannya dalam satu agama, dan pihak lain yang berbeda agama dengannya.1305

Begitu pula dengan paradigma inklusif yang melakukan pengakuan sepihak bahwa orang lain akan tetap terselamatkan sejauh mereka menjalankan misi dasar agamanya. Cara pandang inklusif memang terbuka terhadap adanya berbagai jalan menuju Tuhan, akan tetapi jalan yang paling benar tetap jalan yang dirintis agamanya, yaitu jalan yang paling memungkinkan seseorang mendapatkan kerelaan (ridha) Tuhan. Mereka masih menilai, dengan patokan agamanya sendiri, bahwa jalan yang ditempuh umat agama lain tidak benar sepenuhnya. Alam bawah sadar kelompok inklusif masih menghendaki agar orang lain menempuh jalan yang sama dengan dirinya. Mereka berusaha menunjukkan bahwa agamanya adalah agama cinta damai, anti kekerasan, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Dengan demikian, paradigma inklusif masih menganut satu pandangan tentang adanya superioritas agama tertentu di atas agama-agama lain. Agama lain dipandang sebagai langkah atau tangga-tangga menuju agama dirinya.1306

Kelemahan-kelemahan paradigma eksklusif dan inklusif menyebabkan paradigma pluralis menjadi alternatif dalam menyikapi keniscayaan pluralitas tersebut. Secara garis besar, Alwi Shihab mengungkapkan konsep pluralisme sebagai berikut:1307

Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah ‘keterlibatan aktif’ terhadap kenyataan kemajemukan. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah, tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, namun juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Senada dengan Nurcholish Madjid, pluralisme tidak saja mengisyaratkan sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan turut mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain atas dasar perdamaian dan saling menghormati.1308

1305Kautsar Azhari Noer, “Passing Over: Memperkaya Pengalaman Keagamaan”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed., Passing Over: Melintasi Batas Agama (Jakarta: Gramedia-Paramadina, 1998),265.

1306Lihat Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, 60-61. 1307Alwi Shihab, Islam Inklusif, 41-42.

(23)

Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities | 665

Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realitas yang mana aneka ragam agama, ras, bangsa, hidup berdampingan di suatu lokasi. Di lokasi tersebut terhimpun para Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, dan beragam suku bangsa atau ras, namun tanpa adanya interaksi positif. Mudah dipahami, sebab kosmopolitanisme memang mengandaikan adanya individualisme. Sedangakan dalam pluralisme, dituntut adanya interaksi positif antar agama maupun golongan yang ada.

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Seorang relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut ‘kebenaran’ atau ‘nilai’ ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apapun harus dinyatakan benar. Tegasnya, “semua agama adalah sama”, karena kebenaran agama-agama, walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetap harus diterima. Franz Magnis-Suseno berpendapat bahwa menghormati agama orang lain tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama sama. Agama-agama jelas berbeda-beda satu sama lain.1309

Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran agama dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.

Salah seorang tokoh penganut paham pluralisme agama, John Hick, menyatakan bahwa terminologi

religious pluralism merujuk pada teori hubungan antara agama-agama dengan segala perbedaan dan pertentangan klaim-klaim mereka. Pluralisme, secara eksplisit menerima posisi yang lebih radikal yang diaplikasikan oleh inklusivisme: satu pandangan bahwa agama-agama besar mewujudkan persepsi, konsepsi, dan respon yang berbeda-beda tentang The Real atau The Ultimate. Juga, bahwa tiap-tiap agama menjadi jalan untuk menemukan keselamatan dan pembebasan.1310

Dalam pengantar bukunya God Has Many Names, Hick mengajak kaum Kristen untuk meninjau kembali pandangan mereka terhadap agama lain. Sejarah kekristenan Barat, menurutnya, belum lama sadar tentang ‘kesadaran plural’. Sebelumnya, agama-agama seperti Hinduisme, Budhisme, Judaisme, dan Islam, pada umumnya dipandang sebagai sisa-sisa paganisme, yang dipandang inferior terhadap agama Kristen dan menjadi sasaran empuk kaum misionaris Kristen. Tapi saat ini, lanjutnya, “kita semua telah menyadari bahwa—dalam berbagai tingkatan—sejarah kekristenan kita adalah salah satu dari berbagai arus kehidupan keagamaan yang masing-masing memiliki satu bentuk pengalaman, pemikiran, dan spiritualitas keagamaan yang khas. Karena itu, kita harus menerima adanya keperluan untuk meninjau kembali pemahaman keagamaan kita, bukan sebagai satu-satunya (agama), tetapi sebagai salah satu dari sekian banyak agama”.1311

Dari kutipan-kutipan di atas, kita menyadari bahwa ide pluralisme itu memang sangat kompleks. Karena itu para ahli banyak menggunakan metafor, seperti metafor pelangi, metafor geometris, atau metafor bahasa.

Dengan metafor pelangi, pada dasarnya semua agama itu mempunyai warna dasar yang sama, yang tidak terlihat dari warna luarnya. Warna dasar itu adalah warna puth. Setiap warna muncul dari warna putih lewat “pembelokan”, atau dilihat dari sisi lain, setiap warna menyimpan warna putih. Begitulah misalnya agama Islam adalah warna hijau, dan agama Kriten adalah warna biru. Semua warna-warni itu pada dasarnya berasal dari warna putih. Dan warna putih ini sering disebut sebagai warna dari “agaa primordial”. Para penganut filsafat perennial biasanya menyebut sebagai “primordial truth”.

1309Franz Magnis-Suseno, “Pluralisme Keberagamaan: Sebuah Tanggung Jawab Bersama”, dalam Muhammad Wahyuni

Nafis, ed., Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Paramadina, 1995), 471.

1310John Hick, dalam Mircea Eliade, ed., The Encyclopedia of Religion (New York: MacMillan Publishing Company, 1987), vol. 12, 331.

(24)

666 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Dengan metafor geometris, dapat tergambar bahwa agama-agama muncul karena transformasi topologis. Agama-agama terlihat berlainan sampai ditemukan sebuah titik temu: titik (invariant) topologis yang tetap. Tidak perlu semua agama berasal dari satu titik, tetapi ada kumpulan beberapa topologis (agama). Di sini orang bisa berbicara mengenai adanya rumpun-rumpun agama agama, misalnya agama-agama Timur dan agama-agama Barat. Orang juga bisa bicara mengenai kesatuan transenden pengalaman agama.

Dengan metafor bahasa, bisa digambarkan secara partikular setiap agama analog dengan bahasa. Seperti halnya bahasa, setiap agama pada dasarnya lengkap dan mencukupi untuknya jalannya sebuah agama (karena itu pada dasarnya setiap agama, seperti halnya bahasa, tidak memerlukan agama lain. Tetapi di antara agama-agama—seperti juga bahasa-bahasa—dapat saling memberi pengaruh, atau melakukan pertukaran ide-ide, walaupun pada akhirnya harus dimasukkan dalam konstruksi agama atau bahasa itu sendiri sepenuhnya). Dalam soal pluralisme, setiap agama—seperti halnya bahasa—berdiri sendiri-sendiri secara partikular, tetapi mereka diikat oleh suaru “ide agama” seperti juga “ide bahasa” yang sifatnya abstrak.1312

Paparan di atas menyampaikan pengertian bahwa pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatulla>h) dan berupaya agar berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.1313 Dikatakan ‘secara positif’ karena mengandung pengertian agar umat beragama tidak memandang kemajemukan agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi, melainkan sebagai wahana untuk menjalin silaturahmi dan toleransi. Dan dinyatakan ‘secara optimis’ karena kemajemukan agama itu sesungguhnya sebuah potensi agar setiap umat terus berlomba menciptakan kebaikan di muka bumi.

Kebebasan Beragama sebagai Hak Asasi Manusia

Kebebasan beragama merupakan bagian dari hak asasi keagamaan. Hak asasi keagamaan dimaksudkan sebagai hak inheren seseorang di ranah privat ataupun publik untuk beribadah ataupun tidak beribadah sesuai dengan kesadaran, pemahaman, atau pilihannya; untuk membuktikan dan menyebarkan kepercayaannya; untuk bergabung dalam sebuah lembaga keagamaan; dan untuk mengubah identitas keagamaannya—seluruhnya tanpa gangguan, penganiayaan, atau diskriminasi. Hak asasi keagamaan mengandaikan kesetaraan semua agama, termasuk yang tidak beragama, di hadapan hukum, dan karenanya, sesuai dengan hukum seorang warga Negara tidak boleh mendapatkan keuntungan juga kerugian dikarenakan kepercayaannya atau identitas keagamaannya.1314

Dalam sejarah Eropa, prinsip kebebasan beragama berakar pada konsep kebebasan berpikir dan berkesadaran (liberty of thought and liberty of conscience). Sebuah konsep yang muncul pertama kali dalam Perjanjian Westphalia tahun 1648 yang mengakhiri sejarah peperangan atas nama agama di Eropa.1315

Kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia dan realitas sosial tidak muncul dalam perkembangan sejarah umat manusia, paling tidak sampai akhir abad ke-18, sebagaimana terlihat dalam permulaan kelahiran Negara Amerika Serikat dan Revolusi Prancis. Kebebasan beragama menjadi inti hak asasi manusia—bahkan yang paling mendasar—yang dideklarasikan secara simultan dalam Deklarasi Prancis tahun 1789 (The French Declaration des droits des homes et citoyens) dan Bill of

1312Budhy Muawar-Rachman, Islam Pluralis, 50-51. 1313Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban, xxv.

(25)

Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities | 667

Rights Amerika Serikat.1316

Dalam pemikiran politik, konsep kebebasan mendapatkan penafsiran yang beragam. Salah satu definisi kebebasan di antaranya bahwa tiadanya halangan atau rintangan bagi seseorang untuk berbuat. John Locke mengemukakan bahwa hukum sekalipun tidak boleh membatasi kebebasan, dan justru harus menjaga dan memperluas kebebasan. Di sisi lain, pandangan modern memandang bahwa kebebasan diakui menemui batasannya bila berbenturan dengan hukum positif. Werner Becker memahami kebebasan dalam arti seseorang dalam batasan-batasan yang telah ditentukan bisa berbuat atau meninggalkan apa yang dikehendakinya. Batasan-batasan itu boleh jadi adalah kondisi biologisnya ataupun hukum positif. Sementara itu, John Stuart Mill menolak kebebasan yang bisa membahayakan orang lain (harm to others).1317

Untuk memahami agama dalam konteks ini, Jeremy Gunn mengemukakan tiga segi agama.1318

Pertama, agama sebagai kepercayaan yang meyakini hal-hal seperti Tuhan, kebenaran, dan doktrin kepercayaan. Kedua, agama sebagai identitas yang menekankan pada afiliasi dengan kelompok. Dalam

hal ini, identitas agama dialami sebagai sesuatu yang berhubungan dengn keluarga, etnisitas, ras, atau kebangsaan. Ketiga, agama sebagai jalan hidup (way of life) yang berhubungan dengan tindakan, ritual, kebiasaan, dan tradisi yang membedakan umatnya dari pemeluk agama lain. Tampak bahwa dalam segi ini, agama sangat bersinggungan dengan kepentingan publik. Ini berarti, agama tidak cukup hanya berupa kepercayaan akan spiritualitas yang sifatnya interior, ataupun sebagai identitas afiliasi kelompok saja.

Banyak pihak menghormati kebebasan beragama sebagai salah satu hak asasi manusia terpenting di era modern. Bahkan banyak pihak yang berpendapat bahwa kebebasan beragama ialah hak dasar doktrin hak asasi manusia modern. Seperti yang diungkapkan oleh Franklin Littell yang menjelaskan kebebasan beragama sebagai “kemenangan kebebasan yang paling berharga” dan “di antara hak-hak dasar lainnya, kebebasan beragama adalah yang paling diprioritaskan”.1319

Ada banyak alasan beragam atas keutamaan ini, tetapi kebanyakan komentator cenderung sepakat bahwa kebebasan beragama merupakan dasar masyarakat demokratis dan bebas. Mereka memahami bahwa kebebasan politik tidak terpisahkan dari kebebasan beragama. Kebebasan politik berakar pada kebebasan beragama dan tidak bisa diperkokoh ataupun dikembangkan terkecuali melaluinya. Semua partai yang berusaha memberi dasar lain atas kebebasan politik telah gagal dalam usahanya dan hancur dalam rezim tirani.1320

Berbagai pengakuan atas urgensi kebebasan beragama tersebut memposisikan kebebasan sebagai sebuah instrumen hak asasi manusia terpenting dalam sejarah manusia. Pengakuan tersebut diabadikan dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional, seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948 dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) tahun 1966.

Aturan mengenai perlindungan kebebasan beragama diatur dalam pasal khusus dalam DUHAM. Masuknya hak kebebasan Bergama dalam DUHAM menunjukkan betapa serius dan pentingnya hak

1316Leonard Swindler, “Freedom of Religion and Dialogue”, dalam Lindholm, dkk., ed., Facilitating Freedom of Religion or Belief, 761.

1317Lihat Masykuri Abdillah, “Kebebasan Berekspresi dalam Konteks Masyarakat Indonesia”, dalam Abdul Hakim dan Yudi Lathif, ed., Bayang-bayang Fanatisisme: Esai-esai untuk Mengenang Nurcholish Madjid (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2007), 189.

1318Lihat T. Jeremy Gunn, “The Compelexity of Religion and the Definition of “Religion” in International Law”, Harvard Human Rights Journal, Vol. 16, (2003), 200.

(26)

668 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

tersebut. Dengan demikian, hak kebebasan beragama dapat diasumsikan sebagai salah satu hak yang paling fundamental. Pasal DUHAM yang mengatur hak kebebasan beragama adalah pasal 18 yang berbunyi:

“Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance”.

Dari pasal tersebut, kita bisa melihat bahwa hak kebebasan beragama meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau keyakinanya, serta kebebasan secara pribadi atau bersama-sama dengan orang lain dan secara terbuka atau pribadi, untuk menjalankan agama atau keyakinannya dalam pengajaran, praktek, ibadah dan ketaatan.

Kerangka pasal 18 DUHAM tersebut, kemudian didefinisikan dalam pasal 18 KIHSP1321 yang memuat 4 ayat:

1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengmalan, dan pengajaran.

2. Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

3. Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan dasar orang lain.

4. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orangtua, dan jika ada wali, wali yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

Dari bunyi pasal dan ayat dalam DUHAM dan KIHSP ini, bisa dipahami bahwa kebebasan beragama memiliki dua dimensi. Pertama, kebebasan internal (forum internum), artinya “bebas untuk meyakini dan memeluk satu agama tertentu”, termasuk pindah dari satu agama ke agama lain. Meski demikian, kebebasan internal ini tidak secara otomatis melahirkan hak untuk memanifestasikan dan menyiarkan agama di ranah publik. Hal ini dikarenakan adanya dimensi kedua dari kebebasan beragama. Dimensi

kedua ialah kebebasan eksternal (forum externum), yakni hak kondisional yang bisa menjadi subjek pembatasan karena bersinggungan dengan hak-hak asasi orang lain. Kebebasan eksternal ini dengan jelas terutama dapat disaksikan dalam dokumen KIHSP pasal 18 (3) yang sekaligus membedakannya dari DUHAM 1948.

Kedua dimensi kebebasan beragama ini saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Akibatnya, kebebasan beragama bukanlah kebebasan tanpa batasan. Penegakan kebebasan beragama tetap harus mempertimbangkan keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, yang dirangkai dalam suatu ketentuan hukum. Kebebasan beragama seseorang juga dibatasi oleh pengakuan atas hak dasar

1321Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau International Convenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) yang terbentuk pada tahun 1966, namun mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976. Dan sejak 31 Desember 2002

telah diratifikasi oleh 149 Negara, termasuk 41 dari 57 Negara anggota Organisasi Konferensi Islam. Lihat Mashood A. Baderin,

Hukum Internasional Hak Asasi Manusia & Hukum Islam, Penerjemah Musa Kazhim dan Edwin Arifin (Jakarta: Komisi Nasional

Hak Asasi Manusia, 2007), 47. Sedangkan Indonesia, baru pada tahun 2005 meratifikasi kovenan tersebut. Padahal jika dilihat secara politis, Indonesia ini sangat beragam, sehingga seharusnya hak-hak ini sudah diratifikasi sejak dulu. Lihat Anis Baswedan,

(27)

Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities | 669 dan kebebasan orang lain. Komite Hak Asasi Manusia selanjutnya menerangkan bahwa: “Pasal 18 (3) membolehkan pembatasan kebebasan menjalankan agama atau keyakinan hanya bila pembatasan itu ditentukan oleh hukum dan diperlukan untuk melindungi kemanan, ketertiban, kesehatan, atau moral publik, atau hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar orang lain. Kebebasan dari paksaan untuk menganut atau menerima suatu agama atau keyakinan dan kemerdekaan orangtua dan wali untuk menjamin pendidikan religius dan moral tidak bisa dibatasi”.1322

Inti normatif dari hak asasi kebebasan beragama bisa dipadatkan dalam delapan komponen, yaitu: 1. Kebebasan internal: setiap orang memiliki hak kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama;

hak ini mencakup kebebasan untuk semua orang untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengganti agama atau kepercayaannya.

2. Kebebasan eksternal: setiap orang memiliki kebebasan, baik sendiri maupun di dalam masyarakat dengan yang lainnya, di ruang pribadi ataupun publik, untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.

3. Anti-kekerasan: tidak seorang pun boleh ditundukkan atas kekerasan yang akan merusak kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi agama dan kepercayaan sesuai pilihannya.

4. Anti-diskriminasi: Negara berkewajiban untuk menghormati dan memastikan seluruh individu dalam wilayahanya tunduk terhadap jaminan hukum kebebasan beragama tanpa memandang bulu dalam segala hal, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, politik, kebangsaan, kekayaan, kelahiran, atau status-status lainnya.

5. Hak orang tua dan wali: Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua atau wali untuk memastikan pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan hukum dan perlindungan hak kebebasan beragama anak-anak sejalan dengan perkembangan kapasitas anak. 6. Kebebasan dan kedudukan hukum perusahaan: aspek vital kebebasan beragama, terutama dalam

masa kontemporer, ialah komunitas keagamaan memiliki kedudukan dan hak kelembagaan untuk mewakiliki hak dan kepentingannya sebagai masyarakat. Komunitas keagamaan karenanya memiliki memiliki hak kebebasan beragama, yang mencakup hak otonomi dalam urusan sendiri. walaupun mereka tidak memiliki status kedudukan hukum yang formal, mereka tetap memiliki hak memperoleh status legal sebagai bagian dari hak kebebasan beragama atau berkeyakinan mereka dan khususnya sebagai aspek kebebasan untuk memanifestasikan keyakinan agama tidak hanya secara individual, tetapi dalam masyarakat bersama yang lainnya.

7. Batas pembatasan yang diizinkan pada kebebasan eksternal: kebebasan untuk memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang dapat ditundukkan hanya kepada pembatasan-pembatasan tertentu sebagaimana ditentukan oleh hukum dan diperlukan untuk perlindungan keselamatan publik, tata tertib, kesehatan atau moral, atau hak fundamental orang lain.

8. Tidak dapat dikurangi (non-derogable): Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan darurat sekalipun. 1323

Dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa walapun kebebasan beragama berlaku untuk individu, kebebasan beragama juga mencakup perlindungan aktifitas masyarakat dan hubungan antar generasi. Komunitas keagamaan mengambil keuntungan dari perlindungan yang diberikan atas aktifitas masyarakat. Negara dibebani dengan kewajiban-kewajiban terkait untuk menjamin hak institusional

1322Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia & Hukum Islam, 127.

(28)

670 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

kelompok-kelompok agama.1324 Hal tersebut karena ketika negara meratifikasi instrumen HAM tersebut, maka ia tersebut mengikat secara hukum dan mewajibkan negara peserta (state parties) untuk memasukkannya sebagai bagian dari perundang-undangan nasionalnya, memberi jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan yang sangat luas, beserta pembatasan lazimnya.

Agama Masa Depan Dan Peran Demokrasi

Sudah saatnya agama memikirkan ulang klaim absolut atas kebenarannya. Seperti telah dipaparkan di muka, karakteristik pemahaman kebenaran inilah yang cenderung membentuk agama berwatak kaku, keras, dan destruktif, bahkan bagi diri agama sendiri. Hal tersebut menurut Budhy Munawar-Rachman dikarenakan kita semakin dihadapkan pada suatu masa yang sering disebut para ahli sebagai zaman pascamodern, dimana pluralitas telah menjadi kenyataan yang tidak bisa ditolak.1325

Menarik melihat penuturan Komaruddin Hidayat dan M. Wahyuni Nafis yang menggambarkan bahwa agama masa depan yang akan muncul adalah sebuah agama yang akan dihayati sebagai sebuah wadah, ekspresi dan manifestasi pencarian makna hidup manusia melalui aktualisasi kemanusiaannya. Yaitu agama yang menekankan dan menghargai persamaan nilai-nilai luhur pada setiap agama, sementara agama parokhial pada tingkat tertentu cenderung melihat perbedaannya dari agama lain karena kepentingan ideologis. Lebih lanjut menurut mereka, berbeda dari teologis tradisional yang amat menekankan sabda Tuhan yang diwakili oleh lembaga agama dengan para tokoh-tokohnya yang cenderung doktriner, teologi agama masa depan lebih konsen pada persoalan lingkungan hidup, etika sosial, dan masa depan kemanusiaan, dengan mengandalkan pada kekuatan ilmu pengetahuan empiris dan kesadaran spiritual yang bersifat mistis.1326

Agama sebagai suatu sistem nilai dan ajaran memiliki fungsi yang jelas dan pasti untuk pengembangan kehidupan umat manusia yang lebih beradab dan sejahtera. Dalam perspektif ajaran dan sejarah, agama apapun turun ke dunia untuk memperbaiki moralitas manusia, dari kebiadaban menuju manusia bermoral. Di dalam agama terdapat nilai-nilai transenden berupa iman, kepercayaan kepada Tuhan, dan serangkaian ibadah ritual sebagai manifetasi kepercayaan dan kepatuhan kepada Sang Pencipta. Menurut Abd A’la,1327 transendensi agama bersifat fungsional, bukan sekadar untuk kehidupan akhirat yang bersifat ekskatologis murni dan terpisah dari kehidupan sekarang. Namun hal itu juga berfungsi praktis dan applicable untuk kehidupan dunia. Karena transendensi itulah, maka muncul ungkapan kiranya manusia menjadi khalifah Allah di muka bumi sebagai konkretisasi imannya. Dengan pemahaman demikian maka nilai-nilai agama harus dirajut dalam kehidupan yang konkret, termasuk dalam kehidupan bernegara. Di sinilah akar tuntutan agar agama itu dilembagakan.

Agama dan negara dalam ranah praksis sosial, memiliki suatu relasi yang unik. Dikatakan demikian, akibat aktualisasi nilai dan perangkat aturan agama dan negara yang dihayati dan dijalankan secara berbeda, dapat menimbulkan dua fenomena kontradiktif. Di satu sisi, harmonisasi kehidupan sosial yang didasarkan pada tegaknya hak-hak sipil manusia dapat terwujud. Namun pada sisi lain, disharmoni sosial dan pemberangusan hak-hak sipil, terkadang menjadi sebuah konsekuensi logis dari agama dan negara dalam relasinya dengan realitas sosial manusia.

Secara konseptual (teoritik), agama dan negara sama-sama memiliki pandangan ideal tentang konsep manusia sebagai makhluk sosial. Untuk itu, secara sosio-yuridis, keduanya sama-sama memiliki seperangkat aturan main yang mengikat secara langsung pengikut atau warganya, yang ditujukan untuk mewujudkan tatanan ideal masyarakat sebagaimana dimaksud oleh keduanya. Selain itu, secara

1324Lindholm, et.all., ed., Facilitating Freedom of Religion or Beliefe, ix. 1325Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis, 32.

1326Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta: Paramadina, 1995), 116-118.

(29)

Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities | 671 psikologis, agama dan negara sangat rentan memberikan pengaruh kejiwaan yang kuat bagi seorang individu yang menginternalisasi semangat keagamaan dan kenegaraan dalam dirinya. Kondisi kejiwaan tersebut, bagi seorang individu, bisa berdampak positif jika dimaknai secara rasional dan moderat. Namun sebaliknya, jika spirit keagamaan dan kebangsaan dihayati secara emosional dan radikal akan melahirkan suatu fenomena kejiwaan yang berimplikasi pada terjadinya suatu proses dehumanisasi dan ternodanya pengakan hak-hak sipil.

Pijakan konkretisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan bernegara itu ternyata melahirkan debat tiada berkesudahan mengenai kebebasan beragama dan gugus negara. Dalam studi ilmu negara lazim diterima bahwa suatu negara dibentuk untuk pertama-tama melindungi HAM warga negara dan memberikan kesejahteraan secara optimal.1328 Bagaimana menempatkan agama dalam kehidupan bernegara? Para pengamat sosial merumuskan beberapa teori untuk membaca hubungan agama dengan negara, yang antara lain dirumuskan dalam bentuk 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik.

Dalam gugus negara dengan paradigma integralistik, agama dan negara menyatu, jadi wilayah agama mencakup wilayah politik atau negara. Oleh karena itu, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Paradigma ini yang kemudian melahirkan paham negara-agama, di mana kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip kegamaan.1329 Paradigma ini menghendaki kepentingan agama merupakan suatu hal yang penting untuk dilindungi.

Sementara itu, paradigma simbiotik menunjuk bahwa antara agama dan negara ada hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan.1330 Karena sifatnya yang simbolik, maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara.

Pada sisi yang ekstrim, paradigma sekularistik menolak kedua paradigma itu. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan dalil perlunya dipisahkan agama dengan negara. Seperti diuraiakan oleh Abdurrahman Wahid1331 bahwa agama adalah ruh, spirit yang harus masuk ke negara. Sementara negara adalah badan, raga yang mesti membutuhkan ruh agama. Dalam konsep ini, keberadaan negara tidak lagi dipandang semata-mata sebagai hasil kontrak sosial dari masyarakat manusia yang bersifat sekular, akan tetapi lebih dari itu, negara dipandang sebagai jasad atau badan yang niscaya dari idealisme ketuhanan, sementara agama adalah substansi untuk menegakkan keadilan semesta. Menurut Denny JA,1332 paradigma sekularisitik terwujud dalam konfigurasi negara di mana agama tidak dijadikan instrumen politik, tidak ada ketentuan-ketentuan keagamaan yang diatur melalui legislasi negara, sehingga agama tidak perlu “meminjam negara” untuk memaksakan keberlakuan ketentuan agama.

Pada titik ini, menurut Ismatu Ropi, hampir bisa dipastikan bahwa penghargaan terhadap pluralisme secara otentik justru hanya bisa dilakukan dalam kondisi yang ‘sekular’ (untuk tidak mengatakan non-religius). Sebab dalam sebuah masyarakat atau negara yang menjadikan agama sebagai basis penilai utama, maka secara teoritis, pluralisme agama mungkin menjadi mustahil. Pluralisme yang sehat bisa berkembang dalam sebuah sistem sosial yang menjadikan agama tidak diperlakukan sebagai entitas terpisah atau distinct; semua nilai baik agama, budaya, etnis dan sebagainya diperlakukan seimbang dan proporsional. Inilah yang disebut dengan value pluralism dalam teori politik liberal kontemporer sebagaimana yang menjadi perhatian John Rawls (1985) atau William Galston (2004). Secara sederhana

1328Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil (Jakarta: Grasindo, 2004), 202. 1329Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001), 23-24.

1330Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, 26.

1331Abdurrahman Wahid, “Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas”, Kata Pengantar dalam Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), xiv-xvi.

1332Denny JA, “Islam, Negara Sekular, dan Demokrasi”, dalam Saripudin HA., ed., Negara Sekular Sebuah Polemik

Referensi

Dokumen terkait

Bagi banyak orang, pertanyaan pertama adalah bagaimana makhluk hidup pertama muncul di bumi Evolusionis menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa makhluk

 Pada awal tahun 2001 patner KAP Andersen melakukan evaluasi terhadap kemungkinan mempertahankan atau melepaskan Enron sebagai klien perusahaan, mengingat resiko

[r]

Berkenaan dengan hal tersebut, agar Saudara dapat membawa dokumen penawaran asli dan audit payroll tenaga ahli yang Saudara Upload melalui aplikasi SPSE. Hal-hal yang belum jelas

Ka'bah yang ada pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebenarnya sudah mengalami perubahan dari bentuk asli bangunan yang dibangun oleh Nabi Ibrahim 'alaihis

Sehubungan dengan hasil evaluasi penawaran saudara, perihal penawaran Pekerjaan Pengadaan Bibit Karet Siap Tanam di Kabupaten Nunukan, dimana perusahaan saudara

Sistem demokrasi terpimpin ini diambil oleh Presiden Soekarno karena alas an bahwa pada saat demokrasi liberal rakyat Indonesia belum siap menerima