• Tidak ada hasil yang ditemukan

Psikologi Perkembangan Psikososial Mas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Psikologi Perkembangan Psikososial Mas"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

Peralihan Masa Dewasa: Pola dan Tugas

BERAGAM JALAN MENJADI DEWASA

Jalan menuju masa dewasa jauh lebih variatif daripada masa lalu. Bagi banyak orang muda saat ini, peralihan masa dewasa merupakan waktu untuk mendapatkan pengalaman sebelum menerima peran dan tanggung jawab sepenuhnya sebagai individu dewasa. Laki-laki muda atau perempuan muda mungkin medapat pekerjaan dan tempat tinggal serta bersenang-senang di kehidupan sendiri. Tugas-tugas perkembangan tradisional seperti mendapatkan pekerjaan yang stabil dan mengembangkan hubungan romantis jangka panjang mungkin ditunda hingga usia 30 atau bahkan lebih (Roisman, Masten, Coatsworth & Tellegen, 2004).

Pengaruh-Pengaruh pada Jalan Menjadi Dewasa

Jalan individu menuju dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti:

 Gender

 Kemampuan akademis

 Sikap awal terhadap pendidikan

 Ras dan etnisitas

 Harapan diakhir masa remaja

 Kelas sosial

(2)

Dalam sebuah studi lain, anak muda yang tingkat perpindahannya rendah cenderung meninggalkan rumah lebih awal, kurang mendapatan dukungan orang tua, meninggalkan pendidikan yang lebih tinggi, dan memiliki anak lebih awal. Menjadi orang tua secara dini umunmya membatasi harapan dimasa depan.

Beberapa individu di masa peralihan dewasa lebih memiliki sumber daya-fnansial dan pengembangan-dibanding yang lain. Banyak tergantung pada perkembangan ego; kombinasi antara kemampuan memahami diri sendiri dan dunia seseorang, untuk mengintegrasikan dan mensintesis apa yang dilihat dan diketahui, dan untuk membuat rencana-rencana kehidupan seseorang. Pengaruh keluarga sangatlah penting. Sebagai hasil dari hal ini dan pengaruh lain, beberapa individu peralihan kedewasaan lebih tinggi mengembangkan egonya dibandingkan yang lain dan selanjutnya lebih siap untuk belajar berdiri sendiri.

PERKEMBANGAN

IDENTITAS

PADA

PERALIHAN MASA DEWASA

Erikson melihat pencarian identitas sebagai tugas sepanjang kehidupan difokuskan secara luas pada masa remaja. Peralihan ke masa dewasa menawarkan penundaan, atau “time out” dari tekanan perkembangan dan membiarkan orang muda pada kebebasan untuk mencoba berbagai peran dan gaya hidup. Di Negara-negara pascaindustri, saat ini pencarian aktif identitas lebih dan lebih mungkin untuk diperluas dalam peralihan ke masa dewasa.

Pemusatan Kembali

(3)

Pada tahap 1, permulaan peralihan masa dewasa, individu masih tertanam pada keluarga asal, tetapi penghaapannya bagi keyakinan akan kemampuan diri dan pengarahan diri mulai meningkat.

Pada tahap 2, selama peralihan masa dewasa, individu cukup berhubungan dengan (dan mungkin ketergantungan fnansial), tetapi tidak lagi tertanam oleh keluarga asal. Sewaktu-waktu, keterlibatan eksplorasi dalam berbagai ragam perkuliahan, pekerjaan, dan pasangan intim melalui tahapan ini. Hingga pada akhirnya, individu berpindah pada komitmen serius dan memperoleh sumber daya untuk mendukung mereka.

Pada tahap 3, biasanya diusia 30, individu mulai memasuki masa dewasa muda. Tahap ini ditandai dengan kemandirian dari keluarga asal (sementara cukup terikat pada hal tersebut) dan komitmen pada karir, pasangan, dan kemungkinan anak-anak.

Penundaan Kontemporer

Kelompok sosial pascaindustri terfragmentasi menawarkan banyak pada peralihan individu dewasa yang memiliki sedikit bimbingan dan tekanan yang kurang untuk tumbuh menjadi dewasa. Pada umumnya, terdapat peralihan tujuan terkait proses dalam pemusatan kembali. Banyak orang mudah beralih menjauh dari tujuan-tujuan yang terkait dengan pendidikan, perjalanan, dan teman-teman serta menuju tujuan akan kesehatan, keluarga, dan yang terkait dengan pekerjaan.

Eksplorasi Identitas Ras/Etnis

(4)

kerja daripada menghabiskan lebih banyak waktu untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Jadi, bagi mereka, beberapa proses peralihan masa dewasa mungkin dipersingkat. Disisi yang lain, mereka harus mengerjakan isu-isu identitas khususnya berdasarkan etnisitas mereka.

Jika mereka tinggal dalam lingkungan yang berbeda dengan budaya asli mereka, mereka mungkin mulai bertanya akan nilai-nilai tradisional kelompok etnis mereka. Untuk mencapai kenyamanan identitas etnis, mereka harus mau memahami diri mereka sendiri sebagai bagian dari kelompok etnis tersebut dan sebagai bagian dari masyarakat dengan keberagaman yang lebih luas. Orang muda multirasial telah menambahkan tantangan untuk menemukan lingkungan yang sesuai dengan mereka.

Formasi kenyamanan identitas etnis memiliki akibat yang luas. Kenyamanan identitas etnis dihubungkan dengan harga diri yang tinggi dan karena kenyamanan identitas etnis melibatkan perasaan positif tentang keduanya, baik itu identitas pribadi atau budaya yang lebih luas lagi.

MENGEMBANGKAN HUBUNGAN DEWASA

DENGAN ORANG TUA

Begitu anak muda meninggalkan rumah, mereka harus melengkapi negosiasi otonomi yang dimulai di masa remaja dan mendefnisikan kembali hubungan mereka dengan orang tua sebagai hubungan antar orang dewasa. Orang tua yang tidak mampu menyadari perubahan ini akan memperlambat perkembangan anak mereka

Pengaruh – Pengaruh Hubungan Dengan Orang

Tua

(5)

mempertinggi kesempatan peralihan masa dewasa untuk keberhasilan peran sebagai individu dewasa.

Dalam sebuah studi longitudinal lebih dari 900 keluarga di selandia baru, hubungan pengasuhan yang positif selama masa remaja awal memprediksi kehangatan dan konfik yang sedikit dengan orang tua ketika individu mencapai usia 26 tahun. Hubungan tersebut menjadi lebih baik ketika dewasa muda menikah, tapi belum memiliki anak, masih terikat dalam aktivitas yang produktif (sekolah, karyawan, atau wiraswasta) dan tidak tinggal di dalam rumah masa kecilnya. Penemuan ini menyatakan bahwa orang tuadan anak yang telah menjadi dewasa muda bias rukun bersama dengan baik ketika orang muda mengikuti proses kehidupan yang normative, tapi telah menangguhkan tanggung jawab sebagai orang tua hingga peran dewasa lainnya menetap dengan baik.

Kualitas hubungan orang tua dengan anak dipengaruhi oleh hubungan antara ibu dengan ayah. Ketika dewasa muda “terperangkap di tengah-tengah” konfik orang tua, menyampaikan pesan dari orang tua satu ke yang lain dan berusaha meminimalisir konfik diantara mereka, terdapat konsekuensi negative disana.

Gagal Untuk Memulai

(6)

menghadapi masalah.

Gambar.14.1

Disini akan kita bahas kasus yang berkaitan dengan pembahasan diatas, yaitu sebuah flm yang berjudul Failure To Launch. Dalam flm ini tripp yang sudah berusia 35 tahun, masih tinggal dengan orang tuanya, yang merupakan sebuah kecemasan di sana. Pandangan stereotip ini bahwa dewasa muda yang tidak pindah dari rumah orang tuanya adalah individu yang egois dan menolak untuk menerima tanggung jawab, hal ini sangatlah tidak tepat. Sebagian besar keluar untuk mencari pelatihan atau sekolah yang lebih tinggi daripada generasi sebelumnya. Anak-anak dewasa yang melanjutkan hidup denga orang tuanya mungkin memiliki masalah untuk bernegosiasi ulang hubungan mereka. Prosesnya bias jadi bertahap, seseorang mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun, ketika anak-anak dewasa masih membutuhkan dukungan fnansial dari orang tua.

(7)

tinggal dengan orang tuanya hingga berusai 30 tahun, dan ini dipandang

diajukan Metode yang digunakan Perubahan atau stabilitas Model Tahap

(8)

atau tahap-tahap, yang kadangkala ditandai oleh krisis emosi yang meratakan jalan bagi perkembangan selanjutnya.

jika orang dewasa awal tidak dapat membuat komitmen yang dalam dengan orang lain, maka ia terisolasi dan asyik dengan diri sendiri. resolusi dari tahap ini menghasilkan love, pada saat itu orang dewasa muda akan menjalin hubungan serius dengan pasangannya dan menikah, memiliki anak dan membantu anak anak mencapai perkembangan kesehatan mereka sendiri.

Erikson : Intimasi VS Isolasi tahap keenam perkembangan psikososial erikson adalah intimasi vs isolasi. Jika dewasa muda tidak dapat membuat komitmen personal secara mendalam dengan yang lain, kata erikson, mereka berisiko akan terisolasi dan terserap dalam dirinya sendiri. Bagaimanapun, mereka memerlukan beberapa isolasi untuk merefeksikan kehidupan mereka. Sebagaimana mereka berusaha untuk menyelesaikan konfik yang ada dalam intimasi, daya saing, dan jarak, mareka mengembangkan rasa mengenai etika. Erikson mempertimbangkannya sebagai tanda kedewasaan. Hubungan intim membutuhkan pengorbanan dan kompromi. Dewasa muda yang mengembangkan rasa diri yang kuat selama masa remaja berada dalam posisi yang jauh lebih baik untuk meleburkan identitas mereka dengan individu lain.

Resolusi pada tahap ini menghasilkan kebaikan cinta; persembahan bersama antara pasangan yang memilih untuk berbagi kehidupan merek, memiliki anak, dan membantu anak-anak tersebut mencapai perkembangan kesehatan mereka sendiri. Sebuha keputusan untuk tidak memenuhi dorongan prokreatif yang memiliki konsekuensi serius bagi perkembangan, menurut Erikson. Teorinya telah dikritik oleh individu yang hidup sendiri, selibat, homoseksual, dan individu tanpa anak mengenai cetak biru erikson akan perkembangan kesehatan, dan juga untuk mengambil pola-pola perkembangan intimasi pada laki-laki setelah melihat identitas sebagai norma.

(9)

perkembangan kepribdian yang berdasar pada life structure. Life structure adalah pola kehidupan seorang pada waktu tertentu, yang dibangun diatas aspek apapun dalam hidup yang dianggap paling penting, dimana masing masiing dibagi kedalam tahap masuk dan memuncak. Setiap fase memiliki tugasnya masing masing yang pencapaiannya akan menjadi dasar untuk life structure yang akan datang. Oleh karena itu tugas perkembangan yang harus dilewati oleh dewasa muda adalah tantangan yang perlu dicapai agar dapat beradaptasi pada setiap tahap kehidupan.

Pada studi longitudinal yang dilakukan oleh Levinson (dalam Papaplia, Olds, & Feldman, 2007), ditemukan bukti dari perubahan kepribadian normative pada dewasa awal. Satu perubahan tersebut di dewasa awal adalah meningkatnya dan kemudian penurunan sifat yang terkait dengan feminitas ( simpati dan kasih saying di kombinasikan dengan rasa kerentanan, kritik diri, dan kurang percaya diri serta inisiatif). Antara umur 27 dan 43 tahun, para wanita lebih mengembangkan disiplin diri dan komitmen, kemandirian, kepercayaan diri, dan keterampilancoping. Model normatif ini dilanjutkan oleh Vaillant dan Levinson. Mereka mengidentifkasi empat pola karakteristik, mekanisme adaptif, yaitu : (1) mature (matang), (2) immature (belum dewasa), (3) psychotic dan (4) neurotic

Mengevaluasi tahap model normative Baik studi hibah atau kerja awal levinson, keduanya didasarkan pada kelompok-kelompok kecil laki-laki dan perempuan yang lahir diawal tahun 1920-an, 1930-an, dan 1940-an. Perkembanga mereka dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa social yang unik pada kohor mereka, begitu juga dengan status social ekonomoi, etnis, dan gendernya. Saat ini, dewasa muda mengikuti beragam macam jalan perkembangan dan, sebagai hasilnya, bisa jadi berbeda dibandingkan individu dalam studi tersebut.

(10)

mengembangkan rasa diri yang independen dan mandiri. Tugas perkembangan lain dari tahap tersebut, dibahas di BAB 13, termasuk menyelesaikan pendidikan, memasuki dunia kerja, dan menjadi mandiri secara fnansial.

Timing of events model

Menurut pendekatan ini,perkembangan tergantung peristiwa tertentu yang dialami seseorang. Orang biasanya sadar dengan waktunya masing masing dan social clock. Social clock adalah seperangkat norma budaya atau harapan terhadap peristiwa penting tertentu yang seharusnya terjadi, misalnya: menikah, bekerja, pension dan lain lain. Bila peristiwa kehidupan muncul tepat waktu maka perkembangannya berjalan lancer. Namun jika tidak, maka orang dewasa awal akan mengalami stress. Stress dapat muncul akibat peristiwa yang tidak diharapkan seperti : dipecat, menjadi janda pada usia dewasa awal,dll.

(11)

N Gambar.14.3

Cemas, kasar, depresi, impulsive, keasadaran diri, mudah diserang

Fantasi, estetika, perasaa, tindakan, ide, nilai

Mencari kesenangan, asertif, aktif, hangat, emosi, positif, senang berkumpul

Mementingkan orang lain, kerelaan, sabar, percaya, sederhana, berterus terang

Pencapaian prestasi, pertimbangan kompeten disiplin diri, perintah, memenuhi tugas Gambar.14.4

Trait models menekankan pada stabilitas atau perubahan pada trait kepribadian. Costa dan McCrae (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2007) mengembangkan fve factor model dalam menjelaskan perubahan trait kepribadian yaitu :

a) Neuroticism

Cemas, kasar, depresi, impulsive, keasadaran diri, mudah diserang

b) Extraversion

Mencari kesenangan, asertif, aktif, hangat, emosi, positif, senang berkumpul

c) Agreeableness

Mementingkan orang lain, kerelaan, sabar, percaya, sederhana, berterus terang

d) Conscientiousness

Pencapaian prestasi, pertimabangan kompeten disiplin diri, perintah, memenuhi tugas

E O

A

(12)

e) Openness to Experience

Fantasi, estetika, perasaa, tindakan, ide, nilai

Kontinuitas dan perubahan dalam model lima factor Dalam analisis sampel longitudinal dan cross sectional dari laki-laki dan perempuan Amerika Serikat, Costa dan McCrae menemukan kontinuitas yang cukup besar, begitu juga dengan perubahan-perubahan yang terlihat di semua kelima dimensi antara masa remaja dan di usia 30 tahun, dengan lebih lambat berubah sesudahnya. Bagaimanapun, arah perubahan beragam untuk factor-faktor kepribadian yang berbeda. Individu yang mudah bergaul dan hati-hati umumnya meningkat, ketika neurotisisme, ekstraversi, dan keterbukaan terhadap pengalaman menurun. Pola-pola perubahan terkait dengan usia tersebut nampaknya menjadi silang budaya yang universal, dan selanjutnya, menurut pengarangnya, merupakan hal yang berhubungan dengan kematangan.

Mengevaluasi Model Lima Faktor Kerangka kerja ini asalanya membuat kasus yang kuat untuk keberlanjutan kepribadian, terutama setelah usia 30 tahun. Peneliti yang lebih baru telah mengikis kesimpulan pandangan saat Costa dan McCrae sekarnag mengetahui bahwa perubahan terjadi sepanjang kehidupan. Jadi, rupanya kepribadian di masa dewasa menjadi lebih lunak dan lebih kompleks daripada yang dinyatakan oleh penelitian sifat sebelumnya.

Kritik lain dari model lima factor adalah metodologi, Jack Block (1995a,1995b) berdebat bahwa, karena lima factor sebagian besar didasaarkan pada penilaian subjektif, mungkin kehilangan validitasnya kecuali didukung oleh pengukuran lain. Lebih jauh lagi, seleksi factor-faktor yang berbeda dan membagi sifat yang berasosiasi secara berbeda. Contohnya, salah satu mungkin bertanya jika kehangatan mungkin aspek dari ekstraversi, sebagaimana ada dalam model lima besar, atau mungkin lebih dikelompokkan dalam aspek-aspek yang mudah bergaul? Pada akhirnya, kepribadian lebih daripada kumpulan sifat.

(13)

Kepribadian mempengaruhi dan mencerminkan:

– Sikap

– Nilai

– Keyakinan

– Interaksi sosial

Pendekatan ini melihat kepribadian sebagai suatu kesuluruhan fungsi. Block mengidentifkasikan tipe kepribadian dasar, yaitu:

a) Ego resiliency

Mampu beradaptasi terhadap stress, dengan mengaturnya melalui: percaya diri, mandiri, mampu mengutarakan pikiran, penuh perhatian, penolong, bekerja sama, dan focus pada tugas

b) Ego control / kontrol diri

Kontrol diri dibedakan menjadi dua, yaituovercontrolled dan undercontrolled.

Overcontrolled merupakan orang dewasa muda yang merasa malu, kesepian, cemas, dan bisa dipercaya, sehingga mereka cenderung menjaga pikiran mereka sendiri dan menarik diri dari konfik, dan mereka merupakan subyek yang kebanyakan mengalami depresi.

Sedangkan undercontrolled merupakan orang dewassa muda yang aktif, energik impulsive keras kepala dan mudah merasa bingung.

FONDASI HUBUNGAN INTIM

Erikson melihat perkembangan hubungan intimasi sebagai tugas penting dari masa dewasa muda. Kebutuhan untuk membentuk hubungan yang kuat, stabil, dekat, dan saling mengasihi adalah motivator penuh kekuatan bagi perilaku manusia. Individu menjadi intim dan tetap intim lewat sikap saling terbuka, responsive akan kebutuhan satu sama lain dan saling menerima dan menghargai.

(14)

sangat penting sebagaimana orang muda memutuskan untuk menikah atau membentuk hubungan berpasangan yang intim dan untuk memiliki atau tidak memiliki anak. Lebih jauh lagi, pembentukan hubungan baru, dan menegosiasikan kembali kelanjutan sebuah hubungan, memiliki pengaruh akan apakah kepribadian itu tetap sama atau berubah.

PERSAHABATAN

Persahabatan selama masa dewasa muda mungkin kurang stabil dibandingkan di awal atau periode selanjutnya karena frekuensi berpindah-pindah pada individu di usia ini; meskipun begitu, banyak dewasa muda yang memelihara hubungan berkualitas baik, teerikat dalam hubungan persahabatan jarak jauh. Persahabatan di masa dewasa muda cenderung berpusat pada aktivitas kerja dan pengasuhan serta berbagai rasa percaya diri dan nasihat. Beberapa persahabatan sangat dekat dan supportif; yang lain ditandai dengan konfik yang sering muncul. Beberpa “persahabatan terbaik” lebih stabil dibandingkan ikatan sebagai kekasih atau istri/teman.

Dewasa muda yang sendiri lebih menyandarkan pada persahabatan untuk memenuhi kebutuhan social mereka dibandingkan dengan dewasa muda yang sudah menikah atau orang tua muda. Jumlah teman dan waktu yang dihabiskan dengannya pada umumnya menurun dalam proses masa dewasa muda. Tetap saja, persahabatan merupakan hal penting bagi dewasa muda. Individu dengan banyak teman cenderung memiliki kepekaan akan kesejahteraan orang lain; selain itu memiliki teman membuat individu merasa nyaman akan diri mereka sendiri, atau indvidu yang mersasa nyaman dengan dirinya sendiri lebih mudah berteman.

(15)

Banyak dewasa muda menyatukan teman-temannya ke dalam jaringan keluarga terpilih. Kedekatan tersebut, teman yang mendukung dipertimbangkan sebagai kerabat fktiff dengan kata lain, satu keluarga psikologis. Diantara gay dan lesbian, hubungan kerabat fktif seringkali dengan teman yang normal dari jenis kelamin yang berlawanan. Dalam sebuah studi, hubungan abadi dan panjang cenderung terjadi di antara teman yang normal dan tidak menikah atau hidup dengan gaya yang tidak konvensional.

CINTA

Kebanyakan orang menyukai cerita cinta, termasuk cerita cinta mereka sendiri. Menurut teori Segitiga Cinta Robert J.Stenberg, cara cinta berkembang adalah sebuah cerita. Para pecinta adalah pengarangnya, dan cerita yang mereka ciptakan mencerminkan kepribadian dan konsep cinta mereka. Teori Stenberg mengenai pola-pola cinta yang bergantung pada keseimbangan antartiga elemen yang meliputi intimasi, gairah, dan komitmen. Intimasi, elemen emosi, melibatkan didalamnya keterbukaan diri, yang mengarah pada hubungan, kehangatan dan kepercayaan. Gairah, elemen motivasi yang didasarkan pada dorongan dari dalam yang menerjemahkan rangsangan fsiologis ke dalam hasrat seksual. Komitmen, elemen kognitif, keputusan untuk mencintai dan tinggal dengan orang yang dicintai. Tingkat masing-masing elemen itu hadir menentukan jenis cinta yang dirasakan individu.

Komunikasi merupakan bagian mendasar dari intimasi. Dalam sebuah studi lintas budaya, 263 pasangan dewasa muda di Brazil, Italia, Taiwan, dan Amerika Serikat meleporkan memiliki komunikasi dan kepuasan dalam hubungan romantic mereka. Di semua tempat itu, pasangan yang berkomunikasi secara konstruktif cenderung lebih puas dengan hubungan mereka disbanding yang tidak.

(16)

diasosiasikan dengan perasaan yang kuat akan persahabatan, penghargaan, afeksi, dan dukungan emosi dalam hununga romantic. Ini mendukung pernyataan Erikson (1973) bahwa pembentukan rasa aman terhadap identitas diperlukan bagi terjalinnya kualitas hubungan intimasi yang berkualitas tinggi.

TIPE PENJELASAN

TANPA CINTA Semua tiga komponen cinta intimasi, gairah, dan komitmen tidak ada. Hal ini paling menggambarkan hubungan antar individu, disebut interaksi kasual sederhana

MENYUKAI Komponen yang ada hanya intimasi. Tidak ada kedekatan, pemahaman, dukungan emosi, afeksi, keterikatan, dan kehangatan. Tidak ada gairah dan komitmen.

BERAHI komponen yang ada hanya gairah. Ini merupakan “cinta pada pandangan

pertama”, ketertarikan fsik yang kuat, dan aktivitas seksual, tanpa intimasi atau komitmen. Hubungan berdasarkan berahi bias selesai begitu saja dan berakhir dengan sangat cepat atau, pada kondisi tertentu dapat berlangsung untuk waktu yang lama

CINTA

HAMPA Komponen yang ada hanyalah komitmen. Cinta hampa seringkali ditemukan dalam hubungan jangka panjang yang kehilangan keduanya, baik itu intimasi dan gairah, atau dalam pernikahan yang telah diatur (perjodohan)

CINTA

ROMANTIS Ada intimasi dan gairah. Pecinta romantic terikat satu sama lain secara fsik dan emosi. Mereka tidak, bagaimanapun, berkomitmen satu sama lain CINTA

PASANGAN SETARA

Intimasi dan komitmen ada. Ini adalah jangka panjang, komitmen persahabatan, seringkali terjadi dalam pernikahan sat ketertarikan fsik berkurang, tetapi

pasangan merasa dekat satu dengan yang lain dan telah membuat keputusan untuk tinggal bersama

CINTA BODOH

Gairah dan komitmen dihadirkan tanpa intimasi. Ini adalha jenis cinta yang mengarah pada masa pacaran angina puyuh, yakni pasangan membuat komitmen berdsarkan gairah tanpa memberi waktu pada mereka untuk

mengembangkan intimasi. Cinta jenis ini biasanya tidak lama, walaupun pada awalnya bersungguh-sungguh untuk berkomitmen.

CINTA

SEMPURNA Semua ke tiga komponen dihadirkan dalam cinta yang “lengkap” ini, banyak individu berjuang terutama untuk membangun hubungan romantic. Ini lebih mudah untuk meraihnya daripada menjaganya. Pasangan mungkin berubak akan apa yang mereka inginkan dalam sebuah hubungan. Jika pasangan lain berubah, begitu pula, hubungan akan bertahan dalam bentuk yang berbeda. Jika pasangan yang lain tidak berubah, maka hubungan akan hancur.

Gambar.14.5

GAYA HIDUP MENIKAH DAN TIDAK

MENIKAH

(17)

menikah dengan karier yang terpisah memiliki pernikahan komuter, kadang disebut tinggal terpisah bersama. Dalam hal ini tidak ada hal yang seperti pernikahan “umum” atau keluarga

Hidup Sendiri

Perbandingan dewasa muda antara usia 25-34 tahun di US yang belum menikah sekitar 3 kali lipat antara tahun 1970-2005. Bagi perempuan, peningkatannya dari 9-32% dan bagi laki-laki dai 15-43%. Tren umumnya nyata di antara perempuan Afro Amerika, 35% dari mereka masih sendiri di akhir usia 30 tahun. Antara tahun 1970-2006 terjadi penurunan secara signifkan dalam angka pernikahan di hamper seluruh Negara.

Ada indikasi bahwa keyakinan agama menjadi pengaruh pada angka pernikahan. Ibu-ibu yang memiliki bayi diluar pernikahan lebih mungkin akan menikah jika mereka secara rutin pergi ke gereja.

Beberapa dewasa muda tetap sendiri karena mereka tidak menemukan pasangan yang tepat; yang lain tetap sendiri oleh pilihan. Banyak perempuan saat ini lebih mendukung diri mereka sendiri dan tidak ada tekanan social untuk menikah. Pada saat yang sama, banyak dewasa muda yang menunda pernikahan dan anak dikarenakan masalah ekonomi yang belum stabil. Pilihannya, beberapa individu menginginkan kebebasan untuk menjelajahi Negara lain atau dunia, mengejar karier, melanjutkan pendidikan, melakukan pekerjaan kreatif tanpa khawatir tentang bagaimana pemenuhan diri mereka berpengaruh pada individu lain.

Hubungan Gay dan Lesbian

(18)

tahun. Peningkatan ini dikarenakan penerimaan social terhadap homoseksualitas. Baru-baru ini sekitar 4 dari 10 penduduk US memiliki kerabat atau anggota keluarga yang gay. Individu yang dekat denga gay atau lesbian cenderung lebih suportif dalam legislasi seperti misalnya pernikahan gaya atau hokum adtidiskriminasi yang difokuskan pada gay atau lesbian.

Hubungan gay dan lesbian mencerminkan hubungan heteroseksual. Pasangan gay dan lesbian setidaknya puas dengan hubungan mereka sebagai pasangan heteroseksual. Factor-faktor yang memprediksi kualitas baik itu hubungan homoseksual dan heteroseksual – sifat kepribadian, persepsi akan hubungan oleh pasangan, cara berkomunikasi dan memecahkan masalah, serta dukungan social adalah serupa.

Perbedaan antara pasangan gay dan lesbian serta heteroseksual juga muncul dari penelitian.

1. Pasangan gay dan lesbian lebih mungkin menegosiasikan tugas-tugas rumah tangga untuk mencapai keseimbangan yang berguna untuk mereka dan mengakomodasi hal-hal yang menarik, keterampilan, jadwal bagi kedua pasangan dibandingkan dengan pasangan heteroseksual.

2. Mereka cenderung menyelesaikan konfik dalam atmosfer yang lebih positif dibandingkan pasangan heteroseksual.

3. Hubungan pasangan gay dan lesbian cenderung kurang stabil dibandingkan hubungan heteroseksual terutama karena kurangnya dukungan institutional.

Meskipun pasangan gay dan lesbian kurang mendapat dukungan menerima dukungan dari teman-teman dan keluarga, mereka mengompensasikan hal tersebut dengan teman-teman, kelompok social, dan organisasi yang ramah terhadap gay dan lesbian dan biseksual.

(19)

adalah sah di Negara bagian Connecticut, Iowa, Massachusets, New Hamspire, Vermont, New York, dan Washington D.C. Ditambahkan persekutuan sipil, tempat pasangan mendapat beberapa keuntungan ekonomis lainnya, hak-hak dan tanggung jawab pernikahan, telah dikenal di beberapa Negara Eropa dan Israel serta Selandia Baru.

Swedia tetapi terikat dalam aktivitas seksual dan hidup bersama.

Tipe-tipe Kohabitasi : Perbandingan Internasional

(20)

sama dengan menikah disbandingkan di Negara tempat biasanya individu harus mengarah pada pernikahan.

Konsensus atau perjanjian informal, hamper tidak dapat dibedakan dari pernikahan, telah lama diterima sebagaia pernikahan di banyak Negara Amerika Latin, terutama bagi pasangan kohabitasi mendapatkan hak-hak legal yang sama seperti pasangan yang menikah.

Gambar.14.7

Kohabitasi Di Amerika Serikat

Di tahun 2010 diperkirakan ada sekitar 7,5 juta pasangan yang tidak menikah tinggal bersama di Amerika Serikat, meningkat sebanyak 13% dari tahun 2009. Peningkatan kohabitasi ini terjadi di semua kelompok etnis dan di semua tingkatan pendidikan, tetapi individu yang kurang berpendidikan lebih banyak melakukan hal itu dibandingkan yang berpendidikan tinggi. Pelaku kohabitasi juga cenderung kurang religious, kurang mengenal tradisi, kurang memiliki kepercayaan diri dalam hubungan mereka, lebih menerima perceraian, menjadi lebih negative dan agresif dalam interaksi mereka dengan pasangan romantisnya, dan kurang berkomunikasi secara efektif .

(21)

yang memiliki pengharapan berlawanan tentang pembagian tugas rumah tangga rupanya memiliki kecenderungan tinggi untuk memutuskan hubungan. Banyak kohabitor yang ingin menikah menanggalkan pernikahan hingga mereka merasa kondisi ekonomi mereka mengizinkan. Para dewasa muda tersebut pada umumnya tidak menggunakan hubungan kohabitasi untuk menggantikan pernikahan, tapi lebih memandang hal ini sebagai jalan menuju pernikahan.

Beberapa penelitian mengingatkan bahwa pasangan kohabitasi yang menikah cenderung memiliki pernikahan yang tidak membahagiakan dan cenderung bercerai dibandingkan dengan yang menunggu untuk tinggal bersama sampai menikah. Dalam survey perwalian lintas regional nasional pada6.577 perempuan berusia 15-45 tahun yang kohabitasi atau melakukan hubungan seks sebelum menikah

hanya dengan suami masa depan mereka tidak memiliki risiko khusus bubarnya pernikahan. Pasangan yang menikah memiliki hubungan yang lebih stabil dan bahagia dibandingkan yang tidak, mungkin merupakan hasil komitmen yang kuat pada sebuah hubungan.

Percaya akan hubungan kohabitasi, pola-pola kohabitasi, dan stabilitas hubungan kohabitasi beragam diantara kelompok ras/etnis dan sangat kompleks secara alamiah. Pasangan yang kohabitasi, rata-rata adalah orang muda, kulit hitam, tidak religious.

Dewasa yang lebih muda dan tua menunjukkan perbedaan yang jauh akan pandangan mereka mengenai moralitas hubungan kohabitasi, yakni dewasa yang lebih muda menganggap bahwa tinggal bersama tidaklah salah.

(22)

Pernikahan

Di kebanyakan masyarakat, lembaga pernikahan dianggap merupakan cara terbaik untuk memastikan perlindungan dan membesarkan anak-anak. Hal ini mengizinkan pembagian pekerjaan dan pembangian materi. Idealnya, ini menawarkan intimasi, komitmen, persahabatan, afeksi, pemenuhan kebutuhan seksual, pendampingan, dan kesempatan bagi pertumbuhan emosi begitu juga sumber-sumber identitas baru dan harga diri.

Dalam foilosof tradisi timur tertentu kesatuan harmoni laki-laki dan perempuan merupakan hal yang mendasar bagi pemenuhan spiritual dan mempertahankan spesiesnya. Bagaimanapun di Amerik Serikat dan masyarakat pascaindustri lainnya telah melihat pelemahan norma-norma social yang membuat pernikahan merupakan hal yang universal dan dipahami artinya secara universal.

Pernikahan di Amerika Serikat telah dipengaruhi oleh luasnya demograf dan perubahan ekonomi dalam populasi.

Apa Arti Pernikahan Bagi Masa Peralihan dan

Dewasa Muda Saat Ini

Di Amerika Serikat terlepas sangat bayaknya perubahan demograf di akhir separuh abad, sebanyak 90% dewasa akan tetap memilih untuk menikah dalam suatu titik dari kehidupan mereka. Melihat pernikahan sebagai langkah yang tidak dapat dielakkan menuju masa dewasa, sebagaimana masa lalu, dewasa muda saat ini cenderung percaya akan hal itu, menikah, seseorang sudah menjadi dewasa.

Memasuki Ikatan Pernikahan

(23)

yang diatur pernikahannya memiliki harapan yang berbeda akan pasangan mereka. Ada penurunan harapan akan intimasi dan cinta, lebih menekankan pada tanggung jawab dan komitmen. Hanya di era modern mereka bebas memilih calon pasangannya berdasarkan cinta dan menjadi norma-norma di dunia barat.

Masa peralihan ke kehidupan pernikahan membawa perubahan utama dalam fungsi-fungsi seksual, pengaturan tempat tinggal, hak-hak dan tanggung jawab, kelekatan dan loyalitas. Diantara tugas-tugas lain, pasangan menikah perlu mendefnisikan kembai hubungan dengan anggota keluarga asli mereka, keseimbangan intimasi dengan otonomi dan membentuk pemenhan kebutuhan seksual.

Aktivitas Seksual Setelah Menikah

Individu yang menikah lebih sering melakukan hubunga seksual daripada yang sendiri, walaupun tidak sesering individu yang berkohabitasi. Bagaimanapun, pasnagan ya g menikah melaporkan lebih memiliki kepuasan emosi yang diperoleh dari hubungan seks dibandingkan yang sendiri atau pasangan kohabitasi.

Kepuasan Pernikahan

Individu yang menikah lebih bahagian disbanding yang tidak menikah, walaupun mereka yang dalam pernikahan yang tidak bahagia menjadi kurang bahagia dibanding yang bercerai atau sendiri. Perempuan yang menikah dan tetap dalam pernikahan lebih baik secara fnansial dibandingkan yang tidak menikah atau bercerai. Bagaimanapun kita tidak tahu bahwa pernikahan menyebabkan kekayaan ini; hal ini mungkin karena individu mencari kekayaan dan memiliki karakterisktik yang menguntungkan tersebut untuk memperolehnya lebih mungkin untuk menikah dan tetap dalam pernikahan.

(24)

sikap gender non-tradisional, dan dukungan norma-norma selama pernikahan; kebahagiaan pernikahan dipengaruhi secara negative oleh kohabitasi sebelum menikah, afair di luar pernikahan, tuntutan pekerjaan istri, dan lamanya jam kerja istri. Peningkatan dalam berbagi pekerjaan rumah tangga oleh suami memunculkan sedikitnya kepuasan pernikahan, tapi kepuasan meningkat di kalangan istri-istri.

Satu factor yang mendasari ketidakpuasan pernikahan mungkin berbeda dalam apa yang laki-laki dan perempuan harapkan dari pernikahan. Oerempuan cenderung menempatkan hal yang lebih penting pada ekspresi emosi-emosi mereka sendiri atau suaminya dibandingkan yang dilakukakan suami . laki-laki berusaha untuk mengekspresikan emosi yang positif pada istri mereka, memberi perhatian untuk kedinamisan hubungan dan menyusun aktivitas yang difokuskan pada mengembangkan hubungan merupakan hal yang penting bagi pandangan perempuan akan kualitas pernikahan.

Faktor-Faktor Keberhasilan Pernikahan

(25)

Cara individu menggambarkan pernikahan mereak dapat mengatakan banyak hal mengenai kecenderungan pernikahan untuk sukses. Dalam studi longitudinal representasi nasional, 2.034 individu yang menikah usia 55 tahun atau yang lebih muda ditanya apa yang membuat mereka tetap bersama dalam pernikahan. Mereka yang melihat keterpaduan pernikahan mereka didasarkan pada penghargaan¸ seperti cinta, penghargaan, kepercayaan, komunikasi, kesesuaian, dan komitmen pada pasangan, akan lebih bahagia dalam pernikahannya dan akan terus berlangsung setelah 14 tahun dibandingkan individu yang mengacu pada penghalang untuk meninggalkan pernikahan, seperti anak, keyakinan, religious, saling tergantung secara fnansial, dan komitmen pada lembaga pernikahan.

Masa sebagai Orang Tua

Individu dalam masyarakat industry memiliki sedikit anak saat ini dibandingkan di awal generasi, dan mereka mulai memiliki anak di kemudian hari, di banyak kasus karena mereka menghabiskan masa peralihan dewasa mudanya untuk mendapatkan pendidikan dan mengejar karier. Di tahun 2008, rata-rata usia melahirkan anak pertama kali di Amerika Serikat meningkat di usia 25,1 tahun (Martin, Hamilton dkk, 2010; Figur 14-5), dan persentase perempuan yang melahirkan unyuk pertama kali di akhir usia 30 tahun mereka dan bahkan di usia 40 serta 50 tahun meningkat secara dramatis, sering kali dengan bantuan perawatan kesuburan (Martin dkk, 2010).

Usia perempuan pertama kali melahirkan bervariasi berdasarkan latar belakang etnis dan budaya. Di tahun 2008, perempuan Asia, Amerika dan kepulauan Pasifk memiliki bayi pertama mereka di usia sekitar 28,7 tahun, sedangkan perempuan India, Amerika dan asli Alaska melahirkan pertama kali di usia di bawah 22 tahun (Martin dkk, 2010)

(26)

menikah juga khususnya meningkat tajam sejak tahun 2002 (Cohn, 2009). Di tahun 2008, 40,6 persen kelahiran di Amerika Serikat dari ibu yang tidak menikah meningkat sekitar 3 persen setiap tahun sejak tahun 2002 (Martin dkk, 2010). Angka kesuburan di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan di beberapa Negara maju lainnya, seperti Jepang dan Inggris, tempat usia rata-rata melahirkan pertama kali sekitar 29 tahun (Martin dkk, 2002 ; van Dyk, 2005)

Pada saat yang sama, proporsi pasangan tanpa anak di Amerika Serikat meningkat. Persentase rumah tangga dengan anak-anak turun dari 45 persen di tahun 1970 hingga sekitar 32 persen saat ini (Fields, 2004). Usia populasi yang menunda pernikahan dan memiliki anak mungkin bisa menjelaskan data tersebut, tetapi beberapa pasangan tidak ragu untuk tidak memiliki anak sebagai pilihan. Beberapa melihat pernikahan sebagai cara untuk menambah intimasi mereka, bukan sebagai dedikasi terhadap memiliki dan membesarkan anak (Popenoe & Whitehead, 2003). Individu lain mungkin takut terhadap beban ekonomi sebagai oranng tua dan sulitnya mengombinasi menjadi orang tua dengan pekerjaan. Perawatan anak yang lebih baik dan dukungan pelayanan lain akan membantu pasangan membuat keputusan yang benar.

(27)

MASA MENJADI ORANG TUA SEBAGAI

PENGALAMAN PERKEMBANGAN

Bayi pertama menandai masa peralihan kehidupan orang tua. Bersamaan dengan pasangan gembira, bertanya-tanya dan terpesona, hampir semua orang tua baru mengalami beberapa kecemasan tentang tanggung jawab perawatan anak, komitmen waktu dan energy yang diperlukan serta perasaan yang menetap bahwa masa menjadi orang tua menjadi beban pada pernikahan. Kehamilan dan pemulihan setelah melahirkan dapat mempengaruhi hubungan pasangan, kadang meningkatkan intimasi dan kadang menciptakann penghalang. Ditambahkan, banyak pasangan menemukan hubungan mereka menjadi lebih “tradisional” mengikuti lahirnya sang anak, sedangkan perempuan seringkali terlibat dalam tugas-tugas merawat dan menjaga rumah (Cox & Paley, 2003).

Keterlibatan Laki-Laki Dan Perempuan Sebagai

Orang Tua

Meskipun kebanyakan ibu saat ini bekerja di luar rumah, perempuan menghabiskan lebih banyak waktu untuk merawat anak dibandingkan pasangan mereka di tahun 1960-an, ketika 60 persen anak-anak tinggal dengan ayah sebagai pencari nafkah dan ibu yang tinggal di rumah. Saat ini, hanya sekitar 30 persen anak-anak yang tinggal dalam keluarga seperti itu. Ibu yang sudah menikah menghabiskan 12,9 jam waktunya per minggu untuk merawat anak di tahun 2000 dibandingkan dengan ibu yang menghabiskan waktu selama 10,6 jam per minggu di tahun 1965 dan ibu sebagai orang tua tunggal yang menghabiskan waktu 11,8 per minggu untuk merawat anak sebagai perbandingan dari ibu yang menghabiskan waktunya selama 7,5 jam di tahun 1965 (Bianchi, Robinson, & Milkie, 2006).

(28)

juga, norma-norma sosial telah berubah saat ini orang tua merasa tertekan untuk menginvestasikan waktu dan energinya untuk membesarkan anak. Dan, mereka merasa perlu untuk selalu dapat mengawasi anak-anak mereka karena kekawatiran akan kejahatan, kekerasan di sekolah dan pengaruh negative lainnya (Bienchi dkk, 2006).

Saat ini ayah lebih terlibat dalam kehidupan dan pengasuhan anak-anak mereka serta tugas rumah tangga dibandingkan sebelumnya. Di tahun 2006, ayah yang menikah menghabiskan 9,7 jam waktunya untuk pekerjaan rumah tangga dan 6,5 jam untuk merawat anak setiap minggu, lebih dari dua kali lipat di tahun 1965 (Bianchi dkk, 2006). Sekalipun demikian, sebagian ayah tidak begitu jauh terlibat seperti yang ibu lakukan. Bagaimanapun, ayah yang menghabiskan waktu dengan anak-anaknya hampir sama waktunya dengan yang ibu lakukan di akhir minggunya dan meningkat sebagaimana anak menjadi makin besar (Yeang, Sandberg, Davis-Kean, & Hoferth, 2001).

Terlepas dari tren tersebut, separuh dari orang tua mengatakan mereka memiliki sedikit waktu dengan anak-anak mereka, menurut dua survey nasional pada 2.817 individu dewasa. Ayah dengan jam kerja yang lebih panjang, khususnya yang merasakan hal ini (Milkie, Mattingly, Nomaguchi, Bianchi, & Robinson, 2004).

Dengan menambahkan waktu yang dihabiskan secara langsung untuk merawat anak, menjadi ayah mungkin mengubah aspek-aspek lain dalam kehidupan laki-laki. Sekitar 5.226 laki-laki berusia 19 hingga 65 tahun, ayah yang tinggal dengan anak yang tergantung padanya kurang terlibat dalam aktivitas sosial mereka sendiri dibandingkan yang tidak memiliki anak, tapi lebih menyukai terlibat dalam aktivitas sekolah, kelompok gereja dan organisasi pelayanan sosial. Semakin besar keterlibatan ayah semakin puas mereka dengan hidupnya (Eggbeen & Knoester, 2000).

(29)

Banyak studi telah menemukan bahwa kepuasan pernikahan umumnya menurun selama bertahun-tahun membesarkan anak. Sebuah analisis dari 146 studi termasuk hampir 48.000 laki-laki dan perempuan menemukan bahwa orang tua memiliki pekuasan pernikaham yang rendah dibandingkan yang bukan orang tua dan makin banyak anak, makin kurang puas otang tua dengan kehidupan pernikahan mereka. Perbedaan yang paling besar di antara ibu dari infant memiliki kepuasan akan pernikahan sebesar 38 persen dibandingka dengan 62 persen istri tanpa anak, kemungkinan karena kebebasan ibu yang dibatasi dan kebutuhan untuk mengatur peran baru (Twenge, Campbell, & Foster, 2003). Bagaimanapun, studi lain memberikan gambaran yang berbeda. Contohnya, satu studi membandingkan pasangan yang menjadi orang tua dalam kurun waktu setahun pernikahan mereka dengan pasangan yang tidak emiliki anak ditemukan tidak ada perbedaan dalam kepuasan pernikahan atau mengekspresikan cintanya satu sama lain setahun pertama pernikahan (McHale &Huston, 1985). Lebih jauh lagi, apakah pasangan bahagia atas kehamilan atau tidaknya dan apakah kehamilan memang direncanakan atau tidak rupanya juga berpengaruh pada kepuasan pernikahan setelah kelahiran anak (Lawrence, Rothman, Cobb, Rothman & Bradburry, 2008).dalam sebuah studi bahkan menemukan kepuasan pernikahan memuncak sebulan setelah melahhirkan (Wallace & Gotlib, 1990). Usaha baru-baru ini membuat hal yang kontras tersebut menjadi masuk akal menyatakan bahwa ketika studi diuji dalam sebuah kondisi yang tetap, penurunan yang kecil, tetapi signifkan dalam kepuasan pernikahan hal yang umum terjadi di usia 1-2 tahun setelah kelahiran anak, ini mungkin merupakan proses hubungan yang umum lebih daripada hal yang khusus mengenai masa peralihan pengasuhan (Mitnick, Heyman, & Slep, 2009)

(30)

menjadi sebuah isu, contohnya, jika perempuan bekerja di luar rumah sebelum menjadi seorang ibu, dan saat ini tinggal di rumah saja dan beban tugas-tugas rumah tangga dan merawat anak kebanyakan dijatuhkan pada dia (Cowan & Cowan, 2000; Schulz, Cowan & Cowan, 2006). Seuatu sesederhana bayi menangis, yang membuat orang tuanya terjaga di malam hari dapat mengurangi kepuasan pernikahan selama tahun pertama menjadi orang tua (Meijer & van den Wittenboer, 2007)

Orang tua yang berpastisipasi dalm kelompok diskusi pasangan tentang isu-isu pengasuhan dan hubungan, dimuali di akhir semester ketiga kehamilan, melaporkan turunnya tingkat kepuasan pernikahan (Schulz dkk, 2006). Pada umumnya, ini memperlihatkan bahwa meskipun kebanyakan orang tua memiliki persepsi yang tidak akurat akan seperti apa sebenarnya pengasuhan, makin realistis persepsi mengenai dampak memiliki anak baru pada pernikahan, semakin mudah penyesuaian yang akan mereka lakukan (Kalmus, Davidson, & Cushman, 1992).

BAGAIMANA KELUARGA MENGHADAPI

PENDAPATAN GANDA

Kebanyakan keluarga dengan anak-anak di Amerika Serikat saat ini merupakan keluarga dengan dua pendapatan. Keluarga dengan dua pendapatan memiliki bentuk-bentuk yang berbeda. Di hampir semua keluarga seperti ini, peran gender tradisional menang, yakni laki-laki sebagai penyedia utama dan perempuan sebagai penyedia kedua, tapi pola seperti ini telah berubah (Gauthier & Furstenberg, 2005). Di tahun 2003, penghasilan istri dihitung rata-rata sekitar 35 persen dari pemasukan keluarga dibandingkan dengan hanya sekitar 26 persen di tahun 1973 dan 25 persen istri yang bekerja menghasilkan pendapatan lebih dari suami mereka (Bureau of Labor Statistics, 2005).

(31)

menolak pekerjaan yang mengharuskan sering melakukan perjalanan untuk meningkatkan waktu keluarga dan mengurangi stress (Barnett & Hyde, 2000; Becker & Moen, 1999; Crouter & Manke, 1994). Atau, pasangan menghadapi trade-of (keadaan ketika pasangan dihadapkan pada lebih dari satu pilihan dan mengorbankan ketercapaian salah satu pilihan untuk memaksimalkan pencapaian pada prioritas pilihan lainnya); memilih karier untuk suatu pekerjaan, atau memilih pekerjaan mana yang didahulukan, tergantung pada pergantian kesempatan berkarier dan tanggung jawab keluarga. Perempuan lebih mungkin melakukan langkah mundur, yang biasanya terjadi selama awal tahun pertama membesarkan anak (Becker & Moen, 1999; Gauthier & Furstenberg, 2005).

(32)

melengkapi kuesioner di akhir hari kerja mereka dan waktu sebelum tidur malam selama 3 hari. Fluktuasi harian pada laki-laki dan perempuan dalam bekerja berlangsung dengan cepat dan mood mereka di akhir hari kerja memengaruhi perilaku pada pasangan mereka setelah bekerja, menyatakan bahwa serngan emosi akibat tekanan kerja memengaruhi hubungan pernikahan (Schulz, Cowan, Cowan & Brennan, 2004).

Untuk mengurangi tekanan pada keluarga dengan pendapatan ganda hampir semua Negara mengadopsi perlindungan tempat kerja bagi keluarga tersebut (Heyman, Siebert, & Wei, 2007). Ayah di 65 negara tapi bukan di Amerika Serikat mendapatkan cuti ayah (saat istri melahirkan) yang dibayar (The U.S. Family and Medical Leave Act of 1993 menjamin 12 minggu cuti yang tidak dibayar). Setidaknya 34 neraga tapi bukan di Amerika Serikat mengatur waktu kerja maksimum setiap minggunya. Di Amerika Serikat, sekitar 48 persen pekerja di sektor swasta tidak mendapatkan cuti yang dibayar untuk merawat diri mereka sendiri dan bahkan kurang untuk perawatan anggota keluarga yang lain seperti anak-anak. Lebih jauh lagi, meskipun mereka yang secara legal mendapatkaan cuti keluarga, sekitar 78 persen tidak menggunakannya karena tidak mampu melakukannya (Quamie, 2010). Amerika Serikat merupakan satu-satunya Negara industry yang tidak memberikan gaji pada cuti melahirkan meskipun di beberapa Negara bagian mengadopsi rencana pembagian gaji tersebut. Budget Presiden Obama tahun 2012 memasukkan sekitar $50 juta untuk memulai jaminan pendanaan untuk membantu Negara bagian menyediakan gaji cuti bagi para pekerja (Ofce of Management and Budget,2011).

Ketika Pernikahan Berakhir

(33)

PERCERAIAN

Angka perceraian di Amerika Serikat mencapai poin terendah sejak tahun 1970, di tahun 2008 sekitar 3,5 perceraian per 1000 perempuan yang menikah (Tejada-Vera & Sutton, 2009). Angka ini naik sekitar dua kali dari apa yang terjadi di tahun 1960, tapi turun perlahan-lahan sejak memuncak di tahun 1981. Sekitar 1 dari 5 individu dewasa di Amerika Serikat pernah bercerai (Kreider, 2005).

Penurunan tajam akan perceraian terjadi di antara kohor pasangan lebih muda yang lahir di pertengahan tahun 1950 (U.S. Census Bureau, 2007). Perempuan yang berpendidikan tinggi, yang sebelumnya memiliki pandangan permisif akan perceraian, menjadi berkurang, ketika perempuan yang berpendidikan rendah menjadi lebih permisif dan lebih mungkin untuk bercerai (Martin & Parashar, 2006). Usia pernikahan merupakan prdiktor lain dari apakah pernikahan akan berakhir. Penurunan angka perceraian dapat merefeksikan tingkat pendidikan tinggi begitu juga usia saat pernikahan pertama, saat keduanya diasosiasikan dengan stabilitas pernikahan (Popenoe & Whitehead, 2004). Hal ini juga mencerminkan meningkatnya hubungan kohabitasi, jika hubungan berakhir, tidak berakhir di perceraian (A. Cherlin in Lopatto, 2007). Remaja putus sekolah dari SMA dan individu yang kurang religious memiliki angka perceraian yang tinggi (Bramlett & Mosher, 2001, 2002; Popenoe & Whitehead, 2004). Angka kekacauan pernikahan bagi perempuan kulit hitam lebih tinggi dibandingkan perempuan kulit putih atau Latin (Bulanda & Brown, 2007; Sweeney & Philips, 2004). Ditambahkan, pasangan antar ras terutama perempuan kulit putih dengan laki-laki Asia atau laki-laki kulit hitam, lebih mungkin untuk bercerai daripada dengan sesame ras (Bratter & King, 2008).

Mengapa Pernikahan Gagal ?

(34)

kesesuaian lagi dan hilangnya dukungan emosional; bagi perceraian yang banyak terjadi baru-baru ini, karena terlalu muda perempuan termasuk kurangnya dukungan karier. Perlakuan kejam pasangan pada peringkat ke tiga, manyatakan bahwa kekerasan pada pasangan intim lebih sering terjadi dibandingkan yang umum disadari (Dolan & Hofman, 1998; kotak 14.2).

Menurut survey telepon acak dari 1.704 pasangan yang menikah, kemungkinan terbesar akan salah satu pasangan meminta perceraian terjadi ketika sumber pendapatan pasangan setara dan kewajiban fnancial mereka terhadap masing-masing relative kecil (Rogers,2004). Daripada tetap tinggal bersama “demi anak-anak”, banyaknya pasangan yang berseteru menandakan bahwa mengekspos anak-anak perihal konfik berkelanjutan dari orang tua menyebabkan kerusakan yang lebih. Dan, meningkatnya jumlah psangan tanpa anak, merupakan hal yang lebih mudah untuk kembali melajang (Eisenberg, 1995).

Perceraian mengembangbiakkan perceraian. Individu dewasa dengan orang tua yang bercerai lebih cenderung mengharapkan bahwa pernikahan mereka juga tidak akan bertahan lama (Glenn & Marquardt, 2001) dan memutuskan bercerai dibandingkan dengan individu yang orang tuanyanya tetap bersama (Shulman dkk, 2001). Bagaimanapun, proses ini dipengaruhi oleh pernikahan orang tua selanjutnya. Dewasa muda yang orang tuanya kembali menikah mencontoh hubungan yang berkualitas dalam pernikahan kedua orang tua mereka sehingga tidak ada perceraian pada mereka sendiri, menyatakan bahwa pengaruh yang ada saat ini memainkan peran yang kuat dalam sebuah hubungan (Yu & Adler-Baeder, 2007).

Menyesuaikan Diri Pada Perceraian

(35)

dan harus menjaga kontak tersebut mungkin membuat stress (Williams & Dunne-Bryant, 2006).

Perceraian cenderung mengurangi kesejahteraan jangka panjang, terutama bagi individu yang tdiak ingin bercerai atau tidak ingin menikah kembali (Amato, 2000). Khususnya bagi laki-laki perceraian dapat menyebabkan pengaruh negative pada kesehatan fsik dan mental atau keduanya (Wu & Heart, 2002). Perempuan lebih cenderung mengalami penurunan tajam sumber ekonomi dan standar kehidupan setelah perpisahan atau perceraian (Kreider & Fields, 2002; Williams & Dunne-Bryant, 2006). Bagaimanapun perempuan dalam pernikahan yang tidak bahagia mendapatkan lebih banyak keuntungan pada retaknya hubungan dibandingkan laki-laki deng pernikahan yang tidak bahagia (Waite, Luo & Lewin, 2009). Individu dengan atau berpikir bahwa mereka memiliki pernikahan yang bahagia cenderung beraksi lebih negative dan beradaptasi lebih lambat pada perceraian (Lucas dkk, 2003). Di sisi yang lain, ketika pernikahan mengalami konfik yang berat dengan berakhirnya pernikahan mungkin memperbaiki kesejahteraan dalam proses yang panjang (Amato, 2000).

Faktor penting dalam penyesuaian adalah pemisahan emosi dari mantan pasangan. Individu yang adu argument dengan mantan pasangan mereka atau tidak menemukan pasangan baru atau suami/istri baru lebih banyak mengalami stress. Kehidupan sosial yang aktif, baik pada saat perceraian dan setelahnya akan sangat membantu (Amato, 2000; Thabes, 1997; Tschann, Jhonson & Wallerstein, 1989).

PERNIKAHAN KEMBALI DAN MASA MENJADI

ORANG TUA TIRI

(36)

Di Amerika Serikat dan Negara lain, angka pernikahan kembali sangat tinggi dan meningkat terus (Adams, 2004). Lebih dari 1 dari 3 pernikahan di Amerika Serikat merupakan pernikahan kembali bagi kedua mempelai laki-laki dan perempuan (Kreider, 2005). Setengah dari yang menikah kembali setelah bercerai dari pernikahan pertama terjadi dalam kurun waktu 3 hingga 4 tahun (Kreider & Fields, 2002; Kreider, 2005). Laki-laki dan perempuan yang tinggal bersama anak-anak mereka dari hubungan sebelumnya lebih cenderung membentuk persekutuan baru dengan seseorang yang juga memiliki anak, selanjutnya terbentuklah keluarga tiri (Goldscheider & Sassler, 2006). Dan, keluarga tempat kedua orang tua membawa anak masing-masing ke dalam pernikahan ditandai dengan terjadinya tingkat konfik yang tinggi (Heatherington, 2006).

Semakin baru pernikahan terkini terjadi dan adanya anak tiri yang bukan lagi anak-anak, semakin sulit pengasuhan tiri terjadi. Perempuan, terutama tampaknya lebih sulit dalam membesarkan anak tiri dibandingkan anak biologisnya, mungkin karena pada umumnya perempuan lebih banyak meluangkan waktu bersama anak-anaknya dibandingkan laki-laki (MacDonald & DeMarris, 1996).

Tetap saja, keluarga tiri memiliki potensi menyediakan kehangatan, atmosfer perawatan sebagaimana keluarga lain yang memperlihatkan anggota keluarganya. Salah satu peneliti (Papernow, 1993) mengidentifkasi beberapa tingkat penyesuaian. Pertama, individu dewasa mengharapkan penyesuaian yang mulus dan cepat, ketika anak-anak mereka berfantasi bahwa orang tua tirinya akan pergi dan orang tua kandungnya akan kembali. Sebagaimana konfik berkembang, tiap orang tua mungkin berada di sisi anak kandungnya. Akhinya, individu dewasa membentuk persekutuan yang kuat untuk menyediakan segala kebutuhan anak-anaknya. Orang tua tiri mencapai peran akan fgure orang dewasa secara signifkan dan keluarga menjadi terintegrasi dengan masing-masing identitas mereka sendiri.

(37)

pengalaman individu di tahun-tahun kematangan mereka juga berpengaruh akan hubungan mereka.

KEKERASAN PASANGAN INTIM

Kekerasan pasangan intim (intimate partner violence/IPV) atau kekerasan domestic, merupakan kesalahan perlakuan fsik, seksual, atau psikologis dari pasangan atau mantan pasangan intim. Tiap tahun, perempuan di Amerika Serikat merupakan korban dari sekitar 4,8 juta penyerangan fsik pada pasangan intim dan laki-laki di Amerika Serikat merupakan korban dari 2,9 juta kekerasan seperti itu (CDC, 2009c). Pada tahun 2005, kekerasan pasangan intim menyebabkan 1.510 kematian, 22 persen dari mereka adalah laki-laki dan 78 persen adalah perempuan (CDC, 2009c). Semakin banyaknya kekerasan domestic sangat sulit dideteksi karena korban sering kali malu atau takut melaporkan tentang apa yang terjadi, terutama jika korbannya adalah laki-laki.

Kebanyakan studi di Amerika Serikat menemukan bahwa laki-laki jauh lebih mungkin melakukan kekerasan pada pasangan intimnya dibandingkan perempuan (Tjaden & Thoennes, 2000). Kekerasan perempuan melawan laki-laki dalam hubungan domestic sering kali terjadi, tapi umumnya dengan luka yang sedikit dan kecil kemungkinan dimotivasi oleh keinginan mereka untuk mendominasi atau mengontrol pasangan mereka (Kimmel, 2002). Keduanya, baik laki-laki atau perempuan yang menjadi korban atau diperlakukan secara kasar melaporkan mengalami kondisi kesehatan yang kronis dan perilaku kesehatan yang berisiko dibandingkan yang tidak mengalami kekerasan. Bagaimanapun, hal ini tidak jelas apakah kondisi tersebut dan perilakunya disebabkan oleh kekerasan (Black & Breiding, 2008).

(38)

Van Wyk, 2003; Frye & Karney, 2006; Leone, Johnson, Cohan & Llyoid, 2004). Kekerasan pasangan situasional mengacu pada konfrontasi fsik yang berkembang selama meningkatnya adu argument. Tipe kekerasan ini, dalam konteks pernikahan, mencerminkan miskinnya penyesuaian pernikahan atau stres akut (Frye & Karney, 2006). Hal ini mungkin diawali oleh kedua pasangan dan mungkin meningkat dalam keparahan (DeMarris dkk, 2003). Hal ini seringkali dihubungkan dengan penggunaan obat-obatan atau alcohol (CDC, 2011b).

Perlakuan kejam secara emosi, seperti menghina dan mengintimidasi, mungkin terjadi disertai atau tidak oleh kekerasan fsik (Kaukinen, 2004; WHO, 2005). Dalam survey dari 25.876 laki-laki dan perempuan Kanada, perlakuan kejam secara emosi pada perempuan cenderung terjadi ketika tingkat pendidikan, status, dan pendapatan lebih tinggi dibandingkan pasangannya. Perilaku seperti itu mungkin cara laki-laki untuk mendapatkan dominasi (Kaukinen, 2004).

Tipe paling serius pada kekerasan pasangan adalah terorisme intimasi penggunaan secara sistematis perlakuan kejam secara emosi, paksaan, dan kadang ancaman dan kekerasan untuk memperoleh atau meningkatkan kekuatan untuk mengontrol pasangannya. Tipe perlakuan kejam ini cenderung menjadi lebih sering terjadi berulang kali. Penting sekali untuk mengenal atau membedakan karakteristik yang mendasari motivasi pencarian control (DeMarris dkk, 2003; Leone dkk, 2004). Korban terorisme intimasi ini kebanyakan perempuan yang mengalami luka-luka fsik, kehilangan pekerjaan, kesehatan yang buruk, dan tekanan psikologis (Leone dkk, 2004).

(39)

korban merasa terjebak dalam hubungan dengan perlakuan kejam. Pasangan mereka mengisolasi mereka dari keluarga dan teman-teman. Secara fnancial mereka tergantung dan kehilangan dukungan sosial dari luar. Beberapa di antaranya takut untuk pergi ketakutan realistis seperti beberapa suami yang berlaku kejam mengikuti mereka, mengusik, memukul, bahkan membunuh istri mereka sendiri (Fawcett, Heise, Isita-Espejel, & Pick, 1999; Harvard Medical School, 2004b; Walker, 1999).

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Papalia, Diane. E, Ruth Duskin Fieldman. (2014). Menyelami

Perkembangan Manusia (Experience Human Development) (Vol. 12). Jakarta: Salemba Hunamika.

http://aprian.blogdetik.com/perkembangan-psikososial-masa-dewasa-akhir/

Referensi

Dokumen terkait

Proses tata kelola TI Kabupaten Ngawi dapat dilakukan dengan membuat kebijakan untuk proses-proses TI kritikal yang dibagi dalam 4 domain sebagai berikut:. ‰

(2) Ada keefektifan hadiah fair play terhadap sportivitas dalam permainan sepak bola U12 antara kedua kelompok SSB yang diberi tahu adanya hadiah fair play lebih besar

Liga Arab sangat berbeda terutama bila dibandingkan dengan organisasi seperti Uni Eropa, karena Liga Arab belum berhasil mencapai suatu derajat peningkatan intergrasi

Berdasarkan Tabel 6, hasil uji F yang dilakukan oleh peneliti menyatakan bahwa variabel kepercayaan merek, keterlibatan pelanggan dan kecintaan pada merek secara

Desa Nungkulan inggih menikia desa inggak kalebu wewengkon kecamatan Girimarto kabupaten wonogiri. Watesan sisih ler saing Desa Nungkulan inggih menika Desa Gemawang

Ada hubungan antara penyesuaian diri terhadap pekerjaan dengan intensitas penggunaan problem focused coping pada kaum biarawati dewasa madya, yang. mana p diperoleh 0,00

Hal ini sangat mempengaruhi efektifitas mahasiswa dalam mengerjakan pasien komprehensif karena apabila pasien tersebut datang karena ada keinginan untuk mendapatkan

Di Irak, Turki memberikan dukungan logistik yang luas kepada pasukan Amerika Serikat di Turki, perbatasan darat yang melintasi antara Turki dan Irak di Gerbang Habur