BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini, dunia persaingan bisnis global sudah semakin pesat dan ketat. Di
Indonesia saja, banyak sekali perusahaan-perusahaan baru baik perusahaan dari
investor dalam negeri maupun oleh investor asing yang tumbuh dan berkembang.
Tantangan bisnis yang dihadapi perusahaanpun semakin kompleks sehingga
berdampak pada persoalan sumber daya manusia (SDM) yang semakin banyak
(Nurhayati, 2001). Untuk dapat mengatasi persaingan bisnis ini, perusahaan perlu
meningkatkan pemberdayaan terhadap sumber daya yang salah satunya adalah
individu-individu sebagai sumber daya esensial dalam perusahaan itu sendiri.
Karyawan sebagai SDM memiliki peran yang sangat dominan dalam
organisasi, karena merupakan motor penggerak paling utama dalam suatu
organisasi, sehingga pengelolaan SDM sebagai faktor penentu keberhasilan sangat
diperlukan (Widarsono, 2004). SDM berperan memberikan nilai tambah bagi
organisasi agar lebih efektif dan kompetitif melalui penurunan biaya, berorientasi
pada pelanggan, meningkatnya poduktifitas serta komiten kerja, dan lain-lain
(Fryzel & Wang, 1994; Nurhayati, 2001). Menciptakan pekerja yang engaged
sebagai sumber daya esensial merupakan tantangan bagi organisasi (Gaddi, 2004)
terlebih lagi pada masa krisis global ini.
Untuk menjawab tantangan tersebut, dibutuhkan cara-cara atau strategi
yang terbaik bagi perusahaan. Manajemen SDM memegang peranan dan bagian
penting dalam hal ini. Penting bagi fungsi-fungsi dalam organisasi, seperti
manajemen SDM untuk berkolaborasi dan bermitra dalam membangun dan
mengimplementasikan strategi perusahaan (Worley, Hitchin, & Ross, 1996).
Manajemen SDM harus memulai dengan fokus terhadap perkembangan sumber
yang paling bernilai yaitu karyawan (Sweem, 2009).
Untuk mempertahankan para karyawan, manajemen SDM harus aktif dan
membuat kebijakan bagi perbaikan karyawan sehingga karyawan akan puas
dengan organisasi dan bertahan dengan perusahaan dalam waktu yang panjang
(Gaddi, 2004). Efektivitas manajemen SDM setiap organisasi dianggap sebagai
karakteristik pembeda kesuksesan organisasi. Mengatur SDM secara efektif di
organisasi dalam perubahan lingkungan bisnis yang cepat ini merupakan hal yang
krusial bila organisasi ingin tetap bersaing (Airila, Hanaken, Punakallio, Lusa, &
Luukkonen, 2012).
Salah satu hal yang sebaiknya dilakukan manajemen SDM adalah
membuat strategi agar para karyawan dapat membawa keuntungan bagi organisasi
melalui komitmen dan dedikasi, discretionary effort, dan menggunakan talenta secara penuh, serta mendukung tujuan dan niai-nilai organisasi (Robertson &
Markwick, 2009). Inilah yang dikenal dengan istilah engagement. Engagement
menjadi salah satu topik yang cepat diserap dalam agenda Human Resource (HR), dimana engagement merupakan kunci tantangan yang menarik perhatian para eksekutif dan professional seperti HR (HR Focus, 2006; Robertson & Markwick,
Hasil survey engagement yang dilakukan oleh Kenexa Institute (2012) menemukan bahwa dari dua puluh delapan negara, yang salah satunya Indonesia,
hanya India saja yang skor engagementnya termasuk dalam kategori tinggi, yaitu 77%, sedangkan negara-negara lainnya kebanyakan termasuk dalam kategori
engagement yang moderate dan low-moderate. Indonesia memperoleh skor
engagement 49% dan tergolong dalam kategori low-moderate. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata engagement di berbagai negara masih rendah dan perlu ditingkatkan karena dengan adanya pegawai yang engaged tentunya akan dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan.
Wagner & Harter (2011) menyatakan bahwa pegawai yang engaged dan bertalenta merupakan sumberdaya terbesar bagi perusahaan. Dengan pengelolaan
sumber daya yang baik, perusahaan dapat mencapai kinerja yang diharapkan serta
memiliki keunggulan kompetitif ketika orang-orang di dalamnya melakukan apa
yang terbaik dari dirinya. Untuk itulah, engagement dalam organisasi harus ditingkatkan bila ingin sukses dalam persaingan bisnis. Rashid, Ashad dan Ashra
(2011; Sakovska, 2012) menyatakan bahwa engagement merupakan alat terbaik dalam usaha perusahaan untuk menggali keuntungan kompetitif dan tetap
bersaing.
Hingga saat ini belum ada definisi yang konsisten dari engagement dimana
engagement dioperasionalisasikan dan diukur dalam banyak cara yang berbeda (Kular, Gatenby, Rees, Soane, & Truss, 2008). Kahn (1990) mendefinisikan
diri mereka secara fisik, kognitif, dan emosional selama melakukan kinerjanya.
Menurut Gibbons (2006; Hughes & Eveline, 2008) engagement adalah hubungan emosional dan intelektual yang tinggi yang dimiliki oleh karyawan terhadap
pekerjaannya, organisasi, manajer, atau rekan kerja yang memberikan pengaruh
untuk menambah kebebasan menentukan upaya terbaik dalam pekerjaannya.
Konsep engagement juga banyak didefinisikan sebagai komitmen emosional dan intelektual terhadap organisasi (Baumruk, 2004; Kular dkk, 2008).
Sedangkan Schaufeli, Salanova, Gonzales, dan Bakker (2002) mendefinisikan
work engagement sebagai keadaan motivasional yang positif yang dikarakteristikkan oleh adanya vigor, dedikasi dan absorpsi. Vigor mengacu pada level energi yang tinggi dan resiliensi, kemauan untuk berusaha, tidak mudah
lelah dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Dedikasi mengacu pada perasaan
penuh makna, antusias dan bangga dalam pekerjaan, dan merasa terinspirasi dan
tertantang olehnya. Absorpsi mengacu pada berkonsentrasi secara penuh dan
mendalam, tenggelam dalam pekerjaan.
Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa work engagement
memberikan hasil yang positif bagi karyawan maupun organisasi. Dampak dari
adanya engagement pada kinerja bisnis dari beberapa studi,seperti penelitian oleh
Corporate Leadership Council menemukan bahwa engagement menyumbangkan 40% bagi peningkatan kinerja, sementara karyawan yang berkomitmen tinggi
berusaha 57% lebih keras dalam pekerjaannya, performanya 80% lebih baik dan
87% kurang mungkin untuk meninggalkan perusahaan. Studi dari Watson Wyatt
dengan engagement yang tinggi mencapai kinerja finansial empat kali lebih besar dibandingkan perusahaan dengan engagement yang rendah.
Hasil penelitian CIPD (2006) menunjukkan bahwa pegawai yang engaged
kinerjanya lebih baik daripada yang lain, lebih mungkin untuk merekomendasikan
organisasi mereka ke yang lain, kemungkinan yang rendah untuk keluar,
mengalami kepuasan kerja yang meningkat dan lebih memiliki sikap dan emosi
yang positif terhadap pekerjaan. Hal ini memperlihatkan bahwa peningkatan level
engagement memberikan keuntungan bagi karyawan dan perusahaan.
Penelitian Schaufeli dan Bakker (2004) menunjukkan karyawan yang
engaged akan memiliki engagement yang kuat dengan organisasinya dan kecenderungan keluar yang rendah. Hasil penelitian Nusatria (2011) menunjukkan
bahwa engagement memiliki pengaruh yang positif terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Menurut Gallup Organization (2004; Kular dkk, 2008),
Work Engagement Index (EEI) memiliki implikasi yang signifikan terhadap kepuasan pelanggan, pertumbuhan yang berkelanjutan, kenaikan keuntungan,
kenaikan nilai saham, produktivitas dan retensi karyawan.
Dalam berbagai studi penelitian juga banyak diungkapkan faktor-faktor
yang menjadi pendorong karyawan untuk engaged. Pada tahun 2006, The Conference Board menerbitkan artikel “Work Engagement - Review Penelitian Saat Ini dan Implikasinya” berdasarkan 12 studi besar yang dilakukan oleh
perusahaan riset seperti Gallup, Tower Perrin, Blessing White, dan lainnya.
kebanggaan terhadap perusahaan, pengembangan karyawan, keanggotaan dalam
tim, garis pandang antara kinerja pekerja dan kinerja perusahaan, hubungan
dengan manajer serta kepercayaan dan integritas (Siddhanta & Roy, 2010). Dalam
penelitian yang menyoroti engagement di China oleh Blessing White (2010) juga menyebutkan bahwa kepercayaan dalam kepemimpinan merupakan salah satu
pendorong karyawan untuk terikat.
Sementara itu, Vazirani (2007) menyebutkan beberapa faktor yang
menjadi pendorong engagement, diantaranya adalah kepemimpinan. Margaretha dan Saragih (2008) mengungkapkan bahwa engagement bergantung kepada para pemimpin dalam organisasi. Pemimpin harus berperan untuk menciptakan
lingkungan yang dapat membuat karyawan terikat secara emosional dan kognitif.
Jika tidak ada komitmen dan peran yang besar dari para pemimpin, sulit berharap
karyawan akan engaged.
Dalam kepemimpinan yang efektif, kepercayaan merupakan elemen yang
mendasar (Dirks & Skarlicki, 2004). Oleh karena itu, kepemimpinan berkaitan
erat dengan kepercayaan. Dalam kepemimpinan, kepercayaan berperan dalam
mempengaruhi hasil perilaku pengikut dari seorang pemimpin. Beberapa
organisasi juga menilai bahwa pemimpin dapat menciptakan kebudayaan
organisasi yang baik apabila difalisitasi oleh kepercayaan dari bawahan mereka
(Salam, 2000). Pemimpin memiliki otoritas untuk membuat keputusan yang
memiliki dampak signifikan pada pengikutnya (seperti bayaran, tugas-tugas
pekerjaan, dan promosi), sehinggga kepercayaan terhadap pemimpin merupakan
dalam hubungan antara pemimpin dan pengikutnya, kepercayaan sangat
dibutuhkan.
Matthai (1989; Astuti, 2005) mengatakan bahwa kepercayaan merupakan
perasaan percaya diri yang dimiliki oleh karyawan dimana ketika menghadapi
situasi yang tidak pasti atau beresiko, maka perilaku dan kata-kata pemimpin
menunjukkan konsistensi dan sangat membantu. McAllister (1997)
mengungkapkan kepercayaan didasarkan pada pengaruh terhadap kepemimpinan
dan didefinisikan sebagai ikatan emosional diantara pemimpin dan pengikutnya
yang dikarakteristikkan dengan adanya kepedulian dan perhatian dan kepercayaan
dalam kata-kata, tindakan, dan keputusan dari yang lain.
Tyler dan Kramer (1996; Hua 2004) berpendapat bahwa kepercayaan
merupakan hal yang kritis bagi bawahan karena pertama, bawahan tergantung
kepada supervisor sebagai pemimpin mereka untuk berbagai jenis sumber-sumber
organisasi yang kritis, seperti promosi, kenaikan gaji, dukungan staff, dan
sumber-sumber lain yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan seseorang. Bagi
bawahan, kepercayaan terhadap supervisor merupakan hal yang berarti karena
kebanyakan hasil yang mungkin mereka peroleh dari organisasi berhubungan
secara dekat dengan pemimpin mereka tersebut. Alasan kedua bahwa bawahan
bergantung pada supervisor untuk sumber-sumber psikologis, seperti penguatan
positif, empati, dan dukungan sosial.
Adanya kepercayaan dalam hubungan antara pemimpin dengan bawahan,
tentunya akan memberikan dampak positif. Costigan, Insinga, Berman, Iter,
kepercayaan tinggi terhadap pemimpin mereka akan menjadi lebih mau berusaha
dalam pekerjaannya dan lebih mungkin mengembangkan sikap inisiatif dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam pekerjaan, menunjukkan energi dan
memiliki motivasi instrinsik untuk melakukan sesuatu, mengambil resiko dan
mencoba ide-ide baru ataupun menjadi lebih kreatif. Kepercayaan karyawan
terhadap pemimpin juga akan berkorelasi dengan kinerja pekerjaan dan OCB
(Dirks dan Ferrin, 2002).
Mayer & Schoorman (1995) menyatakan bahwa semakin besar
kepercayaan antara pemimpin dan pekerjanya, maka pertukaran informasi
semakin akurat, pemahaman terhadap tujuan kinerja semakin baik dan kualitas
komunikasi yang berkembang semakin tinggi. Tidak adanya kepercayaan dari
bawahan, membuat seorang atasan sulit untuk dapat menyelesaikan
tugas-tugasnya. Hubungan pemimpin dengan bawahannya bisa berhasil jika ada
kepercayaan dan keterbukaan antara pemimpin dan bawahan (Argi, 2008).
Kepercayaan kepada pemimpin berarti karyawan merasakan bahwa pemimpin
dapat dipercaya dan dianggap bisa memberi manfaat kepada karyawan (Regiana,
Nurtjahjanti & Putra, 2007).
Sementara itu, Kaskivirta (2011) menyatakan dengan adanya kepercayaan
antara pemimpin dan bawahan, karyawan akan mampu bekerja pada level
tertinggi dan bahkan pencapaian lebih terhadap tugas dan tujuan mereka, sehingga
penting bagi organisasi untuk mempertahankan hubungan kepercayaan antara
pemimpin dan bawahan. Kepercayaan menjadi lem yang mengikat bersama,
bawahan menghasilkan hasil yang positif bagi organisasi dan individu itu sendiri.
Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa kepercayaan dalam hubungan pemimpin dan
bawahan memainkan peranan besar dalam membangun kesuksesan organisasi.
Penelitian mengenai kepercayaan telah banyak dilakukan karena
kepercayaan merupakan elemen penting dalam suatu hubungan (Tan & Tan,
2000). Penelitian Long dan Siktin (2006; Berg, 2011) menunjukkan bahwa
elemen-elemen kunci untuk meningkatkan efektivitas organisasi adalah
tergantung pada usaha manajeruntuk membangun kepercayaan antara pekerja dan
organisasi. Ouchi (1981; Astuti, 2005) mengatakan bahwa kepercayaan
merupakan hal pertama yang harus dipahami karena kepercayaan dan
produktivitas berjalan beriringan. Adanya kepercayaan terhadap pemimpin akan
memberikan banyak manfaat, yaitu karyawan yang terikat, budaya kerja yang positif dan hasil-hasil yang sangat penting (Development Dimensions
International, 2000).
Wrebel (2009) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa kesetaraan,
integritas, ketersediaan, keterbukaan dan discreteness merupakan hal yang penting bagi kepercayaan bawahan terhadap pemimpin dibandingkan dengan keadaan
lain. Kesetaraan akan membawa kepada kepercayaan dan kepercayaan akan
meningkatkan kemungkinan orang-orang akan mengambil resiko untuk menjadi
engaged (Schneider, Macey, Barbera, & Young, 2010).
Sementara, Chugtai dalam penelitiannya berpendapat bahwa pengukuran
kepercayaan dengan menggunakan karakteristik kepercayaan dari Mishra, yaitu
dengan pengukuran lainnya karena faktor kepercayaan dari Mishra paling sering
muncul pada literatur-literatur penelitian dan menjelaskan bagian lebih besar dari
sifat yang dapat dipercaya (Clark & Payne,1997; Chugtai, 2010). Apabila pekerja
yakin bahwa pemimpinnya peduli terhadap kesejahteraan mereka, memiliki
kepercayaan diri terhadap kemampuannya dan memperlakukan bawahannya
dengan hormat, mereka lebih mungkin untuk mengeluarkan energi yang lebih
besar, pengabdian dan minat terhadap pekerjaannya (Saks, 2006). Mishra (1996)
berpendapat bahwa keempat dimensi kepercayaannya tersebut mewakili
komponen-komponen dari seluruh konstruk kepercayaan. Skala kepercayaan dari
Mishra juga dapat digunakan untuk mengukur bentuk kepercayaan baik
interpersonal maupun impersonal.
Schneider dkk (2010) menyatakan bahwa jika ingin mendapat keuntungan
dari sumber kerja yang terikat, maka perusahaan harus bisa memunculkan hal-hal
yang dapat mempromosikan dan mempertahankan kepercayaan. Orang-orang
akan merasa terikat dalam bekerja sama dengan orang lain yang mereka percayai
(Schneider dkk., 2010). Bukti penelitian mengindikasikan bahwa iklim
kepercayaan membawa pada keuntungan yang luas dan berbeda bagi individu
yang engaged dalam organisasi. Studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa meningkatnya kepercayaan menghasilkan secara langsung atau tidak langsung
sikap dan perilaku positif di tempat kerja seperti komitmen organisasi dan
Sebelumnya, telah ada penelitian yang terkait dengan engagement dan kepercayaan yang dilakukan oleh Hasan & Ahmed (2011) pada pegawai bank di
Malaysia, yaitu penelitian mengenai “Authentic Leadership, Trust and Work Engagement”. Dalam studi ini peneliti menggunakan teori engagement dari Schaufeli dan menggunakan dimensi kepercayaan dari Mayer, Davis dan
Schoorman (1995). Penelitian ini menelusuri isu mengenai kepemimpinan dari
beberapa perspektif dan menguji bagaimana kepemimpinan autentik berkontribusi
terhadap kepercayaan bawahan terhadap pemimpin dan juga bagaimana
kepercayaan memprediksi engagement bawahannya. Hasil studi menunjukkan ketiga variabel saling berhubungan satu sama lain. Terdapat hubungan yang
positif diantara komponen-komponen dari kepercayaan interpersonal dengan work engagement. Hubungan yang positif antara kepemimpinan autentik dengan kepercayaan interpersonal dan hubungan yang signifikan antara kepemimpinan
autentik dengan work engagement.
Oleh karena itu, berkenaan dengan hal-hal di atas, dapat dilihat bahwa
kepercayaan dalam suatu hubungan, khususnya hubungan antara pemimpin
dengan bawahan memang merupakan hal yang penting untuk mendorong work engagement diantara para pekerja. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa terdapat hubungan antara kepercayaan dengan work engagement. Namun, karena penelitian sebelumnya dilakukan pada perusahaan perbankan, maka peneliti
model dimensi kepercayaan yang berbeda, yaitu dimensi kepercayaan dari Mishra
(2008).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas pertanyaan yang harus dijawab dalam
penelitian ini adalah apakah ada pengaruh kepercayaan kepada pemimpin
terhadap work engagement?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepercayaan kepada
pemimpin terhadap work engagement.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang
psikologi, khususnya dalam Psikologi Industri dan Organisasi dalam aplikasinya
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai work engagement dankepercayaan kepada pemimpinbagi perusahaan.
b. Bagi akademis, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan acuan
atau pertimbangan untuk dijadikan langkah awal bagi peneliti
selanjutnya yang ingin melengkapi penelitian ini dan mengembangkan
penelitian mengenai work engagement dan kepercayaan kepada pemimpin.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab dan setiap bagiannya terdiri dari sub-sub
bab yaitu ;
Bab I : Pendahuluan berisikan uraian mengenai latar belakang penelitian,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II : Landasan teori berisi tinjauan teoritis tentang work engagement dan kepercayaan kepada pemimpin, hubungan antar variabel dan
hipotesa penelitian.
Bab III : Metode penelitian berisi uraian mengenai metode penelitian yang
digunakan, meliputi identifikasi variabel penelitian, definisi
metode pengambilan data, uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan
penelitian dan metode analisa data.
Bab IV : Analisa data dan pembahasan mengenai laporan hasil penelitian
yang meliputi uji asumsi, yaitu uji normalitas dan linearitas, hasil
utama penelitian, dan pembahasan data-data penelitian ditinjau dari
teori-teori yang relevan.
Bab V : Kesimpulan dan saran berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan