LAFAZ DARI SEGI KANDUNGAN
PENGERTIANNYA
Berdasarkan kandungan
pengertiannya, lafazh ada 4:
LAFAZH ‘AM (UMUM)
‘Am menurut bahasa artinya merata, yang
umum. Lafazh ‘am menurut istilah adalah “lafazh
yang memiliki pengertian umum, terhadap
semua yang termasuk dalam pengertian lafazh
itu . Arti lain lafazh ‘am (umum) adalah lafazh
yang menunjukkan satu makna yang dapat
Rumusan lafazh umum mencakup:
a. Lafazh itu hanya terdiri dari satu pengertian secara tunggal
b. Lafazh tunggal itu mengandung beberapa afrad (satuan pengertian)
c. Lafazh tunggal itu dapat digunakan untuk setiap satuan pengertiannya secara sama dalam penggunaannya
Ruang Lingkup ‘Am
Setiap Iafazh mengandung dua lingkup
pembahasan, yaitu:
(1) lafazh itu sendiri yang tersusun dari
huruf-huruf, dan (
Sighat (Bentuk) Lafazh ‘Am
1) Plural Yang Disertai Partikel ‘Al”
Partikel “al” yang menyertai lafadh yang berbentuk plural (jama’), baik plural tanpa gender, seperti jamak taksir, misalnya ar-rijal, ataupun plural yang bergender, seperti jamak Mudzakar Salim,(laki-laki plural), misalnya:
al-muslimun, atau jamak muannas salim (perempuan plural),
misalnya al-muslimat Amnya adalah partikel “at” yang
berkonotasi genus yang disebut “at” ai-jinsiyyah atau yang
berkonotasi penyedotan seluruh genus yang biasanya
disebut “al” al-jinsiyyah atau yang berkonotasi penyedotan
seluruh genus yang biasanya disebut “al” al-Istighraqiyyah.
2) Singular yang Disertai dengan Partikel “Al”
Partikel “al” yang menyertai lafazh yang berbentuk singular (mufrad), umumnya adalah partikel “Al”
al-jinsiyyah, atau al-istighraqiyyah, dan bukan partikel “al” yang berkonotasi zaman terjadinya peristiwa , yang biasa disebut “al” al-ahdiyah, seperti dalam lafazh al-Gharr
dalam surat al-Taubah:40 yang berkonotasi Gua Tsur, bukan yang lain. Maka, lafazh al-Ghar tersebut tidak
diidentifikasi sebagai lafazh umum., karena telah memiliki konotasi tertentu sebagai akibat masuknya partikel “al” al ahdiyah. Mengenai partikel “al” aI-jinsiyah atau
3) Isim Yang Dima’rifatkan Dengan Idhafah
Isim aI-ma’rifat adalah kata benda yang menunjukkan makna tertentu, bisa berbentuk: (1) kata ganti
(al-dhamir) misal huwa, huma, (2) nama (al-alam) misal
Muhammad, Irak, (3) penunjuk (al-isyarah) misal hazda, hadzihi, (4) sambung (al-mawsul) misal al-Iadzi, (5) kata benda yang disertai partikel t’al” misal al-masjid, (6)
disandarkan (mudhaf) kepada salah satu bentuk ma’rifat sebelumnya misal masjid muhammad, atau (7) obyek
seruan tertentu (al-munada al-maqshudah) misal
ya-rajul . Misal firman Allah surat al-Nisa: 11 ى ف اللَّه مكيصو ي
مكدلاوا (Allah mensyari’atkan tentang pembagian
4) Isim Nakirah Dalam Konteks Penafian, Syarat atau Larangan
•
Isim nakirah
adalah kata benda yang tidak
menunjukkan makna tertentu, dan merupakan
kebalikan ma’rifat. Misal: lafazh basyar, fasiq,
dan qawm masing-masing dalam konteks
penafian, syarat dan larangan. Contoh: QS
(Al-Mumtahanah:10).
َّنُه َروُجُأَ َّنُهوُمُتْيَتَآَ اَذ#إِ َّنُهوُح#كْن َت ْنَأَ ْمُكْيَلَع َحاَنُج َلا َو
5) Isim Syarat
• Isim syarat adalah kata yang digunakan untuk menyusun
struktur kalimat bersyarat, seperti: man (siapa saja), ma (apa saja), dan lain-lain. Misal lafazh: man dan ma dalam firman Allah:
ٌةَمَّل َسُم ٌةَيِدَو ٍةَنِمؤُْم ٍةَبَقَر ُريِرحَتَف أًَطَخ ا نِمؤُْم َلَتَق نَمَو
اوُقَّد
َّصَي
نَأَ َّلَّاِإِ
ِهِلهَأَ ى
َلِإِ
“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada
6) Isim Istifham
Isim istifhaam
adalah kata
yang digunakan untuk
menyusun struktur kalimat tanya,
seperti:
man
(siapakah) atau
madza
(apakah), dan
lain-lain. Misal lafazh
man
dan
madza
dalam firman
7)
Isim Maushul
Isim maushul
adalah kata yang digunakan untuk
menyambung bagian-bagian dalam kalimat,
seperti: man (siapa saja atau semua), ma (apa
saja atau semua) yang masing-masing
berkonotasi plural. Contoh al-ladzina, al-lati,
dsb. Misal firman Allah:
8) Plural Yang Berbentuk Nakirah
9) Lafazh Kull, Jami’, Ajma’un, dan Akta’un.
Misal lafazh : Kull, jami’, ajma’un, akta’un dalam firman Allah: #ت ْوَمْل ا ُةَق#ئِاَذ ٍسْف َن ُّل ُك
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)
Dan sabda Rasulullah SAW:
#ه#تَي#ع َر ْنَع ٌل ُؤُ ْسَم ٍعاَر ُّل ُك
“Setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya”
ا ًعي#م َج #
ض ْرَْلْأَ ا ي #ف اَم ْمُك َل َقَل َخ ي#ذَّل ا َوُه
Dalalah Lafadz ‘am
Jumhur Ulama berpendapat bahwa lafadz ‘am itu
dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di
dalamnya. Demikian pula, lafadz ‘am setelah
di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy
dalalahnya. Hal ini sesuai dg suatu kaidah
ushuliyah yang berbunyi:
َصِّصُخ َّلا #إِ ٍماَع ْن#م اَم
“
Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.
Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan,
Dilalah Lafazh ‘Am
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am itu qath’iy dalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang
mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali.
Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:
Dilalah Lafazh ‘Am
“dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya”. (Al-An`âm:121)
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:
دواد وبأَ هاور( . ِّمَس ُي َم ل ْوَأَ ىَّم َس #اللَّه #مْسا ىَلَع ُحَبْذ َي ُم#لْسْمل ا
)
lanjutan
Macam-macam lafadz ‘am
a.
Lafadz ‘am yang dikehendaki keumumannya karenaada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Misalnya:
اَهَعَد ْوَت ْسُم َو اَهَّرَقَت ْسُم ُمَل ْعَي َو اَهُق ْز #ر # َّاللَّه ىَلَع َّلا#إِ #ض ْرَ ْلْأَا ي#ف ٍةَّباَد ْن#م اَم َو ٍني#بُم ٍباَت#ك ي#ف ٌّلُك
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat
berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhmahfuz).( Hud:6)
.
Macam-macam lafazh ‘Am
b. Lafadz ‘am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:
اوُبَغ ْرَي َلا َو # َّاللَّه #لوُس َر ْنَع اوُفَّلَخَتَي ْنَأَ #باَر ْعَ ْلْأَا َن#م ْمُهَل ْوَح ْنَم َو #ةَني#دَمْلا #لْهَ #لْأَ َناَك اَم #ه #سْفَن ْنَع ْم#ه#سُفْنَأْ#ب
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut
menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
Macam2 Lafazh ‘Am
c. Lafadz ‘am yang terbebas dari indikasi yang
dimaksud makna umumnya atau sebagian
cakupannya. Contoh:
ٍءوُرُق َةَث َلَاَث َّن#ه #سُفْنَأْ#ب َنْصَّبَرَتَي ُتاَقَّلَطُمْلا َو
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah
al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak),
terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa
yang dimaksud adalah makna umum atau
2. Khash
Ta’rif Khash• Yang disebut lafazh khash adalah lafazh yang diciptakan untuk
memberi pengertian satu-satuan yang tertentu baik menunjuk pribadi seseorang, seperti lafazh Muhammad, atau menunjuk macam sesuatu misal lafazh insanun (manusia) dan rajulun (orang laki-laki), atau menunjuk jenis sesuatu seperti lafazh hayawanun (hewan) atau menunjuk benda kongkrit seperti contoh-contoh di atas, atau menunjuk abstrak seperti lafazh ilmun (ilmu), jahlun (kebodohan) atau penunjukan kepada arti hakiki, seperti lafazh Muhammad, atau secara I’tibari
Pengertian Khash
Pengertian khash adalah apa yang sebenarnya
dikehendaki adalah sebagian yang dikandung
oleh lafazh. Sedangkan pengertian khusus
Sighat Khusus
1) Isim al-Alam
Isim aI-alam adalah kata yang digunakan untuk
menunjukkan nama tertentu, baik nama manusia, tempat, waktu, dan lain-lain. Contoh: Muhammad, Madinah, Ramadhan. Misal firman Allah:
2) Isim Ma’rifat
Dengan Partikel “al”
al-ahdyah
Contoh firman Allah dalam surat al-Taubah /
09:40
#نْيَنْثا َي#ناَث اوُرَفَك َني#ذَّلا ُهَجَر ْخَأَْذ#إِ ُاللَّه ُهَر َصَن ْدَقَف ُهوُر ُصنَت َّلا#إِ
ُاللَّه َلَزنَأَْف اَنَعَم َاللَّه َّن#إِ ْنَز ْحَتَلا #ه#ب#حاَص#ل ُلوُقَيْذ#إِ #راَغْلا ي#ف اَمُهْذ#إِ
اوُرَفَك َني#ذَّلا َةَم#لَك َلَع َج َو ا َه ْو َرَت ْمَّل ٍدوُنُج#ب ُهَدَّيَأَ َو #هْيَلَع ُهَتَني#ك َس
{ ٌمي#ك َح ٌزي #زَع ُاللَّه َو اَيْلُعْلا َي#ه #اللَّه ُةَم#لَك َو ىَلْفُّسلا
40
3) aI-Musyar ‘ilaih
aI-Musyar ilaih
adalah kata benda yang ditunjuk
oleh kata penunjuk (isim isyarah). Misal lafazh
al-kitab dalam firman Allah surat al-Bqarah/02:2
4) Angka Tertentu
Angka
(a!- ‘adad)
adalah kata hitung sekalipun
artinya lebih dari satu misal 20, 30 atau 100,
statusnya tetap merupakan lafazh khusus.
Misal: lafazh mi’at pada firman
4) Angka Tertentu
Angka
(al- ‘adad)
adalah kata hitung sekalipun
artinya lebih dari satu misal 20, 30 atau 100,
Sifat Lafazh Khash
Lafazh khusus itu kadang-kadang datang secara muthlaq, tanpa diikuti syarat apa pun,
a. Muthlaq dan Muqayyad
1. Ta’rif
Lafazh khash yang muthlaq
adalah lafazh khash
yang tidak diberi qayyid (pembatasan) berupa
lafazh yang dapat mempersempit keluasan arti.
Misal firman Allah surat al-Mujadalah ayat 3
yang berbunyi:
نِّم ٍةَبَق َر ُري #ر ْحَتَف اوُلاَق اَم#ل َنوُدوُعَي َّمُث ْم#ه#ئِآَسِّن ن#م َنوُر#هاَظُي َني#ذَّلا َو
{ ٌري#بَخ َنوُلَمْعَت اَم#ب ُاللَّه َو #ه#ب َنوُظَعوُت ْمُك#لَذ اَّسآَمَتَي نَأَ #لْبَق
3
Lafazh Mutlak
Maka, Iafazh “raqabatin” (budak) dalam ayat
tersebut adalah lafazh khash yang mutlak,
karen atidak diberi qayyid dengan sifat
tertentu. Sehingga kata “raqabatin” itu
Khash yg muqayyad
Adapun lafazh khash yang muqayyad ialah Iafazh
khash yang diberi qayyid yang berupa lafazh yang
dapat mempersempit keluasan artinya. Misal firman
Allah dalam surat al-Nisa/ 4:92
Mutlaq dan Muqayyad
Pada ayat di atas ada 3 buah Iafazh yang khash muqayyad; (1)
lafazh qatala (membunuh) diqayyid dengan lafazh khatha’an
(karena salah). Sehingga kewajiban membayar kafarat itu dibebankan kepada pembunuh karena kelalaian, bukan
pembunuhan yang lain. (2) Lafazh raqabatin (hamba sahaya)
diqayyid dengan mukminah (yang beriman). Oleh karena itu
tidaklah cukup memerdekakan hamba sahaya yang bukan beriman. (3) Lafazh divat (denda) diqayyid dengan
Hukum Lafazh Muthlaq dan Muqayyad
Hukum mutlak itu tetap pada kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang mengqayyidkannya dan hukum Iafazh muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Apabila pada lafazh mutlak itu ada dalil yang mengqayyidkannya, maka dalil itu dapat mengalihkan kemutlakan dan ia berfungsi sebagai dalil yang menjelaskan maksudnya. Misal firman Allah surat al-Nisa ayat 12:
{ ُُمي#ل َح ٌمي#لَع ُاللَّه َو #اللَّه َنِّم ًةَّي #ص َو ٍّرآَضُم َرْيَغ ٍنْيَد ْوَأَآَه#ب ىَصوُي ٍةَّي #ص َو #دْعَب ن#م 12
Hkm Lafazh Mutlaq dan Muqayyad
• Ayat tadi menerangkan wasiat sebagai lafazh mutlak
tidak dibatasi minimal dan maksimalnya. Kemudian ayat tersebut diqayyid dengan sabda Rasulullah
berupa jawaban atas pertanyaan Sa’id bin Abi Waqash ketika menanyakan kepada beliau
keinginannya untuk mewasiatkan 2/3 atau 1/2 harta peninggalannya, karena dia adalah orang kaya dan hanya meninggalkan seorang anak perempuan.
Jawab
Hadis
Hkm Lafazh Mutlaq dan Muqayyad
“....sepertiga. Sepertiga itu banyak dan besar (jumlahnya). Karena jika karnu meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang berkecukupan itu adalah lebih balk daripada jika
kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak.”
b) Jika dalam satu nash berbentuk lafazh mutlaq dan ditempat lain berbentuk muqayyad, maka dalam hal ini ada beberapa ketentuan
Pertama, dimenangkan yang muqayyad atas yang mutlaq.
Ketentuan demikian apabila:
(1)Hukum dan sebab yang dipakai untuk menetapkan hukum adalah sama. Misal firman Allah surat
al-Maidah:3
QS. AL-MAIDAH: 3
Qs. AL-An’am: 145
lanjutan
Darah yang disebut dalam surat al-An’am: 145
diberi qayyid dengan Iafazh masfuhan
(mangalir). Sesuai dengan ketentuan di atas,
maka darah yang dimaksud dalam surat
al-Maidah:3 adalah darah yang mengalir
sebagaiamna tercantum dalam surat al
-An’am :145 karena qayyid yang ditunjuk oleh
kedua ayat tersebut adalah sama, yaitu
2) Hukumnya sama, tetapi sebab yang dipakai untuk menetapkan berbeda
Misal firman Allah tentang kafarat pembunuhan
karena khilaf dalam surat al-Mujadalah:3
dimana budak yang dijadikan kafarat adalah
mutlak dan kafarah zhihar dalam surat
al-Nisa:92 budak yang dijadikan kafarat bersifat
muqayyad. Hukum yang diambil dari kedua
ayat itu adalah
sama,
yakni memerdekakan
budak, sedang sebab yang menetapkannya
tidak sama. Yakni pertama karena membunuh
karena khilaf, kedua orang yang menzhihar
Kedua, tidak memenangkan yang muqayyad
atas yang mutlak. Yang demikian apabila:
Hukum
dari sebab yang dipakai untuk
menetapkan hukum
tidak
sama.
Misal lafazh “aidi” (tangan-tangan) dalam firman
Allah surat al-Maidah:
Adalah mutlak, tidak diberi qayyid dengan
Qs al-Maidah: 6
ْمُكَي#دْيَأَ َو ْمُكَهوُج ُو اوُل #س ْغاَف #ةَلَاَّصلا ىَل#إِ ْمُتْمُق اَذ#إِ اوُنَماَء َني#ذَّلا اَهُّيَأَاَي
ن #إِ َو #نْيَبْعَكْلا ى َل#إِ ْمُك#لُج ْرَأَ َو ْمُك #سوُءُر#ب اوُح َسْما َو #ق#فاَرَمْلا ى َل#إِ
ُُد َحَأَ َءآ َج ْوَأَ ٍرَفَس ىَلَع ْوَأَ ىَض ْرَّم مُتنُك ن#إِ َو اوُرَّهَّطاَف اًبُنُج ْمُتنُك
اوُمَّمَيَتَف ًءآَم اوُد#جَت ْمَلَف َءآ َسِّنلا ُمُت ْسَمَلا ْوَأَ #ط#ئِآَغْلا َنِّم م ُكنِّم
َلَع ْجَي#ل ُاللَّه ُدي #رُياَم ُهْنِّم مُكي#دْيَأَ َو ْمُك#هوُج ُو#ب اوُحَسْماَف اًبِّيَط اًدي#عَص
ْمُكَّلَعَل ْمُكْيَلَع ُهَتَم ْع#ن َّم#تُي#ل َو ْمُك َرِّهَطُي#ل ُدي #رُي ن#كَل َو ٍجَرَح ْنِّم مُكْيَلَع
{ َنوُرُكْشَت
6
}
lanjutan
•
Adalah
muqayyad,
yaitu diberlakukan qayyid
lafazh
ha al-marafiq
(sampai/beserta sikut).
•
Oleh karena hukum yang dapat diambil dari
kedua ayat itu berlainan (hukum potong
tangan dan membasuh tangan dalam
(2) Hukumnya tidak sama tetapi sebab yang dipakai untuk menerapkan hukum
adalah sama.
Misal firman Allah (maka bertayamumlah dengan tanah yang bersih, sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu .(QS. al-Maidah:6). Lafazh ‘aidi” pada ayat tersebut mutlaq sedangkan pada awal ayat ke-6 diberi
qayyid dengan ila al-marafiq Maka, hukum yang
diambil dari ayat tersebut tidak sama karena hukumnya berbeda walaupun sebabnya sama yaitu sama-sama
unluk menghilangkan hadts. Dalam masalah tayamum, Abu Hanifah dan al-Syafi’I mewajibkan menyapu
Hadis Nabi:
t