A. Hibah dan Hibah Wasiat Sebagai Peristiwa Hukum
Anggota masyarakat setiap hari mengadakan hubungan antara satu
dengan yang lainnya untuk memenuhi kepentingannya sehingga menimbulkan
berbagai peristiwa kemasyarakatan. Peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang
oleh hukum diberikan akibat-akibat dinamakan peristiwa hukum atau kejadian
hukum (rechtfeit).176 Namun tidak setiap peristiwa dikategorikan peristiwa
hukum, melainkan hanyalah suatu peristiwa, misalnya A mengambil sepeda motor
miliknya sendiri. Contoh peristiwa yang menggerakkan hukum untuk bekerja
yaitu apabila A mengambil sepeda orang lain. Peristiwa yang terakhir disebut
peristiwa hukum karena hukum digerakkan bekerja untuk memberikan
perlindungan terhadap orang lain. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
hanya peristiwa-peristiwa yang dicantumkan dalam hukum saja yang bisa
menggerakkan hukum dan disebut sebagai peristiwa hukum.177
Tindakan penghibahan dan penghibahwasiatan sendiri dikategorikan
sebagai suatu peristiwa hukum karena tindakan tersebut tercantum dalam hukum
dan menimbulkan suatu akibat hukum. Dalam hukum dikenal dua macam
peristiwa hukum yaitu :
1. Peristiwa hukum yang bukan tindakan manusia yakni kelahiran, kematian, dan daluwarsa;
176
C.S.T. Kansil, Op.cit., hal. 121.
177
2. Peristiwa hukum yang merupakan tindakan manusia yang terbagi menjadi:
a. Perbuatan subjek hukum
Perbuatan subjek hukum dapat dibedakan antara perbuatan hukum dan perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum. Suatu perbuatan merupakan perbuatan hukum kalau perbuatan itu oleh hukum diberi akibat yang dikehendaki oleh yang bertindak. Apabila akibat hukum dari suatu perbuatan itu tidak dikehendaki oleh yang melakukannya atau salah satu dari yang melakukannya, maka perbuatan itu bukanlah suatu perbuatan hukum.
Perbuatan hukum ada yang bersegi satu (eenzijdig), misalnya pembuatan surat wasiat, pemberian hadiah (hibah), dan lain sebagainya; dan ada yang bersegi dua (tweezijdig), misalnya jual beli, sewa menyewa, dan lain sebagainya.
b. Peristiwa lain yang bukan perbuatan subjek hukum
Perbuatan bukan subjek hukum dapat dibedakan menjadi :
1) Perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, walaupun oleh hukum tidak perlu akibat tersebut dikehendaki oleh pihak yang melakukan perbuatan itu. Contohnya perbuatan memperhatikan (mengurus) kepentingan orang lain dengan tidak diminta oleh
orang itu untuk memperhatikan kepentingannya
(zaakwaarneming) yang diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata; 2) Perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige daad)
yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Akibat dari perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur oleh hukum namun akibat itu tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu. 178
Dari penggolongan peristiwa hukum di atas, dapat diketahui bahwa hibah
dan hibah wasiat termasuk perbuatan subjek hukum yang bersegi satu (eenzijdigi).
Hal ini artinya perbuatan penghibahan dan penghibahwasiatan adalah perbuatan
hukum yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari satu subjek hukum
saja (orang yang menghibahkan atau pewaris). Dengan begitu, prestasi hanya
dilakukan oleh orang menghibahkan atau pewaris tanpa menuntut kontraprestasi
dari orang yang menerima hibah atau hibah wasiat.
178
Secara umum, akibat hukum yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum
dapat berwujud tiga hal yaitu sebagai berikut :
1. Lahir, berubah atau hilangnya suatu keadaan hukum, misalnya :
a. Menurut KUHPerdata, sejak seseorang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun, maka ia dianggap cakap menurut hukum (lahirlah keadaan hukum yang baru);
b. Seseorang yang berada di bawah pengampuan, maka ia telah kehilangan kecakapan hukum (hilangnya keadaan hukum); dan
c. Sejak suatu hal dinyatakan daluwarsa atau lewat waktu atau verjaring, maka seseorang bisa mendapatkan hak (Pasal 584 KUHPerdata) serta bisa juga kehilangan hak;
2. Lahir, berubah atau hilangnya sesuatu hubungan hukum, misalnya dalam perjanjian jual beli, maka lahirlah hubungan hukum antara penjual dan pembeli. Setelah barang telah dibayar lunas oleh pembeli dan barang telah dilepaskan oleh penjual, maka hubungan hukum tersebut menjadi lenyap; dan
3. Adanya sanksi apabila dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum, misalnya seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari perbuatan di pencuri tersebut yang mengambil barang orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum.
4. Akibat hukum yang timbul karena adanya kejadian-kejadian darurat oleh hukum yang bersangkutan telah diakui atau dianggap sebagai akibat hukum, meskipun dalam keadaan wajar, tindakan-tindakan tersebut mungkin terlarang menurut hukum. Misalnya dalam keadaan terbakar di mana seorang sudah terkepung api sehingga merusak dan menjebol tembok, jendela, pintu, dan lain-lain untuk jalan keluar menyelamatkan diri. 179
Terkait hibah dan hibah wasiat, maka akibat hukum yang ditimbulkan
adalah lahirnya suatu hubungan hukum. Hubungan hukum yang dimaksud adalah
hubungan hukum bersegi satu antara orang yang menghibahkan atau pewaris
dengan orang yang menerima hibah atau hibah wasiat. Artinya dari hubungan
hukum bersegi satu hanya timbul hak dan kewajiban pada satu pihak saja (orang
yang menghibahkan atau pewaris).
179
B. Bagian Mutlak atau Legitime Portie Sebagai Batasan Dalam Hibah dan Hibah Wasiat
1. Pengertian Bagian Mutlak atau Legitime Portie
Bagian mutlak atau legitime portie sebagai batasan dalam pembuatan
hibah dan hibah wasiat, sangat penting untuk diperhatikan agar suatu hibah
atau hibah wasiat tidak menimbulkan suatu akibat hukum yang tidak
diinginkan oleh orang yang menghibah atau pewaris. Untuk itu, perlu
diketahui secara jelas apa yang dimaksud dengan bagian mutlak atau legitime
portie. Ada beberapa ahli hukum yang mengemukakan definisi atau
pengertian dari bagian mutlak atau legitime portie, yaitu sebagai berikut :
a. Menurut Idris Ramulyo, “bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan atau dengan kata lain bahwa legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus (wajib) diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut Undang-undang, terhadap bagian mana si pewaris tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku pemberian antara yang masih hidup atau selaku wasiat”.180
b. Menurut Subekti, “legitime portie adalah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Hak atas legitime portie barulah timbul apabila seseorang dalam keadaan sungguh-sungguh tampil sebagai ahli waris sebagaimana ditentukan hukum waris. Dalam hal ini yang berhak atas suatu legitime portie dinamakan legitimaris. Ia dapat meminta pembatalan setiap testamen yang melanggar haknya dan berhak menuntut dilakukan pengurangan (inkorting) terhadap segala pemberian warisan, baik berupa erfstelling maupun legaat, atau bersifat schenking yang mengurangi haknya”.181
c. Menurut Pitlo, ”legitime portie/wettlijk erfdel merupakan hak dia/mereka yang mempunyai kedudukan utama/istimewa dalam warisan. Hanya sanak saudara dalam garis lurus (bloedverwanten in
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Op.cit., hal. 113.
182
Sebenarnya, ada dua sistem tentang legitime portie yakni sebagai
berikut :
a. Sistem Prancis-Jerman, menetapkan bahwa bagian mutlak atau
legitime portie adalah bagian tertentu dari seluruh warisan yang tidak dapat dilanggar dengan suatu ketetapan dalam testamen. Oleh karena itu, berdasarkan sistem ini, warisan seseorang dibagi dua yaitu :183 1) Bagian bebas yang merupakan bagian dari warisan, atas bagian
mana pewaris mempunyai kebebasan sepenuhnya untuk mengambil ketetapan-ketetapan. Wewenang pewaris pada bagian ini meliputi baik tindakan-tindakan semasa hidupnya pewaris maupun sesudah pewaris meninggal (melalui surat wasiat). Pewaris berhak untuk membebani maupun memberikan secara cuma-cuma kepada orang lain; dan
2) Bagian yang tidak bebas merupakan bagian tertentu dari seluruh warisan diperuntukkan bagi para ahli waris dalam bentuk bagian mutlak atau legitime portie. Dalam bagian ini, pewaris tidak bebas dan seakan-akan bagian legitime ini diberikan secara kolektif (collectief) kepada para ahli waris mutlak atau legitimaris.
Cara pengaturan bagian mutlak atau legitime portie demikian disebut cara negatif.
b. Sistem Romawi, menetapkan bagian mutlak atau legitime portie
adalah bagian tertentu dari setiap ahli waris yang tidak dikurangi dengan testamen. Jadi, menurut sistem ini, bagian mutlak atau
legitime portie ditetapkan secara individual sehingga tidak ada pembagian warisan ke dalam dua bagian yang pasti seperti di dalam sistem Prancis-Jerman. Cara pengaturan bagian mutlak atau legitime portie yang demikian disebut sistem positif. 184
Dari kedua uraian sistem di atas, dapat diketahui perbedaan sistem
Prancis-Jerman dengan sistem Romawi. Dalam sistem Prancis-Jerman,
bagian bebas dan bagian tidak bebas (legitime portie) telah ditentukan secara
tegap (bagian tetap) sehingga tidak bergantung pada banyaknya ahli waris
mutlak atau legitimaris. Konsekuensinya adalah jika ada seorang ahli waris
183
J. Satrio, Op.cit., hal. 271.
184
mutlak atau legitimaris yang menolak warisan atau dinyatakan tidak patut
mewaris, maka bagian ahli waris tersebut tetap berada pada bagian tidak
bebas (legitime portie) dan menjadi hak kawan ahli waris mutlak atau
legitimaris yang lain. Lain halnya dengan sistem Prancis-Jerman, sistem
Romawi menjamin bagian mutlak atau legitime portie secara individual
kepada tiap-tiap ahli waris, bukan kepada para ahli waris sebagai keseluruhan
atas satu bagian bersama-sama. Konsekuensinya jika ada ahli waris mutlak
atau legitimaris yang menolak warisan atau dinyatakan tidak patut mewaris,
maka bagian legitimaris yang bersangkutan jatuh ke dalam bagian bebas
warisan, bukan kepada bagian legitimaris yang lain.185
KUHPerdata sendiri menganut sistem Romawi dan memberikan
definisi bagian mutlak atau legitime portie dalam Pasal 913 KUHPerdata
yang berbunyi :
“Bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut Undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat”. 186
Jadi, ada dua unsur penting dari uraian pasal di atas yaitu bagian mutlak atau
legitime portie adalah bagian dari suatu warisan yang tidak dapat dikurangi
dengan pemberian semasa hidup atau pemberian dengan testamen serta
bagian mutlak atau legitime portie harus diberikan kepada para ahli waris
dalam garis lurus ke atas maupun ke bawah.
185Ibid.,
hal. 272-274.
186
2. KetentuanUmum Bagian Mutlak Atau Legitime Portie Dalam Pewarisan
Tidak dapat dipungkiri, pada asasnya seseorang atau pewaris
mempunyai hak dan wewenang untuk menentukan hartanya semasa hidup
maupun setelah ia meninggal dunia. Namun atas kebebasan atau
kemerdekaan seseorang atau pewaris ini, Undang-undang membuat beberapa
pengecualian, yang tak lain berarti pembatasan-pembatasan. Caranya adalah
memberikan suatu jaminan bagi ahli waris tertentu bahwa suatu bagian
tertentu dari hak waris ab-intestato mereka, tidak dapat diganggu gugat oleh
pewaris, baik melalui tindakan semasa hidup maupun melalui suatu testamen,
kecuali atas persetujuan oleh yang bersangkutan (Pasal 913 KUHPerdata).187
Dengan mengacu pada Pasal 913 KUHPerdata, legitime portie
merupakan suatu hak yang Undang-undang berikan kepada ahli waris tertentu
yang tidak dapat disingkirkan sama sekali oleh pewaris dari pewarisannya.188
Namun, hak atas bagian mutlak atau legitime portie hanya diberikan jika
yang bersangkutan menyatakan menggunakan haknya yakni hak untuk
menuntut legitime portie. Hak tuntut bagian mutlak atau legitime portie
diberikan kepada masing-masing ahli waris tertentu (ahli waris mutlak) untuk
sebesar legitime portie-nya, sehingga jika ada beberapa ahli waris mutlak,
tetapi hanya ada satu yang menuntut bagian mutlak atau legitime portie, maka
187
J. Satrio, Op.cit., hal. 242.
188
yang kembali dalam warisan hanya bagian mutlak atau legitime portie satu
ahli waris mutlak saja.189
Hampir dalam perundang-undangan semua negara dikenal lembaga
bagian mutlak atau legitime portie. Peraturan di negara satu tidak sama
dengan peraturan di negara lain, terutama mengenai siapa-siapa sajalah yang
berhak atasnya dan ahli waris mutlak berhak atas apa.190 Tujuan dari adanya
lembaga bagian mutlak atau legitime portie adalah agar harta warisan sebagai
harta keluarga, jatuh ke tangan keluarga. Jadi dasarnya adalah harta keluarga
sedapat-dapatnya tetap berada dalam keluarga. Secara tidak langsung, bagian
mutlak atau legitime portie mempunyai fungsi pemerataan di antara
anak-anak sebagai ahli waris. Hal ini berarti dengan adanya bagian mutlak atau
legitime portie tidak mungkin ada pewarisan mayorat, di mana anak yang satu
memperoleh seluruh warisan dan yang lain sama sekali tidak menerima
apa-apa.191
Ditinjau dari calon penerima warisan, maka tujuan bagian mutlak
atau legitime portie adalah untuk melindungi kepentingan ahli waris tertentu
dengan mewujudkan keadilan di antara mereka. Hal ini dapat disimpulkan
dari pengaturan dalam Pasal 920 KUHPerdata yang berbunyi :
“Terhadap segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat yang mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak dalam sesuatu warisan, bolehlah kelak dilakukan pengurangan, bilaman warisan itu jatuh meluang, akan tetapi hanyalah atas tuntutan para ahli waris mutlak dan ahli waris atau pengganti mereka.
189
J. Satrio, Op.cit., hal. 243.
190
Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Testamenter, (Yogyakarta : Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1984), hal. 109.
191
Namun demikian, para ahli waris mutlak tidak diperbolehkan menikmati sedikit pun dari sesuatu pengurangan atas kerugian para berpiutang si meninggal”. 192
Ketentuan Pasal 913 KUHPerdata mengenai bagian mutlak atau
legitime portie bersifat hukum pemaksa, tetapi perlu ditegaskan bahwa hal ini
bukan demi kepentingan umum. Ketentuan tersebut ada mempertegas bahwa
fungsi bagian mutlak atau legitime porite adalah demi kepentingan ahli waris
tertentu dan bukan kepentingan umum. Oleh karena itu, ahli waris tertentu
tersebut dapat saja membiarkan haknya dilanggar serta pelaksanaan hibah dan
hibah wasiat tetap dijalankan saja.
3. Ahli Waris yang Berhak Atas Legitime Portie dan Bagiannya
KUHPerdata tidak memperlakukan semua ahli waris ab-intestato
secara sama, melainkan terdapat sebagian daripadanya yang oleh
KUHPerdata diberikan jaminan hak atas bagian tertentu (legitime portie) dari
bagian warisan. Terkait dengan kebebasan pewaris dalam membagikan
hartanya, hak yang diberi oleh KUHPerdata terkait bagian mutlak atau
legitime portie sering dilanggar, dengan adanya tindakan-tindakan pewaris
yang memboroskan hartanya, baik melalui tindakan yang pelaksanaannya
selagi hidup atau pada saat kematiannya. Ahli waris yang diberikan hak oleh
KUHPerdata atas bagian tertentu (legitime portie) dinamakan ahli waris
mutlak atau legitimaris.
192
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan ahli waris
mutlak atau legitimaris yaitu sebagai berikut :
a. Orang yang bukan legitimaris dapat dikesampingkan dengan wasiat; b. Bagian mutlak harus selalu dituntut. Apabila tidak dituntut tidak
diperoleh bagian mutlak atau legitime portie itu. Jadi, kalau ada tiga legitimaris dan yang menuntut hanya satu, maka yang menuntut itu saja yang dapat, sedangkan yang dua lagi (yang tidak menuntut) tidak dapat;
c. Seorang legitimaris berhak menuntut atau melepaskan bagian mutlak atau legitime portie-nya tanpa bersama-sama dengan ahli waris legitimaris lainnya;
d. Penuntutan atas bagian mutlak atau legitime portie baru dapat dilakukan terhadap hibah atau hibah wasiat yang mengakibatkan berkuranhnya bagian mutlak atau legitime portie dalam suatu harta peninggalan setelah warisan terbuka;
e. Penuntutan itu dapat dilakukan terhadap segala macam pemberian yang telah dilakukan oleh si pewaris, baik berupa erfstelling
(pengangkatan sebagai ahli waris), hibah wasiat atau terhadap segala pemberian yang dilakukan oleh pewaris sewaktu si pewaris masih hidup (hibah);
f. Apabila si pewaris mengangkat seorang ahli waris dengan wasiat untuk seluruh harta peninggalannya, maka bagian ahli waris yang tidak menuntut itu menjadi bagian ahli waris menurut wasiat itu; g. Orang yang dinyatakan tidak patut mewaris atau menolak warisan,
akan kehilangan bagian mutlak atau legitime portie;
h. Ahli waris yang dikesampingkan sebagai ahli waris oleh si pewaris atau onterfd, tetap berhak atas bagian mutlak atau legitime
portie-nya. Ketentuan bagian mutlak atau legitime portie diadakan oleh KUHPerdata untuk melindungi ahli waris legitimaris, agar mereka tidak dirugikan oleh tindakan sewenang-wenang si pewaris; dan i. Menurut Pasal 902 KUHPerdata, kepada suami atau istri kedua atau
selanjutnya tidak boleh dengan surat wasiat diberi hibah hak milik atau sejumlah barang yang lebih besar dibandingkan bagian anak sah dari perkawinan pertama. Maksimum adalah ¼ (seperempat) dari harta peninggalan seluruhnya. 193
Ahli waris yang dapat menuntut bagian mutlak atau legitime portie
atau legitimaris (Pasal 913 KUHPerdata) harus memenuhi beberapa syarat
tertentu yaitu :
193
a. Mereka harus ahli waris dalam garis lurus. Garis lurus tersebut berarti keluarga dalam garis lurus ke atas (ascendent) atau keluarga dalam garis lurus ke bawah (decendent). Jadi, dapat diketahui bahwa
legitime portie hanya diberikan kepada ascendent dan decendent
pewaris;
b. Mereka harus benar-benar terpanggil untuk mewaris berdasarkan Undang-undang, pada saat matinya pewaris (ahli waris ab-intestato); dan194
c. Mereka tersebut, walaupun tanpa memperhatikan wasiat pewaris, merupakan ahli waris secara ab-intestato.195
Dari syarat di atas, dapat disimpulkan bahwa bagian mutlak atau
legitime portie hanya diperuntukkan bagi ahli waris garis lurus ke atas yakni
orang tua dan semua leluhurnya, serta ahli waris garis lurus ke bawah yakni
anak-anak dan keturunannya serta anak luar kawin yang diakui secara sah.
Dalam hal ini, istri atau suami, saudara-saudara (paman atau bibi) tidak
berhak atas bagian mutlak atau legitime portie.196 Istri atau suami yang hidup
lebih lama tidak termasuk dalam kelompok ahli waris yang bagian mutlak
atau legitime portie sekalipun berdasarkan Pasal 852 a KUHPerdata, hak
waris istri atau suami yang hidup lebih lama dipersamakan dengan seorang
anak. Ketentuan tersebut adalah mengenai pewarisan karena kematian (
ab-intestato), sehingga tidak berlaku bagi pewarisan berdasarkan wasiat atau
testamen.197
Dengan melihat pada syarat kedua, maka harus diingat asas yang
mengatakan bahwa golongan ahli waris yang lebih dekat menutup golongan
ahli waris yang lebih jauh dan dalam tiap-tiap golongan, ahli waris yang lebih
194
J. Satrio, Op.cit., hal.260.
195
Komar Andhasasmita, Op.cit., hal. 309.
196
Ali Afandi, Op.cit., hal. 45.
197
dekat menutup yang lebih jauh. Namun mengingat bagian mutlak atau
legitime portie tidak berlaku untuk semua golongan ahli waris, maka
dekatnya hubungan perderajatan dengan si pewaris, bukanlah faktor yang
menjamin bahwa seseorang mempunyai hak atas bagian mutlak atau legitime
portie. Tidak tertutup kemungkinan bahwa orang yang hubungan
perderajatannya dengan si pewaris lebih jauh malah mempunyai bagian
mutlak atau legtime portie, sedangkan yang lebih dekat tidak.198 Misalnya,
pewaris yang meninggal dunia meninggalkan saudara dan kakek buyut, maka
ahli waris yang mempunyai hak atas bagian mutlak atau legitime portie
adalah kakek buyut bukan saudara-saudara, meskipun saudara derajatnya
lebih dekat dengan pewaris daripada kakek buyut.
Besarnya bagian mutlak atau legitime portie bagi legitimaris dalam
garis lurus ke bawah diatur dalam Pasal 914 KUHPerdata yang berbunyi
sebagai berikut :
“Dalam garis lurus ke bawah, apabila si yang mewariskan hanya meninggalkan anak yang sah satu-satunya saja, maka terdirilah bagian mutlak itu atas setengah dari harta peninggalan, yang mana oleh si anak itu dalam pewarisan sedianya harus diperolehnya.
Apabila dua orang anak yang ditinggalkannya, maka bagian mutlak itu adalah masing-masing dua per tiga dari apa yang sedianya harus diwariskan oleh mereka masing-masing dalam pewarisan.
Tiga orang atau lebih pun anak yang ditinggalkannya, maka tiga per empatlah bagian mutlak itu dari apa yang sedianya masing-masing mereka harus mewarisnya, dalam pewarisan.
Dalam sebutan anak, termasuk juga di dalamnya sekalian keturunannya dalam derajat keberapapun juga, akan tetapi mereka terakhir ini hanya dihitung sebagai pengganti si anak yang mereka wakili dalam warisan-warisan si mewariskannya”. 199
198Ibid. 199
Untuk lebih jelasnya, isi Pasal 914 KUHPerdata dapat dilihat dalam
uraian berikut :
a. Jika hanya ada seorang anak sah, maka jumlah bagian mutlak atau
legitime portie adalah ½ (setengah) dari bagian yang sebenarnya yang akan diperoleh sebagai ahli waris menurut Undang-undang;
b. Jika ada dua orang anak sah, maka jumlah bagian mutlak atau
legitime portie adalah 2/3 (dua per tiga) dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh sebagai ahli waris menurut Undang-undang;
c. Jika ada tiga orang anak sah atau lebih, maka jumlah bagian mutlak atau legitime portie adalah ¾ (tiga per empat) dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh ahli waris menurut Undang-undang; dan d. Jika si anak sebagai ahli waris menurut Undang-undang meninggal
dunia lebih dahulu, maka hak bagian mutlak atau legitime portie
beralih kepada sekalian anak-anaknya bersama-sama sebagai penggantian. 200
Selanjutnya, pada Pasal 915 KUHPerdata diatur mengenai besarnya
bagian mutlak atau legitime portie bagi legitimaris dalam garis lurus ke atas
yang berbunyi sebagai berikut ”Dalam garis lurus ke atas, bagian mutlak itu
adalah selamanya setengah dari apa yang menurut Undang-undang menjadi
bagian tiap-tiap mereka dalam garis itu dalam pewarisan karena kematian”.201
Artinya pasal tersebut bahwa garis lurus ke atas adalah orang tua atau nenek
atau seterusnya ke atas sehingga jumlah bagian mutlak atau legitime portie
adalah ½ (setengah) dari bagiannya sebagai ahli waris menurut
Undang-undang.
Sebagai salah satu legitimaris, besarnya bagian mutlak atau legitime
portie anak luar kawin diatur dalam Pasal 916 KUHPerdata yang berbunyi
sebagai berikut “Bagian mutlak seseorang anak luar kawin yang telah diakui
200
Maman Suparman, Op.cit., hal. 93.
201
dengan sah adalah setengah dari apa yang menurut Undang-undang menjadi
bagian tiap-tiap mereka dalam garis itu dalam pewarisan karena kematian”.202
Jadi, dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa bagian anak luar kawin
yang diakui sah, jumlah bagian mutlak atau legitime portie-nya adalah ½
(setengah) dari bagiannya sebagai ahli waris menurut Undang-undang, baik
ada atau tidak ada anak sah dari si pewaris.
Terkadang, muncul keadaan di mana pewaris sama sekali tidak
memiliki ahli waris mutlak atau legitimaris, maka pewaris di sini dapat
memberikan seluruh harta peninggalannya kepada orang lain dengan hibah
semasa hidup atau hibah wasiat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 917
KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut “Dalam hal tak adanya keluarga
sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, pun tak adanya anak-anak
luar kawin yang diakui dengan sah, hibah-hibah antara yang masih hidup atau
dengan surat wasiat, boleh meliputi segenap harta peninggalan”.203 Dengan
tidak adanya ahli waris mutlak atau legitimaris, maka secara otomatis tidak
ada pelanggaran bagian mutlak atau legitime portie yang dilakukan oleh
pewaris. Hal tersebut memberikan kepada pewaris kesempatan untuk secara
bebas mengatur pembagian seluruh hartanya sendiri. Dalam kondisi ahli
waris mutlak atau legitimaris sama sekali tidak menuntut, maka pelaksanaan
hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie
yang meliputi seluruh harta peningga lan tetap dapat dijalankan dan berlaku.
202
Pasal 916 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
203
Mengenai kasus seorang ahli waris yang menolak warisan
(onwaardigheid) terkait dengan perhitungan bagian mutlak atau legitime
portie, maka penyelesaiannya secara konsekuensi seharusnya tidak turut
dihitung menentukan pecahan bagian mutlak atau legitime portie.204 Hal ini
sesuai dengan isi Pasal 1058 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut “Si
waris yang menolak warisannya dianggap tidak pernah telah menjadi
waris”.205
Apabila legitimaris menerima pelanggaran atas hak mutlak atau
legitime portie-nya, maka ia tetap tidak kehilangan kedudukannya sebagai
ahli waris. Kedudukannya sebagai ahli waris hanyalah dapat hilang dengan
cara seperti diatur dalam Pasal 1057 KUHPerdata yang berbunyi “Menolak
suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan suatu
pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam
daerah hukumnya telah terbuka warisan itu”.206
C. Akibat Hukum Adanya Hibah dan Hibah Wasiat yang Melanggar Bagian Mutlak Atau Legitime Portie
Dalam hukum waris menurut KUHPerdata, berlaku asas kebebasan
berwasiat (testeervrijheid). Dengan asas ini, seseorang bebas menentukan kepada
siapakah harta kekayaannya jatuh baik selama ia masih hidup (hibah) atau pada
saat ia meninggal dunia (hibah wasiat). Tindakan penghibahan atau
penghibahwasiatan yang dilakukan seseorang atau pewaris harus memenuhi
batasan bagian mutlak atau legitime portie sehingga bagian ahli waris mutlak atau
204
J. Satrio, Op.cit., hal. 270.
205
Pasal 1058 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
206
legitimaris tidak terlanggar. Oleh karena itu, hibah dan hibah wasiat yang
mungkin dilakukan tersebut dapat dibagi dua macam yakni hibah dan hibah
wasiat yang tidak melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak
atau legitimaris serta hibah dan hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau
legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris.
Untuk hibah dan hibah wasiat yang tidak melanggar bagian mutlak atau
legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris tentu saja tidak ada masalah dan
dapat dilaksanakan sepenuhnya. Namun sebaliknya untuk hibah dan hibah wasiat
yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau
legitimaris, akan menimbulkan suatu permasalahan dalam pelaksanaannya. Bagi
ahli waris mutlak atau legitimaris yang bagian mutlak atau legitime portie-nya
terlanggar, terbuka dua kemungkinan untuk ditempuh. Kemungkinan pertama
ialah menerima kenyataan itu tanpa mengajukan keberatan (zich berusten).
Artinya, ia tidak mengadakan suatu usaha atau tindakan agar bagian mutlak atau
legitime portie-nya dipenuhi sehingga ia bermaksud merelakan bagian mutlak
atau legitime portie-nya yang terlanggar.207
Alasan ahli waris mutlak atau legitimaris bersikap seperti ternyata dalam
kemungkinan pertama bisa bermacam-macam. Mulai dari adanya rasa enggan
menimbulkan suasana ribut di antara sesama keluarga dengan mengajukan
tuntutan. Selanjutnya, mungkin juga hal tersebut terjadi karena adanya keinginan
untuk tunduk dan menaruh hormat sepenuhnya pada apa yang sudah ditetapkan
oleh pewaris melalui surat wasiatnya dan melalui perbuatan-perbuatan hibah
207
yang telah dilakukannya selagi hidup. Tindakan menuntut bagian mutlak atau
legitime portie berarti melawan kehendak pewaris, hal mana dianggap tidak etis
dan menunjukkan tipisnya sikap hormat kepada pewaris. Alasan lain yang lebih
positif mungkin juga terjadi yakni keinginan untuk menguntungkan orang lain
sesama ahli waris.208
Sikap berdiam diri (zich berusten) ahli waris mutlak atau legitimaris
tidak dilarang oleh Undang-undang karena dikenal prinsip hak adalah hak, jadi
terserah ahli waris mutlak atau legitimaris apakah ia mau mempergunakan atau
tidak mempergunakan haknya. Kemungkinan kedua yang dapat ditempuh oleh
ahli waris mutlak atau legitimaris yang terlanggar bagian mutlak atau legitime
portie adalah mengajukan perlawanan (gugatan) dengan meminta kepada sesama
ahli waris dan penerima hibah agar bagian mutlak atau legitime portie-nya
dipenuhi.209 Dengan adanya gugatan dari para ahli waris mutlak atau legitimaris,
maka pada prinsipnya tuntutan bagian mutlak atau legitime portie harus dipenuhi,
kalau perlu dengan memotong hibah atau hibah wasiat.
Pemenuhan bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau
legitimaris dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan berapa besarnya
bagian mutlak atau legitime portie yang dimaksud. Berdasarkan Pasal 921
KUHPerdata, besarnya bagian mutlak atau legitime portie dihitung dengan cara
yaitu sebagai berikut:
1. Menghitung semua hibah yang telah diberikan oleh pewaris semasa hidupnya, termasuk hibah yang diberikan kepada salah seorang atau para ahli waris mutlak atau legitimaris;
208Ibid. 209Ibid.,
2. Jumlah tersebut ditambahkan dengan aktiva warisan yang ada; 3. Kemudian, dikurangi utang-utang pewaris; dan
4. Dari hasil penjumlahan dan pengurangan di atas, kemudian dihitung besarnya bagian mutlak atau legitime portie dari ahli waris mutlak atau legitimaris yang menuntut bagiannya. Besarnya bagian mutlak atau
legitime portie yang didapat tersebut adalah jumlah yang benar-benar diterima ahli waris mutlak atau legitimaris yang bersangkutan. 210
Dari ketentuan di atas, terkait dengan hibah dan hibah wasiat yang
melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris,
maka bagian yang diterima oleh penerima hibah dan hibah wasiat dapat dikurangi
untuk memenuhi bagian mutlak atau legitime portie yang terlanggar. Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa penerima hibah mempunyai kewajiban untuk
mengembalikan harta yang telah dihibahkan kepadanya ke dalam harta warisan
guna memenuhi bagian mutlak atau legitime porie ahli waris mutlak atau
legitimaris, dengan memperhatikan Pasal 1086 KUHPerdata, tentang hibah-hibah
yang wajib inbreng (pemasukan).211
Inbreng merupakan suatu istilah dalam hukum perdata yang berasal dari
bahasa Belanda, yang artinya hibah yang wajib diperhitungkan.212 Para ahli
hukum memberikan beragam definisi terkait inbreng atau pemasukan,yaitu
sebagai berikut :
1. Menurut J.D. Vegeens dan J. Oppenheim, “inbreng adalah pengembalian akan apa yang telah diterima oleh seorang ahli waris dari pewarisnya, sebagai hibah atau hibah wasiat ke dalam boedel, baik dalam wujudnya (in natura), baik hanya nilainya atau dengan cara memperhitungkannya”.213
210
Maman Suparman, Op.cit., hal. 94.
211
Anisitius Amanat, Op.cit., hal. 1.
212
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang : Aneka Ilmu, 1977), hal. 455.
213
2. Menurut Pitlo, ”inbreng adalah memperhitungkan apa yang diterima oleh seorang ahli waris dari penghibahnya”.214
3. Menurut Oemar Salim, “inbreng berasal dari bahasa Belanda yang berarti memperhitungkan pemberian benda-benda yang dilaksanakan oleh orang yang meninggalkan harta warisan, pada waktu ia masih hidup, terhadap para ahli warisnya”.215
4. Menurut Wirjono Prodjodikoro, “inbreng berasal dari bahasa Belanda yang berarti memperhitungkan pemberian barang-barang yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan warisan pada waktu ia masih hidup kepada para ahli waris”.216
5. Menurut Soerojo Wongsowidjojo, ”inbreng adalah semua hibah yang pernah diberikan oleh pewaris kepada para ahli waris dalam garis lurus ke bawah (anak cucu, dan seterusnya) kecuali pewaris secara tegas membebaskan mereka dari pemasukan. Hal ini seakan-akan merupakan persekot (uang muka) atas bagian para ahli waris dalam harta peninggalan pewaris”.217
KUHPerdata sendiri tidak merumuskan secara konkrit tentang apa yang
dimaksudkan dengan inbreng atau pemasukan, tetapi hanya mengaturnya dalam
beberapa pasal yakni Pasal 1086 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1099
KUHPerdata. Dari ciri-ciri yang ada dalam ketentuannya dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan inbreng adalah memperhitungkan kembali
hibah-hibah yang diberikan oleh pewaris kepada ahli warisnya, ke dalam warisan, agar
pembagian waris di antara para ahli waris menjadi lebih merata.218 Adapun fungsi
inbreng yaitu untuk menjamin tercapainya keadilan dan kesamaan di antara
anak-anak dalam menerima bagian dari segala pemindahan harta kekayaan orang
tuanya, baik pemindahan sewaktu hidup yaitu hibah atau pemindahan setelah mati
dengan cara pembagian warisan, terutama yang berkaitan dengan bagian mutlak
atau legitime portie yaitu bagian yang harus diterima sehingga setiap anak
Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hal. 115.
217
Maman Suparman, Op.cit., hal. 151.
218
mendapatkan bagiannya masing-masing.219 Oleh karena itu, dapat disimpulkan
secara singkat bahwa ketentuan inbreng adalah untuk melindungi hak
legitimaris.220
Yang terkena kewajiban inbreng menurut Pasal 1086 KUHPerdata yang
berbunyi :
“Dengan tidak mengurangi kewajiban sekalian ahli waris untuk membayar kepada kawan-kawan waris mereka atau memperhitungkan kepada kawan-kawan waris mereka atau memperhitungkan dengan mereka ini segala utang mereka kepada harta peninggalan, maka segala hibah yang diperoleh dari si yang mewariskan di akla hidupnya orang ini, harus dimasukkan :
1. Oleh para waris dalam garis turun ke bawah, baik sah maupun luar kawin, baik mereka itu telah menerima warisannya secara murni maupun dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran, baik mereka itu hanya memperoleh bagian mutlak mereka maupun mereka telah memperoleh lebih dari itu, kecuali apabila pemberian-pemberian itu telah dilakukan dengan pembebasan secara jelas dari pemasukan, ataupun apabila para penerima itu di dalam suatu akta otentik, atau dalam suatu wasiat telah dibebaskan dari kewajibannya untuk memasukkan;
2. Oleh semua waris lainnya, baik waris karena kematian maupun wasiat, namun hanyalah dalam hal si yang mewariskan maupun si penghibah dengan tegas telah memerintahkan atau memperjanjikan dilakukannya pemasukan. 221
Dari pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa yang harus inbreng adalah
para ahli waris dalam garis lurus ke bawah baik sah maupun di luar perkawinan,
termasuk juga penggantinya kecuali dengan tegas dibebaskan dari pemasukan
serta para ahli waris lainnya (pihak lain juga), baik ab-intestato atau testamentair
apabila kepada mereka diharuskan secara tegas melakukan pemasukan.222 Pewaris
dalam hal ini harus bebas untuk menentukan apakah penerima hibah diharuskan
219
Ahmad Budinta Rangkuti, Pembatalan Hibah dan Akibat Hukumnya Terhadap Sertifikat Hasil Peralihan Hak, hal. 49-50, (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/57810/6/babII.pdf), diakses tanggal 5 April 2016
220
Effendi Perangin, Op.cit., hal. 144.
221
Pasal 1086 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
222
memasukkan yang telah diterimanya atau tidak, demikian juga dengan tidak
mengurangi apa yang ditentukan dalam Pasal 921 KUHPerdata.223
Menurut Pasal 1087 KUHPerdata, bagi ahli waris yang menolak warisan
tidak diwajibkan memasukkan apa yang telah diterimanya sebagai hibah, kecuali
untuk menutup kekurangan bagian mutlak atau legitime portie.224 Selanjutnya,
dalam Pasal 1088 KUHPerdata diatur bahwa untuk menutup bagian mutlak atau
legitime portie, jumlah yang harus dimasukkan tidak boleh lebih dari bagian
mutlaknya sendiri.225 Jika seorang kakek (nenek) melakukan pemberian kepada
cucunya, maka jika ia meninggal, orang tua dari cucu itu tidak perlu
memperhitungkan pemberian itu (Pasal 1089 KUHPerdata). Demikian juga
terhadap orang tua tersebut juga tidak perlu memperhitungkan bagian yang jatuh
kepada anaknya, jika anak tersebut menjadi ahli waris si kakek (dengan cara
pengangkatan ahli waris dengan wasiat). Sebaliknya jika seorang anak tampil ke
muka sebagai pengganti dari orang tuanya, maka anak itu harus memperhitungkan
segala pemberian yang telah dilakukan kepada orang tuanya meskipun anak itu
telah menolak warisan dari orang tua itu sendiri.226
Apabila penghibahan dilaksanakan oleh bapaknya atau ibunya sendiri,
maka penghibahan itu mesti diperhitungkan. Lain halnya jika penghibahan
dilaksanakan oleh mertuanya, maka barang itu tidak perlu diperhitungkan.
Apabila penghibahan dilakukan kepada suami istri, maka penghibahan itu harus
diperhitungkan sebagian saja. Dalam Pasal 1091 KUHPerdata, ditegaskan bahwa
223
H.M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal. 126.
224
Pasal 1087 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
225
Pasal 1088 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
226
perhitungan inbreng hanya dilaksanakan untuk keperluan ahli waris lain, tidak
untuk keperluan legataris atau para kreditur dari orang yang meninggalkan harta
warisan.227 Menurut Pasal 1096 KUHPerdata, selain hibah-hibah yang harus
diperhitungkan, ada beberapa hal yang juga harus diperhitungkan dalam inbreng
yaitu sebagai berikut :
1. Segala ongkos untuk memberi suatu kedudukan pekerjaan, atau perusahaan kepada seorang ahli waris;
2. Pembayaran utang-utang dari ahli waris; dan
3. Segala sesuatu yang diberikan kepada seorang ahli waris sebagai bekal hidup setelah ia kawin. 228
Sebaliknya, dalam Pasal 1097 KUHPerdata dikatakan apa yang tidak
perlu diperhitungkan dalam inbreng yaitu sebagai berikut :
1. Biaya untuk nafkah dan pendidikan si ahli waris;
2. Biaya untuk belajar guna perdagangan, kerajinan tangan, dan perusahaan; 3. Biaya untuk menuntut ilmu atau pengajaran;
4. Biaya pada saat nikah dan untuk pakaian yang perlu untuk hidup setelah nikah (huwelijks ultzet); dan
5. Biaya untuk membayar orang yang menggantikan si ahli waris sebagai pewajib dalam pertahanan negara. 229
Inbreng dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu sebagai berikut :
1. Inbreng dalam wujud (in natura) ialah menyerahkan barang-barang hibah seperti wujudnya semula;
2. Inbreng dengan uang tunai ialah menyerahkan nilai barang dalam uang ke dalam harta peninggalan;
3. Inbreng dengan cara perhitungan, yaitu memperhitungkan apa yang telah diterima sebagai hibah dengan bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang bersangkutan, misalnya apabila bagian A dalam warisan adalah Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah) dan ia telah menerima hibah rumah tinggal seharga Rp. 4.000.000,- (empat juta Rupiah), maka ia
227
Oemarsalim, Op.cit., hal. 185-186.
228
Maman Suparman, Op.cit., hal. 152.
tinggal menerima Rp. 1.000.000,- (satu juta Rupiah) jika rumah itu diperhitungkan sebagai bagiannya. 230
Cara-cara yang dapat dipilih di atas tergantung pada siapa yang harus inbreng.
Selain itu, juga dengan melihat keadaan, misalnya hibah tadinya adalah tanah dan
di atasnya telah dibangun rumah, maka wajarlah bila dipilih cara perhitungan.231
Sehubungan dengan cara melakukan inbreng, perlu diperhatikan
beberapa pasal yakni sebagai berikut :
1. Menurut Pasal 1093 KUHPerdata yang menyatakan :
Benda tak bergerak boleh dimasukkan dengan cara mengembalikan dalam wujudnya pada saat diterima maupun dengan diperhitungkan harganya menurut harga pada saat diberikan. Kalau dipilih cara pengembalian dalam wujud semula maka si penerima hibah bertanggung jawab atas kemunduran nilai benda itu, apabila kemunduran itu karena salahnya serta si penerima hibah harus membersihkan beban-beban (misalnya sewa, hipotik) atas benda itu. Dalam hal yang sama, penerima hibah juga harus memberikan penggantian segala biaya yang perlu dikeluarkan untuk menyelamatkan benda yang bersangkutan, termasuk biaya pemeliharaan. 232
2. Menurut Pasal 1094 KUHPerdata yang berbunyi :
“Pemasukkan uang tunai dilakukan atas pilihan si yang memasukkan, yaitu boleh membayar jumlah uang tersebut, atau menyuruh mengurangi bagian warisannya dengan jumlah tersebut”. 233
3. Menurut Pasal 1095 KUHPerdata yang berbunyi :
“Pemasukkan benda-benda bergerak dilakukan atas pilihan si yang memasukkan ialah dengan mengembalikan harganya di kala pemberian dilakukan, atau dengan mengembalikan benda-benda tersebut dalam wujudnya”. 234
Adapun akibat hukum yang timbul terkait hibah dan hibah wasiat yang
melanggar bagian mutlak atau legitime portie legitimaris adalah dapat dilakukan
Pasal 1093 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
233
Pasal 1094 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
234
pemotongan (inkorting) terhadap hibah dan hibah wasiat tersebut. Dasar hukum
dapat dilihat pada Pasal 920 KUHPerdata yang berbunyi :
“Terhadap segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiatnya mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak (legitime portie) dalam warisan, bolehlah kelak dilakukan pengurangan bilamana warisan itu jatuh meluang, akan tetapi hanyalah atas tuntutan para ahli waris mutlak atau pengganti mereka”. 235
Pemotongan atas hibah-hibah dilakukan secara berjenjang yakni dimulai dengan
memotong hibah yang paling muda usianya. Kalau tidak cukup, barulah dipotong
hibah yang usianya setingkat lebih tua, demikian seterusnya, jika perlu sampai
pada hibah yang paling tua usianya.236 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 924
KUHPerdata yang berbunyi :
“Segala hibah antara yang masih hidup sekali-kali tidak boleh dikurangi, melainkan apabila ternyata, bahwa segala barang-barang yang telah diwasiatkan tak cukup guna menjamin bagian mutlak dalam suatu warisan. Apabila kendati itu masih harus dilakukan pengurangan terhadap hibah-hibah antara yang masih hidup, maka pengurangan ini harus dilakukan mulai dari hibah yang terkemudian, lalu dari yang ini ke hibah yang lebih tua, dan demikian selanjutnya.” 237
Menurut Soerojo Wongsowidjojo, “pemotongan (inkorting) terjadi bila
bagian mutlak atau legitime portie tersinggung, kejadian ini bertentangan dengan
kemauan pewaris”. Hal ini untuk melindungi hak-hak para ahli waris yang berhak
atas bagian mutlak atau legitime portie. Undang-undang memberi wewenang
kepada para legitimaris untuk menuntut, agar diadakan pemotongan terhadap
235
Pasal 920 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
236
M.U. Sembiring, Op.cit., hal. 85.
237
hibah-hibah dan hibah wasiat, yang menyinggung bagian mutlak atau legitime
portie.238
Pemotongan (inkorting) dapat dilaksanakan dengan mengacu pada Pasal
914 KUHPerdata sampai dengan Pasal 916 a KUHPerdata. Urutan-urutan dari
pemotongan (volgorde der inkorting) adalah sebagai berikut :
1. Pemotongan dilakukan terhadap sisa harta peninggalan yang tidak ditegaskan oleh pewaris, yang tidak disebut dalam wasiat (perolehan secara
ab-intestato) dengan mempergunakan asas perimbangan;
2. Apabila belum cukup, kekurangan dipotong dari perolehan secara
testamentair,baik berupa hibah wasiat (legaat) maupun pengangkatan sebagai ahli waris (erfstelling). Pemotongan ini dilakukan dengan asas perimbangan; dan
3. Kalau pemotongan kesatu dan kedua belum mencukupi menutup bagian mutlak atau legitime portie, maka dilakukan pemotongan dari hibah-hibah yang telah dilakukan oleh pewaris pada waktu pewaris masih hidup. Pemotongan dilakukan bukan dengan asas perimbangan, melainkan berdasarkan jenjang usia hibah. Ini berarti pemotongan hibah dilakukan berurutan mulai dari hibah yang tanggalnya terdekat dengan pewaris pada waktu meninggalnya terus berlanjut sampai kekurangan legitime portie
terpenuhi. 239
Adapun terkait pemberian harta oleh seseorang atau pewaris kepada
pihak ketiga ada diatur pembatasannya dalam Pasal 916 a KUHPerdata. Oleh
karena itu perlu diketahui lebih rinci isi Pasal 916 a KUHPerdata yakni berbunyi
sebagai berikut :
“Dalam hal-hal, bilamana guna menentukan besarnya bagian mutlak harus diperhatikan adanya beberapa ahli waris, yang kendati menjadi ahli waris karena kematian, namun bukan ahli waris mutlak, maka apabila kepada orang-orang selain ahli waris tak mutlak tadi, baik dengan suatu perbuatan perdata antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat, telah dihibahkan barang-barang sedemikian banyak, sehingga melebihi jumlah yang mana, andaikata ahli waris tak mutlak tadi tidak ada, sedianya adalah jumlah terbesar yang diperbolehkan, dalam hal-hal demikian pun, haruslah hibah-hibah tadi mengalami
238
R.H. Soeroso Wongsowidjojo, Op.cit., hal. 16.
239
pemotongan yang demikian sehingga menjadi sama dengan jumlah yang diperbolehkan tadi, sedangkan tuntutan untuk itu haus dilancarkan oleh dan untuk kepentingan para ahli waris mutlak, beserta sekalian ahli waris dan pengganti mereka”. 240
Batasan yang diatur dalam Pasal 916 a KUHPerdata tersebut di atas
adalah bahwa pihak ketiga dikatakan tidak boleh menerima harta peninggalan
yang melanggar atau menyinggung bagian mutlak atau legitime portie ahli waris
mutlak atau legitimaris. Pewaris hanya boleh memberikan harta peninggalannya
dengan cara hibah, hibah wasiat, ataupun pengangkatan sebagai ahli waris dengan
jumlah yang tidak melebihi besarnya bagian mutlak atau legitime portie. Apabila
jumlah yang telah dihibahkan, dihibahwasiatkan kepada pihak ketiga melebihi
besar bagian mutlak atau legitime portie, maka jumlah tersebut dapat dipotong
(inkorting). Perlu diperhatikan bahwa menurut R. Soerojo Wongsowidjojo, untuk
menerapkan Pasal 916 a KUHPerdata diperlukan adanya tiga golongan ahli waris,
yakni ahli waris ab-intestato legitimaris, ahli waris ab-intestato bukan legitimaris,
dan pihak ketiga. Hal ini berarti pasal 916 a KUHPerdata hanya relevan jika
ketiga jenis ahli waris tersebut mewaris sekaligus.241
Selanjutnya Pasal 921 KUHPerdata menentukan bahwa benda yang
dihibahkan itu harganya ditaksir menurut keadaan benda itu ketika hibah terjadi,
akan tetapi menurut harga pada saat kematian. Ketentuan ini memerlukan
penjelasan lebih jauh terutama jika keadaan benda tersebut telah mengalami
perubahan. Misalnya benda yang dihibahkan berupa satu hektar tanah belukar
yang pada waktu dihibahkan berharga Rp 100.000,-. Kemudian, pada saat
240
Pasal 916 a Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
241
kematian penghibah atau pewaris, tanah tersebut karena diolah dan dikerjakan
oleh penerima hibah telah berubah menjadi tanah kebun buah-buahan yang
berharga Rp 40.000.000,- (empat puluh juta Rupiah). Taksiran harga tanah untuk
menetapkan besarnya bagian mutlak atau legitime portie bukan Rp 100.000,-
(seratus ribu Rupiah) ataupun Rp 40.000.000,- (empat puluh juta Rupiah),
melainkan harga tanah harus ditaksir pada saat kematian sekiranya tanah itu
belum berubah menjadi tanah kebun, tetapi masih tetap berupa tanah belukar. Hal
ini berarti perubahan yang diadakan oleh penerima hibah tidak diperhatikan dalam
melakukan penaksiran harga. Harga tanah ditaksir seakan-akan tanah belum
mengalami perubahan.242
Lain halnya jika perubahan status benda yang dihibahkan bukan karena
aktivitas penerima hibah, melainkan karena faktor-faktor eksternal (luar) diri
penerima hibah, maka harga benda yang dihibahkan mengikuti perubahan status
benda tersebut. Misalnya suatu bidang tanah karena keputusan pemerintah dalam
rangka perluasan kota telah dimasukkan dalam wilayah kotamadya dan statusnya
telah berubah menjadi tanah tapak perumahan. Harga tanah melambung tinggi
menjadi Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta Rupiah), padahal pada saat dihibahkan
harga tanah tersebut hanya Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta Rupiah). Terkait
dengan hal ini, patokan harga yang digunakan dalam menetapkan besarnya bagian
mutlak atau legitime portie adalah harga tanah perumahan pada saat kematian
yakni Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta Rupiah). Dasar pemikirannya karena
242
sekiranya tanah itu tidak dihibahkan akan terjadi juga perubahan status sehingga
tanah tersebut akan diwarisi sebagai tanah perumahan.243
Pemotongan atau inkorting dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai
berikut :
1. Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting)
Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting) disebut juga pemotongan tidak langsung. Pemotongan ini dilakukan dari bagian ahli waris yang tidak berhak atas bagian mutlak atau legitime portie dan pemotongan dari pemberian yang dilakukan dengan wasiat seperti hibah wasiat atau pengangkatan sebagai ahli waris. Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting) dibagi dua yaitu :244
a. Pemotongan dari bagian ahli waris yang tidak berhak atas bagian mutlak atau legitime portie; dan
b. Hibah wasiat yang sudah dihitung tetapi belum diberikan, karena bagian mutlak atau legitime portie tersinggung, maka hibah wasiat itu dipotong dan jumlah potongan itu dipersamakan untuk menutup kekurangan bagian mutlak atau legitime portie.
2. Pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting)
Pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting) adalah pemotongan yang sungguh-sungguh dilaksanakan, seperti pemotongan hibah yang telah diberikan dan telah diterima. Si penerima hibah tersebut harus mengembalikan suatu jumlah untuk menutup bagian mutlak atau legitime portie. 245
Dari kedua jenis pemotongan di atas, pemotongan terhadap hibah termasuk
jenis pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting). Hal ini karena
benda-benda yang dihibahkan telah diberikan atau dalam penguasaan penerima hibah
pada waktu penghibah masih hidup, sedangkan penuntutan ahli waris mutlak atau
legitimaris muncul pada saat penghibah meninggal dunia. Oleh karena itu,
diperlukan pemotongan yang sungguh-sungguh dilaksanakan dengan
pengembalian sejumlah tertentu untuk menutup bagian mutlak.
Lain halnya dengan hibah wasiat, pemotongan terhadap hibah wasiat
termasuk pemotongan semu karena barang-barang yang dihibahwasiatkan belum
diberikan atau belum berada dalam penguasaan penerima hibah wasiat (mengingat
hibah wasiat dilaksanakan pada saat pewaris meninggal dunia, sama waktunya
dengan penuntutan ahli waris mutlak atau legitimaris). Oleh karena itu,
pemotongan terhadap hibah wasiat dapat dilakukan dengan pemotongan terlebih
dahulu untuk menutup bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau
legitimaris baru diberikan sisanya (jika ada) kepada penerima hibah wasiat. Jadi,
penerima wasiat di sini tidak benar-benar mengembalikan bagian yang
diterimanya, melainkan menerima sisa bagiannya (jika ada) setelah dipotong
A. Disposisi Kasus Pelaksanaan Pemberian Hibah yang Melanggar Bagian Mutlak Atau Legitime Portie Dalam Putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg
Mengamati pencatatan di Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia, dapat diketahui bahwa masalah tentang warisan maupun pembagian
harta seringkali disengketakan oleh masyarakat di Indonesia. Hal ini terbukti dari
munculnya lebih dari 1500 (seribu lima ratus) sengketa waris dalam kurun waktu
2003-2015 dan lebih dari 70 (tujuh puluh) sengketa pembagian harta dalam kurun
waktu 2007-2015 yang diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.246
Baik masalah waris maupun masalah pembagian harta termasuk dalam ruang
lingkup sengketa perdata. Secara umum, definisi “sengketa perdata adalah suatu
perkara perdata yang terjadi antara pihak yang bersengketa yang di dalamnya
mengandung sengketa yang harus diselesaikan oleh kedua belah pihak”.247
Dari sekian banyak sengketa perdata terkait warisan dan pembagian harta,
yang akan diteliti dalam tesis ini adalah putusan sengketa perdata yang memiliki
relevansi dengan masalah hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau
legitime portie legitimaris (putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg). Secara
garis besar, kedudukan para pihak dalam putusan tersebut dirinci dalam skema
berikut ini :
246 “Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia”,
(http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamah-agung/direktori/perdata), diakses tanggal 5 Mei 2016.
247
Pewaris dalam putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg bernama Ko Bing
Nio (selanjutnya disebut Almarhum), meninggal dunia di Semarang pada tanggal
13 Februari 2011. Semasa hidupnya, Almarhum pernah kawin dengan Go A Sing
dan dari perkawinannya, Almarhum dikaruniai 4 (empat) orang anak yakni Lany
Wibowo (selanjutnya disebut Penggugat II), Hendra Gunawan (selanjutnya
disebut Penggugat III), Go Kiem Lan (selanjutnya disebut Penggugat IV), dan
Sutadi Goyono (selanjutnya disebut Tergugat I). Go A Sing sendiri berstatus
Warga Negara Asing dan telah meninggal dunia sejak lama. Sebelum kawin
dengan Go A Sing, Almarhum sudah mempunyai seorang anak yang bernama Ko
Pien Tjoe (selanjutnya disebut Penggugat I). Penggugat I tersebut kedudukannya
telah diakui secara sah dengan Almarhum sebelum Almarhum kawin dengan Go
A Sing.246
Diketahui pula Almarhum meninggalkan satu anak kandung lagi yang
bernama Ratna Utomo (selanjutnya disebut Turut Tergugat II). Turut Tergugat II
tersebut diasuh dan dirawat (dibesarkan) oleh orang lain yang masih ada
hubungan keluarga dengan Almarhum. Selain itu, Almarhum ternyata juga ada
mengangkat seorang anak yang bernama Sugunto Komarudin (selanjutnya disebut
Turut Tergugat I).247
Objek sengketa dalam putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg adalah
tanah dan rumah yang berdiri di atasnya, sebagaimana tercantum dalam Sertifikat
Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum, setempat
246 “Putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg”,
(http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/bf61598b39662f97651ef3ef3963c063), diakses tanggal 23 Januari 2016, hal. 3.
kenal dengan Jalan Mataram/MT. Haryono Nomor 896, Kelurahan Peterongan,
Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang. Lebih rinci, tanah dan rumah di
atas tanah tersebut berbatasan dengan tembok kantor Taspen dan Hak Guna
Bangunan 197 (sebelah utara), tembok Hak Guna Bangunan 40 (sebelah timur),
tembok Hak Guna Bangunan 93 (sebelah selatan), dan Jalan MT. Haryono/Jalan
Mataram (sebelah barat).248 Selanjutnya, tanah tersebut diketahui berukuran seluas
lebih kurang 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) meter persegi dan
merupakan satu-satunya harta yang ditinggalkan oleh Almarhum.
Dari keterangan Para Penggugat dan Para Tergugat, diketahui bahwa objek
sengketa dikuasai atau ditinggali oleh Tergugat I dan anaknya yang bernama
Hendri Goyono (selanjutnya disebut Tergugat II) sejak mereka kecil. Semasa
hidup, Almarhum datang menghadap Tan Bian Tjong, Notaris di Semarang dan
membuat satu akta hibah wasiat terkait objek sengketa yakni akta Nomor 9
tertanggal 6 Maret 1999, yang berisi :
1. Almarhum menarik kembali dan menghapuskan semua testamen-testamen
dan akta-akta lain dengan kekuatan testamen yang dibuat sebelumnya dengan tidak ada yang dikecualikan;
2. Almarhum sebelum menikah dengan Go A Sing telah melahirkan dan mengakui Penggugat I dan dari perkawinannya dengan Go A Sing telah mempunyai anak yakni Penggugat II, Penggugat III, Penggugat IV, dan Tergugat I; dan
3. Almarhum memberikan hibah wasiat atau legaat kepada Tergugat I dan Tergugat I diangkat sebagai ahli waris tunggal, serta Penggugat III sebagai pelaksana hibah wasiat atau legaat. 249
248Ibid.,
hal. 3-4.
249Ibid.,
Akta hibah wasiat tersebut dibuat berbarengan dengan akta Nomor 10 tertanggal 6
Maret 1999 yang isinya adalah pernyataan persetujuan dan pelepasan hak atas
objek sengketa oleh Para Penggugat.
Selanjutnya, sebelum meninggal dunia, Almarhum membuat lagi akta
hibah wasiat di hadapan Alexander Wahyu Permana, (selanjutnya disebut Turut
Tergugat III), notaris pengganti pada kantor notaris Tan Bian Tjong, di Semarang,
yakni akta Nomor 1 tertanggal 29 Maret 2003. Akta hibah wasiat tersebut isinya
adalah sebagai berikut :
1. Menarik kembali dan menghapuskan semua testamen-testamen dan akta-akta lain dengan kekuatan testamen yang dibuat sebelum testamen ini, dengan tidak ada yang dikecualikan;
2. Memberikan hibah wasiat atau legaat kepada Tergugat I dan Tergugat II terhadap objek sengketa; dan
3. Mengangkat Penggugat III sebagai pelaksana testamen. 250
Sekitar bulan Mei 2012, terjadi perselisihan mengenai pembagian harta
peninggalan Almarhum antara Para Penggugat (khususnya Penggugat III) dengan
Tergugat I, karena Tergugat I berniat menjual objek sengketa kepada pihak lain.
Para Penggugat di sini menghendaki jika objek sengketa akan dijual, maka salah
satu ahli waris dapat membelinya bukan oleh pihak lain.251 Dari sini, Para
Penggugat beranggapan bahwa Tergugat I bertindak seenaknya saja seolah ia
berhak sepenuhnya atas objek sengketa. Oleh karena itu, Para Penggugat
kemudian menyatakan keberatan atas akta hibah wasiat yang dibuat oleh
Almarhum dan berniat menuntut pembatalan atas akta hibah wasiat tersebut.
250Ibid.,
hal. 30-31.
251Ibid.,
Tergugat I dan Penggugat III sepakat untuk menyerahkan sertifikat atas
objek sengketa kepada Turut Tergugat II sambil menunggu musyawarah mufakat
seluruh keluarga dari Almarhum. Turut Tergugat II dianggap sebagai pihak yang
netral serta dapat dipercaya oleh Tergugat I dan Para Penggugat. Bagi Tergugat I,
Turut Tergugat II adalah kakak kandung yang banyak menolong Tergugat I dan
keluarganya berada dalam keadaan yang baik dari masalah keuangan, kesehatan,
dan masalah lainnya.252
Selanjutnya pada bulan Juni 2012, setelah beberapa kali melakukan
musyawarah, maka keluarga Almarhum mencapai kata sepakat atas pembagian
harta peninggalan Almarhum. Hasilnya adalah harta peninggalan Almarhum
dibagi seluruhnya kepada keluarga besar Almarhum yakni Para Penggugat, Para
Tergugat, Turut Tergugat I, dan Turut Tergugat II dengan pembagian Tergugat I
dan Tergugat II mendapatkan 40% (empat puluh persen), sedangkan Para
Penggugat, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II masing-masing mendapat 10%
(sepuluh persen). Hal tersebut dinyatakan secara tegas di bawah sumpah di
hadapan Tan Bian Tjong, Notaris di Semarang, sebagaimana ternyata dalam akta
Nomor 1 tertanggal 29 Juni 2012 mengenai Keterangan.253
Pada bulan Februari 2013, Tergugat I berubah pikiran sehingga ia
menghendaki seluruh harta peninggalan Almarhum serta meminta kembali
sertifikat atas objek sengketa dari Turut Tergugat II. Menanggapi perbuatan
Tergugat I, Penggugat III menyatakan keberatan jika sertifikat atas objek sengketa
diserahkan kepada Tergugat I dan menghendaki kalau sertifikat atas objek
252Ibid.,
hal. 6.
sengketa tetap berada pada Turut Tergugat II. Oleh karena itu, pada tanggal 27
Maret 2013, Tergugat I melaporkan Turut Tergugat II ke Kepolisian Resort Kota
Besar Semarang, dengan sangkaan melakukan tindak pidana penggelapan
sebagaimana ternyata dalam laporan polisi Nomor LP/B/521/III/2013 tertanggal
27 Maret 2013. Dengan laporan Tergugat I, Penggugat III dan Turut Tergugat II
dipanggil polisi untuk diperiksa.254
Para Penggugat dan Para Turut Tergugat telah berusaha menyelesaikan
perkara dengan sebaik-baiknya dengan Para Tergugat, namun tidak berhasil,
sehingga cara terakhir yang dapat ditempuh oleh Para Penggugat adalah dengan
mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Semarang. Untuk
mengantisipasi tindakan Para Tergugat yang secara nyata berusaha untuk menjual
atau mengalihkan objek sengketa kepada pihak lain, maka Penggugat memohon
juga agar terhadap objek sengketa diletakkan sita jaminan sehingga gugatan yang
diajukan Para Penggugat tidak sia-sia.
Dalam gugatannya, Para Penggugat meminta petitum yaitu sebagai
berikut:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas objek sengketa yaitu tanah dan rumah yang berdiri di atasnya, sebagaimana ternyata dalam Sertifikat Nomor 318/Peterongan, Kelurahan Peterongan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, seluas lebih kurang 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) meter persegi;
3. Menyatakan batal demi hukum testamen Almarhum yang dibuat oleh atau di hadapan Turut Tergugat III, notaris pengganti pada kantor notaris Tan Bian Tjong, di Semarang sebagaimana akta Nomor 1 tertanggal 29 Desember 2003 mengenai testamen dan akta Nomor 10 tertanggal 6 Maret 1999 tentang menyatakan persetujuan dan pelepasan hak atas Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum;
254Ibid.,
4. Menyatakan Para Penggugat, Tergugat I, Turut Tergugat I, dan Turut Tergugat II adalah ahli waris dari Almarhum;
5. Menyatakan sah dan berdasar hukum keterangan Tergugat I dan Tergugat II di hadapan Tan Bian Tjong, Notaris di Semarang sebagaimana ternyata dalam akta Nomor 1 tertanggal 29 Juni 2012 mengenai Keterangan;
6. Menyatakan objek sengketa, yaitu tanah dan rumah yang berdiri di atasnya, sebagaimana ternyata dalam Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum, setempat kenal dengan Jalan Mataram/MT. Haryono Nomor 896, Kelurahan Peterongan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, seluas lebih kurang 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) meter persegi adalah satu-satunya harta peninggalan Almarhum yang belum dibagi;
7. Menyatakan sah dan berdasar hukum Para Penggugat, Turut Tergugat I, dan Turut Tergugat II berhak atas bagian objek sengketa masing-masing 10% (sepuluh persen) sedangkan bagian Para Tergugat 40% (empat puluh persen) dari objek sengketa;
8. Menyatakan sah dan berdasar hukum keberadaan sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum dikuasai oleh Turut Tergugat II;
9. Menyatakan tindakan Tergugat I yang menyatakan satu-satunya yang berhak atas objek sengketa dan meminta sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum dari Turut Tergugat II dengan melaporkan Turut Tergugat II ke Kepolisian Resort Kota Besar Semarang sebagaimana ternyata dalam laporan polisi Nomor LP/B/521/III/2013 tertanggal 27 Maret 2013 adalah perbuatan melawan hukum;
9a. Menghukum Para Tergugat atau pihak ketiga yang mendapatkan hak dari Para Tergugat untuk mengosongkan objek sengketa dan selanjutnya dibagi sebagaimana bagian dalam petitum 7;
10.Menghukum Para Turut Tergugat untuk tunduk dan patuh atas putusan ini; 11.Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada
upaya hukum, banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali (uit voerbaar bij voorraad); dan
12.Menghukum Para Tergugat untuk membayar semua biaya perkara. 255
Inti dari petitum yang diminta Para Penggugat adalah meminta pembatalan dua
akta hibah wasiat yang dibuat oleh Almarhum serta mendapat bagian dari harta
warisan Almarhum.
Terkait dengan dalil-dalil gugatan Para Penggugat di atas, Para Tergugat
mengajukan beberapa jawaban. Dalam eksepsi, Para Tergugat menyatakan bahwa
255Ibid.,