• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Terhadap Penghibahan Seluruh Harta Warisan Oleh Pewaris Sehingga Melanggar Legitime Portie Ahli Waris Ditinjau Dari KUHPerdata (Studi Putusan Nomor 188 Pdt.G 2013 PN.Smg) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akibat Hukum Terhadap Penghibahan Seluruh Harta Warisan Oleh Pewaris Sehingga Melanggar Legitime Portie Ahli Waris Ditinjau Dari KUHPerdata (Studi Putusan Nomor 188 Pdt.G 2013 PN.Smg) Chapter III V"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

A. Hibah dan Hibah Wasiat Sebagai Peristiwa Hukum

Anggota masyarakat setiap hari mengadakan hubungan antara satu

dengan yang lainnya untuk memenuhi kepentingannya sehingga menimbulkan

berbagai peristiwa kemasyarakatan. Peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang

oleh hukum diberikan akibat-akibat dinamakan peristiwa hukum atau kejadian

hukum (rechtfeit).176 Namun tidak setiap peristiwa dikategorikan peristiwa

hukum, melainkan hanyalah suatu peristiwa, misalnya A mengambil sepeda motor

miliknya sendiri. Contoh peristiwa yang menggerakkan hukum untuk bekerja

yaitu apabila A mengambil sepeda orang lain. Peristiwa yang terakhir disebut

peristiwa hukum karena hukum digerakkan bekerja untuk memberikan

perlindungan terhadap orang lain. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa

hanya peristiwa-peristiwa yang dicantumkan dalam hukum saja yang bisa

menggerakkan hukum dan disebut sebagai peristiwa hukum.177

Tindakan penghibahan dan penghibahwasiatan sendiri dikategorikan

sebagai suatu peristiwa hukum karena tindakan tersebut tercantum dalam hukum

dan menimbulkan suatu akibat hukum. Dalam hukum dikenal dua macam

peristiwa hukum yaitu :

1. Peristiwa hukum yang bukan tindakan manusia yakni kelahiran, kematian, dan daluwarsa;

176

C.S.T. Kansil, Op.cit., hal. 121.

177

(2)

2. Peristiwa hukum yang merupakan tindakan manusia yang terbagi menjadi:

a. Perbuatan subjek hukum

Perbuatan subjek hukum dapat dibedakan antara perbuatan hukum dan perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum. Suatu perbuatan merupakan perbuatan hukum kalau perbuatan itu oleh hukum diberi akibat yang dikehendaki oleh yang bertindak. Apabila akibat hukum dari suatu perbuatan itu tidak dikehendaki oleh yang melakukannya atau salah satu dari yang melakukannya, maka perbuatan itu bukanlah suatu perbuatan hukum.

Perbuatan hukum ada yang bersegi satu (eenzijdig), misalnya pembuatan surat wasiat, pemberian hadiah (hibah), dan lain sebagainya; dan ada yang bersegi dua (tweezijdig), misalnya jual beli, sewa menyewa, dan lain sebagainya.

b. Peristiwa lain yang bukan perbuatan subjek hukum

Perbuatan bukan subjek hukum dapat dibedakan menjadi :

1) Perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, walaupun oleh hukum tidak perlu akibat tersebut dikehendaki oleh pihak yang melakukan perbuatan itu. Contohnya perbuatan memperhatikan (mengurus) kepentingan orang lain dengan tidak diminta oleh

orang itu untuk memperhatikan kepentingannya

(zaakwaarneming) yang diatur dalam Pasal 1354 KUHPerdata; 2) Perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatige daad)

yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Akibat dari perbuatan yang bertentangan dengan hukum diatur oleh hukum namun akibat itu tidak dikehendaki oleh yang melakukan perbuatan itu. 178

Dari penggolongan peristiwa hukum di atas, dapat diketahui bahwa hibah

dan hibah wasiat termasuk perbuatan subjek hukum yang bersegi satu (eenzijdigi).

Hal ini artinya perbuatan penghibahan dan penghibahwasiatan adalah perbuatan

hukum yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari satu subjek hukum

saja (orang yang menghibahkan atau pewaris). Dengan begitu, prestasi hanya

dilakukan oleh orang menghibahkan atau pewaris tanpa menuntut kontraprestasi

dari orang yang menerima hibah atau hibah wasiat.

178

(3)

Secara umum, akibat hukum yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum

dapat berwujud tiga hal yaitu sebagai berikut :

1. Lahir, berubah atau hilangnya suatu keadaan hukum, misalnya :

a. Menurut KUHPerdata, sejak seseorang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun, maka ia dianggap cakap menurut hukum (lahirlah keadaan hukum yang baru);

b. Seseorang yang berada di bawah pengampuan, maka ia telah kehilangan kecakapan hukum (hilangnya keadaan hukum); dan

c. Sejak suatu hal dinyatakan daluwarsa atau lewat waktu atau verjaring, maka seseorang bisa mendapatkan hak (Pasal 584 KUHPerdata) serta bisa juga kehilangan hak;

2. Lahir, berubah atau hilangnya sesuatu hubungan hukum, misalnya dalam perjanjian jual beli, maka lahirlah hubungan hukum antara penjual dan pembeli. Setelah barang telah dibayar lunas oleh pembeli dan barang telah dilepaskan oleh penjual, maka hubungan hukum tersebut menjadi lenyap; dan

3. Adanya sanksi apabila dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum, misalnya seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat hukum dari perbuatan di pencuri tersebut yang mengambil barang orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum.

4. Akibat hukum yang timbul karena adanya kejadian-kejadian darurat oleh hukum yang bersangkutan telah diakui atau dianggap sebagai akibat hukum, meskipun dalam keadaan wajar, tindakan-tindakan tersebut mungkin terlarang menurut hukum. Misalnya dalam keadaan terbakar di mana seorang sudah terkepung api sehingga merusak dan menjebol tembok, jendela, pintu, dan lain-lain untuk jalan keluar menyelamatkan diri. 179

Terkait hibah dan hibah wasiat, maka akibat hukum yang ditimbulkan

adalah lahirnya suatu hubungan hukum. Hubungan hukum yang dimaksud adalah

hubungan hukum bersegi satu antara orang yang menghibahkan atau pewaris

dengan orang yang menerima hibah atau hibah wasiat. Artinya dari hubungan

hukum bersegi satu hanya timbul hak dan kewajiban pada satu pihak saja (orang

yang menghibahkan atau pewaris).

179

(4)

B. Bagian Mutlak atau Legitime Portie Sebagai Batasan Dalam Hibah dan Hibah Wasiat

1. Pengertian Bagian Mutlak atau Legitime Portie

Bagian mutlak atau legitime portie sebagai batasan dalam pembuatan

hibah dan hibah wasiat, sangat penting untuk diperhatikan agar suatu hibah

atau hibah wasiat tidak menimbulkan suatu akibat hukum yang tidak

diinginkan oleh orang yang menghibah atau pewaris. Untuk itu, perlu

diketahui secara jelas apa yang dimaksud dengan bagian mutlak atau legitime

portie. Ada beberapa ahli hukum yang mengemukakan definisi atau

pengertian dari bagian mutlak atau legitime portie, yaitu sebagai berikut :

a. Menurut Idris Ramulyo, “bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan atau dengan kata lain bahwa legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus (wajib) diberikan kepada ahli waris dalam garis lurus menurut Undang-undang, terhadap bagian mana si pewaris tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu baik selaku pemberian antara yang masih hidup atau selaku wasiat”.180

b. Menurut Subekti, “legitime portie adalah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan. Hak atas legitime portie barulah timbul apabila seseorang dalam keadaan sungguh-sungguh tampil sebagai ahli waris sebagaimana ditentukan hukum waris. Dalam hal ini yang berhak atas suatu legitime portie dinamakan legitimaris. Ia dapat meminta pembatalan setiap testamen yang melanggar haknya dan berhak menuntut dilakukan pengurangan (inkorting) terhadap segala pemberian warisan, baik berupa erfstelling maupun legaat, atau bersifat schenking yang mengurangi haknya”.181

c. Menurut Pitlo, ”legitime portie/wettlijk erfdel merupakan hak dia/mereka yang mempunyai kedudukan utama/istimewa dalam warisan. Hanya sanak saudara dalam garis lurus (bloedverwanten in

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Op.cit., hal. 113.

182

(5)

Sebenarnya, ada dua sistem tentang legitime portie yakni sebagai

berikut :

a. Sistem Prancis-Jerman, menetapkan bahwa bagian mutlak atau

legitime portie adalah bagian tertentu dari seluruh warisan yang tidak dapat dilanggar dengan suatu ketetapan dalam testamen. Oleh karena itu, berdasarkan sistem ini, warisan seseorang dibagi dua yaitu :183 1) Bagian bebas yang merupakan bagian dari warisan, atas bagian

mana pewaris mempunyai kebebasan sepenuhnya untuk mengambil ketetapan-ketetapan. Wewenang pewaris pada bagian ini meliputi baik tindakan-tindakan semasa hidupnya pewaris maupun sesudah pewaris meninggal (melalui surat wasiat). Pewaris berhak untuk membebani maupun memberikan secara cuma-cuma kepada orang lain; dan

2) Bagian yang tidak bebas merupakan bagian tertentu dari seluruh warisan diperuntukkan bagi para ahli waris dalam bentuk bagian mutlak atau legitime portie. Dalam bagian ini, pewaris tidak bebas dan seakan-akan bagian legitime ini diberikan secara kolektif (collectief) kepada para ahli waris mutlak atau legitimaris.

Cara pengaturan bagian mutlak atau legitime portie demikian disebut cara negatif.

b. Sistem Romawi, menetapkan bagian mutlak atau legitime portie

adalah bagian tertentu dari setiap ahli waris yang tidak dikurangi dengan testamen. Jadi, menurut sistem ini, bagian mutlak atau

legitime portie ditetapkan secara individual sehingga tidak ada pembagian warisan ke dalam dua bagian yang pasti seperti di dalam sistem Prancis-Jerman. Cara pengaturan bagian mutlak atau legitime portie yang demikian disebut sistem positif. 184

Dari kedua uraian sistem di atas, dapat diketahui perbedaan sistem

Prancis-Jerman dengan sistem Romawi. Dalam sistem Prancis-Jerman,

bagian bebas dan bagian tidak bebas (legitime portie) telah ditentukan secara

tegap (bagian tetap) sehingga tidak bergantung pada banyaknya ahli waris

mutlak atau legitimaris. Konsekuensinya adalah jika ada seorang ahli waris

183

J. Satrio, Op.cit., hal. 271.

184

(6)

mutlak atau legitimaris yang menolak warisan atau dinyatakan tidak patut

mewaris, maka bagian ahli waris tersebut tetap berada pada bagian tidak

bebas (legitime portie) dan menjadi hak kawan ahli waris mutlak atau

legitimaris yang lain. Lain halnya dengan sistem Prancis-Jerman, sistem

Romawi menjamin bagian mutlak atau legitime portie secara individual

kepada tiap-tiap ahli waris, bukan kepada para ahli waris sebagai keseluruhan

atas satu bagian bersama-sama. Konsekuensinya jika ada ahli waris mutlak

atau legitimaris yang menolak warisan atau dinyatakan tidak patut mewaris,

maka bagian legitimaris yang bersangkutan jatuh ke dalam bagian bebas

warisan, bukan kepada bagian legitimaris yang lain.185

KUHPerdata sendiri menganut sistem Romawi dan memberikan

definisi bagian mutlak atau legitime portie dalam Pasal 913 KUHPerdata

yang berbunyi :

“Bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut Undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat”. 186

Jadi, ada dua unsur penting dari uraian pasal di atas yaitu bagian mutlak atau

legitime portie adalah bagian dari suatu warisan yang tidak dapat dikurangi

dengan pemberian semasa hidup atau pemberian dengan testamen serta

bagian mutlak atau legitime portie harus diberikan kepada para ahli waris

dalam garis lurus ke atas maupun ke bawah.

185Ibid.,

hal. 272-274.

186

(7)

2. KetentuanUmum Bagian Mutlak Atau Legitime Portie Dalam Pewarisan

Tidak dapat dipungkiri, pada asasnya seseorang atau pewaris

mempunyai hak dan wewenang untuk menentukan hartanya semasa hidup

maupun setelah ia meninggal dunia. Namun atas kebebasan atau

kemerdekaan seseorang atau pewaris ini, Undang-undang membuat beberapa

pengecualian, yang tak lain berarti pembatasan-pembatasan. Caranya adalah

memberikan suatu jaminan bagi ahli waris tertentu bahwa suatu bagian

tertentu dari hak waris ab-intestato mereka, tidak dapat diganggu gugat oleh

pewaris, baik melalui tindakan semasa hidup maupun melalui suatu testamen,

kecuali atas persetujuan oleh yang bersangkutan (Pasal 913 KUHPerdata).187

Dengan mengacu pada Pasal 913 KUHPerdata, legitime portie

merupakan suatu hak yang Undang-undang berikan kepada ahli waris tertentu

yang tidak dapat disingkirkan sama sekali oleh pewaris dari pewarisannya.188

Namun, hak atas bagian mutlak atau legitime portie hanya diberikan jika

yang bersangkutan menyatakan menggunakan haknya yakni hak untuk

menuntut legitime portie. Hak tuntut bagian mutlak atau legitime portie

diberikan kepada masing-masing ahli waris tertentu (ahli waris mutlak) untuk

sebesar legitime portie-nya, sehingga jika ada beberapa ahli waris mutlak,

tetapi hanya ada satu yang menuntut bagian mutlak atau legitime portie, maka

187

J. Satrio, Op.cit., hal. 242.

188

(8)

yang kembali dalam warisan hanya bagian mutlak atau legitime portie satu

ahli waris mutlak saja.189

Hampir dalam perundang-undangan semua negara dikenal lembaga

bagian mutlak atau legitime portie. Peraturan di negara satu tidak sama

dengan peraturan di negara lain, terutama mengenai siapa-siapa sajalah yang

berhak atasnya dan ahli waris mutlak berhak atas apa.190 Tujuan dari adanya

lembaga bagian mutlak atau legitime portie adalah agar harta warisan sebagai

harta keluarga, jatuh ke tangan keluarga. Jadi dasarnya adalah harta keluarga

sedapat-dapatnya tetap berada dalam keluarga. Secara tidak langsung, bagian

mutlak atau legitime portie mempunyai fungsi pemerataan di antara

anak-anak sebagai ahli waris. Hal ini berarti dengan adanya bagian mutlak atau

legitime portie tidak mungkin ada pewarisan mayorat, di mana anak yang satu

memperoleh seluruh warisan dan yang lain sama sekali tidak menerima

apa-apa.191

Ditinjau dari calon penerima warisan, maka tujuan bagian mutlak

atau legitime portie adalah untuk melindungi kepentingan ahli waris tertentu

dengan mewujudkan keadilan di antara mereka. Hal ini dapat disimpulkan

dari pengaturan dalam Pasal 920 KUHPerdata yang berbunyi :

“Terhadap segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat yang mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak dalam sesuatu warisan, bolehlah kelak dilakukan pengurangan, bilaman warisan itu jatuh meluang, akan tetapi hanyalah atas tuntutan para ahli waris mutlak dan ahli waris atau pengganti mereka.

189

J. Satrio, Op.cit., hal. 243.

190

Hartono Soerjopratiknjo, Hukum Waris Testamenter, (Yogyakarta : Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1984), hal. 109.

191

(9)

Namun demikian, para ahli waris mutlak tidak diperbolehkan menikmati sedikit pun dari sesuatu pengurangan atas kerugian para berpiutang si meninggal”. 192

Ketentuan Pasal 913 KUHPerdata mengenai bagian mutlak atau

legitime portie bersifat hukum pemaksa, tetapi perlu ditegaskan bahwa hal ini

bukan demi kepentingan umum. Ketentuan tersebut ada mempertegas bahwa

fungsi bagian mutlak atau legitime porite adalah demi kepentingan ahli waris

tertentu dan bukan kepentingan umum. Oleh karena itu, ahli waris tertentu

tersebut dapat saja membiarkan haknya dilanggar serta pelaksanaan hibah dan

hibah wasiat tetap dijalankan saja.

3. Ahli Waris yang Berhak Atas Legitime Portie dan Bagiannya

KUHPerdata tidak memperlakukan semua ahli waris ab-intestato

secara sama, melainkan terdapat sebagian daripadanya yang oleh

KUHPerdata diberikan jaminan hak atas bagian tertentu (legitime portie) dari

bagian warisan. Terkait dengan kebebasan pewaris dalam membagikan

hartanya, hak yang diberi oleh KUHPerdata terkait bagian mutlak atau

legitime portie sering dilanggar, dengan adanya tindakan-tindakan pewaris

yang memboroskan hartanya, baik melalui tindakan yang pelaksanaannya

selagi hidup atau pada saat kematiannya. Ahli waris yang diberikan hak oleh

KUHPerdata atas bagian tertentu (legitime portie) dinamakan ahli waris

mutlak atau legitimaris.

192

(10)

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan ahli waris

mutlak atau legitimaris yaitu sebagai berikut :

a. Orang yang bukan legitimaris dapat dikesampingkan dengan wasiat; b. Bagian mutlak harus selalu dituntut. Apabila tidak dituntut tidak

diperoleh bagian mutlak atau legitime portie itu. Jadi, kalau ada tiga legitimaris dan yang menuntut hanya satu, maka yang menuntut itu saja yang dapat, sedangkan yang dua lagi (yang tidak menuntut) tidak dapat;

c. Seorang legitimaris berhak menuntut atau melepaskan bagian mutlak atau legitime portie-nya tanpa bersama-sama dengan ahli waris legitimaris lainnya;

d. Penuntutan atas bagian mutlak atau legitime portie baru dapat dilakukan terhadap hibah atau hibah wasiat yang mengakibatkan berkuranhnya bagian mutlak atau legitime portie dalam suatu harta peninggalan setelah warisan terbuka;

e. Penuntutan itu dapat dilakukan terhadap segala macam pemberian yang telah dilakukan oleh si pewaris, baik berupa erfstelling

(pengangkatan sebagai ahli waris), hibah wasiat atau terhadap segala pemberian yang dilakukan oleh pewaris sewaktu si pewaris masih hidup (hibah);

f. Apabila si pewaris mengangkat seorang ahli waris dengan wasiat untuk seluruh harta peninggalannya, maka bagian ahli waris yang tidak menuntut itu menjadi bagian ahli waris menurut wasiat itu; g. Orang yang dinyatakan tidak patut mewaris atau menolak warisan,

akan kehilangan bagian mutlak atau legitime portie;

h. Ahli waris yang dikesampingkan sebagai ahli waris oleh si pewaris atau onterfd, tetap berhak atas bagian mutlak atau legitime

portie-nya. Ketentuan bagian mutlak atau legitime portie diadakan oleh KUHPerdata untuk melindungi ahli waris legitimaris, agar mereka tidak dirugikan oleh tindakan sewenang-wenang si pewaris; dan i. Menurut Pasal 902 KUHPerdata, kepada suami atau istri kedua atau

selanjutnya tidak boleh dengan surat wasiat diberi hibah hak milik atau sejumlah barang yang lebih besar dibandingkan bagian anak sah dari perkawinan pertama. Maksimum adalah ¼ (seperempat) dari harta peninggalan seluruhnya. 193

Ahli waris yang dapat menuntut bagian mutlak atau legitime portie

atau legitimaris (Pasal 913 KUHPerdata) harus memenuhi beberapa syarat

tertentu yaitu :

193

(11)

a. Mereka harus ahli waris dalam garis lurus. Garis lurus tersebut berarti keluarga dalam garis lurus ke atas (ascendent) atau keluarga dalam garis lurus ke bawah (decendent). Jadi, dapat diketahui bahwa

legitime portie hanya diberikan kepada ascendent dan decendent

pewaris;

b. Mereka harus benar-benar terpanggil untuk mewaris berdasarkan Undang-undang, pada saat matinya pewaris (ahli waris ab-intestato); dan194

c. Mereka tersebut, walaupun tanpa memperhatikan wasiat pewaris, merupakan ahli waris secara ab-intestato.195

Dari syarat di atas, dapat disimpulkan bahwa bagian mutlak atau

legitime portie hanya diperuntukkan bagi ahli waris garis lurus ke atas yakni

orang tua dan semua leluhurnya, serta ahli waris garis lurus ke bawah yakni

anak-anak dan keturunannya serta anak luar kawin yang diakui secara sah.

Dalam hal ini, istri atau suami, saudara-saudara (paman atau bibi) tidak

berhak atas bagian mutlak atau legitime portie.196 Istri atau suami yang hidup

lebih lama tidak termasuk dalam kelompok ahli waris yang bagian mutlak

atau legitime portie sekalipun berdasarkan Pasal 852 a KUHPerdata, hak

waris istri atau suami yang hidup lebih lama dipersamakan dengan seorang

anak. Ketentuan tersebut adalah mengenai pewarisan karena kematian (

ab-intestato), sehingga tidak berlaku bagi pewarisan berdasarkan wasiat atau

testamen.197

Dengan melihat pada syarat kedua, maka harus diingat asas yang

mengatakan bahwa golongan ahli waris yang lebih dekat menutup golongan

ahli waris yang lebih jauh dan dalam tiap-tiap golongan, ahli waris yang lebih

194

J. Satrio, Op.cit., hal.260.

195

Komar Andhasasmita, Op.cit., hal. 309.

196

Ali Afandi, Op.cit., hal. 45.

197

(12)

dekat menutup yang lebih jauh. Namun mengingat bagian mutlak atau

legitime portie tidak berlaku untuk semua golongan ahli waris, maka

dekatnya hubungan perderajatan dengan si pewaris, bukanlah faktor yang

menjamin bahwa seseorang mempunyai hak atas bagian mutlak atau legitime

portie. Tidak tertutup kemungkinan bahwa orang yang hubungan

perderajatannya dengan si pewaris lebih jauh malah mempunyai bagian

mutlak atau legtime portie, sedangkan yang lebih dekat tidak.198 Misalnya,

pewaris yang meninggal dunia meninggalkan saudara dan kakek buyut, maka

ahli waris yang mempunyai hak atas bagian mutlak atau legitime portie

adalah kakek buyut bukan saudara-saudara, meskipun saudara derajatnya

lebih dekat dengan pewaris daripada kakek buyut.

Besarnya bagian mutlak atau legitime portie bagi legitimaris dalam

garis lurus ke bawah diatur dalam Pasal 914 KUHPerdata yang berbunyi

sebagai berikut :

“Dalam garis lurus ke bawah, apabila si yang mewariskan hanya meninggalkan anak yang sah satu-satunya saja, maka terdirilah bagian mutlak itu atas setengah dari harta peninggalan, yang mana oleh si anak itu dalam pewarisan sedianya harus diperolehnya.

Apabila dua orang anak yang ditinggalkannya, maka bagian mutlak itu adalah masing-masing dua per tiga dari apa yang sedianya harus diwariskan oleh mereka masing-masing dalam pewarisan.

Tiga orang atau lebih pun anak yang ditinggalkannya, maka tiga per empatlah bagian mutlak itu dari apa yang sedianya masing-masing mereka harus mewarisnya, dalam pewarisan.

Dalam sebutan anak, termasuk juga di dalamnya sekalian keturunannya dalam derajat keberapapun juga, akan tetapi mereka terakhir ini hanya dihitung sebagai pengganti si anak yang mereka wakili dalam warisan-warisan si mewariskannya”. 199

198Ibid. 199

(13)

Untuk lebih jelasnya, isi Pasal 914 KUHPerdata dapat dilihat dalam

uraian berikut :

a. Jika hanya ada seorang anak sah, maka jumlah bagian mutlak atau

legitime portie adalah ½ (setengah) dari bagian yang sebenarnya yang akan diperoleh sebagai ahli waris menurut Undang-undang;

b. Jika ada dua orang anak sah, maka jumlah bagian mutlak atau

legitime portie adalah 2/3 (dua per tiga) dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh sebagai ahli waris menurut Undang-undang;

c. Jika ada tiga orang anak sah atau lebih, maka jumlah bagian mutlak atau legitime portie adalah ¾ (tiga per empat) dari bagian yang sebenarnya akan diperoleh ahli waris menurut Undang-undang; dan d. Jika si anak sebagai ahli waris menurut Undang-undang meninggal

dunia lebih dahulu, maka hak bagian mutlak atau legitime portie

beralih kepada sekalian anak-anaknya bersama-sama sebagai penggantian. 200

Selanjutnya, pada Pasal 915 KUHPerdata diatur mengenai besarnya

bagian mutlak atau legitime portie bagi legitimaris dalam garis lurus ke atas

yang berbunyi sebagai berikut ”Dalam garis lurus ke atas, bagian mutlak itu

adalah selamanya setengah dari apa yang menurut Undang-undang menjadi

bagian tiap-tiap mereka dalam garis itu dalam pewarisan karena kematian”.201

Artinya pasal tersebut bahwa garis lurus ke atas adalah orang tua atau nenek

atau seterusnya ke atas sehingga jumlah bagian mutlak atau legitime portie

adalah ½ (setengah) dari bagiannya sebagai ahli waris menurut

Undang-undang.

Sebagai salah satu legitimaris, besarnya bagian mutlak atau legitime

portie anak luar kawin diatur dalam Pasal 916 KUHPerdata yang berbunyi

sebagai berikut “Bagian mutlak seseorang anak luar kawin yang telah diakui

200

Maman Suparman, Op.cit., hal. 93.

201

(14)

dengan sah adalah setengah dari apa yang menurut Undang-undang menjadi

bagian tiap-tiap mereka dalam garis itu dalam pewarisan karena kematian”.202

Jadi, dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa bagian anak luar kawin

yang diakui sah, jumlah bagian mutlak atau legitime portie-nya adalah ½

(setengah) dari bagiannya sebagai ahli waris menurut Undang-undang, baik

ada atau tidak ada anak sah dari si pewaris.

Terkadang, muncul keadaan di mana pewaris sama sekali tidak

memiliki ahli waris mutlak atau legitimaris, maka pewaris di sini dapat

memberikan seluruh harta peninggalannya kepada orang lain dengan hibah

semasa hidup atau hibah wasiat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 917

KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut “Dalam hal tak adanya keluarga

sedarah dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, pun tak adanya anak-anak

luar kawin yang diakui dengan sah, hibah-hibah antara yang masih hidup atau

dengan surat wasiat, boleh meliputi segenap harta peninggalan”.203 Dengan

tidak adanya ahli waris mutlak atau legitimaris, maka secara otomatis tidak

ada pelanggaran bagian mutlak atau legitime portie yang dilakukan oleh

pewaris. Hal tersebut memberikan kepada pewaris kesempatan untuk secara

bebas mengatur pembagian seluruh hartanya sendiri. Dalam kondisi ahli

waris mutlak atau legitimaris sama sekali tidak menuntut, maka pelaksanaan

hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie

yang meliputi seluruh harta peningga lan tetap dapat dijalankan dan berlaku.

202

Pasal 916 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

203

(15)

Mengenai kasus seorang ahli waris yang menolak warisan

(onwaardigheid) terkait dengan perhitungan bagian mutlak atau legitime

portie, maka penyelesaiannya secara konsekuensi seharusnya tidak turut

dihitung menentukan pecahan bagian mutlak atau legitime portie.204 Hal ini

sesuai dengan isi Pasal 1058 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut “Si

waris yang menolak warisannya dianggap tidak pernah telah menjadi

waris”.205

Apabila legitimaris menerima pelanggaran atas hak mutlak atau

legitime portie-nya, maka ia tetap tidak kehilangan kedudukannya sebagai

ahli waris. Kedudukannya sebagai ahli waris hanyalah dapat hilang dengan

cara seperti diatur dalam Pasal 1057 KUHPerdata yang berbunyi “Menolak

suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan suatu

pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam

daerah hukumnya telah terbuka warisan itu”.206

C. Akibat Hukum Adanya Hibah dan Hibah Wasiat yang Melanggar Bagian Mutlak Atau Legitime Portie

Dalam hukum waris menurut KUHPerdata, berlaku asas kebebasan

berwasiat (testeervrijheid). Dengan asas ini, seseorang bebas menentukan kepada

siapakah harta kekayaannya jatuh baik selama ia masih hidup (hibah) atau pada

saat ia meninggal dunia (hibah wasiat). Tindakan penghibahan atau

penghibahwasiatan yang dilakukan seseorang atau pewaris harus memenuhi

batasan bagian mutlak atau legitime portie sehingga bagian ahli waris mutlak atau

204

J. Satrio, Op.cit., hal. 270.

205

Pasal 1058 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

206

(16)

legitimaris tidak terlanggar. Oleh karena itu, hibah dan hibah wasiat yang

mungkin dilakukan tersebut dapat dibagi dua macam yakni hibah dan hibah

wasiat yang tidak melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak

atau legitimaris serta hibah dan hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau

legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris.

Untuk hibah dan hibah wasiat yang tidak melanggar bagian mutlak atau

legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris tentu saja tidak ada masalah dan

dapat dilaksanakan sepenuhnya. Namun sebaliknya untuk hibah dan hibah wasiat

yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau

legitimaris, akan menimbulkan suatu permasalahan dalam pelaksanaannya. Bagi

ahli waris mutlak atau legitimaris yang bagian mutlak atau legitime portie-nya

terlanggar, terbuka dua kemungkinan untuk ditempuh. Kemungkinan pertama

ialah menerima kenyataan itu tanpa mengajukan keberatan (zich berusten).

Artinya, ia tidak mengadakan suatu usaha atau tindakan agar bagian mutlak atau

legitime portie-nya dipenuhi sehingga ia bermaksud merelakan bagian mutlak

atau legitime portie-nya yang terlanggar.207

Alasan ahli waris mutlak atau legitimaris bersikap seperti ternyata dalam

kemungkinan pertama bisa bermacam-macam. Mulai dari adanya rasa enggan

menimbulkan suasana ribut di antara sesama keluarga dengan mengajukan

tuntutan. Selanjutnya, mungkin juga hal tersebut terjadi karena adanya keinginan

untuk tunduk dan menaruh hormat sepenuhnya pada apa yang sudah ditetapkan

oleh pewaris melalui surat wasiatnya dan melalui perbuatan-perbuatan hibah

207

(17)

yang telah dilakukannya selagi hidup. Tindakan menuntut bagian mutlak atau

legitime portie berarti melawan kehendak pewaris, hal mana dianggap tidak etis

dan menunjukkan tipisnya sikap hormat kepada pewaris. Alasan lain yang lebih

positif mungkin juga terjadi yakni keinginan untuk menguntungkan orang lain

sesama ahli waris.208

Sikap berdiam diri (zich berusten) ahli waris mutlak atau legitimaris

tidak dilarang oleh Undang-undang karena dikenal prinsip hak adalah hak, jadi

terserah ahli waris mutlak atau legitimaris apakah ia mau mempergunakan atau

tidak mempergunakan haknya. Kemungkinan kedua yang dapat ditempuh oleh

ahli waris mutlak atau legitimaris yang terlanggar bagian mutlak atau legitime

portie adalah mengajukan perlawanan (gugatan) dengan meminta kepada sesama

ahli waris dan penerima hibah agar bagian mutlak atau legitime portie-nya

dipenuhi.209 Dengan adanya gugatan dari para ahli waris mutlak atau legitimaris,

maka pada prinsipnya tuntutan bagian mutlak atau legitime portie harus dipenuhi,

kalau perlu dengan memotong hibah atau hibah wasiat.

Pemenuhan bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau

legitimaris dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan berapa besarnya

bagian mutlak atau legitime portie yang dimaksud. Berdasarkan Pasal 921

KUHPerdata, besarnya bagian mutlak atau legitime portie dihitung dengan cara

yaitu sebagai berikut:

1. Menghitung semua hibah yang telah diberikan oleh pewaris semasa hidupnya, termasuk hibah yang diberikan kepada salah seorang atau para ahli waris mutlak atau legitimaris;

208Ibid. 209Ibid.,

(18)

2. Jumlah tersebut ditambahkan dengan aktiva warisan yang ada; 3. Kemudian, dikurangi utang-utang pewaris; dan

4. Dari hasil penjumlahan dan pengurangan di atas, kemudian dihitung besarnya bagian mutlak atau legitime portie dari ahli waris mutlak atau legitimaris yang menuntut bagiannya. Besarnya bagian mutlak atau

legitime portie yang didapat tersebut adalah jumlah yang benar-benar diterima ahli waris mutlak atau legitimaris yang bersangkutan. 210

Dari ketentuan di atas, terkait dengan hibah dan hibah wasiat yang

melanggar bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau legitimaris,

maka bagian yang diterima oleh penerima hibah dan hibah wasiat dapat dikurangi

untuk memenuhi bagian mutlak atau legitime portie yang terlanggar. Oleh karena

itu, dapat disimpulkan bahwa penerima hibah mempunyai kewajiban untuk

mengembalikan harta yang telah dihibahkan kepadanya ke dalam harta warisan

guna memenuhi bagian mutlak atau legitime porie ahli waris mutlak atau

legitimaris, dengan memperhatikan Pasal 1086 KUHPerdata, tentang hibah-hibah

yang wajib inbreng (pemasukan).211

Inbreng merupakan suatu istilah dalam hukum perdata yang berasal dari

bahasa Belanda, yang artinya hibah yang wajib diperhitungkan.212 Para ahli

hukum memberikan beragam definisi terkait inbreng atau pemasukan,yaitu

sebagai berikut :

1. Menurut J.D. Vegeens dan J. Oppenheim, “inbreng adalah pengembalian akan apa yang telah diterima oleh seorang ahli waris dari pewarisnya, sebagai hibah atau hibah wasiat ke dalam boedel, baik dalam wujudnya (in natura), baik hanya nilainya atau dengan cara memperhitungkannya”.213

210

Maman Suparman, Op.cit., hal. 94.

211

Anisitius Amanat, Op.cit., hal. 1.

212

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang : Aneka Ilmu, 1977), hal. 455.

213

(19)

2. Menurut Pitlo, ”inbreng adalah memperhitungkan apa yang diterima oleh seorang ahli waris dari penghibahnya”.214

3. Menurut Oemar Salim, “inbreng berasal dari bahasa Belanda yang berarti memperhitungkan pemberian benda-benda yang dilaksanakan oleh orang yang meninggalkan harta warisan, pada waktu ia masih hidup, terhadap para ahli warisnya”.215

4. Menurut Wirjono Prodjodikoro, “inbreng berasal dari bahasa Belanda yang berarti memperhitungkan pemberian barang-barang yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan warisan pada waktu ia masih hidup kepada para ahli waris”.216

5. Menurut Soerojo Wongsowidjojo, ”inbreng adalah semua hibah yang pernah diberikan oleh pewaris kepada para ahli waris dalam garis lurus ke bawah (anak cucu, dan seterusnya) kecuali pewaris secara tegas membebaskan mereka dari pemasukan. Hal ini seakan-akan merupakan persekot (uang muka) atas bagian para ahli waris dalam harta peninggalan pewaris”.217

KUHPerdata sendiri tidak merumuskan secara konkrit tentang apa yang

dimaksudkan dengan inbreng atau pemasukan, tetapi hanya mengaturnya dalam

beberapa pasal yakni Pasal 1086 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1099

KUHPerdata. Dari ciri-ciri yang ada dalam ketentuannya dapat disimpulkan

bahwa yang dimaksud dengan inbreng adalah memperhitungkan kembali

hibah-hibah yang diberikan oleh pewaris kepada ahli warisnya, ke dalam warisan, agar

pembagian waris di antara para ahli waris menjadi lebih merata.218 Adapun fungsi

inbreng yaitu untuk menjamin tercapainya keadilan dan kesamaan di antara

anak-anak dalam menerima bagian dari segala pemindahan harta kekayaan orang

tuanya, baik pemindahan sewaktu hidup yaitu hibah atau pemindahan setelah mati

dengan cara pembagian warisan, terutama yang berkaitan dengan bagian mutlak

atau legitime portie yaitu bagian yang harus diterima sehingga setiap anak

Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hal. 115.

217

Maman Suparman, Op.cit., hal. 151.

218

(20)

mendapatkan bagiannya masing-masing.219 Oleh karena itu, dapat disimpulkan

secara singkat bahwa ketentuan inbreng adalah untuk melindungi hak

legitimaris.220

Yang terkena kewajiban inbreng menurut Pasal 1086 KUHPerdata yang

berbunyi :

“Dengan tidak mengurangi kewajiban sekalian ahli waris untuk membayar kepada kawan-kawan waris mereka atau memperhitungkan kepada kawan-kawan waris mereka atau memperhitungkan dengan mereka ini segala utang mereka kepada harta peninggalan, maka segala hibah yang diperoleh dari si yang mewariskan di akla hidupnya orang ini, harus dimasukkan :

1. Oleh para waris dalam garis turun ke bawah, baik sah maupun luar kawin, baik mereka itu telah menerima warisannya secara murni maupun dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran, baik mereka itu hanya memperoleh bagian mutlak mereka maupun mereka telah memperoleh lebih dari itu, kecuali apabila pemberian-pemberian itu telah dilakukan dengan pembebasan secara jelas dari pemasukan, ataupun apabila para penerima itu di dalam suatu akta otentik, atau dalam suatu wasiat telah dibebaskan dari kewajibannya untuk memasukkan;

2. Oleh semua waris lainnya, baik waris karena kematian maupun wasiat, namun hanyalah dalam hal si yang mewariskan maupun si penghibah dengan tegas telah memerintahkan atau memperjanjikan dilakukannya pemasukan. 221

Dari pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa yang harus inbreng adalah

para ahli waris dalam garis lurus ke bawah baik sah maupun di luar perkawinan,

termasuk juga penggantinya kecuali dengan tegas dibebaskan dari pemasukan

serta para ahli waris lainnya (pihak lain juga), baik ab-intestato atau testamentair

apabila kepada mereka diharuskan secara tegas melakukan pemasukan.222 Pewaris

dalam hal ini harus bebas untuk menentukan apakah penerima hibah diharuskan

219

Ahmad Budinta Rangkuti, Pembatalan Hibah dan Akibat Hukumnya Terhadap Sertifikat Hasil Peralihan Hak, hal. 49-50, (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/57810/6/babII.pdf), diakses tanggal 5 April 2016

220

Effendi Perangin, Op.cit., hal. 144.

221

Pasal 1086 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

222

(21)

memasukkan yang telah diterimanya atau tidak, demikian juga dengan tidak

mengurangi apa yang ditentukan dalam Pasal 921 KUHPerdata.223

Menurut Pasal 1087 KUHPerdata, bagi ahli waris yang menolak warisan

tidak diwajibkan memasukkan apa yang telah diterimanya sebagai hibah, kecuali

untuk menutup kekurangan bagian mutlak atau legitime portie.224 Selanjutnya,

dalam Pasal 1088 KUHPerdata diatur bahwa untuk menutup bagian mutlak atau

legitime portie, jumlah yang harus dimasukkan tidak boleh lebih dari bagian

mutlaknya sendiri.225 Jika seorang kakek (nenek) melakukan pemberian kepada

cucunya, maka jika ia meninggal, orang tua dari cucu itu tidak perlu

memperhitungkan pemberian itu (Pasal 1089 KUHPerdata). Demikian juga

terhadap orang tua tersebut juga tidak perlu memperhitungkan bagian yang jatuh

kepada anaknya, jika anak tersebut menjadi ahli waris si kakek (dengan cara

pengangkatan ahli waris dengan wasiat). Sebaliknya jika seorang anak tampil ke

muka sebagai pengganti dari orang tuanya, maka anak itu harus memperhitungkan

segala pemberian yang telah dilakukan kepada orang tuanya meskipun anak itu

telah menolak warisan dari orang tua itu sendiri.226

Apabila penghibahan dilaksanakan oleh bapaknya atau ibunya sendiri,

maka penghibahan itu mesti diperhitungkan. Lain halnya jika penghibahan

dilaksanakan oleh mertuanya, maka barang itu tidak perlu diperhitungkan.

Apabila penghibahan dilakukan kepada suami istri, maka penghibahan itu harus

diperhitungkan sebagian saja. Dalam Pasal 1091 KUHPerdata, ditegaskan bahwa

223

H.M. Idris Ramulyo, Op.cit., hal. 126.

224

Pasal 1087 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

225

Pasal 1088 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

226

(22)

perhitungan inbreng hanya dilaksanakan untuk keperluan ahli waris lain, tidak

untuk keperluan legataris atau para kreditur dari orang yang meninggalkan harta

warisan.227 Menurut Pasal 1096 KUHPerdata, selain hibah-hibah yang harus

diperhitungkan, ada beberapa hal yang juga harus diperhitungkan dalam inbreng

yaitu sebagai berikut :

1. Segala ongkos untuk memberi suatu kedudukan pekerjaan, atau perusahaan kepada seorang ahli waris;

2. Pembayaran utang-utang dari ahli waris; dan

3. Segala sesuatu yang diberikan kepada seorang ahli waris sebagai bekal hidup setelah ia kawin. 228

Sebaliknya, dalam Pasal 1097 KUHPerdata dikatakan apa yang tidak

perlu diperhitungkan dalam inbreng yaitu sebagai berikut :

1. Biaya untuk nafkah dan pendidikan si ahli waris;

2. Biaya untuk belajar guna perdagangan, kerajinan tangan, dan perusahaan; 3. Biaya untuk menuntut ilmu atau pengajaran;

4. Biaya pada saat nikah dan untuk pakaian yang perlu untuk hidup setelah nikah (huwelijks ultzet); dan

5. Biaya untuk membayar orang yang menggantikan si ahli waris sebagai pewajib dalam pertahanan negara. 229

Inbreng dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu sebagai berikut :

1. Inbreng dalam wujud (in natura) ialah menyerahkan barang-barang hibah seperti wujudnya semula;

2. Inbreng dengan uang tunai ialah menyerahkan nilai barang dalam uang ke dalam harta peninggalan;

3. Inbreng dengan cara perhitungan, yaitu memperhitungkan apa yang telah diterima sebagai hibah dengan bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang bersangkutan, misalnya apabila bagian A dalam warisan adalah Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah) dan ia telah menerima hibah rumah tinggal seharga Rp. 4.000.000,- (empat juta Rupiah), maka ia

227

Oemarsalim, Op.cit., hal. 185-186.

228

Maman Suparman, Op.cit., hal. 152.

(23)

tinggal menerima Rp. 1.000.000,- (satu juta Rupiah) jika rumah itu diperhitungkan sebagai bagiannya. 230

Cara-cara yang dapat dipilih di atas tergantung pada siapa yang harus inbreng.

Selain itu, juga dengan melihat keadaan, misalnya hibah tadinya adalah tanah dan

di atasnya telah dibangun rumah, maka wajarlah bila dipilih cara perhitungan.231

Sehubungan dengan cara melakukan inbreng, perlu diperhatikan

beberapa pasal yakni sebagai berikut :

1. Menurut Pasal 1093 KUHPerdata yang menyatakan :

Benda tak bergerak boleh dimasukkan dengan cara mengembalikan dalam wujudnya pada saat diterima maupun dengan diperhitungkan harganya menurut harga pada saat diberikan. Kalau dipilih cara pengembalian dalam wujud semula maka si penerima hibah bertanggung jawab atas kemunduran nilai benda itu, apabila kemunduran itu karena salahnya serta si penerima hibah harus membersihkan beban-beban (misalnya sewa, hipotik) atas benda itu. Dalam hal yang sama, penerima hibah juga harus memberikan penggantian segala biaya yang perlu dikeluarkan untuk menyelamatkan benda yang bersangkutan, termasuk biaya pemeliharaan. 232

2. Menurut Pasal 1094 KUHPerdata yang berbunyi :

“Pemasukkan uang tunai dilakukan atas pilihan si yang memasukkan, yaitu boleh membayar jumlah uang tersebut, atau menyuruh mengurangi bagian warisannya dengan jumlah tersebut”. 233

3. Menurut Pasal 1095 KUHPerdata yang berbunyi :

“Pemasukkan benda-benda bergerak dilakukan atas pilihan si yang memasukkan ialah dengan mengembalikan harganya di kala pemberian dilakukan, atau dengan mengembalikan benda-benda tersebut dalam wujudnya”. 234

Adapun akibat hukum yang timbul terkait hibah dan hibah wasiat yang

melanggar bagian mutlak atau legitime portie legitimaris adalah dapat dilakukan

Pasal 1093 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

233

Pasal 1094 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

234

(24)

pemotongan (inkorting) terhadap hibah dan hibah wasiat tersebut. Dasar hukum

dapat dilihat pada Pasal 920 KUHPerdata yang berbunyi :

“Terhadap segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiatnya mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak (legitime portie) dalam warisan, bolehlah kelak dilakukan pengurangan bilamana warisan itu jatuh meluang, akan tetapi hanyalah atas tuntutan para ahli waris mutlak atau pengganti mereka”. 235

Pemotongan atas hibah-hibah dilakukan secara berjenjang yakni dimulai dengan

memotong hibah yang paling muda usianya. Kalau tidak cukup, barulah dipotong

hibah yang usianya setingkat lebih tua, demikian seterusnya, jika perlu sampai

pada hibah yang paling tua usianya.236 Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 924

KUHPerdata yang berbunyi :

“Segala hibah antara yang masih hidup sekali-kali tidak boleh dikurangi, melainkan apabila ternyata, bahwa segala barang-barang yang telah diwasiatkan tak cukup guna menjamin bagian mutlak dalam suatu warisan. Apabila kendati itu masih harus dilakukan pengurangan terhadap hibah-hibah antara yang masih hidup, maka pengurangan ini harus dilakukan mulai dari hibah yang terkemudian, lalu dari yang ini ke hibah yang lebih tua, dan demikian selanjutnya.” 237

Menurut Soerojo Wongsowidjojo, “pemotongan (inkorting) terjadi bila

bagian mutlak atau legitime portie tersinggung, kejadian ini bertentangan dengan

kemauan pewaris”. Hal ini untuk melindungi hak-hak para ahli waris yang berhak

atas bagian mutlak atau legitime portie. Undang-undang memberi wewenang

kepada para legitimaris untuk menuntut, agar diadakan pemotongan terhadap

235

Pasal 920 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

236

M.U. Sembiring, Op.cit., hal. 85.

237

(25)

hibah-hibah dan hibah wasiat, yang menyinggung bagian mutlak atau legitime

portie.238

Pemotongan (inkorting) dapat dilaksanakan dengan mengacu pada Pasal

914 KUHPerdata sampai dengan Pasal 916 a KUHPerdata. Urutan-urutan dari

pemotongan (volgorde der inkorting) adalah sebagai berikut :

1. Pemotongan dilakukan terhadap sisa harta peninggalan yang tidak ditegaskan oleh pewaris, yang tidak disebut dalam wasiat (perolehan secara

ab-intestato) dengan mempergunakan asas perimbangan;

2. Apabila belum cukup, kekurangan dipotong dari perolehan secara

testamentair,baik berupa hibah wasiat (legaat) maupun pengangkatan sebagai ahli waris (erfstelling). Pemotongan ini dilakukan dengan asas perimbangan; dan

3. Kalau pemotongan kesatu dan kedua belum mencukupi menutup bagian mutlak atau legitime portie, maka dilakukan pemotongan dari hibah-hibah yang telah dilakukan oleh pewaris pada waktu pewaris masih hidup. Pemotongan dilakukan bukan dengan asas perimbangan, melainkan berdasarkan jenjang usia hibah. Ini berarti pemotongan hibah dilakukan berurutan mulai dari hibah yang tanggalnya terdekat dengan pewaris pada waktu meninggalnya terus berlanjut sampai kekurangan legitime portie

terpenuhi. 239

Adapun terkait pemberian harta oleh seseorang atau pewaris kepada

pihak ketiga ada diatur pembatasannya dalam Pasal 916 a KUHPerdata. Oleh

karena itu perlu diketahui lebih rinci isi Pasal 916 a KUHPerdata yakni berbunyi

sebagai berikut :

“Dalam hal-hal, bilamana guna menentukan besarnya bagian mutlak harus diperhatikan adanya beberapa ahli waris, yang kendati menjadi ahli waris karena kematian, namun bukan ahli waris mutlak, maka apabila kepada orang-orang selain ahli waris tak mutlak tadi, baik dengan suatu perbuatan perdata antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat, telah dihibahkan barang-barang sedemikian banyak, sehingga melebihi jumlah yang mana, andaikata ahli waris tak mutlak tadi tidak ada, sedianya adalah jumlah terbesar yang diperbolehkan, dalam hal-hal demikian pun, haruslah hibah-hibah tadi mengalami

238

R.H. Soeroso Wongsowidjojo, Op.cit., hal. 16.

239

(26)

pemotongan yang demikian sehingga menjadi sama dengan jumlah yang diperbolehkan tadi, sedangkan tuntutan untuk itu haus dilancarkan oleh dan untuk kepentingan para ahli waris mutlak, beserta sekalian ahli waris dan pengganti mereka”. 240

Batasan yang diatur dalam Pasal 916 a KUHPerdata tersebut di atas

adalah bahwa pihak ketiga dikatakan tidak boleh menerima harta peninggalan

yang melanggar atau menyinggung bagian mutlak atau legitime portie ahli waris

mutlak atau legitimaris. Pewaris hanya boleh memberikan harta peninggalannya

dengan cara hibah, hibah wasiat, ataupun pengangkatan sebagai ahli waris dengan

jumlah yang tidak melebihi besarnya bagian mutlak atau legitime portie. Apabila

jumlah yang telah dihibahkan, dihibahwasiatkan kepada pihak ketiga melebihi

besar bagian mutlak atau legitime portie, maka jumlah tersebut dapat dipotong

(inkorting). Perlu diperhatikan bahwa menurut R. Soerojo Wongsowidjojo, untuk

menerapkan Pasal 916 a KUHPerdata diperlukan adanya tiga golongan ahli waris,

yakni ahli waris ab-intestato legitimaris, ahli waris ab-intestato bukan legitimaris,

dan pihak ketiga. Hal ini berarti pasal 916 a KUHPerdata hanya relevan jika

ketiga jenis ahli waris tersebut mewaris sekaligus.241

Selanjutnya Pasal 921 KUHPerdata menentukan bahwa benda yang

dihibahkan itu harganya ditaksir menurut keadaan benda itu ketika hibah terjadi,

akan tetapi menurut harga pada saat kematian. Ketentuan ini memerlukan

penjelasan lebih jauh terutama jika keadaan benda tersebut telah mengalami

perubahan. Misalnya benda yang dihibahkan berupa satu hektar tanah belukar

yang pada waktu dihibahkan berharga Rp 100.000,-. Kemudian, pada saat

240

Pasal 916 a Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

241

(27)

kematian penghibah atau pewaris, tanah tersebut karena diolah dan dikerjakan

oleh penerima hibah telah berubah menjadi tanah kebun buah-buahan yang

berharga Rp 40.000.000,- (empat puluh juta Rupiah). Taksiran harga tanah untuk

menetapkan besarnya bagian mutlak atau legitime portie bukan Rp 100.000,-

(seratus ribu Rupiah) ataupun Rp 40.000.000,- (empat puluh juta Rupiah),

melainkan harga tanah harus ditaksir pada saat kematian sekiranya tanah itu

belum berubah menjadi tanah kebun, tetapi masih tetap berupa tanah belukar. Hal

ini berarti perubahan yang diadakan oleh penerima hibah tidak diperhatikan dalam

melakukan penaksiran harga. Harga tanah ditaksir seakan-akan tanah belum

mengalami perubahan.242

Lain halnya jika perubahan status benda yang dihibahkan bukan karena

aktivitas penerima hibah, melainkan karena faktor-faktor eksternal (luar) diri

penerima hibah, maka harga benda yang dihibahkan mengikuti perubahan status

benda tersebut. Misalnya suatu bidang tanah karena keputusan pemerintah dalam

rangka perluasan kota telah dimasukkan dalam wilayah kotamadya dan statusnya

telah berubah menjadi tanah tapak perumahan. Harga tanah melambung tinggi

menjadi Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta Rupiah), padahal pada saat dihibahkan

harga tanah tersebut hanya Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta Rupiah). Terkait

dengan hal ini, patokan harga yang digunakan dalam menetapkan besarnya bagian

mutlak atau legitime portie adalah harga tanah perumahan pada saat kematian

yakni Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta Rupiah). Dasar pemikirannya karena

242

(28)

sekiranya tanah itu tidak dihibahkan akan terjadi juga perubahan status sehingga

tanah tersebut akan diwarisi sebagai tanah perumahan.243

Pemotongan atau inkorting dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai

berikut :

1. Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting)

Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting) disebut juga pemotongan tidak langsung. Pemotongan ini dilakukan dari bagian ahli waris yang tidak berhak atas bagian mutlak atau legitime portie dan pemotongan dari pemberian yang dilakukan dengan wasiat seperti hibah wasiat atau pengangkatan sebagai ahli waris. Pemotongan semu (oneigenlijke inkorting) dibagi dua yaitu :244

a. Pemotongan dari bagian ahli waris yang tidak berhak atas bagian mutlak atau legitime portie; dan

b. Hibah wasiat yang sudah dihitung tetapi belum diberikan, karena bagian mutlak atau legitime portie tersinggung, maka hibah wasiat itu dipotong dan jumlah potongan itu dipersamakan untuk menutup kekurangan bagian mutlak atau legitime portie.

2. Pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting)

Pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting) adalah pemotongan yang sungguh-sungguh dilaksanakan, seperti pemotongan hibah yang telah diberikan dan telah diterima. Si penerima hibah tersebut harus mengembalikan suatu jumlah untuk menutup bagian mutlak atau legitime portie. 245

Dari kedua jenis pemotongan di atas, pemotongan terhadap hibah termasuk

jenis pemotongan yang sebenarnya (eigenlijke inkorting). Hal ini karena

benda-benda yang dihibahkan telah diberikan atau dalam penguasaan penerima hibah

pada waktu penghibah masih hidup, sedangkan penuntutan ahli waris mutlak atau

legitimaris muncul pada saat penghibah meninggal dunia. Oleh karena itu,

diperlukan pemotongan yang sungguh-sungguh dilaksanakan dengan

pengembalian sejumlah tertentu untuk menutup bagian mutlak.

(29)

Lain halnya dengan hibah wasiat, pemotongan terhadap hibah wasiat

termasuk pemotongan semu karena barang-barang yang dihibahwasiatkan belum

diberikan atau belum berada dalam penguasaan penerima hibah wasiat (mengingat

hibah wasiat dilaksanakan pada saat pewaris meninggal dunia, sama waktunya

dengan penuntutan ahli waris mutlak atau legitimaris). Oleh karena itu,

pemotongan terhadap hibah wasiat dapat dilakukan dengan pemotongan terlebih

dahulu untuk menutup bagian mutlak atau legitime portie ahli waris mutlak atau

legitimaris baru diberikan sisanya (jika ada) kepada penerima hibah wasiat. Jadi,

penerima wasiat di sini tidak benar-benar mengembalikan bagian yang

diterimanya, melainkan menerima sisa bagiannya (jika ada) setelah dipotong

(30)

A. Disposisi Kasus Pelaksanaan Pemberian Hibah yang Melanggar Bagian Mutlak Atau Legitime Portie Dalam Putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg

Mengamati pencatatan di Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia, dapat diketahui bahwa masalah tentang warisan maupun pembagian

harta seringkali disengketakan oleh masyarakat di Indonesia. Hal ini terbukti dari

munculnya lebih dari 1500 (seribu lima ratus) sengketa waris dalam kurun waktu

2003-2015 dan lebih dari 70 (tujuh puluh) sengketa pembagian harta dalam kurun

waktu 2007-2015 yang diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.246

Baik masalah waris maupun masalah pembagian harta termasuk dalam ruang

lingkup sengketa perdata. Secara umum, definisi “sengketa perdata adalah suatu

perkara perdata yang terjadi antara pihak yang bersengketa yang di dalamnya

mengandung sengketa yang harus diselesaikan oleh kedua belah pihak”.247

Dari sekian banyak sengketa perdata terkait warisan dan pembagian harta,

yang akan diteliti dalam tesis ini adalah putusan sengketa perdata yang memiliki

relevansi dengan masalah hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau

legitime portie legitimaris (putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg). Secara

garis besar, kedudukan para pihak dalam putusan tersebut dirinci dalam skema

berikut ini :

246 “Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia”,

(http://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamah-agung/direktori/perdata), diakses tanggal 5 Mei 2016.

247

(31)
(32)

Pewaris dalam putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg bernama Ko Bing

Nio (selanjutnya disebut Almarhum), meninggal dunia di Semarang pada tanggal

13 Februari 2011. Semasa hidupnya, Almarhum pernah kawin dengan Go A Sing

dan dari perkawinannya, Almarhum dikaruniai 4 (empat) orang anak yakni Lany

Wibowo (selanjutnya disebut Penggugat II), Hendra Gunawan (selanjutnya

disebut Penggugat III), Go Kiem Lan (selanjutnya disebut Penggugat IV), dan

Sutadi Goyono (selanjutnya disebut Tergugat I). Go A Sing sendiri berstatus

Warga Negara Asing dan telah meninggal dunia sejak lama. Sebelum kawin

dengan Go A Sing, Almarhum sudah mempunyai seorang anak yang bernama Ko

Pien Tjoe (selanjutnya disebut Penggugat I). Penggugat I tersebut kedudukannya

telah diakui secara sah dengan Almarhum sebelum Almarhum kawin dengan Go

A Sing.246

Diketahui pula Almarhum meninggalkan satu anak kandung lagi yang

bernama Ratna Utomo (selanjutnya disebut Turut Tergugat II). Turut Tergugat II

tersebut diasuh dan dirawat (dibesarkan) oleh orang lain yang masih ada

hubungan keluarga dengan Almarhum. Selain itu, Almarhum ternyata juga ada

mengangkat seorang anak yang bernama Sugunto Komarudin (selanjutnya disebut

Turut Tergugat I).247

Objek sengketa dalam putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg adalah

tanah dan rumah yang berdiri di atasnya, sebagaimana tercantum dalam Sertifikat

Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum, setempat

246 “Putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg”,

(http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/bf61598b39662f97651ef3ef3963c063), diakses tanggal 23 Januari 2016, hal. 3.

(33)

kenal dengan Jalan Mataram/MT. Haryono Nomor 896, Kelurahan Peterongan,

Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang. Lebih rinci, tanah dan rumah di

atas tanah tersebut berbatasan dengan tembok kantor Taspen dan Hak Guna

Bangunan 197 (sebelah utara), tembok Hak Guna Bangunan 40 (sebelah timur),

tembok Hak Guna Bangunan 93 (sebelah selatan), dan Jalan MT. Haryono/Jalan

Mataram (sebelah barat).248 Selanjutnya, tanah tersebut diketahui berukuran seluas

lebih kurang 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) meter persegi dan

merupakan satu-satunya harta yang ditinggalkan oleh Almarhum.

Dari keterangan Para Penggugat dan Para Tergugat, diketahui bahwa objek

sengketa dikuasai atau ditinggali oleh Tergugat I dan anaknya yang bernama

Hendri Goyono (selanjutnya disebut Tergugat II) sejak mereka kecil. Semasa

hidup, Almarhum datang menghadap Tan Bian Tjong, Notaris di Semarang dan

membuat satu akta hibah wasiat terkait objek sengketa yakni akta Nomor 9

tertanggal 6 Maret 1999, yang berisi :

1. Almarhum menarik kembali dan menghapuskan semua testamen-testamen

dan akta-akta lain dengan kekuatan testamen yang dibuat sebelumnya dengan tidak ada yang dikecualikan;

2. Almarhum sebelum menikah dengan Go A Sing telah melahirkan dan mengakui Penggugat I dan dari perkawinannya dengan Go A Sing telah mempunyai anak yakni Penggugat II, Penggugat III, Penggugat IV, dan Tergugat I; dan

3. Almarhum memberikan hibah wasiat atau legaat kepada Tergugat I dan Tergugat I diangkat sebagai ahli waris tunggal, serta Penggugat III sebagai pelaksana hibah wasiat atau legaat. 249

248Ibid.,

hal. 3-4.

249Ibid.,

(34)

Akta hibah wasiat tersebut dibuat berbarengan dengan akta Nomor 10 tertanggal 6

Maret 1999 yang isinya adalah pernyataan persetujuan dan pelepasan hak atas

objek sengketa oleh Para Penggugat.

Selanjutnya, sebelum meninggal dunia, Almarhum membuat lagi akta

hibah wasiat di hadapan Alexander Wahyu Permana, (selanjutnya disebut Turut

Tergugat III), notaris pengganti pada kantor notaris Tan Bian Tjong, di Semarang,

yakni akta Nomor 1 tertanggal 29 Maret 2003. Akta hibah wasiat tersebut isinya

adalah sebagai berikut :

1. Menarik kembali dan menghapuskan semua testamen-testamen dan akta-akta lain dengan kekuatan testamen yang dibuat sebelum testamen ini, dengan tidak ada yang dikecualikan;

2. Memberikan hibah wasiat atau legaat kepada Tergugat I dan Tergugat II terhadap objek sengketa; dan

3. Mengangkat Penggugat III sebagai pelaksana testamen. 250

Sekitar bulan Mei 2012, terjadi perselisihan mengenai pembagian harta

peninggalan Almarhum antara Para Penggugat (khususnya Penggugat III) dengan

Tergugat I, karena Tergugat I berniat menjual objek sengketa kepada pihak lain.

Para Penggugat di sini menghendaki jika objek sengketa akan dijual, maka salah

satu ahli waris dapat membelinya bukan oleh pihak lain.251 Dari sini, Para

Penggugat beranggapan bahwa Tergugat I bertindak seenaknya saja seolah ia

berhak sepenuhnya atas objek sengketa. Oleh karena itu, Para Penggugat

kemudian menyatakan keberatan atas akta hibah wasiat yang dibuat oleh

Almarhum dan berniat menuntut pembatalan atas akta hibah wasiat tersebut.

250Ibid.,

hal. 30-31.

251Ibid.,

(35)

Tergugat I dan Penggugat III sepakat untuk menyerahkan sertifikat atas

objek sengketa kepada Turut Tergugat II sambil menunggu musyawarah mufakat

seluruh keluarga dari Almarhum. Turut Tergugat II dianggap sebagai pihak yang

netral serta dapat dipercaya oleh Tergugat I dan Para Penggugat. Bagi Tergugat I,

Turut Tergugat II adalah kakak kandung yang banyak menolong Tergugat I dan

keluarganya berada dalam keadaan yang baik dari masalah keuangan, kesehatan,

dan masalah lainnya.252

Selanjutnya pada bulan Juni 2012, setelah beberapa kali melakukan

musyawarah, maka keluarga Almarhum mencapai kata sepakat atas pembagian

harta peninggalan Almarhum. Hasilnya adalah harta peninggalan Almarhum

dibagi seluruhnya kepada keluarga besar Almarhum yakni Para Penggugat, Para

Tergugat, Turut Tergugat I, dan Turut Tergugat II dengan pembagian Tergugat I

dan Tergugat II mendapatkan 40% (empat puluh persen), sedangkan Para

Penggugat, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II masing-masing mendapat 10%

(sepuluh persen). Hal tersebut dinyatakan secara tegas di bawah sumpah di

hadapan Tan Bian Tjong, Notaris di Semarang, sebagaimana ternyata dalam akta

Nomor 1 tertanggal 29 Juni 2012 mengenai Keterangan.253

Pada bulan Februari 2013, Tergugat I berubah pikiran sehingga ia

menghendaki seluruh harta peninggalan Almarhum serta meminta kembali

sertifikat atas objek sengketa dari Turut Tergugat II. Menanggapi perbuatan

Tergugat I, Penggugat III menyatakan keberatan jika sertifikat atas objek sengketa

diserahkan kepada Tergugat I dan menghendaki kalau sertifikat atas objek

252Ibid.,

hal. 6.

(36)

sengketa tetap berada pada Turut Tergugat II. Oleh karena itu, pada tanggal 27

Maret 2013, Tergugat I melaporkan Turut Tergugat II ke Kepolisian Resort Kota

Besar Semarang, dengan sangkaan melakukan tindak pidana penggelapan

sebagaimana ternyata dalam laporan polisi Nomor LP/B/521/III/2013 tertanggal

27 Maret 2013. Dengan laporan Tergugat I, Penggugat III dan Turut Tergugat II

dipanggil polisi untuk diperiksa.254

Para Penggugat dan Para Turut Tergugat telah berusaha menyelesaikan

perkara dengan sebaik-baiknya dengan Para Tergugat, namun tidak berhasil,

sehingga cara terakhir yang dapat ditempuh oleh Para Penggugat adalah dengan

mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Semarang. Untuk

mengantisipasi tindakan Para Tergugat yang secara nyata berusaha untuk menjual

atau mengalihkan objek sengketa kepada pihak lain, maka Penggugat memohon

juga agar terhadap objek sengketa diletakkan sita jaminan sehingga gugatan yang

diajukan Para Penggugat tidak sia-sia.

Dalam gugatannya, Para Penggugat meminta petitum yaitu sebagai

berikut:

1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat seluruhnya;

2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas objek sengketa yaitu tanah dan rumah yang berdiri di atasnya, sebagaimana ternyata dalam Sertifikat Nomor 318/Peterongan, Kelurahan Peterongan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, seluas lebih kurang 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) meter persegi;

3. Menyatakan batal demi hukum testamen Almarhum yang dibuat oleh atau di hadapan Turut Tergugat III, notaris pengganti pada kantor notaris Tan Bian Tjong, di Semarang sebagaimana akta Nomor 1 tertanggal 29 Desember 2003 mengenai testamen dan akta Nomor 10 tertanggal 6 Maret 1999 tentang menyatakan persetujuan dan pelepasan hak atas Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum;

254Ibid.,

(37)

4. Menyatakan Para Penggugat, Tergugat I, Turut Tergugat I, dan Turut Tergugat II adalah ahli waris dari Almarhum;

5. Menyatakan sah dan berdasar hukum keterangan Tergugat I dan Tergugat II di hadapan Tan Bian Tjong, Notaris di Semarang sebagaimana ternyata dalam akta Nomor 1 tertanggal 29 Juni 2012 mengenai Keterangan;

6. Menyatakan objek sengketa, yaitu tanah dan rumah yang berdiri di atasnya, sebagaimana ternyata dalam Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum, setempat kenal dengan Jalan Mataram/MT. Haryono Nomor 896, Kelurahan Peterongan, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, seluas lebih kurang 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) meter persegi adalah satu-satunya harta peninggalan Almarhum yang belum dibagi;

7. Menyatakan sah dan berdasar hukum Para Penggugat, Turut Tergugat I, dan Turut Tergugat II berhak atas bagian objek sengketa masing-masing 10% (sepuluh persen) sedangkan bagian Para Tergugat 40% (empat puluh persen) dari objek sengketa;

8. Menyatakan sah dan berdasar hukum keberadaan sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum dikuasai oleh Turut Tergugat II;

9. Menyatakan tindakan Tergugat I yang menyatakan satu-satunya yang berhak atas objek sengketa dan meminta sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 318/Peterongan atas nama Almarhum dari Turut Tergugat II dengan melaporkan Turut Tergugat II ke Kepolisian Resort Kota Besar Semarang sebagaimana ternyata dalam laporan polisi Nomor LP/B/521/III/2013 tertanggal 27 Maret 2013 adalah perbuatan melawan hukum;

9a. Menghukum Para Tergugat atau pihak ketiga yang mendapatkan hak dari Para Tergugat untuk mengosongkan objek sengketa dan selanjutnya dibagi sebagaimana bagian dalam petitum 7;

10.Menghukum Para Turut Tergugat untuk tunduk dan patuh atas putusan ini; 11.Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada

upaya hukum, banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali (uit voerbaar bij voorraad); dan

12.Menghukum Para Tergugat untuk membayar semua biaya perkara. 255

Inti dari petitum yang diminta Para Penggugat adalah meminta pembatalan dua

akta hibah wasiat yang dibuat oleh Almarhum serta mendapat bagian dari harta

warisan Almarhum.

Terkait dengan dalil-dalil gugatan Para Penggugat di atas, Para Tergugat

mengajukan beberapa jawaban. Dalam eksepsi, Para Tergugat menyatakan bahwa

255Ibid.,

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan kesiapan siswi menghadapi menarche dengan nilai P= 0,46 > α = 0.05 dan tidak ada hubungan

SUTAEDI: “PENGARUH KEGIATAN EKSTRA KURIKULER KEAGAMAAN TERHADAP PERILAKU KESEHARIAN MURID SEKOLAH DASAR (SD) NEGERI SUKARASA KECAMATAN DARMA KABUPATEN

berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dalam kelompok kecil dengan jumlah anggota didalamnya dua

Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi berprestasi dan perencanaan pilihan karier peserta didik pada kelompok eksperimen yang mendapat perlakuan berupa

Teknik sipil adalah salah satu cabang ilmu yang.. mempelajari tentang merancang, membangun dan

Evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantauan dilaksanakan secara berkala dan terus

Sedangkan pekerja freelance yang hanya bekerja merangkai bunga merasa tidak puas dengan imbalan yang telah ditetapkan oleh pemilik usaha karena mereka hanya dapat

Perjanjian kerja dibuat pada dasarnya juga menetapkan ketentuan yang sama dengan ketentuan dinas, hal itu ditegaskan dalam pasal 416 KUHDagang yang berbunyi ; “ apabila