• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Putusan Hakim Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg Terkait Penghibahan Seluruh Harta Warisan Oleh Pewaris yang Melanggar

Bagian Mutlak Atau Legitime Portie Ahli Waris

Secara garis besar, putusan hakim terkait penghibahan seluruh harta warisan oleh Almarhum yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie

legitimaris sebagaimana ternyata dalam putusan Nomor 188/Pdt.G/2013/PN.Smg adalah membatalkan akta hibah wasiat yang dibuat oleh Almarhum dan kemudian membagi seluruh harta warisan Almarhum secara merata kepada ahli waris ab- intestato. Hal ini karena gugatan dari Para Penggugat bukanlah meminta bagian mutlak atau legitime portie melainkan meminta pembatalan akta hibah wasiat yang dibuat oleh Almarhum. Mengacu pada ketentuan dalam KUHPerdata yakni Pasal 920 KUHPerdata, putusan hakim yang membatalkan akta hibah wasiat yang dibuat oleh Almarhum dianggap kurang tepat.268 Hal ini karena KUHPerdata sendiri memberikan solusi penggunaan inkorting atau pemotongan bagi hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie bukan dengan ancaman kebatalan seperti yang diputuskan oleh hakim.

Kebatalan berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi dua jenis yaitu kebatalan mutlak dan kebatalan relatif. R. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa :

“Suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid) adalah pembatalan yang terjadi tanpa diminta oleh suatu pihak dan harus dianggap tidak pernah ada sejak semula dan terhadap siapapun juga, sedangkan pembatalan relatif (relatief nietigheid) yaitu pembatalan yang hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu itu.” 269

268

Hasil Wawancara dengan Rosniaty Siregar, Notaris di Medan, dilakukan tanggal 1 Juni 2016.

269

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan : Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 142.

Pembatalan mutlak (absolute nietigheid) dan pembatalan relatif (relatief nietigheid) secara berurutan dalam praktik lebih dikenal dengan sebutan batal demi hukum (nietigheid) dan dapat dibatalkan (vernietigbaarheid).

Pelanggaran bagian mutlak atau legitime portie tidak mengakibatkan hibah wasiat menjadi batal demi hukum (nietigheid), melainkan hanya dapat dimintakan pembatalannya (vernietigbaarheid) secara sederhana sehingga akta hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie tetap dianggap sah sampai legitimaris menggugatnya. Dalam putusan hakim, meskipun akta hibah wasiat dinyatakan batal demi hukum, namun dalam tataran praktik pembatalan akta hibah wasiat perlu diajukan gugatan pembatalannya ke pengadilan.270 Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kesewenang-wenangan pembatalan akta hibah wasiat dengan sendirinya atau otomatis sehingga timbul kerusuhan (chaos) antara para ahli waris.

Permintaan pembatalan secara sederhana suatu akta hibah wasiat artinya apabila legitimaris menuntut haknya (bagian mutlak atau legitime portie) dalam hibah wasiat dan tidak menerima pelanggaran yang termuat dalam hibah wasiat, maka ketetapan-ketetapan dalam hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau

legitime portie–nya tidak dapat dijalankan. Lebih detail, hibah wasiat yang dimaksud bukannya batal dan legitimaris kemudian berhak atas semua harta warisan dan pihak-pihak yang mewaris dalam hibah wasiat juga batal, melainkan pihak-pihak yang mewaris dengan hibah wasiat tetap berkedudukan sebagai ahli

270

Hery Shietra, Akta Wasiat/Hibah Wasiat yang Melanggar Hak Mutlak Ahli Waris (Legitime Portie), Tetap Sah Sepanjang Tidak Terdapat Pembatalan Dari Ahli Waris Sah yang Haknya Atas Warisan Berdasarkan Hukum Berkurang Akibat Akta Tersebut, (https://hery- shietra.blogspot.com/2015/07/akta-wasiat-hibah-wasiat-yang-melanggar.html), diakses tanggal 11 Februari 2016.

waris, yang batal hanyalah ketetapan-ketetapan terhadap bagian dalam hibah wasiat yang telah melanggar bagian mutlak atau legitime portie.271 Setelah ketetapan-ketetapan yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie tersebut dibatalkan, legitimaris mendapatkan bagian mutlak atau legitime portie-nya dengan cara melakukan inkorting atau pemotongan terhadap bagian yang diberikan kepada pihak-pihak yang mewaris dalam hibah wasiat.

Agar sesuai dengan peraturan yang berlaku (Pasal 920 KUHPerdata), seharusnya hakim memutuskan penggunaan inkorting atau pemotongan untuk memenuhi bagian mutlak atau legitime portie para legitimaris. Sebagai tambahan, penggunaan inkorting atau pemotongan juga dianggap lebih memenuhi rasa keadilan pihak-pihak yang bersangkutan yakni penerima hibah wasiat dan para legitimaris. Bagi para legitimaris akan didapat bagian tertentu yang merupakan bagian mutlak atau legitime portie-nya, sedangkan bagi penerima hibah wasiat akan didapat sisa bagian setelah dipotong bagian mutlak atau legitime portie

legitimaris. Tindakan pembatalan semata-mata jika dicermati lebih dalam hanya mempertimbangkan kepentingan salah satu pihak yakni legitimaris, sedangkan di sisi lain penerima hibah wasiat menjadi dirugikan karena tidak mendapatkan sama sekali harta yang seharusnya diwasiatkan untuknya.

Terkait masalah pembagian harta warisan Almarhum, hakim memutuskan bahwa oleh karena akta hibah wasiat dibatalkan, maka warisan hanya dibagikan kepada ahli waris ab-intestato yakni Para Penggugat dan Tergugat I dengan besar

271

Andreas Prasetyo Senoadji, Tesis Penerapan Legitime Portie (Bagian Mutlak) Dalam Pembagian Waris Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata : Studi Kasus Putusan

Mahkamah Agung Reg. No.

148/PK/Perd/1982,(https://core.ac.uk/download/files/379/11716308.pdf), diakses tanggal 1 Maret 2016, hal. 77.

masing-masing 1/5 (seperlima) bagian. Adapun menurut pertimbangan hakim, Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II yang masing-masing berkedudukan sebagai anak angkat dan anak kandung tidak mendapat pembagian warisan karena tidak adanya bukti yang cukup untuk membuktikan keterkaitannya dengan Almarhum. Pertimbangan hakim seperti itu sudah tepat melihat tindakan pihak Para Penggugat yang tidak memberikan bukti yang lengkap dan kuat seperti dengan melampirkan akta kelahiran, akta pengangkatan anak, dan lain sebagainya yang terkait sehingga sudah seharusnya hakim meragukan kedudukan Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II sebagai anak Almarhum. Konsekuensinya adalah Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II tidak dapat dianggap berkedudukan sebagai ahli waris Almarhum.

Jika seandainya ada bukti yang lengkap, maka kedudukan Turut Tergugat II yang merupakan anak sah Almarhum pasti berhak atas warisan Almarhum. Begitu juga dengan Turut Tergugat I meskipun berkedudukan sebagai anak angkat tetapi memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung (Pasal 12 jo Pasal 14

Staatsblad 1917 Nomor 129)272, begitu pula dengan hak mewaris. Perlu dipahami meskipun kedudukan hukum anak angkat sama dengan anak kandung, namun anak angkat tidak dikatakan memiliki hak atas bagian mutlak atau legitime portie.

Hal ini karena untuk memiliki hak atas bagian mutlak atau legitime portie,

seseorang harus memiliki hubungan darah lurus ke atas atau ke bawah dengan

272

Almarhum (berdasarkan Pasal 914 KUHPerdata, Pasal 915 KUHPerdata, dan Pasal 916 KUHPerdata). Syarat inilah yang tidak dimiliki oleh anak angkat.273

Jika dikaitkan dengan penerapan inkorting atau pengurangan, maka hakim seharusnya memutuskan untuk membagi harta warisan Almarhum kepada legitimaris yakni Para Penggugat sebesar bagian mutlak atau legitime portie-nya saja dan sisa harta tersebut diberikan kepada penerima hibah wasiat (Tergugat I dan Tergugat II).274 Lebih detail untuk mengetahui berapa besar bagian mutlak atau legitime portie para legitimaris, maka terlebih dahulu perlu diteliti secara jelas kedudukan atau keterkaitan para legitimaris dengan Almarhum. Dalam uraian putusan terdapat beberapa kelemahan di mana tidak diketahui secara jelas bagaimana status perkawinan antara Almarhum dengan suaminya (Go A Sing) yang merupakan Warga Negara Asing275 sehingga untuk menganalisisnya diperlukan perumpamaan menjadi 2 (dua) kondisi.

Jika perkawinan keduanya tidak didaftarkan sehingga tidak sah, maka kedudukan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut yakni Penggugat II, Penggugat III, Penggugat IV, Tergugat I sama dengan kedudukan Penggugat I yaitu sebagai anak luar kawin yang diakui (selanjutnya disebut kondisi I). Berdasarkan Pasal 280 KUHPerdata, oleh karena Almarhum mengakui anak luar kawinnya, maka timbul hubungan perdata antara Almarhum dengan anak tersebut sehingga anak luar kawin yang diakui tersebut berkedudukan sebagai ahli waris yang berhak atas warisan Almarhum. Dalam kasus, jika diumpamakan sesuai

273

Hasil Wawancara dengan Rosniaty Siregar, Notaris di Medan, dilakukan tanggal 1 Juni 2016.

274Ibid.

kondisi I, berdasarkan Pasal 873 KUHPerdata, anak luar kawin berhak mendapatkan seluruh harta warisan apabila Almarhum tidak meninggalkan ahli waris yang sah (golongan I sampai IV). Dengan begitu, secara ab-intestato, harta warisan Almarhum dibagi kepada masing-masing anak luar kawin yang diakui dengan bagian yang sama besar.

Lain halnya jika perkawinan Almarhum dengan suaminya (Go A Sing) sah terdaftar di Kantor Catatan Sipil di Indonesia (selanjutnya disebut kondisi II), maka yang menjadi ahli waris Almarhum adalah anak-anak sah Almarhum yakni Penggugat II, Penggugat III, Penggugat IV, Tergugat I serta anak luar kawin yang diakui yakni Penggugat I. Dasar hukum penetapan ahli waris Almarhum dapat dilihat pada Pasal 280 KUHPerdata dan Pasal 852 KUHPerdata. Besar bagian ab- intestato anak luar kawin yang diakui dari Almarhum berdasarkan Pasal 863 KUHPerdata adalah 1/3 (sepertiga) dari bagian yang didapat seandainya ia adalah anak sah. Selanjutnya, besar bagian ab-intestato anak-anak sah Almarhum adalah sisanya dibagi rata per kepala setelah dikurangi bagian anak luar kawin yang diakui.

Dalam perumpamaan kondisi I, besar bagian ab-intestato anak luar kawin yang diakui (Penggugat I, Penggugat II, Penggugat III, Penggugat IV, dan Tergugat I) masing-masing adalah 1/5 (seperlima) bagian (berdasarkan Pasal 873 KUHPerdata). Berbeda dengan perumpamaan kondisi I, untuk perumpamaan kondisi II, bagian ab-intestato anak luar kawin yang diakui dari Almarhum (Penggugat I) adalah 1/3 (sepertiga) kali 1/5 (seperlima) menjadi sebesar 1/15 (satu per lima belas) bagian (berdasarkan Pasal 863 KUHPerdata). Besar bagian

ab-intestato anak sah Almarhum (Penggugat II, Penggugat III, Penggugat IV, dan Tergugat I) masing-masing adalah 14/15 (empat belas per lima belas) dibagi 4 (empat) yakni sebesar 14/60 (empat belas per enam puluh) bagian (berdasarkan Pasal 852 KUHPerdata).

Almarhum dalam kasus ternyata membuat akta hibah wasiat Nomor 9 tanggal 6 Maret 1999 yang telah dicabut dengan akta hibah wasiat Nomor 10 tanggal 29 Desember 2003 yang isinya menghibahkan objek sengketa yang merupakan harta satu-satunya dari Almarhum kepada anak kandung (Tergugat I) dan cucunya (Tergugat II) dan menunjuk Penggugat III sebagai pelaksana wasiat atau testamen. Tindakan Almarhum dikategorikan sebagai tindakan mewaris yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie legitimaris dan ternyata beberapa dari legitimaris tersebut menuntut haknya agar dipenuhi (Pasal 913 KUHPerdata). Legitimaris dalam kasus tersebut adalah Penggugat I, Penggugat II, Penggugat III, Penggugat IV, dan Tergugat I.

Jika dikaitkan dengan perumpamaan kondisi I, maka legitimaris yang menuntut adalah Penggugat I, Penggugat II, Penggugat III, dan Penggugat IV, kesemuanya berkedudukan sebagai anak luar kawin yang diakui. Mengacu pada Pasal 916 KUHPerdata, maka besar bagian mutlak atau legitime portie legitimaris masing-masing adalah ½ (setengah) kali 1/5 (seperlima) menjadi sebesar 1/10 (sepersepuluh) bagian. Kemudian, besar bagian Tergugat I dan Tergugat II maing- maing sebagai penerima hibah wasiat adalah sisa harta setelah dikurangi bagian mutlak atau legitime portie legitimaris yang menuntut yaitu sebesar 6/20 (enam per dua puluh) bagian.

Jika dikaitkan dengan perumpamaan kondisi II, maka legitimaris yang menuntut adalah sama dengan legitimaris dalam perumpamaan kondisi I. Namun legitimaris yang menuntut dalam kondisi II kedudukannya ada yang tidak sama yakni Penggugat I (anak luar kawin yang diakui) serta Penggugat II, III, IV (anak kandung). Besar bagian mutlak atau legitime portie Penggugat I adalah ½ (setengah) kali 1/15 (seperlima belas) menjadi sebesar 1/30 (sepertiga puluh) bagian (berdasarkan Pasal 916 KUHPerdata). Selanjutnya besar bagian mutlak atau legitime portie Penggugat II, III, dan IV masing-masing adalah ¾ (tiga per empat) kali 14/60 (empat belas per enam puluh) menjadi sebesar 14/80 (empat belas per delapan puluh) bagian (berdasarkan 914 KUHPerdata). Sisa harta setelah dikurangi bagian mutlak atau legitime portie merupakan hak Tergugat I dan Tergugat II sebagai penerima hibah wasiat Almarhum, dengan masing-masing mendapatkan 53/240 (lima puluh tiga per dua ratus empat puluh) bagian.

Oleh karena objek sengketa merupakan sebidang tanah yang merupakan barang tidak bergerak, maka penerima hibah wasiat bisa saja memberikan uang tunai sebagai pengganti bagian mutlak atau legitime portie legitimaris.276 Terkait dengan hal ini, objek sengketa perlu ditaksir terlebih dahulu nilainya agar dapat dibagi sesuai porsi masing-masing. Pemberian uang tunai untuk memenuhi porsi legitimaris dalam rangka diterapkannya inkorting atau pengurangan dilakukan dengan tujuan agar tanah warisan (barang tidak bergerak) tidak seenaknya saja dibagi-bagi sesuai porsi para legitimaris sehingga mungkin saja mengakibatkan terganggunya rencana tata ruang yang berlaku. Perlu diketahui bahwa pemecahan

atau pemisahan tanah (barang tidak bergerak) harus berpedoman pada Pasal 48 dan Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 serta Pasal 133 dan Pasal 134 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997.277

277

Pasal 48 dan Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 serta Pasal 133 dan Pasal 134 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997.

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu, maka selanjutnya dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan hibah dan hibah wasiat dalam KUHPerdata dapat dijumpai dalam Buku yang berbeda. Hibah dalam KUHPerdata dikategorikan dalam hukum perikatan yakni Buku Ketiga Bab X, terdiri dari ketentuan umum (Pasal 1666-1675); tentang kecakapan untuk memberikan sesuatu sebagai hibah, dan untuk menikmati keuntungan suatu hibah (Pasal 1676-1681); tentang cara menghibahkan sesuatu (Pasal 1682-1687); serta tentang penarikan dan penghapusan hibah (Pasal 1688-1693). Berbeda dengan hibah, hibah wasiat dalam KUHPerdata dikategorikan dalam hukum kebendaan yakni Buku Kedua Bab XIII Bagian VI (Pasal 957-972). Beberapa ketentuan tersebut perlu disempurnakan lagi agar lebih jelas dan adil dalam pelaksanaannya, misalnya tentang batasan maksimal harta peninggalan yang boleh dihibah atau dihibahwasiatkan oleh pewaris,

2. Akibat hukum yang dapat ditimbulkan terkait hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie ada 2 (dua) jenis tergantung pada tindakan legitimaris. Jika legitimaris tidak mengajukan keberatan, maka tindakan hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie dianggap tetap sah dan dijalankan. Lain halnya jika legitimaris menuntut haknya, maka ketetapan dalam hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie tidak dapat dijalankan dan mengacu pada Pasal 920 KUHPerdata, bagian yang diterima oleh

yang memiliki relevansi dengan masalah hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie legitimaris. Dalam kasus tersebut, hakim memutuskan untuk membatalkan akta hibah wasiat yang dibuat oleh Almarhum dan kemudian membagi harta warisan Almarhum hanya kepada ahli waris ab-intestato saja. Putusan seperti itu dianggap kurang tepat karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 920 KUHPerdata yang memberikan solusi penggunaan inkorting atau pemotongan untuk hibah dan hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie. Sebaiknya, hakim memutuskan untuk dilakukan inkorting atau pengurangan dalam rangka menerapkan ketentuan Pasal 920 KUHPerdata serta untuk memenuhi rasa keadilan pihak penerima hibah wasiat dan legitimaris. Keadilan pihak penerima hibah wasiat tidak akan terpenuhi bahkan lebih parahnya dirugikan jika diputuskan pembatalan akta hibah wasiat karena penerima hibah wasiat secara otomatis sama sekali tidak mendapat bagian yang seharusnya diterimanya dengan hibah wasiat.

B. Saran

Berdasarkan rumusan yang terdapat dalam pembahasan dan kesimpulan, maka selanjutnya dapat disarankan hal-hal sebagai berikut :

1. Dalam memutus sengketa pewarisan yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie

legitimaris, sebaiknya hakim menerapkan penggunaan inkorting atau pemotongan agar sesuai dengan Pasal 920 KUHPerdata serta memenuhi rasa keadilan dari pihak penerima hibah atau hibah wasiat yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie secara

sehingga efeknya merugikan pihak penerima hibah atau hibah wasiat tersebut.

2. Terkait dengan banyaknya tindakan pewaris yang melakukan pewarisan yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie legitimaris, maka sebaiknya notaris yang berperan membantu pembuatan akta hibah dan akta wasiat, dapat memberikan edukasi kepada kliennya terlebih dahulu. Hal ini karena kadang klien yang datang ke notaris tidak memahami ketentuan pewarisan yang diatur oleh peraturan yang berlaku. Dengan demikian, di sinilah peran penting notaris untuk menyadarkan kliennya sehingga ke depannya dapat mengurangi munculnya akta pewarisan yang melanggar ketentuan yang berlaku.

3. Notaris sebaiknya lebih cermat dan hati-hati menghadapi kliennya yang terkadang beritikad buruk menipu notaris sehingga muncullah akta pewarisan yang melanggar bagian mutlak atau legitime portie. Dengan demikian, pihak notaris dapat terhindar dari kemungkinan pembatalan akta yang dibuatnya serta pihak-pihak terkait lainnya tidak berselisih dan dirugikan haknya.