ANALISIS KADAR DEBU JATUH (DUST FALL)
DI KOTA BANDA ACEH
TAHUN 2008
T E S I S
Oleh
JUNAIDI
057004010/PSL
S
E K O L AH
P A
S C
A S A R JA
NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS KADAR DEBU JATUH (DUST FALL)
DI KOTA BANDA ACEH
TAHUN 2008
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
JUNAIDI
057004010/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS KADAR DEBU JATUH (DUST FALL) DI KOTA BANDA ACEH TAHUN 2008
Nama Mahasiswa : Junaidi Nomor Pokok : 057004010
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Harlem Marpaung) Ketua
(Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS) Anggota
(Drs. Chairuddin, M.Sc) Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal : 11 Mei 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Harlem Marpaung
Anggota : 1. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS
2. Drs. Chairuddin, M.Sc
3. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc
ABSTRAK
Ada empat parameter debu yaitu: partikel materi < 10 m (Pm10), partikel
materi ukuran > 2,5 m (Pm2,5), TSP dan debu jatuh. Permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh tsunami terhadap kadar debu daerah yang terkena tsunami maupun yang tidak terkena tsunami. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa kadar debu jatuh pada daerah tsunami dan yang tidak terkena tsunami di Kota Banda Aceh. Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah perbedaan kadar debu jatuh yang terkena tsunami dibandingkan dengan daerah yang tidak terkena tsunami. Ada perbedaan kandungan Pb dan perbedaan parameter DHL, TDS, dan TSS di daerah tsunami dan daerah yang tidak terkena tsunami.
Berdasarkan jenis penelitian, penelitian ini merupakan jenis eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kadar debu di Kota Banda Aceh. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel independen terdiri dari kadar debu, kadar Pb, parameter pH, DHL, TDS, dan TSS, serta variabel dependen yaitu daerah yang terkena tsunami.
Alat uji statistik yang digunakan untuk menganalisa data dalam penelitian ini adalah uji Anova dengan uji lanjut Duncan 5%. Pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen diuji dengan uji F dan uji t pada tingkat kepercayaan (confidence level) 95% atau significant level α = 0,05. Setelah sampel diambil di lapangan, dianalisa di laboratorium kimia analitik FMIPA USU untuk parameter kadar debu pH, DHL, TDS dan TSS dan kandungan Pb di laboratorium sentral Fakultas Pertanian USU Medan.
Hasil uji serempak dalam penelitian ini terdapat pengaruh yang sangat nyata dari kadar debu pada titik 3 minggu pertama yaitu 0,5873 g/m2/hari yaitu melebihi ambang batas daerah pemukiman sebesar 0,333 g/m2/hari. Sedangkan kadar Pb tidak melebihi ambang batas yang telah ditetapkan yaitu sebesar 0,06 mg/m2.
Hendaknya Pemerintah membatasi tahun operasional kendaraan bermotor yang tak layak uji petik tidak diizinkan operasional di jalan raya sehingga dapat mengurangi kadar Pb diudara. Penghijauan perlu dilakukan untuk mengurangi kadar debu dan kadar Pb diudara dengan memilih pohon yang ditanam dapat mengurangi kadar debu jatuh dan kadar Pb.
ABSTRACT
There are four dust parameters, they are: material particle < 10 m (Pm10),
material particle with size > 2,5 m (Pm2,5), TSP and dust-fall. The problem pointed
in this research is how the affect of tsunami to the dust-fall value both the area suffering tsunami and do not. This research is aimed to know how many the dust-falls in both areas in Banda Aceh Town. The hypothesis in this research is the discriminate of dust-fall value in area suffering Tsunami and unsuffering. There is difference of Pb contents and DHL, TDS and TSS parameters in area suffering tsunami and unsuffering.
According to the type of research, then this research is experiment type. The population in this research is total of dust-falls value in Banda Aceh Town. The variable in this research are independent variable consist of dust value, Pb value, pH, DHL, TDS and TSS parameters, and dependent variable that is the area suffering tsunami.
Statistical test media is to be used in order to analyze data in this research is Anova test with Duncan continued test 5%. The impact of independent variable to dependent variable is tested with F and t tests in confidence level 95% or significant level α = 0.05. After the sample is taken from the field, then, it is analyzed in the analytic chemical laboratory of FMIPA USU for the parameter of pH, DHL, TDS and TSS dust-fall values and Pb contents in central laboratory of the Agriculture Department in North Sumatra University.
The uniform test result in this research, there is very significant impact gaining from dust values in point early 3 weeks, they are 0.5873 g/m2/day, it is in excess of threshold in living territory for 0.333 g/m2/day. While Pb content do not excess of threshold that has been determined is for 0.06 mg/m2.
It is expected that the Government limit the operational lisence of vehicles in order to reduce Pb value at the athmosphere. The reforestation must be performed to minimize both dust and Pb values.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya, penulisan
tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Tesis yang berjudul “Analisis Kadar Debu
Jatuh (Dust Fall) di Kota Banda Aceh Tahun 2008” ini diharapkan dapat
bermanfaat dalam membantu Pemerintah Daerah untuk mengurangi kadar debu
di kawasan Kota Banda Aceh.
Banyak pihak yang memberi bantuan moral maupun materil selama proses
pembuatan tesis berlangsung, oleh karena itu ungkapan terima kasih yang
sedalam-dalamnya ditujukan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU
Medan.
2. Prof. Dr. Harlem Marpaung, sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang memberi
banyak masukan sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
3. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS, sebagai Pembimbing II yang seikhlas hati
memberi kelapangan waktu dalam berdiskusi bagi kesempurnaan tesis ini.
4. Drs. Chairuddin, MSc, sebagai Pembimbing III atas kesabaran dan perhatiannya
secara terus-menerus sehingga penulis mampu menyelesaikan dan
menyempurnakan tesis ini.
5. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H, M.S, sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana USU.
6. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, sebagai Sekretaris Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana USU.
7. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc dan Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S selaku Dosen
Penguji yang telah banyak memberikan masukan yang berharga tentang materi
8. Seluruh staf pengajar dan pegawai Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana USU yang telah banyak membantu dalam
proses perkuliahan maupun kelancaran administrasi.
9. Teman-teman PSL Angkatan 2005, Syamsul, Eka, Edo, Pinem, Sagala, Lita, Ira,
Uci, Gunmas, Endi dan lain-lain yang tak dapat penulis sebut satu persatu. Terima
kasih untuk semuanya.
10.Ayahanda tercinta Tuah (Alm) dan Ibunda Salamah (Almh) yang telah
membesarkan, mendidik dan membimbing penulis sehingga dapat mencapai
pendidikan sesuai dengan penulis cita-citakan.
11.Ayahanda mertua Lukman Sunyoto dan Ibunda mertua Mariani yang telah
memberikan semangat dan motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
12.Saudara-saudara yang teramat kusayangi Junia dan Zulpan yang memberikan
motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
13.Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada isteri tercinta Sri
Mulatsih, SE, Ak, atas segala kesabaran dan ketabahannya selama ini dalam
mendampingi penulis serta dorongan dan dukungannya, tesis ini dapat
diselesaikan. Demikian pula kepada anak tersayang Idha Putri Arastika yang
selalu memberikan motivasi dan semangat selama penyelesaian tesis ini.
Akhir kata penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Semoga penulisan ini bermanfaat bagi kita
semua.
Penulis
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Junaidi
2. Agama : Islam
3. Tempat/Tanggal lahir : Takengon, 25 Mei 1965
4. Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
5. Nama Ayah : Alm. Tuah
Nama Ibu : Almh. Salamah
6. Pendidikan : a. SD Negeri No. 7 Banda Aceh, Lulus Tahun 1977
b. SMP Negeri 7 Banda Aceh, Lulus Tahun 1980
c. SMA Swasta Banda Aceh, Lulus Tahun 1984
d. D-I Sanitarian, Lulus Tahun 1985
e. D-III LPPU ITB, Lulus Tahun 1991
f. S-1 FKM USU, Lulus Tahun 2001
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ...
i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ...
v
DAFTAR ISI ...
vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ...
x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... 4
1.4. Hipotesis ... 4
1.5. Manfaat Penelitian ... 5
1.6. Kerangka Berpikir... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Pencemaran Udara ... 6
2.2. Sumber Pencemaran Udara ... 7
2.3. Efek Pencemaran Udara pada Kesehatan... 11
2.4. Upaya Penanggulangan Pencemaran Udara... 16
BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 19
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 19
3.2. Metode Pengumpulan Data ... 19
3.4. Definisi Operasional ... 23
3.5. Teknik Pengolahan Data ... 26
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 27
4.1. Deskripsi Wilayah Studi ... 27
4.2. Analisis Debu Jatuh ... 35
BAB V PEMBAHASAN ... 43
5.1. Derajat Keasaman pada Sampel ... 43
5.2. Perbedaan Daya Hantar Listrik (DHL) ... 44
5.3. Perbedaan Residu Terlarut Tersuspensi ... 45
5.4. Konsentrasi Timah Hitam (Pb) ... 46
5.5. Kadar Debu Jatuh (Dust Fall) ... 49
5.6. Pemanfaatan Taman Penanggulangan Debu Udara ... 51
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 53
6.1. Kesimpulan ... 53
6.2. Saran ... 54
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
2.1. Persentase Komponen Pencemar dari Sumber Transportasi... 7
2.2. Persentase Komponen Pencemar dari Sumber Industri ... 8
2.3. Pengaruh Kadar COHb dalam Darah terhadap Kesehatan ..
15
2.4. Data Ekuilibrium antara COHb di dalam Darah dengan CO di Udara 15
3.1. Defenisi Operasional Penelitian ... 25
4.1. Jumlah, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kota Banda
Aceh Tahun 2005 ... 28
4.2. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan ... 29
4.3. Perbandingan Jumlah Kendaraan Bermotor dan Penduduk di Kota
Banda Aceh ... 30
4.4. Hasil Pengamatan Rata-Rata Jumlah Kendaraan Bermotor Berdasar
Lokasi ... 31
4.5. Hasil Pengamatan Rata-Rata Jumlah Kendaraan Bermotor Berdasar
Jenis... 31
4.6. Luas Tanah Pertamanan dan Jenisnya ... 34
4.7. Jenis-Jenis Tanaman yang Ditanam di Taman-taman Kota Banda
Aceh ... 34
4.8. Rata-rata pH Larutan Debu Akibat Bencana Tsunami ... 36
4.9. Rata-rata Daya Hantar Listrik Larutan Debu Akibat Bencana
Tsunami ... 37
4.10. Rata-rata Residu Larutan Debu Akibat Bencana Tsunami ... 38
4.11. Rata-rata Residu Tersuspensi Debu Akibat Bencana Tsunami ... 39
4.12. Rata-rata Konsentrasi Timbal dalam Debu Akibat Bencana
Tsunami... 40
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1.1. Kerangka Berpikir... 5
4.1. Rata-Rata Jumlah Kendaraan Bermotor di 3 Lokasi Penelitian
Berdasar Jenis Kendaraan... 33
4.2. Hubungan Antara Konsentrasi Pb Debu dengan Jarak dari
Daerah
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Peta Kota Banda Aceh ... 58
2. Daftar Regresi ... 59
3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium FMIPA USU... 63
4. Baku Mutu Udara Ambien ... 65
5. Data Jumlah Kendaraan Bermotor ... 66
6. Foto-foto Daerah yang Terkena Tsunami ... 68
7. Foto-foto Daerah yang Tidak Terkena Tsunami... 70
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999 terdapat empat
parameter debu, yaitu: Partikel Materi ukuran <10 µm (PM10), Partikel Materi
berukuran <2.5 µm (PM2,5), Total Suspended Partikulat (TSP) atau debu dan Dusfall
(debu jatuh).
PM10 dan PM2,5 merupakan sumber parameter debu yang melayang-layang
di udara dengan yang kadarnya ditentukan sebagai banyaknya (µg) debu dalam setiap
1 m3 udara (µg/Nm3). Total Suspended Partikulat (TSP) atau debu memiliki ukuran
diameter ± 100 mikron, dalam udara ambient. Sumber utamanya yaitu emisi
kenderaan bermotor yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Kontribusi kenderaan bermotor terhadap pencemaran TSP di udara sekitar 44,1%
selebihnya dari rumah tangga 33%, industri sekitar 14,6%, pembakaran sampah 8,4%
(Martono, 2007).
Dust fall adalah debu jatuh akibat dari pengaruh gravitasi maupun yang terikut
air hujan yang diukur setelah pengambilan contoh uji berupa air hujan menggunakan
peralatan “Deposite Gauge” yang dipaparkan di udara selama 1 bulan. Penentuan
debu jatuh dinyatakan sebagai total debu yag tidak larut ditambah debu yang terlarut
Debu yang dihisap melalui udara pernafasan 55% diantaranya mempunyai
ukuran 0.25 sampai 6 mikron, 15 sampai 95% akan mengalami retensi dan proporsi
retensi berhubungan langsung dengan ukuran, kepadatan dan kebasahan partikel
tersebut.
Berdasarkan atas sifat-sifat fisik suspensi partikel debu yang terdapat di udara
dan struktur anatomi sistem pernafasan, dapat diprediksikan bahwa partikel yang
memiliki ukuran lebih dari 10 mikron dapat dikeluarkan kembali melalui hidung atau
melalui saluran pernafasan atas, partikel yang berukuran 5-10 mikron mengalami
penahanan terutama pada saluran pernafasan atas, partikel yang berukuran 1-2.5
mikron dapat mencapai kebagian pernafasan yang lebih dalam yaitu mengendap
di alveoli sedangkan partikel yang lebih kecil dari 0,1 mikron dapat keluar kembali
bersama udara pernafasan.
Masuk dan tertimbunnya debu di dalam paru-paru dapat memberikan
rangsangan pada organ tersebut, yaitu partikel debu dapat menstimulir otot polos
sikuler pada saluran pernafasan sehingga dapat menimbulkan kontraksi penyempitan
saluran pernafasan.
Partikel debu yang mengendap pada permukaan alveoli akan merangsang
pengarahan makrophag, pada keadaan kronis dapat merangsang sel-sel fihsroblas
yang terdapat pada jaringan interstisil (jaringan pejangga) bila dalam waktu yang
lama akan terjadi fibrosis.
Pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi gempa bumi dan tsunami di Nanggroe
Aceh banyak ruang tanah yang terbuka tanpa pohon pelindung akibat arus tsunami.
Hilangnya pohon dan tumbuhan penutup tanah menyebabkan suhu kota semakin
panas dan meningkatnya kadar debu di udara yang dapat mengganggu kesehatan.
Kegiatan pembangunan kembali (rekonstruksi) dan perbaikan (rehabilitasi)
perumahan, perkantoran, sarana pendidikan tempat-tempat peribadatan sektor infra
struktur seperti sarana transportasi saat ini ada yang telah selesai dilaksanakan dan
ada juga yang sedang dalam tahap pembangunan yang sedan berlangsung.
Pembangunan tersebut menggunakan alat-alat berat dan kendaraan-kendaraan besar
sehingga menambah peningkatan kadar debu terutama debu jatuh di lingkungan Kota
Banda Aceh. Debu jatuh akan mengganggu estetika kesehatan dan mempengaruhi
tanaman karena menutupi permukaan daun sehingga mengganggu proses fotosintesis.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dikaji kadar debu jatuh (Dust Fall)
serta kandungan Pb dalam debu jatuh, yaitu membandingkan kadar debu jatuh dari
daerah yang terkena tsunami dengan daerah yang tidak terkena tsunami di Kota
Banda Aceh.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan ini dirumuskan sebagai
berikut:
1. Berapa besar perbedaan kadar debu jatuh pada daerah yang terkena tsunami dan
2. Apakah kandungan timbal dalam debu daerah yang terkena tsunami jauh lebih
tinggi dibanding dengan daerah yang tidak terkena tsunami.
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui berapa kadar debu jatuh pada daerah yang terkena tsunami dan
daerah yang tidak terkena tsunami.
2. Untuk mengetahui kadar Pb dalam debu di daerah terkena tsunami dan daerah
yang tidak terkena tsunami.
3. Untuk mengetahui parameter keasaman debu (pH), Daya Hanar Listrik (DHL),
TDS dan TSS debu yang dilarutkan dalam air di daerah tsunami dan daerah tidak
terkena tsunami.
1.4. Hipotesis
1. Ada perbedaan kadar debu jatuh di daerah yang terkena tsunami dibandingkan
dengan daerah yang tidak terkena tsunami.
2. Ada perbedaan kandungan Pb pada debu jatuh di daerah yang terkena tsunami
dan daerah yang tidak terkena tsunami.
3. Ada perbedaan parameter pH, DHL, TDS dan TSS di daerah terkena tsunami dan
1.5. Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui banyaknya kadar debu jatuh di daerah yang terkena tsunami
dan daerah yang tidak terkena tsunami sehingga dapat mengendalikan dampak
negatif terhadap penduduk setempat.
2. Dapat mengantisipasi dampak negatif debu terhadap kesehatan penduduk
setempat.
3. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kota Banda Aceh dalam mengurangi
masalah pencemaran udara.
1.6. Kerangka Berpikir
Tsunami
Daerah yang Tidak Terkena Tsunami
Daerah yang Terkena Tsunami
Peningkatan Kadar Debu di Udara
Transportasi Perusakan Infra struktur/terbuka lahan
hilang vegetasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pencemaran Udara
Masuknya substansi atau kombinasi dari berbagai substansi kedalam udara
yang mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan manusia atau bentuk kehidupan
yang lebih rendah, bersifat menyerang dan atau merugikan bagian luar atau dalam
tubuh manusia atau karena keberadaan baik secara langsung maupun tidak langsung
menimbulkan pengaruh buruk terhadap kesejahteraan manusia (Soedjono, 1991).
Apabila komposisi udara normal mengalami perubahan dan melebihi
persyaratan yang ditetapkan maka udara tersebut dikatakan sudah tercemar. Menurut
Achmadi (1983), yang dimaksud pencemaran udara adalah perubahan komposisi
udara normal dalam waktu dan komposisi tertentu dapat menimbulkan akibat buruk
pada manusia, binatang, tumbuhan dan benda-benda lainnya.
Pencemaran udara dapat diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat
asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan komposisi udara dari keadaan
normalnya dan jika kehadiran bahan-bahan asing ini di udara dalam jumlah tertentu
dan waktu yang cukup lama akan mengganggu kehidupan makhluk hidup (Wardhana,
1995).
Udara mempunyai arti yang sangat penting di dalam kehidupan makhluk
yang harus dilindungi untuk hidup dan kehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan harus dilakukan secara bijaksana dengan
memperhitungkan generasi sekarang dan yang akan datang.
Udara di alam tidak pernah ditemukan dalam keadaan bersih tanpa polutan
sama sekali. Peningkatan jumlah penduduk, pemukiman, industri atau pabrik dan
peningkatan sektor transportasi di daerah perkotaan mengakibatkan limbah yang
berupa gas pencemar semakin tinggi, sehingga kualitas udara bersih semakin
menurun.
2.2. Sumber Pencemaran Udara
Sumber polusi yang utama dari transportasi, 6.3% (CO), 8.1% (NOx), 0.85
(SOx), 16.6% (HC), partikel 1.2% (Elektro Indonesia).
Menurut Fardiaz (1992), bahwa sumber polusi yang utama berasal dari
transportasi di mana hampir 60% polutan yang dihasilkan terdiri dari karbon
monoksida dan sekitar 15% terdiri dari hidrokarbon. Persentase komponen pencemar
yang bersumber dari transportasi adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1. Persentase Komponen Pencemar dari Sumber Transportasi
Perkiraan persentase tersebut di atas didasari dengan anggapan bahwa gas
buangan dari hasil pembakaran yang keluar dari knalpot kendaraan transportasi
memenuhi persyaratan teknis pembakaran yang benar. Komposisi di atas akan
berubah sesuai dengan keadaan kendaraan. Komponen pencemar dari sumber industri
adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2. Persentase Komponen Pencemar dari Sumber Industri
Komponen Pencemaran Persentase CO
Menurut Wicaksana (2002), bahwa pembentukan oksidan dalam pembakaran
adalah sebagai berikut:
2.2.1. Pembentukan Nitrogen Oksidan (NOx) Melalui Pembakaran
Nitrogen Oksidan (NOx) adalah bahan pencemar udara berupa campuran
anrtara NO dan NO2, yang merupakan bahan untuk terbentuknya oksidan fotokimia
NOx ini terbentuk pada temperatur tinggi dan pada kondisi kaya akan oksigen.
Sumber pembentuk NOx dari sumber bergerak adalah pembangkit tenaga dan boiler.
Dalam proses pembakaran bahan bakar kehadiran oksigen bersumber dari
udara di mana nitrogen adalah merupakan bahan yang dominan. Pada pembakaran
temperatur tinggi akan mendorong terbentuknya atom-atom oksigen yang dapat
O + N2 NO + N
N+ O2 NO + O
Apabila dari kedua persamaan tersebut dijumlahkan, akan diperoleh hasil
secara keseluruhan:
N2 + O2 2NO
Dengan demikian, pada temperatur tinggi dapat mendorong terbentuknya
nitrogen monoksida. Jika pada saat pembakaran pada temperatur tinggi dan pada
kondisi oksigen berlebih, maka akan terbentuk NO2.
Dalam pembakaran hidrokarbon, kehadiran radikal CH dapat menuju
terbentuknya HCN:
CH + N2 HCN + N
Yang kemudian akan dirubah menjadi CN dan atom nitrogen dan akan dioksidasi
menjadi NO. Jika dalam bahan bakar mengandung beberapa senyawa nitrogen
organik, ini dapat dirubah menjadi amonium atau hydrogen cyanide, yang kemudian
dioksidasi menjadi NO.
2.2.2. Pembentukan Sulfur Oksida (SOx) Melalui Pembakaran
Penggunaan bahan bakar yang berasal dari petrokimia dan batu bara yang
kaya sulfur telah meningkat disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan akan energi.
Sulfur yang terkandung dalam bahan bakar dalam bentuk anorganik (pyrite) atau
organik mudah teroksidasi dalam sistem pembakaran dan akan membentuk SO2 dan
SO3. Oksida-oksida sulfur (SOx) yang dihasilkan selama pembakaran menimbulkan
menyebabkan terjadinya pencemaran udara, (2) bahan pencemar tersebut juga
penyebab korosi terhadap peralatan pembakaran seperti turbin dalam sistem
pembakaran.
Gas SO3 yang terbentuk akan semakin meningkat apabila dalam sistem
pembakaran terdapat oksigen yang berlebihan. Dalam kondisi bahan bakar berlebih,
maka kemungkinan terbentuknya hydrogen sulfida (H2S), carbonyl sulfida dan
elemental sulfida.
Keseimbangan yang terjadi antara sulfur dioksida dan sulfur trioksida
ditunjukkan dalam persamaan sebagai berikut:
SO2 + 1/2O2 SO3
SO3 mempunyai afinitas yang besar terhadap air (H2O) pada suhu rendah dan dengan
segera terbentuk kabut asap.
2.2.3. Pembentukan Oksida Pb dalam Kendaraan Bermotor
Timah hitam (Pb) telah lama digunakan sebagai zat tambahan (aditif) berupa
Tetra Etil Lead (TEL) dengan rumus kimia (C2H5)4Pb, yang berfungsi untuk
meningkatkan kadar oktan bensin. Timah hitam hanya ditemukan pada sisa
pembakaran bahan bakar bensin. Terta Etil Lead merupakan senyawa garam metal
organik yang tercampur dalam bensin dan ikut terbakar. Pada saat pembakaran, TEL
tersebut mengalami dekomposisi secara termis membentuk oksida Pb dengan
mekanisme sebagai berikut:
PbO + OH PbO(OH)
Bahan bakar bensin mengandung sampai 2.5 ml Pb per galonnya. Pencemaran
udara oleh adanya Pb di udara, di kota-kota besar akan meningkat sejalan dengan
pertambahan jumlah kendaraan bermotor.
2.3. Efek Pencemaran Udara pada Kesehatan
Profil kesehatan DKI Jakarta 2004 menunjukkan bahwa sekitar 46% penyakit
gangguan pernafasan terkait dengan pencemaran udara (ISPA 43%, iritasi mata 1.7%
dan asma 1.4%) dan sekitar 32% kematian mungkin terkait dengan pencemaran udara
(penyakit jantung dan paru-paru 28.3% dan pneumonia 3.7%) (Langit Biru).
Efek-efek pencemaran udara pada kehidupan manusia dapat dibagi menjadi
efek umum, efek terhadap ekosistem, efek terhadap kesehatan, efek terhadap
tumbuhan dan hewan, efek terhadap cuaca dan iklim dan efek terhadap sosial
ekonomi. Menurut Muhadhar (2002) bahwa partikel yang mempengaruhi kesehatan
dalam udara ambien adalah sebagai berikut:
2.3.1. Pengaruh Debu terhadap Kesehatan
Debu yang dihisap melalui udara pernafasan 55% diantaranya mempunyai
ukuran 0.25 sampai 6 mikron, 15 sampai 95% akan mengalami retensi dan proporsi
retensi berhubungan langsung dengan ukuran, kepadatan dan kesehatan partikel
tersebut.
Berdasarkan atas sifat-sifat fisik suspensi partikel debu yang terdapat, partikel
yang di udara dan struktur anatomi sistem pernafasan, dapat diprediksikan bahwa
melalui hidung atau melalui saluran pernafasan atas, partikel yang berukuran 5-10
mikron mengalami penahanan terutama pada saluran pernafasan atas, partikel yang
berukuran 1-2.5 mikron dapat mencapai kebagian pernafasan yang lebih dalam yaitu
mengendap di alveoli sedangkan partikel yang lebih kecil dari 0.1 mikron dapat
keluar kembali bersama udara pernafasan.
Masuk dan tertimbunnya debu di dalam paru-paru dapat memberikan
rangsangan pada organ tersebut, yaitu partikel debu dapat menstimuli otot polos
sikuler pada saluran pernafasan sehingga dapat menimbulkan kontraksi penyempitan
saluran pernafasan.
Partikel debu yang mengendap pada permukaan alveoli akan merangsang,
pengarahan makrophag. Pada keadaan kronis dapat merangsang sel-sel fihsroblas
yang terdapat pada jaringan interstisil (jaringan pejangga) bila dalam waktu yang
lama akan terjadi fibrosis.
Secara umum penimbunan partikel debu paru-paru dapat menimbulkan antara
lain:
a. Sedikit atau tidak ada reaksi apa-apa.
b. Produksi dan sekresi mukos yang berlebihan.
c. Pembesaran kelenjar mukos.
d. Pengerahan sel-sel makrophag
e. Proliferasi kronik atau reaksi peradangan.
f. Retikulinosis.
h. Metaplaslin atau keganasan.
2.3.2. Pengaruh Timbal (Pb) terhadap Kesehatan
Timbal diserap tubuh melalui saluran pernafasan (paru-paru) dan diedarkan
melalui darah. Delapan puluh lima persen tersimpan ditulang, 10% beredar dalam
darah, sisanya terdeposit dalam jaringan lunak. Pengeluaran timbal terjadi melalui
ginjal, menyebabkan organ ini rentan terhadap kerusakan. Timbal akan merusak
enzim karena kelompok disulfida atau mendenaturasi protein dan mengubah struktur
tersier enzim.
Sasaran anatomis dari timbal adalah darah, sistem saraf, saluran pencernaan
dan ginjal. Perubahan awal pada keracunan timbal akan teramati pada sel-sel darah
merah. Timbal akan berikatan dengan enzim. ALA-D (asam aminolevulinik
dehidratase) dan fereketolase, yang keduanya berfungsi menggabungkan besi pada
molekul hemo, akibatnya besi menghilang dan terjadi pembentukan
zinkprotoporfirin. Peninggian zinkprotoporfirin atau produknya serta
protoporfirin-eritrosit bebas berperan sebagai parameter darah pada keracunan timbal. Dampaknya
akan terjadi anemi mikrolitik, hipokromik atau anemi hemolitik.
Pada sistem saraf, keracunan timbal kronis akan menyebabkan odema otak
yang nyata, sehingga girus otak menjadi mendatar dan sulkus menjadi sempit. Pada
anak-anak timbul gejala gangguan sensorik, motorik, psikologi dan kecerdasan
(penurunan IQ). Selain terjadi gangguan kemampuan belajar, juga terdapat gangguan
perkembangan psikomotorik, kebutaan dan dalam kasus berat akan terjadi psikosis
sering terdapat adanya neuropati perifer terutama pada persarafan motorik otot-otot
yang sering dipakai, sehingga otot-otot, ekstensor lengan dan jari tangan merupakan
yang pertama kali terpengaruh diikuti oleh paralysis otot-otot peroneal.
2.3.3. Dampak Senyawa CO terhadap Kesehatan
Karbon monoksida (CO) adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau,
mempunyai waktu tinggal (recidence) yang panjang antara beberapa bulan sampai
beberapa tahun (Fardiaz, 1991).
Karbon monoksida memiliki kemampuan mengikat hemoglobin darah
200-300 kali lebih besar dari pada oksigen (Setiadi, 1985), hal ini menyebabkan bila
terpajan dengan CO maka CO dengan cepat berpindah dari plasma ke sel-sel darah
merah dan berikatan dengan hemoglobin. Adanya CO dalam tubuh akan mengganggu
proses oksigenase, akibatnya organ-organ tubuh yang peka terhadap kekurangan
oksigen seperti otak, susunan syaraf pusat, paru-paru dan jantung terganggu. Bagian
yang sangat rentan terhadap kandungan CO dalam darah adalah janin, anak kecil,
individu bronchitis kronik dan empesema. Tabel di bawah ini menggambarkan
Tabel 2.3. Pengaruh Kadar COHb dalam Darah terhadap Kesehatan
Rasa berat di kepala, sedikit sakit di kepala Menusuk pada pelipis
Lemas, dizzness, pandangan jadi kabur Syncope, nadi dan pernafasan menjadi cepat Koma, kejang dan intermitter
Depresi jantung dan pernafasan
Nadi lemah, nafas lambat dan kegagalan pernafasan dapat meninggal dalam beberapa jam
Meninggal dalam waktu kurang dari beberapa jam Meninggal dalam waktu beberapa menit
Sumber: Muhadhar, 2002.
Tabel ekuilibrium antara COHb di dalam darah dengan CO di udara:
Tabel 2.4. Data Ekuilibrium Antara COHb di dalam Darah dengan CO di Udara
No Konsentraso CO di Udara (ppm) Konsentrasi Ekuilibrium COHb di dalam Darah (%)
2.3.4. Dampak SOx terhadap Kesehatan Manusia
Pengaruh utama senyawa SOx terhadap kesehatan manusia adalah iritasi
sistem pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi sistem pernafasan
terjadi pada konsentrasi 5 ppm dan pada individu yang sensitif iritasi terjadi pada
konsentrasi 1-2 ppm. Sulfur oksida sangat beresiko terhadap orang yang menderita
2.4. Upaya Penanggulangan Pencemaran Udara
Salah satu polutan yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor adalah CO. Gas
tersebut paling banyak dihasilkan oleh kendaraan bermotor dan dapat menyebabkan
kematian pada konsentrasi tinggi.
Di wilayah perkotaan dengan pertumbuhan polutan yang cepat kualitas udara
perkotaan semakin buruk, oleh sebab itu diperlukan pengendalian pencemaran udara.
Sebab apabila tidak dikendalikan dengan baik hal ini mengakibatkan terjadinya
perubahan keseimbangan lingkungan. Dengan melihat porsi terbanyak pencemaran
udara dari emisi gas buangan kendaraan bermotor, maka sudah saatnya kontrol polusi
juga dilakukan pada emisi gas setiap kendaraan bermotor (Susanto, 2006).
Penanggulangan dampak kualitas udara yang disebabkan kegiatan industri dan
transportasi dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
a. Pengendalian pencemaran debu yang diemisikan dari sumber tidak bergerak ke
atmosfir dilakukan dengan alat penagkap debu. Contohnya Cyclon, Scrubber,
Electrostatic precipitor dan Fabric filler.
b. Pengendalian zat pencemar sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2)
dilakukan dengan menggunakan bahan bakar yang mengandung sulfur rendah,
mempertinggi cerobong dan menggunakan alat pengendalian pencemaran udara
seperti desulfurisasi dan denitrifikasi.
c. Menanam pohon-pohon sebagai penyerap gas dan debu di sekitar kegiatan dan
Akan tetapi sebaik apapun kebijaksanaan maupun peraturan yang ada, tanpa
peran serta masyarakat sebagai pelaku maupun yang terkena dampak, maka upaya
penanggulangan pencemaran udara tidak akan berhasil dengan baik.
Upaya pencegahan pencemaran udara di Indonesia, berdasarkan periode
waktunya, terbagi menjadi dua:
1. Jangka Pendek
Kegiatan-kegiatan jangka pendek di Indonesia untuk mencegah terjadinya
pencemaran udara antara lain:
a. Sosialisasi melalui media cetak dan elektronik berkaitan dengan bahaya
pencemaran udara bagi kelanggengan hidup manusia dan perubahan
ekosistem pada alam semesta.
b. Relokasi kawasan industri yang berada ditengah kota ke daerah pinggiran kota
dan pengembangan suatu daerah hijau (green belt) yang mengitari kawasan
industri yang akan dibangun.
c. Penyelenggara analisis dampak lingkungan (Amdal) secara rutin di
pabrik-pabrik yang berada di tengah kota atau didekat lokasi pemukiman penduduk.
d. Penyelenggara uji emisi gas buangan dari kendaraan bermotor secara berkala
dan pembentukan sistem pemantauan pencemaran udara di setiap sudut kota.
e. Perbaikan sarana transportasi darat terutama armada angkutan kota agar lebih
manusiawi (aman, nyaman dan murah) sehingga dapat mengurangi
f. Penerapan program 3 in 1 pada kendaraan pribadi selama jam-jam sibuk,
terutama di jalan-jalan protokol di pusat kota.
g. Pengawasan dan pelanggaran pembakaran hutan terutama saat musim
kemarau yang pada kenyataannya terjadi hampir setiap tahun.
2. Jangka Panjang
Upaya jangka panjang di Indonesia untuk mencegah terjadinya pencemaran
udara antara lain:
a. Perencanaan tata ruang kota yang mengacu pada wawasan kesehatan
lingkungan.
b. Mengganti bahan bakar untuk industri dan kendaraan bermotor dengan bahan
bakar yang ramah lingkungan misalnya bahan bakar gas dan biosolar yang
BAB III
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Banda Aceh pada 5 (lima) titik lokasi yang
dianggap telah mewakili untuk pengambilan kadar debu jatuh di udara ambien.
Lokasi pengambilan sampel ditentukan secara purposive sampling dengan tujuan agar
dapat membedakan kadar debu jatuh di daerah yang tidak terkena tsunami dengan
daerah yang terkena tsunami. Waktu penelitian dimulai pada bulan September sampai
dengan bulan November 2007.
3.2. Metode Pengumpulan Data
a. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan dengan
cara pengukuran debu jatuh (Dust Fall).
b. Data sekunder meliputi gambaran lokasi penelitian yang diperoleh melalui
regristrasi, laporan Bapedalda Dinas Tata Kota dan Kantor Walikota.
3.2.1. Bahan Penelitian
a. Debu udara yang bercampur dengan air hujan.
b. HNO3pekat p.a. (E. Merck)
3.2.2. Alat Penelitian
a. Spektrofotometer Serapan Atom BUCK 205
b. Neraca Analitis Mettler A.E. 200
c. Hot plate Fisons
d. Oven Fisher
e. Alat-alat Gelas Pyrex
f. Pipet Tetes
g. Corong
h. Botol Akuades
i. pH Meter Hanna
j. Kertas Saring Whatman No. 42
k. Conductivity Meter Fisher
3.3. Analisa Data
Data yang telah berhasil dikumpulkan, diolah dan dianalisa dengan
memperhitungkan kadar debu serta diuji kemaknaannya.
a. Analisa Univariat
Analisa ini digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi atau
besarnya proporsi menurut berbagai karakteristik variabel yang diteliti, baik untuk
b. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas
dan variabel terikat. Dari hasil analisa diketahui variabel bebas manakah yang
berhubungan bermakna secara statistik dengan variabel terikat. Jenis data adalah
kuantitatif maka teknik analisis yang digunakan adalah rancangan acak kelompok non
faktorial dengan 5 perlakuan dan masing-masing perlakuan dengan 3 ulangan.
Adapun perlakuan adalah sebagai berikut:
Faktor L : Lokasi penelitian (L) yang terdiri dari 5 taraf, yaitu:
1. Lokasi 1 = 10 m dari pantai
2. Lokasi 2 = 100 m dari pantai
3. Lokasi 3 = 500 m dari pantai
4. Lokasi 4 = 500 m dari daerah yang tidak terkena tsunami
5. Lokasi 5 = 1000 m dari daerah yang tidak terkena tsunami
Persamaan linier dari rancangan tersebut adalah:
Yijk = µ + ti + k + ijk
Keterangan:
Yijk = pengamatan percobaan pada perlakuan ke – I dan kelompok ke K
µ = rataan umum
ti = pengaruh perlakuan lokasi ke – i
k = pengaruh kelompok ke – i
3.3.1. Penyediaan Sampel
Pengambilan sampel debu jatuh dilakukan dengan cara meletakkan botol gelas
yang dilengkapi corong di atasnya pada ketinggian 1,5 meter dari permukaan tanah.
Setelah 10 hari corong dibilas dengan air destilat (pH=7,0) dan dianalisis
di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA-USU untuk parameter pH, DHL, TDS, dan
TSS dan kandungan logam Pb di Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian USU
Medan.
3.3.2. Pengukuran Total Padatan Tersuspensi (TSS)
Sampel debu jatuh yang bercampur dengan air, disaring dengan menggunakan
kertas saring Whatman No. 42 yang telah diketahui beratnya kemudian dikeringkan
di dalam oven pada suhu 105oC selama semalam lalu didinginkan di dalam desikator
selama 20-30 menit, kemudian kertas saring tersebut ditimbang menggunakan neraca
analitis dengan ketelitian tiga desimal. Filtrat ditampung dalam beaker gelas yang
sudah diketahui beratnya untuk mengukur TDS-nya.
3.3.3. Pengukuran Total Padatan Terlarut (TDS)
Filtrat hasil penyaringan yang terdapat di beaker gelas diuapkan di atas
hotplate hingga beaker gelas kering, kemudian didinginkan di dalam desikator selama
20 – 30 menit kemudian beaker gelas ditimbang menggunakan neraca analitis dengan
3.3.4. Penentuan Kadar Logam Timbal (Pb) pada Sampel
Kertas saring dari pengukuran TSS dimasukkan ke dalam beaker gelas dari
pengukuran TDS, kemudian ditambahkan 35 mL HNO3 pekat kemudian dipanaskan
di atas hotplate selama 1 jam sampai terbentuk larutan kuning jernih lalu didinginkan.
Hasil destruksi disaring dengan kertas saring Whatman No. 42 kemudian
filtrat diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dalam labu takar 50 mL.
Kandungan Pb dianalisis dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom pada
panjang gelombag λspesifik = 283,3 nm.
3.4. Definisi Operasional
Variabel independen (bebas):
1. Pengukuran
a. Kadar debu adalah banyaknya debu yang tertampung dalam botol
pengambilan sampel di lapangan dalam ukuran μg/m3.
b. Timah hitam (Pb) yaitu timbal yang mencemari udara diperoleh dari
pengambilan sampel dalam satuan μg/m3.
c. Derajat keasaman (pH) adalah derajat keasaman atau basa yang ada pada debu
dari pengambilan sampel.
d. Daya hantar listrik (DHL) kemampuan unsur debu dalam sampel untuk
e. Total dissolved solid (TDS) keseluruhan partikel yang terlarut dalam air hujan
yang tertampung pada botol sampel dalam satuan mg/l.
f. Total suspended solid (TSS) adalah jumlah berat dalam mg/l kering debu yang
ada dalam air hujan setelah mengalami penyaringan.
2. Pengaruh iklim
a. Cuara, keadaan dalam pada saat pengambilan sampel biasanya mendung,
hujan, panas yang diukur dalam satuan oC.
b. Temperatur, keadaan suhu ada yang diukur pada saat pengambilan sampel
dalam satuan oC.
c. Kelembaban, basa atau kering iklim pada saat pengambilan sampel yang
biasanya diukur dalam RH atau %.
d. Kecepatan angin, kekuatan angin yang berhembus dalam pengambilan sampel
yang diukur dalam satuan km/jam.
Variabel independen (terikat)
1. Daerah terkena tsunami, daerah yang dilanda tsunami yaitu meliputi 6
kecamatan.
2. Daerah yang tidak terkena tsunami, daerah yang tidak sampai air laut yaitu
Tabel 3.1. Definisi Operasional Penelitian
Variabel Cara Ukur/Alat Ukur Hasil Ukur Skala Independen:
Pengukuran:
1. Kadar Debu Metode analisa μg/m3 Kadar debu Ordinal 2. Timah hitam (Pb) AAS Kadar Pb Ordinal 3. Derajat keasaman (pH) Potensiometrik Derajat
keasaman
Ordinal
4. Daya Hantar Listrik (DHL)
Variabel Cara Ukur/Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1. Cuara Pengukuran oC Ordinal
2. Temperatur Pengukuran oC Ordinal 3. Kelembaban Pengukuran RH % Ordinal
4. Kecepatan angin Anemo meter km/jam Ordinal
Variabel Independen
Variabel Cara Ukur/Alat Ukur Hasil Ukur Skala 1. Daerah terkena
tsunami
Pengamatan Luas Wilayah Ordinal
2. Daerah tidak terkena tsunami
3.5. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah dikumpul selanjutnya akan diolah dengan tahapan sebagai
berikut:
a. Editing (pemeriksaan data)
Editing dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan kelengkapan hasil
pengukuran di lapangan.
b. Entry (pemasukan data komputer)
Setelah semua data hasil pengukuran, maka dilakukan pemasukan data ke
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Wilayah Studi
Kota Banda Aceh merupakan salah satu dari 23 kabupaten/kota di NAD
dengan luas daerah sekitar 61,36 km2. Kota ini merupakan pusat pemerintahan
Propinsi NAD yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Aceh Besar di sebelah
Utara, Selatan, Barat dan Timur.
Kota Banda Aceh terletak antara 2° - 6° Lintang Utara dan 95° - 98° Lintang
Selatan dengan ketinggian 1,5 - 2,5 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar
wilayah Kota Banda Aceh merupakan dataran rendah yang merupakan tempat
pertemuan dua sungai penting, yaitu Sungai Krueng Aceh dan Krueng Daroy.
Kota Banda Aceh mempunyai iklim tropis dengan suhu minimum menurut
Stasiun Blang Bintang pada tahun 2008 berkisar antara 22,5°C – 24,5°C dan suhu
maksimum berkisar antara 30,6°C – 33,9°C. Kelembaban udara di wilayah Kota
Banda Aceh rata 83% dan kecepatan angin rata 0,45 m/sec sedangkan
rata-rata total laju penguapan tiap bulannya 111,26 mm. Hari hujan di Kota Banda Aceh
pada tahun 2008 rata-rata 17 hari dengan rata-rata curah hujan per bulannya antara
173,58 – 184,33 mm (BPS dan Perencanaan Pembangunan Daerah NAD, 2008).
Kota Banda Aceh terdiri dari 9 kecamatan dan 90 desa dengan jumlah dan
kepadatan penduduk yang terus-menerus bertambah dari tahun ke tahun seperti yang
Tabel 4.1. Jumlah, Laju Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kota Banda Aceh Tahun 2005
Tahun
Sumber: BPS dan Perencanaan Pembangunan Daerah NAD, 2008.
Laju pertumbuhan penduduk di Kota Banda Aceh pada tahun 2003 sampai
tahun 2008 cukup signifikan yaitu berkisar antara 1,18 sampai 1,50%. Kepadatan
penduduk Kota Banda Aceh terus berkurang yaitu pada tahun 2005 sebesar 2.916
jiwa/km hingga tahun 2007 berjumlah 3.582 jiwa/km.
Pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi merupakan faktor penyebab
pencemaran udara yang penting di perkotaan. Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi
mendorong pengembangan wilayah perkotaan yang semakin melebar ke daerah
pinggiran kota/daerah penyangga. Sebagai akibatnya mobilitas penduduk dan
permintaan transportasi semakin meningkat. Jarak dan waktu tempuh perjalanan
sehari-hari semakin bertambah karena jarak antara tempat tinggal dan tempat kerja
atau aktivitas lainnya semakin jauh dan kepadatan lalu lintas yang tinggi
menyebabkan waktu tempuh makin lama.
4.1.1. Jumlah Kendaraan Bermotor di Kota Banda Aceh
Kota Banda Aceh yang mempunyai julukan “Daerah Modal” dari tahun ke
gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, hotel dan tempat hiburan semakin
banyak dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh ataupun pihak swasta sehingga
menjadikan Kota Banda Aceh memiliki fungsi regional yang luas sebagai pusat
kegiatan pemerintahan, sosial dan perekonomian yang meliputi bisnis dan jasa yang
selalu ramai dikunjungi masyarakat.
Seiring dengan kemajuan Kota Banda Aceh dari tahun ke tahun semakin
bertambah pula jumlah kendaraan bermotor yang merupakan sarana transportasi bagi
masyarakat, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum seperti yang tertuang
dalam tabel berikut ini.
Tabel 4.2. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis Kendaraan
Tahun Mobil Penumpang (Unit) 2005 11.409 5.067 1.248 53.494 71.198 2006 13.061 5.739 1.248 68.831 88.879 2007 15.338 3.647 1.248 75.749 95.982 Sumber: Dinas Perhubungan, 2007.
Tabel 4.2 di atas menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kendaraan
bermotor di Kota Banda Aceh cukup tinggi.
Jumlah sepeda motor mempunyai persentase terbesar dari total keseluruhan
kendaraan bermotor yang ada di Kota Banda Aceh. Dari 95.982 unit kendaraan
bermotor yang ada pada tahun 2007, sebanyak 75.749 unit (78,92%) adalah sepeda
gerobak sebesar 3.647 unit (3,79%) dan yang paling sedikit adalah bus sebesar 1.248
unit (1,38%).
Jumlah sepeda motor ini setiap tahunnya mengalami peningkatan rata-rata
di atas 69%, hal ini disebabkan karena sepeda motor merupakan alat transportasi
alternatif yang harganya terjangkau masyarakat luas dan adanya kemudahan yang
ditawarkan oleh lembaga pembiayaan kepada masyarakat untuk membeli sepeda
motor seperti cicilan dengan bunga ringan atau tanpa uang muka.
Jika dibandingkan antara jumlah kendaraan bermotor dengan jumlah
penduduk maka rasio kendaraan bermotor, jumlah penduduk dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan yang cukup tinggi seperti yang tertuang dalam tabel berikut:
Tabel 4.3. Perbandingan Jumlah Kendaraan Bermotor dan Penduduk di Kota Banda Aceh
Tahun Jumlah Kendaraan Bermotor (Unit)
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Rasio Kendaraan/Penduduk (%)
2005 71.198 177.881 0,40
2006 88.879 179.266 0,49
2007 95.982 219.659 0,44
Sumber: BPS dan Perencanaan Pembangunan Daerah NAD, 2008.
Pada tahun 2005 rasio jumlah kendaraan – jumlah penduduk adalah sebesar
0,40% hingga pada tahun 2007 meningkat menjadi 0,44%. Hal ini berarti bahwa pada
tahun 2007 dalam 100 orang penduduk terdapat jumlah kendaraan 44 unit. Dari sisi
tingkat kemakmuran masyarakat, hal ini tentunya sangat menggembirakan, namun
jumlah kendaraan yang semakin meningkat tersebut akan memberikan dampak
Dari pengamatan yang dilakukan selama bulan Februari 2008 rata-rata jumlah
kendaraan bermotor yang melintas atau melewati tiga lokasi penelitian dituangkan
dalam tabel berikut:
Tabel 4.4. Hasil Pengamatan Rata-rata Jumlah Kendaraan Bermotor Berdasar Lokasi
Titik Lokasi Pengamatan Rata-rata Jumlah Kendaraan Bermotor/Hari
1 Pinggir laut 0
2 Sp.Darussalam, Jl. T. Nyak Arif 5.126 3 Sp. Prada, Jl. T. Nyak Arif 6.109 4 Sp. Peniti, Jl. T. Chik Ditiro 8.720 5 Sp. Surabaya, Jl. T. Chik Ditiro 10.157 Sumber: Pengamatan Lapangan, 2008.
Berdasarkan Tabel 4.4 diperoleh bahwa jumlah rata-rata kendaraan bermotor
di lokasi penelitian yang tertinggi adalah di Sp. Surabaya, Jl. T. Chik Ditiro sebesar
10.157 unit/hari, menyusul Sp. Peiti, Jl. T. Chik Ditiro sebanyak 8.720 unit/hari dan
terendah di Sp. Darussalam, Jl. T. Nyak Arif sebanyak 5.126 unit/hari.
Tabel 4.5. Hasil Pengamatan Rata-rata Jumlah Kendaraan Bermotor Berdasar Jenis
Rata-rata Jumlah Kendaraan Bermotor/Hari
Titik Lokasi Pengamatan
Roda 2 Roda 3 Roda 4 Roda >4 Total
1 Pinggir laut 0 0 0 0 0
2 Sp. Darussalam, Jl. T. Nyak Arif
2.122 241 2.754 9 5.126
3 Sp. Prada, Jl. T. Nyak Arif
2.648 285 2.812 364 6.109
4 Sp. Peniti, Jl. T. Chik Ditiro
3.780 407 4.014 519 8.720
5 Sp. Surabaya, Jl. T. Chik Ditiro
4.773 410 4.375 599 10.157
Berdasar jenis kendaraan, dari Tabel 4.5 di atas terlihat bahwa di Sp.
kendaraan pribadi ataupun mobil penumpang dengan jumlah 2.754 unit, menyusul
sepeda motor sebanyak 2.122 unit, becak mesin sebanyak 241 unit dan truk 9 unit.
Di Sp. Prada Jl. T. Nyak Arif kendaraan yang paling banyak adalah kendaraan
roda 4 sebesar 2.812 unit, kemudian sepeda motor sebanyak 2.648 unit, truk 364 unit
dan becak mesin sebanyak 285 unit. Banyaknya truk yang melewati lokasi ini karena
jalan ini merupakan salah satu ruas jalan lingkar Selatan Kota Banda Aceh yang
merupakan penghubung antara daerah di luar Kota Banda Aceh. Truk-truk yang
berasal dari luar Kota Banda Aceh selalu melewati jalan ini menuju arah ke Aceh
Besar.
Lokasi Sp. Surabaya Jl. T. Chik Ditiro kendaraan yang mendominasi adalah
sepeda motor sebanyak 4.773 unit, disusul kendaraan roda 4 sebanyak 4.375 unit,
truk sebanyak 599 unit dan becak mesin 410 unit. Tingginya jumlah sepeda motor
yang melewati lokasi ini karena daerah Jl. T. Chik Ditiro dan sekitarnya merupakan
daerah rekonstruksi dan rehabilitasi yang sebagian besar mengendarai sepeda motor.
Rata-rata jumlah kendaraan bermotor di lokasi pengamatan disajikan dalam
0
S p. Peniti Jl. T.Chik Ditiro
Sp. Surabaya
Jl.T.Chik Ditiro Lokasi
Rata-rata Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis
Roda 2 Roda 3 R oda 4 Roda >4
Gambar 4.1. Rata-rata Jumlah Kendaraan Bermotor di 3 Lokasi Penelitian Berdasar Jenis Kendaraan
4.1.2. Luas Taman Kota Banda Aceh
Taman merupakan salah satu bagian dari ruang terbuka hijau yang sangat
besar peranannya baik sebagai penyerap polutan atau partikel beracun dan sebagai
paru-paru kota karena tanaman-tanaman yang membentuk taman tersebut dapat
menghasilkan oksigen yang sangat bermanfaat bagi manusia.
Pemda Kota Banda Aceh sangat memperhatikan keindahan kota dengan
membangun taman-taman di seluruh Kota Banda Aceh. Pemda Kota Banda Aceh
menganggarkan dana cukup besar setiap tahunnya untuk pembuatan taman dan untuk
biaya pemeliharaannya. Data luas taman di Kota Banda Aceh tertuang dalam tabel
Tabel 4.6. Luas Tanah Pertamanan dan Jenisnya
No. Jenis Taman Luas (Ha)
1. Taman Sari 4 Ha
2. Taman Putro Phang 5,9 Ha
3. Blang Padang 10 Ha
4. Ruang Terbuka Hijau/Pom 3.000 Meter 5. Ruang Terbuka Hijau Depan Mesjid Raya 3.500 Meter 6. Ruang Terbuka Hijau Kerchop (Pecut) 6 Ha 7. Bantaran Sungai Krung Cut 4,5 Ha 8. Ruang Terbuka Hijau Kuta Alam 3.000 Meter 9. Ruang Terbuka Hijau Simpang Tiga 3.200 Meter 10. Ruang Terbuka Hijau Taman Ratu Sapiatudin 3.000 Meter Sumber: Dinas Pertamanan dan Kebersihan, 2008.
Jenis tanaman yang ditanam di taman-taman Kota Banda Aceh sangat
beragam. Pemilihan jenis tanaman ini disesuaikan dengan kondisi geografi dan
keadaan tanah di areal pertamanan. Berdasarkan pengamatan, jenis-jenis tanaman
hias yang ditanam di taman-taman Kota Banda Aceh adalah sebagai berikut:
Tabel 4.7. Jenis-jenis Tanaman yang Ditanam di Taman-taman Kota Banda Aceh
No Nama Umum Nama Latin
1. Asam Jawa Tamarandus indica, L.
2. Angsana Pterocarpus indicus, Wild
3. Balik Angin Mallothus biaceae
4. Bakung Cainum asiaticum
5. Bayam Merah Iresine herbstii
6. Bougenville Bougainvillea spectabilis
7. Cemara Udang Casuarina equisetifolia
8. Cente Lantana camara
9. Drasena Dracaena sanderiana
10. Glodokan Tiang Polyathea sp
11. Hanjuang Dracaena fragans
12. Lidah Mertua Sanseviera trifasciata
13. Lili Paris Chlorophytum comosum
14. Mawar Rosa hybrida
Lanjutan Tabel 4.7
No Nama Umum Nama Latin
16. Mirten Malphigia coccigera
17. Nolina Beaucarnea recurvata
18. Palem Botol Mascarena revaughanii
19. Palem Ekor Tupai Wodyetia bifurcata
20. Palem Kuning Chrysalidocarpus lutescens
21. Palem Phoenix Phoenix roebelinii
22. Palem Putri Veitchia merillii
23. Palem Raja Oreodosca regia
24. Pandan Pandanus veitchii
25. Pisang Hias Heliconia schiedeana
26. Pulai Alstonia scholaris, R.Br
27. Puring Codiaeum variegatum
28. Rumput Paitan Axonopus cumpressus
29. Rumput Manila Zoyzea matrella
30. Soka Ixora sp
31. Tanjung Mimusops elengi, L
32. Tricolor Tradescantia tricolor
Daun penghijauan yang hidup ditepi jalan yang terpapar pada waktu tertentu
dapat dijadikan indikator besarnya akumulasi timbal yang dihasilkan oleh aktivitas
kendaraan bermotor pada suatu tempat tertentu, kadar logam berat pada berbagai
jaringan daun tanaman yang diuji tertinggi pada tanaman daun asam jawa, diikuti
oleh daun angsana, mahoni, tanjung dan yang paling rendah terdapat pada daun
tanaman pulai.
4.2. Analisis Debu Jatuh
Analisis debu jatuh meliputi pH, DHL,TDS,TSS dan Pb yang masing-masing
dianalisa dilaboratorium setelah itu data dianalisis secara statistik di mana hasil
4.2.1. Keasaman Debu (pH H2O)
Data dan sidik ragam pH larutan debu pada pada jarak 10 – 2000 m dari
pantai dapat dilihat pada Tabel 4.8. Hasil analisis statistik terhadap data pH debu
menunjukkan bahwa pengaruh jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan yang
tidak terkena tsunami berpengaruh tidak nyata terhadap pH larutan debu. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Rata-rata pH Larutan Debu Akibat Bencana Tsunami
Jarak (L) Derajat Kemasaman (pH) L1 (10 m)
L2 (500 m)
L3 (1000 m)
L4 (1500 m)
L5 (2000 m)
6.80
6.80
6.78
6.77
6.82
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata (Uji Duncan 5%)
Dari Tabel 4.8 dapat diketahui jarak dari daerah yang terkena tsunami (L1
sampai L3) dengan yang tidak terkena tsunami (L4 dan L5) pada jarak L5 yaitu daerah
yang tidak terkena tsunami menunjukkan pH larutan debu tertinggi dan diikuti oleh
perlakuan L1 dan L2 (daerah yang terkena tsunami) dan terendah pada jarak L4 tetapi
berbeda tidak nyata dengan perlakuan yang lainnya (daerah yang terkena dan tidak
terkena tsunami).
Data dan sidik ragam DHL larutan debu pada pada jarak 10 – 2000 m dari
pantai dapat dilihat pada Tabel 4.9. Hasil analisis statistik terhadap data DHL debu
menunjukkan bahwa pengaruh jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan yang
tidak terkena tsunami berpengaruh tidak nyata terhadap DHL debu. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9. Rata-rata Daya Hantar Listrik Larutan Debu Akibat Bencana Tsunami
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata (Uji Duncan 5%)
Dari Tabel 4.9 dapat diketahui jarak dari daerah yang terkena tsunami (L1
sampai L3) dengan yang tidak terkena tsunami (L4 dan L5) pada jarak L4 yaitu daerah
yang tidak terkena tsunami menunjukkan DHL larutan debu tertinggi dan diikuti oleh
perlakuan L3 (daerah yang terkena tsunami) dan terendah pada jarak L5 tetapi berbeda
tidak nyata dengan perlakuan yang lainnya (daerah yang terkena dan tidak terkena
tsunami).
4.2.3. Residu Terlarut (TDS)
Data dan sidik ragam TDS larutan debu pada pada jarak 10 – 2000 m dari
debu menunjukkan bahwa pengaruh jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan
yang tidak terkena tsunami berpengaruh tidak nyata terhadap TDS larutan debu.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10. Rata-rata Residu Larutan Debu Akibat Bencana Tsunami
Jarak (L) Residu Terlarut mg/L L1 (10 m)
L2 (500 m)
L3 (1000 m)
L4 (1500 m)
L5 (2000 m)
294.66
684.45
2034.61
1198.03
1136.94
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata (Uji Duncan 5%)
Dari Tabel 4.10 dapat diketahui jarak dari daerah yang terkena tsunami (L1
sampai L3) dengan yang tidak terkena tsunami (L4 dan L5) pada jarak L3 yaitu daerah
yang terkena tsunami menunjukkan TDS larutan debu tertinggi dan diikuti oleh
perlakuan L4 (daerah yang tidak terkena tsunami) dan terendah pada jarak L1 tetapi
berbeda tidak nyata dengan perlakuan yang lainnya (daerah yang terkena dan tidak
terkena tsunami).
4.2.4. Residu Tersuspensi (TSS)
Data dan sidik ragam TSS larutan debu pada pada jarak 10 – 2000 m dari
pantai dapat dilihat pada Tabel 4.11. Hasil analisis statistik terhadap data TSS larutan
yang tidak terkena tsunami berpengaruh tidak nyata terhadap TSS larutan debu.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.11.
Tabel 4.11. Rata-rata Residu Tersuspensi Larutan Debu Akibat Bencana Tsunami
Jarak (L) Residu Tersuspensi (TSS) mg/L L1 (10 m)
L2 (500 m)
L3 (1000 m)
L4 (1500 m)
L5 (2000 m)
18.72 a
381.91 a
278.51 a
55.89 a
36.29 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata (Uji Duncan 5%)
Dari Tabel 4.11 dapat diketahui jarak dari daerah yang terkena tsunami (L1
sampai L3) dengan yang tidak terkena tsunami (L4 dan L5) pada jarak L2 yaitu daerah
yang terkena tsunami menunjukkan TSS debu tertinggi dan diikuti oleh perlakuan L2
(daerah yang terkena tsunami) dan terendah pada jarak L1 juga daerah yang terkena
tsunami tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan yang lainnya (daerah yang
terkena dan tidak terkena tsunami).
4.2.5. Konsentrasi Timbal (Pb) dalam Debu
Data dan sidik ragam Pb debu pada pada jarak 10 – 2000 m dari pantai dapat
dilihat pada Tabel 4.12. Hasil analisis statistik terhadap data Pb dalam debu
tidak terkena tsunami berpengaruh nyata terhadap konsentrasi Pb dalam debu. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.12.
Tabel 4.12. Rata-rata Konsentasi Timbal dalam Debu Akibat Bencana Tsunami
Jarak (L) Konsentrasi Pb (mg/L) L1 (10 m)
L2 (500 m)
L3 (1000 m)
L4 (1500 m)
L5 (2000 m)
0.43 c
0.65 bc
0.97 b
1.17 ab
1.46 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata (Uji Duncan 5%)
Dari Tabel 4.12 dapat diketahui jarak dari daerah yang terkena tsunami (L1
sampai L3) dengan yang tidak terkena tsunami (L4 dan L5) pada jarak L5 yaitu daerah
yang tidak terkena tsunami menunjukkan konsentrasi Pb dalam debu tertinggi dan
berbeda nyata dengan konsentrasi Pb pada daerah yang terkena tsunami (L1, L2 dan
L3), tetapi berbeda tidak nyata dengan L4 dan konsentrasi Pb terendah pada jarak L1.
Berdasarkan hasil analisa regresi dapat diketahui bahwa hubungan jarak dari
daerah yang terkena tsunami dengan yang tidak terkena tsunami terhadap konsentrasi
Pb dinyatakan dengan persamaan regresi linier yaitu = 0.432 + 0.0005L dengan
nilai r = 0.9978. Hubungan jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan yang tidak
Y = 0.4232+ 0.0005L
0 500 1000 1500 2000
Jarak dari pantai (m)
Gambar 4.2. Hubungan antara Konsentrasi Pb Debu dengan Jarak dari Daerah yang Terkena dan Tidak Terkena Tsunami
Pada Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa hubungan konsentrasi Pb debu dengan
jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan yang tidak terkena tsunami bersifat
linier.
4.2.6. Kadar Debu Jatuh (Dust Fall)
Data dan sidik ragam kadar debu jatuh pada jarak 10 – 2000 m dari pantai
dapat dilihat pada Tabel 4.13. Hasil analisis statistik terhadap menunjukkan bahwa
pengaruh jarak dari daerah yang terkena tsunami dengan yang tidak terkena tsunami
berpengaruh tidak nyata terhadap kadar debu jatuh. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
Tabel 4.13. Rata-rata Kadar Debu Jatuh Akibat Tsunami
Jarak (L) Residu Tersuspensi (TSS) mg/L L1 (10 m)
L2 (500 m)
L3 (1000 m)
L4 (1500 m)
L5 (2000 m)
313,38 a
1066,36 a
2313,12 a
1253,92 a
1173,23 a
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata (Uji Duncan 5%)
Dari Tabel 4.13 dapat diketahui jarak dari daerah yang terkena tsunami (L1
sampai L3) dengan yang tidak terkena tsunami (L4 dan L5) pada jarak L3 yaitu daerah
yang terkena tsunami menunjukkan kadar debu jatuh tertinggi dan diikuti oleh
perlakuan L4 (daerah yang tidak terkena tsunami) dan terendah pada jarak L1 juga
daerah yang terkena tsunami tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan yang
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Derajat Keasaman pada Sampel
Setelah data diolah secara statistik dapat diketahui bahwa daerah yang terkena
tsunami berbeda tidak nyata dengan pH larutan debu pada daerah tidak terkena
tsunami. Tidak adanya perbedaan pH larutan debu di dua daerah tersebut hal ini
diduga bahwa daerah yang terkena tsunami yang dekat pantai walaupun sumber
kation basa terutama Na yang bersumber dari air laut pada saat terjadinya tsunami
di mana air laut masuk dalam jumlah relatif besar tetapi bila tidak terjadi akumulasi
kation basa tersebut di dalam tanah dan tidak membentuk persenyawaan basa tidak
dapat merubah pH secara nyata dan diketahui banyak faktor yang mempengaruhi naik
turunnya pH tanah yaitu curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan pH tanah
menurun akibat terjadinya pencucian kation-kation basa sehingga yang tertinggal
adalah kation-kation asam seperti Al dan Fe, secara tidak langsung juga akibat
pembakaran tidak sempurna yang mengakibatkan tingginya kadar CO dan bila
bereaksi dengan air baik air hujan akan mengakibatnya terbentuknya senyawa asam
yang bisa menyebabkan pH tanah juga menurun. Hal ini sejalan dengan pendapat
(Hakim, dkk, 1986), bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pH tanah adalah
macam kation yang terjerap dalam koloid tanah, bila tanah tersebut mengandung
natrium lebih tinggi akan menyebabkan nilai pH tanah lebih tinggi walaupun
mendisosiasikan ion hidrogen sehingga sumbangan ion hidrogen rendah sekali dalam
larutan tanah. Bila dilihat rata-rata pH hasil analisa masih termasuk pH yang tidak
masam, sedangkan pada umumnya pH tanah di daerah tropis umumnya masam (pH<
6,5) yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan dijumpai pada daerah tropis yang
mengakibatkan proses pencucian besar. Kemasaman tanah juga sangat dipengaruhi
jenis pupuk yang digunakan bila tanah sering dipupuk dengan pupuk yang bereaksi
masam maka pH tanah juga akan semakin masam dan begitu juga sebaliknya.
5.2. Perbedaan Daya Hantar Listrik (DHL)
Daya hantar listrik debu berbeda tidak nyata dengan daya hantar listrik pada
daerah yang terkena maupun tidak terkena tsunami. Hal ini diduga bahwa
kation-kation basa di daerah yang terkena dan tidak terkena tsunami tingkat akumulasi tidak
jauh berbeda. Hal ini kemungkinan disebabkan pada daerah yang terkena tsunami
walaupun kation-kation basa terbawa bersamaan dengan air laut, akan tetapi bila
proses pencucian tinggi maka kation-kation basa tersebut tidak terakumulasi dalam
jumlah yang besar di dalam tanah. Peningkatan daya hantar listrik sejalan dengan
peningkatan kation basa di dalam tanah di mana kation basa tersebut dapat bereaksi
dengan Cl – dan SO42- membentuk senyawa garam, sehingga daya hantar listrik tanah
dapat meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian (Afrida E, 1998 dan pendapat
Jacson, 1958 dalam Sutarta, 1990), bahwa dengan penambahan garam NaCl dan KCl
ke dalam tanah dapat meningkatkan daya hantar listrik tanah secara nyata dibanding
listrik tanah menurut Hakim, N, dkk, 1986, bahwa daya hantar listrik tanah pada
jarak 1000-1500 m dari daerah pantai tergolong sangat tinggi dan dari titik nol
sampai dengan jarak 500 m DHLnya tergolong tinggi, sedangkan pada jarak 2000 m
tergolong sedang.
5.3. Perbedaan Residu Terlarut Tersuspensi
Residu terlarut dan tersuspensi berbeda tidak nyata di daerah yang terkena
tsunami dan daerah yang tidak terkena tsunami. Hal ini disebabkan bahwa banyaknya
residu zat terlarut dan tersuspensi sangat tergantung kepada beberapa faktor yaitu
curah hujan dan jenis zat yang dilarutkan. Kita ketahui bahwa pencemaran tanah,
udara dan air ada yang berfase padat dan juga ada yang berfase gas. Seperti halnya
dengan belerang oksida yang banyak dihasilkan dari pembakaran bahan bakar seperti
minyak, bensin dan premium apabila bahan bakar tersebut terbakar akan
menghasilkan belerang dioksida yang merupakan oksida yang bersifat masam dan gas
tersebut sangat larut dalam air hujan yang bisa mengakibatkan air hujan bersifat
masam dan akan berkorelasi dengan pH tanah. Dan ini juga dapat kita hubungkan
bahwa tingginya residu terlarut menunjukkan lebih rendah walaupun tidak berbeda
nyata dengan yang lainnya. Bila kita bandingkan dengan banyaknya residu yang
terlarut di daerah yang terkena tsunami pada jarak 10-5000 m dari pantai jauh lebih
rendah dibandingkan dengan daerah yang terkena tsunami pada jarak 100 m dan pada
daerah yang tidak terkena tsunami, hal ini diduga bahwa kandungan debu di daerah